Biolistrik dari Limbah Cair Perikanan dengan Metode Microbial Fuel Cell Satu Bejana

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran energi yang didorong
pesatnya laju pertambahan penduduk dan industrialisasi dunia, mengakibatkan
tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber
energi utama dunia. Hal tersebut mendorong meningkatnya harga energi dunia.
Saat ini sumber daya energi di Indonesia dan dunia semakin menipis. Hal ini
mengakibatkan energi menjadi barang langka dan semakin mahal. Kementerian
Luar negeri RI (2011) menyebutkan bahwa proporsi minyak bumi sebagai sumber
utama energi mencapai 40% dari total permintaan energi dunia, namun
cadangannya terus berkurang. Pada tahun 2011 pertumbuhan permintaan minyak
bumi dunia mencapai 1,7% sementara peningkatan produksi hanya mencapai
0,9%. Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan
tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan
cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2010) menambahkan

bahwa 50% konsumsi energi nasional Indonesia selama ini berasal dari minyak
bumi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat tergantung
pada sumber energi tak terbarukan tersebut. Masalah tersebut harus segera dicari
solusinya karena cepat atau lambat sumber energi tersebut akan habis. Keadaan
ini menyebabkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia rentan terhadap
resiko krisis energi dunia.
Ancaman krisis energi dan bahan bakar menjadikan kegiatan terkait
dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera
dilakukan. Saat ini, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia 311.232
Mega Watt (MW) dan baru 22% yang dimanfaatkan (BPPT 2010). Keunggulan
dari energi terbarukan yaitu energi terbarukan lebih sesuai dengan potensi lokal di
tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan
relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia (Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral 2012).
Berdasarkan sumber energi, bentuk listrik merupakan energi yang paling
praktis digunakan (Rittman 2008). Konsumsi energi listrik sendiri pada tahun

2

2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan
dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010,
yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010
(Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).
Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi
yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran,
gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran
dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan
peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru
yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.
Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi
microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung
hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan
(Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical
(BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui
aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah
direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik,
bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi
tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik
(Rozendal et al. 2008).

Disisi lain pengolahan limbah cair saat ini masih banyak menggunakan
teknologi dengan prinsip degradasi aerobik. Sampai abad terakhir, proses lumpur
aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun,
proses ini membutuhkan energi intensif dan berdasarkan pendugaan, jumlah
energi listrik yang dibutuhkan untuk menyediakan oksigen pada proses lumpur
aktif hampir mendekati 2% total konsumsi listrik di Amerika (Pant et al. 2010).
Sama halnya dengan di Amerika, di Inggris 3-5% konsumsi listrik nasional
digunakan untuk pengolahan limbah cair. Pompa dan aerasi merupakan proses
yang banyak menggunakan energi (21% dan 30-55%) (Alzate-Gaviria 2011).
Sementara itu, manajemen limbah saat ini menekankan pada reuse dan recovery
energi.

3

Permasalahan pengolahan limbah cair tersebut dapat diatasi dengan
mengggunakan alternatif teknologi MFC. Konversi energi listrik telah diteliti
dengan menggunakan perbedaan tipe limbah cair, termasuk limbah cair domestik,
pengolahan pangan dan hewan (Cheng dan Logan 2011). Salah satu limbah cair
lain yang dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada MFC adalah limbah cair
perikanan. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri perikanan berasal dari

berbagai proses. Secara umum limbah cair industri hasil perikanan mengandung
banyak protein dan lemak.
Beberapa tipe MFC telah dikembangkan antara lain MFC dua bejana oleh
Oh dan Logan (2006), MFC satu bejana oleh Liu et al. (2005), disain upflow oleh
He et al. (2006), dan desain tubular oleh Zuo et al. (2007). Semua sistem tersebut
telah diujikan pada skala lab menggunakan konsentrasi substrat yang tinggi serta
larutan penyangga yang baik (Cheng dan Logan 2011). Diantara perbedaan tipe
MFC yang telah dikembangkan, MFC dengan katoda udara merupakan tipe yang
dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair karena hasil kekuatan tinggi,
struktur sederhana, dan biayanya relatif murah. Penggunaan MFC satu bejana
dapat mengurangi biaya peralatan karena ada pengurangan biaya bejana katoda
dan membran, sehingga lebih dapat diaplikasikan pada pengolahan limbah cair
dan konversi energi (Das dan Mangwani 2010).

1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah
cair perikanan dengan teknologi MFC, serta menganalisis karakteristik limbah
cair dan listrik yang dihasilkan dengan MFC satu bejana.

4


2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Industri Perikanan
Limbah industri perikanan dapat didefinisikan sebagai apa saja yang
tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan
pengolahan hasil perikanan. Tipe limbah utama yang ditemukan dari limbah cair
pengolahan ikan adalah darah, kotoran, jeroan, sirip, kepala ikan, cangkang, kulit
dan sisa daging. Secara umum, tipe limbah cair industri pengolahan ikan dapat
dibagi dalam dua kategori yaitu volum banyak-persentase limbah rendah dan
volum sedikit-persentase limbah tinggi. Kategori volum banyak-persentase limbah
rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi,
penanganan ikan dan air pencucian. Proses pada pembuatan tepung ikan
menghasilkan jenis limbah kategori volum sedikit-persentase limbah tinggi
(Colic et al. 2007).
Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi.
Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung
pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005).

Terdapat 3 tipe utama aktivitas pengolahan ikan, yaitu industri pengalengan dan
pembekuan ikan, industri minyak dan tepung ikan, dan industri pengasinan ikan
(Priambodo 2011). Karakteristik limbah cair perikanan dapat dilihat melalui
parameter pH, jumlah padatan terlarut, suhu, bau, BOD, COD, dan konsentrasi
nitrogen serta fosfor (FAO 1996).
Limbah cair industri pengolahan ikan memiliki karakteristik jumlah bahan
organik terlarut dan tersuspensi yang tinggi jika dilihat dari nilai BOD dan COD.
Lemak dan minyak juga ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Terkadang padatan
tersuspensi dan nutrien seperti nitrogen dan fosfor juga ditemukan dalam jumlah
tinggi. Limbah cair industri pengolahan ikan juga mengandung sodium klorida
dalam konsentrasi tinggi dari proses pembongkaran kapal, air pengolahan, dan
larutan asin (Colic et al. 2007). Secara umum karakteristik limbah cair industri
pengolahan ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

5

Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan
Parameter

Amonia

BOD
COD
Lemak
minyak

Satuan

dan

mg/L
mg/L
mg/L
mg/L

Industri
pengalengan
dan pembekuan
ikan
37
35

34
1,401

Industri
Industri
minyak ikan pengasinan
dan tepung ikan
ikan
1,659
101
204
127
196
360
12,750
1,305

Sumber: Priambodo (2011)

Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar

dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha
dan/atau kegiatan (Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2007). Baku mutu
limbah cair industri pengolahan perikanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Baku mutu air limbah bagi usaha/kegiatan pengolahan perikanan
Parameter
pH
TSS
Sulfida
Amonia
Klor bebas
BOD
COD
Minyak-lemak

Satuan
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L

mg/L
mg/L
mg/L

Kegiatan
Pembekuan
100
10
1
100
200
15

Kegiatan
Pengalengan
6-9
100
1
5
1

75
150
15

Pembuatan
Tepung Ikan
100
1
5
100
300
15

Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)

Pengolahan limbah cair yang pertama dilakukan adalah penyaringan
(screening), sedimentasi (sedimentation), pemisahan lemak dan minyak, dan
pengapungan (flotation). Pengolahan limbah cair pada tahap pertama ini
dilakukan untuk padatan yang mengapung dan mengendap. Penyaringan dapat
menghilangkan padatan berukuran besar (lebih besar 0,7 mm). Sedimentasi
dilakukan untuk menghilangkan padatan tersuspensi yang ada pada limbah cair.
Limbah cair perikanan mengandung jumlah minyak dan lemak yang berbeda.
Gravity separation dapat dilakukan untuk menghilangkan minyak dan lemak yang
terdapat di permukaan dan tidak teremulsi. Pengapungan adalah pengolahan

6

limbah cair untuk menghilangkan minyak, lemak dan padatan tersuspensi. Sistem
pengapungan merupakan sistem pengolahan limbah yang efektif karena dapat
juga menghilangkan minyak dan lemak (FAO 1996).
Tahap kedua pengolahan limbah cair adalah proses biologi dan kimia yang
betujuan untuk menghilangkan material organik yang terdapat pada limbah cair.
Tujuan pengolahan limbah cair secara biologi adalah untuk menghilangkan
padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan mikroba.
Mikroorganisme

bertanggung

jawab

mendegradasi

bahan

organik

dan

menstabilkan limbah organik. Pengolahan limbah cair secara biologi dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pengolahan limbah secara aerobik dan
anaerobik. Proses pengolahan secara aerobik terdiri dari sistem lumpur aktif,
aerated lagoons, aerasi, trickling filters, rotating biological contractors, dan
pilihan pengolahan aerobik. Proses pengolahan secara anaerobik terdiri dari
digestion system dan imhoff tanks. Pengolahan limbah cair dapat juga dilakukan
secara fisikokimia, antara lain coagulation-floculation dan disinfection yang
terdiri dari klorinasi dan ozonasi (FAO 1996).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)
Microbial fuel cells merupakan salah satu tipe biofuel cells. Beberapa tipe
biofuel cells yang ada antara lain microbial fuel cells dan enzymatic fuel cells
(Kim et al. 2002). Microbial fuel cells (MFCs) merupakan sistem atau alat yang
menggunakan bakteri sebagai katalis untuk mengoksidasi bahan organik dan
anorganik. Elektron diproduksi oleh bakteri dari substrat yang kemudian
ditransfer ke anoda (kutub negatif) dan dialirkan ke katoda (kutub positif) yang
disambungkan oleh perangkat konduktivitas termasuk resistor, atau dioperasikan
dibawah muatan untuk menghasilkan listrik yang dapat menjalankan alat. Aliran
positif pengukur arus mengalir dari kutub positif ke negatif, arah yang berlawanan
dengan aliran elektron (Logan et al. 2006).
Prinsip kerja sistem MFC adalah bakteri pada bejana anoda mentransfer
elektron dari donor elektron ke elektroda anoda (Logan et al. 2006). Bakteri yang
hidup pada bejana anoda mengkonversi substrat seperti glukosa, asetat dan juga
limbah cair menjadi CO2, proton dan elektron. Bejana anoda berada dalam kondisi

7

anaerobik dan bakteri harus mengubah penerima elektron alaminya menjadi
penerima elektron insoluble seperti anoda (Microbialfuelcell 2008). Penerimaan
elektron ke anoda berlangsung melalui kontak langsung, kabel-kabel nano
(nanowires) atau pengangkut elektron yang dapat larut. Selama produksi elektron,
proton juga diproduksi dalam jumlah banyak. Proton ini bermigrasi melalui cation
exchange membrane (CEM) ke bejana katoda. Elektron mengalir dari anoda
melalui hambatan luar ke katoda tempat bereaksinya penerima elektron (oksigen)
dengan proton (Logan et al. 2006). Gambar 1 menunjukan prinsip kerja dari
sistem MFC.
Reaksi yang terjadi pada sistem MFC dengan contoh substrat asetat adalah
sebagai berikut:
reaksi pada anoda

: CH3COO- + 2H2O  2CO2 + 7H+ + 8e-

reaksi pada katoda

: O2 + 4e- + 4H+  2H2O

Keseluruhan reaksi yang terjadi merupakan degradasi substrat menjadi
karbondioksida, air dan pada saat yang bersamaan dihasilkan listrik sebagai hasil
samping. Berdasarkan reaksi pada elektroda, bioreaktor MFC dapat menghasilkan
listrik dari aliran elektron di anoda ke katoda melalui rangkaian eksternal
(Du et al. 2007).

Gambar 1 Prinsip kerja MFC (Logan et al. 2006).
Sistem MFC harus mempunyai substrat yang dapat dioksidasi di bagian
anoda. Elektron dapat ditransfer ke anoda oleh mediator elektron, membran yang
terhubung langsung dengan transfer elektron, atau dengan nanowires yang

8

dihasilkan oleh bakteri (Logan et al. 2006). Pada sistem MFC, substrat merupakan
faktor penting dalam efisiensi produksi listrik. MFC dapat dioperasikan pada suhu
ruang dan dapat didesain untuk keperluan pada suhu mikroba dapat hidup. MFC
dapat mengekstrak hampir 90% elektron dari komponen organik dan dapat
berkelanjutan sendiri serta terbarukan saat terjadi kepadatan mikroorganisme yang
menghasilkan energi melalui transfer elektron ke elektroda (Lovley 2006).
Banyak mikroorganisme memiliki kemampuan untuk mentransfer elektron
dari hasil metabolisme bahan organik ke anoda. Sedimen laut, tanah, limbah cair,
sedimen air tawar, dan lumpur aktif merupakan sumber bahan organik untuk
mikroorganisme. Tabel 3 menampilkan jenis mikrooganisme dengan substratnya
pada sistem MFC.
Tabel 3 Mikroorganisme pada sistem MFC
Mikroba
Actinobacillus succinogenes, Alcaligenes faecalis,
Enterococcus gallinarum, Pseudomonas aeruginosa,
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Erwinia
dissolven, Gluconobacter oxydans, Klebsiella pneumoniae,
Lactobacillus plantarum, Proteus mirabilis, Pseudomonas
aeruginosa, Rhodoferax ferrireducens, Shewanella
putrefaciens, Streptococcus lactis
Aeromonas hydrophila, Geobacter metallireducens,
Geobacter sulfurreducens, Shewanella putrefaciens
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum, Shewanella
oneidensis, Shewanella putrefaciens
Clostridium beijerinckii, Clostridium butyricum
Desulfovibrio desulfuricans
Escherichia coli
Rhodoferax ferrireducens
Rhodoferax ferrireducens
Shewanella putrefaciens

Substrat
Glukosa

Asetat
Tepung kanji
Laktat
Molasses
Sukrosa
Glukosa sukrosa
Silosa
Maltosa
Piruvat

Sumber: Du et al. (2007)

Sistem MFC dapat digunakan untuk berbagai macam tujuan termasuk
monitoring aktivitas bakteri, penghasil listrik untuk area lokal, dan proses
pengolahan limbah cair (Kim et al. 2002). Jumlah kekuatan listrik dari sistem
MFC dalam proses pengolahan limbah cair secara potensial dapat membagi listrik
yang dibutuhkan dalam

proses pengolahan

limbah konvensional

yang

mengonsumsi banyak tenaga listrik untuk proses aerasi lumpur aktif. Molekul

9

organik seperti asetat, propionat, butirat dapat didegradasi menjadi CO2 dan H2O.
Beberapa sistem MFC menggunakan jenis mikroba yang mempunyai kemampuan
khusus untuk mengurangi sulfida yang terdapat pada limbah cair. Pada beberapa
kasus, MFC dapat mengurangi COD hingga 80%. Limbah rumah tangga dan
limbah cair pengolahan makanan merupakan sumber biomassa yang baik untuk
MFC karena memiliki bahan organik yang tinggi (Du et al. 2007).

2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana
Desain MFC yang sederhana dan efisien adalah MFC tanpa bejana katoda
dan menempatkan katoda langsung dengan permukaan proton exchange
membrane (PEM). Desain ini mengurangi penggunaan aerasi air karena oksigen
di udara dapat langsung ditransfer ke katoda. Desain pertama yang dibuat pada
skala laboratorium digunakan untuk menghasilkan listrik dari limbah cair, katoda
ditempatkan di bagian tengah silinder, sehingga kamar anoda membentuk silinder
mengelilingi katoda. Membran nafion direkatkan dengan katoda dan membran
nafion tersebut berkontak langsung dengan larutan di dalam bejana anoda. Tipe
kedua desain MFC satu bejana adalah tabung tunggal dengan dua elektroda
berbentuk bulat ditempatkan bersebrangan di ujung tabung. Elektroda anoda
ditutup untuk mencegah difusi oksigen ke kamar anoda, sementara itu satu sisi
katoda terbuka ke udara dan sisi satunya menempel dengan PEM dan berada pada
bagian bejana anoda yang berisi larutan (Logan 2005). Sistem kerja MFC satu
bejana ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006).

10

PEM digunakan pada sistem MFC karena PEM sudah digunakan dalam
hidrogen fuel cells. Saat air digunakan di dalam bejana anoda, PEM menjadi tidak
berguna karena air akan mengahantarkan proton ke katoda. PEM dapat lebih
efisien sebagai pembawa proton dibandingkan air, namun daya tahan internal
sistem akan dibatasi oleh difusi proton di dalam air, bukan di dalam PEM. Oleh
karena itu, pada beberapa studi PEM dihilangkan untuk meningkatkan tenaga
yang dihasilkan oleh MFC (Logan 2005). Sistem MFC satu bejana, sistem dengan
aliran yang berkelanjutan, dan tanpa membran merupakan sistem yang baik untuk
pengolahan limbah cair karena dapat dikembangkan untuk skala besar (Du et al.
2007).

11

3

METODE

3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2012 bertempat
di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan, Laboratorium Bagian Industri Hasil
Perairan, Laboratorium Preservasi dan Diversifikasi Hasil Perikanan Departemen
Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Lingkungan Perairan, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif,
limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7 0,025 N, H2SO4
pekat, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N, NaOH
pekat, asam borat (H3BO3) 4%, indikator bromcherosol green dan methyl red,
HCl, asam hypochlorous, reagen phenate, dan kertas saring Whatman 42.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca acrylic, elektroda
karbon grafit berbentuk batang, kabel, multimeter digital tipe DT 830B,
timbangan digital (Tanita KD 160), Kjeldahl (Labentech), botol Erlenmeyer,
buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer
(Optima SP-300), oven (Yamato Drying Oven DV 41), tanur (Yamato Muffle
Furnace FM 38), cawan porselen, kompor listrik dan desikator.

3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama yaitu persiapan MFC satu
bejana mengacu pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak
elektroda, tahap kedua adalah pembuatan limbah cair buatan (Ibrahim 2007) dan
tahap terakhir adalah pengukuran listrik dari MFC satu bejana mengacu pada
Suyanto et al. (2010) serta analisis kualitas limbah cair yang terdiri dari analisis
BOD, COD, total nitrogen, nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids
(MLSS), dan mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS). Alur tahapan
penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

12

Persiapan bahan dan alat penelitian

Persiapan alat MFC satu bejana

Pembuatan limbah cair buatan

Karakterisasi limbah cair
perikanan buatan (Total
nitrogen, nitrogen-amonia,
BOD dan COD)

Penempatan limbah cair buatan
ke dalam alat MFC satu bejana

Pengukuran listrik
selama 5 hari (120 jam)

Pengukuran beban limbah cair
(Total nitrogen, nitrogen-amonia,
BOD, COD, MLSS dan MLVSS)
hari ke-0, ke-3 dan ke-6

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.
3.3.1 Persiapan alat MFC satu bejana
Desain sistem MFC yang digunakan adalah MFC satu bejana mengacu
pada Moqsud dan Omine (2010) dengan memodifikasi letak elektroda. Bejana
yang digunakan terbuat dari bahan acrylic dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume
limbah cair yang digunakan adalah 600 ml. Elektroda yang digunakan adalah
karbon grafit berbentuk batang dengan ukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang
digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada
penelitian Liu dan Logan (2004). Desain MFC satu bejana tanpa membran yang
digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4. Perlakuan yang
diberikan pada penelitian ini adalah penambahan lumpur aktif ke dalam bejana
yang berisi limbah cair perikanan dengan perbandingan antara lumpur aktif dan
limbah cair yaitu 1:10 mengacu pada Patil et al. (2009). Jumlah MFC yang dibuat
sebanyak 6 buah untuk 3 kali ulangan.

13

Gambar 4 Desain MFC satu bejana.
3.3.2 Pembuatan limbah cair buatan
Limbah cair buatan dibuat menggunakan sisa hasil pengolahan ikan (isi
perut, kulit, dan daging). Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim
(2007) yakni: limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dicincang,
selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan
(kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya
dari padatan dan ampas ikan. Setelah air rebusan yang disaring menjadi dingin,
siap digunakan untuk percobaan. Kemudian dilakukan analisis karakteristik
limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan nitrogen-amonia.
3.3.3 Pengukuran listrik dan beban limbah cair.
Masing-masing elektroda dihubungkan dengan kabel lalu bejana ditutup
rapat. Kedua kabel dihubungkan oleh multimeter. Multimeter diatur untuk
pengukuran tegangan listrik pada skala terkecil terlebih dahulu kemudian nilai
tegangan yang tertera pada layar multimeter diamati setiap jam selama 5 hari
(Suyanto et al. 2010). Pada hari ke 0 (awal), 3 (tengah), dan 6 (akhir) dilakukan
analisis beban limbah cair yang terdiri dari analisis BOD, COD, total nitrogen,
dan nitrogen-amonia. Khusus untuk perlakuan penambahan lumpur aktif
dilakukan juga analisis MLSS dan MLVSS. Setiap analisis dilakukan 3 kali
ulangan.

14

3.4 Prosedur Analisis
Analisis beban limbah yang dilakukan pada penelitian yaitu chemical
oxygen demand (COD), biological oxygen demand (BOD), total nitrogen,
nitrogen-amonia, mixed liquor suspended solids (MLSS), dan mixed liquor
volatile suspended solids (MLVSS).
3.4.1 COD (Chemical Oxygen Demand) (American Public Health Association
(APHA) 1975)
Prosedur penentuan parameter COD adalah sampel sebanyak 10 mL
dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,025 N.
Selanjutnya ditambahkan H2SO4 pekat sebanyak 7,5 mL dan didiamkan selama
kurang lebih 15 menit di dalam ruang asam. Setelah itu ditambahkan 3 tetes
indikator ferroin dan dititrasi dengan menggunakan larutan ferrous ammonium
sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna
dari hijau terang menjadi merah terang. Selain itu dilakukan juga titrasi terhadap
blanko. Penentuan COD dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

B= Volume titrasi balnko (mL)
S= Volume tittasi sampel (mL)
N= Normalitas Fe(NH4)2(SO4)2
V= Volume sampel yang digunakan (mL)

3.4.2 BOD (Biological Oxygen Demand) (APHA 1975)
Sampel diambil sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan diencerkan menggunakan akuades dengan faktor pengenceran 15
dan 20 kali. Setelah itu sampel tersebut diaerasi selama 10 menit. Setelah 10
menit, pisahkan sampel pada dua botol BOD, satu untuk inkubasi dan botol
lainnya untuk mengukur DO pada larutan sampel. Sampel yang diinkubasi
menggunakan botol BOD tidak boleh terdapat gelembung udara dalam botol BOD
tersebut. Sampel kemudian diinkubasi selama lima hari di tempat gelap pada suhu
20 C. Setelah lima hari dilakukan pengukuran DO pada sampel yang telah
diinkubasi. Nilai BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

15

Keterangan:

D1= Nilai DO sampel sebelum inkubasi
D2= Nilai DO sampel setelah inkubasi
P = Volume pengenceran

3.4.3 Total nitrogen (Association of Official Analitycal of Chemist (AOAC) 2005)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis total nitrogen dengan metode
Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel dipipet
sebanyak 10 mL kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl, lalu
ditambahkan setengah butir kjeltab dan 10 mL H2SO4 pekat secara perlahan ke
dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 C
selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening, kemudian
didinginkan. Selanjutnya sampel dari tabung kjeldahl dipindahkan ke labu takar
100 mL untuk dilakukan pengenceran dengan akuades. Sampel tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 mL NaOH 40% lalu
dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 mL yang
berisi 10 mL asam borat (H3BO3) 4%. Destilasi dilakukan sampai larutan asam
borat yang berwarna merah menjadi warna biru dalam waktu ±15 menit. Hasil
destilasi dititrasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna merah muda yang
pertama kalinya. Perhitungan total nitrogen dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

Keterangan:

A = Volume titrasi sampel (mL)
B = Volume titrasi blanko (mL)
C = mL contoh
Fp = Faktor pengenceran

3.4.4 Kadar N-NH3 (Nitrogen-amonia) (APHA 1975)
Sampel yang telah didestilasi diambil sebanyak 10 mL lalu dimasukkan ke
dalam tabung reaksi. Kemudian MnSO4 ditambahkan sebanyak 1 tetes ke dalam
tabung reaksi tersebut. Setelah itu ditambahkan asam hypochlorous sebanyak
0,5 mL dan reagen phenate sebanyak 0,6 mL. Setelah ditambahkan reagen
tersebut dilakukan pengocokkan. Perubahan warna pada larutan sampel akan
terjadi karena adanya penambahan reagen tersebut. Perubahan warna ini akan
stabil pada larutan sampel setelah 10 menit sejak reagen ditambahkan ke larutan
sampel. Larutan blanko dan larutan standar dibuat selama pengukuran ini. Nilai

16

absorban diukur pada larutan blanko menggunakan spektrofotometer. Atur
panjang gelombang spektrofotometer pada 630 nm dan nilai total amonia nitrogen
sampel akan keluar pada display alat tersebut.
3.4.5 MLSS (Mixed Liquor Suspended Solids) (APHA 1975)
Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) merupakan jumlah total
suspended solid yang berasal dari sistem MFC satu bejana. Total Suspended Solid
(TSS) merupakan jumlah berat kering dalam mg/L lumpur yang ada dalam air
limbah setelah mengalami penyaringan (Sugiharto 1987).
Kertas saring Whatman 42 dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada
suhu 100–105 C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kemudian diambil sampel sebanyak 50 mL dengan diaduk terlebih dahulu dan
disaring dengan kertas saring Whatman 42 yang telah disiapkan sebelumnya.
Setelah itu kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu 100–105 C
selama 2 jam. Setelah itu kertas saring didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Konsentrasi MLSS dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan
rumus:
6

Keterangan:

A= Berat akhir kertas saring (gr)
B= Berat awal kertas saring (gr)
V= Volume sampel (mL)

3.4.6 MLVSS (Mixed Liquor Volatile Suspended Solids) (APHA 1975)
Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS) merupakan MLSS
yang telah dipanaskan pada suhu 600 C sehingga benda volatilnya menguap
(Sugiharto 1987). Prosedur penentuan parameter MLVSS adalah cawan porselin
yang akan digunakan dikeringkan dalam tanur selama 10 menit pada suhu 550 C
dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kertas saring dari uji
MLSS dimasukkan ke dalam cawan porselin dan diletakkan dalam tanur selama 2
jam pada suhu 550 C. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan
ditimbang. Bila perlu

lakukan pengulangan proses pengeringan

untuk

mendapatkan berat yang konstan. Konsentrasi MLVSS dapat dihitung dengan
rumus:
6

17

Keterangan:

C= Berat awal cawan (gr)
D= Berat akhir cawan (gr)
V= Volume sampel (mL)

3.5 Rancangan Percobaan (Mattjik dan Jaya 2006)
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dalam waktu (RAL
intime) dengan satu faktor, yaitu penambahan sumber mikroorganisme berupa
lumpur aktif. Waktu dianggap sebagai pengamatan berulang sehingga akan
terlihat perkembangan respon selama penelitian berjalan. Perlakuan yang
dilakukan terdiri dari limbah cair tanpa lumpur aktif dan limbah cair dengan
penambahan lumpur aktif. Apabila ada perbedaan nyata antar perlakuan dan
waktu pengamatan dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Data diolah dengan software SAS 9.1.3. Model rancangan percobaan yang
digunakan adalah
Yijk = µ + αi +

ij

+ ωk + γjk + αωik +

ijk

Keterangan:
Yijk
= nilai respon faktor A taraf ke-i, ulangan ke-j, waktu pengamatan ke-k
µ
= rataan umum
αi
= pengaruh faktor ke A taraf ke-i
= komponen acak perlakuan
ij
ωk
= pengaruh waktu pengamatan ke-k
γjk
= komponen acak waktu pengamatan
αωik = pengaruh interaksi waktu dengan faktor A
= komponen acak dari interaksi waktu dengan perlakuan
ijk

18

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan
Limbah cair industri pengolahan ikan dapat dikarakterisasi melalui
parameter fisikokimia, organik, nitrogen dan kandungan fosfor (Tay et al. 2006).
Kontaminan utama yang terdapat pada limbah cair perikanan merupakan
campuran berbagai substrat, terutama bahan organik alami. Penelitian ini
menggunakan limbah cair perikanan buatan sebagai pengganti limbah cair industri
perikanan. Tujuan penggunaan limbah cair buatan adalah agar limbah yang
digunakan lebih stabil. Menurut Ibrahim (2007) penggunaan limbah cair buatan
bertujuan agar umpan yang akan dimasukkan ke dalam sistem sebagai influen
memiliki karakteristik yang lebih stabil dan mudah dikendalikan. Proses
pembuatan limbah cair perikanan mengacu pada penelitian Ibrahim (2007), yaitu
perbandingan antara daging ikan (kg) dengan air (L) adalah 1:5. Proses perebusan
limbah padat dilakukan dalam pembuatan limbah cair buatan yang bertujuan
untuk melarutkan kandungan bahan organik yang terdapat pada limbah padat.
Tujuan perebusan pada pembuatan limbah cair buatan yaitu mendapatkan kadar
nitrogen yang tinggi dalam limbah cair yang dihasilkan (Irma 2008). Karakteristik
limbah cair buatan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik limbah cair perikanan buatan
Parameter
Total N
BOD
COD
Amonia

Satuan
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L

Limbah cair buatan
607,32
537
1062,4
3,89

Limbah cair perikanan*
111
184
571
1,7

* Sumber: Ibrahim (2007), limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden

Limbah cair perikanan buatan memiliki jumlah nitrogen yang tinggi. Hal
ini dikarenakan bahan baku yang digunakan untuk pembuatan limbah cair berupa
daging ikan yang memiliki kandungan protein tinggi. Tay et al. (2006)
meyampaikan bahwa konsentrasi nitrogen dapat tinggi pada limbah cair industri
perikanan. Tingkat kandungan nitrogen yang tinggi dikarenakan kandungan
protein yang tinggi pada ikan atau invertebrata laut (15-20% berat basah).
Limbah cair perikanan buatan memiliki nilai BOD yang lebih tinggi
dibandingkan dengan limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.

19

Limbah cair perikanan memiliki nilai BOD yang sangat tinggi disebabkan oleh
tingginya komponen organik yang terkandung di dalam limbah cair perikanan.
Tay et al. (2006) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen pada limbah cair
perikanan dikarenakan dua hal, yaitu komponen karbon yang digunakan sebagai
substrat oleh mikroorganisme aerobik dan komponen nitrogen yang secara alami
terdapat pada limbah cair perikanan seperti protein, peptida dan amina volatil.
Analisis COD dilakukan dengan metode dikromat. Limbah cair perikanan
buatan memiliki nilai COD yang tinggi. Limbah cair dari industri pengolahan ikan
memiliki karakteristik nilai COD yang tinggi karena kandungan kompnen organik
dan anorganik yang tinggi, sehingga oksigen yang digunakan untuk menguraikan
komponen organik tersebut secara kimiawi juga tinggi. Ibrahim et al. (2009)
menyatakan bahwa limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik
yang tinggi dengan tingkat pencemaran yang berbeda, tergantung pada tipe proses
pengolahan dan spesies ikan yang diolah. Priambodo (2011) menambahkan bahwa
perbedaan proses produksi menghasilkan limbah cair dengan jumlah dan kualitas
yang berbeda. Carawan (1991) menyatakan bahwa rata-rata nilai COD dari proses
pengalengan ikan tuna antara 1300-3250 mg/L.
Nilai amonia limbah cair perikanan buatan lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai amonia limbah cair dari industri pengalengan tuna dan sarden.
Amonia merupakan hasil penguraian senyawa nitrogen. Nitrogen di dalam limbah
cair terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya
tergantung bahan organik yang didegradasi (Ibrahim 2007). Nilai baku mutu
amonia dari limbah cair perikanan antara 5-10 mg/L (Kementerian Negara
Lingkungan Hidup 2007). Karakteristik limbah industri pengalengan tuna dan
sarden pada Tabel 4 menunjukkan bahwa limbah cair perikanan buatan yang
digunakan pada penelitian ini telah memenuhi karakteristik limbah cair industri
perikanan, khususnya limbah cair industri pengalengan tuna dan sarden.
4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC Satu Bejana
Sistem MFC memiliki kemampuan sebagai bioreaktor untuk mengolah
limbah cair. Berbagai macam jenis limbah cair yang mengandung bahan organik
dapat dijadikan sebagai substrat pada sistem MFC, salah satunya adalah limbah
cair perikanan yang memiliki kandungan bahan organik tinggi. Sistem MFC dapat

20

mengolah limbah cair dengan memanfaatkan mikroorganisme yang terdapat pada
susbstrat untuk mendegradasi bahan organik. Sistem MFC juga dapat
menghasilkan listrik dengan cara menangkap elektron hasil degradasi bahan
organik dengan elektroda. Pengukuran listrik dilakukan selama 5 hari.
Tipe sistem MFC yang digunakan berupa MFC satu bejana dengan
perlakuan pemberian lumpur aktif. Penambahan substrat lumpur aktif pada limbah
cair perikanan diharapkan mampu meningkatkan degradasi bahan organik dan
listrik yang dihasilkan semakin besar. Parameter karakterisitik limbah cair yang
dianalisis selama pengolahan di dalam sistem MFC adalah total nitrogen, BOD,
COD, nitrogen-amonia, MLSS dan MLVSS. Analisis MLSS dan MLVSS hanya
dilakukan pada sistem MFC dengan perlakuan pemberian lumpur aktif. Sebelum
dimasukkan ke dalam sistem MFC, lumpur aktif terlebih dahulu diaklimatisasi
dengan limbah cair buatan yang akan digunakan.
4.2.1 Total nitrogen
Total nitrogen menunjukkan jumlah total nitrogen organik yang terdapat
dalam limbah cair. Nitrogen di dalam air limbah terdapat sebagai nitrogen organik
dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung degradasi bahan organik yang
berlangsung. Total nitrogen organik selama di dalam sistem MFC dapat dilihat

Rata-rata Total N (mg/L)

pada Gambar 5.

650

607,32ax

550

607,32ax

607,32ax

573,58ax

607,32ax

573,58ax

3

6

450
350
250
150
0

Hari

Gambar 5 Total nitrogen limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair
Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh perbedaan
nyata antar waktu pengamatan.
Total nitrogen mengalami penurunan yang sama selama di dalam sistem
MFC satu bejana, baik limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif dan limbah cair

21

dengan pemberian lumpur aktif, yaitu 607,32 mg/L pada hari ke-0 kemudian
menjadi 573,58 mg/L pada hari ke-6. Penambahan lumpur aktif tidak memberikan
pengaruh terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC satu
bejana (P>0,05). Penurunan total nitrogen menunjukkan terjadinya reaksi
penguraian senyawa nitrogen organik. Penurunan yang sama antara kedua
perlakuan tersebut menunjukkan bahwa limbah cair tanpa pemberian lumpur aktif
dapat menguraikan senyawa nitrogen organik melalui mikroorganisme yang
terdapat pada limbah cair tersebut.
Bakteri yang terdapat pada lumpur aktif diduga masih beradaptasi dengan
substrat yang ada, sehingga proses penguraian senyawa nitrogen masih berjalan
sama dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif selama selama 6 hari.
Ibrahim et al. (2005) menyatakan bahwa mikroorganisme dapat beradaptasi
dengan lingkungan barunya dan mencapai fase pertumbuhan logaritmik sampai
hari ke-8 dengan menggunakan substrat yang tersedia.
Degradasi limbah cair secara biologis merupakan proses yang berlangsung
secara alamiah, namun berjalan lambat. Avnimelech et al. (2001) menyatakan
bahwa kecepatan penurunan nitrogen organik sangat kompleks karena hanya
sebagian dari nitrogen organik yang berubah menjadi nitrogen anorganik,
sementara itu sisanya digunakan untuk memproduksi protein bakteri yang
selanjutnya akan menjadi biomassa sel. Nitrogen dalam air limbah pada umumnya
terdapat dalam bentuk organik dan oleh bakteri berubah menjadi nitrogen amonia.
Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi amonia menjadi nitrit dan
nitrat (Ginting 2007).
4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)
Biological oxygen demand atau BOD merupakan jumlah miligram oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon
dalam satu liter air selama lima hari pada suhu 20 C±1 C (BSN 2009). Hasil
pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada
Gambar 6.

Rata-rata BOD (mg/L)

22

496ax
500
400
300
200
100
0

475ax

0

450ax
436ax

3

428ax
407ax

6

Hari

Gambar 6 BOD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair
Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
Nilai BOD limbah cair selama 6 hari mengalami penurunan. Perlakuan
pemberian lumpur aktif pada limbah cair mengalami penurunan yang sedikit lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian lumpur aktif. Perlakuan
penambahan lumpur aktif ke dalam limbah cair tidak memberikan pengaruh
terhadap penurunan BOD (P>0,05). Penurunan nilai BOD tersebut menunjukkan
terjadinya proses penguraian senyawa organik. Semakin besar jumlah bahan
organik yang diuraikan semakin banyak oksigen yang digunakan, karena oksigen
tersebut digunakan untuk penguraian senyawa organik.
Penurunan nilai BOD selama 6 hari yang tidak terlalu signifikan dari
kedua perlakuan menandakan bahwa mikroorganisme di dalam sistem MFC tidak
menguraikan bahan organik dengan maksimal. Hal ini dapat disebabkan
kurangnya oksigen di dalam bejana anoda yang tidak diberi aerasi atau
dikondisikan untuk kondisi anaerobik. Sulihingtyas et al. (2010) menyatakan
bahwa kerja aerasi yang kurang maksimal menyebabkan persediaan oksigen
terlarut di dalam sistem tidak mencukupi bagi mikroorganisme untuk
mengoksidasi bahan organik. Selain itu, mikroorganisme di dalam sistem MFC
dengan penambahan lumpur aktif yang diduga masih beradaptasi menggunakan
oksigen tersebut untuk proses adaptasi.
Nilai BOD yang ditampilkan merupakan nilai BOD5. Nilai BOD5 hanya
merupakan indeks jumlah bahan organik yang dapat dipecah secara biologik
bukan ukuran sebenarnya dari limbah organik (Jenie dan Rahayu 1993). Oksidasi

23

berjalan sangat lambat dan secara teoritis memerlukan waktu yang tak terbatas.
Oksidasi organik karbon akan mencapai 60-70% dalam waktu 5 hari (BOD5) dan
dalam waktu 20 hari akan mencapai 95% (Siregar 2005). Oksidasi yang berjalan
lambat ini juga mengakibatkan penurunan nilai BOD yang tidak signifikan.
Nilai BOD yang dihasilkan menunjukkan bahan organik atau beban
limbah cair selama di dalam sistem MFC masih cukup tinggi. Kementerian
Lingkungan Hidup tahun 2007 menetapkan nilai baku mutu BOD limbah cair
industri pengolahan ikan khususnya pengalengan yaitu 75 mg/L. Nilai BOD
diduga masih dapat menurun seiring dengan penambahan waktu inkubasi di dalam
sistem MFC dan penambahan konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat proses
penguraian bahan organik.
4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)
Pengukuran COD menekankan kebutuhan oksigen secara kimia dimana
senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dapat dipecah
secara biokimia (Ginting 2007). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan

Rata-rata COD (mg/L)

selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.
1200 992ax
1000
800 901bx
600
400
200
0

848ay

816ay

805by

781by

0

3

6

Hari

Gambar 7 COD limbah cair selama di dalam MFC satu bejana.
Limbah cair
Limbah cair dan lumpur aktif.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar
perlakuan. Huruf x, y dan z menunjukkan pengaruh
perbedaan nyata antar waktu pengamatan.
Nilai COD limbah cair mengalami penurunan selama di dalam sistem
MFC satu bejana. Perlakuan pemberian lumpur aktif ke dalam sistem MFC satu
bejana memberikan pengaruh berbeda terhadap penurunan nilai COD (P0,05). Amonia merupakan hasil degradasi senyawa nitrogen organik seperti
protein. Amonia akan mengalami proses oksidasi menjadi nitrit dan nitrat.
Penurunan kandungan amonia menunjukkan terjadinya degradasi senyawa
nitrogen organik dan anorganik limbah cair selama di dalam sistem MFC satu
bejana. Degradasi senyawa tersebut menghasilkan energi, bahan seluler baru,
karbondioksida dan air. Dalam kondisi aerobik bakteri dapat mengoksidasi
amonia menjadi nitrit dan nitrat (Ginting 2007), sehingga kandungan amonia di
dalam limbah cair akan menurun. Proses perubahan amonia menjadi nitrit disebut
proses nitirifikasi dan melibatkan bakteri yang disebut nitrifier. Penambahan
lumpur aktif ke dalam limbah cair diduga meningkatkan jumlah mikroorganisme
termasuk bakteri nitrifier tersebut, sehingga terjadi penurunan nilai kandungan
amonia, sehingga terjadi penurunan amonia yang lebih besar pada perlakuan
penambahan lumpur aktif. Herlambang (2010) menyatakan bahwa flok lumpur
aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit
(Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat.
Nilai baku mutu amonia limbah cair indsutri pengalengan ikan yaitu
5 mg/L (Kementerian Lingkungan Hidup 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa
nilai amonia limbah cair selama di dalam sistem MFC satu bejana telah sesuai
dengan nilai baku mutu yang ditetapkan. Nilai amonia tersebut masih dapat
meningkat dikarenakan masih banyak senyawa organik yang belum terurai.
Kandungan amonia yang terukur diduga merupakan hasil dari penguraian
senyawa nitrogen yang sudah terurai. Poppo et al. (2009) menyatakan bahwa
tingginya kandungan amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa amonia
merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nitrogen organik.
4.2.5 MLSS dan MLVSS
Mixed Liquor Suspended Solids atau MLSS adalah jumlah total dari
padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di
dalamnya mikroorganisme. Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh
MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati,
dan hancuran sel (Herlambang 2010). Hasil nilai MLSS dan MLVSS pada sistem
MFC yang diberi perlakuan pemberian lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 9
dan Gambar 10.

Rata-rata MLSS (mg/L)

27

3500
2600

3000

2867

2500
2000

1827

1500
1000
500
0
0

3

6

Hari

Rata-rata MLVSS (mg/L)

Gambar 9 MLSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu bejana.

2500

2000

2133

2000
1360

1500
1000
500
0
0

3

6

Hari

Gambar 10 MLVSS limbah cair dan lumpur aktif selama di dalam MFC satu
bejana.
Nilai MLSS dan MLVSS limbah cair dengan penambahan lumpur aktif
mengalami peningkatan selama 6 hari. Nilai MLSS pada hari ke-0 yaitu
1827 mg/L kemudian meningkat menjadi 2867 pada hari ke-6. Nilai MLVSS pada
hari ke-0 1360 mg/L kemudian meningkat menjadi 2133 mg/L pada hari ke-6.
Hal ini disebabkan terjadi pertumbuhan mikroorganisme atau biomassa di dalam
sistem MFC satu bejana.
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS disebabkan oleh peningkatan
biomassa atau mikroorganisme yang terjadi karena proses degradasi senyawa
organik. Mikrooragnisme akan memanfaatkan limbah cair sebagai nutrisi
sehingga bahan organik tersebut terurai menjadi CO2, air dan sel baru. Ibrahim et
al. (2005) menyatakan bahwa lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik
menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi massa sel. Hal inilah yang

28

mengakibatkan dalam proses pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif akan
terjadi penurunan senyawa organik dan peningkatan biomassa.
Proses sintesis atau peningkatan biomassa berlangsung dengan reaksi
sebagai berikut:
COHNS + O2 + bakteri + energi C5H7NO2
COHNS adalah bahan-bahan organik di dalam limbah cair, sedangkan C5H7NO2
adalah jaringan baru yang diperoleh (Ginting 2007).
Peningkatan nilai MLSS dan MLVSS selama 6 hari masing-masing hanya
1040 mg/L dan 773 mg/L. Peningkatan yang lambat selama 6 hari ini diduga
disebabkan mikroorganisme dari lumpur aktif yang beradaptasi sangat lambat,
sehingga proses degradasi juga berjalan lambat. Perbedaan substrat diduga
mempengaruhi proses adaptasi tersebut. Lumpur aktif yang digunakan pada
penelitian ini berasal dari pengolahan limbah tekstil. Nilai BOD dan COD limbah
tekstil masing-masing yaitu 97,50 mg/L dan 428,50 mg/L (Herlambang 2010),
lebih rendah dibandingkan nilai BOD dan COD limbah cair yang digunakan pada
penelitian

ini.

Syamsudin

et

al.

(2008)

menyatakan

bahwa

aktivitas

mikroorganisme di dalam proses pengolahan dengan lumpur aktif sangat
dipengaruhi oleh tersedianya nutrien dan kondisi lingkungan. Proses biodegradasi
oleh mikroorganisme aerobik akan berlangsung optimal jika oksigen terlarut dan
nutrisi tersedia pada konsentrasi yang sesuai.
Keaktifan lumpur ditentukan oleh konsentrasi MLSS. Nilai MLSS yang
baik untuk pengolahan limbah cair yang terdiri dari larutan organik dan
endapannya adalah 1000-3000 mg/L dalam berat kering (Ginting 2007). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa penambahan lumpur aktif dengan rasio limbah
cair dan lumpur aktif 10:1 memiliki nilai MLSS antara 1000-3000 mg/L, sehingga
sudah sesuai dengan keaktifan MLSS untuk pengolahan limbah cair. Syamsudin