Analysis of Genetic variability of yellow chatfish (Hemibarus nemurus) by using PCR-RFLP technique on mitochondrial DNA

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus) DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNIK PCR-RFLP PADA DNA MITOKONDRIA

NANDA PADRIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Analisis Keragaman
Genetik Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) dengan Menggunakan Teknik PCRRFLP pada DNA Mitokondria” adalah karya saya beserta komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

Nanda Padria
NRP P051100151

ABSTRACT
NANDA PADRIA. Analysis of Genetic variability of yellow chatfish (Hemibarus
nemurus) by using PCR-RFLP technique on mitochondrial DNA. Under direction
of SUHARSONO dan ESTU NUGROHO.
This research has an objective to analyze the genetic variation among four
Hemibagrus nemurus population by using PCR-RFLP of D-loop region of
mitochondrial DNA. H. nemurus were collected from Cirata, Serayu, Jambi and
Bogor. Four restriction enzymes were used to digest D-loop region mt-DNA, i.e.
MboI, HaeIII, AluI and RsaI. Based on this analysis, these four population have
seven composite haplotypes. The highest haplotype diversity was found at the
population from Jambi. Population from Serayu has just one composite haplotype
indicating that this population has the same ancestor. Population from Cirata and
from Bogor has the same composite haplotype indicating that there was probably
migration between these two populations.
Keyword: Hemibagrus nemurus, genetic variability, PCR-RFLP, D-loop region of
mtDNA.


RINGKASAN
Nanda Padria.
P051100151.
Analisis Keragaman Genetik Ikan Baung
(Hemibagrus nemurus) dengan Menggunakan Teknik PCR-RFLP pada DNA
Mitokondria. Dibimbing oleh SUHARSONO dan ESTU NUGROHO.

Ikan baung sebagai salah satu komoditi perikanan air tawar masih
mempunyai kendala dalam upaya budidaya sehingga buididaya ikan ini tidak
seintensif komoditi perikanan air tawar lainnya. Permasalahan yang masih ada
yaitu ketidakmampuan untuk berkembang biak di penangkaran (Muflikhah et al.
1993). Penyediaan benih ikan baungpun masih mengandalkan tangkapan dari
alam, karena pemijahan buatan yang menghasilkan daya tetas telur yang masih
rendah (Muflikhah et al. 1993; Sukendi. 2005). Salah satu kajian yang perlu
dilakukan untuk memperbaiki secara genetik ikan baung adalah kajian keragaman
genetik. Informasi dari kajian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam
melakukan pemuliaan pada ikan ini sehingga depresi silang dalam (inbreeding
depression) dapat dicegah. DNA mitokondria diwariskan secara maternal
sehingga asal-usul tetua dapat diketahui.
Sampel ikan baung diambil dari 4 populasi, yaitu dari Cirata, Bogor,

Serayu dan Jambi. Setiap populasi diambil 10 ikan secara acak, kemudian untuk
ekstraksi DNA diambil sampel pada bagian sungut ikan sebanyak 5-10 mg.
Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode phenol chloroform (Nugroho 2001).
Hasil ektraksi DNA kemudian di ampifikasi untuk memperbanyak daerah D-loop
mtDNA dengan PCR. Hasil PCR kemudian dipotong dengan 4 enzim restriksi
yaitu MboI, HaeIII, AluI dan RsaI secara terpisah. DNA hasil pemotongan
dimigrasikan di gel agarose. Analisis data dilakukan dengan menggunakan
software TFPGA (tool for population genetic analysis).
Pada penelitian ini, pemotongan dengan 4 enzim restriksi pada daerah Dloop mtDNA ikan baung dari 4 populasi menghasilkan 7 haplotipe komposit.
Pemotongan daerah D-loop 4 populasi ikan baung dengan MboI, AluI dan RsaI
menghasilkan pola pemotongan yang beragam. Sementara enzim restriksi HaeIII
tidak menghasilkan keragaman pada daerah D-loop mtDNA 4 populasi ikan
baung. Populasi ikan baung dari Jambi mempunyai nilai heterozigositas tertinggi
yaitu sebesar 0,58, dan populasi Serayu mempunyai nilai heterozigositas terendah
yang hanya menghasilkan 1 haplotipe komposit dengan nilai heterozigositas 0,00.
Populasi ikan baung dari Cirata dan Bogor mempunyai pola pemotongan daerah
D-loop mtDNA yang sama, yang menghasilkan 2 haplotipe komposit. Bila dilihat
dari hasil penghitungan jarak genetik Wright, populasi Cirata mempunyai jarak
yang dekat dengan populasi Bogor yaitu sebesar 0,1. Hasil uji Fst berpasangan
menunjukkan bahwa populasi Cirata dan Bogor tidak berbeda secara signifikan

dan berbeda dengan populasi Jambi dan Serayu.
Katakunci: Hemibagrus nemurus, keragaman genetik, PCR-RFLP, daerah D-loop
mtDNA.

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK IKAN BAUNG
(Hemibagrus nemurus) DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNIK PCR-RFLP PADA DNA MITOKONDRIA

NANDA PADRIA


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc

HALAMAN PENGESAHAN
Judul

Nama
NIM
Program Studi


: Analisis Keragaman Genetik Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus) dengan Menggunakan Teknik PCR-RFLP pada
DNA Mitokondria
: Nanda Padria
: P051100151
: Bioteknologi

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA
Ketua

Dr. Ir. Estu Nugroho, M.Sc
Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi
Bioteknologi


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Ujian : 09 Agustus 2012

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”
Analisis Keragaman Genetik Ikan Baung (Hemibagrus nemurus) dengan
Menggunakan Teknik PCR-RFLP pada DNA Mitokondria”.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA. sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir.
Estu Nugroho, M.Sc sebagai anggota komisi yang telah mencurahkan waktu
dan perhatian untuk membimbing dan memotivasi penulis.

2. Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. sebagai dosen penguji luar komisi yang
telah memberi masukan dan saran yang sangat berguna bagi kesempurnaan
tesis ini.
3. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Sempur-Bogor yang
telah membiayai Penelitian ini, terutama kepada Bapak Ir. Jojo Subagya selaku
penanggung jawab proyek penelitian ini yang telah mempercayakan penelitian
ini kepada saya.
4. Mbak Luna dan Mbak Sri yang telah membantu saya selama melakukan
penelitian ini.
5. Kedua orang tua saya Bapak Jasrul Padri dan Ibu Sahriati atas semua dukungan
dan perhatian serta kasih sayang yang diberikan, adikku Dinda Juwita Padria.
6. Rekan-rekan seperjuangan S2 Bioteknologi 2010 dan rekan-rekan sesama
alumni Universitas Riau yang melanjutkan studi di IPB.
7. Segenap karyawan serta staff Pusat Pemuliaan Sumberdaya hayati dan
Bioteknologi IPB yang telah membantu penyelesaian studi penulis.
Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, September 2012
Nanda Padria

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1987 di Rokan Kecamatan
Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau, merupakan anak pertama
dari dua orang bersaudara dari pasangan Bapak Jasrul Padri dan Ibu Sahriati.
Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Rokan pada
tahun 1999. Sekolah menengah pertama di SLTP N I Rokan tahun 2002 dan
sekolah menengah umum di SMUN I Ujungbatu pada tahun 2005. Pada tahun
2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2010, penulis meneruskan pendidikan
pascasarjana di IPB dengan Program Studi Bioteknologi. Penulis melakukan
penelitian dengan judul “Analisis Keragaman Genetik Ikan Baung (Hemibagrus
nemurus) dengan Menggunakan Teknik PCR-RFLP pada DNA Mitokondria”
untuk memperoleh gelar Master Sains dari Insititut Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xxi


DAFTAR TABEL ............................................................................................ xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xxv

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................
1.3 Hipotesis Penelitian ...............................................................................

1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Baung ...........................................................................................
2.2 Keragaman Genetik ...............................................................................
2.3 Pengukuran Keragaman Genetik ...........................................................
2.4 DNA Mitokondria .................................................................................


5
6
7
8

3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu danTempat ................................................................................
3.2 Bahan Penelitian...................................................................................
3.3 Ekstraksi DNA .....................................................................................
3.4 Amplifikasi DNA .................................................................................
3.5 Pemotongan dengan Enzim Restriksi ..................................................
3.6 Elektroforesis dan Visualisasi ..............................................................
3.7 Analisis Data ........................................................................................

11
11
11
12
12
12
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ....................................................................................................
4.2 Pembahasan .........................................................................................
4.2.1 Keragaman Genetik dan Keperluan dalam Budidaya .................

15
21
24

5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .........................................................................................
5.2 Saran ...................................................................................................

29
29

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

31

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Hasil amplifikasi D-loop region mtDNA .............................................

15

2 Pola pemotongan D-loop region mtDNA dengan enzim restriksi MboI

18

3 Pola pemotongan D-loop region mtDNA dengan enzim restriksi
HaeIII......................................................................................................

18

4 Pola pemotongan D-loop region mtDNA dengan enzim restriksi AluI ..

19

5 Dendogram (wright genetic distance)/ ketidakmiripan empat populasi
ikan baung berdsarkan D-loop mtDNA yang direstriksi dengan 4
enzim yaitu MboI, HaeIII AluI dan RsaI.....................................................

21

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Pola potongan D-loop mtDNA dengan 4 enzim restriksi ....................

16

2. Haplotipe Komposit pada 4 populasi ikan baung ...................................

17

3. Variasi genetik empat populasi ikan baung berdasarkan D-loop
mtDNA yang dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu MboI, HaeIII,
AluI dan RsaI ..........................................................................................

19

4. Jarak genetik empat populasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA
yang dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu MboI, HaeIII, AluI dan
RsaI ........................................................................................................

20

5. Uji Fst berpasangan empat populasi ikan baung berdasarkan D-loop
mtDNA yang dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu MboI, HaeIII,
AluI dan RsaI .................................................................................................

21

6. Kondisi jumlah calon induk ikan baung pasca angkut sampai dengan
proses adaptasi di lingkungan kolam instalasi penelitian, Cibalagung ..

25

7. Derajat pembuahan dan daya tetas (%) dihitung dari telur yang
dibuahi, berdasarkan pengamatan sampel telur yang diinkubasi di
lempeng kaca .......................................................................................... .. 26

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Lokasi penyamplingan populasi ikan baung (Hemibagrus nemurus) ..

37

2. Hasil analisis menggunakan software TFPGA untuk nilai variasi
genetik empat populasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA yang
dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu MboI, HaeIII, AluI dan RsaI.
1). Cirata; 2). Serayu; 3). Jambi; 4). Bogor ...........................................

38

3. Hasil analisis menggunakan software TFPGA untuk nilai jarak genetik
empat populasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA yang
dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu MboI, HaeIII, AluI dan RsaI.
1). Cirata; 2). Serayu; 3). Jambi; 4). Bogor ...........................................

43

4. Hasil analisis menggunakan software TFPGA untuk nilai uji Fst
berpasangan empat populasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA
yang dipotong dengan 4 enzim restriksi yaitu MboI, HaeIII, AluI dan
RsaI. 1). Cirata; 2). Serayu; 3). Jambi; 4). Bogor ..................................

44

1

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Hemibagrus nemurus yang di Indonesia dikenal dengan nama ikan baung
merupakan komoditi perikanan air tawar yang baru mendapat perhatian dalam
sektor budidaya.H. nemurus termasuk ke dalam ordo Siluriformes dan famili
Bagridae (Nelson 2006).Daerah penyebaran ikan baung adalah di kawasan tropika
yang meliputi Afrika, Asia Tenggara dan Asia Timur (Kottelat et al. 1993).
Sebagai salah satu komoditi perikanan air tawar, saat ini budidaya ikan
baung masih belum seintensif komoditi budidaya ikan air tawar lainnya, karena
ketidakmampuan untuk berkembang biak di penangkaran (Muflikhah et al. 1993).
Penyediaan benih ikan baungpun masih mengandalkan hasil tangkapan dari alam,
karena pemijahan buatan masih menghasilkan daya tetas telur ikan baung yang
masih rendah (Muflikhah et al. 1993; Sukendi 2005).Dengan demikian banyak
kajian yang perlu dilakukan dalam upaya mencari informasi yang diperlukan
dalam pembudidayaan komoditi ini.
Kajian genetik merupakan salah satu usaha dalam mendapatkan informasi
yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi budidaya ikan baung ini.Salah
satunya adalah dengan mengkaji variasi genetik populasi ikan baung. Menurut
Dunham (2004), variasi genetik/genotipe penting untuk sintasan jangka panjang
suatu spesies atau populasi tersebut terutama untuk beradaptasi pada perubahan
lingkungan. Variasi genetik sangat penting dalam suatu populasi ikan untuk
mendapatkan varietas yang unggul.Keragaman genetik sangat berguna dalam
melakukan seleksi, baik seleksi alam maupun seleksi buatan yang dilakukan oleh
manusia.Keragaman genetik menjadi penting karena perbaikan mutu genetik
didasari oleh keragaman genetik yang dimiliki oleh suatu populasi (Rina 2001).
Penentuan variasi genetik pada ikan dapat dilakukan berdasarkan karakter
morfologi dan genotipenya. Variasi genotipe dapat dilakukan melalui pendekatan
molekuler dengan berbagai metode.Salah satunya adalah dengan teknik PCRRFLP dari mtDNA.Analisis mtDNA untuk mengetahui keragaman genetik pada
ikan telah banyak dilakukan, karena analisis mtDNA lebih sensitif dibandingkan

2

dengan analisis protein yang sudah banyak dilakukan (Park dan Moran. 1995).
Hasil penelitian Imsiridou et al. (1997) pada greek chub (Leuciscus
cephalus),Rina (2001) pada ikan Pangasius, Arifin dan Kurniasih (2007) pada
ikan nila (Oreochromis niloticus), Slamat (2009) pada ikan betok (Anabas
testudineus),Mulyasari et al. (2010) pada ikan kelabau (Osteochilus kelabau),
memperlihatkan adanya keragaman genetik berdasarkan mtDNA dari populasi
ikan.
Sedikitnya informasi mengenai keragaman genetik merupakan kendala
yang ditemui dalam usaha menghasilkan kualitas genetik yang unggul.Penurunan
kualitas genetik terkadang disebabkan oleh tingginya tingkat inbreeding (silang
dalam).Untuk mencegah terjadinya inbreeding, kajian asal-usul yang berdasarkan
pada kesamaan genetik dari suatu populasi harus diketahui.Untuk itu kajian
tentang keragaman genetik ikan baung merupakan kajian yang penting dalam
perbaikan genetik ikan ini.DNA mitokondria diwariskan melalui induk betina,
sehingga asal-usul tetua suatu individu dapat diketahui melalui DNA mitokondria.
Untuk menghindari terjadinya inbreeding dari populasi awal yang sama analisis
DNA mitokondria sangat diperlukan.
Selain berguna untuk memberikan informasi dalam melakukan perbaikan
genetik terutama untuk mencegah terjadinya inbreeding.Penelitian ini juga
diharapkan mampu memberikan data tentang keragaman genetik ikan baung yang
ada. Sebelumnya kajian keragaman genetik pada dareah mtDNAikan baung telah
dilakukan oleh Nugroho et al. (2005) pada populasi yang berasal dari Jambi,
Wonogiri dan Jatiluhur dan Hany (2003) pada populasi yang berasal dari Cirata,
Wonogiri dan Jatiluhur yang menunjukkan adanya keragaman pada populasi
tersebut. Kajian keragaman genetik yang telah dilakukan ini sangat berguna
untuk melakukan konservasi sumberdaya genetik.Penelitian ini juga sangat
bermanfaat untuk perbaikan budidaya ikan baung.

1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman genetik
ikan baung dari beberapa populasi, sehingga data ini dapat dipergunakan sebagai
informasi dasar dalam program perbaikan genetikdan budidaya ikan baung.

3

1.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini adalah ikan baung dari populasi Cirata,
Serayu, Jambi dan Bogor mempunyai keragaman DNA mitokondria.

4

5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Baung
Ikan baung (Hemibagrus nemurus) merupakan salah satu komoditas
perairan umum yang mempunyai prospek untuk dibudidayakan.Jenis ikan ini
mudah dipelihara di kolam atau keramba jaring apung (KJA), dan dapat cepat
menyesuaikan diri terhadap pemberian pakan buatan (Hardjamulia dan Suhenda
2000).Distribusi ikan baung relatif luas di pulau Jawa, Sumatra dan Kalimantan
(Kottelat et al. 1993). Jenis ikan ini digemari masyarakat, dan mempunyai arti
penting khususnya Sumatra, seperti Jambi (Nasution et al. 1993).
Untuk mengatasi keterbatasan penyediaan benih yang bermutu baik, maka
berbagai penelitian telah dilakukan, mulai dari sumber dayanya di alam (Alawi et
al. 1992; Samuel et al. 1995; Sukendi 2000), pembenihannya (Gaffar dan
Muflikhah 1992; Muflikhah et al. 1993; Hardjamulia dan Suhenda 2000; Sukendi
2000) sampai pada pembesarannya (Muflikhah dan Gaffar 1992; Muflikhah dan
Aida 1996).
Peluang pengembangan ikan baung semakin terbuka setelah berhasil
dilakukannya pemijahan secara buatan dengan teknik kawin rangsang (induce
breeding) (Gaffar dan Muflikhah 1992). Namun sukses tersebut belum diimbangi
dengan keberhasilan dalam produksi benih secara masal sehingga pasokan benih
untuk usaha budidaya skala komersil masih sangat terbatas (Sutrisno et al. 2005).
Namun pemijahan buatan pada ikan baung masih menghasilkan daya tetas telur
ikan baung yang masih rendah (Muflikhah et al. 1993; Sukendi 2005).
Banyak kajian yang harus dilakukan untuk mendapatkan benih dengan
kualitas genetik yang unggul.Salah satunya dengan melakukan kajian keragaman
genetik pada ikan baung, untuk menyesuaikan penurunan performa yang
disebabkan oleh depresiinbreeding.

Fromen et al. (2007)

melihat adanya

penurunan nilai survival rate(kelulushidupan), hatching rate (daya tetas telur) dan
fertilization rate (laju pembuahan) pada ikan threespine stickleback karena
terjadinya inbreeding.

6

Variasi genetik merupakan hal yang penting dalam respon seleksi, dan
breedingpada populasi cukup besar dan secara genetik beragam. Karena itu,
keragaman genetikmerupakan hal yang penting saat membuat dan menjalankan
program breeding.Desain breeding dengan strukturfamili yang tepat sangat
penting untuk mempertahankan effective population size yang besar dan
mendapatkan respon seleksi jangka panjang dengan tingkat inbreeding yang
rendah (Olesen et al. 2003).
2.2. Keragaman Genetik
Luasnya perairan yang terbentuk dipermukaan bumi baik merupakan
perairan tawar, payau ataupun laut menjadi tempat berbagai macam biota baik
yang berukuran mikro ataupun makro.Salah satu jenis biota yang banyak terdapat
diperairan adalah ikan.Habitat ikan menempati perairan tawar yang teridentifikasi
berjumlah 1100 spesies, sedangkan habitat ikan yang menempati perairan laut
yang teridentifikasi berjumlah 8500 spesies (Kottelat et al. 1993).
Secara umum keragaman genetik menjelaskan (biodiversity) yang meliputi
keragaman struktural maupun fungsional dari kehidupan komunitas dengan
ekosistemnya, populasi dan spesies (Soewardi2007).Keragaman hayati, memiliki
peranan penting untuk keseimbangan ekosistem, demikian pula keragaman
genetik.Semakin tinggi keragaman genetik, maka semakin tinggi populasi yang
mampu bertahan hidupdalam jangka waktu yang lebih lama, karena semakin
tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan lingkungan.Dengan demkian,
keragaman genetik merupakan kunci penting dalam memelihara keberlanjutan dan
kinerja produksi dari suatu spesies (Slamat 2009).
Struktur genetika dan tingkat keanekaragaman suatu populasi dipengaruhi
oleh mekanisme genetik secara internal maupun eksternal. Faktor yang dapat
menyebabkan peningkatan keragaman genetik antara lain adalah faktor mutasi dan
migrasi.

Sedangkan faktor-faktor yang menurunkan keragaman genetik

diantaranya adalah seleksi alam, silang dalam (inbreeding) serta penghanyutan
gen (genetic drift) (Gardner et al. 1991).
Depresi inbreeding mungkin dihasilkan dari peningkatan homozigositas
dan penurunan heterozigositas (Crow 1948 dalam Allendorf dan Luikart

7

2008).Peningkatan homozigositas menimbulkan ekspresi sejumlah alel yang
bersifat merugikan pada individu inbred, sehingga menurunkan kebugarannya.
Pengurangan heterozigositas mengurangi kebugaran individu inbred pada lokus
dimana heterozigot mempunyai keuntungan dibandingkan dengan homozigot
(Allendorf dan Luikart 2008).
2.3. Pengukuran Keragaman Genetik
Keragaman genetik dapat diukur dan dikuantifikasikan pada beberapa
tingkat.Pertama, perbedaan ukuran fragmen DNA.Kedua, perbedaan urutan DNA
di dalam DNA, yang menyebabkan perbedaan protein.Kadang-kadang perbedaan
fenotipe dari variasi produk genetik ditentukan oleh satu atau dua lokus
(Beaumont dan Haore 2003).
Berbagai macam metode dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
polimorfisme molekuler, tetapi yang paling banyak digunakan saat ini adalah
metode elektroforesis.Penanda DNA memiliki keuntungan yang lebih dari pada
menggunakan penanda morfometrik, meristik ataupun protein (Allozyme) untuk
mengkaji struktur stok dan variasi genetik ikan (Carvalho danPitcher1994).
Polimorfisme yang dideteksi berdasarkan elektroforesis DNA memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan dengan karakter kuantitatif dan jumlah kromosom karena
alasan berikut:
1. Sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pengaruh lingkungan dan
memungkinkan membandingkan secara langsung sampel yang dikoleksi
dari lapangan.
2.

Di bawah kontrol dari beberapa loci dan dapat secara mudah
diinterpretasikan dalam frekuensi genotipe maupun alel. Dari frekuensi ini
kemudian dapat dihitung tingkat heterozigositas (keragaman dalam
populasi) dan jarak genetik (keragaman genetik antar populasi (Soewardi
2007).

Banyak metode analisis keragaman genetik yang menggunakan teknik
elektroforesis dalam visualisasi hasilnya, misalnya, elektroforesis protein atau
enzim, RAPD (Random amplifiedpolymorphic DNA), RFLP(Restriction fragment

8

length polymorphism), AFLP (Amplified fragment length polymorphism) dan
mikrosatelit.
Deteksi keragaman DNA mitokondria sangat umum menggunakan
polymerase chain reaction (PCR), yang diikuti dengan analisis enzim restriksi
atau sekuensing secara langsung produk PCR (Allendorf dan Luikart
2008).Dengan teknik RFLP, potongan DNA dapat digunakan sebagai penanda
genetik tanpa harus melakukan pengurutan DNA.Jumlah copy yang tinggi dari
fragmen DNA yang dihasilkan dari isolasi DNA tertentu atau dari hasil PCR dapat
dipotong dengan sejumlah enzim restriksi endonuklease sehingga menghasilkan
potongan-potongan DNA yang ukurannya bervariasi. Cara ini merupakan cara
dalam mengidentifkasi variasi genetik yang disebabkan oleh mutasi (Beaumont
dan Haore 2003). Keragaman situs restriksi biasanya dihasilkan dari pergantian
nukleotida pada situs restriksi. Oleh karena itu keragaman situs restriksi dapat
dideteksi dengan menggunakan RFLP dan elektroforesis gel (Allendrof dan
Luikart 2008).
Teknik PCR-RFLP telah banyak digunakan dalam kajian keragaman
genetik pada ikan.Berikut beberapa penelitian analisis keragaman genetik yang
menggunakan teknik PCR-RFLP: Hasil penelitian Imsiridou et al. (1997) pada
greek chub (Leuciscus cephalus),Rina (2001) pada ikan Pangasius, Arifin dan
Kurniasih (2007) pada ikan nila (Oreochromis niloticus), Slamat (2009) pada ikan
betok (Anabas testudineus),Mulyasari et al. (2010) pada ikan kelabau
(Osteochilus

kelabau),telah

memperlihatkan

adanya

keragaman

genetik

berdasarkan pemotongan daerah mitokondria dengan beberapa enzim restriksi.
2.4. DNA Mitokondria
DNA mitokondria berbeda dengan DNA inti walaupun keduanya berada
dalam satu sel.Pewarisan DNA mitokondria kepada generasi berikutnya terjadi
secara maternal dan tidak ada rekombinasi. Pada DNA ini terjadi laju mutasi
yang relatif tinggi.Karena itu, DNA mitokondria dapat dimanfaatkan untuk
menentukan keragaman genetik antar individu dalam satu populasi, hubungan
evolusi diantara populasi dan rekonstruksi migrasi suatu populasi (Toha 2001).

9

DNA mitokondria umumnya berbentuk sirkular (siklik) rantai ganda dan
merupakan molekul superkoil kecuali DNA mitokondria di dalam Tetrahymena
dan Paramecium yang berbentuk linier.Ukuran DNA mitokondria bervariasi antar
spesies tetapi tetapsama antara mitokondria di dalam spesies tertentu. Semua
DNA mitokondria tanpa memandang ukurannya, mempunyai komplemen gen
yang sama, walaupun ada sedikit variasi.

Perbedaan ukuran diantaraspesies

disebabkan oleh banyaknya DNA pemisah diantara gen-gen mitokondria (Sumadi
dan Marianti 2007).Jumlah mitokondria tiap-tiap sel sangat beragam, ada sel yang
tidak mempunyai mitokondria, tetapi ada pula yang mempunyai mitokondria
banyak sekali bahkan sampai ratusan ribu.Spermatozoa dan Flagellata seperti
Chromulina hanya mempunyai satu mitokondria pada tiap-tiap selnya.Sel-sel hati
rata-rata mempunyai 800 mitokondria tiap selnya, sedangkan landak laut dan
Amoeba raksasa Chaos-chaos mempunyai hampir 500.000 mitokondria.
DNA mitokondria mempunyai peranan yang penting dalam menyandi
beberapa tRNA, rRNA dan protein yang digunakan dalam sintesis protein di
mitokondria (Griffiths et al. 2000).Ukuran mtDNA kurang dari 20 kb dan
diwariskan secara maternal.mtDNA mempunyai gen yang menyandi enzim dan
protein dalam respirasi seperti: cytochrome b, NADH 1-7, NADH-41, cytochrome
c oxidase (COX-1-3), ATP 6;8;9, 12s RNA, 16s RNA, dan tRNA (Lemire 2005).
Perbedaan antara gen DNA mitokondria dan gen yang terdapat pada inti
sel mencakupi 2 faktor. Pertama, DNA mitokondria diwariskan secara maternal,
dan tidak mengikuti hukum Mandel.Kedua, DNA mitokondria adalah haploid dan
mempunyai laju mutasi 5-10 kali lebih cepat dari pada gen pada inti sel.Rata-rata
laju keragaman DNA mitokondria pada vertebrata adalah 1-2% per juta tahun
(Randi 2000).Mutasi pada DNA mitokondria disebabkan faktor lingkungan atau
mutasi pada gen inti sel yang berdampak pada DNA mitokondria (Lemire 2005).
Menurut Dunham (2004), analisis variasi genetik DNA mitokondria
merupakan alternatif untuk mempelajari genetika populasi ikan, sebab laju mutasi
DNA mitokondria lebih cepat dibandingkan dengan DNA genom. Daerah control
region yang hipervariabel, memungkinkan penelusuran evolusi yang cepat.Hasil
analisisini sering kali dipergunakan untuk mengungkapkan keragaman genetik
intrapopulasi ikan dalam rangka program perbaikan genetik.

10

11

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan
April 2012, di Laboratorium Genetik Balai Riset Budidaya Air Tawar Bogor.
3.2. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan Baung yang
merupakan hasil penyamplingan dari beberapa populasi yaitu, Cirata (Jawa Barat)
yang disampling dari Waduk Cirata, Bogor (Jawa Barat) yang disampling dari
sungai Cisadane, Serayu (Jawa Tengah) yang disampling dari sungai Serayu dan
Jambi yang merupakan hasil domestikasi BBAT Jambi. Masing-masing populasi
diambil 10 ekor ikan dengan bobot tubuh 500-700 gram.Lokasi pengambilan
sampel ikan baung disajikan pada Lampiran 1. Primer forward LH 1509 (5’CAT ATT AAA CCC GAA TGA TAT TT – 3’) dan primer reverse FH 1202 (5’
– ATA ATA GGG TAT CTA ATC CTA GTT T – 3’) digunakan untuk
mengamplifikasi daerah D-loop mtDNA dengan PCR. Empat enzim restriksi
(Fermentas) yaitu: MboI(5′-↓GATC-3′), HaeIII(5′-GG↓CC-3), AluI (5′- AG↓CT3′ danRsaI(5′-GT↓AC-3′) digunakan untuk memotong hasil PCR dari daerah Dloop mtDNA.
3.3. Ektraksi DNA
DNA ikan diekstraksi dari potongan sungut ikan dengan menggunakan
metode phenol chloroform (Nugroho 2001). Potongan sungut sebanyak 5-10 mg
dimasukkan dalam mikrotube 1,5 ml yang telah diisi dengan 500 ml TNES Urea
(10 mM Tris-HCL pH 7,5, 125 mM NaCl, 10 mM EDTA pH 7,5, 0,5% SDS dan
4 mM Urea), kemudian ditambah 10 µl/ml proteinase K. Setelah itu tabung
divortex selama 1 menit kemudian sampel diinkubasi selama 24 jam pada suhu
370C.

Selanjutnya larutan phenol chloroform ditambahkan pada campuran

tersebut sebanyak 1000 µl dan divotex selama 1 menit. Tabung yang berisi
campuran kemudian disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit.
Supernatan diambil

dan dimasukkan pada mikrotube baru, lalu ditambahkan

12

dengan 1000 µl ethanol 90% dan 10 µl CH3COONa. Sampel lalu divortex selama
1 menit.Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit,
lalu supernatannya dibuang dan dikeringkan pada suhu kamar.

Endapan

dilarutkan di dalam 100 µl TE (Tris-HCL 1M pH7,5, EDTA 500 mM pH 8) dan
disimpan pada suhu 40C sebelum digunakan pada tahap selanjutnya.
3.4. Amplifikasi DNA
Amplifikasi daerah D-loop mtDNA menggunakan primer forward LH
1509 dan primer reverse FH 1202. Komposisi bahan untuk amplifikasi DNA
adalah 3 µl DNA, primer forward 10 µM, primer reverse 10µM, dan 18 µl H 2O
yang dicampurkan pada 1 unit dry taq (GE Healthcare) sehingga volume totalnya
25 µl. PCR dilakukan sebanyak 35 siklus.
Untuk proses PCR, denaturasi dilakukan pada suhu 940C selama 2 menit,
penempelan primer pada suhu 500C selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 720C
selama 2 menit.
3.5. Pemotongan dengan Enzim Restriksi
Hasil amplifikasi DNA dengan PCR dipotong menggunakan 4 jenis enzim
restriksi secara terpisah, yaitu: MboI, HaeIII,AluI dan RsaI. Pemotongan mtDNA
dilakukan dengan mencampurkan 5 U enzim restriksi, 1 µl buffer enzim, 3 µl
DNA hasil PCR dan 5 µl H2O, kemudian diinkubasi pada suhu 370C selama 24
jam.
3.6. Elektroforesis dan Visualisasi
Elektroforesis hasil PCR dan hasil pemotongan DNA dengan enzim
restriksi dilakukan dalam gel agarose 1-2% dengan 1 X buffer TBE (89 mM tris,
89 mM boric acid, 2 mM EDTA) dan ditambahkan 0,5 µg/ml ethidium bromide
dan diamati dibawah UV transluminator.
3.7. Analisis Data
Pola pita dari hasil pemotongan DNA dari setiap individu dari setiap
populasi dengan enzim restriksi, dikelompokkan menjadi jenis haplotipe (tipe

13

pemotongan enzim restriksi).Hasil pengelompokan haplotipe tersebut diolah
menggunakan software TFPGA (Tools for PopulationGenetic Analysis).
Adapun nilai-nilai yang diamati untuk melihat perbedaan antar populasi
dari hasil pemotongan dengan 4 enzim restriksi adalah:
1. Frekuensi haplotipe dan heterozigositas populasi
Frekuensi alel=
ni= frekuensi alel ke i
N= total sampel pada satu populasi
Heterozigositas: He = 1- ∑

pi= frekuensi alel ke-i

2. Analisa Jarak genetik (Genetic distance)
Jai = ∑
Jbi =∑

bi2

Jab =∑

ai.bi

Ij

=

Dimana: i

ai2



= pola ke-i

ai

= frekuensi pola ke-i dari populasi A

bi

= frekuensi pola ke-i dari populasi B

aibi = perkalian frekuensi pola ke-i dari populasi A dan frekuensi pola
ke-i dari populasi B
Ij

= identitas genetik yang dinormalkan untuk lokus ke-j

3. Uji Fst berpasangan (Indeks fiksasi)
Fst =



Dimana: HT = total heterozigositas dalam populasi total
HS = rerata heterozigositas antar subpopulasi dengan populasi

14

15

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Hasil amplifikasi PCR menunjukkan bahwa daerah D- loop mtDNA ikan
baung memiliki panjang sekitar 1800 pasang basa (Gambar 1). Hal ini sesuai
dengan penelitian Nugroho et al. (2005) yang menyebutkan bahwa daerah D-loop
mtDNA ikan baung mempunyai panjang sekitar 1800-2000 pasang basa (pb).
Estimasi ukuran (pasang basa) hasil pemotongan daerah D-loop mtDNA
ikan baung dengan menggunakan 4 enzim restriksi tercantum pada Tabel 1.Hasil
pemotongan daerah D-loop mtDNA ikan baung dengan 4 enzim restriksi
dikelompokkan berdasarkan pola pemotongan yang dihasilkan yang disajikan
pada Tabel 2.

Contoh hasil pemotongan daerah D-loop mtDNA ikan baung

dengan 4 enzim restriksi tercantum pada Gambar 2 sampai dengan 4.
CIRATA

SARAYU JAMBI BOGOR M

1800 pb

Gambar 1 Hasil Amplifikasi D-loop region mtDNA

16

Tabel 1Pola potongan D-loop mtDNA dengan 4 enzim restriksi
Enzim

ukuran

600
590
550
500
Jumlah sampel

cirata

ukuran
900
800
600
590
550
500

MboI

10

ukuran
1100
500
HaeIII 390
320
250
220
Jumlah sampel

cirata

ukuran
100
800
600
AluI
400
350
300
250
Jumlah sampel

cirata

ukuran
1300
700
500
300
RsaI 390
290
190
150
100
Jumlah sampel

cirata

10

ukuran
900
800
600
590
550
500

10
ukuran
1100
500
390
320
250
220

10

6

Serayu

serayu

7
ukuran
1100
500
390
320
250
220

10
ukuran
100
800
600
400
350
300
250
4

serayu

serayu

10

Ukuran
900
800
600
590
550
500

3

jambi

ukuran
100
800
600
400
350
300
250

Ukuran
1100
500
390
320
250
220

Bogor

10

jambi

Ukuran
100
800
600
400
350
300
250

10
ukuran
1300
700
500
300
390
290
190
150
100

bogor

10

10

10
ukuran
1300
700
500
300
390
290
190
150
100

Jambi

Bogor

5

jambi

Ukuran
1300
700
500
300
390
290

Bogor

150
8

2

5

10

17

Secara umum, hasil pemotongan dengan 4 enzim restriksi menghasilkan 7
kelompok haplotipe yang disebut haplotipe komposit, seperti yang tertera pada
Tabel 2.
Tabel 2 Haplotipe komposit pada 4 populasi ikan baung.
Enzim
restriksi

Marker
(bp)
900
800
700
600
550
500

MboI

Tipe

Populasi
Cirata

Serayu

Jambi

Bogor

A

A

B

B

B

A

A

B

A

A

A

A

A

A

A

A

A

A

A

A

A

B

B

B

A

A

A

A

A

B

A
A
A
A
A

A
A
A
B
A

B
B
A
B
B

B
B
A
B
B

C
B
A
A
C

B
A
A
A
C

B
A
A
A
B

B
B
A
A
B

A
A
A
A
A

A
A
A
B
A

1100
700
400
390
320
300
220

HaeIII

Tipe
1000
800
600
400
350
300
250

AluI

Tipe
1300
650
500
300
290
190
100

RsaI

Tipe
Haplotipe
komposit

Pemotongan dengan enzim restriksi MboI menghasilkan 2 jenis
pemotongan, pola A dengan estimasi ukuran potongan adalah 650, 590 dan 500
pasang basa (pb)dan pola B dengan estimasi ukuran potongan adalah 900, 650 dan
500 (pb). Pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII memperlihatkan situs yang

18

monomorfik pada setiap populasi, dengan estimasi ukuran potongannya adalah
1100, 390, 320 dan 220 (pb).

Pemotongan dengan enzim restriksi AluI

menghasilkan 2 pola pemotongan dengan estimasi ukuran potongan untuk pola A
adalah 1000, 350 dan 250 (pb) dan untuk pola B adalah 600, 350, 300 dan 250
(pb).
Pemotongan dengan enzim restriksi

RsaI menghasilkan 3 pola

pemotongan (Tabel 2). Estimasi ukuran potongan untuk pola A adalah 1300,
300, dan 190 (pb), estimasi ukuran untuk pola B adalah 1300, 300 dan 100 (pb)
dan estimasi ukuran untuk pola C adalah 1300, 290 dan 100 (pb).

CIRATA

JAMBI

SERAYU

BOGOR M

900
600
550
500

Gambar 2Pola pemotongan D-loop region mtDNA dengan enzim restriksiMboI

CIRATA

JAMBI

SERAYU

BOGOR M

1100

390
320
220

Gambar 3Pola pemotongan D-loop region mtDNA dengan enzim restriksiHaeIII

19

CIRATA

SERAYU

JAMBI

BOGOR

M

1000
600
350
300
250

Gambar 4.Pola pemotongan D-loop region mtDNA dengan enzim restriksi AluI
Uji descriptive dengan program TFPGA menunjukkan bahwa ikan baung
yang berasal dari populasi Jambi mempunyai nilai heterozigositas yang paling
tinggi yaitu 0,5800 diikuti oleh ikan baung dari populasi Bogor dengan nilai
heterozigositas 0,5000, populasi ikan baung dari Cirata 0,4800. Dan ikan baung
dari populasi Serayu mempunyai nilai heterozigositas yang paling rendah yaitu
0,0000 (Tabel 3). Penghitungan nilai heterozigositas dengan software TFPGA
disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 3 Variasi genetikempat populasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA
yang dipotong dengan 4 enzim yaitu MboI, HaeIII AluI dan RsaI.
Frekuensi
AAAA
AABA
BABB
BAAC
AAAC
AAAB
BAAB
n-sampel
Jumlah haplotype
Heterozigosity diversity

Populasi
Serayu
Jambi

Cirata
0.6000
0.4000

Bogor
0.5000
0.5000

1.0000
0.6000
0.2000
0.1000
0.1000
10
2
0.4800

10
1
0.0000

10
4
0.5800

10
2
0.5000

Tingginya nilai heterozigositas pada populasi ikan baung dapat dilihat juga
dari jumlah haplotipe komposit yang dimilikinya yang menunjukkan keragaman

20

dalam situs pemotongan enzim restriksi.Keragaman ini mengindikasikan bahwa
ikan tersebut mempunyai tetua yang beragam. Ikan baung dari populasi jambi
mempunyai 4 haplotipe komposit yaitu BAAC, AAAC, AAAB dan BAAB, dan
ikan baung dari populasi Bogor dan Cirata yang mempunyai 2 haplotipekomposit
yaitu AAAA dan AABA. Sedangkan ikan baung yang berasal dari populasi
Serayu hanya mempunyai satu haplotipe komposite yaitu tipe BABB.
Jarak genetik atau ketidakmiripan antara empat populasi ikan baung
disajikan pada Tabel 4. Ikan baung yang berasal dari populasi Cirata mempunyai
nilai jarak genetik atau ketidakmiripan yang dekat dengan populasi Bogor yaitu
sebesar 0,100. Penghitungan nilai Jarak genetik dengan menggunakan software
TFPGA disajikan pada Lampiran 3.Berdasarkan penghitungan jarak genetik
tersebut, hubungan keempat populasi ikan baung disajikan dengan dendogram
(Gambar 5).

Tabel 4 Jarak genetikempatpopulasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA yang
dipotong dengan 4 enzim yaitu MboI, HaeIII AluI dan RsaI.
Populasi
Cirata
Serayu
Jambi
Bogor
Rata-rata = 0.6740

Cirata

Serayu
0.8718

Jambi
0.6856
0.8426

Bogor
0.1000
0.8660
0.6782

Populasi ikan baung dari Bogor berada satu cluster dengan populasi ikan
baung yang berasal dari Cirata, dan terpisah dari populasi ikan baung yang berasal
dari Jambi dan Serayu. Dan ikan baung dari populasi Jambi dan Serayu juga
mempunyai cluster yang berbeda.

21

Gambar 5Dendogram (wright genetic distance)/ ketidakmiripan genetik empat
populasi ikan baung berdasarkan D-loop mtDNA yang dipotong
dengan 4 enzim yaitu MboI, HaeIII AluI dan RsaI. 1). Cirata; 2).
Serayu; 3).Jambi; 4). Bogor.
Uji Fst berpasangan menunjukkan bahwa ikan baung yang berasal dari
populasi Bogor dan Cirata tidak berbeda nyata namun berbeda nyata dengan 2
populasi lainnya yaitu ikan baung yang berasal dari populasi Jambi dan Serayu.
Ikan baung dari populasi Jambi berbeda nyata dari populasi Serayu (Tabel 5).
Penghitungan nilai uji Fst berpasangan menggunakan software TFPGA disajikan
pada Lampiran 4.
Tabel 5 Uji Fst berpasangan 4 populasi ikan baung berdsarkan mtDNA yang
direstriksi dengan 4 enzim yaitu MboI, HaeIII AluI dan RsaI.
Populasi
Cirata
Serayu
Jambi
Bogor

Cirata

Serayu
0.0000 *

Jambi
0.0000*
0.0000*

Bogor
0.7535
0.0000*
0.0000*

4.2. Pembahasan
Dari 4 enzim restriksi yang digunakan untuk memotong daerah D-loop
mtDNA ikan baung, RsaI merupakan enzim restriksi yang paling banyak
menghasilkan pola pemotongan, yakni 3 pola, kemudian diikuti oleh enzim
restriksi MboI dan AluI yang menghasilkan 2 pola pemotongan, dan enzim
restriksi HaeIII hanya menghasilkan 1 pola pemotongan.

Perbedaan pola

22

pemotongan mengindikasikan bahwa urutan nukleotida pada daerah D- loop
mtDNA pada ikan baung dari empat populasi adalah beragam.
Pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII yang hanya menghasilkan 1
pola pemotongan pada 4 populasi ikan baung, menunjukkan bahwa empat
populasi ikan baung tersebut tidak mempunyai keragaman pada situs pengenalan
enzim restriksi HaeIII. Nugroho et al. (2005) telah menggunakan enzim restriksi
HaeIII untuk melihat keragaman genetik pada ikan baung dari populasi Jambi,
Wonogiri dan Jatiluhur yang juga menghasilkan 1 pola pemotongan.Hal ini
menunjukkan bahwa dari 6 populasi ikan baung yaitu ikan baung dari populasi
Cirata, Serayu, Jambi, Bogor, Wonogiri dan Jatiluhur tidak mempunyai
keragaman di daerah D-loop pada situs pengenalan enzim restriksi HaeIII.
Pada penelitian ini, pemotongan daerah D-loop mtDNA ikan baung dari 4
populasi (Cirata, Serayu, Jambi dan Bogor) dengan 4 enzim restriksi
menghasilkan 7 jenis haplotipekomposit. Hal ini menunjukkan adanya keragaman
antar populasi tersebut.

Dan bila melihat hasil heterozigositas pada tiap-tiap

populasi, ikan baung yang berasal dari Jambi merupakan populasi yang
mempunyai nilai heterozigositas paling tinggi yaitu 0,5800, yang telah mengalami
peningkatan dibandingkan dengan hasil pengamatan Nugroho et al. (2005) pada
populasi ini yang memperoleh nilai diversitas haplotipe sebesar 0,111 dan hanya
dua jenis haplotipekomposit. Peningkatan keragaman genetik ini, karena populasi
yang berasal dari BBAT (Balai Budidaya Air Tawar) Jambi, didugamengalami
penambahan populasi dari luar dalam rangka untuk program seleksi.Penelitian
Leesa-Nga et al. (2000) juga memperlihatkan bahwa heterozigositas tertinggi juga
ditemukan pada populasi ikan baung yang berasal dari pembenihan (hatchery)
(0,111 ± 0,036) bila dibandingkan dengan populasi liar yang berasal dari
Sukhothai (0,041 ± 0,023).
Populasi Serayu yang hanya mempunyai 1 haplotipe dengan diversitas
genetik sebesar 0,000, menunjukkan keragaman populasi ini sangat rendah.
Rendahnya keragaman genetik kemungkinan disebabkan oleh penurunan
keragaman genetik walaupun tidak ada data dari penelitian lain yang dapat
dijadikan tolok ukur untuk menyatakan penurunan keragaman genetik ikan baung
pada populasi ini.

23

Untuk populasi Cirata dapat dikatakan telah terjadi penurunan keragaman
genetik karena pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hanny (2003)
populasi ini mempunyai nilai diversitas haplotipe sebesar 0,8000 dengan 5 jenis
haplotipekomposit, sedangkan pada penelitian ini hanya menghasilkan 2 haplotipe
komposit dengan diversitas haplotipe sebesar 0,4800.
Bila dilihat dari data pemotongan dengan 4 enzim restriksi pada populasi
ikan baung yang berasal dari populasi Bogor dan Cirata, terdapat kemiripan dalam
pola pemotongan. Setelah uji Fst berpasangan ternyata tidak ada perbedaan yang
nyata antara populasi Bogor dan populasi Cirata, dan bila dilihat data jarak
genetik dan dendogramnya terlihat bahwa populasi Bogor dan Cirata berada
dalam satu cluster dengan jarak genetik 0,1000.

Bila dilihat dari kondisi

geografisnya sumber populasi Bogor dan Cirata memang berdekatan, tetapi
merupakan dua populasi yang terpisah.Populasi Bogor berasal dari sungai
Cisadane dan populasi Cirata berasal dari waduk Cirata.Jadi tidak bisa
disimpulkan bahwa terjadi migrasi atau geneflowsecara alami yang dapat
membuat kekerabatan kedua populasi tersebut dekat secara genetik. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Simmon et al. (2006), gene flow atau migrasi merupakan
suatu proses perpindahan gen antar populasi.

Jika ada dua populasi dengan

struktur genetik yang berbeda dan kemudian terjadi perpindahan gen antar
populasi dalam kurun waktu tertentu, maka akan menjadi mirip atau serupa secara
genetik.
Dugaan yang lain yang bisa digunakan untuk menjawab fenomena ini,
adalah kedua populasi ini memang berasal dari satu tetua. Kesamaan tetua ini
dapat disebabkan oleh perpindahan individu atau populasi dari satu habitat ke
habitat lainnya yang dilakukan oleh manusia, atau kedua populasi tersebut
merupakan hasil introduksi dari populasi yang sama. Kesamaan yang tinggi juga
ditemukan Nugroho et al. (2005) pada populasi ikan baung yang berasal dari
populasi Wonogiri dan Jatiluhur, dimana kedua populasi tersebut mempunyai
jarak genetik0,255.

24

4.2.1. Keragaman Genetik dan Keperluan dalam Budidaya
Keragaman genetik yang diamati pada 4 populasi ikan baung ini tergolong
rendah bila dibandingkan beberapa spesies air tawar lainnya, misalnya ikan patin
(Pangasius) berkisar antara 0,568-0,934 (Rina 2001), ikan nila (Oreocrhromis
niloticus) yang mempunyai keragaman haplotipe berkisar antara 0,533-0,7579
(Arifin dan Kurniasih 2007),ikan betok (Anbas testudineus) yang berkisar antara
0,6-0,9384 (Slamat 2009). Tetapi keragaman genetik ikan baung lebih tinggi dari
pada beberapa spesies air tawar lainnya sepertiikan kancra (Tor soro) yang
mempunyai keragaman haplotipe 0 (Nugroho et al. 2006), dan ikan kelabau
(Osteochilus kelabau) yang berkisar antara 0-0,189 (Mulyasari et al. 2010).
Keragaman genetik ikan baung pada penelitian ini relatif lebih tinggi bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Nugrohoet al. (2005) pada 3 populasi ikan
baung yang berasal dari populasi Jambi, Wonogiri dan Jatiluhur yang mempunyai
keragaman haplotipe secara berturut 0,111, 0,508 dan 0,173. Keragaman genetik
ikan air tawar memang lebih rendah bila dibandingkan dengan dengan ikan air
laut yang mempunyai jumlah haplotipe berkisar antara 6-17 dengan nilai
keragaman haplotipe 0,6-0,9 (Nugroho 2002).

Penyebab rendahnya tingkat

variasi genetik pada ikan air tawar karena ikan air tawar mempunyai tingkat
migrasi yang lebih rendah sehingga peluang adanya persilangan dengan jenis ras
lainnya semakin kecil pula (Arifin dan Kurniasih 2007).
Informasi nilai keragaman genetik ini akan sangat berguna dalam
melakukan perbaikan budidaya pada ikan baung.

Dari informasi keragaman

genetik yang ada, pemilihan strategi perbaikan kualitas genetik ikan baung dapat
dilakukan.Misalnya,untuk mencegah depresi silang dalam, makaikan baung dari
populasi Serayu yang mempunyai keragaman genetik yang rendah tidak
dikawinkan sesamanya.

Begitu juga dengan populasi ikan baung yang lain.

Adanya keragaman genetik memungkinkan teknik hibridisasi atau teknik seleksi
untuk memperbaiki kualitas genetik ikan baung dapat dilakukan.Chambers (1983)
menyatakan bahwa seleksi dapat mengubah konstribusi frekuensi gen yang
ditentukan oleh peluang satu atau lebih genotipe yang divariasikan pada generasi
berikutnya.

25

Perubahan genetis pada

sifat-sifat yang dihasilkan program breeding

selektif bisa dimanfaatkan untuk: 1). peningkatan produksi dan pendapatan; 2)
mengurangi waktu dan biaya produksi; 3) meningkatkan efisiensi sumberdaya
faktor-faktor produksi; 4) meningkatkan standar etika dalam produksi 5).
mengurangi penggunaan obat-obatan dan bahan kimia untuk menangani penyakit
dan parasit; dan 6). meningkatkan kualitas produk dan nilai ekonomis dan nilai
non ekonomis produk (Olese et al. 2003).
Daya adaptasi ikan baung tergantung dari asal populasi ikan tersebut.
Keragaan ikan baung yang berasal dari 4 populasi yaitu ikan baung berasal dari
populasi Cirata (waduk Cirata), Serayu (sungai Serayu), Jambi (BBAT Jambi) dan
Bogor (sungai Cisadane) yang diperolah dari hasil penelitian Subagya et al.
(2011) disajikan pada Tabel 6. Kelangsungan hidup (survival rate) ikan baung di
kolam Instalasi Penelitian Cibalagung tergantung dari populasi asal.

Tabel 6Kondisi jumlah calon induk ikan baung pasca angkut sampai dengan
proses adaptasi di lingkungan kolam Instalasi Penelitian, Cibalagung.
Jumlah Ikan Uji masing-masing koleksi
Waktu pengamatan,SR
Cirata

Cisadane Jambi F1

Serayu

Bogor F1

Awal kedatangan

144

60

40

32

40

Bulan ke 2

136

54

37

28

38

94.44

90.00

92.50

87.50

95.00

131

48

17

26

37

90.97

80.00

42.50

81.25

92.50

SR (%)
Bulan ke 3
SR (%)

Sumber: Subagya et al. (2011)

Dari data diatas dapat dilihat sampai bulan ke-3 masa adaptasi ikan baung
yang berasal dari populasi Bogor memiliki nilai adaptasi yang tertinggi yaitu
92,50% diikuti oleh populasi Cirata (90,97%), Serayu (81,25%) Cisadane
(80,00%) dan populasi Jambi mempunyai nilai kelangsungan hidup terendah yaitu
42,50%.

26

Setelah induk diaklimatisasi di kolam instalasi penelitian Cibalagung,
kemudian dilanjutkan dengan melihat performa bioreproduksi ikan baung dari 4
populasi, yaitu populasi Cirata, Serayu, Jambi dan Bogor. Derajat pembuahan
dan daya tetas induk ikan baung dari 4 populasi disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Derajat pembuahan dan daya tetas (%) dihitung dari telur yang dibuahi,
berdasarkan pengamatan sampel telur yang diinkubasikan pada
lempeng kaca

No. Asal Induk

Telur
sampel
(gr)

Jumlah
telur
(butir)

Telur
dibuahi

Telur
menetas

FR
(%)

HR
(%)

1

Cisadane

0,5

325

-

-

0

0

2

Cisadane

0,4

235

35

14

14.9

40

3

Cisadane

0,5

369

-

-

0

0

4

Cirata

-

-

-

-

0

0

5

Cirata

0,5

410

-

-

0

0

6

Cirata

-

-

-

-

0

0

7

Jambi

0,5

325

238

96

73.2

40.3

8

Jambi

-

-

-

-

0

0

9

Serayu

0,3

157

5

-

3.1

0

10

Serayu

0,3

131

95

85

72.5

89,5

Sumber: Subagya et al. (2011)

Ikan baung yang berasal dari populasi Serayu mempunyai performa
bioreproduksi yang paling baik, hal ini dapat dilihat dari tingginya nilai derajat
pembuahan (FR) yaitu 72,5% dengan daya tetas sebesar 89,5% bila dibandingkan
denganinduk ikan baung dari pop