Manfaat Pemberian Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidii Folium) Pada Peningkatan Trombosit Pasien Demam Berdarah Dengue Dewasa Di Kota Medan

(1)

MANFAAT PEMBERIAN EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI (Psidii

folium) PADA PENINGKATAN TROMBOSIT PASIEN DEMAM

BERDARAH DENGUE DEWASA DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

SUVIANTO HENDRI LESMANA

NIM : 047101008

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

MANFAAT PEMBERIAN EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI (Psidii

folium) PADA PENINGKATAN TROMBOSIT PASIEN DEMAM

BERDARAH DENGUE DEWASA DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Spesialis Penyakit Dalam dalam Program Studi Ilmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUVIANTO HENDRI LESMANA

NIM: 047101008

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Pendahuluan dan Tujuan : Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien yang sebanding dengan penyakit kronik lainnya, sehingga penegakan diagnosis GERD secara akurat sangatlah penting untuk tatalaksana selanjutnya. Berbagai kuesioner berdasarkan gejala yang dinilai oleh pasien sendiri, dapat membantu diagnosis GERD tanpa pemeriksan endoskopi sebelumnya. Kami membandingkan Frequency Scale for the

Symptoms of GERD (FSSG) dan GERD Questionnaire (GerdQ) dengan gambaran

endoskopi pada pasien esofagitis refluks dengan tujuan mengetahui kuesioner mana yang lebih baik untuk diagnostik dari segi sensitivitas, spesifisitas dan akurasi.

Metode : Penelitian ini dilakukan secara potong lintang, melibatkan 72 pasien

dengan gejala dispepsia dengan atau tanpa heartburn/regurgitasi. Subyek mengisi kuesioner FSSG dan GerdQ, kemudian menjalani endoskopi, setelah itu dikelompokkan menjadi esofagitis refluks, dispepsia fungsional dan diagnosis lainnya (gastritis, ulkus antrum, hiatal hernia esofagus). Kami membandingkan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi FSSG dan GerdQ dengan menggunakan kurva ROC, dengan menganalisis area di bawah kurva.

Hasil Penelitian: Berdasarkan gambaran endoskopi ke-72 subyek sebagai berikut :

gastritis, ulkus antrum dan hiatal hernia esofagus 52,8%, dispepsia fungsional

37,5 %, esofagitis refluks 9,7 %, ditemukan bahwa GerdQ lebih baik dalam hal spesifisitas dan akurasi dibandingkan dengan FSSG (berturut-turut sensitivitas, spesifisitas, akurasi dan nilai P FSSG vs GerdQ : 100 %, 23,1 %, 61,5 %, 0,318 vs 100 %, 73,8%, 86,9%, 0,001).

Kesimpulan : Kuesioner GerdQ lebih baik dipergunakan untuk menegakkan

diagnosis esofagitis refluks dibandingkan dengan kuesioner FSSG di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Kata Kunci : esofagitis refluks, GERD, FSSG, GerdQ, endoskopi, klasifikasi Los

Angeles, heartburn


(7)

ABSTRACT

Background and Aim: Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) contributes to

negative impacts in patients’ quality of life, as much other chronic diseases do, thus accurate diagnosis establishment is very important to step into further management. Various self-assessment symptom-based questionnaires have been developed as diagnostic tools of GERD. We compared the Frequency Scale for the Symptoms of GERD (FSSG) and GERD Questionnaire (GerdQ) with endoscopic findings of reflux esophagitis patients in order to find out the best questionnaire of the two, by determining their sensitivity, specificity and accuracy.

Method: This study was conducted cross-sectionally, involving 72 dyspeptic

patients, with or without heartburn/regurgitation. Subjects fulfilled both FSSG and GerdQ questionnaires, then they underwent endoscopy, after that being grouped to esophagitis reflux, functional dyspepsia and other diagnoses (gastritis, antral ulcus, hiatal hernia esophagus). We compared the sensitivity, specificity and accuracy of FSSG and GerdQ using ROC curve, by analyzing the area under the curve.

Result: According to the endoscopic findings of the 72 subjects as follows : gastritis,

antral ulcus and hiatal hernia esofagus 52.8%, functional dyspepsia 37.5 %, esophagitis reflux 9.7 %, it was revealed that GerdQ was better in specificity and accuracy compared with that of FSSG. (sensitivity, spesificity, accuracy and the P value of FSSG vs GerdQ consecutively: 100 %, 23.1 %, 61.5 %, 0.318 vs 100 %, 73.8%, 86.9%, 0,001).

Conclusion: GerdQ is better than FSSG in establishing the diagnosis of reflux

esophagitis in Haji Adam Malik General Hospital Medan.

Keywords : reflux esophagitis, GERD, FSSG, GerdQ, endoscopy, Los Angeles


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, atas karunia, petunjuk, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, tesis ini tidak mungkin dapat penulis selesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH, selaku Ketua Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK USU yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing, memberi dorongan, dan nasehat selama penulis menjalani pendidikan.

2. Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH dan Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP selaku

Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam FK USU yang telah dengan sungguh-sungguh membantu dan membentuk penulis menjadi dokter Spesialis Penyakit Dalam yang siap mengabdi pada nusa dan bangsa.

3. Dr.Armon Rahimi, SpPD-KPTI dan Dr.Tambar Kembaren, SpPD sebagai

pembimbing yang senantiasa memberikan dorongan dan bimbingan, serta telah meluangkan waktu melalui diskusi dan materi dengan kesabaran sehingga memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini..

4. Para Guru Besar, Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Prof. Dr.

Bachtiar Fanani Lubis, KHOM, Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-KPsi, Prof. Dr. Sutomo Kasiman, SpPD, SpJP, Prof. Dr. Azhar Tanjung, SpPD-KP-KAI,SpMK, Prof. Dr. OK. Moehadsyah, SpPD-KR, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, KGEH, Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, KGH, Prof. Dr. Abdul Majid, KKV, Prof. Dr. Azmi S.Kar,


(9)

SpPD-KHOM, Prof. Dr.Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, Prof.Dr. Harris Hasan, SpPD, SpJP, Prof. Dr. Harun Al Rasyid Damanik,SpPD-KGK, yang

telah memberi bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan. 5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, para guru

penulis : Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH, Dr. Salli Roseffi Nasution,

SpPD-KGH, Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Dr. A Adin Sutan Bagindo, KKV, Dr. Lufti Latief, KKV, Dr. Nur Aisyah, SpPD-KEMD, Dr. T. Bachtiar Panjaitan, SpPD, Dr. Syafii Piliang, SpPD-KEMD (alm), Dr. OK. Alfien Sjukran, SpPD-KEMD (alm), Dr. R. Tunggul Ch Sukendar, SpPD-KGH (alm), Dr. Chaerul Bahri, SpPD-KEMD (alm), semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik bagi para almarhum di sisi-Nya; DR.Dr. Dharma Lindarto, KEMD, Dr. Mardianto, KEMD Dr. Santi Syafril, KEMD, Dr. Sri Maryuni Sutadi, KGEH, Dr. Betthin Marpaung, KGEH, Dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH, DR. Dr.Juwita Sembiring, SpPD-SpPD-KGEH, Dr. Leonardo Basa Dairi, SpPD-KGEH, Dr. Dasril Effendi, SpPD-KGEH, Dr. Rustam Effendi YS, SpPD-KGEH, Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI, Dr. Umar Zein, SpPD-KPTI, DTM&H, MHA, Dr. Tambar Kembaren, SpPD, Dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI, Dr.Tambar Kembaren, SpPD, Dr.Franscicus Ginting, SpPD, Dr.Endang Sembiring, SpPD, Dr.Saut Marpaung, SpPD, Dr. Refli Hasan, SpPD, SpJP, Dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP, Dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP, Dr.Pirma Siburian, SpPD-KGer, Dr. EN. Keliat, SpPD-SpPD-KP, Dr. Zuhrial Zubir, SpPD, Dr. Dairion Gatot, SpPD-KHOM, Dr. Sugiarto Gani, SpPD, Dr. Savita Handayani, SpPD-KHOM, Dr. Ilhamd, SpPD, DR. Dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR, serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu, yang dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan, penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga.

6. DR.Dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD sebagai mantan Sekretaris Program


(10)

7. Direktur dan mantan Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan fasilitas dan

kesempatan yang seluas-luasnya kepada penulis dalam menjalani pendidikan. 8. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan dan Ketua TKP PPDS I

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

9. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan berdiskusi dengan penulis dalam penyusunan tesis ini.

10. Prof. Dr. Habibah Hanum, SpPD-Kpsi, Prof. Dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH, Prof. Dr. M. Yusuf Nasution, SpPD-KGH yang telah

memberikan rekomendasi kepada penulis untuk mengikuti ujian masuk PPDS Ilmu Penyakit Dalam.

11.Seluruh senior peserta PPDS-II Penyakit Tropik dan Infeksi, teman sejawat

stase Penyakit Tropik dan Infeksi, stase ruangan, stase poliklinik pria/wanita, stase konsultan, tanpa adanya bantuan mereka tidak mungkin

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

12. Teman-teman seangkatan penulis yang memberikan dorongan semangat : Dr.Nina Karmila, SpPD, Dr.Libya Husen, SpPD, Dr.Suherdi, SpPD, Dr.Wahyu Diansyah, SpPD, Dr.Eric Halim Sumampow, SpPD, Dr.Heny Syahrini Lubis, SpPD, Dr.Darma Muda Setia, SpPD, Dr.Safrian, SpPD, Dr.Hendra Zufry, SpPD, Dr.Jenda Maulana. , serta seluruh rekan seperjuangan peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah mengisi

hari-hari penulis dengan persahabatan, kerja sama, keceriaan, dan kekompakan dalam menjalani kehidupan sebagai residen.

13. Seluruh perawat/paramedik di berbagai tempat di mana penulis pernah

bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang baik selama ini.

14. Bapak Syarifuddin Abdullah, Kak Lely Husna, Sdr. Deni, Sdri. Yanti, Sdri. Wanti, Sdri. Fitri, Sdr. Erjan, dan seluruh pegawai administrasi Departemen


(11)

Ilmu Penyakit Dalam FK USU, yang telah banyak membantu memfasilitasi dalam menyelesaikan tugas pendidikan.

15. Para pasien yang telah bersedia ikut dalam penelitian ini sehingga penulisan

tesis ini dapat terwujud.

Sembah sujud dan terima kasih tak terhingga penulis haturkan kepada kedua

orangtua penulis tercinta, ayahanda (Alm) Sujono dan ibunda Sri Haryati yang

sangat ananda sayangi dan kasihi, tiada kata-kata yang tepat untuk mengucapkan perasaan hati, rasa terima kasih atas segala jasa-jasanya ayahanda dan ibunda yang tiada mungkin terucapkan dan terbalaskan. Demikian juga dengan mertua saya (Alm) Dr.Erwoyo Ismo Irsan dan Dra.Hj.Penny Khairani Djahri yang telah mendukung, membimbing, menyemangati dan menasehati agar kuat dalam menjalani pendidikan, saya ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya. Semoga Allah memberikan kesehatan dan kebahagiaan kepada orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi.

Kepada istriku tercinta Dr.Oki Lestari Irsan, SpS, adik ipar Joko Lesmono

Irsan, S.Kom, dan anak-anakku tercinta Alma Amanda, Rizqy Radithya, dan Muhammad Syafiq Syafwan, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan

dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita dan diberkati Allah SWT. Kepada saudara-saudaraku Suvianty Dwi Lestari, ST, Dr.Suhandoko, SpAn,

Susanty Andriani, S.Kom, Dimas Suprayogo, Amd, Reno Suprastiyo, S.Kom, Winndy Arianti yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan

selama pendidikan, terima kasihku yang tak terhingga untuk semuanya.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan pula terima kasih kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua dan semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita dan masyarakat.


(12)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel... x

Daftar Gambar... xii

Daftar Singkatan... xiv

Daftar Lampiran... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang... 1

1.2Perumusan Masalah... 4

1.3Tujuan Penelitian... 5

1.4Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Virus... 6

2.2Vektor... 7

2.3Host... 8

2.4Patogenese DBD... 8

2.5Diagnosia Demam Berdarah... 14

2.6Derajat Penyakit... 15

2.7Manifestasi Klinis... 16

2.8Diagnosis Laboratorium... 19

2.9Diagnosa Banding... 22

2.10 Penatalaksanaan... 23

2.11 Psidium guajava... 31

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1Kerangka Konsep... 35

3.2Definisi Operasional... 35

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1DesainPenelitian... 36

4.2Waktu dan Tempat Penelitian... 36

4.3Subyek Penelitian... 36

4.4Kriteria Inklusi... 36

4.5Kriteria Eksklusi... 37

4.6Besar Sampel... 37

4.7Cara Kerja... 37


(14)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1Karakteristik Penelitian... 40

5.2Karakteristik Dasar Subyek Penelitian... 40

5.3Deskripsi rerata kadar Hemoglobin pada pemeriksaan tiap 24 jam pada kelompok ekstrak daun jambu biji dan kelompok non ekstrak daun jambu biji………. 43

5.4Deskripsi rerata kadar Hematokrit pada pemeriksaan tiap 24 jam pada kelompok ekstrak daun jambu biji dan kelompok non ekstrak daun jambu biji………. 46

5.5Deskripsi rerata jumlah Leukosit pada pemeriksaan tiap 24 jam pada kelompok ekstrak daun jambu biji dan kelompok non ekstrak daun jambu biji………. 49

5.6Deskripsi rerata jumlah Trombosit pada pemeriksaan tiap 24 jam pada kelompok ekstrak daun jambu biji dan kelompok non ekstrak daun jambu biji... 51

5.7 Hasil kecepatan pencapaian jumlah trombosit diatas 100.000/μl…... 54

BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan... 56

6.2 Saran... 56

Daftar Pustaka... 57

Lampiran 1. Lembaran Penjelasan kepada Calon Subyek Penelitian... 61

2. Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent)... 62

3. Master Data Penelitian………... 63

4. Surat Persetujuan Komite Etik……….... 70


(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Mediator Imun yang berperan dalam infeksi virus dengue 11 2.2 Manifestasi Klinis Dengue dan Non Dengue ……... 19 5.1 Data Karakteristik Dasar Subyek Penelitian …………... 41 5.2 Manifestasi Klinis Subyek Penelitian………. 42 5.3 Deskripsi Pemeriksaan Hb, Hct, Leukosit, Trombosit tiap

24 Jam……….. 42 5.4 Analisis Kadar Hemoglobin pada pemeriksaan tiap

24 jam dibandingkan sebelum perlakuan pada

Kelompok Ekstrak Daun Jambu Biji...…………... 44 5.5 Analisis Kadar Hemoglobin pada pemeriksaan tiap

24 jam dibandingkan dengan awal (0 Jam) pada

Kelompok Non Ekstrak Daun Jambu Biji...…………... 45 5.6 Analisis Kadar Hematokrit pada pemeriksaan tiap

24 jam dibandingkan sebelum perlakuan pada

Kelompok Ekstrak Daun Jambu Biji...…………... 47 5.7 Analisis Kadar Hematokrit pada pemeriksaan tiap

24 jam dibandingkan dengan awal (0 Jam) pada

Kelompok Non Ekstrak Daun Jambu Biji ………... 48 5.8 Analisis Jumlah Leukosit pada pemeriksaan tiap

24 jam dibandingkan sebelum perlakuan pada

Kelompok Ekstrak Daun Jambu Biji...…………... 49 5.9 Analisis Jumlah Leukosit pada pemeriksaan tiap

24 jam dibandingkan dengan awal (0 Jam) pada

Kelompok Non Ekstrak Daun Jambu Biji...…………... 50 5.10 Analisis Jumlah Trombosit pada pemeriksaan tiap


(16)

5.11 Analisis Jumlah Trombosit pada pemeriksaan tiap 24 jam dibandingkan sebelum perlakuan pada


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Virus Dengue………. 7

2.2 Patogenese DBD……….. 9

2.3 Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue………... 10

2.4 Klasifikasi Dengue dan Derajat Keparahan... ... 16

2.5 Fase Hari-hari Sakit Infeksi Virus Dengue... 18

2.6 Protokol 1 Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa syok... 24

2.7. Protokol 2 Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat... 25

2.8. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %... 27

2.9 Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa... 28

2.10 Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue Pada Dewasa... 31

3.1 Kerangka Konsep Penelitian... 35

5.1 Kadar Hemoglobin Kelompok Ekstrak Daun Jambu Biji 44 5.2 Kadar Hemoglobin Kelompok Non Ekstrak Daun Jambu Biji... 45

5.3 Kadar Hematokrit Kelompok Ekstrak Daun Jambu Biji 47 5.4 Kadar Hematokrit Kelompok Non Ekstrak Daun Jambu Biji... 48


(18)

5.5 Jumlah Leukosit Kelompok Ekstrak Daun Jambu Biji... 50 5.6 Jumlah Leukosit Kelompok Non Ekstrak Daun

Jambu Biji... 51 5.7 Peningkatan Trombosit Kelompok Ekstrak Daun

Jambu Biji... 52 5.8 Peningkatan Trombosit Kelompok Non Ekstrak Daun

Jambu Biji... 53


(19)

DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Nama Penulisan

Pertama Kali Pada Halaman

DBD Demam Berdarah Dengue 1

IR Incidence Rate 1

CFR Case Fatality Rate 1

PSN Pemberantasan Sarang Nyamuk 2 TNF-α Tumor Necrosis Factor-Alpha 2 NO Nitric Oxide 2

RSUD Rumah Sakit Umum Daerah 2

POM Badan Pengawas Obat dan Makanan 3

RNA Ribonucleic Acid 3 GM-CSF Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating

Factor 4

IL-11 Interleukin 11 4

SD Standard Deviasi 4

E Envelope 6

C Core 6

M Membrane Associated Protein 6

NS1 Non Structural 1 Protein 6


(20)

Den-3 Dengue 3 Serotipe 6

Den-4 Dengue 4 Serotipe 6

Ae Aedes 7

TH1 T Helpher 1 10

CD4 T Helpher 10

CD8 T Sitotoksik 10

C3a Complemen 3 a 11

C5a Complemen 5 a 11

IFN Interferon 12

KID Koagulasi Intravaskular Disseminata 13

WHO World Health Organization 14

HI Haemagglutination Inhibition test 19 CF Complement Fixation test 20

NF Neutralization test 20

ELISA Enzyme-Linked Immuno Sorbent Assay 20

IgG Immunoglobulin G 20

IgM Immunoglobulin M 20

RT-PCR Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction 21

EBV Epstein-Barr Virus 22

PAPDI Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam 23

Hb Haemoglobin 24

Ht Haematocrit 24


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1 Lembaran Penjelasan kepada Calon Subyek

Penelitian ……….. 61

2 Surat Pernyataan Persetujuan (Informed Consent) ………….. 62

3 Master Data Penelitian ………. 63

5 Surat Persetujuan Komite Etik ………. 70


(22)

ABSTRAK

Pendahuluan dan Tujuan : Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien yang sebanding dengan penyakit kronik lainnya, sehingga penegakan diagnosis GERD secara akurat sangatlah penting untuk tatalaksana selanjutnya. Berbagai kuesioner berdasarkan gejala yang dinilai oleh pasien sendiri, dapat membantu diagnosis GERD tanpa pemeriksan endoskopi sebelumnya. Kami membandingkan Frequency Scale for the

Symptoms of GERD (FSSG) dan GERD Questionnaire (GerdQ) dengan gambaran

endoskopi pada pasien esofagitis refluks dengan tujuan mengetahui kuesioner mana yang lebih baik untuk diagnostik dari segi sensitivitas, spesifisitas dan akurasi.

Metode : Penelitian ini dilakukan secara potong lintang, melibatkan 72 pasien

dengan gejala dispepsia dengan atau tanpa heartburn/regurgitasi. Subyek mengisi kuesioner FSSG dan GerdQ, kemudian menjalani endoskopi, setelah itu dikelompokkan menjadi esofagitis refluks, dispepsia fungsional dan diagnosis lainnya (gastritis, ulkus antrum, hiatal hernia esofagus). Kami membandingkan sensitivitas, spesifisitas dan akurasi FSSG dan GerdQ dengan menggunakan kurva ROC, dengan menganalisis area di bawah kurva.

Hasil Penelitian: Berdasarkan gambaran endoskopi ke-72 subyek sebagai berikut :

gastritis, ulkus antrum dan hiatal hernia esofagus 52,8%, dispepsia fungsional

37,5 %, esofagitis refluks 9,7 %, ditemukan bahwa GerdQ lebih baik dalam hal spesifisitas dan akurasi dibandingkan dengan FSSG (berturut-turut sensitivitas, spesifisitas, akurasi dan nilai P FSSG vs GerdQ : 100 %, 23,1 %, 61,5 %, 0,318 vs 100 %, 73,8%, 86,9%, 0,001).

Kesimpulan : Kuesioner GerdQ lebih baik dipergunakan untuk menegakkan

diagnosis esofagitis refluks dibandingkan dengan kuesioner FSSG di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Kata Kunci : esofagitis refluks, GERD, FSSG, GerdQ, endoskopi, klasifikasi Los

Angeles, heartburn


(23)

ABSTRACT

Background and Aim: Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) contributes to

negative impacts in patients’ quality of life, as much other chronic diseases do, thus accurate diagnosis establishment is very important to step into further management. Various self-assessment symptom-based questionnaires have been developed as diagnostic tools of GERD. We compared the Frequency Scale for the Symptoms of GERD (FSSG) and GERD Questionnaire (GerdQ) with endoscopic findings of reflux esophagitis patients in order to find out the best questionnaire of the two, by determining their sensitivity, specificity and accuracy.

Method: This study was conducted cross-sectionally, involving 72 dyspeptic

patients, with or without heartburn/regurgitation. Subjects fulfilled both FSSG and GerdQ questionnaires, then they underwent endoscopy, after that being grouped to esophagitis reflux, functional dyspepsia and other diagnoses (gastritis, antral ulcus, hiatal hernia esophagus). We compared the sensitivity, specificity and accuracy of FSSG and GerdQ using ROC curve, by analyzing the area under the curve.

Result: According to the endoscopic findings of the 72 subjects as follows : gastritis,

antral ulcus and hiatal hernia esofagus 52.8%, functional dyspepsia 37.5 %, esophagitis reflux 9.7 %, it was revealed that GerdQ was better in specificity and accuracy compared with that of FSSG. (sensitivity, spesificity, accuracy and the P value of FSSG vs GerdQ consecutively: 100 %, 23.1 %, 61.5 %, 0.318 vs 100 %, 73.8%, 86.9%, 0,001).

Conclusion: GerdQ is better than FSSG in establishing the diagnosis of reflux

esophagitis in Haji Adam Malik General Hospital Medan.

Keywords : reflux esophagitis, GERD, FSSG, GerdQ, endoscopy, Los Angeles


(24)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue ( DBD ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes

albopictus. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena jumlah penderitanya semakin meningkat dan wilayah terjangkitnya semakin meluas. Data di dalam buku ”Profil Indonesia 2000” menunjukkan bahwa di antara negara-negara ASEAN, Indonesia menduduki urutan kedua tertinggi kasus DBD yaitu sebesar 39.405 kasus, setelah Vietnam yang merupakan negara dengan kasus DBD tertinggi yaitu sebesar 234.920 kasus, diikuti Thailand sebesar 24.826 kasus, Filipina 12.121 kasus, Singapura 1.355 kasus, Malaysia 605 kasus, dan Brunei Darussalam dengan 7 kasus (Sulani F, 2004).

Sejak pertama kali ditemukan di Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, sampai saat ini penyakit DBD di Indonesia belum sepenuhnya dapat dikendalikan. Jumlah korban dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan seiring dengan meluasnya daerah terjangkit yang hampir menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Keadaan yang sama juga terjadi di wilayah Propinsi Sumatera Utara. Data enam tahun terakhir (1998 – 2003) menunjukkan bahwa IR (Incidence Rate) berada pada kisaran 1 – 7,66 per 100.000 penduduk, sedangkan CFR (Case Fatality Rate) ada pada kisaran 0,005 – 3,68 %. Selama kurun waktu tersebut di Propinsi Sumatera Utara terdapat beberapa Daerah Kabupaten/Kota yang dinyatakan daerah endemis DBD (tiga tahun terakhir berturut-turut terjangkit DBD), yaitu Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Asahan (Sulani F, 2004).

Data laporan tahunan 2006 – 2007 Dinas Kesehatan Kota Medan mendapatkan insidence Rate berada pada kisaran 8,2 – 9,4 per 100.000 penduduk (Zein U dkk, 2007)


(25)

Pemberantasan DBD seperti juga penyakit menular lain, didasarkan atas pemutusan rantai penularan. Dalam hal DBD, komponen penularan terdiri dari virus,

Aedes aegypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang

efektif terhadap virus ini, maka pemberantasan ditujukan pada manusia dan terutama pada vektornya dengan melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk DBD (PSN-DBD) (Sudarmo SP, 2000), (Ginting Y, 2004).

Sejak tahun 2003 Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga melakukan penelitian pengembangan ekstrak daun jambu biji (Psidium Guajava L.(guava) leaves) untuk pengobatan DBD. Pada tahap awal penelitian dimulai dengan pengujian preklinik yang menggunakan hewan model mencit dengan pemberian oral ekstrak daun jambu biji terbukti dapat menurunkan permeabilitas pembuluh darah. Pada penelitian tersebut dilaporkan juga bahwa akstrak daun jambu biji terbukti dapat meningkatkan jumlah sel hemopoietik pada kultur sumsum tulang tungkai tikus. Pada uji keamanan (toksisitas) ekstrak daun jambu biji termasuk zat yang praktis tidak toksik (Balai POM Jakarta, 2004).

Penatalaksanaan DBD ditujukan pada akibat dari permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan fungsi trombosit dan koagulopati yaitu dengan resusitasi cairan dengan kristaloid, kolloid, transfusi darah dan pemberian vasopresor bila sudah terjadi renjatan. Pengobatan di masa datang yang saat ini masih dalam penelitian diantaranya Antitrombin III, Immunoglobulin, Anti endotoksin, Anti tumor necrosis factor (TNF), Antagonis reseptor interleukin-1, Antinitric oxide (NO) (Soegijanto S, 2004).

Penelitian yang dilakukan Harjono Achmad dan C.Singgih Wahono di RSUD Dr.Saiful Anwar Malang, pemberian ekstrak psidium guajava pada penderita demam berdarah dengue di bangsal rawat inap penyakit dalam mendapatkan hasil dengan pemberian kapsul ekstrak Psidium guajava 500 mg dengan dosis 3 x 2 kapsul selama 5 hari mempunyai hubungan yang bermakna secara statistik terhadap pencapaian jumlah trombosit ≥ 100.000/μl pada hari kelima (x2=8.13 > 3.84, α=0.05; df=1). Efek samping minimal yaitu gangguan defekasi (5,2 %) (Achmad H dkk, 2001).


(26)

Eddy Soewandojo dkk melakukan penelitian uji acak tersamar ganda pemberian ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L) dalam bentuk sirup pada 40 penderita DBD dewasa derajat I dan II yang dibagi menjadi 2 kelompok yang dirawat di Instalasi rawat inap medik ruang Penyakit Tropik-Infeksi RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Mendapatkan hasil dari analisis perbandingan perubahan jumlah trombosit antara kedua kelompok, pada pemeriksaan trombosit 24 jam setelah pemberian perlakuan didapatkan hasil rerata perubahan jumlah trombosit

pada kelompok ekstrak daun jambu biji 14.025,00/μL lebih besar dibandingkan

dengan kelompok kontrol -8.770,00/μL, setelah dilakukan uji-t 2 sampel bebas didapatkan perbedaan yang bermakna dengan p=0,000. Demikian juga analisis pada 48 jam setelah perlakuan didapatkan rerata perubahan jumlah trombosit pada

kelompok ekstrak daun jambu biji 43.595,00/μL lebih besar dibandingkan kelompok kontrol 6.355,00/μL, setelah dilakukan uji-t sampel bebas didapatkan perbedaan yang bermakna dengan p=0,000 (Soewandojo, 2004 )

Daun jambu biji mengandung berbagai macam komponen diantaranya yang mungkin berkhasiat mengatasi DBD adalah kelompok senyawa tanin dan kelompok flavonoid yang dinyatakan sebagai quersetin. Dilaporkan bahwa senyawa tanin dalam ekstrak daun jambu biji dapat menghambat aktivitas enzim reverse transcriptase yang berarti menghambat pertumbuhan virus yang berinti RNA, dalam kaitan dengan itu telah dilakukan uji invitro ekstrak daun jambu biji dimana ekstrak tersebut terbukti dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Kelak setelah dilakukan penelitian lebih lanjut diharapkan ekstrak daun jambu biji dapat digunakan sebagai obat anti virus dengue. Telah dilakukan uji pemula berupa penelitian open label di beberapa Rumah Sakit di Jawa Timur pada penderita DBD dewasa dan anak-anak. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun jambu biji dapat mempercepat peningkatan jumlah trombosit tanpa disertai efek samping yang berarti, misalnya sembelit. Penelitian open label ini masih perlu dilanjutkan dengan uji klinik untuk membuktikan khasiat dengan evidence base yang lebih kuat/ bukti-bukti ilmiah. Pengamatan lain yang sedang dikerjakan pada penelitian di Unair adalah pengaruh pemberian ekstrak daun jambu biji terhadap : sekresi GM-CSF dan IL-11 untuk mengetahui mekanisme kerjanya pada trombopoiesis, aktivitas sistem


(27)

komplemen dan sekresi TNF-ά oleh monosit dalam hubungannya dengan mekanisme terjadinya penurunan permeabilitas pembuluh darah (Balai POM Jakarta, 2004)

M.Nasiruddin dan Soegeng Soegijanto di Surabaya, pada pasien DBD anak dengan pemberian ekstrak daun jambu biji dalam bentuk sirup 3 kali 1 sendok teh setiap hari selama 3 – 4 hari. Peneliti mendapatkan hasil bahwa kecepatan pencapaian jumlah trombosit lebih dari 100.000/μl pada kelompok ekstrak daun jambu biji adalah 16,36 jam dgn SD 10,17 jam dibandingkan dengan kelompok plasebo 33,82 jam dengan SD 23,61 jam (p = 0,003). (Nasiruddin M, 2004).

Rulik Rufiati dan Soegeng Soegijanto di Surabaya, melakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun jambu biji (Psidium guajava L) terhadap perubahan kadar Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) pada kasus demam berdarah dengue derajat I dan II pada anak mendapatkan hasil dari 34 sampel didapatkan perbedaan kadar GM-CSF yang bermakna antara kelompok kkasus dan kelompok kontrol pada panas hari ke-4 (p=0,026) dan hari ke-5 (p=0,045), namun tidak berbeda bermakna pada kadar TNF-α (Rufiati R, 2009)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah ada kecepatan peningkatan jumlah trombosit pada pasien DBD yang diberikan ekstrak daun jambu biji?

2. Apakah kadar rata-rata trombosit pasien DBD yang diberi ekstrak daun jambu biji lebih tinggi.

Dengan Hipotesa Penelitian : Tidak ada perbedaan kecepatan peningkatan jumlah trombosit pada pasien yang diberi ekstrak daun jambu biji dengan pasien yang tidak diberi ekstrak daun jambu biji.


(28)

Untuk membandingkan kecepatan peningkatan jumlah trombosit antara kelompok ekstrak daun jambu biji dan kelompok non ekstrak daun jambu biji.

1.4 Manfaat Penelitian


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Virus

Virus Dengue adalah anggota genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki single stranded RNA. Virionnya terdiri atas

nucleocapsid dengan bentuk kubus simetris yang terbungkus dalam sampul

lipoprotein. Genome dari virus Dengue berukuran panjang ± 11.000 base pairs, dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu selubung protein (E), nucleocapsid atau protein core ( C ), membrane associated protein (M) suatu protein envelope dan serta tujuh gen protein non struktural (NS) yaitu NS1, NS2a,NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. NS1 adalah protein nonstruktur 1, merupak glikoprotein yang berfungsi dalam siklus kehidupan virus yang belum jelas diketahui. NS1 dideteksi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi virus dengue dengan reaksi imun sekunder, tetapi jarang dijumpai pada penderita yang menunjukkan reaksi imun primer. NS2 memiliki 2 protein (NS2a dan NS2b) yang berperan pada proses lipoprotein sedangkaan NS3 memiliki sebagian proteinase yang berfungsi sebagai sitosol. Gen NS4 memiliki 2 protein hidrofob (NS4a dan NS4b) yang berperan pada kompleks replikasi membrane RNA. NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus.Envelope glycoprotein berhubungan dengan aktifitas hemaglutinasi dan netralisasi virus.Terdapat empat serotipe virus yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Keempat serotype ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype Den-3 sering menimbulkan wabah, sedang di Thailand penyebab wabah yang dominant adalah virus Den-2. Jika seseorang terinfeksi dengan salah satu serotipe tersebut, akan terjadi kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat virus memiliki daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang


(30)

serotipe dapat menyebabkan penyakit berat dan fatal (Suroso T, 2003), (Soegijanto S 2004)

Gambar 2.1 Virus dengue (Soegijanto S, 2004)

2.2.Vektor

Penularan virus dengue dari orang ke orang lain adalah melalui gigitan nyamuk Aedes ( Ae) dari sub genus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama. Vektor sekunder lain yang juga berperanan pada penularan virus Dengue adalah Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae.

scuttelaris complex dan Ae. ( finlaya) niveus. Selain Ae. agypti semua vektor

sekunder mempunyai daerah distribusi geografis tersendiri yang terbatas. Yang paling efisien sebagai vektor epidemi adalah Ae. Agypti (Suroso T, 2003)

Nyamuk Aedes tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, oleh karena itu seluruh wilayah Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD kecuali pada daerah dengan ketinggian diatas 1000 m diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk Aedes (Sungkar S, 2002), (Darlan DM, 2004)

Siklus hidupnya dimulai setelah nyamuk betina meletakkan telurnya pada dinding tempat air jernih dan terlindung sinar matahari langsung ataupun tempat air yang sedikit terkontaminasi seperti bak mandi, drum, tangki air, tempayan, vas bunga, perangkap semut dan tempat minuman burung. Dalam suasana optimum, perkembangan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang telah dewasa siap mengisap darah manusia dan kawin sehari atau dua hari setelah keluar dari pupa (kepompong). Nyamuk jantan tidak


(31)

pergi jauh dari tempat berkembang biak karena menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Umumnya nyamuk betina akan mati dalam waktu 10 hari, tetapi masa tersebut cukup bagi nyamuk untuk inkubasi virus (3-10 hari) dan menyebarkan virus (Sungkar S, 2002)

2.3.Host

Sebagai hospes atau pejamu dari virus Dengue adalah manusia dan beberapa spesies primata rendah. Tubuh manusia merupakan urban reservoir yang utama bagi virus tersebut (Suroso T, 2003)

2.4.Patogenese DBD

DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian virus ini mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2 – 3 hari menyebar ke sirkulasi dan jaringan-jaringan. Dalam siekulasi virus dengue menginfeksi sel fagosit yaitu makrofag, monosit , sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini berlangsung untuk pertama kali dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau bahkan simptomatik, bergantung pada jumlah dan virulensi virus serta daya tahan host. Seseorang yang terinfeksi pertama kali akan menghasil kan antibodi terhadap virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila infeksi berikutnya terjadi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan kebal. Tetapi mengapa pada daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat pula kasus yang berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non neutralisasi, yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini mengakibatkan semakin mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD (Ginting Y, 2004)


(32)

(33)

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a) respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b)limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c)monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin


(34)

oleh makrofag; d).selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. (Suhendro dkk, 2009).

Tabel 2.1 Mediator Imun yang berperan dalam infeksi virus dengue

(Martina dkk, 2009)

Halsted pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous

infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila sesorang terinfeksi ulang virus

dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun (antigen antibodi) yang tinggi . Keadaan ini mengakibatkan terjadinya reaksi imunologis berupa.

1. Aktivasi sistem komplemen Aktivasi sistem komplemen mengakibatkan aktivasi C3 dan C5 sehingga

dilepaskan anafilatoksin C3a dan C5a. Anafilatoksin C3a dan C5a


(35)

yaitu perembesan plasma ke ekstravaskuler yang mengakibatkan anjloknya volume darah dan dapat berakibat hipotensi, hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan shok. Hipovolemik ini juga berakibat pada hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perembesan plasma ini telah terjadi pada saat permulaan penyakit dan memuncak pada saat terjadi renjatan.

2. Disfungsi trombosit . Kompleks antigen-antibodi melekat pada permukaan trombosit mengakibatkan

kerusakan trombosit yang berakibat pada: . –Gangguan agregasi trombosit . –Trombosit dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial terutam hati dan

limpa. Hal ini akan mengakibatkan trombositopenia yang tentunya mengakibatkan perdarahan.

– Trombosit yang aktif dalam agregasi melepaskan aminovasoaktif yang mengakibatkan meningginya permeabilitas kapiler yang bisa berakibat pada shok.

3. Pelepasan mediator . Virus dengue menginfeksi sel-sel fagosit. Hal ini menyebabkan sel yang

terinfeksi mengeluarkan mediator yaitu sitokin-sitokin, antara lain interferon (IFN), interleukin 1 (IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosing Factor (TNF). Sitokin-sitokin ini yang mengakibatkan peninggian permeabilitas kapiler. Selain itu sitokin akan merangsang hipotalamus anterior dan korteks serebelum yang mengakibatkan demam. Pelepasan sitokin juga dapat diakibatkan oleh karena endotoksin dari sel gram negatif yang masuk ke sirkulasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien mengalami syok yang berakibat pada iskemia dan nekrosis usus.

4. Koagulopati Sitokin yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi akan menstimulasi sistem

koagulasi, sehingga terjadi penurunan faktor fibrinogen, faktor V, VII, VIII, X dan XII. Gangguan pada sistem koagulasi ini dapat menyebabkan koagulasi intravascular disseminata(KID) (Ginting Y, 2004), (Suhendro dkk, 2009)


(36)

Mekanisme patofisiologi yang utama pada DBD adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni dan diatesis hemoragik. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningkatnya nilai hematokrit menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak.

Trombositopenia terjadi akibat destruksi trombosit yang meningkat dan depresi fungsi megakariosit. Perdarahan kulit pada penderita DBD umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif terjadi akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks lagi yaitu trombositopenia, gangguan faktor pembekuan dan kemungkinan besar oleh adanya Koagulasi Intravaskular Diseminata ( KID) (Sungkar S, 2002)

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum tulang, dan 2).destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematoppoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petaanda degranulasi trombosit. (Suhendro dkk, 2009)


(37)

2.5. Diagnosa demam berdarah (WHO, 1997), (Suhendro dkk, 2009)

Diagnosa demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1997.WHO telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD :

A. Kriteria klinis :

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari.

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan : a. Uji torniquet positip

b. Petekie, ekimosis, purpura.

c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain

d. Hematemesis dan atau melena. 3. Pembesaran hati ( hepatomegali ).

4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah

B.Kriteria laboratorium :

1. Trombositopenia ( 100.000 / ml atau kurang )

2.Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi :

- peningkatan hematokrit ≥ 20 % dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.

- penurunan hematokrit ≤ 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.

- tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia.

.

Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD.


(38)

2.6.Derajat Penyakit (WHO, 1997)

Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue terdiri dari demam dengue dan DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat ( pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi )

Demam Dengue Demam disertai 2 atau lebih tanda : sakit kepala, nyeri retro orbital, mialgia, artralgia

DBD Derajat I Demam disertai gejala seperti diatas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji Tourniquet.

DBD Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.

DBD Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab serta gelisah DBD Derajat IV Syok berat disertai nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue. Ini dapat dilihat pada gambar 2.4


(39)

2.7.Manifestasi Klinis

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery.

1.Fase Demam

Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjunctiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase demam, uji torniquet positip mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus dengue.

2.Fase Kritis

Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5 -38oC dan bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites. Shok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat subnormal saat shok terjadi. Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan


(40)

(DIC). Hepatitis akut yang berat, encephalitis, mmiokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi

3.Fase Recovery

Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009)


(41)

Primal Sudjana dkk, melakukan penelitian penelitian epidemiologi dengue dan DHF di Bandung, Prop Jawa Barat mendapatkan menifestasi klinis yang dapat dilihat pada tabel (Sudjana P, 2005)

Tabel 2.2 Manifestasi Klinis Dengue dan Non Dengue (Sudjana P, 2005)

2.8.Diagnosis Laboratorium

Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara, isolasi virus, deteksi antigen virus atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodispesifik dalam serum pasien (Wuryadi S, 2000)

2.8.1. Diagnosis serologis

Dikenal 6 jenis uji serologic yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu :

2.8.1.1.Haemagglutination Inhibition test (HI test)

Diantara uji serologi, uji HI adalah uji serologi yang paling sering dipakai dan dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini :

a. Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.


(42)

b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi.

c. Untuk diagnosa pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali kelipatan dari titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagi presumtif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue infection) (Wuryadi S, 2000)

2.8.1.2.Complement Fixation test (CF test)

Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagostik secara rutin, oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerlukan tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibody HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3 tahun) (Wuryadi S, 2000)

2.8.1.3.Neutralization test (NF test)

Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive untuk virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut plaque reduction

neutralization test (PRNT) yaitu berdasarkan reduksi dari plaque yang terjadi.

Saat antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan lama (> 48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin( Wuryadi S, 2000)

2.8.1.4.Uji ELISA Anti-Dengue IgM

Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody IgM terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer maupun sekunder. IgM timbul sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat pada akhir minggu pertama sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi pada hari ke-14, kemudian


(43)

bertahan sampai berbulan-bulan. Pada infeksi sekunder kadar IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi kadar IgM. Uji ini telah dipakai untuk membedakan infeksi virus dengue dari infeksi virus Japanese B ensefalitis.

Penelitian yang dilakukan Wu SJL dkk dengan menggunakan tes dipstick ELISA untuk mendeteksi IgG dan IgM Anti dengue di dalam serum mennunjukkan sensitivitas 97,9 % dan spesifitas 100 % (Wu SJL dkk, 1997). Sedangkan dengan pemeriksaan rapid immunochromatographic untuk mendiagnosa adanya IgM dan IgG Anti Dengue mendapatkan sensitivitas 100 % dan spesifitas 88 % pemeriksaan ini juga untuk membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder dengue, Japanese Encephalitis disebabkan virus dan bukan infeksi flavivirus (Vaughn DW dkk, 1998).Ada juga penelitian yang membandingkan 2 tes komersial antara dipstick ELISA (Integrated Diagnostics, Baltimore, Md) dan test immunochromatographic (Panbio, Brisbane, Australia) untuk menilai Ig M Anti Dengue, dengan Dipstik ELISA mendapatkan hasil sensitivitas 92,6 % dan spesifitas 94,3 %. Sedangkan test ICT Panbio mendapatkan senstivitas 97,9 % dan spesifitas 97,1 % ( Wu SJL, 2000).

2.8.1.5.Uji Dengue NS1 antigen

Tahun 2002, team dari ”Institut Pasteur” menjelaskan percobaan untuk mendeteksi Dengue NS1 antigen untuk infeksi DBD primer dan sekunder selama fase akut (Alcon S dkk, 2002). Penelitian lain mendapatkan sensitivitas pada infeksi DBD primer fase akut sebesar 97,3 % dibanding infeksi DBD sekunder sebesar 70 % dengan nilai prediksi positif 100 % dan nilai prediksi negatif 97,3 % (Kumarasamy V dkk, 2007). (DussartP dkk, 2006 ) melakukan penelitian dari 239 sampel serum pasien infeksi akut yang ditesting positip dengan RT-PCR atau isolasi virus terhadap satu dari empat serotipe dengue mendapatkan sensitivitas 88,7 % (95 % confidence interval, 84,0 % – 92,4 %) 212 sampel positip dari 239 sampel dengan spesivitas 100 % (95 % confidence interval, 84,9 % – 100 %)


(44)

2.8.2. Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe tertentu. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. Selain untuk menentukan adanya RNA virus dengue juga dapat menetukan serotipe virus dengue yang ditemukan. Hal ini penting untuk dapat membuat pola distribusi serotipe virus dengue di berbagai wilayah khususnya yang berbeda kondisi geografis dan klimatologisnya, seperti daerah dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi.Hingga saat ini telah diketahui ada 4 serotipe virus dengue yaitu : Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Wuryudi S, 2000)

2.8.3.Isolasi virus

Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur sel. Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan yaitu :

a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari

b.Inokulasi pada biakan jaringan mammalia dan nyamuk Aedes albopictus c.Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi virus adalah pengambilan spesimen yang awal biasanya dalam lima hari setelah demam, penanganan spesimen serta pengiriman spesimen yang baik ke laboratorium. Bahan untuk isolasi virus dengue dapat berupa serum, plasma atau lapisan buffy-coat darah-heparinized. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya peralatan serta memerlukan waktu dua sampai tiga minggu untuk mendapatkan hasil (Wuryudi S, 2000)


(45)

2.9.Diagnosa Banding (Suhendro dkk, 2009)

Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan Demam Chikungunya, Malaria, Epstein-Barr Virus (EBV), Leptospirosis, Demam Thypoid, Scarlet fever, Rickettsial diseases, Heapatitis A, Hantavirus (Suhendro dkk, 2009)

2.10. Penatalaksanaan (Suhendro dkk, 2009)

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi sportif. Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1 %. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dubutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :

• Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan indikasi.

• Praktis dalam penatalaksanaannya

Mempertimbangkan cost effectiveness. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :


(46)

2.10.1.Protokol 1.Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa tanpa syok

Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

• Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.

• Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

• Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.


(47)

2.10.2.Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD Dewasa di Ruang

Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di ruang rawat diberikancairan infus kristaloid sesuai dengan rumus : 1500 + {20 x (BB dalam kg-20)}. Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg : 1500 +{20 x (55-20)}= 2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :

• Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, Trombosit dilakukan tiap 12 jam.

• Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan HT > 20 %.


(48)

2.10.3. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesusi dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.


(49)

Gambar 2.8. Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %

2.10.4. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering


(50)

mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostasis harus segera dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan APTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Gambar 2.9 Protokol 4 Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

2.10.5. Protokol 5.Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD


(51)

mendapat pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatini.

Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama setelah terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20 % saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan


(52)

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn (internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan kristaloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan tesebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan caian dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pembeian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap

belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.


(53)

Gambar 2.10 Protokol 5 Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

2.11. Psidium Guajava (Gupta GK dkk, 2011), (Joseph B, 2011), (Kumar A, 2012)

Guava (Psidium guajava L) termasuk tanaman famili Myrtaceae, banyak terdapat di negara tropis. Mulai dari akar, batang, daun dan buah Jambu biji mengandung senyawa kimia yang banyak manfaatnya.

2.11.1.Kandungan Kimia dan Mineral Psidium Guajava

2.11.1.1.Buah Jambu Biji

Kandungan kimia dan mineral yang terdapat dalam nuah jambu biji diantaranya Vitamin C, Vitamin A, Iron, calcium, phosphorus. Guava mengandung 5


(54)

dalam buah yang berkombinasi dengan phosporic, oxalic dan malic acids. Juga mengandung saponin berkombinasi dengan oleanolic acid, morin-3-O-α -L-lyxopyranoside, morin-3-O-α-arabopyranoside, flavonoids, guaijavarin dan quercetin.

2.11.1.2.Batang pohon Jambu Biji

Mengandung 12-30 % tannin, polyphenols, resin, kristal calcium oxalate.

2.11.1.3.Akar pohon Jambu Biji

Mengandung tannin, leukocyanidins, sterols, gallic acid. Juga kaya akan karbohidrat dan garam.

2.11.1.4.Daun Jambu Biji (Psidii folium)

Pada daun jambu biji mengandung resin, fat, cellulose, tannin, questrin, flavonoid, volatile oil, chlorophyll, garam mineral, juga minyak esensial : α-pinene,

β-pinene,limonene, menthol, terpenyl acetate, isopropyl alcohol, longicyclene, caryophyllene, β-bisabolene, caryophyllene oxide, β-caponene, farnesene, humulen., selinene, cardinene, curcumene, nerolidiol, β-sitosterol, ursolic, crategolic, guayavolic acid.

2.11.2.Aktifitas Antibakterial

Ekstrak Psidium Guajava pada uji in vitro mempunyai efek sebagai antimikrob terhadap E.coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus, Proteus

Mirabilis, Shigella dysenteria. Daun jambu biji kaya akan tannin dan mempunyai

efek antiseptik. Dilaporkan bahwa daun jambu biji mempunyai aksi antimikroba yang kuat terhadap Sarcina lutea, Staphylococcus aures, Mycobacterium phlei. Ada 4 kandungan antibakterial yang diisolasi dari daun jambu biji, 2 jenis flavonoid : guaijavarin dan quercetin dan 2 flavonoid glycosides : morin-3-O-α -L-lyxopyranoside, morin-3-O-α-arabopyranoside . MIC (Minimum inhibition concentration) dari morin-3-O-α-L-lyxopyranoside, morin-3-O-α-arabopyranoside adalah 200 microg/ml terhadap Salmonella enteriditidis dan 250 microg/ml dan 300


(55)

microg/ml terhadap Bacillus cereus. Pada batang pohon jambu biji kaya akan tannin. (Egharevba, 2010), (Lutterodt GD dkk, 1999), (Jaiarj P dkk, 1999), (Sanda KA dkk, 2011) (Arima H dkk, 2002)

2.11.3.Anti Diare

(Sindermsuk dkk,1999), (Salgado, 2006) melaporkan penggunaan daun jambu biji sebagai anti diare pada study yang menggunakan 12 spesies patogen : Vibrio (2 species), Shigella (4 species), Salmonella (5 species) dan enteropathogenic E.coli, semua bakteri ini diinhibisi dengan 20 mg/dl ekstrak daun jambu biji yang dihangatkan dibandingkan dengan 100 mg/ml ekstrak buah mangosteen (Garcinia mangostana L). (Zhang WJ dkk, 2003) meneliti efek quercetin yang diekstrak dari

Psidium guajava L. sebagai anti diare pada hewan percobaan guinea pig, tikus.

Didapatkan hasil quercetin menginhibisi kontraksi ileum guinea pig pada percobaan in vitro dan menginhibisi gerakan peristaltic usus halus tikus dan menurunkan permeabilitas kapiler abdominal.

2.11.4. Anti Viral

Senyawa tannin yang terdapat dalam daun jambu biji tenyata mempunyai efek inhibisi enzim reverse transcriptase dari virus RNA (Kakiuchi N dkk, 1985). (Sanzhez dkk, 2000) meneliti efek flavonoid terhadap virus dengue. Flavonoid diekstrak dari tanaman Mexico Tephrosia madrensis, Tephrosia viridiflora &

Tephrosia crassifolia. Ekstrak flavonoid glabranine & 7-O-methyl-glabranine

menginhibisi 70 % virus dengue pada konsentrasi 25 micro M.

2.11.5.Hepatoprotektif

(Roy CK dkk, 2006) melakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak daun jambu biji dengan dosis 250 & 500 mg secara bermakna menurunkan kadar serum aspartate transaminase, alanine transaminase, alkaline phosphatase, bilirubin pada pasien gagal hati akut yang diinduksi keracunan carbon tetrachloride, paracetamol atau thiocetamide juga kerusakan hati kronis yang diinduksi carbon tetrachloride.


(56)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional

1. Diagnosa demam berdarah & derajat penyakit ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1997.

2.Ekstrak daun jambu biji berupa kapsul Psidii®

3.Pemeriksaan serologi menggunakan Uji Dengue NS1 rapid test, IgG Anti Dengue dan IgM Anti Dengue

4.Pasien dinyatakan sembuh dan diizinkan pulang, bila sudah tidak demam, dengan nafsu makan baik, tidak ada tanda-tanda syok dan jumlah trombosit sudah meningkat diatas 50.000/ml darah.

- Anamnese, Pemeriksaan Fisik - Lab : - darah rutin,serologi : NS1

dan IgG Anti Dengue, IgM Anti Dengue

Subyek (DBD derajat I & II

Kelompok B (kontrol) tidak diberi kapsul ekstrak daun jambu biji (Psidii®) hanya terapi standard selama 5 hari Kelompok A (Perlakuan)

diberi kapsul ekstrak daun jambu biji (Psidii®) 3 x 2 selama 5 hari dan terapi standard

Darah rutin 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam, 120 jam Darah rutin 24 jam, 48 jam,


(57)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan jenis quasi eksperimen non-randomized pretest – posttest control group design, menggunakan kelompok

kontrol dan kelompok eksperimen/perlakuan.

4.2. Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Mei 2011 s/d Mei 2012, di Ruang Rawat

Penyakit Dalam RS H.Adam Malik, Ruang Rawat Penyakit Dalam RS. Pirngadi Medan dan beberapa Rumah Sakit Swasta di Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara.

4.3. Subjek Penelitian

Penderita DBD derajat I dan II yang dirawat inap di Ruang Rawat Penyakit Dalam RS H.Adam Malik, RS. Pirngadi Medan dan beberapa Rumah Sakit Swasta di Kotamadya Medan, Propinsi Sumatera Utara.

4.4. Kriteria Inklusi

1. Pasien DBD dewasa ( umur > 15 – 60 thn), hari ke -2,3,4,5 demam, derajat I dan II berdasarkan kriteria WHO yang dirawat di rumah sakit di Medan.

2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani formulir Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP).


(58)

2. Adanya penyakit penyerta yang mempengaruhi jumlah trombosit yang diketahui dari pemeriksaan fisik dan laboratorium (misalnya : penyakit hati akut dan kronik, demam tifoid, leptospirosis, malaria, kelainan darah (ITP, Leukemia, hemofilia, trombositosis esensial, dll)

3. Pasien yang memerlukan transfusi komponen darah (WB,PRC,trombosit, fresh frozen plasma,dll)

4. Mengundurkan diri dari penelitian setelah mendapat penjelasan dari peneliti.

4.6. Besar sampel

Sampel dipilih secara consecutive sampling dengan jumlah sampel minimum berdasarkan rumus :

n = (Zα + Z ß)S 2 X1 – X2

.

dimana Zα = kesalahan tipe I = 5 %, Zα = 1,64. Zß = kesalahan tipe II = 10 &, Z ß =1,44

S = simpang baku gabungan dari penelitian terdahulu = 18,2 jam X1 – X2 = selisih minimal yang dianggap bermakna = 14 jam

n = (1,64 + 1,44) x 18,2 2 14

= 16

maka n = 16 orang  16 orang kelompok perlakuan & 16 orang kelompok kontrol.

4.7. Cara kerja

Kepada setiap subyek dewasa yang menderita DBD derajat I dan II, dilakukan anamnese lengkap, pemeriksaan fisik, laboratorium darah rutin, serta pemeriksaan serologi dengan menggunakan Uji NS1 Antigen, Ig M Anti Dengue dan Ig G Anti Dengue. Bagi pasien yang memenuhi kriteria, diberikan pengobatan standard dengan pemberian cairan kristaloid seperti Ringer Laktat atau Ringer Asetat dengan dosis


(59)

inisial 20 cc/kg Berat Badan/jam, dan dilanjutkan dengan dosisi maintenans 50 cc/kg BB/24 jam. Kemudian pasien diberikan terapi tambahan untuk penelitian yang telah disediakan kapsul ekstrak daun jambu biji (Psidii®) 3 x sehari 2 kapsul selama lima hari dimulai dari pasien masuk rumah sakit. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok,yaitu: 1. Kelompok A (perlakuan) diberikan ekstrak daun jambu biji 500 mg (Psidii®) 3 x 2 selama 5 hari. Obat diminum dengan air putih dengan jarak pemberian sekitar 8 jam disertai terapi standar

2. Kelompok B (kontrol) tidak diberikan kapsul ekstrak daun jambu biji, hanya terapi standar

Semua pasien dalam penelitian ini diperiksa darah rutin, termasuk jumlah trombosit 24 jam, 48 jam, 72 jam, 96 jam dan 120 jam atau pemeriksaan laboratorium lain, sesuai dengan kondisi klinisnya, sampai kondisi pasien membaik dan diizinkan untuk pulang.

4.8.Analisa data

a. Analisa statistik deskriptif disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi

a. Uji-t dua sample tidak berpasangan (independent-test) digunakan untuk menganalisis perubahan jumlah trombosit sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan (ekstrak daun jambu biji dan non ekstrak daun jambu biji) bila data mempunyai sebaran normal & uji Mann Whitney U bila sebaran data tidak normal.

b. Uji hipotesis komparatif untuk menilai peningkatan trombosit tiap kelompok diuji dengan uji parametrik Anova bila sebaran data normal, varians sama jika tidak normal sebaran data dan atau varians tidak sama dipakai uji non parametrik Kruskal-Wallis

c. Perbedaan bermakna bila p < 0,05


(60)

4.9 Ethical Clearance dan informed consent

Ethical clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara..

Informed consent diminta secara tertulis dari subjek penelitian yang bersedia untuk ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.


(61)

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1.Karakteristik Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi RSUP H. Adam Malik/RS Dr.Pirngadi Medan selama periode Mei 2011 sampai Mei 2012. Selama periode tersebut didapatkan 35 penderita yang dapat dievaluasi serta dilakukan analisis, yaitu masing-masing 19 penderita pada kelompok perlakuan(ekstrak daun jambu biji) dan 16 penderita pada kelompok kontrol (non ekstrak daun jambu biji). Pada kelompok perlakuan penderita telah mendapatkan kapsul ekstrak daun jambu biji (Psidii®) 3 x 2 kapsul selama 5 hari bersamaan dengan terapi standar DBD, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mendapatkan kapsul ekstrak daun jambu biji hanya terapi standar.

Pemilihan sampel dilakukan melalui consecutive sampling. Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, didapatkan besar sampel minimal untuk penelitian ini adalah 16 penderita. Dengan demikian besar sampel sebanyak 35 penderita pada penelitian ini sudah memenuhi syarat untuk dianalisis.

5.2.Karakteristik Dasar Subyek Penelitian

Pada kelompok ekstrak daun jambu biji subyek pria sebanyak 12 orang dan wanita 7 orang dengan umur rerata 31,11 tahun (SD 12,25) sedangkan pada kelompok non ekstrak daun jambu biji subyek pria sebanyak 8 orang dan wanita 8 orang dengan umur rerata 26,94 tahun (SD 13,86). Dengan menggunakan uji Mann-Whitney U tidak ada perbedaan dalam distribusi penderita berdasarkan umur pada kelompok ekstrak daun jambu biji dan kelompok non ekstrak daun jambu biji (p=0,257).

Penderita DBD pada penelitian ini sebagian besar datang pada saat panas hari ke 3 dan 4 yaitu sebanyak 18 penderita dan 9 penderita, sedang yang datang hari ke 2


(62)

Setelah dilakukan uji Mann Whitney U tidak didapatkan perbedaan yang bermakna dengan p = 0,540

Dari variabel umur, Hb, Hct, Leukosit, Trombosit setelah dilakukan uji statistik tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok. Dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1. Data Karakteristik Dasar Subyek Penelitian Ekstrak daun jambu

biji

Non Ekstrak daun jambu biji

p

n 19 16

Jenis Kelamin : Pria

Wanita

12 (63 %) 7 (37 %)

8 (50 %) 8 (50 %) Demam hari ke 2

3 4 5 2 10 5 2 3 8 4 1 0,540

DBD Grade I II

12 7

13 3

Umura) 31,11 ±12,25 26,94 ± 13,86 0,257

Hbb) 13,90 ± 1,50 13,41 ± 1,80 0,386

Hctb) 41,12 ± 4,72 40,11 ± 4,95 0,543

Leukosita) 5239 ± 2512 4547 ± 1865 0,523

Trombosita) 88736 ± 41435 96625 ± 49220 0,791

a = uji Mann Whitney U *Perbedaan bermakna bila nilai p < 0,05 b = uji T independent

Tabel 5.2 Manifestasi Klinis Subyek Penelitian

Manifestasi Klinis Ekstrak Daun Jambu Biji

n=19

Non Ekstrak Daun Jambu Biji n=16

Demam 19 (100 %) 16 (100 %)

Sakit Kepala 15(78,9 %) 12 (75 %)

Mual 17 (89,5 %) 9 (56,2 %)

Muntah 12 (63,1 %) 7 (43,7 %)

Nyeri Retro-orbital 10 (52,6 %) 10 (62,5 %)

Nyeri Abdomen 8 (42,1 %) 11 (68,7 %)

Myalgia 11 (57,8 %) 13 (81,2 %)

Perdarahan Spontan (Epistaksis, Perdarahan Gusi)


(1)

Keterangan :

JnsKel : Jenis Kelamin

Grade : Derajat Demam Berdarah Dengue I = Derajat I

II = Derajat II

NS1 : NS1 Antigen

IgG : IgG Anti Dengue

IgM : IgM Anti Dengue

Hb : Hemoglobin

Hct : Hematokrit

Trom 0 jam : Pemeriksaan Trombosit 0 jam Trom 24 jam : Pemeriksaan Trombosit 24 jam Trom 48 jam : Pemeriksaan Trombosit 48 jam Trom 72 jam : Pemeriksaan Trombosit 72 jam Trom 96 jam : Pemeriksaan Trombosit 96 jam Trom 120 jam : Pemeriksaan Trombosit 120 jam


(2)

(3)

Lampiran 6 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti

DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. Identitas

Nama : Dr. Suvianto Hendri Lesmana Tempat/Tgl Lahir : Medan/ 24 Nopember 1973 Suku/Bangsa : Jawa/ Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Kompleks Taman Setia Budi Indah Blok G-77

Kelurahan Tanjung Rejo Kecamatan Medan Sunggal Medan

II. Keluarga

Istri : Dr. Oki Lestari Irsan, SpS

Anak : Alma Amanda

Rizqy Radithya

Muhammad Syafiq Syafwan III. Pendidikan

SD Taman Siswa Medan Tamat Tahun 1985 SMPN 11 Medan, Tamat Tahun 1988 SMAN 3 Medan, Tamat Tahun 1991

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Tamat Tahun 1998 Peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK USU, tahun 2004-sekarang IV. Riwayat Pekerjaan

Kepala Puskesmas Buket Hagu, Kecamatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 1999-2000

Dokter RSU Sabang, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000-2001

Dokter RSU PTPN 3 Aek Nabara, Kabupaten Labuhan Batu tahun 2001-2002

Dokter jaga di berbagai klinik dan RS Swasta di Medan, tahun 2003-2004 Dokter Konsultan Daerah di RSUD Dr.Sahudin Kutacane,Kabupaten Aceh Tenggara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2008

V. Perkumpulan Profesi

1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)


(4)

VI. Karya Ilmiah

1. Suvianto Hendri Lesmana, Dasril Effendi, Tambar Kembaren.

Juvenile Dermatomyositis. Laporan Kasus. KOPAPDI XIII Palembang, 5 – 9 Juli 2006.

2. Suvianto Hendri Lesmana, Udut Tarihoran, Betthin Marpaung. Kadar

Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) pada Penderita Sirosis Hati dan Hubungannya dengan Varises Esofagus. Pekan Ilmiah Nasional XIV/Kongres Nasional XIII Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PGI)/ Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI), Surabaya, 12-15 Juli 2007.

VII. PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH

1. Peserta PIT VI Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 3-5 Maret 2005.

2. Peserta Advanced Trauma Life Support (ATLS) Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia, Pekanbaru, 1-3 April 2005.

3. Peserta Medical Update Seminar, Ikatan Dokter Indonesia Cabang Medan, Medan, 14 Mei 2005.

4. Peserta Symposium on Critical Care and Emergency Medicine I, Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia, Medan, 20-22 Mei 2005.

5. Peserta Advanced Cardiac Life Support (ACLS), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Medan, 27-27 Mei 2005.

6. Peserta Diabetes Management Update 2005, Unit Pengembangan Ilmiah dan Pengabdian Masyarakat FK USU, Medan, 23 Juli 2005. 7. Peserta Simposium Infection Update II, PETRI/PERPARI Cabang

Sumut, Medan, 13 Agustus 2005.

8. Peserta dan Pembicara KOPAPDI XIII, Palembang, 5 – 9 Juli 2006 9. Peserta 2nd

10. Peserta Simposium The Scientific Evidence to Date : Reduction of Events in Cardiovascular Disease, PAPDI Cabang Sumut, Medan, 9 Desember 2006.

Pharmacology Update and Mini Symposia Nyeri, Ikatan Farmakologi Indonesia Cabang Medan-Indonesian Pain Society Cabang Medan-Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK USU, Medan, 2 Desember 2006.

11. Peserta dan Panitia PIT VIII Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, April 2007.

12. Peserta Roadshow PAPDI-Which Anti Hypertension’s Giving The SMART Solution for Asian? Medan, 14 April 2007.

13. Peserta Workshop ECG in Daily Practice, PB PAPDI-PAPDI Cabang Sumut, Medan, 14 April 2007.


(5)

14. Peserta Simposium Era Baru Penggunan Probiotik, PPHI/PGI/PEGI Cabang Sumut, Medan, 28 April 2007.

15. Peserta Simposium Trombosis-Hemostasis Regional I, Perhimpunan Trombosis Hemostasis Indonesia Cabang Sumut, Medan, 1-2 Mei 2007.

16. Panitia Pelatihan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus bagi Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 24-27 Mei 2007.

17. Peserta Simposium Diabetes, The Vitamin and Mineral Antioxidants Connection, Divisi Endokrinologi dan Metabolik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 26 Mei 2007.

18. Peserta Simposium Current Issues in the Management of Gastritis and Gastropathy, PPHI/PGI/PEGI Cabang Sumut, Medan, 9 Juni 2007.

19. Panitia Pelatihan Penatalaksanaan Diabetes Mellitus bagi DokterUmum, Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 28-30 Juni 2007.

20. Panitia Pelatihan Edukator Diabetes Dasar, Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 28-30 Juni 2007.

21. Peserta dan Pembicara PIN XIV PPHI/Konas XIII PGI-PEGI, Surabaya, 12-15 Juli 2007.

22. Peserta dan Panitia PIT IX Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 17-19 April 2008.

23. Peserta Simposium ONTARGET : A Land Mark Trial in Cardiovascular Protection, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK USU-PERKI, 5 Juli 2008.

24. Peserta dan Panitia Gastroenterohepatology Update VI, PPHI-PGI-PEGI-Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 17-18 Oktober 2008.

25. Peserta dan Panitia Fetschrift Prof. Dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, PERNEFRI-Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 10 November 2008.

26. Peserta Roadshow Nutrisi Klinik PB PAPDI, Medan, 21-22 Februari 2009.

27. Peserta Simposium Landmark Trial in The Management of Hypertension and Diabetes, PAPDI Cabang Sumut, Medan, 7 Maret 2009.

28. Peserta dan Panitia PIT X Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 20-22 April 2009.

29. Peserta dan Panitia Gastroenterohepatology Update VII, PPHI-PGI-PEGI Cabang Sumut-Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 9-10 Oktober 2009.

30. Peserta Workshop Confronting Obstacles In Managing Type 2 DM Controlling HbA1C Effectively without Compromise, PAPDI Cabang Sumut, 6 Desember 2009.


(6)

31. Peserta Workshop New Era of Stem Cell Therapy, PAPDI-Perhimpunan Patobiologi Indonesia (PPI), Medan, 12-13 Desember 2009.

32. Peserta Workshop USG dalam rangka PIT XI Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 1-3 April 2010.

33. Peserta Simposium Management of Hypertension, PAPDI Cabang Sumut, 10 Juli 2010.

34. Peserta Workshop Practice, Diagnosis and Management of Hepatitis B and C, FK USU, Medan, 15 Juli 2010.

35. Peserta Roadshow Medical Skill Upgrade (MEDSKUP) Workshop Gastroentero-Hepatology, PB PAPDI-PAPDI Cabang Sumut, 17 Juli 2010.

36. Peserta dan Panitia Simposium Rheumatology Update I Perhimpunan Reumatologi Indonesia Cabang Medan, Medan 31 Juli-1 Agustus 2010.

37. Peserta Workshop Injeksi Kortikosteroid Intralesion dan Visco Supplement, Perhimpunan Reumatologi Indonesia Cabang Medan, 30 Juli 2010.

38. Peserta dan Panitia PIT XII Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ PIN PERPARI, Medan, 28-30 April 2011.

39. Peserta dan Panitia Gastroenterohepatology Update IX, PPHI-PGI-PEGI Cabang Sumut -Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 3-5 November 2011.

40. Peserta PIT XIII Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/Infection Update, Medan,6 – 9 Juni 2012