Miqat Makani

Miqat Makani
MIQAT MAKANI DALAM IBADAH HAJI
Pertanyaan Dari:
Drs. Zen Amiruddin, M.Si., Ketua Majlis Tarjih PDM Kota Blitar
(disidangkan pada Jum’at, 12 Rabiul Akhir 1429 H / 18 April 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Dengan ini kami sampaikan untuk pengasuh Tanya Jawab Agama, yakni kami ingin
penjelasan seputar miqat makani ibadah haji. Di kalangan orang Muhammadiyun masih simpang
siur tentang miqat makani bagi jamaah haji Indonesia gelombang II, yaitu di King Abdul Aziz
ataukah di Qarnul Manazil, karena tidak mungkin melewati Yalamlam lagi.
Memperhatikan:
1. Buku Tuntunan Manasik Haji yang diedarkan oleh Majelis Tarjih ternyata Bandara King Abdul
Aziz bisa menjadi miqat makani jamaah haji Indonesia gelombang II.
2. Para Ulama Muhammadiyah banyak yang menfatwakan mereka supaya mengambil miqat di
pesawat terbang pada posisi Qarnul Manazil (atau sebelumnya) padahal di Suara
Muhammadiyah pernah ada terbitan menguraikan secara geografis bahwa pesawat tersebut lewat
tidak tepat di atasnya.
3. Hadis Nabi saw dari Aisyah riwayat al-Bukhari tentang miqat Tan’im.
Maka timbul masalah:
Pertama, kalau miqat di Qarnul Manazil itu dipakai, tentunya berdasarkan ilmu kira-kira, bahkan

dikira-kira sebelum sampai di tempat perkiraan itu, padahal Rasulullah saw shalat dua rakaat di
tanah miqat. Apakah ada contoh dari Rasulullah saw beramal seperti itu, terutama berihlal dan
shalat dua rakaat sebelum sampai di miqat, baik qauliyah, fi’liyah maupun taqririyah? Kalau ada
berarti sunnah, tetapi kalau tidak ada tentunya bid’ah, sebab

‫اأصل فى الع اد التوقيف واات اع‬.

Paling ringan pendapat ulama fiqh bahwa mengambil miqat sebelumnya adalah makruh.
Kedua, hadits riwayat Aisyah secara lafziyah jelas dia sudah masuk kota Makkah tetapi belum
umrah, maka seandainya Bandara King Abdul Aziz itu dianggap sebagai tanah yang sudah
masuk miqat atau miqat yang tidak jelas, mengapa tidak hadis riwayat Aisyah ini yang dijadikan
tuntunan? Kalau hadis ini ada illatnya, apakah illatnya itu jelas atau samar?
Ketiga, dari tiga latar belakang tersebut, ditinjau dari thariqatul-tarjih apakah tidak lebih bagus
mengamalkan hadis riwayat Aisyah tersebut?
Demikian mohon tanggapan semoga jamaah Muhammadiyun dan simpatisannya selamat
seperti harapan kita bersama.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Jawaban:
Pertanyaan yang saudara ajukan sebenarnya telah di bahas pada Tuntunan Manasik Haji

oleh Tim Majlis Tarjih PP. Muhammadiyah, Fatwa Agama Suara Muhammadiyah Edisi Januari
2002, Tanya Jawab Agama 5, dan Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 21 tahun
ke-92/2007. Untuk itu sebagian akan kami kutip kembali, tentunya dengan beberapa
penambahan seperlunya.
1.

Apakah Bandara King Abdul Aziz bisa dijadikan miqat makani bagi jamaah haji Indonesia
gelombang II?
Rasulullah saw telah menetapkan adanya 4 (empat) miqat dalam haji, yaitu Zul-Hulaifah
(Bir Ali), al-Juhfah, Qarnul-Manazil dan Yalamlam. Ada juga yang menambahkan dengan Zatu
Irqin sebagai miqat berdasarkan hadis yang ditakhrij oleh Muslim dan hadis yang ditakhrijkan
oleh Ibnu Majah. Akan tetapi dari segi kritik matan hadis, hadis riwayat Muslim ini patut
dipertanyakan karena penetapan Nabi saw terhadap Zatu Irqin sebagai miqat penduduk Irak
sangatlah janggal mengingat bahwa pada waktu itu orang-orang Irak belum masuk Islam.
Perawinya juga ragu apakah hadis ini marfu’ atau tidak, hal ini bisa dilihat dari peryataan perawi
sendiri yang mengatakan ‘ahsibu’ (saya mengira), jadi tidak ada kepastian bahwa itu merupakan
pernyataan Nabi saw atau salah seorang sahabat.
Irak ditundukkan pada masa Umar bin Khatab dan Umar-lah yang menjadikan Zatu Irqin
sebagai miqat penduduk Irak (Tanya Jawab Agama 5: 113) berdasarkan hadis Nabi saw dari Ibnu
Umar riwayat al-Bukhari sebagai berikut :


ِ ‫صر‬
ِ ‫َع ِن اب ِن ُعمر ر‬
ِ
ِ ِ
‫ان أَتَ ْوا عُ َم َر‬
َ َ‫ض َي الُ َع ْهُ ق‬
َ ََ ْ
َ ْ ‫ لَ ّما فُت َح َه َذان اْلم‬:‫ال‬
ِ
ِ ِ ْ‫ يا أ َِم ْي ر ا‬:‫فَ َقالُوا‬
‫صلّى الُ َعلَْي ِه َو َسلّ َم َح ّد َِِ ْه ِل‬
َ ‫لم ْؤم ْي َن إِ ّن َر ُس ْو َل ال‬
ُ َ َ ْ
:‫ال‬
َ َ‫ ق‬.‫ َوإِنّا إِ ْن أ ََر ْدنَا قَ ْرناً َش ّق َعلَْي َا‬،‫نَ ْج ٍد قَ ْرناً َو ُه َو َج ْوٌر َع ْن طَ ِريْ ِقَا‬
]‫ [روا البخاري‬.‫ات ِع ْر ٍق‬
َ ‫ فَ َح ّد لَ ُه ْم َذ‬.‫فَانْظُُروا َح ْذ َو َها ِم ْن طَ ِريْ ِقكم‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Ketika dua kota ini (Basrah dan Kufah)
ditaklukkan orang-orang menghadap Umar lalu mengatakan: Wahai Amirul-Mukminin,

sesungguhnya Rasulullah saw telah menentukan Qarnul-Manazil (sebagai miqat) bagi penduduk
Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari jalan yang kami lalui. Kalau kami harus menuju
Qarnul-Manazil maka kami merasa sukar. Lalu Umar berkata: Coba lihatlah arah yang
setentang dengan Qarnul-Manazil pada jalan yang kamu lalui. Lalu kemudian Umar
menentukan Zatu Irqin (sebagai miqat) bagi mereka.” [HR. al-Bukhari].
Adapun hadis riwayat Ibnu Majah adalah dhaif dari sisi sanadnya karena terdapat perawi
yang bernama Ibrahim Ibnu Yazid. Ibrahim dinyatakan sebagai perawi yang tidak handal dan

munkar hadisnya, dan para ulama menulisnya dhaif. Miqat merupakan tempat yang dilalui para
hujjaj dan menjadi tempat pemberhentian (stasiun) melalui mana para hujjaj lewat. Tempat ini
pun diharuskan memberi kemudahan sesuai prinsip syar’i yaitu at-taisir dan ’adam al-haraj.
Pada masa sekarang memang banyak jamaah haji tidak lagi melalui miqat yang telah
disebutkan dalam hadis Nabi saw, karena mereka tidak lagi naik kapal dan kendaraan darat
terutama jamaah haji Indonesia, melainkan naik pesawat terbang dan langsung menuju Bandara
King Abdul Aziz khususnya bagi jamaah haji gelombang II. Tentunya ini membutuhkan ijtihad
baru apakah tempat tersebut bisa dijadikan miqat atau tidak.
Para ulama sepakat bahwa miqat orang-orang yang tidak melalui salah satu yang telah
ditetapkan Nabi saw, maka ditetapkan berdasarkan ijtihad yaitu tempat yang segaris lurus dengan
miqat terdekat yang dilaluinya, atau kalau tidak mengetahui miqat terdekatnya maka ditetapkan
dengan dua marhalah (80,4 km). Saudara bisa membaca kembali Suara Muhammadiyah bulan

Zulqa’dah 1422 H / Januari 2002 M. Di sana juga ditulis beberapa pendapat, di antaranya Ibnu
Qudamah berpendapat: “Barangsiapa perjalanannya tidak melalui miqat yang telah ditetapkan
Nabi saw maka miqatnya adalah tempat segaris lurus dengan miqat terdekat (Ibnu Qudamah
1984, al-Mughni, III: 219).
Ibnu Humam mengatakan: “Barangsiapa yang berkendaraan laut atau darat yang tidak
melalui salah satu miqat yang ditetapkan Nabi saw maka ia wajib berihram ketika berada di
tempat yang berada segaris lurus dengan miqat terakhir ........... dan jika tidak mengetahuinya
maka jaraknya adalah 2 marhalah dari Makkah (Ibnu Humam 1997, Fathul-Qadir, II : 426).
Mazhab Maliki berpendapat bahwa: “Penumpang kapal laut hendaknya berihram ketika
mendarat di pelabuhan sebagaimana yang datang dari Afrika Utara atau Mesir ketika sampai
Jedah”. Begitu juga Abdulah bin Mahmud, Ketua Dewan Syariah di Qatar mengatakan:
“Sebaiknya jamaah haji berihram ketika pesawat terbang yang ditumpanginya sudah mendarat
di Jedah”. (Yusuf al-Qaradhawi, 2003, 100 Tanya Jawab Seputar Haji, Umrah dan Kurban: 68).
Menurut perkiraan para ahli, jarak antara Bandara King Abdul Aziz dan Jedah adalah
kurang lebih 2 marhalah. Maka para ulama menetapkan bahwa Bandara King Abdul Aziz dapat
dijadikan sebagai miqat siapa saja yang transit di tempat itu karena tidak singgah di tempattempat yang telah ditentukan Nabi saw. Pendapat ini juga di dukung oleh Musthafa Ahmad azZarqa yang mengatakan bahwa bagi orang yang datang dengan pesawat dan tidak melalui miqat
yang telah ditetapkan maka ihramnya dimulai dari pesawat itu mendarat yang kemudian akan
dilanjutkan dengan perjalanan darat (Musthafa Ahmad az-Zarqa, 2002, al-Aqlu wa al-Fiqhu fi
Fahmi al-Hadis an-Nabawi: 99).
Ada sebuah hadis yang memperkuat pendapat ini yaitu :


‫َعلَْي ِه‬
ٍ َ‫ن‬
‫جد‬

ِ ‫اس ر‬
ِ ‫ت رسو ُل‬
ّ
ّ
‫ال‬
‫ى‬
‫ل‬
‫ص‬
‫ال‬
‫ق‬
‫و‬
:
‫ال‬
‫ق‬
‫ه‬

‫ع‬
‫ال‬
‫ي‬
‫ض‬
َ
َ
ْ
َ
َ
ُ
َ
ُ
ُ َ َ ٍ ّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
ُْ َ
َ
ِ ِ ْ‫هل ا‬
ِ
ّ ‫ َوَِِ ْه ِل ال‬،‫لحلَْي َف ِة‬
‫ َوَِِ ْه ِل‬،َ‫لج ْح َفة‬
ُ ْ‫ش ِام ا‬

ُ ْ‫لمديْ َة َذا ا‬
َ ِ َِ ‫َو َسلّ َم‬

‫ فَ ُه ّن لَ ُه ّن َولِ َم ْن أَتَى َعلَْي ِه ّن ِم ْن غَْي ِر‬،‫ َوَِِ ْه ِل اْليَ َم ِن يَلَ ْملَ َم‬،‫لمَا ِزِل‬
َ ْ‫قَ ْر َن ا‬
ِ‫أ َْهلِ ِه ّن ل‬
ِ
‫ فَ َم ْن َكا َن ُد ْونَ ُه ّن فَ ُم َهلّهُ ِم ْن أ َْهلِ ِه‬،‫لح ّج َواْ ُلع ْم َرَة‬
‫ا‬
‫د‬
‫ي‬
‫ر‬
‫ي‬
‫ن‬
‫ا‬
‫ك‬
‫ن‬
‫م‬
َ
ْ

َ
ُ
ْ
َ
ُ
َْ
]‫ [متفق عليه‬.‫ن ِم ْ َها‬
َ ‫َوَك َذ‬
َ ‫اك َحتّى أ َْه ُل َم ّكةَ يُِهلّ ْو‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw menetapkan bagi
penduduk Madinah adalah Zul-Hulaifah, bagi penduduk Syam adalah Juhfah, bagi penduduk
Najd adalah Qarnul-Manazil, dan bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam. Beliau bersabda:
Miqat tersebut adalah miqat bagi penduduk yang telah disebutkan dan bagi bukan penduduk
setempat yang melewatinya dan akan melaksanakan haji dan umrah. Maka orang-orang yang
tidak melalui daerah atau miqat-miqat itu, ihramnya dimulai dari mana ia tiba sehingga
penduduk Makkah pun berihram dari Makkah juga (khusus ihram haji)”. [Muttafaqun ’Alaihi]
Berdasarkan hadis riwayat Ibnu Abbas di atas, dikaitkan dengan jamaah haji Indonesia
gelombang II dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak melewati daerah ataupun miqatmiqat yang telah ditetapkan Nabi Muhammad saw tersebut, sehingga miqatnya dimulai dari
tempat di mana ia tiba. Dalam hadis lain riwayat al-Bukhari dari Ibnu Abbas juga disebutkan:


َََ ‫ث أَنْ َشأ‬
ُ ‫ك فَ ِم ْن َح ْي‬
َ ِ‫فَ َم ْن َكا َن ُد ْو َن ذَل‬

“Maka barangsiapa yang tidak melalui daerah atau miqat-miqat tersebut maka miqatnya dari
arah ia memulai ihram”
Oleh karena itu Bandara King Abdul Aziz dengan jarak kurang lebih 2 marhalah bisa
dijadikan sebagai miqat. Pendapat ini bisa di rujuk juga pada keputusan MUI tertanggal 2 Maret
1980 dan Tanya Jawab Manasik Haji Departemen Agama Republik Indonesia.
Sejalan dengan argumen di atas, maka untuk penetapan Pelabuhan Udara King Abdul Aziz
sebagai miqat makani bagi calon haji Indonesia gelombang II, dapat dikemukakan:
a. Kalimat dalam hadits

‫ لِ َم ْن أَتَى َعلَْي ِهن‬adalah bagi orang yang datang dan mengakhiri perjalanannya

untuk memulai haji dan umrah, maka bagi calon haji Indonesia gelombang II Pelabuhan Udara
King Abdul Aziz adalah tempat terakhir perjalanan dari Indonesia, dan segera akan dilanjutkan
dengan memulai ihram haji dan umrah.
b. Pelabuhan Udara King Abdul Aziz adalah tempat yang setentang dengan kota Makkah sebagai
miqat yang terdekat, yakni berjarak kurang lebih 80,4 km.

c. Dengan prinsip jalbu at-taisir (menarik kemudahan) serta ‘adamul-haraj (menghilangkan
kesukaran) maka Pelabuhan Udara King Abdul Aziz dapat dipandang sebagai tempat yang dapat
memenuhi prinsip tersebut.
2. Mengambil miqat dan shalat sunah ihram di atas pesawat terbang.
Para ulama banyak yang membolehkan mengambil miqat di atas pesawat terbang, begitu
juga memakai pakaian ihram diperbolehkan ketika jamaah haji masih berada di Jakarta atau

bandara yang lainnya bahkan di atas pesawat terbang, namun sebagai pertimbangan bila kita
hendak berihram dari atas pesawat terbang mungkin saja akan terasa menyulitkan, misalnya dari
segi menetapkan lokasi miqat yang pasti untuk dimulainya niat dan ihram. Juga ketika jamaah di
pesawat penuh sesak bagaimanakah teknis berganti pakaiannya. Bagi laki-laki akan terasa berat
terlebih orang-orang tua dengan berpakaian ihram sedangkan pesawat terbang ber-AC. Tidak
semua orang bisa bertahan apalagi ibadah haji yang akan dilaksanakan menuntut kesehatan fisik
yang prima.
Shalat sunah terkait dengan miqat yang telah ditentukan. Bagi jamaah haji Indonesia yang
menetapkan miqatnya di Bandara King Abdul Aziz, maka shalat sunnahnya dilaksanakan di
tempat tersebut. Dan bagi jamaah yang miqatnya di atas pesawat, maka shalatnya juga berada di
atas pesawat dengan ketentuan dia dapat memastikan bahwa dirinya telah berada di atas QarnulManazil atau yang setentang dengannya sebagaimana yang saudara tanyakan.
Adapun shalat dua rakaat sebelum ihram menurut kesepakatan ulama’ hukumnya sunah,
dikerjakan sesudah mandi dan sebelum ihram. (Wahbah az-Zuhaili, 2006, Fiqh al-Islam wa
Adillatuh). Berdasarkan hadis:

‫ [روا البخارى و‬.‫َح َرَم‬
ْ‫أ‬

ِ
ِ
‫الحلَْي َفة َرْك َعتَ ْي ِن ثُ ّم‬
َ ‫صلّى ال َعلَْيه َو َسلّ َم‬
َ ُ‫أَنّه‬
ُ ‫صلّى بِذى‬
]‫مسلم‬

Artinya: “Bahwsanya Nabi saw shalat dua rakaat di Zul-Hulaifah kemudian beliau berihram.”
[HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dari hadis di atas dapat difahami bahwa Rasulullah saw shalat sunah di tempat memulai
ihram atau miqat yaitu Zul-Hulaifah. Sebab beliau datang dari Madinah dan miqat bagi
penduduk Madinah adalah Zul-Hulaifah.
Selain hadis di atas juga terdapat beberapa riwayat lain, yaitu:

ٍ ‫َع ْن ُم َح ّر‬
‫الج َْ ْع َرانَ َة‬
َ َ‫بي ق‬
ِ ‫صلّى ال َعلَْي ِه َو َسلّ َم‬
ّ ‫ش الْ َك ْع‬
َ ‫ال َد َخ َل الّبِ ُي‬
ِِ
ِ ‫فَ َج‬
‫استَ َوى َعلَى راَ ِحلَتِ ِه‬
ْ ‫َح َرَم ثُ ّم‬
ْ ‫اء ال ثُ ّم أ‬
َ ‫اء إلَى ال َْم ْسجد فَ َرَك َع َما َش‬
َ
ِ ِ
ِ
ٍ ِ‫َصبح بِم ّكةَ َكبائ‬
‫ [روا‬.‫ت‬
َ ‫ْن َس ِر‬
ْ َ‫ف‬
َ َ َ َ ْ ‫ف َحتّى لَق َي طَ ِريْ َق ال َْمديْ َة فَأ‬
َ ‫استَ ْقبَ َل بَط‬

]‫أبو داود‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Muharrisy al-Ka’bi, ia berkata: Nabi sampai di kampung Ji’ranah
kemudian masuk masjid lalu shalat sesuai yang dikehendaki oleh Allah kemudian berpakaian
ihram lalu mengadakan perjalanan dengan tidak terlalu cepat atau lambat ke Batna Sarifa
sehingga menemukan jalan ke Madinah. Lalu pada pagi harinya Nabi bersabda di Makah
seperti layaknya orang yang mukim di Makah.” [HR. Abu Dawud]

ٍ ّ‫َع ْن ابْ ِن َعب‬
‫ال‬
َ َ‫صاَ ِة ق‬
ّ ‫صلّى الُ َعلَْي ِه َو َسلّ َم أ ََه ّل فِي ُدبُ ِر ال‬
َ ‫اس أَ ّن الّبِ ّي‬
ِ ‫أَبو ِعيسى ه َذا ح‬
ِ
ِ
‫َح ًدا َرَوا ُ غَ ْي َر َع ْب ِد‬
‫أ‬
‫ف‬
‫ر‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ا‬
‫يب‬
‫ر‬
‫غ‬
‫ن‬
‫س‬
‫ح‬
‫يث‬
‫د‬
ُ
َ
ٌ
َ
َ
ْ
َ
ٌَ َ
َ َ َ
ُ
ٌ
ٍ ‫ساَِم بْ ِن َح ْر‬
‫ب َو ُه َو الّ ِذي يَ ْستَ ِحبّهُ أ َْه ُل ال ِْعل ِْم أَ ْن يُ ْح ِرَم ال ّر ُج ُل فِي ُدبُ ِر‬
ّ ‫ال‬
]‫ [روا الرمذي‬.‫صاَ ِة‬
ّ ‫ال‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi saw berihram setelah
mengerjakan shalat.” Abu Isa berkata: Hadis ini adalah hasan gharib, kami tidak mengetahui
seorang pun yang meriwayatkannya selain Abdussalam bin Harb, sedangkan ahlul ilmi
menyukai seseorang yang berihram setelah mengerjakan shalat. [HR. at-Tirmidzi]

ِ ُ ‫ول َكا َن رس‬
ِ ‫إِ ّن َع ْب َد‬
‫صلّى الُ َعلَْي ِه َو َسلّ َم‬
ُ ‫ال بْ َن ُع َم َر َكا َن يَ ُق‬
َ ‫ول ال‬
َُ
ِ ‫ي رَكع بِ ِذي ال‬
‫ت بِ ِه الّاقَةُ قَائِ َمةً ِع ْ َد َم ْس ِج ِد‬
ْ ‫استَ َو‬
ْ ‫ْحلَْي َفة َرْك َعتَ ْي ِن ثُ ّم إِ َذا‬
ُ
ُ َْ
ِ ‫ِذي الْحلَي َف ِة أ ََه ّل بِ َه ُؤَا ِء الْ َكلِم‬
]‫ [روا مسلم وال سائي‬.‫ات‬
ُْ
َ
Artinya: “Sesungguhnya Abdullah bin Umar berkata: adalah Rasulullah saw shalat di ZulHulaifah dua rakaat kemudian ketika untanya tegak berdiri di samping masjid Zul-Hulaifah
beliau memulai dengan kalimat tersebut.” [HR. Muslim dan an-Nasa’i]
Mengenai apakah ada dalil yang membolehkan shalat sunah ihram dikerjakan sebelum
sampai miqat, maka menurut pendapat kami tidak ada contoh dari Rasulullah saw bahwa beliau
mengerjakan shalat sunah ihram sebelum sampai miqat, dan yang paling jelas adalah Rasulullah
saw shalat sunah dua rakaat ketika telah sampai di miqat seperti yang telah dinyatakan dari dalildalil di atas. Oleh karena itu shalat sunahnya dilakukan ketika sudah sampai dibandara saja
apalagi mengingat bila kita shalat diatas pesawat terbang dengan kecepatan yang begitu tinggi
tentunya kita juga tidak bisa shalat tepat diatas miqat yang telah ditentukan.
3. Bagaimana mendudukkan hadis riwayat Aisyah dengan hadis riwayat Ibnu Abbas
Saudara mengatakan bahwa mengapa jamaah haji Indonesia tidak berihram dari Tan’im
saja? Dan bagaimana kalau hadis riwayat Aisyah ditarjih dengan hadis yang menjadi dasar
jamaah haji Indonesia gelombang II memulai ihram dari Bandara King Abdul Aziz?
Hadis riwayat Aisyah yang dimaksud adalah:

ِ ‫ال صلَي ال علَي ِه وسلَم أَرسل عائِ َشةَ و ِهي بِم ّكةَ مع أ‬
ِ ‫أَ ّن رسو َل‬
‫َخ ْي َها‬
َ َ َْ َ ََ ْ َ ُ
َ
ََ َ َ َ
ُْ َ
]‫ [روا البخاري و مسلم‬.ُ‫ت َم َعهُ ِم ْه‬
ْ ‫َع ْب ِدال ّر ْح َم ِن إِلَى التّ ْ ِع ْي ِم فَا ْعتَ َم َر‬
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Aisyah, ketika ia berada di Makkah bersama
saudaranya Abdurrahman ke Tan’im. Maka ia melakukan umrah bersama saudaranya dari
Tan’im.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Berikut adalah hadis riwayat Ibnu Abbas yang dijadikan dasar tentang bolehnya Bandara
King Abdul Aziz dijadikan miqat:

‫َعلَْي ِه‬
ٍ َ‫ن‬
‫جد‬

ِ ‫اس ر‬
ِ
َ َ‫ض َي الُ َع ْهُ ق‬
َ ّ‫ َوق‬:‫ال‬
َ ‫ت َر ُس ْو ُل ال‬
ُ‫صلّى ال‬
َ ٍ ّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
ِ ‫هل اْلم ِدي َ ِة ذَا اْلحلَي َف‬
ِ ‫وسلّم‬
ِ
ِ
ّ
ِ
ِ
َ
َ
‫ َوَِِ ْه ِل‬،َ‫لج ْح َفة‬
‫ا‬
‫ام‬
‫ش‬
‫ال‬
‫ل‬
‫ه‬
ِ
‫و‬
،
‫ة‬
ِ
ْ
ْ
ْ
ْ
ُ
ُ
َ
َ
َ ََ
‫ فَ ُه ّن لَ ُه ّن َولِ َم ْن أَتَى َعلَْي ِه ّن ِم ْن غَْي ِر‬،‫ َوَِِ ْه ِل اْليَ َم ِن يَلَ ْملَ َم‬،‫لمَا ِزِل‬
َ ْ‫قَ ْر َن ا‬
ِ ِ
‫ فَ َم ْن َكا َن ُد ْونَ ُه ّن فَ ُم َهلّهُ ِم ْن أ َْهلِ ِه‬،‫لح ّج َواْ ُلع ْم َرَة‬
َ ْ‫أ َْهل ِه ّن ل َم ْن َكا َن يُ ِريْ ُد ا‬
]‫ [روا البخاري ومسلم‬.‫ن ِم ْ َها‬
َ ‫َوَك َذ‬
َ ‫اك َحتّى أ َْه ُل َم ّكةَ يُِهلّ ْو‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah saw menetapkan bagi
penduduk Madinah adalah Zul-Hulaifah, bagi penduduk Syam adalah Juhfah, bagi penduduk
Najd adalah Qarnul-Manazil, dan bagi penduduk Yaman adalah Yalamlam. Beliau bersabda:
Miqat tersebut adalah miqat bagi penduduk yang telah disebutkan dan bagi bukan penduduk
setempat yang melewatinya dan akan melaksanakan haji dan umrah. Maka orang-orang yang
tidak melalui daerah atau miqat-miqat itu, ihramnya dimulai dari mana ia tiba sehingga
penduduk Makkah pun berihram dari Makkah juga (khusus ihram haji).” [Muttafaqun ’Alaihi]
Kedua hadis tersebut sebenarnya tidak saling bertentangan. Dari hadis-hadis yang ada
dalam kitab Syarah Muslim, bab Bentuk-bentuk Ihram dan Bolehnya Berhaji Ifrad, Tamathu’
dan Qiran, dapat diketahui bahwasanya Aisyah pada waktu itu sudah menetap di Makkah
sehingga untuk melakukan umrah harus keluar ke tanah halal terdekat yaitu Tan’im atau
Ji’ranah. Lain halnya dengan jamaah haji Indonesia gelombang II yang memang baru datang di
Makkah dan tidak berstatus menetap, sehingga memulai ihram dari tempat di mana ia tiba.
Adapun yang paling dekat dengan tanah haram dalam hal ini adalah Bandara King Abdul
Aziz sehingga lebih tepat menggunakan hadis riwayat Ibnu Abbas. Selain itu hadis riwayat
Aisyah konteksnya adalah bagi orang yang melakukan Haji Ifrad, sedangkan jamaah haji
Indonesia melakukan Haji Tamathu’.

Proses istinbath hukum dengan metode tarjih bisa dilakukan ketika ada dua hadis yang
saling bertentangan, dan sama martabatnya atau kekuatannya. Selain itu juga menetapkan hukum
yang sama dalam satu waktu sehingga tidak bisa dikompromikan misalnya dengan membawanya
kepada ’am dan khas, muthlaq dan muqayad, ataupun yang lain. Sementara itu antara kedua
hadis di atas (hadis riwayat Aisyah dan Ibnu Abbas) masih dapat dikompromikan yaitu dengan
pengertian bahwa hadis Aisyah adalah diperuntukkan bagi penduduk Makkah dan orang yang
berdomisili di Makkah atau orang luar yang sudah menetap di Makkah, sedangkan untuk orang
yang baru datang adalah tetap berhujah dengan menggunakan hadis Ibnu Abbas di atas.
Wallahu a’lam bishawab. *putm)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: tarjih_ppmuh@yahoo.com dan ppmuh_tarjih@yahoo.com
http://www.fatwatarjih.com