Tinjauan Hukum terhadap Rehabilitasi sebagai Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba dihubungkan dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

TINJAUAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI SEBAGAI UPAYA
PENANGGULANGAN PEYALAHGUNAAN NARKOBA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
LAPORAN KERJA PRAKTIK
Diajukan Untuk Memenuhi Laporan Kerja Praktik
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia
Oleh
Nama

:Rhamdhan Maulana

NIM

:3.16.10.002

Program Kekhususan

:Hukum pidana

Di Bawah Bimbingan

Dwi Iman Muthaqin, SH., MH
NIP. 4127.33.00.012

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2014
1

2

LEMBAR PENGESAHAN
TINJAUAN HUKUM TERHADAP REHABILITASI SEBAGAI UPAYA
PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA DIHUBUNGKAN DENGAN
UNDANG–UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA
Bandung, Februari 2014
Disetujui oleh:
Pembimbing Kerja Praktik
Kantor Badan Narkotika Nasional Provinsi


Dosen Pembimbing

Agus Dadang Sukanda, S.H
NIP. 63020082

Dwi Iman Muthaqin, SH., MH
NIP. 4127.33.00.012

Koordinator Kerja Praktik

Arinita Sandria, S.H., M.Hum
NIP. 4127.33.00.006

Mengetahui,
Ketua Program Studi lmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Komputer Indonesia

Hetty Hassanah, S.H., M.H
NIP. 4127.33.00.005


3

ABSTRAK

Penyalahgunaan narkotika di masyarakat

adalah sebagai salah satu

perbuatan yang melanggar hukum dan telah menjadi fenomena yang begitu
serius yang harus ditanggulangi dan diselesaikan baik oleh masyarakat maupun
aparat yang berwenang. Untuk tidak terlalu banyak korban, maka diadakan
penanggulangan

yang serius dengan

jalan melaksanakan tindakan-tindakan

refresif dan preventif secara bersamaan dan terarah serta berkesinambungan.
Tindakan bersifat preventif yaitu diadakan pengawasan yang ketat terhadap lintas

penyalahgunaan narkotika dan lain sebagainya.
Dalam penulisan laporan ini peneliti menggunakan metode telaah pustaka
(library research) untuk mentelaah data-data sekunder dan penelitian lapangan (field
research) yaitu dengan melakukan penelitian di Badan Narkotika Nasional Provinsi.
Dalam pembahasan laporan ini peneliti mengangkat permasalahan tentang
bagaimanakah fenomena kejahatan penyalahgunaan narkotika dan akibat hukum
kejahatan penyalahgunaan narkotika terhadap korban di Provinsi Jawa Barat,
bagaimana perlindungan hukum terhadap korban penyalahgunaan narkotika dan
hambatan yang dihadapi dalam memberikan perlindungan hukum tersebut
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka ditarik kesimpulan
bahwa penomena kejahatan penyalahgunaan narkotika di Provinsi jawa barat
dilakukan karena disebabkan beberapa faktor baik yang berasal dari dalam diri
pelaku (intern) seperti rendahnya penghayatan agama, rendahnya mental daya
emosional maupun faktor ekstern seperti

faktor lingkungan keluarga maupun

lingkungan pergaulan. Adapun perlindungan hukum yang diberikan

kepada


korban kejahatan penyalahgunaan narkotika dalam hukum positif adalah dengan

4

jalan memberikan atau menjatuhkan hukuman yang berat terhadap
penyalahgunaan narkotika. Jadi

dalam

pelaku

hukum positif, perlindungan hukum

terhadap korban kejahatan penyalahgunaan narkotika adalah perlindungan hukum
yang in abstracto bukan in concreto. Pada hal perlindungan in concreto itu yang
lebih dibutuhkan oleh korban penyalahgunaan narkotika, antara lain dalam bentuk:
1. Pembentukan suatu lembaga untuk menampung para korban penyalahgunaan
narkotika
2. Bantuan


orang

tua,

mengembalikan mental

psikolog,

psikater,

guru,

atau rohaniawan untuk

korban penyalahgunaan narkotika.

5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya serta karena ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan laporan kerja
praktik, serta solawat dan salam atas junjunan Nabi Muhammad SAW (allahumma sholii ala
saydina Muhammad wa’ala ali saydina Muhammad) .
Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat
dan terpelajar Dwi Iman Muthaqin, SH., MH selaku Pembimbing I dan Komisaris Polisi Agus
Dadang Sukanda S.H. selaku Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan dorongan kepada peneliti sejak pengajuan judul laporan
penyusunan, hingga penulisan laporan ini.
Ucapan terimakasih yang tulus juga peneliti sampaikan kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti, sampai dengan selesainya
Laporan Kerja Praktik ini terutama kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Prof. DR Mien Rukmini, S.H.,
M.H
2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia, Hetty Hassanah,
S.H., M.H
3. Koordinator Kerja Praktik Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia, Arinita Sandria,

S.H., M.Hum.
4. Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa barat yang telah menerima dan menyediakan
tempat serta waktunya untuk peneliti melakukan penelitian .
Semoga penulisan laporan kerja praktik ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, bagi
instansi, dan juga pemerintah terkait. Amin ya Robbal alamin. Wasalalamualaikum WR.WB
Bandung 12februari 2014
Peneliti
Rhamdhan Maulana

6

DAFTAR ISI
Lembar pengesahan ………………………………………………….. i
Abstrak ………………………………………………………………….. ii
Kata Pengantar ………………………………………………………… iii
BAB I

BAB II

PENDAHULUAN


hlm

A. Latar Belakang ………………………………………………………….…

1

B. Identifikasi Masalah …………………………………………………….…

8

C. Maksud dan Tujuan ………………………………………………………

9

D. Manfaat Kegiatan …………………………………………………………

9

E. Jadwal Penelitian ……………………………………………..…………..


10

TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNA NARKOTIKA

A. Tinjauan Teoritis Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif Dalam
Kasus Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
1. Pidana dan Pemidanaan ……………………………………………

11

2. Tindak Pidana Narkotika ……………………………………………

44

3. Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif …………………………….

55

B. Tinjauan Terhadap Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat

A. Sejarah ………………………………………………………………..
B. Visi dan Misi Badan Narkotika Nasional ………………………..

BAB III

60
64

C. Tujuan Badan Narkotika Nasional ………………………………..

65

D. Sasaran Badan Narkotika Nasional ……………………………...

66

E. Tujuan Pokok dan Fungsi ………………………………………....

67

LAPORAN KERJA PRAKTIK DI BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN)
A. Laporan Kegiatan Harian …………..……………...……….……………… 69
1. Membantu Membuat Berita Acara Pemeriksaan ……..…………….. 69

7
2. Membuat Surat Izin Penggeledahan Badan dan Rumah ………...

69

3. Membantu Membuat Surat Perpanjangan Penahanan ………….

70

B. Laporan Kegiatan Kerja Lapangan ……………………………………..

70

4. Tes Urin di Pusat Pendidikan Artileri Medan (Pusdik Armed)
………………………………………………………………………..

70

5. Penjemputan Tersangka guna Menyaksikan Pemusnahan Barang
Bukti yang Dibawa oleh Tersangka ………………………………
6. Pemusnahan Barang Bukti Narkotika ……………………………

71
71

7. Pelaksanaan Seminar Oleh Badan Narkotika Nasional Yang Berjudul
“Tingkat Pemahaman Petugas Terhadap Peraturan PerundangUndangan Terkait Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Pecandu dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ……………………………
BAB IV

73

REHABILITASI SEBAGAI PERWUJUDAN DARI PERANAN BADAN
NARKOTIKA

NASIONAL

DALAM

MENGANGULANGI

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.
A. Penjatuhan Pidana Rehabilitasi Sebagai Sanksi Pengganti dari Sanksi
Pidana Penjara terhadap Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika ..

74

B. Peranan Badan Narkotika Nasional dalam Melakukan Upaya Penanganan
Penyalahgunaan Narkotika…………………………………………
BAB V I

80

PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………….

87

B. Saran …………………………………………………………………

88

LAMPIRAN ………………………………………………………………………………..

8

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Memasuki dunia kerja mahasiswa tidak hanya berbekal kecerdasan intelektual tapi
harus juga mempunyai kemampuan dasar kemampuan dasar yang dimaksud diantaranya
adalah pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill) dan sikap (attitude), untuk
mendapatkan hal tersebut tidak semua dapat diberikan melalui perkuliahan formal untuk itu
mahasiswa perlu melakukan kerja praktik.
Kerja Praktik merupakan bentuk perkuliahan nyata sehingga peneliti mendapat
gambaran dan pengalaman kerja secara langsung dan menyeluruh sekaligus memberi
kesempatan pada peneliti untuk mengaplikasikan teori yang peneliti dapatkan selama
kegiatan perkuliahan, kerja praktik di Badan Narkotika Nasional (yang selanjutnya disebut
dengan BNN) merupakan bentuk dari penerapan teori yang dipelajari dari kegiatan
perkuliahan.
Kerja Praktik di BNN secara tidak langsung memberikan pelatihan kepada peneliti
untuk menjadi seorang praktisi hukum khususnya dibidang penyidikan narkotika, peneliti
dilibatkan secara langsung dalam agenda kegiatan kerja BNN, mulai dari acara penyuluhan,
pemberantasan berupa razia di tempat hiburan malam, rehabilitasi dan juga pemusnahan
barang bukti.
BNN merupakan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang bergerak pada
bidang, pencegahan narkotika pemberantasan narkotika,peredaran gelap narkotika dan
preskursor narkotika yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, BNN terdiri dari
praktisi hukum dari Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) yang mempunyai kewenangan
melakukan penyidikan berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa:

9
“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan”.
Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dimaksud pada Pasal 1 angka 1 KUHP yaitu
adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dipekerjakan oleh BNN dan bukan
anggota Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), tetapi mempunyai kewenangan melakukan
penyidikan berdasarkan pada Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Badan Narkotika Nasional (yang selanjutnya di sebut dengan PP No 23 Tahun 2010 tentang
BNN) yang menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika”.
BNN mempunyai tugas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1 PP No 23
Tahun 2010 tentang BNN yang menyebutkan bahwa:
“BNN mempunyai tugas:
a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
b) Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c) Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan PrekursorNarkotika;
d) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medisdanrehabilitasi
sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat.
BNN mempunyai fungsi sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 3 PP No 23
Tahun 2010 tentang BNN yang menyebutkan bahwa:
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BNN
menyelenggarakan fungsi:
a) Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan
adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan
P4GN;
b) Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan
prosedur P4GN;
c) Penyusunan perencanaan, program, dan anggaran BNN;

10
d) Penyusunan
dan
perumusan
kebijakan
teknis
pencegahan,
pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan
kerja sama di bidang P4GN;
BNN dipimpin langsung oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung
kepada presiden melalui koordinasi kepolisian Republik Indonesia.1
Pada awalnya narkotika hanya digunakan sebagai alat bagi ritual keagamaan dan
digunakan untuk pengobatan, adapun jenis narkotika pertama yang digunakan pada
mulanya adalah candu yang disebut sebagai mandate atau opium, dalam dunia kedokteran
modern saat ini narkoba digunakan untuk pembiusan pasien sebelum dilakukan operasi. 2
Penggunaan narkotika tanpa izin dari dokter ahli terlebih dahulu akan menyebabkan
dampak negatif pada tubuh seperti ketergantungan terhadap narkotika yang akan
menyebabkan overdosis. Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia dari aspek yuridis
adalah sah keberadaanya, karena didalam Undang–Undang No 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika hanya melarang pengunaan narkotika tanpa izin.
Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (yang selanjutnya disebut
dengan Undang-Undang Narkotika) telah memberi sanksi hukum yang berbeda bagi pelaku
penyalahgunaan narkotika, pengguna, pengedar, bandar maupun produsen narkotika.
Penyalahguna narkotika disatu sisi merupakan pelaku tindak pidana yang dapat di
jatuhi sanksi penjara, untuk penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4(empat) tahun, golongan II bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun, dan golongan III dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun, tetapi di sisi lain merupakan korban dengan adanya
ketentuan bahwa korban penyalahguna dan pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial agar pulih dari ketergantungan.
Dekriminalisasi penyalahguna narkotika merupakan model penghukuman non kriminal
sebagai salah satu kontruksi hukum modern, yang bertujuan menekan (demand reduction)
dalam rangka mengurangi supply narkotika illegal, dan berdampak pada penyelesaian
1

www.BNN.co.id, Sekilas tentang BNN, Diakses pada tanggal 8 desember 2013, Pada pukul 08.30 WIB.
“umarmo Ma’sum, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, Cv Haji
Masagung,Jakarta, 1987 hlm 7.
2

11
permasalahan narkotika di Indonesia, berdasarkan Pasal 54 Undang–Undang Narkotika,
Pecandu

Narkotika

wajib

direhabilitasi,

sedangkan

pecandu

adalah

orang

yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik
secara fisik maupun psikis, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) No. 4 Tahun
2010, tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu Narkotika,
ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Ini berarti menempatkan
penyalahguna narkotika sebagai korban kejahatan narkotika.3
Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:
“Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pegobatan
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan, dan masa menjalani
rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa mejalani hukuman”.
Pada Pasal tersebut diatas dapat dikatakan bahwa rehabilitasi merupakan penjatuhan
pidana alternatif untuk pencadu narkotika, dengan maksud menjadikan pecandu terrbebas
dari ketergantungan narkotika, agar tidak melakukan tindak pidana yang sama di kemudian
hari.4
Berdasarkan Pasal 1 butir 16 Undang–Undang Narkotika
Menyebutkan bahwa:
“Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika”.
Pasal 1 butir 17 Undang–Undang Narkotika menyatakan bahwa:
“Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu,
baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat
melaksanakan kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan
masyarakat”.
Pasal tersebut diatas jelas bahwa terdapat dua jenis rehabilitasi bagi pecandu
narkotika, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, yang kedua rehabilitasi tersebut

3

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-gunanarkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia, Diakses pada tanggal 7 januari 2014, Pada pukul 8.00
WIB.
4
http://trulyhitosoro.blogspot.com/2008/07/pidana-alternatif-sebagai-pengganti.html, diakses pada
tanggal 7 januari 2014, Pada pukul 10.00 WIB.

12
merupakan sanksi tindakan (maatregel) dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan
memperbaiki si pembuat.5
Korban ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stephen
Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu: 6
a. Unrelated victims (korban yang tidak terkait), yaitu korban yang tidak ada hubungannya
sama sekali dengan pelaku dan menjadi korban karena memang potensial.
b. Provocative victims (korban provokatif), yaitu seseorang atau korban yang disebabkan
peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan.
c. Participating victims (korban berpartisipasi), yaitu seseorang tidak berbuat, akan tetapi
dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
d. Biologically weak victims (korban biologis lemah), yaitu mereka yang secara fisik memiliki
kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
e. Socially weak victims (korban yang secara sosial lemah), yaitu mereka yang memiliki
kedudukan sosial yang lemah menyebabkan ia menjadi korban.
f. Self victimizing victims (korban yang juga sebagai tumbal), yaitu mereka yang menjadi
korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
g. Political victims (korban politik), yaitu korban karena lawan politiknya sosiologis, korban
tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims”, karena pecandu narkotika
menderita sindroma ketergantungan (dependence) yang semula disebut adiksi dan habitasi
akibat dari penyalahguna narkotika yang dilakukanya sendiri. 7
Dalam menangani masalah rehabiilitasi, BNN mempunyai deputi yang khusus
menanganinya yaitu Deputi Bidang Rehabilitasi. Hal ini dapat kita lihat pada Pasal 20 ayat
(1) PP no 23 Tahun 2010 tentang BNN yang menyebutkan bahwa:

5

Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 182.
Stephen Schafer, Di kutip dalam buku Rena yulia, Viktimologi Perlindungan Terhadap Korban
Kejahatan, Graha ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 53-54.
7
“umarmo ma sum, Op.Cit hlm 57.
6

13
“Deputi Bidang Rehabilitasi adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan
fungsi dibidang rehabilitasi berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
kepala BNN”.
Kasus yang akan di bahas oleh peneliti dalam laporan kerja praktik kali ini adalah
kasus Bohdan Bitik yang tertangkap tangan oleh petugas BNN memiliki narkotika golongan
1 jenis ganja untuk pengunaan sendiri, Bohdan Bitik melalui pengacaranya mengajukan
permohonan kepada pihak BNN untuk dilakukan rehabilitasi, setelah diajukan permohonan
tersebut pihak BNN melakukan proses asesmen, dari hasil uji laboratorium rumah sakit yang
ditunjuk oleh BNN terbutki bahwa bohdan bitik adalah seorang pecandu berat narkotika
yang harus segera dilakukan proses rehabilitasi guna menghilangkan ketergantungan
terhadap narkotika, pihak BNN mengabulkan permohonan tersebut dan proses rehabilitasi
dilakukan bersamaan dengan jalannya proses penyidikan terhadap bohdan bitik (tersangka
penyalahguna).8
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang diterangkan dalam bentuk laporan dengan judul: “TINJAUAN HUKUM
TERHADAP

REHABILITASI

PENYALAHGUNAAN

NARKOBA

SEBAGAI

UPAYA

DIHUBUNGKAN

DENGAN

PENANGGULANGAN
UNDANG–UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA”.

B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan latarbelakang tersebut diatas, peneliti mengidentifikasikan masalah sebagai
berikut
1. Apakah penjatuhan pidana rehabilitasi dapat dijadikan sebagai sanksi pengganti dari
sanksi pidana penjara terhadap tindak pidana penyalahguna narkotika.?
2. Bagaimana peranan BNN dalam melakukan penanganan terhadap tidak pidana
penyalahgunaan narkotika.?

8

Berkas perkara, Pelaku Penyalahguna Narkotika, Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.

14

C. Maksud dan Tujuan penelitian
Adapun maksud dan tujuan penelitian di Badan Narkotika Nasional ini adalah untuk:
1. Mengetahui, memahami dan mengkaji apakah penjatuhan rehabilitasi dapat dijadikan
sebagai sanksi pengganti dari sanksi pidana terhadap tindak pidana penyalahgunaan
narkotika.
2. Mengetahui, memahami dan mengkaji tentang bagaimana peranan BNN dalam upaya
penanganan penyalahgunaan narkotika.

D. Manfaat kegiatan
Ada dua kegunaan yang diharapkan ditemukan dalam penelitian yaitu secara praktis dan
secara teoritis.
a. Secara teoritis
1. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat menambah wawasan hukum tentang narkotika
dan dapat mengembangkan teori hukum yang lebih luas tentang tindak pidana
narkotika.?
2. Bagi masyarakat, diharapkan masyarakat mengetahui mengenai bahaya narkotika dan
cara menanggulangi kejahatan narkotika.?
b. Secara praktis
1. Bagi Intansi, diharapkan Intansi yang terkait pada penegakan hukum mulai dari tahap
penyidikan sampai pada tahap peradilan lebih memahami tentang penerapan hukum
pada kasus narkotika, karena tindak pidana narkotika berbeda dari tindak pidana
secara umum.
2. Bagi pemerintah, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi
pembuat peraturan perundang-undangan dan praktisi hukum, dalam membuat

15
kebijakan baru dalam bidang hukum mengenai korban dan pelaku didalam tindak
pidana narkotika.

E. Jadwal Penelitian

NO
1

KEGIATAN

SEP
2013

OKT
2013

BULAN
NOV
2013

DES
2013

JAN
2014

*Jadwa

Persiapan dan Kerja
l
Praktek
peneliti

2

Persiapan Penulisan
an

ini

Laporan Kerja Praktek
sewakt
3

Pengumpulan Data

4

Bimbingan

5

Pengolahan Data

6

Analisis Data

7

Penyusunan Hasil
Kerja Praktek Ke
Dalam Bentuk Laporan

8

Sidang Komprehensif

9

Perbaikan

10

Penjilidan

11

Pengesahan

uwaktu
dapat
beruba
h
berdas
arkan
keperlu
an
peneliti
an*

BAB II
TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Tinjauan Teoritis Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif Dalam
Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika

1. Pidana dan pemidanaan
Penangulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan cara yang
paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai
older philosophy of crime control. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada
yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan ditanggulangi, dicegah atau
dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.9
Sanksi pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban kita di masa lalu (a
vestige of our savage past) yang seharusnya di hindari pendapat itu ternyata
berdasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau
pengenaan penderitaan yang kejam.10
Sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan
gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang
dipandang kejam dan melampaui batas kemanusiaan. Dikemukakan selanjutnya
bahwa gerakan pembaruan pidana di Eropa Kontinental dan di inggris terutama justru
merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. 11
Dasar pemikiran lainnya ialah adanya pemahaman determinisme yang
menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu
perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun
faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian, kejahatan sebenarnya

9

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm 149.
Ibid, hlm 150.
11
M.Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, 1978, hlm 86.

10

16

17
merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu
si pelaku kejahatan tidak dapat di persalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat
dikenakan pidana.12
Seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidak
normalan organi dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan
kepadanya, tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang
bertujuan untuk memperbaiki.13
Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat
mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan tokoh antara lain Lombroso,
Garofalo, Fern. Menurut Alf Ross pandangan iniah yang kemudian berlanjut pada
gerakan modern

the campaign against punishment (kampanye meniadakan

hukuman).14
Ide penghapusan pidana itu dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica,
seorang tokoh extrim dari aliran defense sosial, yang merupakan perkembangan lebih
dari aliran modern.
Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan
individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum
perlindungan

sosial

mensyaratkan

penghapusan

pertanggungjawaban

pidana

kesalahan dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial.
Jadi, pada prinsipnya ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak
pidana, penjahat dan pidana.15
Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum
pidana seperti dikemukakan di atas menurut Roeslan Saleh adalah keliru beliau

12

Muladi, Op.Cit, hlm 151.
Ibid, hlm, 151.
14
Alif Ros, On Guilt, Responsibility and Punisment, 1975, hlm 67dst.dan 101.
15
Marc Ancel, Social Defense, 1965, hlm 73-74.

13

18
mengemukakan tiga alasan mengenai masih perlunya pidana dan hukum pidana
adapun intinya adalah sebagai berikut:16
a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan- tujuan yang hendak
dicapai, tetapi terletak pada persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan
dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batasbatas kebebasan masing-masing.
b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama
sekali bagi seorang terhukum, dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas
pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu tidaklah dapat di
biarkan begitu saja.
c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada penjahat,
tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga negara
masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
Memperhatikan alasan diatas, maka Roeslan saleh tetap mempertahankan
adanya pidana dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan dari sudut
tujuan fungsi dan pengaruh dari hukum pidana itu sendiri. Istilah yang digunakan
beliau sendiri ialah masih adanya dasar asusila dari hukum pidana.17
Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 18
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari
reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk
didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.
c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan
kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi,
yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.
16

Reoeslan Saleh Di kutip dalam Buku Nawawi Arief, Pemidanaan dan Masalah-Masalah Hukum,
Sinar Baru, Bandung, 1974, hlm 14-16.
17
Muladi, Op.Cit, hlm 153
18
Sudarto, Kapita Selekta Hukum pidana, 1981, hlm 113-114

19
Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan definisi singkat, bahwa politik
kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi
kejahatan.19 Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai the
rational organization of the control of crime by society.Bertolak dari pengertian yang
dikemukakan Marc Ancel ini, G Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa Criminal
Policy is the rational organization of the sosial reaction to crime.20 Berbagai definisi
lainnya yang dikemukakan G. Peter Hoefnagels ialah:21
“Criminal policy is the science of responses; criminal policy is the
science of crime prevention;criminal policy is a policy of designating
human behavior as crime;Kriminal policy is a rational total of the
responses to crime”.
“Kebijakan Kriminal adalah ilmu pandangan terhadap kejahatan,
kebijakan Kriminal adalah ilmu pencegahan kejahatan, kebijakan
Kriminal adalah kebijakan menentukan perilaku manusia sebagai
kejahatan, kebijakan Kriminal adalah tolak ukur rasionalitas tanggapan
terhadap kejahatan”.
Kebijakan

atau

upaya

penanggulangan

kejahatan

pada

hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). dapat dikatakan bahwa
tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang
demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34
yang diselenggarakan oleh United Nations of Asia and Far East Institute for Prevention
of Crime and Treatment of Offenders (UNAFEI)di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut :22
“Most of group members agreed some discussion that “protection of
the society” could be accepted as the final goal of criminal policy,
although not the ultimate aim of society, which might perhaps be
described by terms like “happiness of citizens”, “a wholesome and
cultural living”, ”social welfare” or equality” .
“Kesejahteraan masyarakat dapat diterima sebagai tujuan akhir dari
kebijakan kriminal, meskipun tidak di jelaskan tentang tujuan utama
adalah kesejahteraan masyarakat, yang mungkin mungkin akan
19

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Semarang, 2011, hlm 3.
G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, 1969, hlm. 57.
21
Ibid, hlm 57.
22
Sumary Report, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, 1974, hlm 95.
20

20
dijelaskan
oleh
istilah-istilah
seperti
kesejahteraan sosial atau kesetaraan”

kebahagiaan

warga,

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa politik kriminal pada hakikatnya
juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk
mencapai kesejahteraan sosial).
Marc Ancel menyatakan, bahwa modern criminal

science terdiri dari tiga

komponen Crimonlogy, Criminal Law dan Penal Policy dikemukakan olehnya, bahwa
penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik
dan memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga pada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara
atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya:23
“Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan
studi mengenai tekhnik peraturan perundang-undangan di lain pihak,
ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan
menyelediki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang
rasional,dimana para sarjana dan praktisi, para ahli krimonologi dan
para sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang
berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang
terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan
suatu kebijakan pidana yang realistik, humanis dan berpikiran maju
(progresif) lagi sehat”
Dikemukakan oleh Marc Ancel, bahwa system hukum pidana abad XX masih
tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh
usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga dan oleh semua ahli
dibidang sosial.24
Perhatian kriminologi terhadap masalah kebijakan penangulangan kejahatan
dengan sanksi pidana terlihat pula dalam kongres-kongres internasional mengenai
krimonologi (International Congres on Criminology). Pada kongres ke 7 tahun 1973 di
Belgrad (Yugoslavia) antara lain dibicarakan mengenai the evaluation of criminal
policies system. Pada kongres ke 9 tahun 1983 di Wina (Austria) antra lain dibicarakan
23

Marc Ancel Di kutip dalam Buku Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Semarang,
2011, hlm 23.
24
Ibid, hlm 24.

21
topic mengenai Status and role of criminology and its institusional relations with public
policy and ractice dan topik the public policies proper to criminal justice system. Pada
Kongres ke 10 tahun 1988 di Hamburg (German) antara lain di bicarakan topic
mengenai crisis of penal suctions new perspectives. Dijelaskan dalam buku mengenai
sejarah/riwayat internasional mengenai kriminolog ialah memandang bahwa perspektif
baru yang diterima oleh para kriminolog ialah memandang the penal system as a basic
item of the criminological research.25
Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau belanda politiek
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana
dapat pula di sebut dengan istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan
berbagai istilah antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechts politiek.26
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut sudarto, Politik Hukum adalah:27
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu saat.
b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
apa yang di cita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.28 Dalam kesempatan ini beliau menyatakan, bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-

25

Internasional Annals of Criminology, 1988, hlm 68-69.
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm 26.
27
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar baru, Bandung, 1993, hlm 20.
28
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm 159.
26

22
undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi yang pada suatu waktu
dan untuk masa-masa yang akandatang.29
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum maka politik
hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian
terlihat pula dalam dalam definisi penal policy dari Marc Ancel yang menyebutkan
secara singkat bahwa suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian yang
dimaksud dengan peraturan hukum positif (the positif rules) dalam definisi Marc Ancel
itu jelas peraturan perundang-undangan hukum pidana. Degan demikian, istilah penal
policy menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum
pidana.

Menurut A Mulder, Strafrechts politiek (politik hukum) ialah garis kebijakan
untuk menentukan:30
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau di
perbaharui.
b. Apa yang dapat di perbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:31
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.
Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan
29

Ibid, hlm 93 dan 106.
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit, hlm 27.
31
Ibid, hlm 30.
30

23
masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum
pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus
pula dilakukandengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented
approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya
dalam bidang hukum pidana tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.
Pendekatan demikian terlihat pula misalnya, pada tulisan Satjipto Rahardjo
yang berjudul Pembangunan Hukum yang Diarahkan Kepada Tujuan Nasional.
Dikemukakan oleh oleh Satjipto Rahadrjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara
fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada
keputusan

politik

yang

diambil

dalam

kedua

masa

tersebut

dan

pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila keputusan
politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 agustus 1945 adalah mengutamakan
kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus
dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus
menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu. 32
Bertolak dari pendekatan kebijakan tersebut maka Sudarto berpendapat
bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang sering disebut
sebagai kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut;33
a. Pembangunan hukum pidana harus mmperhatikan tujuan pembangunan nasional,
yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil, spiritual
berdasarkan Pancasila sehubungan dengan ini maka (pengunaan) hukum pidana
bertujuan untuk menangulangi kejahatan dan mengadakan penguguran terhadap
tindakan penangulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.

32
33

Ibid, hlm 31.
Sudarto, Op.Cit, hlm, 44-48.

24
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat.
c. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil
(cost and benefit principle).
d. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitan atau kemampuan
daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai kelampauan
beban tugas (overbelasting).
Kesimpulan dari symposium pembaruan Hukum Pidana Nasional pada bulan
agustus 1980 di semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain: 34
”Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan
haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa
indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan
oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam
rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat”.
Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi laporan
symposium itu antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatu perbuatan itu
sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum seperti berikut:35

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan,
atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang dicapai, artinya
cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban
yang dipikul oleh korban pelaku, dan pelaku, kejahatan itu sendiri harus seimbang
dengan situasi tertib hukum yang dicapai.
c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang
yang nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.

34
35

Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, 1980 di semarang.
Barda Nawawi Arief, Loc.Cit hlm 32.

25
d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa,
sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Disamping criteria umum diatas, symposium memandang perlu pula untuk
memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu
perbuatan tertentu dengan melakukan penelitian, khusunya yang berhubungan
dengan kemajuan tekhnologi dan perubahan sosial.
Demikian pula menurut bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi
dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang
mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:36
a. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasilhasil yang ingin dicapai.
b. Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan
tujuan-tujuan yang dicari.
c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan
prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
dan
d. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminaslisasi yang berkenaan dengan
atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Selanjutnya dikemukakan bahwa problem dari pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta
tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya
nilai-nilai, kedalam membuat keputusan.
Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni
seharusnya di pertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan
sebagai alternatif dari pendekatan dengan nilai emosional (the emossionally laden
value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan
pula, bahwa perkembangan dari a policy oriented approach ini lamban datangnya,
36

Ibid, hlm 33.

26
kerena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya
antara lain, terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah
itu. Kelambanan yang demikian itu ditambah dengan proses kriminalisasi yang
berlangsung terus menerus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap
keseluruhan sistem, mengakibatkan timbulnya krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis
of overreach of the criminal law), yang pertama mengenai banyaknya atau
melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan
yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan
saksi yang efektif.37
Salah satu kesimpulan dari Seminar Kiminologi ketiga tahun 1976 di
Semarang antara lain, menyatakan hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai
salah satu sarana untuk social defence. Pemilihan pada konsepsi perlindungan
masyarakat inipun membawa konseksuensi pada pendekatan yang rasional, seperti
dikemukakan oleh Johannes Andeneas sebagai berikut:38
“Apabila orang mendasarkan hukum pidana pada konsepsi
perlindungan masyarakat/social defence, maka tugas selanjutnya
adalah mengembangkannya serasional mungkin. Hasil-hasil penelitian
ilmiah mengenai sebab-sebab kejahatan dan efektivitas dari
bermacam-macam sanksi”.
Pendapat yang dikemukakan oleh J. Andeneas di atas jelas terlihat, bahwa
pendekatan kebijakan yang rasional erat pula hubungannya dengan pendekatan
ekonomis. Pendekatan ekonomis tidak hanya dimaksudkan untuk mempertimbangkan
antara biaya atau beban yang ditanggung masyarakat (dengan dibuat dan
digunakannya hukum pidana) dengan hasil yang ingin dicapai, tetapi juga dalam arti
mempertimbangkan efektivitas dari saksi pidana itu sendiri. Sehubungan dengan hal
ini Ted Honderich berpendapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat

37
38

Ibid, hal 34.
Ibid, hal 35.

27
pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi

syarat-syarat

sebagai berikut:39
a. Pidana itu sungguh-sunggung mencegah.
b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan
daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan.
c. Tidak

ada

pidana

lain

yang

dapat

mencegah

secara

efektif

dengan

bahaya/kerugian yang lebih kecil.
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu
lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur nonpenal (bukan/di luar hukum
pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan
lewat

jalur

penal

lebih

menitikberatkan

pada

sifat

represif

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur
nonpenal

lebih

menitikberatkan

pada

(pencegahan/penangkalan/pengendalian)

sebelum

pada

sifat

kejahatan

terjadi.

preventif
Dikatakan

sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan repfresif pada hakikatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.40
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur nonpenal lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor
kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial
yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro
dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari
keseluruhan upaya politik kriminal. Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan, ditegaskan pula dalam

39
40

Ted Honderich, Punisment, 1971, hlm 59.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, 1981, hlm 118.

28
berbagai kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders sebagai berikut:41
a. Pada kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara lain dinyatakan
di dalam pertimbangan reseolusi mengenai Crime tends and crime prevention
strategis.
1) The crime problem impedes progress toward the attain ment of an acceptable
quality of life for all people.
(Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas
lingkungan hidup yang layak atau pantas bagi semua orang).
2) Crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and
conditions giving rise to crime (Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus
didasarkan

pada

penghapusan

sebab-sebab

dan

kodisi-kondisi

yang

menimbulkan kejahatan).
3) The main causes of crime in many countries are social inequality, racia and
national discrimination, low standard of living, unemployment and ilitiracy among
broad sections of the population.
(Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan
sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah,
pengangguran dan kebutahurupan (kebodohan) diantara golongan besar
penduduk).
Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu
dinyatakan antara lain:
“Call upon all states members of the United Nation to take every
measure in their power to eliminate the conditions of life which detract
from human dignity and lead to crime, including unemployment,
poventry, literacy, racial and national discrimination and various from
social inequality
(Menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam
kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang
menurunkan martabat kemanusiaan dan meyebabkan kejahatan, yang
meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurupan
(kebodohan), diskriminasi rasial dan nasional serta bermacam-macam
bentuk dari ketimpangan sosial)”.
41

Sixth United Nations Congres, Report, 1981, hlm 5.

29
.
b. Pada kongres PBB ke 7 tahun 1985 di Milan, italia, antara lain di tegaskan di dalam
dokumen A/CONF.121/L/9 (mengenai crime prevention in the context of
development).42
“Bahwa upaya pengahapusan sebab-sebab dan kondisi yang
menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan
kejahatan yang mendasar (the basic crime prevention strategies).
Selanjutnya di dalam pertimbangan resolusi no 22 mengenai crime
prevention in the context of developmentantara lain di tegaskan,
bahwa:
“The basic crime prevention must seek to eliminate the causes and
conditions that favour crime”.
(Dasar pencegahan kejahatan harus berusaha untuk menghilangkan
penyebab dan kondisi yang mendukung kejahatan)".
Demikian pula dalam Guiding Principle yang di hasilkan kongres ke 7 di
tegaskan antara lain, bahwa:43
“policies for crime prevention and criminal justice should take into
account the structuran causes, including secio-economic causes of
injustice, of which criminality is often but a symptom”.
(Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural termasuk
sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio ekonomi dimana
kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom).
c. Pada kongres PBB ke 8 tahun 1990 di Havana, cuba, antara lain ditegaskan di
dalam dokumen A/CONF.144/L.17 (mengenai Social aspects of crime prevention
and criminal justice in the context of development):44
“the social aspects of development are an important factor in the
achievement of the objectives of the strategy for crime prevention and
42

Seventh UN Congres, Report, 1986, hlm 94.
Ibid, hlm 8.
44
Dokumen Seventh UN Congres A/CONF>144/L.17, hlm.2

43

30
criminal justice in the context of development and should be given higher
priority”.
(Bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting
dalam pencapaian sasaran strategi pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana dalam konteks pembangunan dan harus diberikan prioritas paling
utama).
Beberapa aspek sosial yang oleh kongres ke 8 diidentifikasi sebagai faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khusunya dalam masalah Urban Crime),
antara lain disebutkan didalam dokumen A/CONF.144/L3 sebagai berikut: 45
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurupan (kebodohan), ketiandaan/ kekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/tidak
serasi.
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena
proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan
sosial.
c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.
d. Keadaan-keadaan/kondisi yang men

Dokumen yang terkait

PENULISAN HUKUM PEMBUKTIAN UNSUR TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN ZAT NARKOTIKA DAN AKIBAT HUKUMNYA (Tinjauan Yuridis terhadap Penyalahgunaan Zat Narkotika Menurut Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)

0 4 31

Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 13 114

PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP ANAK PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA SEBAGAI REALISASI PASAL 54 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

0 4 67

Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 20 140

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN CARA REHABILITASI MENURUT UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009

0 2 113

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PASAL 56 UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG PROGRAM REHABILITASI PENGGUNA NARKOTIKA DI YOGYAKARTA.

0 3 17

KEWENANGAN BADAN NARKOTIKA KOTA (BNK) KOTA PADANG DALAM PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG).

0 0 19

PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA TANPA DILAKUKAN REHABILITASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009.

0 0 1

TINJAUAN YURIDIS KRIMINOLOGIS PENERAPAN REHABILITASI TERHADAP TERJADINYA PENGULANGAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DAN SURAT E.

0 0 2

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92