1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1  Latar  Belakang dan  Masalah 1. 1. 1  Latar  Belakang
Karya  sastra  adalah  artefak  atau  benda  mati  yang  baru  mempunyai  makna dan  menjadi  objek  estetik  bila  diberi  arti  oleh  manusia  pembaca,  sebagaimana
artefak  peninggalan  manusia  purba  mempunyai  arti  bila  diberi  makna  oleh arkeolog.  Istilah  pemberian  makna  ini  disebut  naturalisasi,  yakni  usaha  untuk
mengembalikan  yang  menyimpang  kepada  yang  jelas,  yang  terang,  yang  dapat dipahami  Teeuw,  1988.
Teeuw  1988  juga  menyatakan  bahwa  ilmu  sastra  menunjukkan keistimewaan,  barangkali  juga  keanehan  yang  mungkin  tidak  dapat  dilihat  pada
banyak  cabang  ilmu  pengetahuan  lain,  yaitu  bahwa  objek  utama  penelitiannya  tidak tentu  malahan  tidak  keruan.
Sastra  yang  dihasilkan  oleh  seseorang  atau  sekelompok  orang  disebut  karya sastra.  Secara  umum,  karya  sastra  terbagi  tiga,  yakni  puisi,  prosa,  dan  drama.
Semua  karya  sastra  bersifat  konotatif  karena  banyak  menggunakan  makna  kias  dan makna  lambang.  Dibandingkan  dengan  bentuk  karya  sastra  lain,  puisi  lebih  bersifat
konotatif  karena  bahasanya  lebih  memiliki  banyak  kemungkinan  makna  Waluyo, 1991.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
2
Definisi  puisi  menurut  para  ahli  berbeda-beda.  Setelah  membanding- bandingkan  batasan  para  ahli  tersebut,  Waluyo  1991  dalam  bukunya  yang
berjudul  Teori  dan  Apresiasi  Puisi  mencoba  memberikan  definisi  puisi  sebagai bentuk  karya  sastra  yang  mengungkapkan  pikiran  dan  perasaan  penyair  secara
imajinatif  dan  disusun  dengan  mengkonsentrasikan  semua  kekuatan  bahasa  dengan pengkonsentrasian  struktur  fisik  dan  struktur  batinnya.
Dalam  sejarahnya,  puisi-puisi  Indonesia  dikategorikan  dalam  beberapa periode  sastra  Indonesia.  Sutardji  termasuk  pada  Angkatan  ’70  walaupun
sebenarnya  dia sudah mulai  menulis  pada dekade ’60-an.
Pembaca  karya  sastra  dapat  dikategorikan  sesuai  dengan  motivasi  dan tingkat  keseriusan  membacanya.  Berdasarkan  hal  tersebut,  pembaca  karya  sastra
dibagi  dua,  yaitu  pembaca  biasa  dan  pembaca  aktif.  Dikatakan  pembaca  biasa apabila  kepuasan  pembaca  tersebut  terbatas  sampai  akhir  cerita  tanpa  mengkaji
lebih  jauh  apa  maksud  tersurat  maupun  tersirat  dalam  karya  tersebut.  Berbeda dengan  pembaca  aktif.  Pembaca  aktif  awalnya  membaca  karya  sastra  itu  sebagai
hiburan,  tetapi  setelah  dipahaminya  lebih  jauh  makna  tersurat  maupun  tersiratnya, ternyata  karya  sastra  itu  dapat  juga  dijadikan  sebagai  pendidikan  maupun  pedoman
bagi  hidupnya. Menurut  Panuti  Sudjiman    1988  :  12    motivasi  membaca  karya  sastra  ada
tiga,  yakni  sebagai  pengisi  waktu,  sebagai  hiburan,  dan  untuk  mencari  pengalaman baru.  Orang  yang  membaca  karya  sastra    sebagai  pengisi  waktu  tidak
mementingkan  karya  itu  bermutu  atau  tidak  sebab  tujuannya  hanya  untuk  mengisi
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
3
waktu  luang.  Orang  yang  membaca  karya  sastra  sebagai  hiburan  tentu  saja  akan memilih  cerita  yang  pemaparan  atau  jalan  ceritanya  cukup  menarik.  Sedangkan
yang  terakhir,  lebih  serius,  yaitu  menginginkan  pengalaman  baru  dalam  batinnya. Pembaca  serius  berusaha  untuk  lebih  memahami  apa  yang  disampaikan
pengarang  melalui  karyanya.  Berbagai  pendekatan  akan  dipakai  untuk  memahami makna  yang  ada  pada  karya  tersebut.  Dengan  membaca  karya  sastra,  pembaca
tersebut  juga  dapat  melaksanakan  kegiatan  membaca  bahasa  yakni  kegiatan pembaca  yang  bertujuan  memperkaya  kosa  kata,  mengembangkan  kemampuan
menyusun  kalimat,  dan  memahami  gaya  bahasa  yang  keseluruhannya  dapat dimanfaatkan  untuk  mengembangkan  kemampuan  berbahasa  bagi  si  pembaca.  Jika
dibandingkan  dengan  pembaca  lainnya,  pembaca  inilah  yang  jumlahnya  paling sedikit  di  kalangan  masyarakat.  Namun,  pembaca  yang  seperti  inilah  yang  membuat
karya  sastra  itu  menjadi  bermakna  dan  tidak  hanya  sebatas  benda  mati  seperti  yang dikatakan  Teeuw.
Teeuw  dalam  Pradopo,  2007  :  106  mengatakan,  “Karya  sastra  adalah artefak,  adalah  benda  mati,  baru  mempunyai  makna  dan  menjadi  objek  estetik  bila
diberi  arti  oleh  manusia  pembaca  sebagaimana  artefak  peninggalan  manusia  purba mempunyai  arti  bila  diberi  makna  oleh  arkeolog.”  Jika  sebuah  karya  sastra  tidak
diberi  makna  oleh  masyarakat  pembacanya,  karya  itu  akan  mati  atau  tidak  berarti apa-apa. Oleh  karena  itu,  setiap  karya sastra  harus  dimaknai.
Masalah  yang  sering  timbul  dalam  memaknai  sebuah  karya  sastra  adalah proses  pemaknaan  itu  sendiri.  Tidak  sedikit  ditemui  karya  sastra  yang  sangat  sulit
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
4
untuk  dipahami  maksud  dan  maknanya.  Karya  yang  seperti  ini  akan  ditinggalkan oleh  masyarakat  pembaca,  hanya  dapat  dinikmati  oleh  kalangan  tertentu  saja.
Masyarakat  pembaca  yang  meninggalkan  karya  sastra  seperti  ini  adalah  masyarakat pembaca  yang  membaca  karya  sastra  sebagai  hiburan  dan  pengisi  waktu  luang.
Hanya  pembaca  aktif,  serius,  atau  pembaca  yang  mencari  pengalaman  barulah  yang membaca  karya  sastra seperti  ini.
Jika  hanya  kalangan  tertentu  saja  yang  dapat  memahami  sebuah  karya sastra,  karya  tersebut  sudah  menyimpang  dari  makna  esensinya,  tidak  universal
lagi.  Agar  tidak  menjadi  demikian,  harus  dilakukan  naturalisasi,  yaitu  usaha  untuk mengembalikan  yang  menyimpang  kepada  yang  jelas,  yang  terang,  yang  dapat
dipahami  ataupun  juga  istilah  rekuperasi  atau  perebutan  makna  Teeuw,  1983. Dengan  begitu,  puisi  menjadi  dapat dipahami  oleh  masyarakat  pembaca.
Agar  dapat  memahami  makna  karya  sastra,  pastilah  diperlukan  cara-cara yang  sesuai  dengan  sifat  hakiki  karya  sastra.  Diperlukan  analisis  secara  mendalam
untuk  dapat  memaknai  karya  sasstra  tersebut.  Salah  satu  penyair  yang  karyanya puisi  perlu  dianalisis  karena  maknanya  yang  tidak  mudah  untuk  dipahami  adalah
Sutardji  Calzoum  Bachri  yang  selanjutnya  akan disebut  SCB. SCB  merupakan  seorang  penyair  Indonesia  yang  terkemuka.  Ia  juga  dikenal
sebagai  cerpenis,  eseis,  dan  budayawan.  Lahir  di  Rengat,  Riau,  24  Juni  1941.  Ia terkenal  sejak  awal  1970-an  ketika  mengu
mumkan  Kredo  Puisinya  1973,  “Kata harus  dibebaskan  dari  beban  pengertian.
”  Itulah  yang  menjadi  dasar  bagi  sebagian besar  puisi-puisi  ciptaannya.  Kredo  puisi  SCB  pada  masa  itu  serta-merta
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
5
menimbulkan  kontroversi  dalam  kesusastraan  Indonesia.  Kumpulan  puisi  SCB  di antaranya
“O” 1973, “Amuk”  1979, dan “O Amuk  Kapak” 1981.
Karya-karya  SCB  membawa  pembacanya  kepada  pengalaman  baru  yang cukup  membingungkan.  Pembaca  akan  menemukan  berbagai  bentuk  diksi  yang  tak
lazim,  tipografi  yang  unik,  dan  gaya  mantra  yang  begitu  kental.  Oleh  karena  itulah, ia  disebut-sebut  sebagai
“sang  Pembaharu  Puisi  Modern  Indonesia”.  Ia meng
hadirkan  berbagai  makna  tersurat  dan  “memaksa”  pembaca  mencari maknanya.  Benarlah  bahwa  bahasa  puisi  berbeda  dengan  bahasa  sehari-hari.
Bedanya  adalah  pesan  dalam  bahasa  percakapan  sehari  umumnya  disampaikan secara  langsung,  sedangkan  pesan  dalam  puisi  justru  menunda  atau  tersirat.
Penundaan  itulah  yang  mengundang  kenikmatan  bagi  pembaca. Dalam  KBBI  2007:864,  “Perspektif  adalah  cara  melukiskan  suatu  benda
pada  permukaan  yang  mendatar  sebagaimana  yang  terlihat  oleh  mata  dengan  tiga dimensi  panjang,  leb
ar,  dan  tingginya;  sudut  pandang;  pandangan.”  Jika  dikaitkan dalam  konteks  penelitian  ini,  perspektif  itu  berarti  sudut  pandang  seseorang  dalam
mendeskripsikan sesuatu
melalui kata-kata
yang merupakan
hasil dari
pengamatannya  selama  ini,  baik secara fisik  maupun  nonfisik. Tuhan  adalah  sesuatu  yang  tidak  berwujud  tapi  ada  dan  dibicarakan  di
mana-mana.  Bahkan  tidak  sedikit  orang  yang  merasa  paling  tahu  akan  sesuatu  yang berada  di  luar  jangkauan  pengetahuan  manusia  itu”  Audifax,  2007:6.  Banyak
yang  mencoba  menggambarkan-Nya  dan  banyak  pula  yang  mempertanyakan keberadaan-Nya.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
6
Pertanyaan  yang  sering  muncul  ketika  mempertanyakan  tentang  Tuhan adalah, “Di manakah letak surga itu?” Konon, surga ada di atas sana sehingga sering
dijumpai  dalam  film-film  ketika  roh  manusia  meninggalkan  jasadnya  akan  terbang menuju  ke  atas.  Selain  itu,  orang  yang  berdoa,  memohon,  dan  meminta  kepada
Tuhan  akan  menengadahkan  kepalanya.  Namun,  tidak  semua  seperti  itu.  Ada  yang mengatakan  surga  itu  di  telapak  kaki  ibu,  di  hati  orang  yang  percaya  kepada-Nya,
bahkan  ada  pula  yang  mengatakan  Tuhan  itu  ada  di  mana-mana.  Berarti,  surga  pun ada  di  mana-mana  karena  esensinya  surga  itu  adalah  tempat  tinggal  Tuhan.  Lantas,
mengapa  dikatakan  surga  ada  di  atas  langit,  di  telapak  kaki  ibu,  atau  di  hati  orang yang  percaya  kepada-Nya?
Manusia  harus  berbakti  kepada  Tuhan.  Namun,  bakti  itu  bukanlah  untuk membela  kepentingan-Nya.  Jadi,  manusia  tidak  perlu  berusaha  untuk  mengangkat-
Nya supaya  mulia  karena Dia  sudah  bersifat  Mulia,  bahkan  Yang  Mahamulia. Tuhan  itu  tidak  mempunyai  kepentingan  pribadi,  justru  Dia  Pemelihara,
Pengasih,  dan  Penyayang.  Namun,  manusia  tidak  boleh  menyembah  kepada  yang lain.  Demi  keselamatannya,  manusia  harus  beribadah  hanya  kepada  Tuhan,  karena
Dia  Esa.  Penyembahan  kepada  yang  lain  akan  mendatangkan  pertentangan  dan kegoncangan,  sementara  manusia  menginginkan  keselamatan  Abdoerraoef,  1962.
Nietzche  dalam  Audifax,  2007  menyatakan  bahwa  manusia  terjebak dalam  nihilisme,  kosong,  dan  tidak  bermakna.  Pada  titik  ini,  “tuhan”  itu  sudah  mati
karena  sejatinya  manusia  sudah  hidup  tanpa  Tuhan.  Tidak  ada  Tuhan  ketika manusia  berjalan  dalam  rutinitas.  Di  situ,  doa  pun  sudah  tidak  perlu  lagi.  Dengan
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
7
atau  tanpa  tuhan,  manusia  tetap  berada  dalam  ketidakmampuannya  untuk  hidup. Bukan  tuhan  yang  menjadi  kunci  hidup,  melainkan  keputusan  manusialah  yang
menjadi  kuncinya.  Maka,  jelaslah  tidak  benar  jika  orang  mengatakan,  “Manusia yang  berencana,  tetapi  Tuhan  yang  menentukan.”  Jika  sudah  ditentukan,  untuk  apa
berusaha?  Ungkapan  itu  menjadi  alasan  manusia  untuk  lari  dari  tanggung  jawab atas  semua  yang  dilakukannya.  Kegagalan  justru  dilemparkan  kepada  Tuhan.
Sekarang,  ungkapan  yang  benar  adalah  “Manusia  yang  menentukan,  tuhan  yang mengusahakan”.
Dari  pernyataan  Nietzhe  tersebut,  ada dua pemahaman  tentang  Tuhan: 1.
Tuhan  Yang  Hakiki Tuhan  Yang  Hakiki  dituliskan  dengan  T  huruf  kapital,  yaitu  “Tuhan”.
Tuhan  dengan  penulisan  seperti  ini  adalah  Tuhan  disembah  dalam  hubungan spiritual  sehari-hari.  Tuhan  yang  sering  disebut  sebagai  Tuhan  Yang  Maha
Pengasih,  Maha Penyayang,  Maha  Pengampun,  dan lain-lain. 2.
Tuhan  yang  tidak hakiki Tuhan  yang  tidak  hakiki  dituliskan  dengan  t  huruf  kecil,  yaitu  “tuhan”.
Tuhan  dengan  penulisan  seperti  ini  adalah  tuhan  yang  tercipta  atas  kepentingan- kepentingan  manusia.  Tuhan  yang  sering  diseret-seret  dalam  berbagai  peristiwa
nirhumanitas  Audifax,  2007.  Dijadikan  alasan  untuk  pengeboman,  peperangan antarbangsa,  perang  agama,  bahkan  perang  saudara.  Tuhan  yang  demikian  juga
dijadikan  sebagai  alat  untuk  membenarkan  kebencian,  peperangan,  perpecahan, pembunuhan,  penghujatan,  pemfitnahan,  dan  dosa-dosa  lainnya  yang  sudah  jelas
merupakan  hal  yang  dilarang  oleh-Nya.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
8
Hal  ini  terjadi  karena  sifat  manusia  yang  pragmatis  dan  cenderung  ingin selalu  berada  di  dalam  “pembenaran”.  Akhirnya,  pembicaraan  tentang  Tuhan
terlepas  dari  ke-Mahaan-Nya,  yaitu  Mahakuasa,  Maha  Mengetahui,  dan  Maha dalam  segala  hal.  Sementara  itu,  manusia  yang  terbatas  ingin  mendefinisikan  Tuhan
yang  tidak  terdefinisi  dan  tidak  terukur  tersebut.  Tuhan  tidak  logis,  sementara manusia  berpikir  logis.  Oleh  karena  itu,  manusia  tidak  akan  mendapat  jawaban  yang
memuaskan  tentang  Tuhan.  Karena  dalam  ke-Tuhanan,  dasarnya  adalah  iman, yakni  dasar  dari  segala  sesuatu  yang  kita  harapkan  dan  bukti  dari  segala  sesuatu
yang  kita  lihat  Ibrani  11:1.  Tuhan  tidak  dapat  dibuktikan  secara  ilmiah  sehingga banyak  yang  meragukan  keberadaan-Nya.  Padahal,  justru  di  situlah  iman  itu
bekerja.  Karena  jika  segala  sesuatu  itu  sudah  jelas,  pasti,  atau  dapat  dibuktikan secara ilmiah,  manusia  tidak  akan berpengharapan  dan iman  itu  menjadi  mati.
Semiotik  secara  harfiah  adalah  segala  sesuatu  yang  berhubungan  dengan sistem  tanda  dan  lambang  di  kehidupan  manusia.  Tokoh  penting  dalam  semiotika
sebagai  ilmu  tentang  tanda  adalah  Ferdinand  de  Saussure  dan  Charles  Sanders Pierce.  Tokoh  tersebut  meletakkan  dasar  pemikiran  yang  menjadi  landasan
pengembangan  semiotika. Audifax  2007  :  18  menjelaskan  pengaruh  Saussure  dan  Pierce  dalam
perkembangan  semiotika  sebagai  berikut: Bagi  Saussure,  semiotika  semiologi  merupakan  ilmu  umum  tentang
tanda,  “Suatu  ilmu  yang  mengkaji  kehidupan  tanda-tanda  di  dalam masyarakat.”  Sedangkan  Pierce  berpendapat  bahwa  semiotika
merupakan  bentuk  lain  dari  logika,  yakni  “doktrin  formal  bagi  tanda- tanda.”  Dengan  demikian,  bagi  Saussure  semiotika  semiologi  adalah
bagian  dari  disiplin  psikologi  sosial.  Sedangkan  bagi  Pierce  semiotika
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
9
adalah  suatu  cabang  dari  filsafat.  Dalam  perkembangan  selanjutnya, semiotika
dipengaruhi oleh
pemikiran strukturalisme
dan poststrukturalisme  melalui  tokoh-tokoh  seperti  Claude  Levi-Strauss,
Louis  Althusser,  Jacques  Lacan,  Michel  Foucault,  Jacques  Derrida,  Julia Kristeva,  Gilles  Deleuze,  Felix  Guattari,  Umberto  Eco  hingga  Zlavoj
Zizek.
Semiotika mempelajari
sistem-sistem, aturan-aturan,
dan konvensi-
konvensi  yang  memungkinkan  tanda-tanda  tersebut  mempunyai  arti.  Dalam kaitannya  dengan  pemaknaan,  pembacalah  yang  seharusnya  bertugas  memberi
makna  karya  sastra.  Khusus  pemaknaan  terhadap  puisi,  proses  pemaknaan  itu dimulai  dengan  pembacaan  heuristik,  yaitu  menemukan  meaning  unsur-unsurnya
menurut  kemampuan  bahasa  yang  berdasarkan  fungsi  bahasa  sebagai  alat komunikasi  tentang  dunia  luar  mimetic  function.  Akan  tetapi,  pembaca  kemudian
harus  meningkatkannya  ke  tataran  pembacaan  hermeneutik  yang  di  dalamnya  kode karya  sastra  tersebut  dibongkar  decoding  atas  dasar  significance-nya.  Untuk  itu,
tanda-tanda  dalam  sebuah  puisi  memiliki  makna  setelah  dilakukan  pembacaan  dan pemaknaan  terhadapnya  Riffaterre,  1978.
Riffaterre  1978  lebih  jauh  menjelaskan  bahwa  untuk  melakukan pemaknaan  secara  utuh    terhadap  sebuah  puisi,  pembaca  harus  bisa  menentukan
matriks  dan  model  yang  terdapat  dalam  karya  itu.  Riffaterre  juga  mengungkapkan metode  pemaknaan  puisi  secara  semiotika  dengan  tuntas.  Contoh  pemaknaan  puisi
secara  semiotika  Riffaterre  adalah  karya  Edy  A.  Effendy  yang  ditulis  oleh Muhammad  Al-Hafi
zh  2009  dalam  jurnalnya  yang  berjudul  “Sajadah  Terakhir Karya Edy A. Effendy  : Sebuah  Analisis  Semiotika  Rifaterre”.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
10
Sutardji  dikenal  sebagai  penyair  yang  emosional.  Hal  tersebut  dapat  dilihat dari  puisinya  yang  berjudul  “Amuk”.  “Amuk”  merupakan  sebuah  puisi  dalam
kumpulan  puisinya  yang  berjudul  Amuk .  Puisi  “Amuk”  terdiri  dari  24  halaman.
Puisi  ini  begitu  panjang  karena  di  dalamnya  terdapat  puisi  “Kucing”  dan  penggalan “Pot”  serta  “Batu”.  Puisi  ini  layak  dijadikan  bahan  penelitian  karena  Sutardji
bercerita  banyak  hal  di  dalamnya,  terlebih  tentang  Tuhan.  Manusia  adalah  pencari Tuhan.  Dalam  puisi  tersebut  Sutardji  berani  menyampaikan  pikirannya  dalam
konteks  manusia  sebagai  pencari  Tuhan.  Selain  itu,  “Amuk”  dengan  semiotika ekspresinya,  merupakan  suatu  ungkapan  kemarahan.  Ironisnya  adalah  ketika
sebuah  cerita  tentang  pencarian  Tuhan  diberi  judul  “Amuk”.  Muncul  sebuah pandangan,  apakah  Tuhan  itu  dicari  dengan  ekspresi  amuk?
“Ngiau”  merupakan  tiruan  bunyi  kucing  yang  merupakan  ekspresi  dari kemarahan.  Berbed
a  dengan  “meong”.  “Meong”  merupakan  tiruan  bunyi  kucing ketika  menginginkan  sesuatu.  Dalam  bunyi  tersebut,  kucing  mengekspresikan
kemanjaan  atau  merupakan  salah  satu  usaha  untuk  membuat  orang  menjadi  iba sehingga  dia  akan  mendapatkan  makanan  atau  setidaknya  sedikit  elusan.  Dalam
konteks  kajian  ini,  “ngiau”  dimaknai  sebagai  ekspresi  kemarahan  kucing.  Sama halnya  seperti  anjing  yang  menggonggong.  Selain  suara,  ada  bentuk  tanda  bahasa
yang  menguatkan  hal  tersebut.  Penguatan  hal  ekspresi  kemarahan  tersebut dilambangkan  dengan    tanda  seru  .  Tanda  seru  mengartikan  penegasan.  Bila
secara  nada,  tanda  seru  mengalami  peninggian.  Contohnya,  manusia  marah cenderung  mengekspresikan  dengan  nada-nada  tinggi  yang  dilambangkan  dengan
tanda  seru  .  Selain  penegasan  kemarahan,  tanda  seru    juga  diletakkan  setelah
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
11
kata- kata  seru.  Misalnya,  “wau”  yang  menegaskan  keterkejutan  seperti  yang
ditemukan  dalam  puisinya  yang  berjudul  “Tapi”,  “Tik”,  “Mesin  Kawin”,  dan  lain- lain.
“Ngiau”  banyak  ditemukan  dalam  puisi-puisi  Sutardji.  Kata  tersebut  juga dapat  ditemukam  pada  awal  puisinya  yang  berjudul  “Kucing”,  bahkan  ada  juga
yang  menjadi  judul  puisinya.  Unsur-unsur  kemarahan  lainnya  juga  masih  banyak ditemukan  pada  puisi-
puisinya,  misalnya  “ludahlah”  pada  puisi  yang  berjudul “Sudah  Waktu”,  “tempeleng”  pada  puisi  yang  berjudul  “Pil”  dan  “Tak”,  bahkan
kata- kata yang  tak lazim,  seperti “babi”  pada  puisi yang  berjudul “Sajak  Babi  III”,
dan lain-lain. Selanjutnya,  Sutardji  kerap  menggunakan  kata  Tuhan  atau  tuhan  sehingga
menimbulkan  kesan  bahwa  dia  adalah  hamba  Tuhan.  Konsepsi  kata  tuhan  yang dimaksud  oleh  Sutardji  dibedakan  secara  bentuk  penanda.  Kata
“Tuhan” menggunakan  hur
uf  kapital  pada  awal  kata  dan  “tuhan”  menggunakan  huruf kecil  pada  awal  kata.  Tuhan  yang  dikonsepsikan  pada  suatu  kepercayaan,
menggunakan  kata  ‘Tuhan’,  sedangkan  kata  ‘tuhan’  digunakan  pada  konsepsi penciptaan  yang  dilakukan  untuk  sesuatu  yang  bukan  Tuhan.  Hal  lain  yang
menguatkan  pernyataan  tersebut  adalah  klitik  yang  sering  dituliskan  dengan  huruf kapital,  misalnya  “pura-Mu”  pada  puisi  yang  berjudul  “Ah”,  “menjangkau-Mu”,
“jejak-Nya”,  “pada-Mu”,  “memanggil-Mu”  yang  terdapat  pada  puisi  “Amuk”,  dan lain-lain.
8QLYHUVLWDV6 XPDWHUD8WDUD
12
Penulis  merasa  tertarik  untuk  menganalisis  puisi-puisi  Sutardji  karena  di satu  sisi  Sutardji  dikenal  sebagai  seorang  penyair  yang  emosional,  sedangkan  di  sisi
lain  beliau  terkesan  hamba  Tuhan  atau  dekat  dengan  Tuhan.  Penulis  ingin menganalisis  bagaimana  pemahaman  Sutardji  tentang  Tuhan  melalui  karyanya.
Namun,  penulis  ingin  menganalisisisnya  hanya  dari  sebuah  puisinya,  yakni “Amuk”.  Oleh  karena  itulah,  penulis  memilih  Perspektif  Sutardji  tentang  Tuhan
dalam “Amuk” : Analisis Semiotika sebagai judul  tulisan  ini.
Penulis  berharap  tulisan  ini  dapat  membantu  masyarakat  dalam  menemukan m
akna  puisi  “Amuk”  karya  Sutardji.  Dengan  demikian,  puisi  tersebut  dapat menjadi  cermin  bagi  masyarakat.  Jika  sudah  menjadi  cermin,  berarti  masyarakat
pun  bisa  mengambil  makna  dan  pelajaran  dari  puisi  tersebut.  Semoga  ada manfaatnya  dan membawa  perubahan  ke arah  yang  lebih  baik  kepada masyarakat.
1. 1. 2  Masalah