Location of Repository Prevalensi Cemaran Salmonella Typhimurium Pada Potongan Karkas Ayam Dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih Sebagai Larutan Sanitaiser Alami

(1)

PREVALENSI CEMARAN Salmonella Typhimurium PADA

POTONGAN KARKAS AYAM DAN EFEKTIVITAS EKSTRAK

DAUN SIRIH (Piper betle, Linn.) SEBAGAI LARUTAN

SANITAISER ALAMI

SYLVIANA

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi Cemaran

Salmonella Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.) Sebagai Larutan Sanitaiser Alami adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2008 Sylviana


(3)

ABSTRACT

SYLVIANA. Prevalence of Salmonella on Chicken Carcass Slices and The Effectiveness of Sirih extract (Piper betle, Linn.) as Sanitizer. Under direction of Dr. Ir. BUDIATMAN SATIAWIHARDJA, MSc and Dr. Ir. HARSI D KUSUMANINGRUM, MSc.

Salmonella is recognized as one of the most common bacteria that contaminated poultry product, because Salmonella is a normal part of the intestinal microflora of birds and it is ubiquitous on carcasses. Determined the aerobic plate count and the prevalence of Salmonella species in 40 samples chicken carcass slices collected from 7 traditional market and 8 supermarket in Bogor area. The aerobic plate count of samples from traditional market varied from 7.36 to 8.48 Log CFU/ml and from modern market varied from 6.18 to 7.8 Log CFU/ml. Among 27 samples that identified by API 20E kit, 2 samples (7.41%) were 100% positively identified as reference bacteria Salmonella Typhimurium 14028, 16 samples (59.26%) were 95% positively identified as Salmonella Typhimurium 14028 and 4 samples (14.81) were 90% positively identified as Salmonella Typhimurium 14028. Overall, 55% of 40 retail meat samples (n=40) were contaminated with Salmonella. The control procedures to reduced Salmonella contamination using sirih extract 1:1 (w/v) and 1:2(w/v). Result showed that the MIC values from both extract were 15%(v/v), they were able to reduced Salmonella Typhimurium 4,81 Log CFU/ml and 4,83 Log CFU/ml, respectively, the MBC values from both extracts were 20%(v/v). With regard to sirih extract concentration 40%(v/v) diluted from extract 1:2 (w/v) and dipping time for 15 and 30 minutes. Result showed that sirih extract reduced Salmonella in the range of 1,05 to 1,58 Log CFU/ml in PCA medium and in the range of 1,21 to 1,85 Log CFU/ml in HEA (Hactoen Enteric Agar) medium. This experiments showed that dipping carcasses with sirih extract retarded the growth of aerobic population bacteria in room storage, and the combination 1:2 (w/v) for 15 minutes give the best sensory acceptable in consumer tests.

Keywords: Salmonella, chicken carcass slices, market, sirih extract, MIC, dipping


(4)

RINGKASAN

SYLVIANA. F251060081/IPN. Prevalensi Cemaran Salmonella Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.) sebagai Larutan Sanitaiser Alami. Dibimbing oleh Dr. Ir.

BUDIATMAN SATIAWIHARDJA, MSc dan Dr. Ir. HARSI D

KUSUMANINGRUM, MSc.

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging ayam terus meningkat setiap tahunnya, sehingga tuntutan keamanan dari produk tersebut juga terus meningkat. Kontaminasi bakteri pada daging ayam merupakan masalah yang perlu diperhatikan karena selain menyebabkan penurunan kualitas daging ayam, juga dapat menimbulkan penyakit bagi konsumen. Salmonella merupakan bakteri yang sering mengkontaminasi produk hasil unggas karena Salmonella banyak ditemukan di saluran pencernaan maupun lingkungan kandang unggas.

Data prevalensi patogen yang mengkontaminasi karkas ayam di Indonesia masih sedikit. Data ini berguna untuk mengetahui mutu karkas ayam yang dijual langsung kepada konsumen selaku pengguna akhir. Guna mengatasi masalah tingginya kontaminasi Salmonella pada daging ayam, maka diperlukan strategi untuk mengendalikan pencemaran pada saat penanganan bahan mentah, diantaranya adalah penggunaan larutan pencelup sebagai sanitaiser. Potensi daun sirih (Piper betle Linn.) sebagai senyawa antimikroba terhadap kontaminan bakteri patogen seperti S. aureus, E. coli, Bacillus cereus dan Salmonella Typhimurium sudah banyak diteliti. Namun sampai saat ini belum ada yang diaplikasikan sebagai senyawa antimikroba larutan pencelup untuk dekontaminasi pada produk pangan. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi sanitaiser dengan menggunakan ekstrak daun sirih sebagai upaya pengendalian cemaran mikrobiologi terutama oleh bakteri patogen Salmonella Typhimurium.

Total mikroba sampel potongan karkas ayam yang berasal dari 7 pasar tradisional adalah sebesar 8.00 Log koloni/g dengan nilai standar deviasi 0.40, sedangkan total mikroba sampel yang berasal dari 8 supermaket sebesar 6.60 Log koloni/g dengan nilai standar deviasi 0.49. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa prevalensi Salmonella Typhimurium pada 40 sampel yang dianalisis adalah sebesar 55%. Dua sampel mengandung Salmonella Typhimurium yang mempunyai 100% konfirmasi dengan Salmonella Typhimurium 14028 dengan uji API 20E. Sedangkan 16 dari 27 sampel (59.3%) memiliki 95% konfirmasi dengan Salmonella Typhimurium 14028 dan 4 dari 27 sampel (14.8%) memiliki 90% konfirmasi dengan Salmonella Typhimurium 14028.

Nilai konsentrasi minimal penghambatan (MIC) untuk ekstrak daun sirih yang diperoleh melalui perebusan dengan konsentrasi larutan stok (1:1) %b/v dan (1:2)%b/v berada pada konsentrasi 15% (v/v). Pada konsentrasi ini nilai penghambatan yang dihasilkan masing-masing sebesar 4.81 Log koloni/ml dan 4.83 Log koloni/ml. Sedangkan konsentrasi minimal bakterisidal (MBC) larutan stok ekstrak daun sirih yang sama berada pada konsentrasi 20%(v/v).

Perlakuan pencelupan potongan karkas ayam kedalam larutan ekstrak daun sirih pada konsentrasi turunan 40%(v/v) mampu menurunkan jumlah total mikroba dan total Salmonella pada potongan karkas ayam awal (kontrol). Jenis perlakuan yang digunakan adalah: A: Ekstrak sirih 1:1(b/v), 15 menit, B: Ekstrak


(5)

sirih 1:1(b/v), 30 menit, C: Ekstrak sirih 1:2(b/v), 15 menit, dan D: Ekstrak sirih 1:2(b/v), 30 menit. Penurunan sebesar 1.05 hingga 1.58 Log koloni/ml untuk deteksi dengan PCA dan sebesar 1.21 hingga 1.85 Log koloni/ml untuk deteksi dengan HEA.

Pada penyimpanan potongan karkas ayam di suhu ruang selama 10 jam, dengan pengamatan secara total plate count setiap 2 jam, aplikasi larutan sanitaiser ekstrak daun sirih mampu menahan jumlah total mikroba dan total bakteri dibandingkan dengan kontrol. Serta pada penyimpanan potongan karkas ayam di suhu refrigerator (3 C)selama 5 hari, perlakuan dengan sanitaiser ekstrak daun sirih mampu menahan jumlah total mikroba dan total bakteri pada potongan karkas ayam dibandingkan dengan kontrol.

Mutu mikrobiologi ekstrak daun sirih selama penyimpanan 3 bulan tidak mengalami perubahan, terlihat dengan tidak tumbuhnya mikroba pembusuk baik bakteri maupun kapang. Namun demikian selama penyimpanan pada suhu ruang dan suhu refrigerator (3 C) menunjukkan penurunan aktivitas jika dibandingkan dengan konsentrasi (1:2)%b/v pada waktu kontak 15 menit. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa penyimpanan ekstrak pada suhu ruang mengakibatkan penurunan aktivitas apabila dibandingkan dengan penyimpanan suhu refrigerator. Sehingga untuk penyimpanan larutan stok, sebaiknya dilakukan pada suhu refrigerator.

Hasil uji afektif yang berupa uji rangking dan uji hedonik, menunjukkan bahwa ayam yang mendapat perlakuan pencelupan dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 40%(v/v) dari stok (1:2)(b/v) dan waktu kontak 15 menit merupakan produk yang paling disukai oleh konsumen, dan apabila dibandingkan dengan kontrol, nilai kesukaannya tidak berbeda secara nyata.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi undang-undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau meyebutkan sumber

a). Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b). Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2). Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

PREVALENSI CEMARAN Salmonella Typhimurium PADA

POTONGAN KARKAS AYAM DAN EFEKTIVITAS EKSTRAK

DAUN SIRIH (Piper betle, Linn.) SEBAGAI LARUTAN

SANITAISER ALAMI

SYLVIANA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Prevalensi Cemaran Salmonella Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.) Sebagai Larutan Sanitaiser Alami

Nama : Sylviana

NRP : F251060081

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, MSc Ketua

Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, MSc Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi atas rahmat dan karunianya sehingga penyusunan tesis ini dapat terselesaikan. Tesis yang berjudul Prevalensi Cemaran Salmonella Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.) Sebagai Larutan Sanitaiser Alami ini merupakan hasil kegiatan penelitian penulis. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam rangka penyelesaian studi, penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penulis, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Ir Budiatman Satiawihardja, Msc dan Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum, Msc sebagai komisi pembimbing

2. Ibu Dra. Suliantari, MS sebagai dosen penguji

3. Kedua orangtuaku dan Gita atas segala doa dan harapannya 4. Aulia Rosadi atas doa dan dukungan semangatnya

5. Sanjung, Ari, Vica, Tantri, Maya, Rahmat, Udin atas dukungan semangatnya 6. Findya, Puspa, Silvana, Reza dan Teti atas semangatnya selama di Lab 7. Teman-teman IPN 2006 atas segala kebersamaanya selama 2 tahun ini 8. Mba Ari, Pak Taufik dan Ibu Sari atas bantuannya selama di Lab Mikro 9. Ibu Sri, Bapak Rojak, Bapak Sob bantuannya selama penelitian

10.Mba Mar dan Bu Sofi atas bantuannya selama masa perkuliahan

11.Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya atas segala bantuan dan bimbingannya

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun semoga keterbatasan penulis tidak mengurangi hakikat kebenaran ilmiah dari laporan ini, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Desember 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 April 1983 dari ayah Ir. Sugiharto dan ibu Ir. Liliek Endang Pudjiastuti. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara.

Penulis menamatkan pendidikan di SMU Negeri I Bogor jurusan IPA pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa di Program Studi Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pangan pada Program Pascasarjana IPB.

Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Forum Mahasiswa Ilmu Pangan. Sebagai salah satu syarat untuk memprolah gelar Master Sains, penulis melakukan penelitian yang berjudul ”Prevalensi Cemaran

Salmonella Typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle, Linn.) Sebagai Larutan Sanitaiser Alami” dibawah bimbingan Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, MSc dan Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum, MSc.


(11)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN... Latar Belakang... Tujuan dan Manfaat... TINJAUAN PUSTAKA...

Kondisi Mikrobiologis Karkas Ayam... Salmonella dan Salmonellosis... Larutan Pencelup Sebagai Sanitaiser... Potensi Antimikroba Alami Sebagai Larutan Pencelup dan Mekanisme Penghambatan... Tanaman Sirih (Piper betle, Linn.)... Klasifikasi dan Kandungan Senyawa Aktif... Potensi Senyawa Antimikroba Daun Sirih...

METODOLOGI... Waktu dan Tempat Penelitian... Bahan dan Alat... Metode Penelitian... HASIL DAN PEMBAHASAN...

Penelitian Tahap I... Proses Pengambilan Sampel dan Analisis Total Mikroba... Isolasi Salmonella dari Potongan Karkas Ayam yang Berasal dari Beberapa Pasar Tradisional dan Supermaket di Daerah Bogor... Penelitian Tahap II... Pembuatan dan Formulasi Larutan Pencelup Alami Ekstrak Daun Sirih... Penentuan Waktu Pemanasan Ekstrak Daun Sirih Serta Jenis Daun Sirih... Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide Concentration (MBC) Ekstrak Daun sirih dengan Metode Kontak (in vitro)... Penentuan Waktu Pencelupan dan Konsentrasi dengan Metode Kontak untuk Seleksi Formula Terpilih...

x xii xiii xv 1 1 4 5 5 8 11 13 19 19 23 28 28 28 29 47 47 47 49 62 62 63 66 67


(12)

Aplikasi Sanitaiser Alami Ekstrak Daun Sirih dengan Melakukan Perlakuan-Perlakuan untuk Mengoptimalkan Fungsi sebagai Sanitaiser pada Potongan Ayam... Pengujian Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Sirih pada Penyimpanan Daging Ayam di Suhu Ruang dan Refrigerator... Uji Organoleptik... Evaluasi Mutu dan Aktivitas Ekstrak Daun Sirih Selama Penyimpanan... SIMPULAN DAN SARAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

70 76 83 86 88 90


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Tabulasi mikroba pencemar karkas ayam...

2. Prevalensi (%) dari 6 bakteri patogen terhadap manusia yang berasal dari karkas ayam... 3. Kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan... 4. Penurunan jumlah Salmonella dengan perlakuan semprot larutan klorin... 5. Senyawa antimikroba beberapa rempah-rempah... 6. Mekanisme senyawa antimikroba... 7. Mekanisme sifat antimikroba beberapa senyawa kimia... 8. Komposisi kimia daun sirih segar (per 100 g bahan (bb))... 9. Komposisi senyawa kimia penyusun minyak atsiri daun sirih... 10. Tabulasi uji antimikroba daun sirih... 11. Tempat pengambilan sampel potongan ayam... 12. Jumlah ekstrak dan pengencer dalam tabung reaksi penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimum Bactericide

Concentration (MBC)………...

13. Jumlah ekstrak dan pengencer dalam tabung reaksi metode kontak untuk seleksi formula terpilih... 14. Persentase keberadaan koloni tipikal dan atipikal pada media selektif.... 15. Persentase Salmonella Typhimurium yang dapat diisolasi pada sampel.. 16. Koefisien polaritas pelarut... 17. Kombinasi konsentrasi dan waktu pencelupan sebagai sanitaiser... 18. Formula sampel uji organoleptik... 19. Hasil organoleptik daging ayam kukus (matang) yang dicelup dalam

ekstrak daun sirih... 6 8 10 11 15 15 19 22 23 27 31

36 38 53 59 63 70 83


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Proses penyediaan karkas ayam...

2. Struktur dinding dan membran sel bakteri... 3. Jenis-jenis sirih :a)Sirih hijau (sirih Jawa), b) Sirih kuning, c)Sirih merah... 4. Diagram alir garis besar penelitian... 5. Diagram alir analisis mikrobiologi potongan ayam... 6. Diagram alir metode ekstraksi panas (perebusan)... 7. Pengukuran zona penghambatan dengan metode difusi agar... 8. Contoh perhitungan nilai MIC dan MBC... 9. Tahap suspensi kultur dan inokulasi bakteri indikator Salmonella pada

sampel potongan karkas ayam... 10. Tahap pemaparan dengan larutan pencelup (sanitaiser)... 11. Hasil analisis total mikroba pada karkas ayam... 12. Tahap pengkayaan selektif dengan menggunakan dua media yaitu TTB

dan RV... 13. Pertumbuhan koloni Salmonella pada media HEA... 14. Pertumbuhan koloni Salmonella pada media XLDA... 15. Pertumbuhan koloni Salmonella pada media BSA... 16. Konfirmasi biokimia pada media TSIA dan LIA... 17. Histogram persentase koloni yang diduga Salmonella setelah uji konfirmasi biokimia pada media TSIA dan LIA terhadap jumlah koloni yang diisolasi dari media HEA, XLDA dan BSA... 18. Uji konfirmasi dengan menggunakan Urea Broth... 19. Hasil identifikasi Salmonella dengan API 20E... 20. Morfologi isolat yang diduga Salmonella (Perbesaran 1000x)... 21. Pengaruh waktu perebusan dan jenis sirih terhadap daya antimikroba ekstrak daun sirih dengan metode difusi sumur... 22.Pertumbuhan Salmonella Typhimurium (Log koloni/ml) setelah dipapar dengan ekstrak daun sirih (1:1) dan (1:2)% (b/v) selama 24 jam... 23. Penurunan Salmonella dengan adanya kombinasi konsentrasi ekstrak

daun sirih (20, 30, 40, 50, dan 80) % (v/v) dengan waktu pencelupan (2, 15 dan 30 menit) pada ekstrak stok 1:1 (b/v)... 24. Penurunan Salmonella dengan adanya kombinasi konsentrasi ekstrak

daun sirih (20, 30, 40, 50, dan 80) % (v/v) dengan waktu pencelupan (2, 15 dan 30 menit) pada ekstrak stok 1:2 (b/v)... 25. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap

penurunan jumlah total mikroba dan Salmonella pada potongan karkas ayam, dengan pemupukan pada media PCA suhu 35 C... 26. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap penurunan jumlah Salmonella pada potongan karkas ayam, pemupukan dengan media HEA suhu 37 C... 27. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap

penurunan jumlah total mikroba pada potongan karkas ayam, pemupukan dengan media PCA suhu 35 C...

5 16 21 30 31 33 35 37 40 41 49 51 52 52 53 54 55 57 58 60 65 67 68 69 72 73 75


(15)

28. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap penurunan jumlah total mikroba pada potongan karkas ayam, pemupukan dengan media TSA suhu 35 C... 29. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap

peningkatan jumlah total mikroba pada penyimpanan ruang selama 10 jam di media PCA... 30. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap

peningkatan jumlah total mikroba pada penyimpanan ruang selama 10 jam di media TSA... 31. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap

peningkatan jumlah total mikroba pada penyimpanan refrigerator selama 4 hari di media PCA... 32. Pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap peningkatan jumlah total mikroba pada penyimpanan refrigerator selama 4 hari di media TSA... 33. Aktivitas penghambatan ekstrak daun sirih selama penyimpanan 3 bulan pada dua konsentrasi ekstrak sirih (1:1) dan (1:2) b/v terhadap Salmonella Typhimurium (Log koloni/ml)...

76

78

79

81

82


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Metode analisa Salmonella berdasarkan W. H. Andrews dan T. S.

Hammack, USFDA Bacteriological Analitical Method (BAM), 8th Edition (Revisi Desember 2007)... 2. Koloni tipikal Salmonella pada agar selektif Xylose Lysine Desoxycholate (XLD) Agar, Hektoen Enteric Agar (HEA), dan Bismuth Sulfite Agar (BSA) (USFDA Bacteriological Analitical Method (BAM), 8th Edition (Revisi Desember 2007)... 3. Uji konfirmasi biokimia Salmonella dengan menggunakan API 20E Kit.. 4. Blangko analisa API 20E Test... 5. Persentase koloni yang diduga Salmonella setelah uji konfirmasi

biokimia pada media TSIA dan LIA... 6. Perhitungan Rendemen Ekstrak Daun Sirih... 7. Hasil analisis statistik penurunan Salmonella dengan adanya kombinasi konsentrasi ekstrak daun sirih (20, 30, 40, 50, dan 80) % (v/v) dengan waktu pencelupan (2, 15 dan 30 menit) pada ekstrak stok 1:1 (b/v)... 8. Hasil analisis statistik penurunan Salmonella dengan adanya kombinasi konsentrasi ekstrak daun sirih (20, 30, 40, 50, dan 80) % (v/v) dengan waktu pencelupan (2, 15 dan 30 menit) pada ekstrak stok 1:2 (b/v)... 9. Hasil analisis statistik pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap penurunan jumlah total mikroba pada potongan karkas ayam dengan media PCA... 10. Hasil analisis statistik pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu

pencelupan sanitaiser terhadap penurunan jumlah total mikroba pada potongan karkas ayam dengan media TSA... 11. Hasil analisis statistik pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap penurunan jumlah Salmonella pada potongan karkas ayam dengan media PCA... 12. Hasil analisis statistik pengaruh jenis, konsentrasi dan waktu pencelupan sanitaiser terhadap penurunan jumlah Salmonella pada potongan karkas ayam dengan media HEA... 13. Hasil analisis statistik penyimpanan ruang selama 10 jam pada media

PCA... 14. Hasil analisis statistik penyimpanan ruang selama 10 jam pada media TSA... 15. Hasil analisis statistik penyimpanan refrigerator selama 4 hari pada

media PCA... 16. Hasil analisis statistik penyimpanan refrigerator selama 4 hari pada

media TSA... 17. Hasil uji rangking organoleptik... 18. Hasil analisis sidik ragam uji hedonik warna... 19. Hasil analisis sidik ragam uji hedonik aroma... 20. Hasil analisis sidik ragam uji hedonik rasa... 21. Form Uji Organoleptik... 22. Rekapitulasi evaluasi mutu ekstrak daun sirih selama penyimpanan... 23. Aktivitas ekstrak daun sirih selama penyimpanan 3 bulan

(%penghambatan)... 97 99 100 101 102 103 104 105 106 106 107 107 108 109 110 111 112 112 113 114 115 116 117


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap daging ayam terus meningkat setiap tahunnya. Data Biro Pusat Statistik tahun 2003 menunjukkan bahwa pada tahun 1998 produksi daging ayam sebesar 285.000 metrik ton dan akan terus meningkat hingga tahun 2001 menjadi 516.000 metrik ton serta diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya sebesar 9%. Populasi ayam potong di Indonesia juga meningkat setiap tahunnya, khusus ayam broiler sebesar 524.273.000 ekor per tahun. Persentase pembelanjaan masyarakat terhadap daging juga meningkat dari 5.85% per bulan pada tahun 1996 menjadi 17.13% per bulan pada tahun 1999. Akibatnya tuntutan keamanan pangan dari produk ini juga terus meningkat. Kontaminasi bakteri pada daging ayam merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan karena selain menyebabkan penurunan kualitas daging ayam, juga menimbulkan penyakit bagi konsumen. Di Indonesia, untuk melindungi konsumen dari kontaminasi bakteri patogen, serta bahan-bahan lain yang membahayakan kesehatan tercantum di dalam Standar Nasional Indonesia SNI No 01-6366-2000 tentang batas maksimum cemaran mikroba dan residu bahan berbahaya dalam bahan pangan asal hewan.

Kontaminasi bakteri patogen dapat mengakibatkan foodborne disease. Menurut definisi, foodborne disease merupakan suatu penyakit yang diderita oleh seseorang akibat konsumsi makanan yang telah terkontaminasi oleh bahan kimia atau mikroba patogen. Kontaminasi silang selama persiapan dan penanganan bahan pangan diketahui sebagai faktor penting yang berhubungan dengan kejadian foodborne disease. Menurut Hayes (1996) beberapa jenis bakteri patogen yang sering mencemari bahan pangan mentah seperti daging unggas adalah Salmonella spp., Shigella spp. Echerichia coli, Staphylococcus aureus dan Campylobacter jejuni.

Pencemaran bakteri patogen pada karkas ayam dapat membahayakan konsumen. Salmonella dapat menginfeksi manusia jika tertelan bersama makanan kurang matang dari binatang yang terinfeksi yaitu daging, unggas, telur dan


(18)

sebagainya. Pada tahun 1996, terdapat 39 027 kasus Salmonellosis pada manusia yang dilaporkan ke CDC (Centers for Disease Control and Prevention) di Amerika Serikat. Setiap tahunnya CDC menerima 40 000 laporan mengenai kasus Salmonellosis di Amerika. CDC memperkirakan bahwa 1.4 juta orang di negara Amerika terinfeksi dan 1 000 orang meninggal setiap tahunnya karena Salmonellosis. Gejala yang paling parah sering terjadi pada orang tua, bayi dan orang yang memiliki daya tahan tubuh lemah (immuno compromise), terutama penderita AIDS sangat peka terhadap Salmonellosis sehingga sering terjangkit berulang kali (Anonima 2005).

Disisi lain, untuk menurunkan tingkat cemaran mikroba pada daging ayam, seringkali para pedagang menggunakan bahan kimia bukan untuk pangan sebagai larutan pencelup atau pengawet. Guna mengatasi masalah tingginya kontaminasi Salmonella pada daging ayam, maka diperlukan strategi untuk mengendalikan pencemaran pada saat penanganan bahan mentah, diantaranya adalah penggunaan larutan pencelup sebagai sanitaiser. Bahan yang banyak digunakan dan direkomendasikan antara lain adalah klorin atau senyawa klorin (WHO 1998). Klorin berguna untuk menurunkan kontaminasi bakteri pada karkas ayam selama proses pencucian dengan suhu dingin (10-20 C) (Hinton dan Ingram 2000). Menurut Shane (1992) dan James et al.(1992) pencemaran mikroba pada karkas ayam dapat dikurangi dengan menggunakan larutan klorin 20-50 ppm. Namun Siragusa (1995) melaporkan bahwa klorin kurang efektif menghilangkan bakteri kontaminan pada karkas karena kemampuan klorin sebagai antimikroba hanya sesaat apabila kontak dengan suhu tinggi dan bahan organik. Selain itu adanya efek samping tertinggalnya residu dan perubahan warna pada karkas. Akhir-akhir ini penggunaan klorin sebagai sanitaiser juga mendapat perhatian, karena didasari bahwa klorin akan bereaksi dengan komponen organik membentuk komponen trihalometan yang bersifat karsinogen (Maugh 1981 di dalam Andrianto 2002).

Mengingat pentingnya upaya untuk mempertahankan mutu mikrobiologi produk unggas sehingga tidak membahayakan kesehatan, maka perlu dilakukan suatu perlakuan pada produk untuk mengurangi jumlah awal bakteri dan Salmonella dengan menggunakan larutan dekontaminan yang aman. Salah satu


(19)

kriteria suatu dekontaminan yang ideal adalah tingkat kelarutannya dalam air yang cukup tinggi sehingga mudah diaplikasikan. Sementara itu, senyawa-senyawa antimikroba yang banyak diteliti sebagai alternatif umumnya mempunyai kelarutan rendah di dalam air. Penggunaan bahan alami mempunyai kelebihan karena dianggap lebih aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu perlu diformulasikan lebih lanjut alternatif dekontaminan yang aman tetapi sekaligus mudah dilarutkan dalam air. Dari beberapa penelitian sebelumnya mengenai senyawa alami dari tanaman Indonesia yang memiliki sifat antimikroba, salah satunya adalah daun sirih (Piper betle Linn.).

Potensi daun sirih (Piper betle Linn.) sebagai senyawa antimikroba terhadap kontaminan bakteri patogen seperti S. aureus, E. coli, Bacillus cereus dan Salmonella Typhimurium sudah banyak diteliti. Namun sampai saat ini belum ada yang diaplikasikan sebagai senyawa antimikroba larutan pencelup untuk dekontaminasi pada produk pangan. Selama ini ekstrak hanya digunakan sebagai bahan pengawet dan pencegah oksidasi (antioksidan) pada produk pangan. Padahal tanaman ini tumbuh tersebar di seluruh Indonesia, serta ketersediaanya sangat tinggi.

Beberapa penelitian mengenai aktivitas daun sirih antara lain penelitian yang dilakukan oleh Arka (1984) di dalam Sukarminah (1997) menyimpulkan bahwa ekstrak sirih dapat mengurangi pertumbuhan mikroba kontaminan dalam daging ayam broiler. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Sugiastuti (2002) dengan menerapkan ekstrak etanol daun sirih sebagai antibakteri pada daging sapi giling dimana hasilnya pada konsentrasi sebesar 5 kali nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu 10 mg/g (1% b/b) dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging sapi giling yang disimpan pada suhu refrigerasi. Penggunaan ekstrak daun sirih yang memiliki aktivitas antimikroba sebagai sanitaiser menjadi salah satu alternatif untuk dekontaminasi bakteri patogen, terutama Salmonella Typhimurium pada daging ayam. Pada penelitian ini akan dilakukan formulasi konsentrasi serta lama pencelupan potongan ayam dengan menggunakan ekstrak daun sirih serta dilakukan pengujian efektivitas didalam mengurangi jumlah populasi S. Typhimurium.


(20)

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kontaminasi Salmonella pada produk potongan karkas ayam yang dijual di daerah Bogor serta upaya pengendalian cemaran mikrobiologi terutama oleh bakteri patogen Salmonella Typhimurium pada produk potongan karkas ayam dengan memanfaatkan bahan aktif antimikroba alami sehingga mampu meningkatkan keamanan produk tersebut.

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi tingkat prevalensi mengenai salah satu bakteri penyebab diare yaitu Salmonella Typhimurium. Sanitaiser yang diformulasikan pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan diaplikasikan oleh masyarakat umum, terutama sebagai alternatif larutan pencelup karkas ayam untuk meningkatkan keamanan mikrobiologi produk.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Mikrobiologis Karkas Ayam

Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino essensial yang lengkap. Selain itu daging ayam merupakan komoditas yang paling banyak diperdagangkan dan disukai karena memiliki serat daging yang pendek dan lunak sehingga mudah dicerna. Yang dimaksud dengan karkas ayam adalah bagian dari tubuh ayam tanpa darah, bulu, kepala, kaki dan jeroan. Karkas ayam merupakan hasil keluaran proses pemotongan setelah melalui tahapan pemeriksaan antemortem, penyembelihan, penuntasan darah, penyeduhan (scalding), pencabutan bulu (defeathering) dan dressing yang meliputi pemotongan kaki dan kepala, pengambilan jeroan dan pencucian (Gambar 1) (Muchtadi dan Sugiyono 1989). BSN (1995) mendefinisikan karkas ayam pedaging menurut SNI 01-3924-1995 adalah bagian dari ayam pedaging hidup setelah dipotong, dibului, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya.

Gambar 1. Proses penyediaan karkas ayam (Muchtadi dan Sugiyono 1989)

Sebagai bahan pangan, daging ayam tersusun atas komponen-komponen pangan seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin, air dan mineral. Kandungan karkas ayam broiler menurut Adamcic dan Clark (1970) didalam ICMSF (2005) terdiri dari 71% air, 20.5% protein, 27% lemak, dengan aktivitas air (aw) berkisar

0.98-0.99, pH otot dada 5.7-5.9 dan pH otot kaki 6.4-6.7. Karkas ayam yang baik Penyembelihan (pemingsanan, potong leher) pendarahan

Penyemprotan pencabutan bulu Perendaman dalam air panas Pembersihan bulu pemotongan kaki dan pembelahan badan

Pencucian pengeluaran internal organ pemotongan kepala dan leher Pendinginan penimbangan dan pengepakan pembekuan


(22)

memiliki karakteristik bentuk karkas padat dan kompak, pelemakan menyebar rata dibawah kulit yang menutupi seluruh bagian karkas, kulit harus utuh (tidak memar, tidak sobek, warna kulit agak kekuningan dan bebas dari bulu-bulu jarum) serta tidak dijumpai tulang-tulang yang patah.

Sumber utama pencemaran karkas dalam industri daging adalah hewan itu sendiri. Mikroflora yang terdapat pada karkas ayam tidak terlepas dari mikroflora yang terdapat pada ayam tersebut ketika ayam itu masih hidup, dan terjadi perubahan pada tahapan proses setelah pemotongan (Gracey 1986). Sumber kontaminasi mikroorganisme pada daging segar dapat berasal dari pisau pemotong, bagian yang tersembunyi dari daging, saluran pencernaan, tangan manusia, wadah, penanganan dan penyimpanan. Jaringan hewan sehat umumnya bebas dari bakteri pada saat dipotong, tetapi pada saat diperiksa, daging segar pada tingkat penjual umumnya selalu ditemukan berbagai jenis dan jumlah mikroorganisme cukup tinggi (Jay et al. 2005). Mikroba yang mencemari karkas ayam dapat berupa mikroorganisme pembusuk dan dapat pula berupa mikroba patogen. Mikroba pembusuk akan menurunkan mutu dan kelayakan karkas serta berpengaruh terhadap nilai ekonomis seperti Pseudomonas, sedangkan mikroba patogen dapat menyebabkan foodborne disease, diantaranya yaitu Salmonella, Echerichia coli, Campylobacter jejuni, Listeria Monocytogenes, Clostridium perfringens dan Staphylococcus aureus (ICMSF 2005).

Tabel 1. Tabulasi mikroba patogen pencemar karkas ayam

Referensi Letak/bagian

tubuh karkas

Jenis mikroba Tingkat cemaran

Notermans et al. (1975), Mulder et al. (1977) di dalam ICMSF (2005)

Kulit ayam broiler

Salmonella 1.4

×103cfu/100gr

kulit Oostrom et al. (1983) di

dalam ICMSF (2005)

Kulit perikloaka Campylobacter

jejuni

103-106 cfu/gr

Strong et al.(1963), Hall dan Angelotti (1965), Mead dan Imprey (1970), Bryan dan Kilpatrik (1971) di dalam ICMSF (2005)

Permukaan kulit karkas

Clostridium perfringens

Jumlah kecil

Menurut Soeparno (1998) daging memenuhi persyaratan untuk perkembangan mikroorganisme perusak dan pembusuk karena : mempunyai kadar


(23)

air yang tinggi (68-75%), kaya akan zat yang mengandung nitrogen dengan kompleksitas yang berbeda, mengandung sejumlah karbohidrat yang dapat difermentasikan, kaya akan mineral dan kelengkapan faktor untuk pertumbuhan mikroorganisme dan memiliki pH yang menguntungkan bagi sejumlah mikroorganisme (pH sekitar 5.3-6.5). Grau (1986) di dalam Noor (2003) menemukan pada karkas ayam yang dibuang kulitnya mengandung mikroflora mesofil aerob sekitar 103-105/cm2), mikroflora psikotrof sekitar 101-103/cm2, Enterobacteriaceae 103-104/cm2, E. coli 101-103/cm2, C. perfringens kurang dari 102/cm2 dan S. aureus lebih dari 103/cm2.

Ayam dan produk unggas dihubungkan sebagai faktor pembawa Salmonella Typhimurium dan Campylobacter jejuni. Dari 50 sampel daging ayam kalkun giling beku yang diteliti, 38% mengandung Salmonella. Salmonella juga diisolasi dari permukaan karkas ayam, dimana pada saat sebelum diolah menjadi ayam giling 24 dari 208 karkas ayam kalkun (11.5%) mengandung Salmonella, dan setelah diproses menjadi ayam giling tanpa dimasak, diketahui 90 dari 336 (26%) mengandung Salmonella, dan diketahui bahwa bertambahnya jumlah Salmonella karena adanya kontaminasi dari peralatan masak yang digunakan (Bryan et al. 1968 di dalam Jay et al. 2005).

Campylobacter jejuni ditemukan pada produk karkas lebih sedikit dibandingkan dengan Salmonella. C. jejuni merupakan bakteri komensal dalam saluran usus unggas, jumlahnya sekitar 103.5-107 koloni/gram. C jejuni mengkontaminasi karkas ayam lebih tinggi jika dibandingkan dengan daging pada bagian dada, paha, dan hati ampela ayam. Hal ini kemungkinan karena pada waktu memproses ayam dari mulai tahap pencabutan bulu dan pengulitan sampai eviserasi sangat mudah sekali terjadi kontaminasi dari saluran pencernaan. Prevalensi dari 6 bakteri patogen terhadap manusia yang berasal dari karkas ayam dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Lawrie (1991) faktor yang paling penting dalam pertumbuhan mikroba adalah temperatur, semakin tinggi temperatur, maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan mikroba. Berdasarkan hal tersebut maka penyimpanan daging baik segar maupun daging olahan biasanya dilakukan pada suhu rendah pada refrigerator atau freezer.


(24)

Isolasi Salmonella dan Campylobacter umumnya dilakukan pada karkas ayam selama pengolahan dan pada saat akan dijual ke konsumen. Di beberapa negara, diketahui 50-80% dari karkas ayam yang dijual di pasar terkontaminasi dengan C. jejuni. Studi yang dilakukan di pabrik-pabrik pengolahan diketahui bahwa pada karkas ayam terdeteksi C. 102-103 koloni/ karkas. Persentase dari karkas yang positif C. jejuni dan C. coli rata-rata jumlahnya 67-100%. Sedangkan untuk studi terhadap Salmonella diketahui dari sampel daging ayam yang diisolasi dari 6046 pasar di Amerika (n=365), 6% sampel terkontaminasi oleh Salmonella, yang mana terdiri dari S. Heidelberg (23%), S. Saintpaul (12%), S. Typhimurium (11%) dan S. Kentucky (10%) (Zhao et al. 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdy (2007) dengan mengisolasi C. jejuni dari karkas ayam yang diperoleh dari Pasar tradisional dan Supermarket di daerah Bogor diketahui C. jejuni yang dapat diisolasi dari 70 sampel, hanya 11 sampel yang tercemar atau sekitar 15.7%.

Tabel 2. Prevalensi (%) dari 6 bakteri patogen terhadap manusia yang berasal dari karkas ayam

Bakteri patogen Prevalensi (%)

Campylobacter spp. Clostridium perfringens Escherichia coli O157:H7 Salmonella spp.

Staphylococcus aureus Listeria monocytogenes

0-100 63 1.5 0-100

88 5 Sumber: ICGFI (1999) di dalam Noor (2003).

Salmonella dan Salmonellosis

Salmonella merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Menurut Del-Portillo (2000), bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan makanan di negara yang sedang berkembang dan negara berkembang. Menurut Bergey’s manual of Determinative Bacteriology di dalam Alcamo (1983), Salmonella termasuk ke dalam golongan Enterobacteriaceae yang berbentuk batang, bersifat fakultatif anaerobik dan merupakan bakteri Gram negatif. Salmonella berukuran


(25)

relatif kecil, sekitar 0.7-1.5 ×2.0-5.0 m (Bell dan Kyriakides 2003). Bakteri ini tidak dapat dibedakan dengan E. coli apabila hanya dilihat dengan mikroskop ataupun menumbuhkannya hanya pada media dengan kandungan nutrien umum. Salmonella umumnya tidak mampu memfermentasi laktosa, sukrosa dan salicin, akan tetapi mampu memfermentasi glukosa dan monosakarida lainnya dengan menghasilkan gas (Jay et al. 2005). Salmonella biasanya bersifat motil dan mempunyai flagella peritrikus, kecuali S. gallinarum-pullorum yang bersifat non-motil (Supardi dan Sukamto 1999).

Parameter pH, aw, kandungan nutrisi dan temperatur sangat berhubungan dengan pertumbuhan Salmonella seperti halnya dengan bakteri lain. Salmonella mampu berkembangbiak dalam jumlah besar pada media pertumbuhan yang sesuai dan dapat menghasilkan koloni yang tampak (visible) dalam waktu 24 jam pada suhu 37 C (Jay et al. 2005). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2004) diketahui bahwa kurva pertumbuhan Salmonella Typhimurium dan Salmonella enteritidis membutuhkan waktu 16 jam untuk mencapai akhir fase log dan 20 jam bagi Salmonella spp. pH optimum untuk pertumbuhan Salmonella berkisar pada kisaran pH netral, yaitu 6.6-8.2. Salmonella merupakan bakteri yang tidak tahan terhadap konsentrasi garam tinggi. Kadar garam maksimal untuk pertumbuhan Salmonella adalah sekitar 8%. Salmonella dapat tumbuh pada suhu antara 5-47 C dengan suhu pertumbuhan optimum berkisar antara 35-37 C (Supardi dan Sukamto 1999).

Menurut Fardiaz (2000), dari data ICMSF Salmonella merupakan kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan. Berdasarkan tingkat bahaya dan penyebarannya, Salmonella berada pada kelompok bahaya sedang, dengan penyebaran cepat dan juga kelompok sangat berbahaya (Tabel 3).

Salmonellosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Salmonella, kebanyakan infeksi Salmonella terjadi setelah makan makanan tercemar atau kadang setelah berhubungan dengan orang yang terinfeksi. Infeksi Salmonella dapat disebabkan oleh konsumsi bahan mentah atau tidak matang yang terkontaminasi pakan hewan yang tercemar fekal. Pada umumnya orang yang terinfeksi Salmonella mengalami sakit kepala, demam, kejang perut, diare, mual


(26)

dan muntah. Gejala sering terjadi 6-72 jam setelah infeksi dan biasanya berlangsung selama 4-7 hari atau lebih lama. Infeksi Salmonella dapat menyebar melalui aliran darah, dan semua bagian tubuh seperti sumsum tulang atau lapisan meningeal pada otak, yang dapat mengakibatkan penyakit yang lebih parah (fatal) (Dell-Portillo 2000).

Tabel 3. Kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan

Tingkat bahaya dan penyebarannya Spesies bakteri

Bahaya sedang, penyebaran terbatas Staphylococcus aureus Vibrio parahaemolyticus Bacillus cereus

Clostridium perfringens Campylobacter jejuni Yersinia enterolicotica Vibrio cholerae non 0-1 Bahaya sedang,

penyebaran cepat

Salmonella (non-typhi) Escherichia coli

Shigella (non dysentriae) Listeria monocytogenes Streptococcus pyrogenes

Sangat berbahaya Clostridium botulinum

Vibrio cholerae 01

Salmonella Typhi dan Paratyphi A, B Shigella dysentriae

Brucella abortus Sumber: ICMSF (1986, 1996) di dalam Fardiaz (2000).

Oleh sebab itu ada beberapa pencegahan yang dilakukan untuk menghentikan penyebaran Salmonella, yaitu: 1) meningkatkan dan memperbaiki pengawasan terhadap Salmonella pada pemasakan makanan dengan tepat, 2) menekan terjadinya kontaminasi silang pada peralatan produksi dengan perlengkapan fisik dan kontrol dengan pola aliran udara, 3) memperbaiki perlakuan air, 4) pengawasan yang lebih efektif pada peralatan proses pangan, 5) peningkatan pengawasan terhadap hewan potong, 6) memberikan informasi tentang Salmonellosis secara luas, serta 7) pengadaan training karyawan untuk meningkatkan pengetahuan akan masalah Salmonellosis (Pelczar et al.1993).

Pemanasan merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk membunuh Salmonella sp. Alternatif lainnya adalah dengan mengatur pH,


(27)

menambahkan bahan-bahan kimia, penyimpanan pada suhu rendah dan dengan radiasi. Pemanasan yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella sp. umumnya dilakukan selama 12 menit pada suhu 66 C, atau selama 78-83 menit pada suhu 60 C. Perlakuan-perlakuan lainnya yang dapat membunuh Salmonella misalnya perlakuan dengan asam asetat, hidrogen peroksida, radiasi ionisasi, radiasi ultraviolet, dan pemanasan dengan menggunakan oven mikrowave (Supardi dan Sukamto 1999).

Larutan Pencelup Sebagai Sanitaiser

Pada tahap pencucian karkas, klorin sering digunakan sebagai larutan pencelup, hal ini bertujuan untuk mengurangi jumlah kandungan mikroba TPC (Total Plate Count) atau dekontaminasi beberapa bakteri patogen seperti Salmonella dan C. jejuni yang akan menurunkan mutu dan keamanan produk. Beberapa metode dekontaminasi yang telah dilakukan adalah dengan klorinasi, pencelupan asam organik dan larutan asam, larutan alkali, pemanasan dan iradiasi (ICMSF 2005). Di beberapa negara pencucian dilakukan secara alternatif dengan menggunakan metode semprot, dimana paling sedikit dibutuhkan 1.5 liter air pencelup dibutuhkan untuk setiap 2.5 kg karkas (Mulder 1985 dan Notermans et al. (1980) didalam ICMSF 2005) (Tabel 4). Metode semprot ini mampu menurunkan jumlah bakteri aerobik, Enterobacteriaceae dan koliform sebesar 50-90%, serta prevalensi Salmonella. Kelemahan dari metode ini adalah tidak mampu memperpanjang umur simpan karkas segar (Stewart dan Patterson 1962; Sanders dan Blackshear 1971; May 1974; Mulder dan Weerkamp 1974; Mulder 1976 didalam ICMSF 2005).

Tabel 4. Penurunan jumlah Salmonella dengan perlakuan semprot larutan klorin

Persentase sampel yang positif terhadap Salmonella

Setelah tahap eviserasi Setelah

pencabutan

bulu Tanpa penyemprotan Dengan penyemprotan Tes 1

Tes 2

NTa 68(84)

53b (71)c 93 (100)

18(33) 29(50)

Keterangan : aNot tested, b pencucian pada kulit kloaka, c analisis pada kulit kloaka yang dimaserasi (8g) Sumber: Notermans et al. (1980) didalam ICMSF (2005).


(28)

Larutan pencelup yang dapat mengurangi jumlah mikroba dapat dikategorikan sebagai sanitaiser, definisi sanitaiser itu sendiri menurut Jenie (1988) merupakan senyawa kimia yang dapat mereduksi jumlah mikroba patogen dan perusak di dalam proses pengolahan pangan, fasilitas dan perlengkapan makanan. Sanitaiser yang ideal harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut, yaitu mampu mendestruksi mikroba dengan aktifitas yang seragam, spektrum luas terhadap sel-sel vegetatif dari bakteri, kapang dan khamir serta menghasilkan kematian yang cepat; harus memiliki ketahanan terhadap lingkungan, dapat membersihkan dengan baik; tidak beracun dan menyebabkan iritasi; larut dalam air dengan berbagai perbandingan; memiliki bau yang dapat diterima atau tidak berbau; stabil dalam larutan yang pekat dan encer; mudah digunakan dan diukur dalam larutan yang telah digunakan serta banyak tersedia dan murah. Kategori sanitaiser menurut Marriot dan Gravani (2006) dapat berupa no-rinse food-contact surface sanitizers dan non-food-contact surface sanitizers. Yang termasuk dalam food-contact sanitizers adalah larutan pencuci untuk peralatan dan wadah yang digunakan untuk proses pengolahan susu, pangan dan minuman serta proses tidak langsung yang berkaitan dengan pengadaan makanan dan minuman. Suatu sanitaiser harus mampu mematikan 99.999% dari 75 hingga 125 juta E. coli dan Staphylococcus aureus dalam waktu 30 detik setelah penggunaan pada suhu 20 C.

Bagian yang paling rentan terhadap aktivitas sanitaiser adalah membran sitoplasma, enzim-enzim tertentu, dan protein struktural pada dinding sel. Efektifitas suatu sanitaiser kimia menurut Jenie (1988) dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik dan kimia sebagai berikut:

1. Waktu kontak: telah diketahui bahwa kematian populasi mikroorganisme mengikuti suatu pola logaritmik, menunjukkan bahwa bila 90% dari populasi dibunuh dalam satu satuan waktu, maka 90% berikutnya dari sisa yang tertinggal akan dibunuh pada satuan waktu berikutnya, meninggalkan hanya 1% dari jumlah awal. Populasi mikroba dan populasi sel mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap sanitaiser, yang disebabkan oleh umur sel, pembentukan spora, dan faktor-faktor fisiologis lain yang menentukan waktu yang menentukan waktu yang dibutuhkan untuk sanitaiser agar efektif.


(29)

2. Suhu : Laju pertumbuhan mikroba dan laju kematian disebabkan oleh bahan kimia akan meningkat dengan naiknya suhu. Akan tetapi suhu yang lebih tinggi, umumnya akan menurunkan tegangan permukaan, meningkatkan pH, menurunkan viskositas, dan menimbulkan perubahan-perubahan lain yang dapat memperkuat daya bakterisidalnya.

3. Konsentrasi : Peningkatan konsentrasi sanitaiser akan meningkatkan kecepatan destruksi bakteri. Untuk beberapa sanitaiser warna dan bau dari larutan dapat merupakan indikasi kekuatan.

Beberapa jenis sanitaiser yang sudah dikenal adalah senyawa fenol dan fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen dan senyawa amonium kuartener. Bahan sanitaiser yang sampai saat ini sering digunakan dalam penanganan daging ayam antara lain larutan klorin atau hipoklorit, asam organik dan acidified sodium chlorite (ASC). Bahan-bahan tersebut mempunyai kelarutan dalam air yang tinggi sehingga mudah untuk digunakan.

Penelitian yang dilakukan oleh Abdy (2007) mengenai efektifitas klorin dan asam asetat sebagai sanitaiser terhadap Campylobacter jejuni dengan metode suspension test diketahui bahwa asam asetat 3% merupakan sanitaiser yang paling tinggi mereduksi Campylobacter jejuni dibandingkan sanitaiser klorin yaitu sebesar 2.0 Log koloni/ml (konsentrasi awal 5.4 Log koloni/ml menjadi 3.4 Log koloni/ml) pada waktu kontak 5 menit dan lebih dari 3.4 Log koloni/ml (konsentrasi awal 5.4 Log koloni/ml menjadi kurang dari 2.00 Log koloni/ml) pada waktu kontak 10 menit. Asam asetat 3% dalam hal ini dapat diaplikasikan pada karkas ayam yang dijual dipasaran sebagai sanitaiser karena lebih aman bagi tubuh manusia.

Potensi Antimikroba Alami Sebagai Larutan Pencelup dan Mekanisme Penghambatan

Senyawa antimikroba adalah senyawa kimia atau biologi yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992), komponen antimikroba terdapat dalam bahan pangan melalui salah satu dari berbagai cara, yaitu: a). Terdapat secara alamiah di dalam bahan pangan, b)


(30)

ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dan c) terbentuk selama pengolahan atau oleh jasad renik yang tumbuh selama fermentasi pangan. Senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Pengaruh komponen antimikroba terhadap sel mikroba dapat menyebabkan kerusakan sel yang berlanjut pada proses kematian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh komponan antimikroba dapat bersifat mikrosidal yang bersifat tetap, atau mikrostatik yang bersifat dapat pulih kembali. Suatu komponen akan bersifat mikrosidal atau mikrostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur yang digunakan (Bloomfield 1991)

Senyawa antimikroba alami banyak terdapat di dalam rempah-rempah seperti allisin pada bawang putih, eugenol pada cengkeh, eugenol dan sinamat aldehid pada kayu manis, kurkumin pada kunyit, geraniol dan sitronelal pada sereh, dan kapcaisin pada cabe merah. Rempah-rempah biasanya digunakan sebagai pemberi rasa, aroma atau rasa pedas pada makanan, sebagai obat-obatan, wangi-wangian dan lain-lain. Selain bersifat sebagai antioksidan, beberapa rempah-rempah juga bersifat sebagai bakteristatik, baktersidal, fungistatik, fungisidal dan germisidal. Sehingga rempah-rempah dapat digunakan sebagai pengawet. Pada tanaman, senyawa antimikroba umumnya disusun oleh asam organik, komponen fenolik, methylated flavones, flavonols, alkaloid, turunan hidroksifenil, protein-like compound , glukosida, glikosida dan dien (Vigil et al. 2005). Selain senyawa-senyawa diatas, terpen, alifatik alkohol, aldehid, keton dan isoflavonoid juga merupakan senyawa utama yang memiliki aktivitas antimikroba (Shelef 1983).

Menurut Siliker et al. (1980), daya antimikroba rempah-rempah tergantung pada satu atau beberapa senyawa yang merupakan komponen minyak atsiri. Mungkin senyawa tersebut umum terdapat pada rempah-rempah atau hanya khas terdapat pada rempah-rempah tertentu (Tabel 5). Komponen rempah-rempah yang berperan aktif sebagai senyawa antimikroba terdapat pada minyak atsirinya. Disamping minyak atsiri beberapa senyawa pada rempah-rempah juga dapat bersifat sebagai antimikroba (Shelef 1983).


(31)

Tabel 5. Senyawa antimikroba beberapa rempah-rempah

Tanaman Senyawa antimikroba

Basil (Ocimum basilicum)

Lada hitam (Pipper nigrum)

Bay (Laurus nobilis)

Caraway seed (Carum carvi)

Seledri (Apium graveolens)

Kayu manis (Cinnamomum zeylanicum)

Clove (Syzygium aromaticum)

Coriander (Coriandum sativum)

Cumin (Cuminum cyminum)

Bawang putih (Allium sativum)

Daun jeruk nipis (Cymbopogon citratus)

Mustard (Brassica hirta, B. juncea, B.

nigra)

Bawang merah (Allium cepa)

Oregano (Origanum vulgare)

Parsley (Petroselinum crispum)

Rosemary (Rosmarinus officinalis)

Sage (Salvia officinalis)

Tarragon (Artemisia dracunculus)

Thyme (Thymus vulgaris)

Vanilla (Vanilla planifolia, V. pompona, V.

tahilensis)

d-linalool, methyl chavicol, eugenol,

cineol, geraniol

Monoterpenes, sesquiterpenes Cineol, l-linalool, eugenol, geraniol Carvone, limonene

d-limonene

Cinnamic aldehyde, l-linalool, p-cymene, eugenol

Eugenol, cariofilene

d-linalool, d- -pinene, -pinene Cuminaldehyde, p-cymene

Diallyl disulfide, diethyl sulfide, diallyl trisulfide, allicin

Citral, geraniol Allyl-isothiocyanate

d-n-propyl disulfide, methyl-n-propyl

disulfide

Thymol, carvacrol, -pinene, p-cymene -pinene, fenol-eter-apiol

Borneol, cineol, camphor, -pinene, bornyl acetate

Thujone, cineol, borneol, thymol, eugenol Methyl chavicol, anethole

Thymol, carvacrol, l-linalool, geraniol, p-cymene

Vanillin, vanillic, hydroxbenzoic, p-coumaric acids

Sumber: López-Malo et al. 2000; Davidson and Naidu 2000; Shelef 1983; Farrell 1990 di dalam Russell (2005).

Mekanisme kerusakan sel akibat komponen antimikroba berbeda-beda tergantung jenis komponennya. Russell (2005) serta Luck dan Jager (1995) membedakan mekanisme komponen antimikroba menjadi beberapa pengaruh, yaitu: 1) berpengaruh terhadap dinding sel, 2) berpengaruh terhadap membran sel dan mekanisme transpor nutrien, 3) pengaruh terhadap enzim, dan 4) pengaruh terhadap sintesis protein dan asam nukleat (Tabel 6).

Tabel 6. Mekanisme senyawa antimikroba

Mikroorganisme Target kerusakan

Bakteri bentuk kokus

Bakteri gram negatif

Dinding sel, membran sitoplasma, enzim, DNA dan RNA

Membran dalam, membran luar, protein, enzim, DNA, RNA


(32)

Mycobacteria

Bacillus spp. dan Clostridium spp.

Kapang

Khamir

Dinding sel, membran sitoplasma, protein, enzim, DNA, RNA

Selubung spora luar, Selubung spora dalam, kortek, membran spora, inti spora

Dinding sel, membran sitoplasma, enzim, DNA dan RNA

Dinding sel, membran sitoplasma, enzim, DNA dan RNA

Dinding sel mikroba terdiri dari beberapa komponen berbeda-beda tergantung janis mikrobanya. Sel bakteri mengandung peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula yaitu asam N-asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat serta asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat, dan lisin. Bakteri Gram positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif. Bakteri Gram negatif hanya mengandung 5-20% peptidoglikan dan dilapisi dengan protein, lipopolisakarida, fosfolipid dan lipoprotein (Gambar 2).

Gambar 2. Struktur dinding dan membran sel bakteri (www.microbio.com) Dinding bakteri Gram positif


(33)

Dinding sel bakteri gram positif yang mempunyai lapisan peptidoglikan yang tebal banyak mengandung asam amino alanin yang bersifat hidrofobik. Sedangkan bakteri Gram negatif mempunyai sisi hidrofilik yaitu karboksil, amino dan hidroksil (Franklin dan Snow 2005). Pada umumnya komponen antimikroba menghambat sintesis peptidoglikan karena komponen tersebut menghambat enzim-enzim yang berperan dalam pembentukan peptidoglikan seperti karbopeptidase, endopeptidase dan transpeptidase. Ketiadaan enzim tersebut akan menyebabkan enzim peptidoglikan transferase (autolisin) mikroba aktif sehingga membran sitoplasma dapat pecah (Russell 2005).

Membran sitoplasma yang berperan terhadap keutuhan sel dapat terganggu permeabilitasnya oleh beberapa komponen antimikroba yang dapat menyebabkan kebocoran isi sel sehingga transpor isi sel tidak terkontrol. Membran sitoplasma yang bocor sifatnya dapat pulih kembali dan dapat dideteksi dengan adanya perubahan jumlah asam nukleat dan protein dalam medium. Komponen yang dapat menyebabkan kebocoran membran antara lain adalah golongan fenolik. Pengaruh fenolik terhadap membran adalah menyebabkan sel mengalami lisis karena terjadi denaturasi protein. Mekanisme senyawa fenol lebih lanjut sebagai senyawa antimikroba mungkin terjadi dengan cara merusak dan menembus dinding sel bakteri yang kemudian mengendapkan protein sel mikroba sehingga merupakan racun bagi protoplasma. Senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel, meskipun dengan konsentrasi yang rendah (Prindle 1983). Disamping itu Judis (1963) menyimpulkan bahwa fenol dapat menyebabkan kerusakan fisik terhadap membran atau permeabilitas barrier.

Kebocoran membran sitoplasma juga dapat terjadi karena asam organik. Asam organik yang tidak terdisosiasi mampu menembus dinding sel dan menggangu permeabilitas membran. Selain itu, setelah berada di dalam sitoplasma asam akan terdisosiasi sehingga menghasilkan proton, dan proton yang berlebihan akan menyebabkan keseimbangan proton dalam sitoplasma terganggu. Gangguan yang terjadi berakibat pada berkurangnya energi sel untuk pertumbuhan karena energi digunakan untuk menyeimbangkan proton. Hal ini juga mengakibatkan transpor asam amino dan gula terganggu (Russell 2005).


(34)

Senyawa antimikroba dapat mengganggu aktivitas maupun pertumbuhan mikroba dengan menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme dan pertumbuhan sel. Konsentrasi antimikroba tinggi juga dapat menyebabkan koagulasi enzim. Gangguan aktivitas enzim terjadi disaat mikroba mensintesis asam hidrofolat dari p-aminobenzoat. Dalam proses sintesis p-aminobenzoat dapat terjadi penghambatan karena sulfonamida menghambat enzim hidropteroat sintetase. Enzim hidropteroat sintetase berfungsi dalam proses kondensasi turunan pteridin dengan p-aminobenzoat. Asam hidrofolat penting bagi mikroba untuk pembentukan purin dan pirimidin (Russell 2005).

Senyawa antimikroba yang akan menghambat sintesis protein adalah protein yang mampu mengikat ribosoma. Senyawa yang dapat menutup jalur sintesis protein pada umumnya adalah senyawa-senyawa dari golongan antibiotik. Proses sintesis protein yang terganggu adalah proses inisiasi dan proses translokasi. Pada proses inisiasi, dapat terjadi kesalahan pembacaan urutan asam amino atau kesalahan pada pengkodean asam amino seperti yang diakibatkan oleh streptomisin dan puromisin, atau terjadi karenapenghambatan sintesis ikatan peptida seperti yang diakibatkan oleh tetrasiklin atau kloramfenikol. Gangguan pada saat translokasi dapat diakibatkan oleh eritromisin yang menghambat pelepasan tRNA (Franklin dan Snow 2005).

Menurut Pelczar et al. (1993) dan Russell (2005), beberapa senyawa kimia yang memiliki sifat sebagai antimikroba adalah fenol dan senyawa fenolik, alkohol, halogen, logam berat, detergen dan senyawa amonium kuartener. Senyawa-senyawa tersebut dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme kerja seperti terlihat pada Tabel 7.

Bahan kimia antimikroba yang ideal untuk bahan pangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: mempunyai aktivitas antimikroba yang luas, tidak beracun (toksik) terhadap manusia dan hewan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan cita rasa, aroma dan flavor pada makanan, aktivitasnya tidak menurun dengan adanya komponen makanan dan tidak menimbulkan galur yang resisten dan lebih baik yang dapat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff 1978).


(35)

Tabel 7. Mekanisme sifat antimikroba beberapa senyawa kimia

Senyawa kimia Mekanisme

Fenol dan senyawa

fenolik

merusak sel mikroba dengan mengubah permeabilitas membran sitoplasma, menyebabkan kebocoran bahan-bahan intraseluler. Senyawa ini juga mendenaturasi dan menginaktifkan protein protein seperti enzim

Alkohol mendenaturasi protein, merusak struktur lemak dalam

membran sel mikroba

Halogen terdiri dari iodium, klor dan bromin yang merupakan

oksidator kuat dan perusak organel penting dari sel mikroba

Logam berat menginaktifkan protein seluler

Detergen merusak membran sitoplasma dan menyebabkan

kebocoran bahan intraseluler

Senyawa amonium

kuarterner

mendenaturasi protein, mengganggu proses metabolisme dan merusak membran sitoplasma.

Sumber: Pelczar et al. (1993)dan Russell (2005)

Tanaman Sirih (Piper betle, Linn.)

Klasifikasi dan Kandungan Senyawa Aktif

Tanaman sirih (Piper betle, Linn.) termasuk tanaman perdu yang merambat, daunnya berasa sedikit pedas dan dapat digunakan sebagai desinfektan mempunyai klasifikasi sebagai berikut (Syamsuhidayat dan Hutapea 1991):

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Diperales

Marga : Piper

Jenis : Piper betle, Linn.

Sirih merupakan tanaman merambat dengan menggunakan akar lekat yang tumbuh dari buku di pangkal daun. Sebagai tempat untuk merambatkan cabang-cabangnya biasanya digunakan pohon penyangga untuk melekatkan akar sirih. Bagian dari tanaman ini yang dapat dimanfaatkan untuk obat adalah akar, biji dan


(36)

yang paling utama adalah daunnya (Dharma 1985). Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) mendeskripsikan tanaman sirih sebagai berikut: batangnya berkayu, berbentuk bulat, berbuku-buku, beralur dan berwarna hijau. Daunnya dapat berupa daun tunggal, bulat panjang, pangkal berbentuk jantung, ujung meruncing, tepi rata, panjangnya berkisar antara 5 sampai 8 cm, lebar 2 sampai 5 cm, bertangkai, permukaan halus, pertulangan menyirip warna hijau sampai hijau tua. Bunganya berupa bunga majemuk, berbentuk bulir, daun pelindung ±1mm, berbentuk bulat panjang, bulir jantan panjangnya 1.5 sampai 3 cm, benang sari dua, pendek, bulir betina memiliki panjang 1.5 sampai 6 cm, kepala putik berjumlah tiga sampai lima, berwarna putih hijau kekuningan. Buahnya merupakan buah buni, bulat, berwarna hijau keabu-abuan, sedangkan akarnya merupakan akar tunjang berbentuk bulat dan berwarna coklat kekuningan.

Berdasarkan bentuk daun, warna dan kepedasan, Materia Medika Indonesia Jilid IV (Departemen Kesehatan 1980) membagi sirih menjadi empat genotipe dengan masing-masing daerah penyebarannya, sebagai berikut:

1. Daun sirih yang berwarna hijau tua dengan rasa pedas merangsang terdapat di daerah Jawa Tengah dan Jawa timur.

2. Daun sirih yang berwarna kuning terdapat di daerah Sumatra dan Jawa Barat.

3. Sirih kaki merpati, yaitu sirih yang daunnya berwarna kuning dengan tulang daunnya berwarna merah.

4. Sirih hitam yang ditanam khusus untuk obat.

Heyne (1987) membagi genotipe sirih berdasarkan ciri khasnya, yaitu: 1. Sirih Jawa, dengan daun berwarna hijau tua, rasa keras dan sengak, banyak

digunakan di jawa tengah dan Jawa timur.

2. Sirih kuning, dengan daun yang lebih lunak dan bau yang kurang tajam, banyak disukai di daerah Jawa Barat.

3. Sirih Banda, dengan daun lebih besar, berwarna hijau kehitaman, dibudidayakan di daerah Banda, Seram Timur dan Ambon.

4. Sirih Cengkeh, tumbuh kecil berdaun kecil berwarna kuning, rasa dan aromanya seperti cengkih.


(37)

5. Sirih Hitam, dengan rasa daun yang sangat kuat, dibudidayakan untuk keperluan pengobatan.

Disamping jenis-jenis tersebut di atas ada beberapa varietas botani yang dikenal, diantaranya adalah varietas Siriboa, yang dibedakan dalam tiga bentuk yaitu:

1. Siriboa putih atau sirih ayer, dengan rasa tidak tajam tetapi seperti rempah-rempah, memberikan bau enak pada mulut sehingga banyak digunakan. 2. Siriboa kambing, dengan rasa lebih tajam dan mempunyai bau khas. 3. Siriboa kutillawa, dengan bau dan rasa buah paling pedas tetapi tidak

menimbulkan rasa terbakar dan beraroma harum.

Gambar 3. Jenis-jenis sirih :a)Sirih hijau (sirih Jawa), b) Sirih kuning, c)Sirih merah.

Daun sirih sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan untuk pengobatan tradisional. Hernani dan Yuliani (1992) menulis beberapa khasiat daun sirih dalam pengobatan tradisional, yaitu antara lain untuk pengobatan awal hidung berdarah (mimisan), obat sariawan, keputihan, obat kumur untuk menghilangkan bau mulut dan sakit gigi. Penggunaan daun sirih untuk pengobatan bisa dalam bentuk daun segar maupun dalam bentuk rebusan daun sirih.

Daun sirih mempunyai bau yang khas dan harum yang berasal dari minyak atsirinya, yang terdiri dari senyawa golongan fenol dan terpenoida. Senyawa dari golongan terpenoid dikenal sebagai kelompok utama pada tanaman sebagai penyusun minyak atsiri. Kandungan minyak atsiri daun sirih berkisar antara 0.7-2.6%. Minyak atsiri daun sirih terdiri dari fenilpropana, yaitu: o-hidroksikavikol, kavikol, kavibetol, eugenol, metil eugenol, karvakrol, sineol, p-simol, terpinen,


(38)

dan seskuiterpen. Selain minyak atsiri, kandungan lain dalam daun sirih adalah tanin, enzim diastase, gula dan amilum (Prayogo dan Sutaryadi 1992). Menurut Hidayat (1968), di dalam 100 g daun sirih segar terkandung komposisi sebagai berikut:

Tabel 8. Komposisi kimia daun sirih segar (per 100 g bahan (bb))

Komposisi Jumlah

Kadar air (mg) Protein (mg) Lemak (mg) Karbohidrat (mg) Serat (mg)

Bahan mineral (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Besi ion (mg) Karoten (IU) Tiamin ( g) Roboflavin ( g) Asam nikotinat (mg) Vitamin C (mg) Iodium ( g) Kalium nitrat (mg)

85.4 3.1 0.8 6.1 2.3 2.3 230 40 7 3.5 9600 70 30 0.7 5 3.4 0.26-0.42 Sumber: Hidayat (1968)

Senyawa kavikol dan estragol merupakan ester yang dapat digunakan untuk pembuatan parfum, flavor pada makanan dan obat. Senyawa karvakrol bersifat sebagai desinfektan dan antifungi. Senyawa eugenol dan metil-eter-eugenol dapat digunakan untuk mengurangi rasa sakit gigi, sedangkan tanin digunakan untuk mengobati penyakit perut (Windholz 1983).

Menurut Darwis (1992), cairan daun sirih bersifat asam, mengandung asam malat dan asam oksalat, enzim diastase dan katalase. Daun sirih mengandung asam amino esensial kecuali lisin, histidin dan terdapat sejumlah besar asparagin, glisin, prolin dan ornitin. Selanjutnya dinyatakan juga bahwa daun sirih mengandung alkaloid arakena yang khasiatnya sama dengan kokain. Daun yang lebih muda mengandung minyak atsiri, diastase dan gula yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan daun yang lebih tua. Sedangkan kandungan tanin pada daun tua dan daun muda adalah sama.


(39)

Tabel 9. Komposisi senyawa kimia penyusun minyak atsiri daun sirih

Komponen kimia Kandungan dalam minyak atsiri (%)

Senyawa fenol: Kavikol

Karvakrol Eugenol Kavibetol

Eugenol metil eter Sineol

Estragol Alilkatekol

Senyawa non fenol: Terpen

Karyofilen Kadinen Seskuiterpen p-simen

polimerized oil

5.1-8.2 2.2-4.8 26.8-42.5

0.0-1.2 8.2-15.8

3.6-6.2 7-14.6 2.7-4.6

2.3 6.2-11.9

6.7-9.1 7.5

- 0.9 Sumber : Darwis (1992)

Andarwulan et al. (1995) menyatakan bahwa ekstrak antioksidan dari daun sirih hijau kering beku hasil destilasi uap mempunyai rendemen ekstrak antioksidan tertinggi yaitu sebesar 7.75% dan aktivitas antioksidan tertinggi. Susanto (1995) juga menyatakan bahwa ekstrak antioksidan daun sirih hijau kering beku-destilasi uap menghasilkan rendemen antioksidan tertinggi yaitu 9.75% dan total fenol yang tinggi.

Potensi Senyawa Antimikroba Daun Sirih

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Harapini et al. (1996) mengenai analisis komponen kimia minyak atsiri dari dua macam sirih yaitu sirih kuning dan hijau dengan menggunakan gas kromatografi dan spektrometri massa (GC-MS) diketahui bahwa minyak atsiri daun sirih kuning lebih efektif digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella dibandingkan dengan sirih hijau. Hal ini disebabkan karena pada sirih kuning mengandung komponen bioaktif yang diketahui memiliki sifat antimikroba lebih banyak dibandingkan dengan sirih hijau. Komponen bioaktif tersebut yaitu -linalool, o-alilfenol,


(40)

2-metoksi-4-(1-propenil) fenol, metil eugenol, isokaryofilen, kopana, biskl7-2, oundek4en41111trimetil8metilen, elemen, farnesen, 4alilfenil asetat, -farnesen, germakran dan -kubeben. Sedangkan pada sirih hijau hanya memiliki 10 jenis dari komponen bioaktif diatas.

Daun sirih mengandung senyawa fenol sebagai senyawa antimikroba. Senyawa fenol yang terkandung dalam minyak atsiri daun sirih adalah kavikol, kavibetol, karvakrol, eugenol dan alilporikatekol (Tampubolon 1981). Suliantari et al. (2008), melaporkan bahwa secara kualitatif ekstrak etanol sirih hijau positif mengandung komponen aktif seperti alkaloid, tanin, fenolik dan steroid. Senyawa yang diduga berperan kuat sebagai senyawa antimikroba yaitu senyawa fenolik. Dan dari hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan bahwa di dalam ekstrak sirih hijau terdapat kavikol, eugenol, karyofilen (a dan ß), 2-metoksi-4-(1-propenil) fenol, a-kopaen, silen (a dan ß-silen) dan kaleren.

Fenol adalah substansi yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil yang dapat dibedakan dalam fenol sederhana dan asam fenol. Senyawa yang termasuk ke dalam golongan fenol dan mempunyai kemampuan sebagai komponen antimikroba diantaranya adalah katekol, pirogalol, quinon, eugenol, flavon dan flavonoid, tanin, kumarin dan lainnya. Fenol dapat berperan sebagai racun bagi mikroba yaitu dengan menghambat aktivitas enzim, berikatan dengan gugus sulfhidril dan protein. Flavonoid dapat berfungsi sebagai komponen antimikroba dengan membentuk ikatan komplek dengan dinding sel dan merusak membran (Tassou et al. 2004).

Beberapa penelitian mengenai sifat antimikroba daun sirih telah banyak dilakukan antara lain oleh Widarto (1991) mengenai pengaruh minyak atsiri daun sirih terhadap pertumbuhan bakteri E. coli dan Staphylococcus aureus, dimana E. coli dan S. aureus mulai dihambat pertumbuhannya pada konsentrasi minyak atsiri daun sirih 600 ppm (v/v). Peningkatan konsentrasi hingga 800 ppm (v/v) dan waktu kontak (0, 24, 48 dan 72 jam) akan semakin menurunkan viabilitas sel dan meningkatkan letalitas sel bakteri tersebut.

Penelitian mengenai sifat antimikroba daun sirih terhadap dekontaminan bakteri patogen seperti S. aureus, E. coli, Bacillus cereus dan Salmonella Typhimurium dilakukan oleh Amami (1997), dimana hasilnya dengan


(41)

menggunakan metode agar sumur, hasil uji ekstrak panas tanpa sterilisasi mempunyai areal penghambatan yang paling besar yaitu 2 mm baik terhadap E. coli maupun S. Typhimurium, kemudian ekstrak panas dengan sterilisasi dengan areal penghambatan 1.9 mm untuk E. coli dan 1.95 mm untuk S. Typhimurium. Ekstrak dingin dengan sterilisasi menghasilkan areal penghambatan 0.5 mm untuk E. coli dan 1.6 mm untuk S. Typhimurium kemudian ekstrak dingin tanpa sterilisasi dengan areal pengahambatan 0.2 mm untuk E. coli dan 0.55 mm untuk S. Typhimurium. Aktivitas antimikroba daun sirih juga dilakukan dengan pengujian metode kontak (0, 30, dan 60 menit) dengan perbandingan sirih:air 1:6, 1:4 dan 1:2 (b/v) terhadap beberapa bakteri patogen. Pada B. cereus ekstrak daun sirih mempunyai aktivitas antimikroba optimum pada perbandingan 1:4 (b/v) dengan waktu kontak 30 menit, S. Typhimurium pada perbandingan 1:2 (b/v) dengan waktu kontak 30 menit, sedangkan E. coli dan S. aureus mempunyai aktivitas antimikroba tertinggi pada perbandingan 1:2 (b/v) dengan waktu kontak 60 menit.

Dewi (1998) dengan menggunakan metode ekstraksi yang sama melakukan pemaparan eskstrak daun sirih terhadap delapan mikroba perusak makanan P. fluorescens, Pseudomonas aeruginosa, Lactobacillus plantarum, Bacillus stearothermophillus, Aspergillus niger, Penicillium rubrum, Candida utilis dan Saccharomyces cerevisiae dengan menggunakan metode kontak. Hasilnya diketahui dengan variasi waktu kontak (0, 30 dan 60 menit) dan konsentrasi ekstrak sirih 1:2, 1:4 dan 1:6 hanya 3 mikroba yang menunjukkan sifat bakterisidal, yaitu P. fluorescens, Pseudomonas aeruginosa dan Bacillus stearothermophillus dimana semakin tinggi konsentrasi dan semakin lama waktu kontak indeks pertumbuhan relatif rendah, bahkan pada P. fluorescens ekstrak panas daun sirih dapat membunuh secara total pada waktu kontak 60 menit.

Penelitian mengenai pengaruh konsentrasi bubuk daun sirih kuning terhadap pertumbuhan bakteri Pseudomonas fluorescens, E. coli dan S. aureus dan aplikasinya pada daging segar dilakukan oleh Astuty (1997), dimana hasilnya pada penggunaan sirih pada konsentrasi 0.25% (b/v) dalam medium kontak dan waktu kontak selama 60 menit diketahui mampu menekan pertumbuhan bakteri S. aureus dengan nilai pertumbuhan relatif 0.79. Sementara itu untuk P. fluorescens


(42)

dibutuhkan konsentrasi 0.5% dengan waktu kontak yang sama agar dapat menekan pertumbuhan bakteri ini dengan pertumbuhan relatif 0.82 dan E. coli dapat ditekan pertumbuhannya pada konsentrasi 1% setelah kontak 30 menit (0.67). Penambahan bubuk sirih secara langsung pada daging yang disimpan pada suhu ruang dengan konsentrasi 3% (b/b) mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus selama delapan jam penyimpanan, dan pada konsentrasi 5% dapat dihambat pertumbuhannya selama hampir 24 jam.

Penelitian yang dilakukan oleh Sukarminah (1997) mengenai sifat antimikroba ekstrak daun sirih yang diperoleh dengan mengekstrak komponen antimikroba menggunakan pelarut organik (etanol) untuk sirih utuh dan sirih non volatil. Hasil ekstraksi dengan distilasi yang berupa minyak atsiri, diujikan terhadap bakteri S. aureus, P. aeruginosa, S. Typhimurium, E. coli dan L monocytogenes. Hasil pengujian difusi sumur terhadap empat jenis daun sirih yaitu sirih hitam, sirih hijau, sirih kuning dan sirih merah. Diketahui Sirih hitam memiliki aktivitas antimikroba yang paling kuat, kemudian diikuti oleh sirih hijau, sirih kuning dan sirih merah. Hasil seleksi dipilih sirih hijau karena disamping kemampuan aktivitas antimikroba sirih hijau cukup tinggi, sirih hijau lebih mudah diperoleh dibanding sirih hitam. Ekstrak sirih hijau utuh mempunyai aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak sirih non volatil dan volatil. Ekstrak sirih hijau utuh mempunyai sifat bakterisidal pada konsentrasi terendah yaitu 0.025% (v/v) sedangkan ekstrak sirih hijau non volatil dimulai pada konsentrasi 0.050% (v/v). Diketahui pula fraksi polar dari ekstrak sirih hijau utuh dan ekstrak sirih hijau non volatil mempunyai aktivitas antimikroba sedangkan fraksi non polarnya tidak mempunyai aktivitas antimikroba.

Penerapan ekstrak etanol daun sirih sebagai antibakteri pada daging sapi giling dilakukan oleh Sugiastuti (2002) dimana hasilnya pada konsentrasi sebesar 5 kali nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu 10 mg/g (1% b/b) dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging sapi giling yang disimpan pada suhu refrigerasi.


(43)

Tabel 10. Tabulasi uji antimikroba daun sirih

Referensi Metode

Ekstraksi

Metode pengujian

Mikroba uji

(Widarto 1991) Penyulingan uap air sistem kohobasi

Metode kontak dengan kombinasi perlakuan waktu dan konsentrasi

Echerichia coli dan Staphylococcus aureus

(Astuty 1997) Soxhlet dengan pelarut etanol (ekstrak sirih non volatil dan sirih utuh)

Metode kontak Pseudomonas

fluorescens, E. coli dan Staphylococcus aureus (Amami 1997) Ekstraksi dingin dan

ekstraksi panas (perebusan)

Metode difusi agar sumur

Metode kontak dengan kombinasi perlakuan waktu dan konsentrasi

Staphylococcus aureus, E. coli, Bacillus cereus dan Salmonella Typhimurium

(Sukarminah 1997) Distilasi uap (ekstrak sirih volatil)

Soxhlet dengan pelarut etanol (ekstrak sirih non volatil dan sirih utuh)

Metode uji kontak Pseudomonas

aeruginosa, S. aureus, S. Typhimurium, E. coli, dan Listeria

monocytogenes (Dewi 1998) Ekstraksi dingin dan

ekstraksi panas (perebusan)

Metode difusi agar sumur

Metode kontak dengan kombinasi perlakuan waktu dan konsentrasi Pseudomonas fluorescens, P. aeruginosa, Lactobacillus plantarum, Bacillus stearothermophillus, Aspergilus niger, Penicillium rubrum, Candida utilis dan Saccharomyces cerevisiae (Sugiastuti 2002) Metode

Hammerschmidt dan Pratt (1978) dengan modifikasi pelarut yang digunakan, yaitu menggunakan pelarut etanol absolut pro analisis

Metode difusi agar sumur

MIC (Minimum Inhibitory Concentration)

S. aureus, E. coli, S. Typhimurium, P. fluorescens

(Lopez et al. 2003) Metode ekstraksi etanol pada sampel segar dan kering

Metode difusi agar (disk)

MIC (Minimum Inhibitory Concentration)

E. coli, S. aureus, Salmonella derby, P. aeruginosa, B. subtilis, Lactobacillus sp. S. cerevisiae, dan A. niger. (Zakaria et al. 2007) Metode ekstraksi

etanol pada sampel akar daun sirih Piper ribesoides

Metode difusi agar (disk)

MIC (Minimum Inhibitory

Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration)

Staphylococcus aureus ATCC 25923


(44)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 s.d Juli 2008, di Lab Mikrobiologi Pangan SEAFAST Center, FATETA IPB; Pilot Plant PAU Pangan dan Gizi, FATETA IPB; Lab mikrobiologi, Lab pengolahan, dan Lab kimia pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, FATETA IPB.

Bahan dan alat

Bahan-bahan utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah potongan ayam segar yang dibeli di pasar tradisional dan di supermaket yang tersebar di daerah Bogor, daun sirih hijau dan kuning segar yang diambil di daerah Bogor. Bakteri referensi uji yang digunakan adalah spesies Salmonella Typhimurium ATCC 14028. Media dan bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain adalah Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), media selektif untuk Salmonella seperti Haktoen Enteric Agar (HEA), Bismuth Sulfite Agar (BSA), XLD Agar, Rappaport-Vassiliadis R10 Broth (RV), Tetrathionate Broth (TTB), Lactose Broth (LB), NaCl 0.85%, Trypticase Soy Agar, Plate Count Agar (PCA), API 20E kit dan Natrium hipoklorit (NaOCl). Bahan lain yang digunakan adalah akuades, air bebas ion dan alkohol.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat untuk ekstraksi daun sirih, Stomacher (type 400 Circulator), Inkubator suhu 35 C dan 37 C, refrigerator, oven dan otoklaf. Selain itu diperlukan juga pH meter, mikropipet, mikroskop, alat-alat gelas, vortex, jarum ose dan bunsen.


(1)

SKOR Duncana,b

35 3.80

35 3.86

35 3.94

35 4.09 4.09

35 4.63

.381 .065 SAMPEL

1 4 5 3 2 Sig.

N 1 2

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.494. Uses Harmonic Mean Sample Size = 35.000. a.

Alpha = .05. b.

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

3107.823a 39 79.688 53.340 .000

203.509 34 5.986 4.007 .000

15.623 4 3.906 2.614 .038

203.177 136 1.494

3311.000 175 Source

Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .939 (Adjusted R Squared = .921) a.


(2)

SKOR Duncana,b

35 4.03

35 4.17

35 4.37

35 4.57

35 5.37

.109 1.000 SAMPEL

4 1 5 3 2 Sig.

N 1 2

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.646. Uses Harmonic Mean Sample Size = 35.000. a.

Alpha = .05. b.

Lampiran 20. Hasil analisis sidik ragam uji hedonik rasa

Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SKOR

3760.091a 39 96.413 58.560 .000

172.949 34 5.087 3.090 .000

38.891 4 9.723 5.906 .000

223.909 136 1.646

3984.000 175 Source

Model PANELIS SAMPEL Error Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .944 (Adjusted R Squared = .928) a.


(3)

Lampiran 21. Form Uji Organoleptik

Produk : Ayam kukus Tanggal: 23 April

2008

Nama : No Hp:

UJI RATING HEDONIK Instruksi:

1. Nya t a k a n p en ila ia n a n d a d en ga n m em b er ik a n t a n d a ( ) p a d a p er n ya t a n yang sesuai dengan penilaian anda.

2. Net r a lk a n in d er a p en geca p a n d a d en ga n a ir m in u m ya n g d is ed ia k a n setiap akan mencicipi sampel.

3. Cicipi sampel dari sebelah kiri terlebih dahulu dengan tusuk gigi, setelah it u b er i p en ila ia n p a d a t a b el d i b a wa h in i s es u a i d en ga n k od e s a m p el. Untuk atribut rasa, sampel dapat dicolekkan ke sauce terlebih dahulu. 4. Jangan membandingkan antar sampel

Uji hedonik warna Uji hedonik aroma Penilaian 736 565 441 253 614 736 565 441 253 614 Sangat

suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Uji hedonik rasa

Penilaian 736 565 441 253 614

Sangat suka Suka

Agak suka Netral

Agak tidak suka Tidak suka

Sangat tidak suka

UJI RANGKING HEDONIK


(4)

Lampiran 22. Rekapitulasi evaluasi mutu ekstrak daun sirih selama penyimpanan waktu penyimpanan(bulan) suhu penyimpanan Konsentrasi

larutan stok ulangan

log koloni/ml

1 0

(1:1)

2 0

1 0

0 -

(1:2)

2 0

1 0

(1:1)

2 0

1 0

suhu ruang

(1:2)

2 0

1 0

(1:1)

2 0

1 0

1

suhu refrigerator

(1:2)

2 0

1 0

(1:1)

2 0

1 0

suhu ruang

(1:2)

2 0

1 0

(1:1)

2 0

1 0

2

suhu refrigerator

(1:2)

2 0

1 0

(1:1)

2 0

1 0

suhu ruang

(1:2)

2 0

1 0

(1:1)

2 0

1 0

3

suhu refrigerator

(1:2)

2 0


(5)

Lampiran 23. Aktivitas ekstrak daun sirih selama penyimpanan 3 bulan (%penghambatan)

konsentrasi penyimpanan waktu %penghambatan

15 100.00

awal

30 100.00

15 50.63

1 bulan, ruang

30 77.31

15 54.65

1bulan, refri

30 79.93

15 58.56

3 bulan, ruang

30 82.71

15 79.62

(1:1)

3bulan, refri

30 86.56

15 100.00

awal

30 100.00

15 49.81

1 bulan, ruang

30 100.00

15 57.30

1bulan, refri

30 100.00

15 79.48

3bulan, ruang

30 100.00

15 79.49

(1:2)

3bulan, refri

30 93.21


(6)

This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.

The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.