Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di dunia Internasional, perkembangan konvensi pengaturan masalah narkotika secara Internasional telah dimulai dari The Haque Convention atau yang lebih dikenal dengan sebutan Konvensi Candu 1912. Selanjutnya, telah muncul berbagai konvensi yang mengatur masalah narkotika seperti Konvensi Jenewa tahun 1925 atau

The International Opium Convention of 1925, The 1936 Convention of the Suppression of

the Illicit Traffic in Dangerous Drugs, The Single Convention on Narcotic Drugs 1961,

the Psychotropic Substances Convention 1971, Convention Againts Illict Traffic in

Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988. Perkembangan konvensi-konvensi

Internasional tentang narkotika tersebut, apabila dilihat lebih jauh membawa implikasi adanya perubahan, baik yang mengatur masalah tujuan, maupun lingkup masalah obat-obatan berbahaya. Aturan-aturan ini patutnya disepakati menjadi kebiasaan Internasional sehingga dipatuhi oleh semua negara untuk kepentingan bangsa-bangsa yang beradab. Sebagai suatu perangkat hukum Internasional, konvensi tersebut mengatur kerjasama Internasional dalam pengendalian dan pengawasan produksi, peredaran dan penggunaan narkotika, serta pemberantasan penyalahgunaannya yang dibatasi penggunaanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Salah satu Konvensi Internasional yaitu Convention Againts Illict Traffic in

Narcotic Drugs an Psycotropic Substances 1988 menyatakan “Deeply concerned by the


(2)

2 narcotic drugs and psychotropic substances, which pose a serious threat to the health and welfare of human beings and adversely affect the economic, cultural and political

foundations of society”.

Terjemahan bebas penulis, bahwa Sangat memperihatinkan dengan besar dan tren kenaikan dalam produksi gelap, permintaan dan lalu lintas narkotika dan psikotropika, yang menimbulkan ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan mempengaruhi dasar-dasar ekonomi, budaya dan politik masyarakat.

Perkembangan penting dari konvensi-konvensi tersebut adalah adanya paradigma dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang sebelumnya hanya sebagai pengatur ataupun dalam pengawasan masalah narkotika, menjadi suatu langkah konkrit dan hendak menunjukkan serta mempertegas perlunya tindakan konkrit dalam masalah penanganan narkotika. Tindakan-tindakan PBB antara lain ditunjukan dengan melakukan perubahan-perubahan badan internasional yang menangani masalah narkotika.

Perkembangan kualitas tindak pidana atau kejahatan, menunjukkan bahwa batas – batas territorial antara salah satu Negara dengan Negara lain di dunia, baik dalam satu kawasan maupun berbeda kawasan sudah semakin menghilang, beberapa tindak pidana yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional, adapun beberapa diantaranya adalah agresi (aggression), kejahatan perang

(war crime), pembasmian etnis tertentu (genocide), pembajakan (piracy), penculikan

(kidnapping) dan narkotika (narcotic crime).1

1

Anonim, Aspek Sosiologis dan Yuridis tentang Narkotika, Kanwil dep.Hukum dan HAM, Jakarta, hal. 1


(3)

3 Perkembangan modernisasi sosial ekonomi dan peradaban terbukti dapat membawa kepada kondisi yang kurang menentu seperti adanya persaingan hidup yang lebih ketat, hilangnya norma-norma ikatan keluarga, menipisnya kepercayaan agama, adanya benturan-benturan sosial merupakan kesulitan zaman yang memberikan peluang tumbuhnya kecondongan penyalahgunaan obat (narkotika, psikotropika dan alkohol), Masalah penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang menjadi keprihatinan secara nasional dan internasional di samping masalah HIV/AIDS, kekerasan(violence), kemiskinan, pencemaran lingkungan, pemanasan global dan kelangkaan pangan, yang dianggap sebagai penyakit-penyakit yang menjadi beban dunia.2

Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Cita-cita bangsa Indonesia telah tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke–4 yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat diisi dengan melakukan pembangunan guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

Untuk mewujudkan cita–cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan generasi mudanya pastilah banyak tantangan yang mesti dilalui. Tantangan–tantangan tersebut timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang mulai masuk ke Negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat menyaring budaya–budaya yang masuk tersebut. Pada kenyataannya terdapat beberapa

2

Badan Narkotika Nasional, 2010,Himpunan Hasil Penelitian Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika Tahun 2009, Jakarta, hal. 111


(4)

4 budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya minuman beralkohol dan penggunaan obat–obatan terlarang seperti narkotika.

Salah satu penyebab rusaknya generasi muda adalah dengan adanya penyalahgunaan terhadap narkotika. Narkotika berdasarkan Americana Ensyclopedia No. 19, halaman 705 : “narcotic = a drug that dulls the senses, relieves pains, induces sleep

and can produse addiction in varying degree (suatu obat, bahan zat yang merupakan

merusak pikiran, menghilangkan rasa sakit, menyebabkan tertidur dan dapat menimbulkan kecanduan dalam berbagai tingkat)”3

.

Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika digunakan untuk hal – hal yang negatif. Di dunia kedokteran, narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat kandungan di dalam narkotika terdapat zat yang mempengaruhi perasaan, pikiran serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, dengan dosis yang tepat, narkotika dapat sebagai obat penenang karena menimbulkan pengaruh pada susunan sentral syaraf yang membuat perasaan lebih tenang. Selain itu narkotika juga dapat menghalau kegelisahan dan kecemasan. Sehingga narkotika memiliki manfaat sebagai pengobatan, penelitian ilmu pengetahuan, terapi, serta pengobatan medis. Akan tetapi pemakaian narkotika secara tidak wajar dan berlebih dapat merusak hidup seseorang karena dapat menimbulkan lemah baik jasmani maupun rohani, merusak mental dan moral, menimbulkan efek ketergantungan dan bila tidak

3

Algin Moenthe, tanpa tahun, Narkotika Alkohol Dan Masalahnya, CV. Taringan Bukit Mulya Jakarta, hal.57


(5)

5 diobati dapat membahayakan jiwa orang tersebut karena dapat menyebabkan kematian. Serta dalam lingkungan masyarakat dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum, gangguan dalam pembinaan masa depan bangsa yang baik, merusak dan merugikan dalam bidang sosial dan budaya perekonomian, serta merongrong ketahanan nasional.

Narkotika bersifat adiktif, yakni menimbulkan ketagihan serta ketergantungan. Penggunanya cenderung akan menambahkan dosis pemakaian secara terus menerus yang berakhirnya dengan kematian akibat over dosis. Menurut sifatnya narkotika dibedakan menjadi berikut:

a. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas

fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan kematian. Jenis narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw.

b. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta

kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi.

c. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau

mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti

mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada juga

yang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.4

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai muncul sejak tahun 1969 dengan jenis yang pertama kali banyak disalahgunakan adalah morphine dan ganja. Dari tahun ke tahun jenis narkotika yang disalahgunakan semakin banyak, hal ini terlihat

4

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, C.V. Mandar Maju, Bandung, hal. 28


(6)

6 pada data perkembangan peredaran narkotika dan jenis zat atau obat yang banyak beredar di pasaran :

1. Tahun 1969 – 1973 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine dan ganja.

2. Tahun 1973 – 1976 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah morphine, ganja,

barbitut, dan beberapa jenis obat tidur lainnya (sedativa/ hipnotika).

3. Tahun 1976 – 1979 : Jenis yang paling banyak disalahgunakan adalah ganja,

barbitut, dan jenis sedativa/ hipnotika. Sedangkan pemakaian morphine

menurun.

4. Tahun 1979 – 1985 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika lainnya, dan minuman keras (alcohol). Pemakaian morphine mulai meningkat dan heroin (putaw) mulai masuk ke pasaran gelap narkotika. 5. Tahun 1985 – 1990 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut,

jenis hipnotika lainnya, minuman keras (alcohol), pethidin, morphine danheroin (putaw).

6. Tahun 1990 – 1995 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika lainnya, minuman keras (alcohol), pethidin, morphine danheroin

(putaw). Kokain, amphetamine, serta turunannya (ecstacy, shabu- shabu) mulai

masuk kepasaran gelap narkotika.

7. Tahun 1995 – 2000 : Jenis yang banyak disalahgunakan adalah ganja, barbitut, jenis hipnotika golongan psikotropika, minuman keras (alcohol), pethidin,

morphine, heroin(putaw), kokain, amphetamine, serta turunannya (ecstacy,

shabu-shabu).5

Indonesia merupakan salah satu negara peserta penandatanganan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi 1988. Keikutsertaannya dalam pengaturan narkotika secara Internasional ini merupakan perwujudan suatu kehendak sebagai negara merdeka, serta ikut menjaga ketertiban dunia. Disamping itu, langkah yang dilakukan Indonesia merupakan “political will” pemerintah, khususnya dalam masalah penanggulangan

5Revolusi Cinta, 2008, “Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia”, available from :

URL : http://revolusicinta.wordpress.com/2008/02/18/perkembangan-penyalahgunaan-narkotika-di-indonesia/.htm, diakses tanggal 31 Januari 2011.


(7)

7 narkotika baik di dalam negeri maupun dalam percaturan internasional. Langkah Pemerintah Indonesia tersebut apabila dihubungkan dengan posisi Indonesia sebagai daerah yang rawan dijadikan tempat transit narkotika sangatlah beralasan.

Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 Convention

Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 dan Konvensi

Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Kedua konvensi tersebut membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerja sama penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba baik secara bilateral maupun multilateral. Kasus penyalahgunaan narkoba meningkat dengan cepat di Indonesia, meskipun pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya, penyalahgunaan narkoba terlihat begitu sulit diberantas. Kemudian tahun 1997 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika, dan pada tahun 2009 Pemerintah kembali mengeluarkan Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat, peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, serta melakukan pencegahan dan pemberantasan


(8)

8 bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Sehingga diharapkan Undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan psikotropika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan psikotropika. Peredarannya harus diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan :

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika;dan

d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.

Pengawasan terhadap peredaran narkotika dilakukan secara ketat karena saat ini pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang bersifat negatif. Disamping itu, melalui perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, daerah yang sebelumnya tidak tersentuh oleh peredaran narkotika lambat laun akan berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini dapat berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepas ketergantungannya.6 Sehingga diharapkan undang-undang tersebut dapat berjalan lebih efektif guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dan psikotropika, termasuk

6

Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 100


(9)

9 untuk menghindarkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai tempat transit maupun sasaran peredaran gelap narkoba dan psikotropika.

Dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkotika sangat mengkhawatirkan dunia. Menurut penelitian Badan Narkotika Nasional bersama Puslitkes UI, mencatat:

Kerugian biaya ekonomi dan sosial akibat narkotika di Amerika Serikat mencapai $181 milyar (UNDCP, 2004), sedangkan di Canada $8,2 milyar pada tahun 2002 (Rehm, 2006). Di Australia kerugian mencapai sekitar $8,190 juta pada tahun 2004/2005 (Collins, 2008). Perbandingan kerugian biaya narkotika terhadap gross domestic product (GDP) di Amerika Serikat sebesar 1,7%, Canada 0,98%, Australia 0,88% dan Perancis 0,16% (UNDCP, 2004). Di Indonesia, kerugian diperkirakan Rp.23,6 trilyun atau $2,6 milyar pada tahun 2004 (BNN & Puslitkes UI, 2005). Di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir penyalahgunaan narkotika meningkat pesat, baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Hasil sitaan barang bukti, misalkan ekstasi meningkat dari 90.523 butir (2001) menjadi 1,3 juta butir (2006), Sabu dari 48,8 kg (2001) menjadi 1.241,2 kg (2006). Jumlah tersangka meningkat dari 4.924 orang tahun 2001 menjadi 31.635 orang tahun 2006 (Mabes Polri, 2007). Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari masalah narkotika yang jauh lebih besar7.

Fenomena penyalahgunaan obat merupakan masalah yang cukup kompleks dan rumit seperti benang kusut, dari bagian mana yang akan ditarik untuk dapat diluruskan, walau dunia telah bersatu padu mengatasi persoalan yang belum terpecahkan dan bahkan meluas itu.

Angka kejadian atau jumlah kasus tindak pidana narkotika meningkat secara cepat menjadi 6 kali lipat untuk wilayah Jakarta dalam kurun waktu 1993 sampai 1999. Kasus narkoba memang seperti fenomena gunung es yang mencuat diatas permukaan laut

7 Sumarmo Ma‟sum,

1987, Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat, CV. Haji Masagung, Jakarta, hal. 2.


(10)

10 sehingga yang terlihat hanya bagian puncaknya sedangkan bagian terbesar dibawahnya tidak tampak. Angka kekambuhan dari pecandu yang pernah dirawat pada berbagai pusat terapi dan rehabilitasi di Jakarta mencapai 60-80%2. Angka kematian yang disebabkan oleh narkoba pun semakin meningkat. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan setiap harinya di Jakarta 2-3 orang meninggal per hari karena penyalahgunaan narkoba. Bahaya penyakit menular Hepatitis B/C dan HIV/AIDS juga meningkat. 80% pengguna narkoba dengan jarum suntik dipastikan menderita penyakit Hepatitis B/C dan 40-50% tertular HIV/AIDS. Penyebabnya adalah jarum suntik yang tidak steril dan digunakan secara bergantian. Penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah sampai pada titik yang menghawatirkan. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus narkoba meningkat dari sebanyak 3. 478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401 pada tahun 2004, atau meningkat 28,9% pertahun. Jumlah angka tindak tindak pidana narkoba pun meningkat dari 4.955 pada tahun 2000 menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004. Data terbaru sampai juni 2005 saja menunjukkan kasus itu meningkat tajam.3 Sekarang ini terdapat sekitar 3,2 juta pengguna narkoba di Indonesia, secara nasional dari total 111.000 tahanan, 30% karena kasus narkoba, perkara narkoba telah menembus batas gender, kelas ekonomi bahkan usia.4 Dari gambaran di atas penyalahgunaan dan tindak pidana narkoba telah berada pada tingkat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi keamanan nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.


(11)

11 Dengan demikian narkoba dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual. Bahaya pemakaian narkoba sangat besar pengaruhnya terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkoba secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, sehingga negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan nasional merosot. Sangat beralasan jika kemudian peredaran narkoba harus segera dicarikan solusi yang rasional untuk suatu pemecahannya, karena sudah jelas tindak pidana narkoba merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat. Selain itu, tindak pidana narkoba pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia. Terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba dan penyalah guna narkoba sudah banyak yang dimejahijaukan. Bagi para pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan penuntut umum, hakim/pengadilan sudah menjatuhkan pidana. Strafmaat yang sudah dijatuhkan pengadilan berada dalam kisaran pidana penjara di bawah 1 (satu) tahun hingga pidana mati.

Meski kebijakan kriminal - melalui jalur penalnya sudah dijalankan, facta notoir menunjukkan, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba masih juga ada, bahkan kurvanya meningkat. Tak pelak, beberapa komentar sumbang disasarkan ke lembaga pengadilan. Antara lain, pengadilan dianggap tidak mendukung dan tidak memberi kontribusi yang signifikan untuk program pemberantasan kejahatan narkoba.8

8

Andi. BNN-Hukuman Mati Penting untuk Selamatkan Generasi Muda, available from : URL: http//www.Suara Islam Online.com,diakses tanggal 16 Desember 2009.


(12)

12 Penyalahgunaan Narkotika Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan meningkat, bahkan sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Indonesia bukan hanya menjadi adresat peredaran narkoba, tetapi sudah menjadi tempat produksi narkoba. Dikatakan, Indonesia sebagai “pasar narkoba”, karena eksisnya kegiatan “supply & demand”. Penggunanya pun melebar, bukan hanya dari kalangan keluarga broken home -sebagai sarana untuk “eksodus” dari masalah keluarganya, tetapi sudah merambah pada keluarga yang harmonis dan berstatus sosial - sebagai bagian suatu “hiburan”.Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung dengan jaringan organisasi yang luas yang mengancam Indonesia terutama pada kota–kota besar dan metropolitan yang sangat keras terkena imbas globalisasi. Terlebih lagi pemberitaan akhir-akhir ini, terkait dengan penyalahgunaan narkotika secara beruntun membuat masyarakat prihatin, kejadian tabrakan maut xenia yang mengakibatkan Sembilan orang meninggal, tertangkapnya pilot yang menkomsumsi shabu-shabu, serta aparat kepolisian yang juga sebagai pengguna narkoba ditambah lagi dengan publikasi penangkapan-penangkapan terhadap pengguna/pengedar narkotika.9 Ada beberapa alasan mengapa bangsa Indonesia harus serius dalam melakukan pemberantasan tindak pidana narkotika yang semakin memprihatinkan, adapun alasannya sebagai berikut :

1. Pemerintah Indonesia belum optimal dalam menanggulangi kasus – kasus penyalagunaan dan peredaran gelap narkotika. Hal ini mengisyaratkan kepada kita untuk lebih peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulanginya.

9


(13)

13 Salah satu Provinsi di Indonesia yang rentan dengan peredaran narkotika adalah Provinsi Bali. Bali yang terkenal dengan sebutan the last paradise in the world dan the

morning of the world itu dalam perkembangannya, menjadi daerah yang sangat terbuka

bagi transaksi dan peredaran berbagai jenis benda haram10. Pada awal tahun 1960 di Indonesia terutama di Bali dan Jakarta telah ditemukan penggunaan narkotika di masyarakat dalam jumlah yang kecil, namun seiring dengan perkembangannya, pada awal tahun 1970 penggunaan narkotika kian menyebar ke seluruh pelosok negeri. 11

Beberapa daerah yang terdapat di Bali yang sangat rentan dengan peredaran narkotika adalah Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar.

Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung merupakan daerah yang rentan dengan peredaran narkotika karena merupakan tempat berkumpulnya komunitas turis-turis, untuk tinggal menetap, mencari pekerjaan atau sebagai tujuan obyek wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Sehingga banyak terdapat turis–turis yang saling berinteraksi dengan penduduk lokal yang dapat menumbuhkan pertukaran kebudayaan secara besar–besaran. Dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang ke Kotamadya Denpasar dan Kabupaten Badung turut menimbulkan perkembangan infrastruktur penunjang lainnya yaitu, hotel dan tempat-tempat hiburan malam seperti diskotik, club, cafe, dan bar. Hal ini terlihat dari jumlah peningkatan hotel dan tempat-tempat hiburan malam dimana terdapat peningkatan pertumbuhan hotel sebesar 11,53%

10

O.C Kaligis, dan Soedjono Dirdjosisworo, 2006, Narkotika Dan Peradilannya di Indonesia, O. C. Kaligis & Assosiatr, Jakarta, hal282

11


(14)

14 (sebelas koma lima puluh tiga persen) dari tahun sebelumnya (2009),dengan perhitungan telah terdapat 147 hotel berbintang di Bali. Sebagian besar hotel berbintang dan sarana akomodasi itu tersebar di Kabupaten Badung, Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar. Selama tahun 2010 sebanyak 2.066.715 wisatawan baik wisatawan asing maupun domestik yang menginap di hotel-hotel tersebut12.

Menjamurnya tempat-tempat hiburan malam memiliki suatu paradigma antagonis yaitu selain memiliki dampak positif yaitu memberikan lapangan pekerjaan, sebagai sumber pendapatan daerah dan menunjang pengembangan daerah metropolitan, juga memiliki dampak negatif yaitu sebagai tempat untuk mengadakan transaksi narkotika yang dikarenakan menurut para pengelola tempat hiburan, narkotika justru merupakan faktor yang mendatangkan keuntungan usahanya dengan mengesampingkan tanggung jawab menyelamatkan generasi muda, komitmen para pengelola hiburan malam hanya pada hal-hal yang bersifat simbolik belaka13.

Dengan adanya tempat hiburan malam yang menjamur, memungkinkan tingkat transaksi narkotika menjadi semakin tinggi. Karena pada umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu :

1. Bagi para pengedar menjanjikan keuntungan yang besar sedangkan bagi pemakai menjanjikan ketentraman dan ketenangan hidup, sehingga beban psikis yang dialami dapat dihilangkan.

12 Soegeng Sarjadi, 2010 “Map of Local Economy Potency” available from : URL :

http://www.cps-sss.org/web/home/propinsi/prop/Bali diakses tanggal 7 Februari 2011

13

Siswanto Sunarso, 2005, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal12.


(15)

15 2. Janji yang diberikan oleh penggunaan narkotika tersebut menyebabkan rasa takut terhadap resiko tertangkap menjadi berkurang, dan sebaliknya akan menimbulkan keberanian.14

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah saat ini belumlah dapat membawa perubahan yang signifikan, karena kasus-kasus tindak pidana narkotika semakin meningkat, menurut data Badan Narkotika Nasional 15diterbitkan pada tahun 2009, bahwa:

Pada tahun 2005 terdapat 16.252 kasus (Narkotika 8.171, Psikotropika 6.733, dan Zat adiktif 1.348), pada tahun 2006 terdapat 17.355 kasus (Narkotika 9.422, Psikotropika 5.658, dan Zat Adiktif 2.275), pada tahun 2007 terjadi peningkatan hingga 22.630 kasus (Narkotika 11.380, Psikotropika 9.289, dan Zat adiktif 1.961), pada tahun 2008 juga terdapat peningkatan menjadi 29.364 kasus (Narkotika 10.008, Psikotropika 9.783, Zat adiktif 9.573) dan pada tahun 2009 masih terjadi peningkatan hingga 30.668 kasus (Narkotika 11.132, Psikotropika 8.732, dan Zat adiktif 10.804).

Tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika dikualifikasikan menjadi beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkotika. Jika berbicara tentang pengedar narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang pemakai narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai pemakai narkotika. Hukum positif menyatakan, pemakai narkotika adalah

14

Moh.Taufik Makaro,dkk, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta hal.6

15


(16)

16 pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang narkotika.16

Tindak pidana narkotika seperti penyalahgunaan narkotika dalam kajian kriminologi dapat digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban atau victimless crime. Penggolongan ini merujuk kepada sifat kejahatan tersebut yaitu adanya dua pihak yang melakukan transaksi atau hubungan (yang dilarang) namun keduanya merasa tidak menderita kerugian atas pihak lain17. Pengguna narkotika sesungguhnya merupakan korban dari tindak pidana narkotika, namun pengguna tersebut tidak merasa sebagai korban, karena dia secara sengaja dengan kehendaknya sendiri untuk menggunakan narkotika tersebut, baik itu karena anjuran teman, maupun rasa ingin coba-coba.

Narkoba memang menjadi sesuatu yang “menjanjikan”. Kepada produsen dan pengedarnya, ia berhasil menjanjikan keutungan yang besar dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kepada penggunanya, ia juga mampu menjanjikan “kenikmatan”. Pengguna narkotika dapat dimasukkan sebagai korban dari penyalahgunaan narkotika. Hal ini dikarenakan mereka akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram (narkotika) tersebut. Penyalahgunaan narkotika selain berbahaya terhadap diri si pemakai itu sendiri juga berbahaya terhadap lingkungan masyarakat, dimana agar dapat memenuhi hasratnya mendapatkan narkotika, maka si pemakai narkotika tentu saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi orang–orang yang tidak berpenghasilan cukup maka dia akan berupaya untuk mencuri, merampok serta melakukan berbagai tindakan

16

Tommy, Korban TIndak Pidana Narkotika,2011 available from : URL :

http://www.facebook.com/topic.php?uid=341355375076&topic=11176 diakses tanggal 26 Januari 2011

17


(17)

17 kriminal lainnya18. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, diperlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahahatan.

Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasikan menurut keadaan dan status korban, maka dapat dibedakan menjadi 6 (enam),yaitu :

a. Unrelated victims, yaitu korban yang sama sekali tidak ada hubungannya

dengan pelaku.

b. Provocative victims, yaitu seorang yang secara aktif mendorong dirinya

menjadi korban.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi

dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang

lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

f. Self victizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan

yang dilakukannya sendiri.19

Pecandu narkotika merupakan Self victizing victims karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan narkotika akibat dari penyalagunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.

Bahaya akibat penyalahgunaan narkotika tersebut terhadap diri si pemakai secara umum menimbulkan pengaruh dan efek–efek terhadap tubuh sipemakai dengan gejala– gejala sebagai berikut :

18

Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal. 14

19

Moh Taufik Makarao,Suhasril, dan Moh Zakky A.S., 2003 Tindak Pidana Narkotika, Galia Indonesia, Jakarta, hal.49


(18)

18

a. Europhoria, yaitu suatu keadaan rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai

dengan kondisi si pemakai.

b. Dellirium, yaitu suatu keadaaan dimana pemakai narkotika mengalami

penurunan kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang mengganggu daya gerak anggota tubuh si pemakai.

c. Halusinasi, yaitu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami “khayalan” seperti melihat atau mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada.

d. Weakness, yaitu keadaan dimana tubuh si pemakai narkotika baik secara

psikis maupun fisik mengalami kelelahan.

e. Drowsines, yaitu keadaan seperti orang mabuk dimana terjadinya penurunan

daya ingat dan timbulnya kantuk yang berlebih pada pemakai narkotika tersebut.

f. Coma, yaitu suatu keadaan dimana si pemakai narkotika sampai pada puncak penurunan kondisi baik fisik maupun psikis yang pada akhirnya dapat menimbulkan kematian.20

Cara yang dianggap tepat untuk menyembuhkan ketergantungan tersebut adalah dengan melakukan rehabilitasi terhadap para korban penyalahgunaan narkotika. Karena rehabilitasi dapat melepaskan ketergantungan narkotika sampai dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika21.

Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan korban pengguna narkotika dari ketergantungan. Karena pengertian dari rehabilitasi adalah usaha untuk memulihkan untuk menjadikan pecandu ketergantungan nakotika dan hidup normal sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali keterampilannya, pengetahuannya, kepandaiannya, pergaulannya dalam lingkungan

20

Putri Handani Duarsa, 2005, Kebijakan Kriminalisasi dan Penalisasi dalam UU No.22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika (thesis), Universitas Udayana, Denpasar

21

Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan menanggulangi Penyalahgunaan Narkotika, Balai Pustaka, Jakarta, hal.87.


(19)

19 hidup atau dengan keluarganya yang disebut juga resosialisasi22. Rehabilitasi terhadap pengguna narkotika tersebut adalah merupakan serangkaian upaya yang terkoordinasi dan terpadu, terdiri atas upaya-upaya medik, bimbingan mental, psikososial, keagamaan, pendidikan dan latihan vokasional untuk meningkatkan kemampuan penyesuaian diri, kemandirian dan menolong diri sendiri serta mencapai kemampuan fungsional sesuai dengan potensi yang dimiliki, baik fisik, mental, sosial dan ekonomi. Pada akhirnya mereka diharapkan dapat mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika dan kembali berinteraksi dengan masyarakat secara wajar23.

Fungsi sanksi pidana dalam hukum pidana tidaklah semata-mata menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi keberadaan sanksi tersebut harus juga mendidik dan memperbaiki pelaku24. Pidana itu pada hakekatnya merupakan nestapa, namun pemidanan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia25. Landasan pemikiran pembaharuan bukan hanya menitikberatkan terhadap kepentingan masyarakat, tetapi juga perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

Gendering perang dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah dilakukan dengan berbagai cara, baik yang berupa preemtif sampai represif, dengan menggunakan

22

Algin Moenthe, Op.cit, hal.66

23 M. Tavip, 2010, “Pelaksanaan Therapeutic Community Dan Rehabilitasi Terpadu Bagi

Narapidana Narkotika Dan Psikotropika Di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Medan Dihubungkan Dengan Tujuan Sistem Pemasyarakatan”, available from : URL : http://www.ma-ri.go.id/info/lapas/rehabilitasi, diakses tanggal 2 Februari 2011

24

M.Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1 (selanjutnya disebut Solehuddin I)

25

Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3


(20)

20 seluruh elemen masyarakat, dan dengan revisi regulasi. UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak lagi dapat mencegah secara efektif tindak pidana narkotika yang semakin lama semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif, serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Secara substansial, perubahan yang signifikan pada UU N0.35 tahun 2009 dibandingkan dengan UU terdahulu, adalah pada penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.

Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang untuk menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika terutama di kalangan remaja yang membahayakan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan tujuan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut maka dalam Undang– undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab IX yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban penyalahgunaan narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan.

Kepala Badan Narkotika Nasional, Gories Mere menyatakan, bahwa :

Pada Undang-undang Narkotika yang baru ini, antara lain menerapkan pidana yang berat bahkan pidana mati bagi pengedar, pengimpor, dan produsen narkotika, dibentuknya BNN sebagai Lembaga Pemerintahan Non Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari pusat sampai provinsi dan kabupaten/kota, adanya pengaturan putusan/penetapan hakim


(21)

21 memberikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, Undang-Undang ini telah memperkuat bidang pemberantasan/penegakan hukum dengan memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan kepada BNN disamping penyidik POLRI, berwenang melakukan perampasan barang bukti yang digunakan untuk kepentingan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika, perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika26.

Pada tahun 2009 Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat edaran (SEMA RI no 7/2009) yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi dan yang terbaru adalah dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009.

Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan tersebut, maka hukuman yang sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur dalam Pasal 54, dan Pasal 103 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta diatur juga dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi, serta SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Pasal 54 dan Pasal 103 menyatakan bahwa :

26


(22)

22 Pasal 54

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 103

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :

a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitunngkan sebagai masa menjalani hukuman.

Rehabilitasi berdasarkan Pasal 54 Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengertian dari rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial tertuang dalam Pasal 1 angka 16 dan angka 17 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dimana disebutkan rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika dan Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dapat dilakukan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat

Kemudian di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 menghimbau bagi para hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk menerapkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang


(23)

23 Narkotika yang berisikan mengenai tindakan rehabilitasi yang diperintahkan untuk dijalani oleh pecandu narkotika. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkoba termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.

Penggunaan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara atau pidana kurungan. Penjatuhan rehabilitasi ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang menyatakan bahwa mereka sebagai tahanan kasus narkotika sesungguhnya orang yang sakit sehingga tindakan rehabilitasi hendaknya lebih tepat dijatuhkan dan kondisi LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) yang tidak mendukung dikhawatirkan malah mengakibatkan efek yang tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalah guna narkotika tersebut.

Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial.27

27

Badan Narkotika Nasional, 2009, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini. Jakarta, hal. 36.


(24)

24 Denis L. Thom, melihat adiksi/kecanduan narkoba sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Untuk itu pendekatan aspek hukum bila pecandu harus divonis di pengadilan mereka harus dirawat di panti rehabilitasi secara memadai28

Badan Narkotika Nasional hanya mencatat sebanyak 16 pecandu yang telah divonis hakim berdasarkan rujukan SEMA untuk menjalani rehabilitasi, Pecandu sebanyak 16 orang tersebut merupakan 2% dari 674 residen total residen yang menjalani rehabilitasi di Lido. Sebagian lainnya yakni 398 orang(59%) atas rujukan keluarga, 248 orang(37%) atas rujukan BNP, dan 12 orang(2%) atas rujukan Kepolisian29

Kasus penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bahkan menjadi bahan berita yang hampir setiap hari muncul di media massa. Kasus penyalahgunaan narkotika dan peredaran gelap kini sudah terjadi diseluruh pelosok negeri ini. Bahkan Lembaga Pemasyarakatan yang ada diseluruh Indonesia, sebagian besar dipenuhi oleh pelaku tindak pidana narkotika. Menurut data Direktur Bina Khusus Narkotika-Ditjenpas, November 2009:

Banyak Lapas atau Rutan yang over kapasitas, yang menyebabkan kerawanan keamanan dan kertertiban dan kerawanan kesehatan. Kelebihan daya tampung di seluruh Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 56%. Awalnya, Lapas/Rutan di Indonesia mampu menampung 89.549 orang, namun daya tampung membengkak menjadi 140.423 orang hingga September 2009. Dari jumlah itu, 37.295 orang diantaranya adalah kasus narkoba. Jumlah orang dengan kasus narkoba tersebut tersebar di 413 Lapas/Rutan yang ada di Indonesia”. BNN sendiri sebenarnya sudah mengakomodir hak rehabilitasi korban Napza melalui UNITRA (Unit Terapi Rehabilitasi) di Lido Jabar. Namun tempat rehabilitasi tersebut hanya mampu menampung 500 orang.

28

A. Kadarmanta, “Penegakan Hukum Bagi Pecandu Naroba Paradigma UU.35/2009”, available from : URL : http://www.A.Kadarmanta.blogspot, diakses tanggal 7 Januari 2011.

29


(25)

25 Daya tampung tersebut tentu tidak sebanding dengan perkiraan jumlah korban Napza yang mencapai 3,6 juta orang30

Dengan kondisi yang semakin meningkatnya penyalahguna narkotika, maka Pemerintah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 diharapkan gencar mengupayakan perehabilitasian bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika. Benny J. Mamoto, Direktur Narkotika Alami BNN berpendapat mengenai perubahan yang ada pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 ini, ia mengatakan, “program-program BNN mengacu pada UU No. 35 Tahun 2009. Jika sebelumnya para penyalahguna diperlakukan sebagai kriminal, hanya tangkap-tahan-proses-masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP). Namun, UU No. 35 ini justru lebih manusia dan empati terhadap penyalahguna narkoba. Penyalahguna diperlakukan sebagai korban”31

Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada para korban penyalah guna narkotika padahal telah diatur secara tegas dalam Undang–undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkotika kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.

atas dasar pertimbangan sebagaimana latar belakang diatas, maka penulis mengangkat hal tersebut sebagai karya ilmiah dengan judul

“KEBIJAKAN REHABILITASI TERHADAP PENYALAH GUNA NARKOTIKA

PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA.”

30

Ray, “Pasal Karet UU Narkotika Mengebiri Hak-hak Korban Napza”, available from : URL :

http://www.satuportal.com, diakses tanggal 26 Oktober 2010.

31


(26)

26

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perumusan kebijakan rehabilitasi dalam Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ?

2. Apakah rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika adalah suatu tindakan wajib?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam terhadap kebijakan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar.

b. Tujuan Khusus

a) Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam perumusan kebijakan rehabilitasi dalam Undang–undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. b) Untuk mendeskripsi dan melakukan analisis mendalam terhadap pelaksanaan

rehabilitasi kepada korban tindak pidana narkotika.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Adapun manfaat hasil penelitian ini ada yang bersifat teoritis dan ada yang bersifat praktis.


(27)

27 a. Manfaat yang bersifat teoritis yaitu untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang kebijakan rehabilitasi kepada korban tindak pidana narkotika.

b. Manfaat praktis dari penulisan tesis ini adalah sebagai bahan acuan bagi penegak hukum khususnya di tingkat peradilan dalam memeriksa dan mengadili pelaku sebagai pengguna narkotika .

1.5 Orisinalitas Thesis

Penelitian dalam bentuk tesis yag berkaitan dengan kebijakan pidana terhadap penyalahguna narkotika sudah pernah dilakukan antara lain :

1. Penelitian yang dilakukan Victor Keenan Berus,32tentang “Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Propinsi Sumatera Utara”. Penelitian tersebut mengkaji peranan dan fungsi Badan Narkotika Provinsi Sumatera Utara dalam upaya mengkoordinasi upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika serta penanggulangan tindak pidana narkotika baik secara prefentif maupun represif.

2. Penelitian yang dilakukan Agustina Wati Nainggolan,33 tentang “Analisis Terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi

32 Victor Keenan Berus, 2009, “Fungsionalisasi Badan Narkotika Propinsi

dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Propinsi Sumatera Utara”,Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan. available from URL: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5216/1/09E01897.pdf, diakses tanggal 18 Juli 2011

33 Agustina Wati Nainggolan,2009, “Analisis Terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana

Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Medan)”, Tesis, Universitas Sumatera Utara,Medan available from URL: www.bacaanonline.com/pdf/tesis-narkotika.html diakses tanggal 18 Juli 2011


(28)

28 Kasus di Pengadilan Negeri Medan)”. Penelitian dalam tesis ini mengangkat permasalahan mengenai dampak positif dan negatif dari disparitas penjatuhan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika oleh hakim khususnya pada Pengadilan Negeri Medan.

3. Penelitian yang dilakukan Bambang Hariono,34 tentang “Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia”. Penelitian dalam tesis ini menyoroti tentang kebijakan pemidanaan khususnya pidana mati dalam Undang-undang Narkotika di Indonesia yang belum mengedepankan gagasan monodualistik sebagai nilai dasar masyarakat Indonesia.

Penelitian yang berkaitan dengan penerapan kebijakan pemidanaan khususnya dalam rehabilitasi pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika belum ada, sehingga masih relevan untuk dilakukan penelitian,

1.6 Landasan Teori

Definisi tentang teori diberikan oleh Snellbecker yang mengartikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati, sedangkan Kerlinger mendefinisikan teori sebagai “A theory is a set of interrelated connstructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying

34Bambang Hariono,2010, “

Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika di Indonesia” Tesis, Universitas Diponogoro, Semarang available from URL:


(29)

29 relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the

phenomena”.35

Sebuah Undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif maupun aspek Empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi law in books dan study law in

action.36

Bertolak dari hal tersebut, untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam, diperlukan teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep .37

Sebelum seorang peneliti sampai pada usaha penemuan hukum in concreto atau sampai pada usaha menemukan asas dan doktrinnya, atau sampai pula pada usaha menemukan teori-teori tentang law in proses dan law in action, maka mereka harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk hukum positif yang tengah berlaku. 38 Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam

35

Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal140

36

Amiruddin dan Zaenal Asikin, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.196

37

Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.19

38

Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 81


(30)

30 bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.39

Menurut Sudarto, perkataan Narkotika berasal dari kata Yunani “narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.40

Sedangkan menurut Soedjono Dirjosisworo, dalam bukunya yang berjudul Hukum Narkotika Indonesia memberikan pengertian Narkotika yaitu zat yang bisa menimbulkan pengaruh – pengaruh tertentu mereka yang menggunakan dengan memasukan kedalam tubuh, pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan.41

Pengertian narkotika di atas memberikan arti bahwa narkotika dapat menimbulkan beberapa efek samping. Akan tetapi walaupun narkotika menimbulkan banyak efek samping bahkan sampai menimbulkan kematian, masih banyak masyarakat yang terjerumus kedalamnya. Para pengguna narkotika yang merupakan korban dari penyalahgunaan terhadap narkotika harus dipidana guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Penulisan tesis ini akan mengkaji mengenai teori-teori yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas di sini terutama hal-hal yang terkait dengan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika, dengan melihat hal tersebut untuk menentukan kebijakan pidana yang akan diterapkan di masa yang akan datang.

39

Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.30 (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I)

40

Sudarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hal.44 (Selanjutnya disebut Sudarto I)

41 Soedjono, D., 1997, Hukum Narkotika Indonesia, Alumni, Bandung, hal.3 (selanjutnya disebut


(31)

31 Berdasarkan konsep umum tersebut maka perlu dikaji terlebih dahulu pengertian tentang kebijakan pidana sebagai berikut:

1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Secara umum pegertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “beleid” khususnya dimaksud dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif42. David L.Sills menyatakan bahwa pengertian Kebijakan (policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yag akan dilakukan dalam menghadapi problematika tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.43

Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy” dengan kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “Publik Policy Analiysis” karya William N.Dunn dengan “Analisa Kebijaksanaan Publik”44. Solichin Abdul Wahab

juga menggunakan istilah kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah “policy”. Akan tetapi dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan” beliau juga menggunakan istilah kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah “policy”.45

42

Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, 1997, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial,Jakarta, CV.Rajawali, Jakarta, hal.63

43

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebijakan Legeislatif dalam Penanggulanagan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Disertasi Bandan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal.63 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief I)

44

William N.Dunn, 2000, Analisa Kebijakan Publik,Penyadur Muhadjur Darwin, PT.Hadindita Graha Widia, Yogyakarta, hal.37


(32)

32 Menurut Mark Ancel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang–undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.46

Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik, di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat pula pendekatan sosiologis, historis dan komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dan berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.47

G.Peter Hoefnagels mengemukakan definisi dari kebijakan kriminal sebagai berikut:

a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the sciences of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy if designating human behavior as a crime;

d. Criminal policy us a rational total of responses to crime.

45

Solichin Abdul Wahab, 1997, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, PT.Bumi Aksara, Jakarta, hal.24

46

Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.23 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief II)

47


(33)

33 Sudarto mengemukakan tiga arti dari kebijakan kriminal yaitu:

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi, keseluruhan kebijakan yang dilaukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral pada masyarakat. 48

Penal Policy dikatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik, dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.49

Objek dari hukum pidana bukan hanya meliputi perbuatan dari suatu masyarakat dalam konteks secara umum tetapi hukum pidana juga memeliki sasaran kepada para penguasa. Menurut Peters, pernah menyatakan pembatasan dan pengawasan/pengendalian kekuasaan negara merupakan dimensi yuridis yang sesungguhnya dari hukum pidana, tugas yuridis dari hukum pidana bukanlah “mengatur masyarakat” , tetapi “mengatur penguasa” ("the limitation of, and control over, the powers of the State constitute the real yuridical dimension of criminal law :The Juridical

task of criminal law is not policing society but policing the police").50 Kebijakan

48

Ibid, hal.24

49

Marc Ancel, 1965, Social Defence A Modern Aproach to Criminal Problems, Routlegde & Kegan Paul, London, hal.209

50


(34)

34 penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :

1. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang.

2. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. 3. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum

pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.51

Pada tahap kebijakan legislatif merupakan muara dari kebijakan hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan berorientasi kepada pelaksanaan hukum pidana itu sendiri dimana dalam hal ini akan sangat terkait dengan ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/material.

Bertolak dari hal tersebut dalam konteks arti sempit atau formal, penjatuhan pidana ini berarti kewenangan untuk menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, sedangkan dalam arti luas atau material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana, jadi dalam hal ini merupakan keseluruhan proses dari sistem peradilan pidana itu sendiri, hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang

51

Barda Nawawi Arief, 1998 Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PL Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.30 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief III)


(35)

35 integral, dimana keseluruhan proses penegakan hukum itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut:

Most of group members agreed some dicussion that "protection of the society" could be accepted as the final goal of criminal policy, Although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like "happiness of citizens", "a wholesome and cultural living", "social welfare" or equality".52

Terkait dengan hal tersebut dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial yaitu kebijakan dalam konteks upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.

Pelaksanaan dalam orientasi politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan

52


(36)

36 penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal). Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum

(law enforcement policy).53

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal) maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap formulasi kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang-undang (legislative) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”.54 Dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial mengintegrasi kebijakan kriminal di dalamnya, atau dengan kata lain kebijakan kriminal merupakan bagian dari kebijakan sosial secara keseluruhan. Oleh karena itu setiap usaha untuk melindungi masyarakat harus dipandang secara utuh, antara kebijkan tidak saling bertabrakan dan bertentangan, hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dan kesejahteraan tersebut dapat tercapai.

Kebijakan sosial ini dapat dibuat dalam bentuk suatu skema guna memudahkan pemahamannya.

53

Ibid, hal. 30

54


(37)

37 Skema Kebijakan Sosial

Dari skema diatas, dapat dilihat bahwa criminal policy berhubungan dengan penal

policy, Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “Modern Criminal Science” terdiri dari 3

komponen yaitu kriminologi (criminology), hukum pidana (Criminal Law), dan kebijakan hukum pidana (Penal Policy). Lebih jauh Marc Ancel menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya menerapkan undang-undang (hukum positif) dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.55 Dengan demikian penerapan hukum pidana dapat diukur, dan keadilan bagi masyarakat lebih dapat dirasakan sebab penyelenggaraan dan pelaksanaan peradilan akan berpegangan pada pedoman yang lebih baik.

55

Marc Ancel, Op.cit, hal.4

Social Welfare

Social Policy

Social Defence

Criminal Policy

Non Penal Penal


(38)

38 2 Teori Relatif (tujuan)

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori social defence sebab merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika

Dalam teori relatif ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Sehingga menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai ”teori perlindungan masyarakat” (the theory of socal defence)56.

Menurut Nigel Walker teori ini disebut sebagai teori atau aliran reduktif karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan57.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Tetapi mempunyai tujuan–tujuan tertentu yang bermanfaat. Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia

peccatum est (karena orang membuat jahat) melainkan ne peccetur (supaya

orang jangan melakukan kejahatan)58.

56

Muladi, Barda Nawawi Arif, 1984, Teori – teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal.16. (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV)

57

Ibid


(39)

39 teori Social defence berkembang setelah Perang Dunia ke-2. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Filippo Gramatica. Dalam teori ini, terbagi dua konsepsi yaitu:59

1. Konsepsi radikal (ekstrim), dan 2. Konsepsi yang moderat (reformist)

Konsepsi radikal dipelopori dan dipertahankan oleh Filippo Gramatica. Menurut Gramatica, “hukum perlindungan sosial” harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.

Konsepsi moderat dipertahankan oleh Marc Ancel. Menurut Marc Ancel, tiap masyarakat memasyarakatkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum. Beberapa konsep pandangan moderat 60 :

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam

59

Ibid, hal. 35-38

60


(40)

40 konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri;

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi dan teknis-teknis yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.

Tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan biasa dibedakan antara prevensi spesial dan prevensi general. Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Sehingga bertujuan agar terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.61

Sedangkan prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, sehingga dapat mencegah masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana62.

Selain itu, terdapat beberapa tujuan pemidanaan menurut teori relatif, yaitu:

a. Mencegah terjadinya kejahatan,

b. Menakut – nakuti, sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan,

61

Ibid, hal18.

62


(41)

41 c. Memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana,

d. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan. Teori ini disebut juga teori tujuan, karena menitik beratkan pada tujuan hukuman. Ancaman hukuman perlu supaya manusia tidak melanggar.63

Berdasarkan tujuan pemidanaan dari teori relatif tersebut, penjatuhan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika memiliki tujuan untuk memperbaiki orang yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan para pengguna narkotika melakukan suatu tindak kejahatan merusak dirinya sendiri dengan memasukkan zat–zat adiktif yang pada akhirnya menimbulkan efek ketergantungan dan bila tidak diobati dapat membahayakan jiwa si pemakai.

3. Teori Rehabilitasi

Menurut teori rehabilitasi yang dikemukakan oleh E. Rotman

Rehabilitation, according to modern standards, can be defined tentatively and broadly as a right to an apportunity to return to (or remain in) society with an improved chance of being a useful citizen and staying out of prison;the term may also be used to denote the actions or the state or private institutions in extending this

opportunity64.

63

Yulies Tiena Masriani, loc.cit.

64

Duff, Antony & David Garland, tanpa tahun, A Reader on Punisment, Oxford University Press, hal286.


(42)

42 Terjemahan bebas penulis, rehabilitasi berdasarkan standar modern dapat didefinisikan secara tentative dan luas, yaitu sebagai hak terhadap suatu kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan kemungkinan yang lebih baik sehingga dapat menjadi warga Negara yang berguna sehingga dapat menjauhi penjara. Istilah tersebut juga dapat digunakan untuk menunjuk tindakan–tindakan dari pemerintah atau institusi – institusi dalam memperluas kesempatan ini.

Teori rehabilitasi dalam pembinaan narapidana yang masih banyak diterapkan dewasa ini berawal dari pemikiran klasik (abad 17-18) dalam hukum pidana yang dilandasi oleh pemikiran rasionalisme dan

humanitarianisme harus ditujukan menghasilkan dampak jera dan bukan

pembalasan dendam. Tokoh-tokoh terkemuka aliran klasik tersebut adalah Beccaria (1764) dan Bentham. Dengan demikian apabila pada masa ini orang masih memikirkan bahwa kita perlu melakukan pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan, maka artinya pemikiran tersebut telah mundur ke alam pemikiran abad 16, masa kegelapan di kawasan Eropa. Ciri dari penerapan teori rehabilitasi adalah adanya usaha untuk membatasi penerapan hukuman penjara dengan pemberian hukuman percobaan, mempercepat masa penghukuman dengan pemberian remisi, pembebasan bersyarat, dan amnesti, serta penghapusan hukuman mati.65

Sehingga berdasarkan teori tersebut, penjatuhan rehabilitasi dimaksudkan agar nantinya seorang yang telah melakukan suatu tindak penyalahgunaan

65Muhammad Mustofa, 2009 “Dari Retribusi dan Rehabilitasi ke Restorasi” available from : URL


(43)

43 narkotika dapat menjadi seorang yang berguna bagi bangsa dan negara dan tidak mengulangi perbuatan yang sama untuk yang kedua kalinya.

Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping kepada masyarakat.66

Berdasarkan teori–teori pemidanaan yang timbul dari tujuan adanya pemidanaan, maka penjatuhan rehabilitasi merupakan suatu penjatuhan pidana yang sesuai dengan maksud dan tujuan dari teori relatif (tujuan). Karena tujuan dari rehabilitasi dan tujuan pemidanaan menurut teori relatif memiliki kesamaan yaitu bertujuan untuk mengembalikan atau memperbaiki orang yang telah melakukan suatu tindak pidana seperti pengguna narkotika yang pada mulanya memiliki rasa ketergantungan menjadi orang yang terbebas dari rasa ketergantungan narkotika tersebut,

4. Teori Double Track system (Pemidanaan Dua Jalur).

Hukum pidana modern menyatakan bahwa pemidanaan yang diterima oleh seorang penyalahguna narkotika yang melakukan perbuatan itu tidak hanya berupa pidana, akan tetapi juga tindakan yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya yang sering disebut dengan double track system, namun dilihat dari latar belakang kemunculan dapat disimpulkan bahwa ide dasar sistem tersebut adalah kesetaraan antara

66

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas – asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Alumni, Jakarta, hal.62


(44)

44 sanksi pidana dan tindakan.67 Sehubungan dengan perbedaan antara sanksi pidana dan tindakan, serta batasan antara keduanya yang dinilai kabur, maka perlu dipaparkan pendapat para sarjana mengenai dua jenis sanksi tersebut: 1. Sudarto:

Pendapatnya menekankan bahwa sanksi pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sanksi dalam hukum pidana modern, juga meliputi apa yang disebut tindakan tata tertib. Selanjutnya Sudarto juga menjelaskan bahwa sanksi pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat.68

2. Andi Hamzah:

Meskipun perbedaan sanksi pidana dan tindakan menurut Andi Hamzah agak samar, tapi dia memberi penjelasan singkat bahwa sanksi pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi pada pelaku suatu perbuatan, sedangkan tindakan bertujuan melindungi masyarakat.69

3. Utrecht:

67

M. Solehuddin, 2007, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, PT.Raja Grafindo, Jakarta, hal.24 (selanjutnya disebut Solehuddin II)

68

Sudarto, 1973, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FHAL UNDIP, Semarang, hal.7 (Selanjutnya disebut Sudarto II)

69

Andi Hamzah, 1986, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Dari Retribusi ke Reformasi, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.53.


(45)

45 Secara teoritis, Utrecht melihat perbedaan sanksi pidana dan tindakan dari sudut tujuannya. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik. Dengan mengutip pendapat Pompe, Utrecht menjelaskan lebih lanjut bahwa tindakan itu bila ditinjau dari teori-teori pemidanaan merupakan sanksi yang tidak membalas, melainkan semata-mata ditujukan pada prevensi khusus. Tindakan itu bertujuan melindungi masyarakat terhadap orang-orang berbahaya yang mungkin akan melakukan delik-delik yang dapat merugikan masyarakat.70 4. J.E. Jonkers:

Pakar hukum pidana dari Belanda ini juga membedakan jenis sanksi pidana dan tindakan. Dikatakannya, sanksi pidana dititikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan tindakan mempunyai tujuan yang bersifat sosial.71

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan

70

Utrecht,1987, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal.360

71

J.E. Jonnkers,1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, hal. 350


(46)

46 penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.72

Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar yang menitikberatkan pada pidana yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan. Sedangkan tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat yang bersifat sosial

Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa (Bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian, perbedaan prinsip dengan tindakan terletak pada ada tidaknya unsur pencelaan, bukan pada ada tidaknya unsur penderitaan, sedangkan tindakan tujuannya lebih bersifat mendidik.73

Jika ditinjau dari teori-teori pemidanaan, maka tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. Ia semata-mata ditujukan pada prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan kepentingan masyarakat itu., singkatnya, sanksi pidana berorientasi pada ide pengenaan

72

Barda Nawawi Arief,1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 4 (selanjutnya disingkat Barda Nawawi Arief V)

73


(1)

135

nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dalam hukum Indonesia, pembaharuan hukum pidana dilakukan agar hukum pidana yang berlaku sesuai dengan nilai-nilai masyarakat di Indonesia.

Berkaitan dengan pemaknaan pembabaruan hukum pidana ini, patut kiranya dikemukakan pandangan seorang pakar hukum pidana yaitu Prof. Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa”Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio fllosofik, dan cultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebiajakan kriminal dan penegakan hukum di

Indonesia”.160

Lebih lanjut dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana adalah:161

1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan sebagainya):

160 Barda Nawawi Arief II, Op.cit, hal.30

161


(2)

136

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan);

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

2. Dilihat dari Pendekatan Nilai:

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio politik, sosio fllosofik dan sosio cultural yang melandasi dan memberi isi terhdap: muatan normatif dan substantif hukum pidana yang.dicita-citakan.

Melihat perumusan dan pemaknaan pembaharuan hukum pidana di atas, dapat diketahui bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya menggali nilai-nilai dalam masyarakat untuk diterapkan dalam hukum pidana. Dengan kata lain, pembaharuan hukum pidana pada dasarnya mempakan upaya untuk menserasikan hukum pidana yang sedang berlaku dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Pembaharuan hukum pidana dimaksudkan agar substansi hukum pidana dapat menjelmakan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, sehingga efektif di dalam penerapannya.

Perkembangan yang ada di dunia saat ini menunjukkan tcrjadinya kecenderungan perubahan kuat dalam memandang para penvalahguna narkotika yang tidak lagi dilihat sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban atau pasien yang harus diberi empati.162 Apabila seorang pecandu narkotika telah divonis bersalah oleh hakim atas tindak pidana narkotika yang dilakukannya, untuk memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan

162

Dani Krisnawaty dan Eddy O.S. Hiariejj, 2006, Bunga Ramgai Hukum Pidana Khusus Pena Pundi Aksara,. Jakarta, hal. 99


(3)

137

agas terbebas dari kecanduannya, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan. Begitu pula. apabila pecandu narkotika tidak terbukti bersalah atas tuduhan metakukan tindak pidana narkotika, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan.

Rancangan KUHP tahun 2008, dalam Pasal 110 juga telah mengatur mengenai tindakan rehabilitasi tersebut yaitu:

(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang: a. Kecanduan alcohol, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya:

dan/atau

b. Mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa.

(2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta.

Perbedaan pengaturan tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam RUU KUHP tahun 2008 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah di dalam Undang-Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 berkaitan dengan kewenangan hakim dalam menjatuhkan bentuk putusan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika, sedangkan RUU KUHP tahun 2008 mengatur mengenai tindakan dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana kecanduan narkotika.

RUU KUHP mendasarkan diri pada pemikiran Aliran Neo-Klasik yang menjaga keseimbangan antara faktor obyektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subyektif (orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini berkembang pada abad ke-19 yang memusatkan perhatiannya tidak hanya pada perbuatan atau tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek-aspek individual si pelaku tindak pidana (Daaddader Strafrecht).


(4)

138

Pemikiran mendasar lain yang mempengaruhi penyusunan RUU KUHP adalah perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology) yang berkembang setelah perang dunia II, yang:menaruh perhatian besar pada perlakuan yang adil terhadap korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Berkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan tinjauan victimology, mengklasifikasikan pecandu narkotika sebagai “self victimizing victims” yakni korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri. oleh sebab itu, yang paling tepat dalam hakim menjatuhkan vonis dalam perkara pecandu narkotika adalah dengan menjatuhkan vonis rehabilitasi. Sebab pecandu narkotika pada hakikatnya merupakan korban dari suatu kejahatan yang perlu mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan, dan oleh karena ia merupakan pihak yang juga mengalami kerugian dari suatu kejahatan yakni kejahatan penyalahgunaan narkotika.


(5)

139 BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Perumusan Kebijakan Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika dalam

Undang – Undang Nomor 35 tahun 2009 telah diatur dengan baik, hal ini dapat dilihat pada pengaturannya dimana pengaturan tentang Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika telah diatur secara khusus pada Bab IX undang – Undang tersebut, dengan adanya pengkhususan bab yang mengatur tentang rehabilitasi ini kita dapat melihat bahwa pemerintah telah menekankan penjatuhan rehabilitasi kepada mereka yang menjadi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, pengaturan tentang rehabilitasi tersebut diatur dalam pasal 54, pasal 103 dan ketentuan pidana terdapat pada pasal 127. Disamping itu Mahkamah Agung juga mengeluarkan Surat Edaran yaitu SEMA no.4 Tahun 2010 yang merupakan acuan daripada hakim dalam menjatuhkan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika dipersidangan. 2. Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang

wajib, namun harus dibuktikan terlebih dahulu dalam persidangan bahwa terdakwa merupakan penyalahguna narkotika yang didukung oleh bukti – bukti serta saksi di persidangan sesuai dengan acuan yang terdapat dalam SEMA no. 4 tahun 2010, sedangkan untuk korban penyalahgunaan narkotika serta


(6)

140

pecandu narkotika mengacu pada pasal 103dan pasal 127 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 rehabilitasi dapat dijatuhkan namun tidak wajib.

5.2 Saran

Adapun saran umum yang dapat dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya Pengaturan tentang Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika kedepannya harus lebih tegas salah satunya diharapkan dirumuskan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang penyalahguna yang harus melaksanakan rehabilitasi dan penyalahguna mana yang dapat dijatuhi pidana..

2. Aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik, jaksa maupun hakim harus dapat dengan tegas merumuskan status seorang pelaku tindak pidana narkotika yang dapat dijatuhkan rehabilitasi, apakah seorang penyalahguna,pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika, hal ini ditujukan agar nantinya dapt dijatuhkan sanksi yang seadil –adilnya serta aspek perlindungan hukum terhadap korban penyalahguna narkotika dapat terwujud.