Biolistrik Limbah Cair Perikanan Dengan Teknologi Microbial Fuel Cell Menggunakan Jumlah Elektroda yang Berbeda

(1)

BIOLISTRIK LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN

TEKNOLOGI

MICROBIAL FUEL CELL

MENGGUNAKAN

JUMLAH ELEKTRODA YANG BERBEDA

RICO ALWINSYAH

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

RINGKASAN

RICO ALWINSYAH. C34080019. Biolistrik Limbah Cair Perikanan Dengan Teknologi Microbial Fuel Cell Menggunakan Jumlah Elektroda yang Berbeda.

Dibimbing oleh BUSTAMI IBRAHIM dan ELLA SALAMAH

Listrik merupakan salah satu komponen yang sangat berperan banyak dalam kehidupan suatu bangsa dan bahkan bagi setiap manusia. Beberapa manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan, produksi (industri), bahkan kesehatan. Krisis energi memicu pengembangan sumber energi alternatif (renewable) untuk mensubstitusi penggunaan minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi utama bagi masyarakat. Di antara beragam pilihan penghasil energi substituent, fuel cell atau sel bahan bakar merupakan salah satu contoh teknologi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan. Sel elektrokimia berbasis mikroba atau microbial fuel cell (MFC) merupakan sel bahan bakar yang memanfaatkan materi organik untuk digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi dalam melakukan aktivitas metabolismenya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kemampuan limbah cair perikanan sebagai penghasil listrik melalui teknologi microbial fuel cell

(MFC), serta mengetahui jumlah elektroda yang optimal untuk menghasilkan energi listrik dalam sistem MFC. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah microbial fuel cell satu bejana. Limbah cair pada penelitian ini merupakan limbah cair buatan. Pada penelitian ini diberikan perlakuan jumlah elektroda yang berbeda, yaitu elektroda 1 pasang, elektroda 2 pasang, elektroda 3 pasang, dan elektroda 4 pasang. Pengukuran elektrisitas dilakuan selama 5 hari (120 jam) dan setiap selang waktu 3 hari dilakukan analisis parameter limbah cair yang terdiri dari kandungan total nitrogen, amonia, BOD, COD, MLSS dan MLVSS.

Beban limbah cair selama proses pengolahan dengan sistem MFC mengalami penurunan pada semua perlakuan yang diberikan, yaitu pada hari ke-6 total N sebesar 647,11 mg/l untuk semua perlakuan, BOD sebesar 221 mg/l untuk perlakuan elektroda 1 pasang, 246 untuk perlakuan elektroda 2 pasang, 242 mg/l untuk perlakuan elektroda 3 pasang, dan 277 mg/l pada perlakuan elektroda 4 pasang, nilai COD sebesar 656 mg/l untuk perlakuan elektroda 1 pasang, 635 mg/l untuk perlakuan elektroda 2 pasang, 618,67 mg/l untuk perlakuan elektroda 3 pasang, dan 677 mg/l untuk perlakuan elektroda 4 pasang, dan amonia sebesar 0,3 mg/l untuk perlakuan elektroda 1 pasang, elektroda 3 pasang, dan elektroda 4 pasang. Sedangkan nilai MLSS dan MLVSS mengalami kenaikan pada hari ke-6, nilai rata-rata MLSS adalah 3200 mg/l pada perlakuan elektroda 1 pasang, 3000 mg/l pada perlakuan elektroda 2 pasang, 2867 mg/l pada perlakuan elektroda 3 pasang, dan 2800 pada perlakuan elektroda 4 pasang, nilai rata-rata MLVSS adalah 3000 mg/l pada perlakuan elektroda 1 pasang, 2600 mg/l pada perlakuan elektroda 2 pasang, 2533 mg/l pada perlakuan elektroda 3 pasang, dan 2600 mg/l pada perlakuan elektroda 4 pasang. Nilai rata-rata listrik paling tinggi adalah pada perlakuan elektroda 2 pasang, yaitu sebesar 0,213 V. Listrik yang dihasilkan pada perlakuan elektroda 2 pasang ini juga menghasilkan listrik yang di atas rata-rata selama pengukuran sehingga perlakuan elektroda 2 pasang ini merupakan perlakuan yang optimum dalam sistem MFC.


(3)

BIOLISTRIK LIMBAH CAIR PERIKANAN DENGAN

TEKNOLOGI

MICROBIAL FUEL CELL

MENGGUNAKAN

JUMLAH ELEKTRODA YANG BERBEDA

Rico Alwinsyah

C34080019

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Biolistrik Limbah Cair Perikanan Dengan Teknologi Microbial Fuel Cell Menggunakan

Jumlah Elektroda Yang Berbedaadalah karya saya sendiri dan belum diajukan

dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2013

Rico Alwinsyah C34080019


(5)

Judul :Biolistrik Limbah Cair Perikanan Dengan Teknologi

Microbial Fuel Cell Menggunakan Jumlah Elektroda yang Berbeda

Nama : Rico Alwinsyah NRP : C34080019

Program Studi : Teknologi Hasil Perairan

Pembimbing I

Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP. 1961 1101 1987 03 1 002

Pembimbing II

Dra. Ella Salamah, M.Si NIP. 1953 0629 1988 03 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS., M.Phil. NIP. 1958 0511 1985 03 1 003


(6)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Biolistrik Limbah Cair Perikanan Dengan Teknologi Microbial Fuel Cell Menggunakan Jumlah Elektroda yang Berbeda sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan serta kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

2. Ibu, Ayah, kakak dan adik serta seluruh keluarga untuk dukungan baik dalam bentuk materi maupun non materi, memberikan doa dan motivasi kepada penulis.

3. Mba Dini, Kang Abe, Pak Jajang, Mba Retno, Mas Jack dan Pak Ahmad selaku laboran yang telah banyak membantu selama penelitian, terimakasih atas kerjasama dan sarannya.

4. Dwilina, Esa, Helmy, Aksar, Nicholas (THP41), Fajar Syukron, dan Bayu (THP47) yang telah membantu serta menemani selama penelitian berlangsung.

5. Rara Willis atas perhatian, semangat dan motivasi selama penelitian dan penyusunan skripsi.

6. Teman-teman ADV45: Steven, Hardi, dan Riviani yang telah banyak memberi semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi.

7. Edo, Wina, Theorema dan semua teman-teman THP 45 yang telah membantu, memberi motivasi dan semangat, terimakasih atas kebersamaannya selama kurang lebih 4 tahun.

8. Teman-teman THP 44, 46 dan 47 atas kebersaman selama di departemen THP


(7)

iv 9. Semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang

belum disebutkan satu persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkannya.

Bogor, Februari 2013


(8)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 21 Juli 1990. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ayah bernama Erwin Rosian dan Ibu bernama Alida. Pendidikan formal yang ditempuh penulis dimulai dari TK Tunas Asri I Bekasi, kemudian dilanjutkan ke SDN Harapan Baru V dan lulus pada tahun 2002. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMPN 21 Bekasi dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Mutiara 17 Agustus.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif sebagai anggota divisi Peduli Pangan Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perairan (HIMASILKAN) pada tahun 2010 dan setelah kepengurusan di HIMASILKAN berakhir, penulis menjadi kepala divisi sosial dan lingkungan Keluarga Mahasiswa Bekasi (KEMSI) dan staff Komisi 1, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM C) hingga 2011. Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Diversifikasi dan Pengolahan Produk Hasil Perairan tahun 2012, dan Teknologi Pengolahan Limbah dan Hasil Samping Hasil Perairan tahun 2012.

Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul

Biolistrik Limbah Cair Perikanan Dengan Teknologi Microbial Fuel Cell Menggunakan Jumlah Elektroda yang Berbeda” yang berada dibawah bimbingan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc dan Dra. Ella Salamah, M.Si untuk menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(9)

vi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Limbah Cair Industri Perikanan ... 4

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)……… 6

2.3 Microbial Fuel Cell Satu Bejana ... 8

3 METODE ... 11

3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Bahan dan Alat ... 11

3.3 Metode Penelitian ... 11

3.3.1 Pembuatan limbah cair buatan ... 11

3.3.2 Persiapan alat MFC ... 12

3.3.3 Pengukuran elektrisitas ... 13

3.4 Prosedur Analisis ... 13

3.4.1 Chemical oxygen demand (COD) (APHA 1975) ... 13

3.4.2 Biological oxygen demand (BOD) (APHA 1975) ... 14

3.4.3 Total nitrogen (APHA 1992) ... 14

3.4.4 Total amonia nitrogen (APHA 1975) ... 15

3.4.5 Mixed liquor suspended solids (MLSS) ... 15

3.4.6 Mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS) ... 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan ... 17

4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC ... 18

4.2.1 Total Nitrogen ... 18

4.2.2 Biological oxygen demand (BOD) ... 20

4.2.3 Chemical oxygen demand (COD) ... 21

4.2.4 Total amonia nitrogen (TAN) ... 22

4.2.5 MLSS dan MLVSS ... 24


(10)

vii

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

5.2 Saran ... 33


(11)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Prinsip kerja MFC (Sitorus 2010)... 7

2. Sistem kerja MFC satu bejana (Lovely 2006)... 9

3. Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian... 11

4. Skema sistem alat MFC ... 12

5. Total N dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC... 19

6. Nilai BOD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC... 20

7. Nilai COD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC... 21

8. Nilai TAN limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC... 23

9. MLSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ... 24

10. MLVSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ………... 25

11. Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 1 pasang ………...…... 27

12. Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 2 pasang………... 27

13. Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 3 pasang………... 27


(12)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik limbah industri perikanan ... 2. Reaksi elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks……….

5 10 3. Karakteristik limbah cair perikanan buatan………... 17


(13)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data rata-rata elektrisitas limbah cair perikanan selama 5 hari... 2. Hasil pengolahan limbah cair perikanan dengan sistem MFC…….

39 42 3. Tempat pengambilan sampel lumpur aktif di PT UNITEX... 43

4. Sistem MFC yang digunakan………...

5. Sistem MFC dengan 1 pasang elektroda……….. 6. Sistem MFC dengan 2 pasang elektroda……….. 7. Sistem MFC dengan 3 pasang elektroda……….. 8. Sistem MFC dengan 4 pasang elektroda……….. 9. Hasil sidik ragam limbah cair perikanan dalam sistem MFC……... 10. Hasil uji t pada elektroda 2 pasang dan 4 pasang……….

43 44 44 45 45 46 48


(14)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Listrik merupakan salah satu komponen yang sangat berperan banyak dalam kehidupan suatu bangsa dan bahkan bagi setiap manusia. Beberapa manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan, produksi (industri), bahkan kesehatan. Tetapi yang terjadi akhir akhir ini adalah krisis listrik, hal ini menurut Suyanto et al. (2010) terjadi karena pertumbuhan manusia yang meningkat menyebabkan permintaan energi listrik semakin besar sedangkan pasokan energi listrik semakin menipis.

Di Indonesia, listrik diperoleh dengan cara pengolahan berbagai macam sumberdaya fosil yang dimiliki. Dilakukanlah eksploitasi hasil fosil seperti minyak bumi, gas, batubara secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah cadangan bahan bakar khususnya minyak dan gas. Hal inilah yang memicu terjadinya kenaikan harga dan terjadinya krisis energi, khususnya listrik di negeri ini (Fitrinaldi 2011).

Krisis energi memicu pengembangan sumber energi alternatif (renewable) untuk mensubstitusi penggunaan minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi utama bagi masyarakat. Di antara beragam pilihan penghasil energi substituent, fuel cell atau sel bahan bakar merupakan salah satu contoh teknologi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan. Selama ini fuel cell umumnya memanfaatkan hidrogen murni sebagai sumber energi (donor elektron). Sel elektrokimia berbasis mikroba atau microbial fuel cell (MFC) merupakan sel bahan bakar yang memanfaatkan materi organik untuk digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi dalam melakukan aktivitas metabolismenya. Energi fuel cell tidak selalu harus bersumber dari hidrogen murni, melainkan juga dapat bersumber dari zat-zat lain yang mengandung hidrogen atau menghasilkan elektron. Pemanfaatan air buangan sebagai sumber energi (substrat) diharapkan biaya operasional dapat ditekan menjadi lebih murah (Sitorus 2010).

Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah industri perikanan. Limbah industri ini tidak membahayakan kesehatan masyarakat,


(15)

karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit. Akan tetapi kandungan bahan organiknya yang tinggi dapat bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Dengan pasokan makanan yang berlimpah, mikroorganisme akan berkembang biak dengan cepat dan mereduksi oksigen terlarut yang terdapat dalam air (Jenie dan Rahayu 1993). Sedangkan, menurut Suprihatin dan Romli (2009) limbah industri perikanan mengandung banyak bahan organik dalam konsentrasi tinggi karena keberadaan minyak, protein, dan nutrient. Tingginya bahan organik dalam limbah cair industri perikanan menyebabkan limbah ini menjadi sumber pertumbuhan bagi mikroba.

Suyanto et al. (2010) menyatakan, Indonesia memiliki biomassa yang melimpah dan beraneka ragam. Sebagian dari biomassa tersebut adalah biomassa bakteri yang umumnya terdapat di dalam limbah. Dalam penelitiannya disampaikan, bahwa pemanfaatan biomassa bakteri dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL) Kricak pada kisaran suhu 27-28 oC mampu menghasilkan elektrisitas sebesar 0,91 V pada bak black water, 0,63 V pada bak sedimentasi awal, 0,80 V pada bak anaerobic filter, dan 0,5 V pada bak rotating biological contractor. Hal ini mengindikasikan bahwa limbah cair memiliki potensi sebagai sumber energi alternatif lokal masa depan.

Mikroorganisme bisa mengkonversi energi kimia yang tersimpan di dalam komponen organik menjadi energi listrik selama di inkubasi dalam microbial fuel cell (MFC). Secara potensial, bakteri di dalam MFC bisa digunakan untuk memproduksi listrik selama mengonsumsi limbah (Milliken dan May 2007). Jika MFC digunakan untuk pengolahan limbah cair, maka bisa menyediakan energi yang bersih untuk manusia, selain dari perlakuan yang efektif dari limbah cair. Keuntungan dari penggunaan bahan bakar sel ini adalah bersih, aman, dan mudah dalam pengoperasiannya (Ghangrekar dan Shinde 2006).

Sistem MFC ini menghasilkan jumlah energi yang sedikit, tetapi berorientasi jangka panjang. MFC dapat di analogikan seperti sebuah baterai hidup. Baterai ini dipenuhi mikroba yang memakan gula dan menghasilkan energi (Utomo 2012). Oleh karena itu penelitian untuk mempelajari pemanfaatan limbah cair dengan menggunakan teknologi MFC menjadi penting untuk dilakukan.


(16)

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan limbah cair perikanan sebagai penghasil listrik melalui teknologi Microbial fuel cell (MFC), serta mengetahui jumlah elektroda yang optimal untuk menghasilkan energi listrik dalam sistem MFC.


(17)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Cair Industri Perikanan

Limbah industri perikanan dapat didefinisikan sebagai apa saja yang tersisa dan terbuang dari suatu kegiatan penangkapan, penanganan, dan pengolahan hasil perikanan. Limbah cair berupa cairan-cairan yang terbuang dari proses penyiangan dan pencucian ikan yang terutama mengandung darah, lemak, dan substansi-substansi lain, maupun cairan yang terbuang dari proses pencucian daging ikan lumat yang terutama mengandung darah, protein larut air (protein sarkoplasma), lemak dan substansi lain (Rieuwpassa dan Salampessy 1997).

Pada industri perikanan baik industri pengalengan, industri pembekuan (cold storage), tepung ikan, maupun rumput laut, sangat besar mengonsumsi air yang digunakan untuk pengolahan, pencucian bahan baku dan peralatan, serta operasional peralatan pengolahan. Oleh karena itu air limbah yang dikeluarkan oleh industri pengolahan sudah dipastikan besar volumenya (Ibrahim 2004).

Menurut Suprihatin dan Romli (2009), sumber utama limbah cair industri perikanan adalah air proses (pencucian, sisa pemasakan, dan pengepresan ikan) yang mengandung banyak bahan organik terlarut, padatan tersuspensi dan terlarut, nutrient, dan minyak. Limbah cair selama ini dibuang langsung ke selokan/sistem drainase tanpa pengolahan yang memadai. Limbah cair mengandung bahan organik dalam konsentrasi tinggi karena keberadaan minyak, protein, padatan tersuspensi, dan nutrient (fosfor dan nitrat).

Limbah cair ini dikeluarkan dalam jumlah yang tidak sama setiap harinya. Pada waktu tertentu dalam jumlah banyak tetapi encer terutama mengandung protein dan garam. Pada waktu yang lain dikeluarkan limbah cair dalam jumlah sedikit tetapi pekat yang mengandung protein dan lemak (Ibrahim 2005).

Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi. Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah (Ibrahim 2005). Air limbah perikanan mengandung parameter BOD, COD, TSS, minyak dan lemak. Apabila keseluruhan parameter tersebut dibuang langsung ke badan air penerima, maka akan mengakibatkan pencemaran air (Edahwati dan Suprihatin 2009).


(18)

Tabel 1 Karakteristik limbah industri perikanan Parameter Satuan Kegiatan

Pembekuan

Kegiatan Pengalengan Pembuatan Tepung Ikan

pH - 6-9

TSS mg/L 100 100 100

Sulfida mg/L - 1 1

Amonia mg/L 10 5 5

Klor bebas mg/L 1 1 -

BOD mg/L 100 75 100

COD mg/L 200 150 300

Minyak lemak mg/L 0,02 8,54 6,54 Sumber: Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2007)

Tabel 1 merupakan karakteristik limbah industri perikanan berdasarkan beberapa kegiatan pengolahan hasil perikanan seperti kegiatan pembekuan, kegiatan pengalengan, dan pembuatan tepung ikan. Baku mutu air limbah ini merupakan batasan unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang dari suatu kegiatan usaha.

Limbah cair dari aktivitas industri perikanan, seperti proses pencucian, pemasakan, dan pengepresan ikan menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah cair dari kegiatan tersebut mengandung bahan organik terlarut, padatan tersuspensi, nutrient, dan minyak. Limbah cair selama ini dibuang langsung ke selokan/sistem drainase tanpa pengolahan yang memadai, atau sekedar dilewatkan pada suatu unit pemisah minyak (oil trap) sederhana. Pada musim ikan, diperkirakan 1.300 m3/hari limbah cair dihasilkan (Romli dan Suprihatin 2009).

Menurut FAO (1996), penanganan untuk limbah cair perikanan ada beberapa perlakuan. Perlakuan pertama pada pengolahan limbah yang dilakukan secara umum adalah mengatur penghilangan partikel yang mengapung dan mengendapkan padatan. Pada tahap pertama ini yang dilakukan adalah perlakuan fisik seperti pemisahan, sedimentasi, dan pengapungan. Pemisahan bertujuan untuk menghilangkan padatan yang besar (0,7 mm atau lebih besar) pada perlakuan pertama ini. Hal ini biasa dilakukan pada produksi pengolahan makanan untuk mengurangi jumlah padatan secara cepat. Sedimentasi digunakan untuk menghilangkan padatan tersuspensi yang ada pada limbah cair. Pada limbah perikanan hal ini termasuk sisik ikan, bagian daging ikan, dan jeroan.


(19)

Pengapunganmerupakan perlakuan untuk menghilangkan tidak hanya minyak dan lemak tetapi padatan tersuspensi.

Perlakuan kedua adalah perlakuan secara biologis. Tujuan dari perlakuan secara biologis pada limbah cair ini adalah untuk menghilangkan padatan yang tidak mengendap dan bahan organik terlarut dengan menggunakan mikroba. Mikroba ini digunakan untuk mendegradasi bahan organik pada limbah. Berdasarkan caranya memanfaatkan oksigen, perlakuan ini diklasifikasikan menjadi aerobik (membutuhkan oksigen dalam melakukan metabolismenya), anaerobik (tidak membutuhkan oksigen untuk melakukan metabolismenya) dan fakultatif (mampu berkembang biak dengan ada atau tidak oksigen meskipun menggunakan proses metabolisme yang berbeda).

2.2 Microbial Fuel Cell (MFC)

Microbial fuell cell (MFC) dikenal sebagai teknologi yang dapat menghasilkan energi listrik melalui proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme melalui reaksi katalitik atau melalui mekanisme sistem bioelektrokimia dari mikroorganisme (Logan 2008). Menurut Fitrinaldi (2011), sistem MFC ini akan memanfaatkan hasil dari proses metabolisme bakteri. Bakteri akan melakukan metabolisme dengan mengurai glukosa menjadi hydrogen (H2) dan oksigen (O2). Hydrogen merupakan bahan baku yang

digunakan untuk reaksi reduksi, sehingga melepaskan elektron pada anoda sebagai sumber arus listrik. Apabila dibandingkan dengan baterai yang hanya mampu mengandung material bahan bakar yang terbatas, MFC dapat secara kontiniu diisi molasses atau glukosa untuk diuraikan oleh bakteri menjadi bahan bakar (hidrogen).

Microbial Fuell Cell merupakan rangkaian peralatan yang menggunakan bakteri sebagai katalis untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik dan anorganik dan menghasilkan arus listrik. Elektron-elektron yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri dari substrat tersebut akan ditransfer ke anoda (terminal negatif) dan mengalir ke katoda (terminal positif). Prinsip kerja MFC adalah memanfaatkan mikroba yang melakukan metabolisme terhadap media untuk mengkatalis pengubahan materi organik menjadi energi listrik dengan mentransfer elektron dari anoda melalui kabel, menghasilkan arus ke katoda. Transfer elektron


(20)

dari anoda diterima oleh ion kompleks di katoda yang memiliki elektron bebas. Dalam MFC, yang dapat digunakan sebagai donor elektron adalah zat hasil metabolisme mikroba atau elektron yang dilepaskan mikroba saat melakukan metabolismenya. Zat hasil metabolisme mikroba umumnya merupakan senyawa yang mengandung hidrogen (Sitorus 2010).

Kinerja dari MFC ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bahan elektroda, permukaan elektroda, jarak antar elektroda, membran, pH, suhu, serta tipe media yang digunakan pada bejana anoda tersebut. selain dari parameter tersebut, kinerja dari MFC bisa diatur dengan kondisi operasi yang dikenakan pada reaktor, seperti kepekatan limbah cair dan karateristiknya. Bakteri pada sistem MFC yang menggunakan biakan bakteri murni memiliki beberapa kelemahan, seperti berkembang dengan lambat, memiliki resiko tinggi untuk terkontaminasi, dan harus berada di substrat yang spesifik dibandingkan dengan biakan bakteri yang tercampur (Behera dan Ghangrekar 2009).

Menurut Aryantha dan Asarina (2010), bakteri yang terdapat dalam medium organik mengubah bahan organik menjadi energi listrik. Sifat bakteri yang dapat mendegradasi medium organik (enrichment media) pada MFC menghasilkan ion positif dan negatif (proton dan elektron). Ion-ion inilah yang menghasilkan perbedaan potensial listrik sehingga dapat dihasilkan energi. Pada sistem konvensional, MFC terdiri dari dua ruang yang terdiri dari ruang anoda dan katoda. Kedua ruang tersebut dipisahkan oleh sebuah membran tempat terjadinya pertukaran proton (proton exchange membrane).


(21)

Microbial Fuell Cell bisa didesain dengan satu atau dua bejana, secara umum MFC dengan dua bejana ini ditengahnya dihubungkan dengan membran penukar kation. Meskipun pada sistem MFC satu bejana ada yang menggunakan membran, tetapi penggunaan membran ini dinilai mahal dan mudah rusak saat penggunaannya. Oleh karena itu, MFC yang tidak menggunakan membran telah dikembangkan untuk pengolahan air limbah (Chang et al. 2006).

2.3 Microbial Fuel Cell (MFC) Satu Bejana

Microbial fuel cell merupakan alat yang menggunakan mikroorganisme untuk mengkonversi energi kimia di dalam komponen organik menjadi energi listrik. MFC ini memiliki potensi yang besar sebagai produksi bioenergi berkelanjutan karena kemampuannya untuk menghasilkan listrik dari limbah cair dan secara bersamaan mengolah limbah cair. Beberapa tipe MFC yang telah dikembangkan meliputi disain MFC dua bejana, satu bejana, upflow, datar, dan berbentuk tabung. Untuk menghasilkan energi listrik ini juga telah dicoba pada tipe limbah cair yang berbeda-beda, termasuk limbah cair domestik pada instalasi pengolahan air limbah (Suyanto et al. 2010), pengolahan makanan (Winaya et al.

2011), dan limbah dari hewan (Fitrinaldi 2011). Dari beberapa tipe MFC tersebut, MFC yang menggunakan katoda udara merupakan tipe yang paling memungkinkan untuk ditingkatkan skalanya pada pengolahan limbah cair berdasarkan tingginya energi yang dihasilkan, strukturnya yang sederhana, dan harganya relatif murah dibanding tipe MFC lainnya (Cheng dan Logan 2011).

MFC satu bejana saat ini sedang dikembangkan karena bisa memanfaatkan sebuah katoda yang berhubungan langsung dengan udara dan bisa mengurangi penambahan konsumsi energi yang besar serta biaya pembuatan yang lebih murah (Sun et al. 2009). Banyak bentuk dari disain MFC ini, meliputi bentuk H dengan dua bejana (Winaya et al. 2011), satu bejana dengan menggunakan Proton Exchange Membrane (PEM) (Chang et al. 2006), dan MFC satu bejana dengan menggunakan katoda yang berhubungan langsung dengan udara (Lovley 2006) telah dikembangkan untuk meningkatkan energi listrik yang dihasilkan. Diantara bentuk-bentuk tersebut, yang menarik perhatian adalah MFC satu bejana dengan menggunakan katoda yang berhubungan langsung dengan udara, karena jenis MFC ini menghilangkan penggunaan PEM (proton exchange membrane) yang


(22)

mahal dan menghasilkan energi listrik yang lebih besar dibandingkan model lainnya (Zhu et al 2011). Sistem kerja MFC satu bejana dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem kerja MFC satu bejana (Lovley 2006)

Winaya et al. (2011) menyatakan bahwa MFC merupakan sebuah sistem peralatan yang menggunakan bakteri untuk merubah material organik menjadi energi listrik, pada sistem ini dikondisikan lingkungan dimana bakteri anaerob dan material organik yang dikonsumsinya ditempatkan pada tempat yang sama. Di bagian anoda, bahan bakar dioksidasi oleh mikroorganisme, sebagai bagian dari proses digestive maka bakteri akan menghasilkan ion positif (H+) dan elektron (e-). Hal ini juga diketahui sebagai proses oksidasi. Elektron akan ditransfer menuju elektroda di katoda. Selanjutnya untuk mengalirkan elektron tersebut diperlukan rangkaian listrik luar dengan tahanan, serta disambungkan dengan elektrode pada sisi katodanya. Reaksi yang terjadi pada anode adalah sebagai berikut:

C6H12O6 + 6 H2O 6 CO2 + 24 H+ + 24 e

-Pada katoda kemudian akan terjadi reaksi reduksi yaitu kombinasi ion positif dan elektron dan oksigen akan membentuk air. Elektron dan ion positif berkumpul di katoda bergabung dengan oksigen yang berasal dari udara. Reaksi yang terjadi pada katoda adalah sebagai berikut:


(23)

Tabel 2 Reaksi elektroda pada MFC dan hasil potensial redoks Pasangan oksidasi/reduksi E (mV)

H+/H2 - 420

NAD+/NADH - 320

S/HS- - 270

SO42-/H2S - 220

Piruvat2-/Laktat2- - 185 2,6-AQDS/2,6-AHQDS - 184

FAD/FADH2 - 180

Manaquinon oks/red - 75 Piosianin oks/red - 34 Metilen blue oks/red + 11 Fumarat2-/Succinat2- + 31 Thionin oks/red + 64 Sitokrom b(Fe3+)/Sitokrom b(Fe2+) + 75 Fe(III) EDTA/Fe(II) EDTA + 96 Ubiquinon oks/red + 113 Sitokrom c(Fe3+)/Sitokrom c(Fe2+) + 254

O2/H2O2 + 275

Fe(III) sitrat/Fe(II) sitrat + 372 Fe(III) NTA/Fe(II) NTA + 385

NO3-/NO2- + 421

Fe(CN)63-/Fe(CN)64- + 430

NO2-/NH4+ + 440

O2/H2O + 820

Sumber: Du et al. (2007)

Ada beberapa MFC yang menggunakan membran sebagai pembatas antara anoda dan katoda. Tetapi penggunaan membran ini mahal dan bisa rusak saat digunakan. Sedangkan menurut Ghangrekar dan Shinde (2006) penggunaan membran bisa membatasi pemanfaatan MFC untuk mengolah limbah. Transfer proton melewati membran bisa menjadi faktor pembatas terutama dengan adanya pembentukan fouling pada endapan terlarut pada proses pengolahan limbah dengan skala besar. Terlebih, harga membran yang mahal dan bisa membatasi fungsi dalam mengolah limbah. MFC yang tidak memakai membran ini dikembangkan oleh Jang et al. pada tahun 2003 dan dapat meningkatkan listrik yang dihasilkan dari mikroba aktif yang mengkonversi bahan organik.


(24)

3 METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai November 2012 bertempat di laboratorium biokimia hasil perikanan, laboratorium preservasi dan diversifikasi hasil perikanan departemen teknologi hasil perairan, dan laboratorium produktivitas lingkungan, departemen budidaya perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif, limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7, H2SO4.Ag2SO4,

indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2], NaOH 45%, HCl

0,05 N, indikator mengsel, NaOH 0,05 N, Kertas saring Whatman 42, bahan uji amonia. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca akrilik,

elektroda karbon grafit, kabel, multimeter digital, botol erlenmeyer, buret, pipet, botol DO, DO meter, aerator, spektrofotometer SP-300, oven, tanur, cawan porselen, dan desikator.

3.3 Metode Penelitian

Gambar 3. Diagram alir tahapan pelaksanaan penelitian

3.3.1 Pembuatan limbah cair buatan

Limbah cair buatan dibuat menggunakan limbah padat pengolahan ikan (isi perut, kulit, dan insang). Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan karakteristik limbah cair yang digunakan untuk percobaan. Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Fauzie et al. (2003) diacu dalam Ibrahim (2009) yakni

Pembuatan limbah cair buatan

Persiapan alat MFC


(25)

limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dari proses pengolahan fillet ikan dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya dari padatan dan ampas ikan. Setelah air rebusan yang disaring menjadi dingin, siap digunakan untuk percobaan. Kemudian dilakukan analisis karakteristik limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan total amonia nitrogen.

3.3.2 Persiapan alat MFC

Bejana yang digunakan terbuat dari bahan akrilik dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume limbah cair yang digunakan adalah 700 ml. Elektroda yang digunakan adalah karbon grafit berukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada penelitian Lovley (2006). Desain MFC satu bejana tanpa membran dapat dilihat pada Gambar 4. Lumpur aktif dimasukkan ke dalam MFC yang berisi limbah cair dengan perbandingan antara lumpur aktif dan limbah cair sebesar 1:10. Lumpur aktif pada penelitian ini diperoleh dari unit pengolahan limbah PT UNITEX. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian katoda dan anoda sebanyak satu pasang, dua pasang, tiga pasang, dan empat pasang dalam satu bejana dengan 3 kali ulangan.

Sumber listrik

anoda dinamo

pengaduk

katoda


(26)

3.3.5 Pengukuran elektrisitas

Masing-masing elektroda grafit di kedua bejana dihubungkan dengan kabel lalu bejana ditutup rapat. Kedua kabel dihubungkan oleh multimeter. Multimeter diatur untuk pengukuran tegangan listrik pada skala terkecil terlebih dahulu kemudian nilai tegangan yang tertera pada layar multimeter diamati pada selang waktu tertentu (Suyanto et al. 2010). Selama 5 hari pengamatan juga diukur kualitas limbah cair yang terdiri dari pengukuran nilai MLSS, MLVSS, BOD, COD, TKN, dan amoniak pada hari ke 0 (awal), 3 (tengah), dan 5 (akhir). Setiap analisis dilakukan 3 kali ulangan.

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis COD (chemical oxygen demand), BOD (biological oxygen demand), total nitrogen, amonia, MLSS (mixed liquor suspended solids), dan MLVSS (mixed liquor volatile suspended solids).

3.4.1 Chemical oxygen demand (COD) (APHA 1975)

Prosedur penentuan parameter COD adalah sebanyak 10 ml sampel di ambil dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Setelah itu ditambahkan K2Cr2O7

0,25 N sebanyak 5 ml. Kemudian ditambahkan H2SO4 sebanyak 7,5 ml, setelah

itu dititrasi dengan ferrous ammonium Sulfate [Fe(NH4)2(SO4)2] 0,2 N. dibuat

juga larutan blanko dengan prosedur yang sama. Titrasi dilakukan sampai terjadi perubahan warna dari hijau terang menjadi kemerahan tajam. Selain itu dilakukan juga titrasi terhadap blanko. Teknik ini memiliki keuntungan yaitu pada sampel tidak kehilangan bahan yang volatile secara signifikan. Penentuan COD dilakukan dengan menggunakan rumus:

Keterangan: B= Volume titrasi balnko (ml) S= Volume tittasi sampel (ml) N= Normalitas Fe(NH4)2(SO4)2


(27)

3.4.2 Biological oxygen demand (BOD) (APHA 1975)

Sampel diambil sebanyak 20 ml kemudian diencerkan dalam erlenmeyer

menggunakan akuades dengan faktor pengenceran 10 sampai 200ml. Setelah itu sampel tersebut diaerasi selama 10 menit. Setelah 10 menit, pisahkan sampel pada dua botol BOD, satu untuk inkubasi dan botol lainnya untuk mengukur DO pada larutan sampel. Pada botol sampel yang diinkubasi menggunakan botol khusus BOD dan pada saat diinkubasi tidak boleh ada gelembung udara dalam botol BOD tersebut. Sampel kemudian diinkubasi selama lima hari di tempat gelap pada suhu 20 C. Setelah lima hari nilai DO ditentukan lagi untuk sampel. Nilai DO dihitung untuk sampel dan pada kontrol. Nilai BOD dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: D1= Nilai DO sampel sebelum inkubasi

D2= Nilai DO sampel setelah inkubasi

P= Volume pengenceran

3.4.3 Total nitrogen (APHA 1975)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis total nitrogen dengan metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel dipipet sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjehldahl, lalu ditambahkan setengah butir kjeltab dan 10 ml H2SO4 pekat ditambahan secara

perlahan kedalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410ºC selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening kemudian didinginkan. Selanjutnya sampel dari tabung kjeldahl dipindahkan ke labu takar 100 ml untuk dilakukan pengenceran dengan akuades. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator

bromcherosol green dan methyl red. Hasil destilasi titirasi dengan HCl sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Perhitungan total nitrogen dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:


(28)

Keterangan: A= Volume titrasi blanko (ml) B= Volume titrasi contoh (ml) C= ml contoh

3.4.4 Total amonia nitrogen (TAN) (APHA 1975)

Sampel yang akan dianalisis diambil sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tambahkan MnSO4 sebanyak 1 tetes ke dalam tabung reaksi

tersebut. Kemudian dilakukan penambahan asam hypochlorous sebanyak 0,5 ml dan reagen phenate sebanyak 0,6 ml. Sampel yang telah ditambahkan reagent

kemudian diaduk. Perubahan warna pada larutan sampel akan terjadi karena adanya penambahan reagen tersebut, dan perubahan warna ini akan stabil pada larutan sampel setelah 10 menit. Larutan blanko dan larutan standar dibuat selama pengukuran ini. Nilai absorban pada larutan blanko kemudian diukur menggunakan alat spectrophotometer. Panjang gelombang spectrophotometer

diatur pada 630 nm dan nilai total amonia nitrogen sampel akan keluar pada

display alat tersebut.

3.4.5 Mixed liquor suspended solids (MLSS)

Mixed Liquor Suspended Solids (MLSS) merupakan jumlah total Suspended Solid (TSS) yang berasal dari bak pengendap lumpur. TSS merupakan jumlah berat kering dalam mg/l lumpur yang ada dalam air limbah setelah mengalami penyaringan (Sugiharto 1987).

Kertas saring Whatman 42 dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 100 – 105C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kemudian diambil sampel sebanyak 50 ml dengan diaduk terlebih dahulu dan disaring. Setelah itu kertas saring dikeringkan dalam oven pada suhu 100 – 105ºC selama 2 jam. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Konsentrasi MLSS dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus:


(29)

6

Keterangan: A= Berat akhir kertas saring (gr) B= Berat awal kertas saring (gr) V= Volume sampel (ml)

3.4.6 Mixed liquor volatile suspended solids (MLVSS)

Mixed Liquor Volatile Suspended Solids (MLVSS) merupakan MLSS yang telah dipanaskan pada suhu 600C sehingga benda volatilnya menguap (Sugiharto 1987). Prosedur penentuan parameter MLVSS adalah cawan porselin yang akan digunakan dikeringkan dalam tanur selama 10 menit pada suhu 550C dan selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kertas saring dari uji MLSS dimasukkan dalam cawan porselin dan dipanaskan dalam tanur pada suhu 550C selama 2 jam. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Bila perlu lakukan pengulangan proses pengeringan untuk mendapatkan berat yang konstan. Konsentrasi MLVSS dapat dihitung dengan rumus:

6

Keterangan: C= Berat awal cawan (gr) D= Berat akhir cawan (gr) V= Volume sampel (ml)

(A-B) V

(A-B) V


(30)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Limbah Cair Perikanan

Karakteristik limbah cair merupakan hal yang penting untuk diketahui pada tahap awal proses pengolahan limbah cair. Limbah cair yang digunakan pada penelitian ini merupakan limbah cair buatan. Pembuatan limbah cair buatan ini berdasarkan penelitian Ibrahim et al. (2009), yaitu limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dari proses pengolahan fillet ikan dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Penggunaan limbah cair buatan sebagai pengganti limbah cair dari industri perikanan ini agar lebih stabil selama penelitian. Karakteristik limbah cair buatan yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3 Karakteristik limbah cair perikanan buatan

Parameter Satuan Limbah cair buatan

Limbah cair industri perikanan*

Total N mg/l 802,8 111

BOD5 mg/l 428 184

COD mg/l 1205,33 571

Amonia mg/l 3,5 1,5

*Sumber: Ibrahim (2007)

Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa limbah cair buatan memiliki nilai total N, BOD5, COD, dan amonia yang lebih tinggi dibandingkan limbah cair

industri perikanan. Hal tersebut menunjukkan, limbah cair buatan dalam penelitian ini telah mendekati kriteria limbah cair industri perikanan sebenarnya (khususnya industri pengalengan tuna dan sardin) (Ibrahim 2007).

Tingginya total N dalam limbah cair dapat berbahaya bagi organisme di dalam air pada perairan umum karena dapat menyebabkan gas buble diseases

pada ikan, yaitu penyakit yang disebabkan oleh gelembung gas dalam saluran darah (Firdus dan Muchlisin 2010). Nilai BOD5 dan COD merupakan ukuran

adanya pencemaran air dan dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen terlarut (Dwijani et al. 2010). Semakin tinggi BOD5 dan COD dalam suatu

perairan maka perairan tersebut akan semakin tercemar. Sedangkan tingginya parameter amonia pada air limbah disebabkan karena senyawa ammonia


(31)

merupakan produk utama dari penguraian (pembusukan) limbah nutrient organik (Poppo et al. 2008).

Sesuai dengan batasan dari air limbah yang merupakan benda sisa, maka air limbah tersebut merupakan benda yang sudah tidak digunakan lagi. Akan tetapi, tidak berarti bahwa air limbah tersebut tidak perlu dilakukan pengelolaan, karena apabila limbah ini tidak dikelola secara baik maka akan menimbulkan gangguan, baik terhadap lingkungan maupun terhadap kehidupan yang ada (Sugiharto 1987).

4.2 Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam Sistem MFC

Microbial Fuel Cell (MFC) merupakan sebuah sel bahan bakar yang dikonversi dari energi kimia ke energi listrik. Dalam MFC ini, yang menjadi sumber bahan bakar secara umum adalah bahan organik yang diuraikan oleh mikroba (Lovley 2006). Microbial Fuell Cell bisa didesain dengan satu atau dua bejana, secara umum MFC dengan dua bejana ini ditengahnya dihubungkan dengan membran penukar kation. Meskipun pada MFC satu bejana ada yang menggunakan membran, tetapi penggunaan membran ini mahal dan bisa rusak saat penggunaannya. Oleh karena itu, MFC yang tidak menggunakan membran telah dikembangkan untuk pengolahan air limbah (Chang et al. 2006).

Sistem MFC dalam penelitian ini menggunakan MFC satu bejana dan ditambahkan lumpur aktif yang digunakan untuk mengolah limbah cair perikanan. Menurut Sugiharto (1987), penambahan bakteri diperlukan untuk menguraikan bahan organik yang ada di dalam air limbah. Oleh karena itu, diperlukan jumlah bakteri yang cukup untuk menguraikan bahan-bahan tersebut. Bakteri itu sendiri akan berkembang biak apabila jumlah makanan yang terkandung didalamnya cukup tersedia, sehingga pertumbuhan bakteri dapat dipertahankan secara konstan. Setelah jumlah makanan habis dipergunakan, maka jumlah kematian akan lebih besar daripada jumlah pertumbuhannya.

4.2.1 Total Nitrogen

Gambar 5 dibawah ini menunjukkan jumlah total nitrogen dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC. Pada gambar tersebut terlihat bahwa jumlah total nitrogen mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-6 pada


(32)

semua perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap total nitrogen limbah cair perikanan.

Gambar 5 Total N dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ( :elektroda 1 pasang, :elektroda 2 pasang, :elektroda 3 pasang,

:elektroda 4 pasang)

Penurunan jumlah total nitrogen ini terjadi karena adanya proses nitrifikasi. Pada proses ini adanya konversi amonia menjadi nitrit oleh bakteri

Nitrosomonas, kemudian nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter.

Penurunan jumlah total nitrogen pada pengolahan limbah cair ini bukan masa nitrogennya yang menurun, tetapi yang terjadi adalah bentuk senyawa nitrogen ini yang berubah menjadi gas nitrogen.

Pernyataan ini didukung oleh Ibrahim (2007), pada proses nitrifikasi ini terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan air, sehingga terjadi penurunan kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi (COD). Hal ini pada kenyataannya tidak menurunkan jumlah masa nitrogennya, melainkan yang terjadi adalah perubahan bentuk senyawa nitrogen tersebut. Salah satu cara untuk meminimalkan ketersediaan nitrogen adalah membebaskannya ke atmosfir sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis. Denitrifikasi merupakan proses senyawa organik diurai dengan hasil akhir berupa gas nitrogen.


(33)

Denitrifikasi dapat terjadi karena aktivitas berbagai jenis mikroorganisme yang pada umumnya juga banyak terdapat pada sistem pengolahan limbah cair.

4.2.2 Biological oxygen demand (BOD)

Biological oxygen demand (BOD) merupakan jumlah milligram oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik karbon dalam 1 L air selama 5 hari pada suhu 20oC ± 1oC (BSN 2009). Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Poppo et al. 2008). Gambar 6 menunjukkan hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC.

Gambar 6 Nilai BOD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ( :elektroda 1 pasang, :elektroda 2 pasang, :elektroda 3 pasang,

:elektroda 4 pasang)

Pada pengukuran BOD hari ke-0 sampai hari ke-6 terjadi penurunan nilai pada semua perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan BOD selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap BOD limbah cair perikanan. Hal ini terjadi karena adanya aktifitas mikroorganisme yang menggunakan oksigen untuk mengoksidasi senyawa organik.

Menurut Sugiharto (1987), oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme ini berasal dari oksigen yang terlarut dalam air. Sehingga apabila pemberian


(34)

oksigen tidak seimbang dengan kebutuhan oksigen tersebut maka oksigen terlarut akan turun mencapai titik nol, dengan demikian kehidupan dalam air akan mati. Semakin besar angka BOD ini menunjukkan semakin besar pula beban limbahnya. Untuk mengukur BOD digunakan waktu selama 5 hari mengingat bahwa dengan waktu tersebut sebanyak 60-70% kebutuhan terbaik karbon dapat tercapai.

Penurunan BOD ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suyanto et al. (2010) yang menyebutkan bahwa pada sistem MFC tersebut terdapat aktifitas bakteri yang menyebabkan penurunan BOD dari hari ke-0 sampai hari ke-5. Analisis BOD merupakan analisis yang mencoba mendekati secara umum proses-proses mikrobiologis yang terjadi di dalam air. Perubahan nilai BOD ini menandakan bahwa terjadi kecepatan oksidasi senyawa organik oleh mikroba. Aktifitas perombakan senyawa organik melalui proses oksidasi dapat berlangsung dalam suasana aerob dan anaerob.

4.2.3 Chemical oxygen demand (COD)

Chemical oxygen demand (COD) dapat didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan proses kimia di perairan (Firdus dan Muchlisin 2010). Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Nilai COD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ( :elektroda 1 pasang, :elektroda 2 pasang, :elektroda 3 pasang,


(35)

Nilai rata-rata COD pada semua perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-0 sampai hari ke-6. Penurunan nilai COD pada penelitian ini disebabkan oleh adanya aktifitas mikroorganisme yang menghilangkan zat organik dalam limbah cair tersebut. Mikroorganisme mengkonsumsi bahan-bahan organik membuat biomassa sel baru dan memanfaatkan energi yang dihasilkan untuk metabolismenya. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan COD selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap COD limbah cair perikanan.

Pernyataan ini didukung oleh Edahwati dan Suprihatin (2009), yang menyebutkan bahwa senyawa organik yang terkandung dalam air buangan berguna sebagai makanan dan pertumbuhan sel baru. Reaksi yang terjadi adalah:

Senyawa Organik + Mikroorganisme CO2 + H2O + NH3 + Sel-sel baru

Proses lumpur aktif merupakan proses pengolahan air limbah secara biologis yang melibatkan reaksi-reaksi metabolik mikroba. Untuk mencapai kualitas yang baik, zat organik yang ada dihilangkan dengan menggunakan mikroorganisme yang ada dalam lumpur aktif.

Makin tinggi nilai COD menunjukkan bahwa limbah tersebut banyak mengandung bahan-bahan organik dan anorganik (Ibrahim et al. 2009). Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, maka semakin sedikit kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Poppo et al. 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Ghangrekar dan Shinde (2006) menyebutkan bahwa MFC yang digunakan dalam mengolah limbah bisa mengurangi COD dan BOD sekitar 90%. Pada penelitian ini COD mampu berkurang sebesar 37,4% karena keadaan sistem MFC ini belum anaerob sehingga bakteri kurang maksimal dalam menurunkan beban limbah yang ada.

4.2.4 Total amonia nitrogen (TAN)

Dalam lingkungan akuatik, organisme pengurai akan menguraikan senyawa-senyawa organik berprotein menghasilkan amonia. Proses degradasi senyawa organik berikatan N sehingga terjadi pembebasan amonia disebut amonifikasi. Degradasi senyara organik kompleks bernitrogen seperti protein,


(36)

menghasilkan senyawa karbon organik sebagai penyedia energi dan berfungsi sebagai substrat untuk sintesis (Ibrahim 2007). Hasil pengukuran TAN limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Nilai TAN limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ( :elektroda 1 pasang, :elektroda 2 pasang, :elektroda 3 pasang,

:elektroda 4 pasang)

Pada Gambar 8dapat dilihat bahwa nilai TAN mengalami penurunan pada hari ke-0 sampai hari ke-6. Kandungan amonia yang turun setiap harinya ini karena adanya aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan nitrogen organik. Nilai TAN merupakan kandungan amonia yang berikatan dengan nitrogen di dalam air. Sehingga apabila mikroorganisme menguraikan bahan-bahan organik yang mengandung nitrogen, maka kandungan amonia yang berikatan dengan nitrogen pun akan berkurang seiring berkurangnya kandungan nitrogen di dalam air tersebut. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan TAN selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai TAN limbah cair perikanan.

Hal ini didukung oleh Dwijani et al. (2010), yang menyatakan bahwa penurunan kadar amonia dalam pengolahan air limbah tersebut disebabkan adanya proses penguraian bahan-bahan organik terutama yang mengandung nitrogen oleh mikroorganisme. Selain itu, penurunan kadar amonia juga disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme nitrifikasi yang dapat menguraikan amonia dalam limbah menjadi nitrit atau nitrat melalui suatu reaksi nitrifikasi.


(37)

Hasil penelitian Firdus dan Muchlisin (2010) juga menyebutkan dalam pengolahan air limbah yang dilakukannya terjadi penurunan kandungan amonia seiring dengan waktu. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya bahan organik (protein) yang terkandung dalam larutan. Penurunan kandungan amonia pada penelitian tersebut mengalami penurunan secara stabil sampai hari ke-5.

4.2.5 MLSS dan MLVSS

Nilai MLSS dan MLVSS adalah singkatan dari Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS). MLSS merupakan jumlah total Suspended Solid (TSS) yang berasal dari bak pengendap lumpur, sedangkan MLVSS merupakan MLSS yang diuapkan pada suhu 600 oC. Sugiharto (1987) menjelaskan bahwa endapan dari zat-zat padat yang contohnya diambil dari reaktor aktif air limbah disebut MLSS. Hasil endapan ini bila dipanaskan pada suhu 600 oC, maka sebagian bahan akan menguap dan sebagian lagi akan berupa bahan sisa yang sangat kering. Adapun bahan yang teruapkan dikenal sebagai volatile, sedangkan benda yang tersisa akibat penguapan disebut

fixed. Jika MLSS diuapkan pada suhu 600 oC, hasil dari penguapannya disebut sebagai MLVSS. Pada Gambar 9 dan 10 dibawah ini dapat dilihat hasil nilai MLSS dan MLVSS pada sistem MFC selama pengolahan limbah cair.

Gambar 9 MLSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

( :elektroda 1 pasang, :elektroda 2 pasang, :elektroda 3 pasang, :elektroda 4 pasang)

Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa nilai MLSS mengalami kenaikan dari hari ke-0 sampai hari ke-6. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan


(38)

nilai MLSS selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan nilai MLSS dalam limbah cair perikanan.

Gambar 10 MLVSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC ( :elektroda 1 pasang, :elektroda 2 pasang, :elektroda 3 pasang,

:elektroda 4 pasang)

Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai MLVSS mengalami kenaikan dari hari ke-0 sampai hari ke-6. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kenaikan nilai MLVSS selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap nilai MLVSS dalam limbah cair. Terjadinya kenaikan nilai MLSS dan MLVSS ini dikarenakan adanya pertumbuhan mikroorganisme di dalam sistem MFC tersebut. Pada proses pengolahan limbah cair menggunakan lumpur aktif akan mengurangi senyawa organik dan bertambahnya mikroorganisme di dalam pengolahan limbah cair tersebut. Sehingga mikroorganisme dalam sistem MFC akan bertambah ditandai dengan bertambahnya nilai MLSS dan MLVSS pada pengolahan limbah cair menggunakan lumpur aktif.

Biomassa yang dinyatakan dalam MLVSS adalah mikroorganisme yang memanfaatkan senyawa-senyawa organik bagi pertumbuhan. Mikroorganisme yang menjadi perhatian utama adalah mikroorganisme nitrifikasi dan denitrifikasi. Untuk kebutuhan pertumbuhan, mikroorganisme memerlukan substrat sebagai penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel-sel baru dalam


(39)

pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Sebagai penyedia nutrisi, substrat merupakan sumber karbon dan senyawa-senyawa bernitrogen seperti TKN, amonia, dan nitrat merupakan sumber nitrogen (Ibrahim 2007). Mulyani (2012), menyatakan bahwa adanya peningkatan kadar MLSS dan penurunan kadar COD mengindikasikan laju pertumbuhan mikroorganisme berjalan dengan baik karena adanya kontak antara mikroorganisme dalam lumpur dengan substrat yang ada.

Berdasarkan hasil penelitian ini, beban limbah yang dihasilkan pada pengukuran hari terakhir belum mencapai baku mutu yang ditetapkan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2007). Hal ini karena nilai COD, BOD, dan total nitrogen masih berada di atas baku mutu yang ditetapkan, sehingga limbah cair ini belum diperbolehkan untuk dibuang ke perairan umum.

Asal pengambilan lumpur aktif ini juga kemungkinan berpengaruh pada penurunan beban limbah cair. Lumpur aktif pada penelitian ini berasal dari unit pengolahan limbah PT UNITEX yang memiliki kandungan bahan anorganik tinggi karena limbah yang diolah adalah limbah tekstil. Sehingga bakteri yang ada pada lumpur aktif tersebut belum sesuai untuk mengolah limbah cair perikanan yang memiliki kandungan organik yang tinggi.

4.3 Elektrisitas Dalam Sistem MFC

Pada penelitian ini, elektrisitas dalam sistem MFC diukur setiap jam selama 5 hari dalam satuan Volt. Menurut Suyanto et al. (2010), pengukuran setiap jam pada sistem ini karena tiap reaksi metabolisme di dalam sistem MFC sangat cepat sekali sehingga memberikan pengaruh pada besar kecilnya elektrisitas yang dihasilkan. Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14 dibawah ini menunjukkan hasil pengukuran elektrisitas limbah cair perikanan.


(40)

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400 0,450 0,500

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95

1 0 0 1 0 5 1 1 0 1 1 5 1 2 0 Nila i r a ta -ra ta elek trisi ta s (V) Jam 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400 0,450 0,500

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95

1 0 0 1 0 5 1 1 0 1 1 5 1 2 0 Nila i r a ta -ra ta elek trisi ta s (V) Jam 0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400 0,450 0,500 0 5

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120

Nila i r a ta -ra ta elek trisi ta s (V) Jam

Gambar 11 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 1 pasang

Gambar 12 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 2 pasang

Gambar 13 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 3 pasang Rata-rata 0.204 V Rata-rata 0.213 V Rata-rata 0.200 V


(41)

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350 0,400 0,450 0,500 0 5

10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100

1 0 5 1 1 0 1 1 5 1 2 0 Nila i r a ta -ra ta elek trisi ta s (V) Jam

Gambar 14 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 4 pasang

Pada semua perlakuan baik elektroda 1 pasang, elektroda 2 pasang, elektroda 3 pasang, dan elektroda 4 pasang menunjukkan semakin banyak katoda dan anoda dalam perlakuan sistem MFC maka semakin besar listrik yang dihasilkan. Elektrisitas yang dihasilkan memiliki nilai yang berfluktuasi pada semua perlakuan Pada jam ke-0 rata-rata nilai elektrisitas sebesar 0,124 V pada elektroda 1 pasang, 0,116 V pada elektroda 2 pasang, 0,127 V pada elektroda 3 pasang, dan 0,137 pada elektroda 4 pasang.

Gambar 11 menunjukkan nilai elektrisitas perlakuan elektroda 1 pasang. Elektrisitas dengan nilai paling kecil pada elektroda 1 pasang adalah 0,086 V saat pengukuran jam ke-102. Kemudian besarnya elektrisitas ini naik pada jam ke-103 menjadi 0,093 V sampai akhir pengukuran pada jam ke-120 menghasilkan listrik sebesar 0,097. Rata-rata listrik yang dihasilkan pada elektroda 1 pasang adalah 0,204 V.

Gambar 12 menunjukkan nilai elektrisitas perlakuan elektroda 2 pasang. Nilai elektrisitas pada Gambar 12 yang paling besar adalah sebesar 0,41 V saat pengukuran jam ke-10 kemudian menurun sampai 0,131 V pada jam ke-12. Pada elektroda 2 pasang ini nilai elektrisitas yang paling kecil adalah 0,114 V pada pengukuran jam ke-5. Rata-rata listrik yang dihasilkan pada elektroda 2 pasang adalah 0,213 V.

Rata-rata 0.212 V


(42)

Gambar 13 menunjukkan nilai elektrisitas perlakuan elektroda 3 pasang. Listrik pada elektroda 3 pasang yang paling besar adalah 0,335 V pada jam ke-98. Sedangkan elektrisitas paling kecil pada elektroda 3 pasang ini adalah 0,113 V pada pengukuran jam ke-35 dan jam ke-36. Rata-rata listrik yang dihasilkan pada elektroda 3 pasang adalah 0,200 V.

Gambar 14 menunjukkan nilai elektrisitas perlakuan elektroda 4 pasang. Pada perlakuan elektroda 4 pasang nilai paling tinggi yang dihasilkan adalah sebesar 0,455 V pada jam ke-98. Elektrisitas ini merupakan nilai yang paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. Besarnya elektristitas pada elektroda 4 pasang ini sampai jam terakhir pengukuran, yaitu pada jam ke-120 sebesar 0,35 V. Sedangkan elektrisitas yang dihasilkan pada perlakuan elektroda 4 pasang ini paling kecil adalah 0,105 V pada pengukuran jam ke-74. Rata-rata listrik yang dihasilkan pada elektroda 4 pasang adalah 0,212 V.

Berdasarkan rata-rata listrik yang dihasilkan pada semua perlakuan maka MFC dengan perlakuan elektroda 2 pasang merupakan perlakuan yang menghasilkan rata-rata listrik paling besar diantara perlakuan lainnya. Pada perlakuan elektroda 2 pasang juga menghasilkan listrik yang berada di atas nilai rata-rata lebih banyak dibanding nilai yang di bawah rata-rata pada tiap jam pengukuran. Berdasarkan hasil uji t, diketahui bahwa tidak ada perbedaan nilai listrik antara elektroda 2 pasang dengan elektroda 4 pasang (p>0,05). Hal ini yang menjadikan bahwa perlakuan pada elektroda 2 pasang ini lebih optimal dibanding perlakuan lainnya.

Pada jam ke-98 perlakuan dengan elektroda 4 pasang menghasilkan listrik yang paling besar, yaitu sebesar 0,445 V dan jam yang sama pada perlakuan elektroda 3 pasang menghasilkan listrik sebesar 0,335 V. Elektroda 2 pasang menghasilkan listrik paling besar adalah 0,41 V pada jam ke-10 , dan elektroda 1 pasang menghasilkan listrik paling besar pada jam ke-9, yaitu sebesar 0,389 V. Besarnya pengukuran listrik pada jam ke-10 pada elektroda 2 pasang ini menandakan bahwa perlakuan ini mampu menghasilkan listrik lebih cepat dibandingkan dengan elektroda 4 pasang yang memerlukan waktu lebih lama untuk menghasilkan listrik yang besar.


(43)

Besarnya listrik yang dihasilkan dalam sistem MFC ini karena semakin besar dan luas elektroda yang digunakan maka semakin besar juga listrik yang dihasilkan. Jika elektroda yang digunakan kecil maka listrik yang dihasilkan akan semakin kecil. Luasan permukaan elektroda pada sistem MFC ini menyediakan luasan yang lebih besar untuk tempat kontak bakteri mentransfer elektron ke elektroda dan memberikan efek ke energi listrik yang dihasilkan. Sebagai sebuah peralatan sistem yang menggunakan bakteri untuk merubah material organik menjadi energi listrik, pada sistem ini dikondisikan lingkungan dimana bakteri anaerob dan material organik yang dikonsumsinya ditempatkan pada tempat yang sama (Winaya et al. 2011). Terlihat listrik yang dihasilkan pada elektroda 1 pasang, elektroda 2 pasang, elektroda 3 pasang, dan elektroda 4 pasang berbeda-beda. Sedangkan pada elektroda 4 pasang merupakan perlakuan yang paling besar menghasilkan listrik.

Terjadinya fluktuasi pada listrik yang dihasilkan di masing-masing perlakuan ini karena adanya aktivitas metabolisme yang dilakukan oleh bakteri. Selama aktivitas katabolisme ini senyawa kompleks dipecah menjadi senyawa sederhana dan selisih dari total energi yang dihasilkan dan digunakan dapat menurun atau meningkat. Peningkatan atau penurunan listrik yang dihasilkan ini berhubungan dengan jumlah elektron bebas yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Selain itu, fluktuasi listrik yang dihasilkan ini dapat pula disebabkan oleh interaksi dan persaingan antara bakteri di dalam substrat pertumbuhan. Penurunan yang terjadi pada akhir pengukuran elektrisitas pada MFC disebabkan karena seiring bertambahnya hari maka nutrien yang di dalam substrat telah digunakan untuk aktivitas metabolisme bakteri sehingga nutrien tersebut berkurang. Air limbah juga merupakan habitat dari bakteri elektricigens (bakteri yang mampu menghasilkan elektrisitas) (Suyanto et al. 2010).

Menurut Sitorus (2010), energi listrik yang dihasilkan oleh mikroba dalam sampel air buangan tanpa perlakuan khusus mungkin tidak cukup besar untuk dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan perolehan energi listrik dilakukan penambahan lumpur aktif. Hal ini dilakukan juga agar dapat menurunkan kadar pencemar pada limbah cair perikanan yang digunakan.


(44)

Pada semua sistem lumpur aktif, pengadukan memegang peranan yang penting dalam menjaga keseragaman dan kestabilan kelarutan bahan organik, oksigen, dan mencegah pengendapan lumpur aktif. Tujuan dari pengolahan limbah cair secara biologis ini adalah untuk menurunkan komponen terlarut, khususnya senyawa organik sampai batas yang aman terhadap lingkungan dengan memanfaatkan mikroba. Dalam rangka menyisihkan bahan organik yang terlarut, mikroorganisme yang ada akan menggunakan bahan organik sebagai nutrien bagi pertumbuhannya menjadi sel-sel baru dan karbondioksida. Secara konvensional pengolahan limbah cair mencapai sukses menurunkan BOD dan COD, meskipun penyisihan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) masih terus dicarikan model dan cara yang efisien (Ibrahim 2005). Adanya peningkatan biomassa yang tumbuh dalam sistem MFC ini dapat dilihat pada meningkatnya nilai MLSS dan MLVSS selama pengolahan limbah cair.

Kemampuan MFC dalam menghasilkan listrik bergantung pada reaksi elektrokimia yang terjadi antara susbtrat organik berpotensial rendah seperti glukosa dan penerima elektron akhir yang berpotensial tinggi, seperti oksigen. Besarnya voltase pada sel mikroba tidak pasti karena elektron yang ditransfer ke anoda dari substrat organik melalui rantai pernapasan yang kompleks bervariasi dari mikroba ke mikroba bahkan pada mikroba yang sama tetapi kondisi yang berbeda. Degradasi senyawa organik menghasilkan potensial redoks yang dimanfaatkan oleh bakteri untuk memenuhi kebutuhan energinya. Potensial redoks yang dihasilkan ini berbeda setiap reaksinya.

Penurunan jumlah nitrogen pada sistem MFC ini terjadi karena adanya proses nitrifikasi. Adanya konversi amonia menjadi nitrit, kemudian nitrit menjadi nitrat memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik. Langkah-langkah dalam penurunan bilangan oksidasi nitrat adalah sebagai berikut:

NO3- NO2- NO  N2O  N2

Perubahan ini memanfaatkan potensial redoks positif, yaitu nitrat E (NO3-/NO2-)

= +0,43 V, nitrit E (NO2-/NO) = +0,35 V, nitric oxide E (NO/N2O) = +1,175 V,

nitrous oxide E (N2O/N2) = +1,355 V, untuk memenuhi kebutuhan energi


(45)

dalam Ibrahim 2007). Proses nitrifikasi inilah yang membuat sistem MFC mampu menghasilkan listrik sebesar 0,41 V di elektroda 2 pasang pada jam pengukuran ke-10 dan elektroda 4 pasang mampu menghasilkan listrik sebesar 0,455 V pada jam pengukuran ke-98.

Listrik yang dihasilkan pada sistem MFC berdasarkan Tabel 2 melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi (redoks). Hal ini berhubungan dengan menurunnya nilai COD dan BOD pada limbah cair perikanan dalam sistem MFC. Jika dilihat dari besarnya energi potensial, maka besar energi potensial yang dibutuhkan untuk merubah O2/H2O melalui mekanisme respirasi bakteri adalah 820 mV.

Sedangkan, bakteri akan melakukan metabolisme dengan menguraikan glukosa menjadi hidrogen (H2) dan oksigen (O2), sehingga bakteri tersebut akan

menghasilkan energi sebesar 420 mV. Perbedaan potensial inilah yang akan menghasilkan listrik.

Hasil penelitian terhadap beberapa jenis bakteri menunjukkan bahwa spesies bakteri tertentu mampu menghasilkan listrik dalam sistem MFC diantaranya, Escherichia coli yang berasal dari feses kambing mampu menghasilkan listrik dalam sistem MFC sebesar 0,512 V (Fitrinaldi 2011). Selain itu, Shewanella oneidensis, Geobacter sulfurreducens, Aeromonas hydrophila, Rhodoferax ferrireducens, dan Clostridium butyricum (Chang et al. 2006),

Geobacter metallireducens, geobacter sulfurreducens (Miliken dan May 2007) juga mampu menghasilkan listrik .


(46)

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Limbah cair perikanan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik melalui teknologi microbial fuell cell (MFC). Sistem MFC ini dapat menurunkan rata-rata total N dalam limbah cair perikanan sebesar 16,98%, BOD sebesar 32,05%, COD sebesar 37,4%, dan nilai TAN sebesar 71,74% dari hari pertama sampai hari terakhir pengukuran. Sedangkan terjadi peningkatan nilai MLSS dengan nilai rata-rata pengukuran sebesar 2966 mg/l dan nilai MLVSS sebesar 2683,25 mg/l pada hari terakhir pengukuran. Perlakuan elektroda 2 pasang merupakan perlakuan yang optimal dalam menghasilkan energi listrik dengan rata-rata listrik yang dihasilkan sebesar 0,213 V.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah :

 Variasi pemberian konsentrasi lumpur aktif untuk mempercepat penurunan nilai beban limbah cair.

 Sebaiknya menggunakan lumpur aktif yang berasal dari pengolahan limbah industri perikanan.

 Penggunaan jenis elektroda yang berbeda untuk meningkatkan listrik yang dihasilkan pada sistem MFC.

 Membuat MFC yang menggunakan substrat limbah cair industri perikanan sebenarnya sebagai kontrol dalam penelitian.

 Rangkaian eksternal sistem MFC dirangkai seri untuk meningkatkan listrik yang dihasilkan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

[APHA] American Public Health Association. 1975. Standar Methods for the Eximination of Water and Wastewater 14th Edition. Washington DC: American Public Health Association, American Water Works Association, Water Pollution Control Federation

Aryantha INP, Asarina S. 2010. Microbial Fuel Cell (MFC) Based on Electrodes - Semisolid Microbial with 12 Volt and 1 Ampere Scale. Pameran Hasil Penelitian ITB

Behera M, Ghangrekar M.M. 2009. Performance of Microbial Fuel Cell in Response to Change in Sludge Loading Rate at Different Anodic Feed pH.

Bioresource Technology 100 5114-5121

[BSN] SNI 6989.72. 2009. Air dan Limbah - Bagian 72: Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical oxygen demand/ BOD). Badan Standardisasi Nasional

Chang, Seop I, Moon H, Bretschger O, Kyung JJ, Il HP, Nealson KH, Hong BK.

2006. Electrochemically Active Bacteria (EAB) And Mediator-Less Microbial Fuel Cells. Journal of Microbiology and Biotechnology 16 (2): 163-177

Cheng S, Logan BE. 2011. Increasing Power Generation for Scaling up Single-Chamber Air Cathode Microbial Fuel Cells. Bioresource Technology 102 4468-4473

Du Z, Li H, Gu T. 2007. A state art review on microbial fuel cells: a promising technology for wastewater treatment and bioenergy. Biotechnology Advances. 25: 464-482.

Dwijani WS, Budiarsa IWS, Indra NMW. 2010. Efektivitas Sistem Pengolahan Instalasi Pengolahan Air Limbah Suwung Denpasar Terhadap Kadar BOD, COD, Dan Amonia. Jurnal Kimia 4 (2), Juli: 141-148

Edahwati L, Suprihatin. 2009. Kombinasi Proses Aerasi, Adsorpsi, dan Filtrasi pada Pengolahan Air Limbah Industri Perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan 1 (2): 79-83


(48)

FAO [Food and Agricultural Organization]. 1996. Wastewater Treatment in The Fishery Industry (FAO Fisheries Technical Paper). Fisheries and Aquaculture Department.

Firdus, Muchlisin ZA. 2010. Degradation Rate Of Sludge And Water Quality Of Septic Tank (Water Closed) By Using Starbio And Freshwater Catfish As Biodegradator. Jurnal Natural 10 (1): 1-6

Fitrinaldi. 2011. Microbial Fuel Cell sebagai Energi Alternatif Menggunakan Bakteri Escherichia coli. Program Studi Kimia, Pascasarjana Universitas Andalas. [terhubung berkala] http://www.pasca.unand.ac.id/id/wp- content/uploads/2011/09/MICROBIAL-FUEL-CELL-SEBAGAI-ENERGI-ALTERNATIF-MENGGUNAKAN-BAKTERI-Escherichia-coli.pdf [5 Agustus 2012]

Ghangrekar MM, Shinde VB. 2006. Wastewater Treatment in Microbial Fuel Cell and Electricity Generation: A Sustainable Approach. Prosiding Seminar Internasional Sustainable Development Research Conference, Hong kong, April 6-8: 1-9

Ibrahim B. 2004. Pendekatan Penerapan Produksi Bersih Pada Industri Pengolahan Hasil Perikanan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan VII (1): 1-11

Ibrahim B. 2005. Kaji Ulang Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Hasil Perikanan Secara Biologis dengan Lumpur Aktif. Buletin Teknologi Hasil Perikanan VIII (1): 31-41

Ibrahim B. 2007. Studi Penyisihan Nitrogen Air Limbah Agroindustri Hasil Perikanan Secara Biologis Dengan Model Dinamik Activated Sludge Model (ASM) 1. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ibrahim B, Erungan AC, Heriyanto. 2009. Nilai Parameter Biokinetika Proses Denitrifikasi Limbah Cair Industri Perikanan pada Rasio COD/TKN yang Berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia XII (1): 31-45 Ibrahim B, Suptijah P, Prantommy. 2009. Pemanfaatan Kitosan Pada Pengolahan

Limbah Cair Industri Perikanan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan XII (2): 154-166

Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan. Kepmen No 06 Tahun 2007


(49)

Lovley DR. 2006. Bug Juice: Harvesting Electricity With Microorganisms.

Nature Reviews Microbiology 4: 497-506 Logan BE. 2008. Microbial Fuel Cell. Canada: WILEY

Jang JK, Pham TH, Chang IS, Kang KH, Moon H, Cho KS, Kim BH. 2003. Construction And Operation Of A Novel Mediator And Membrane-less Microbial Fuel Cell. Process Biochemistry 39: 1007-1012

Jenie BSL dan Rahayu WP. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisius

Miliken CE, May HD. 2007. Sustained Generation of Electricity by the Spore-Forming, Gram-Positive, Desulfitobacterium hafniense strain DCB2.

Applied Microbial and Cell Physiology 73: 1180-1189

Moqsud MA, Omine K. 2010. Bio-electricity generation by using organic waste in Bangladesh. Proc. of International Conference on Environmental Aspects of Bangladesh (ICEAB10). Jepang, September: 122-124

Mulyani H. 2012. Pengaruh Pre-klorinasi Dan Pengaturan pH Terhadap Proses Aklimatisasi Dan Penurunan COD Pengolahan Limbah Cair Tapioka Sistem Anaerobic Baffled Reactor. [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro

Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2008. Studi Kualitas Perairan Pantai Di Kawasan Industri Perikanan Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Ecotrophic 3 (2): 98-103

Rieuwpassa F, Salampessy J. 1997. Pemanfaatan Limbah Industri Peru. GOTI-Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Universitas Pattimura 2: 43-47 Romli M, Suprihatin. 2009. Set Up Model Industri Daur Ulang Minyak Ikan di

Muncar. Jurnal Kelautan Nasional 2: 119-130

Sitorus B. 2010. Diversifikasi Sumber Energi Terbarukan melalui Penggunaan Air Buangan dalam Sel Elektrokimia Berbasis Mikroba. Jurnal ELKHA 2 (1): 10-15

Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Jakarta: UI Press

Sun J, Hu Y, Bi Z, Cao Y. 2009. Simultaneous decolorization of azo dye and bioelectricity generation using a microfiltration membrane air-cathode single-chamber microbial fuel cell. Bioresource Technology 100: 3185-3192


(50)

Suprihatin, Romli M. 2009. Pendekatan Produksi Bersih dalam Industri Pengolahan Ikan: Studi Kasus Industri Penepungan Ikan. Jurnal Kelautan Nasional 2: 131-143

Suyanto E, Mayangsari A, Wahyuni A, Zuhro F, Isa SMSH, Sutariningsih ES, Retnaningrum E. 2010. Pemanfaatan Limbah Cair Domestik IPAL Kricak sebagai Substrat Generator Elektrisitas Melalui Teknologi Microbial Fuel Cell Ramah Lingkungan. Seminar Nasional Biologi UGM, Yogyakarta 24-25 September: 230-242

Utomo YW. 2012. Mikroba jadi baterai wahana antariksa masa depan. [terhubung berkala] http://www.kompas.com [4 Agustus 2012]

Winaya INS, Sucipta M, Putra A.A. KW. 2011. Memanfaatkan Air Bilasan Bagas Untuk Menghasilkan Listrik Dengan Teknologi Microbial Fuel Cells.

Jurnal Ilmiah Teknik Mesin CakraM 5 (1): 57-63

Zhu N, Chen X, Zhang T, Wu P, Li P, Wu J. 2011. Improved Performance of Membrane Free Single-Chamber Air-Cathode Microbial Fuel Cell with Nitric Acid and Ethylenediamine Surface Modified Activated Carbon Fiber Felt Anodes. Bioresource Technology 102: 422-426


(51)

(52)

Lampiran 1 Data rata-rata elektrisitas limbah cair perikanan selama 5 hari Jam ke- Elektroda 1 pasang Elektroda 2 pasang Elektroda 3 pasang Elektroda 4 pasang 0 0.124 0.116 0.127 0.137 1 0.131 0.116 0.127 0.212 2 0.135 0.116 0.130 0.208 3 0.150 0.124 0.165 0.239 4 0.158 0.115 0.171 0.235 5 0.166 0.114 0.132 0.215 6 0.352 0.230 0.273 0.250 7 0.365 0.215 0.213 0.210 8 0.376 0.230 0.180 0.210 9 0.389 0.270 0.193 0.185 10 0.329 0.410 0.145 0.220 11 0.346 0.210 0.145 0.205 12 0.224 0.131 0.169 0.159 13 0.330 0.225 0.245 0.180 14 0.338 0.235 0.190 0.180 15 0.341 0.245 0.200 0.180 16 0.343 0.255 0.208 0.170 17 0.341 0.265 0.198 0.170 18 0.267 0.265 0.153 0.175 19 0.262 0.280 0.155 0.190 20 0.355 0.295 0.238 0.185 21 0.355 0.240 0.215 0.150 22 0.265 0.315 0.183 0.215 23 0.348 0.255 0.230 0.190 24 0.359 0.260 0.240 0.230 25 0.345 0.270 0.265 0.230 26 0.338 0.185 0.260 0.230 27 0.247 0.280 0.190 0.225 28 0.330 0.180 0.225 0.185 29 0.327 0.180 0.250 0.185 30 0.330 0.155 0.235 0.175 31 0.328 0.150 0.165 0.175 32 0.238 0.255 0.165 0.170 33 0.231 0.150 0.173 0.175 34 0.323 0.185 0.195 0.180 35 0.239 0.280 0.113 0.160 36 0.228 0.280 0.113 0.160 37 0.228 0.260 0.118 0.150 38 0.216 0.255 0.120 0.135 39 0.195 0.275 0.133 0.150 40 0.171 0.290 0.138 0.150


(53)

41 0.147 0.255 0.133 0.170 42 0.177 0.215 0.138 0.190 43 0.143 0.200 0.148 0.170 44 0.130 0.250 0.185 0.175 45 0.193 0.245 0.203 0.160 46 0.237 0.200 0.178 0.155 47 0.300 0.165 0.173 0.190 48 0.297 0.165 0.175 0.185 49 0.150 0.215 0.188 0.170 50 0.180 0.215 0.213 0.200 51 0.183 0.175 0.210 0.195 52 0.193 0.180 0.190 0.165 53 0.180 0.175 0.170 0.220 54 0.173 0.275 0.200 0.235 55 0.225 0.210 0.183 0.210 56 0.153 0.205 0.180 0.215 57 0.177 0.175 0.163 0.215 58 0.114 0.220 0.155 0.120 59 0.164 0.245 0.148 0.160 60 0.205 0.200 0.155 0.170 61 0.123 0.245 0.150 0.155 62 0.127 0.245 0.170 0.190 63 0.208 0.165 0.155 0.160 64 0.215 0.190 0.210 0.210 65 0.199 0.200 0.205 0.210 66 0.210 0.200 0.203 0.205 67 0.213 0.210 0.208 0.205 68 0.218 0.200 0.203 0.205 69 0.224 0.195 0.203 0.210 70 0.235 0.190 0.200 0.210 71 0.276 0.180 0.195 0.210 72 0.277 0.175 0.200 0.225 73 0.301 0.190 0.160 0.215 74 0.141 0.170 0.125 0.105 75 0.093 0.230 0.208 0.125 76 0.168 0.165 0.155 0.145 77 0.149 0.255 0.133 0.145 78 0.239 0.250 0.160 0.170 79 0.272 0.255 0.215 0.175 80 0.277 0.235 0.200 0.165 81 0.254 0.250 0.218 0.185 82 0.238 0.245 0.210 0.175 83 0.112 0.185 0.158 0.130 84 0.170 0.160 0.138 0.115


(54)

85 0.200 0.140 0.130 0.120 86 0.201 0.165 0.155 0.145 87 0.206 0.170 0.163 0.155 88 0.209 0.175 0.185 0.195 89 0.186 0.180 0.173 0.165 90 0.187 0.160 0.168 0.175 91 0.177 0.180 0.188 0.195 92 0.167 0.175 0.190 0.205 93 0.121 0.210 0.203 0.195 94 0.141 0.200 0.210 0.220 95 0.158 0.195 0.220 0.245 96 0.112 0.230 0.238 0.245 97 0.151 0.210 0.208 0.245 98 0.152 0.215 0.335 0.455 99 0.094 0.140 0.295 0.330 100 0.087 0.150 0.298 0.340 101 0.088 0.210 0.250 0.290 102 0.086 0.230 0.265 0.300 103 0.093 0.245 0.278 0.310 104 0.098 0.175 0.248 0.320 105 0.100 0.185 0.235 0.285 106 0.101 0.195 0.245 0.295 107 0.099 0.205 0.255 0.305 108 0.112 0.215 0.265 0.315 109 0.100 0.225 0.258 0.290 110 0.102 0.245 0.278 0.310 111 0.110 0.200 0.260 0.320 112 0.109 0.210 0.270 0.330 113 0.111 0.175 0.248 0.320 114 0.105 0.205 0.270 0.325 115 0.106 0.220 0.283 0.335 116 0.109 0.250 0.303 0.345 117 0.109 0.265 0.315 0.355 118 0.110 0.280 0.313 0.365 119 0.106 0.275 0.318 0.360 120 0.097 0.285 0.320 0.350


(1)

Lampiran 3 Tempat pengambilan sampel lumpur aktif di PT UNITEX


(2)

Lampiran 5 Sistem MFC dengan 1 pasang elektroda


(3)

Lampiran 7 Sistem MFC dengan 3 pasang elektroda


(4)

Lampiran 9 Hasil sidik ragam limbah cair perikanan dalam sistem MFC a. Total nitrogen

ANOVA

Variasi sumber SS df MS F P-value F crit

Perlakuan 21.45083 3 7.150276 0.001042 0.999952 3.008787 Hari 107726.1 2 53863.03 7.846875 0.002387 3.402826 Interaksi 42.90166 6 7.150276 0.001042 1 2.508189 Dalam 164742.4 24 6864.265

Total 272532.8 35

b. BOD ANOVA

Variasi sumber SS df MS F P-value F crit

Perlakuan 11476.61 3 3825.536 0.725897 0.546497 3.008787 Hari 84239.77 2 42119.88 7.992262 0.002187 3.402826 Interaksi 3128.655 6 521.4425 0.098944 0.995807 2.508189

Dalam 126482 24 5270.083

Total 225327 35

c. COD ANOVA

Variasi sumber SS df MS F P-value F crit

Perlakuan 5404.444 3 1801.481 0.151697 0.927577 3.008787 Hari 989738.7 2 494869.3 41.67126 1.56E-08 3.402826 Interaksi 44387.56 6 7397.926 0.622954 0.710155 2.508189

Dalam 285013.3 24 11875.56


(5)

d. TAN ANOVA

Variasi sumber SS df MS F P-value F crit

Perlakuan 0.038153 3 0.012718 0.458741 0.713644 3.008787 Hari 4.467761 2 2.233881 80.57927 2.25E-11 3.402826 Interaksi 0.007826 6 0.001304 0.047047 0.999481 2.508189 Dalam 0.665347 24 0.027723

Total 5.179086 35

e. MLSS ANOVA

Variasi sumber SS df MS F P-value F crit

Perlakuan 518888.9 3 172963 1.206718 0.328623 3.008787 Hari 3535556 2 1767778 12.33333 0.000207 3.402826 Interaksi 197777.8 6 32962.96 0.229974 0.962743 2.508189

Dalam 3440000 24 143333.3

Total 7692222 35

f. MLVSS ANOVA

Variasi sumber SS df MS F P-value F crit

Perlakuan 831111.1 3 277037 1.888889 0.158429 3.008787 Hari 4046667 2 2023333 13.79545 0.000103 3.402826 Interaksi 202222.2 6 33703.7 0.229798 0.962812 2.508189

Dalam 3520000 24 146666.7


(6)

Lampiran 10 Hasil uji t pada elektroda 2 pasang dan 4 pasang

Uji Normalitas

kode

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistik df Sig. Statistik df Sig.

listrik 2 .055 363 .009 .980 363 .000

4 .079 363 .000 .981 363 .000

a. Koreksi signifikansi Lilliefors

Sampel uji independen

Uji Levene untuk kesamaan

varian Uji T untuk kesamaan rata-rata

F Sig. t df Sig. (2-tailed) Perbedaan rata-rata Perbedaan standar deviasi Selang kepercayaan 95% Batas bawah Batas atas listrik Asumsi varian yang sama