MIQAT DAN HAJI IFRAD

MIQAT DAN HAJI IFRAD

Pertanyaan dari KBIH – LBMH Muhammadiyah Kota Semarang.
1. Perjalanan jamaah dari Indonesia, transit di Aman (Yordan) dari Yorda ke Jeddah,
kemudian ke Makkah. Dimana jamaah mengambil Miqat.
Jawab :
Miqat Makaniy, yaitu batas tempat yang telah ditentukan dari mana orang
memulai memakai pakaian ihram untuk melaksanakan umrah dan haji, tergantung
kepada jurusan dari mana orang itu datang atau tempat tinggal orang yang mau
berihram.
Bagi orang-orang yang datang dari luar tanah haram ada lima tempat yang telah
ditentukan sebagai batas-batas untuk wajib memulai ihram yaitu :
a). Zulhulaifah, yaitu sekarang disebut “Bi’ir ‘Aliy” adalah miqat bagi orangorang yang datang dari jurusan Madinah.
b). Juhfah (Rabiq) adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari jurusan Mesir,
Syam dan Magribiy.
c). Qarnul-Manazil adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari Najd dan
Kuwait.
d). Yalamlam adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari jurusan Yaman.
e). Zatu ‘Irqin adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari jurusan Iraq.

1


Adapun orang-orang yang tempat tinggalnya di daerah miqat yang lima tersebut,
miqatnya adalah tempat tinggal mereka masing-masing.
Ketentuan tersebut berdasarkan atas suatu hadis Nabi saw :

“Dari Ibni ‘Abbasa, ia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah saw telah menentukan
miqat bagi penduduk Madinah di Zal-Hulaifah, penduduk Syam di Juhfah,
penduduk Najd di Qarnul-Manazil, dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Itu
semua bagi mereka dan bagi orang-orang lainnya yang hendak menunaikan haji
dan umrah yang datang melewatinya. Dan orang-orang yang tinggal di antara
miqat dan Makkah, maka berihramnya dari tempatnya, hingga penduduk Makkah
cukup berihram dari Makkah”. (Al-Bukhariy, Kitab al-Hajji; I:175).
Mengenai Zatu ‘Irqin sebagai miqat penduduk Irak, terdapat perbedaan pendapat
apakah miqat tersebut ditetapkan oleh Rasulullah saw, ataukah hasil ijtihad, tetapi
tidak diperselisihkan kedudukannya sebagai miqat penduduk Irak. Maka para
ulama sepakat bahwa Zatu ‘Irqin adalah miqat bagi orang-orang yang datang dari
jurusan Irak. Adanya perbedaan pendapat mengenai penetapan miqat Zatu ‘Irqin
ini, dikarenakan adanya perbedaan antara hadis-hadis tentang miqat tersebut.
Hadis yang ditakhrijkan oleh Muslim menyatakan bahwa Nabilah yang
menetapkan Zatu ‘Irqin sebagai miqat, sedang hadis yang ditakhrijkan oleh alBukhariy menyatakan bahwa penetapan Zatu ‘Irqin sebagai miqat bukanlah dari

Nabi melainkan dari Umar bin Khaththab melalui ijtihadnya, sebab pada masa

2

Nabi Islam belum masuk ke Irak. Negara tersebut ditundukkan ke dalam Islam
pada masa khalifah ‘Umar bin Khathab.

Hadis tersebut kami kutipkan sebagia berikut :
1. Hadis yang ditakhrijkan oleh Muslim :

“Dari Abi az-Zubair, bahwa ia mendengar Jabir ibnu ‘Abdillah ra ditanya
tentang tempat mulai ihram, lalu beliau menjawab : “Saya dengar (saya
mengira Jabir merafa’kan kepada Nabi saw), ia mengatakan : “Tempat mulai
talbiyah penduduk Madinah adalah Zul-Hulaifah (dan sanad lainnya
menyebutkan al-Juhfah), tempat mulai talbiyah penduduk Irak dari Zi ‘Irqun,
tempat mulai talbiyah penduduk Najd mulai dari Qarnil-Manazil, dan tempat
mulai talbiyah penduduk Yaman dari Yalamlam. (Ditakhrijkan oleh Muslim
Kitab al-Hajj).
2. Hadis yang ditakhrijkan oleh al-Bukhariy :


“Dari Ibni ‘Umar r.a. ia berkata : Setelah dua kota ini dibangun, orang-orang
datang kepada ‘Umar, dan berkata : Hai Amirul-Mu’minin ! Sesungguhnya
Rasulullah saw telah menetapkan Qarnul-Manazil (sebagai miqat) penduduk
Najd, tetapi tempat itu menyimpang dari jalan yang kami lalui, dan kami jika
3

menghendaki Qarnil-Manazil, kami mengalami kesukaran. Kemudian ‘Umar
berkata : Coba kamu lihat arah yang segaris lurus dengan Qarnul-Manazil
dari jalan yang kamu lalui. Kemudian ‘Umar menetapkan Zatu ‘Irqin sebagai
miqat bagi meraka”. (Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj : 1531).
Hadis yang ditakhrijkan oleh Muslim, perawinya ragu apakah hadis itu marfu’
kepada Nabi saw apakah tidak. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan perawi itu
sendiri yang mengatakan : “ ahsibu “ (saya mengira). Dari segi kritik matan
pun hadis tersebut dapat dipertanyakan. Hadis tersebut menjelaskan bahwa
Nabi menetapkan miqat bagi penduduk Irak adalah Zatu ‘Irqin. Padahal secara
historis, pada masa Nabi belum ada dari penduduk Irak yang masuk islam,
apalagi menunaikan haji. Irak baru takluk kepada Islam pada masa khalifah
‘Umar bin Khaththab, dan beliaulah yang membangun dua kota utama negara
Irak, yaitu Kufaj dan Basrah.
Jelaslah bahwa penetapan Zatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk

Irak adalah berdasarkan ijtihad yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khattab,
sebagaimana pendapat Taqiyyuddin yang dikutip oleh az-Zaila’iy :

“Taqiyyuddin mengatakan dalam “al-Imam” : “Dua kota dimaksud adalah
Basrah dan Kufah, dan yang segaris lurus dengan Qarnul-Manazil,
maksudnya adalah yang dekat dengannya. Kemudian Taqiyyuddin
menegaskan : “Hadis ini menunjukkan bahwa Zatu ‘Irqin ditetapkan
berdasarkan ijtihad, tidak berdasarkan Nas”.
(az-Zaila’iy, Nasbur-Rayah, III : 12).
Tempat transit yang saudara tanyakan (jiddah) tidak disebutkan dalam
daftar penetapan miqat dalam hadis Nabi saw.
4

Pada masa sekarang, memang sebagian besar jamaah haji tidak lagi
melalui miqat yang disebutkan dalam hadis Nabi saw, karena meraka tidka
lagi naik kapal laut atau kendaraan darat, terutama jamaah dari Indonesia,
melainkan naik pesawat udara yang langsung menuju Bandra King Abdulaziz, yang berlokasi di Jeddah. Apakah tempat tersebut dapat dijadikan
sebagai miqat ?
Para ulama telah sepakat bahwa miqat orang-orang yang tidak melalui
salah satu miqat yang telah ditetapakan Nabi, ditetapkan berdasarkan ijtihad,

yaitu tempat yang segaris lurus dengan miqat terdekat yang dilaluinya, atau
kalau tidak mengetahui miqat terdekat, maka ditetapkan dengan 2 marhalal
(kurang lebih 80.640 km) dari Mekkah.
Ibnu Qudamab berpendapat, barang siapa perjalanannya tidak melalui
suatu miqat yang telah ditetapkan oleh Nabi, maka miqatnya adalah tempat
segaris lurus dengan miqat yang terdekat”
(Ibnu Qudamah, 1984, al-Mugniy, III:219).
Ibnu Humam berpendapat, barangsiapa berkendaraan laut atau darat
yang tidak melalui salah satu miqat yang telah ditetapkan Nabi saw, maka ia
wajib berihram ketika berada di tempat yang segaris lurus dengan miqat
terakhir ……. Dan jika tidak dapat mengetahuinya, maka miqatnya adalah
tempat yang jaraknya 2 marhalah (kurang lebih 80.640 km) dari Mekkah”.
(Ibnu Humam, 1997, Fathul-Qadir, II:426).
Mennurut Sulaiman Rasyid, jarak antara Mekah dan miqat-miqat yang
telah ditetapkan oleh Nabi saw adalah sebagai berikut :
Zul-Hulaifah

: 10 marhalah

(403.200 km)


Juhfah

: 4 marhalah

(161.280 km)

Zatu ‘Irqin

: 2 marhalah

( 80.640 km)

5

Qarnul-Manazil

: 2 marhalah

( 80.640 km)


Yalamlam

: 2 marhalah

( 80.640 km)

(Sulaiman Rasyid, 1992, al-Fiqh al-Islamiy : 244).
Untuk mengukur dengan persis suatu tempat yang segaris lurus dengan
miqat yang telah ditetapkan tidaklah mudah, maka untuk menetapkannya, para
ulama mengambil tempat yang jaraknya terdekat dari Mekkah, yaitu 2
marhalah (kurang lebih 80.640 km).
Menurut perkiraan para ahli, jarak antara Bandara King Abdul Aziz
dan Mekah adalah kurang lebih 2 marhalah. Maka para ulama menetapkan
Bandara King Abdul Aziz dapat dijadikan sebagai miqat bagi siapa saja yang
transit di Bandara tersebut, karena tidak singgah di miqat yang telah
ditetapkan oleh Nabi saw, karena pada masa sekarang jamaah haji tidak lagi
melalui jalan darat atau laut, melainkan melalui jalan udara. Bandara King
Abdul Aziz dapat dijadikan sebagai pengganti Yalamlam, termasuk Indonesia.
Pendapat tersebut dapat kami terima, sebab mendapat kesepakatan dari

para ulama, juga sesuai dengan prinsip tuntunan Islam, yaitu kemudahan
sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadis :

“ Dari Abu Huarairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda : “ Sesungguhnya
agama itu kemudahan, maka tidaklah seseorang mempersulit agama ini,
melainkan harus diabaikan. Maka berilah kemudahan (kepada pemeluk
agama ini), dekatilah mereka, berilah kabar gembira kepada mereka, dan
6

mohonlah pertolongan kepada Allah di waktu pagi, sore dan malam”. (AlBukhariy, Kitab al-Iman, I:10).
Abdullah bin Baz juga membolehkan menjadikan Jeddah sebagai
miqat makani, tetapi harus membayar dam, sebab dianggap telah melewati
miqat, sebab jarak antara Mekah dan Yalamlam lebih jauh daripada jarak
antara Mekah dan Jeddah. (Abdullah bin Baz, 1995, al-Fatawa : 44).
Kami lebih cenderung membolehkan menjadikan King Abdul Aziz
sebagai miqat bagi jamaah yang transit di sana, tanpa membayar dam. Tetapi
tidak mengahalang-halangi mereka yang cenderung kepada pendapat lainnya,
seperti pendapat Abdullah bin Baz atau pendapat lainnya.

2. Pertanyaan Kedua :

Sesampainya di Mekah, melaksanakan umrah, thawaf, sa’i dan tahallul setelah 7
hari berada di Mekah, jama’ah diajak ziarah ke Madinah selama 8/9 hari,
kemudian kembali ke Mekah  tanggal 6 Zul-Hijjah, langsung ke Shisa/Azizah.
a. Di Bir ‘Ali jamaah mengambil miqat (ihram).
Bolehkah melaksanakan haji ifraid ? Berarti setelah melaksanakan haji nanti
harus melaksanakan umrah dari Ji’ranah atau Tan’im.
b. Apabila boleh haji ifraid, bagaimana kedudukan umrah sewaktu datang
pertama kali tersebut. Ini berarti jamaah malaksanakan umrah dua kali dalam
bulan haji, bolehkah ?

7

c. Apabila melaksanakan haji tamattu’, umrah kedatangannya dulu, apakah
sudah merupakan rangkaiannya atau harus umrah lagi ? Tetapi jamaah telah
keluar dari tanah haram sejauh  500 km dan selam  9 hari.
Jawab :
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kami kutipkan lebih dahulu
hadis yang ada hubungannya dengan pertanyaan saudara :

Artinya :

1. “Dari ‘Aisyah r.a seraya katanya : “Kami keluar bersama Rasulullah saw,
kami tidak berniat kecuali haji, setelah kami mendekati Mekah Rasulullah
saw memerintahkan agar siapa saja yang membawa hadyun (binatang
kurban) tetap berpakaian ihram, dan barang siapa tidak membawa hadyun
supaya bertahallul”. (Ditakhrijkan oleh an-Nasa’iy, Kitab Manasik alHajji:178).
2. Dari Jabir seraya katanya : kami berihram bersama sahabat Nabi saw untuk
haji murni, tiada niat lainnya, murni hanya untuk haji, setelah kami sampai di
Mekah tanggal empat pagi bulan Zil-Hijjah, Nabi saw memerintahkan kami

8

seraya bersabda : “Bertahalullah kalian dan jadikanlah ihram itu untuk
‘umrah …….”. (Ditakhrijkan oleh An-Nasa’iy, Kitab Manasik al-Hajji:178).
Kedua hadis tersebut menjelaskan bahwa diperbolehkan mengubah ihram
untuk haji menjadi ihram untuk ‘umrah, atau mengubah haji ifraid menjadi haji
tamattu’, bukan mengubah dari tamattu’ menjadi ifraid. Namun demikian
sebagian besar ulama kemudian berpendapat bahwa mengubah haji tamattu’
menjadi ifraid juga diperbolehkan.
Tokoh ulama Mekah, ‘Abdullah bin Baz juga membolehkannya. (Abdullah bin
Baz, 1995, Fatawa:40).

a. Jika sudah berumrah, maka umrah tersebut adalah umrah tathawwu’.
(Abdullah bin Baz, 1995: 24).
b. Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang melaksanakan umrah
untuk haji tamattu’, kita keluar dari tanah haram, misalnya ke Thaif atau
Jeddah, atau Madinah, tidaklah mempengaruhi tamattu’nya, dan tidak perlu
berumrah lagi, sebab dia sudah bertahallul, dan tinggal menunggu waktu haji
yaitu berwuquf di ‘Arafat. (Abdullah bin Baz, 1995 :41).
Wallahu’alamu bis-sawab
---------------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 2 2002

9