2
golongan aminoglikosida pada pasien yang fungsi ginjalnya berkurang signifikan penggunaannya harus dipertimbangkan dengan baik. Evaluasi penggunaan
antibiotik pada pasien gagal ginjal pernah dilakukan pada RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2007. Antibiotik yang tidak disesuaikan dosisnya dengan pasien gagal
ginjal sebesar 16,1, antibiotik yang dikontraindikasikan pada penderita gagal ginjal sebesar 1,8, tepat indikasi tidak tepat obat 10,9, tepat indikasi tepat obat
81,8. Berdasarkan hasil terapi pemberian antibiotik didapatkan 45,5 outcome
hasil terapinya baik Yulianti, et al., 2007. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, hal ini dikarenakan cukup tingginya
angka penderita gagal ginjal kronis di RSUP Dr. Soeradji Klaten tahun 2014 yaitu sebanyak 524 kasus. Kasus gagal ginjal kronis juga menempati urutan ke-14 dari
20 besar kasus penyakit yang terjadi di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten tahun 2014. Dengan latar belakang tersebut maka evaluasi penggunaan antibiotik
yang rasional pada penderita gagal ginjal kronis perlu dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien gagal ginjal kronis di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kerasionalan penggunaan antibiotika di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro pada kasus gagal ginjal kronis tahun
2014. Evaluasi meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, dan tepat dosis. D.
Tinjauan Pustaka 1.
Ginjal
a. Definisi
Ginjal merupakan organ dalam saluran kemih dimana terdapat pada retriperitoneal bagian atas. Berat dan besar ginjal bervariasi, hal-hal yang dapat
mempengaruhi ukuran ginjal diantaranya jenis kelamin, umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Umumnya pada laki-laki ukuran ginjalnya lebih besar
3
daripada perempuan. Pada umumnya ukuran ginjal orang dewasa normal berkisar 11,5 cm panjang x 6 cm lebar x 3,5 cm tebal dan memiliki berat rata-rata
120-170 gram, atau kurang lebih 0,4 dari berat badan Purnomo, 2011. b.
Fungsi Ginjal Menurut Price Wilson, 2005, ginjal mempunyai dua fungsi utama
yaitu fungsi ekskresi dan fungsi nonekskresi. Fungsi ekskresi ginjal antara lain: 1
Mempertahankan osmolitas plasma. 2
Mempertahankan extracellular fluid ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekskresi Na
+
. 3
Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal.
4 Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H
+
dan membentuk kembali HCO
3 -
. 5
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein terutama urea, asam urat, dan kreatinin.
6 Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.
Sedangkan untuk fungsi utama ginjal yang lain adalah fungsi non ekskresi. Diantaranya adalah:
1 Mensintesis dan mengaktifkan hormon:
a Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.
b Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang
belakang. c
1,25-dihidroksivitamin D
3
: hidroksilasi akhir vitamin D
3
menjadi bentuk yang paling aktif.
d Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilatator, bekerja secara lokal,
dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal. 2
Degradasi hormon polipeptida: Insulin, glukagon, prolaktin, hormon pertumbuhan, antidiuretik hormon ADH, dan hormon gastrointestinal
gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif [VIP].
4
Fungsi ginjal lain yang tidak kalah pentingnya adalah berfungsi untuk menyaring sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah. Kegiatan metabolik pada
ginjal menduduki tempat kedua setelah hati Purnomo, 2011. c.
Pengukuran Fungsi Ginjal Karena fungsi ginjal yang begitu penting maka ada beberapa penilaian
terhadap fungsi ginjal. Uji fungsi ginjal ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya gangguan pada fungsi ginjal. Menurut Kenward Tan, 2003, ada
beberapa metode yang digunakan untuk memperkirakan kondisi fungsi ginjal, antara lain:
1 Serum kreatinin
Serum kreatinin merupakan produk sampingan dari metabolisme otot rangka normal. Kreatinin terutama diekskresi oleh filtrasi glomeruler. Bila massa
otot tetap dan terdapat perubahan pada nilai klirensnya melalui filtrasi maka dapat dijadikan indikator dari fungsi ginjal. Nilai serum kreatinin normal berbeda
menurut jenis kelamin, usia, dan ukuran. Kadar serum kreatinin hanya berguna bila diukur pada keadaan tunak perlu sekitar 7 hari.
2 Klirens kreatinin
Dalam keadaan normal, kreatinin tidak disekresi atau direabsorsi oleh tubulus ginjal dalam jumlah yang besar. Ekskresi utama ditentukan oleh filtrasi
glomerular, jadi laju filtrasi glumerular ditentukan melalui penentuan laju klirens kreatinin endogen.
Secara umum ada 2 cara pengukuran uji klirens kreatinin, yang pertama adalah pengumpulan urin 24 jam dengan cara pengambilan plasma urin diantara
jangka waktu 24 jam tersebut dan dihitung dengan rumus: Kl
kr
= mLmenit
Keterangan:
U = Kadar urin mikromolliter V = Laju alir urin mLmenit
S = Kadar kreatinin serum mikromolliter
Kepatuhan penderita dapat menyebabkan pengumpulan sampel urin selama 24 jam menjadi tidak lengkap. Pengukuran uji klirens kreatinin yang
5
kedua menggunakan rumus Cockroft and Gault yaitu metode dengan mengukur kadar kreatinin serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi massa otot
penderita usia, jenis kelamin, dan berat badan. Laju filtrasi glumerular dari kadar serum kreatinin diasumsikan bahwa fungsi ginjal bersifat stabil dan pengukuran
serum menghasilkan nilai yang konstan. Berdasarkan Aronoff Brier, 2009, dihitung dengan rumus:
Pada pria, Kl
kr
= Pada wanita,
Kl
kr
=
x 0,85
Keterangan:
Kreatinin serum mgdL BB = Berat badan kg
3 Urea
Urea disintesa dalam hati sebagai produk sampingan metabolisme makanan dan protein endogen. Merupakan rute sekresi utama nitrogen dalam
eliminasinya dalam urin. Urea disaring oleh glumerolus dan sebagian direabsorbsi oleh tubulus.
Peningkatan kadar urea dapat terjadi karena adanya peningkatan katabolisme protein pada perdarahan saluran cerna atau jaringan tubuh, infeksi
berat, trauma termasuk pembedahan, serta terapi steroid dan tetrasiklin dosis tinggi. Indikasi dimana fungsi ginjal terganggu adalah kadar urea diatas 10
mmolliter. Pengukuran menggunakan kadar urea kurang tepat dalam menggambarkan adanya kerusakan fungsi ginjal, tetapi masih banyak digunakan
sebagai perkiraan kasar karena dapat menggambarkan informasi tentang keadaan pasien.
6
d. Klasifikasi dan Gejala Klinis Gangguan Ginjal
1 Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut merupakan gagalnya fungsi ginjal yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat beberapa hari atau beberapa minggu
disebabkan oleh “sampah” pembakaran seperti urea, asam urat, dan kreatinin yang menumpuk dalam darah Price Wilson, 2003. Laju filtrasi glomerulus LGF
secara tiba-tiba menurun sampai dibawah 15 mLmenit. Sering kali bersifat reversibel, tetapi secara umum mortalitasnya tinggi Kenward Tan, 2003.
Pada pasien gagal ginjal akut penyebabnya dapat dibagi menjadi pre-renal, renal, dan post-renal. Gambaran klinisnya dapat meliputi perubahan volume urine
oliguri, polyuria, kelainan neurologis lemah, letih, gangguan mental, gangguan pada kulit gatal-gatal, pigmentasi, pallor, tanda pada kardiopulmoner sesak,
pericarditis , dan gejala pada saluran cerna mual, nafsu makan turun, muntah
Kenward Tan, 2003. 2
Gagal Ginjal Kronis Gagal ginjal kronik merupakan penurunan faal ginjal yang terjadi
berangsur dan umumnya tidak dapat pulih irreversible Price Wilson, 2003. Kerusakan atau penurunan faal ginjal tersebut bersifat permanen dan progresif
biasanya terjadi selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun dan akan menyebabkan uremia sesudah penurunan laju filtrasi glomerular hingga sekitar
10-15 dari nilai normal Hartono, 2013. Tanda dan gejala gagal ginjal kronis meliputi nokturia, edema, anemia
iron-resistant, normochromic, normocytic, gangguan elektrolit, hipertensi, penyakit tulang renal osteodystrophy, perubahan neurologis gangguan mental,
gangguan fungsi otot kram otot, kaki pegal, dan uremia Kenward Tan, 2003. 2.
Volume Distribusi
Pada obat yang sangat larut air atau berikatan protein tinggi maka dengan adanya edema dan ascites akan meningkatkan volume distribusi nyata apparent.
Ketika volume distribusi besar maka akan menghasilkan kadar obat dalam plasma yang lebih rendah. Dosis lazim pada penderita edema bisa menyebabkan kadar
obat dalam plasma terlalu rendah sehingga tidak berefek. Sebaliknya, dehidrasi
7
atau pembuangan otot akan menurunkan volume distribusi nyata obat yang larut air sehingga, dosis lazim dapat menyebabkan kadar obat dalam plasma terlalu
tinggi dan hal ini dapat menyebabkan ketoksikan Kenward Tan, 2003. Efek volume distribusi dan klirens dapat berubah besarannya secara
independen dengan tidak adanya keterkaitan satu dengan lainnya, tapi pada kegagalan ginjal terdapat pengaruh terhadap konsentrasi aminoglikoida dalam
plasma. Klirens ginjal aminoglikosida akan menurun pada pasien gagal ginjal dan Vd akan meningkat karena akumulasi cairan pada gagal ginjal oligurik Parfati, et
al ., 2003.
Beberapa kondisi dapat meningkatkan atau menurunkan Vd. Volume distribrusi akan meningkat pada pasien yang mengalami akumulasi cairan dalam
tubuh seperti pada gagal ginjal dan proses inflamasi. Perubahan Vd akan langsung berpengaruh pada konsentrasi obat dalam plasma. Bila Vd menurun sebesar 50
maka konsentrasi obat dalam plasma akan meningkat dua kalinya, sehingga dosis harus dikurangi setengahnya Parfati, et al., 2003.
3. Antibiotik