Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(1)

LEGAL REVIEW OF REHABILITATION AS SANCTIONS IN NARCOTICS ABUSE PREVENTION EFFORT LINKED WITH LAW NUMBER 35 OF 2009 ON NARCOTICS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Rhamdhan Maulana NIM : 31610002

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan: Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H

NIP: 41273300012

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(2)

iii LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR………..……… I

DAFTAR ISI…... iii

ABSTRAK……… vi

ABSTRACT…... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Identifikasi Masalah………..……. 9

C. Tujuan Penelitian………...….... 9

D. Kegunaan Penelitian………..10

E. Kerangka Pemikiran……….…….. 12

F. Metode Penelitian………..……... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Pidana dan Pemidanaan …... 27

1. Kebijakan Hukum Pidana………..……….. 27

2. Pengertian Pidana…….…….………..………. 48

3. Teori Tujuan Pemidanaan…..………..………. 54

B. Tindak Pidana Narkotika ………..………..……… 58

1. Pengertian Narkotika………..58

2. Tindak Kejahatan Narkotika.……….. 63


(3)

1. Rehabilitasi Sebagai Sanksi Tindakan……..………. 67 2. Penyalah guna Narkotika Bagi Diri Sendiri sebagai

Korban……….………... 70 3. Penghapusan Pidana Bagi Penyalah guna Narktoika………..74 BAB III PENANGANAN KASUS PECANDU DAN PENYALAH GUNA

NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN DATA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI JAWA BARAT

A. Data Penanganan Rehabilitasi Terhadap Pecandu dan Penyal guna Narkotika Berdasarkan pada Data Badan Narkotika

Nasional Provinsi Jawa Barat……….………. 84

89 B. Tugas, Peran dan Fungsi Badan Narkotika Nasional

dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan

Narkotika……….

C. Terapi Penyembuhan Terhadap Pecandu dan Penyalah guna Narkotika dengan Rehabilitasi Medis dan Sosial……….92 D. Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor:

172/PID.Sus/2012/PN.BB………..……….102

BAB IV REHABILITASI SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Penjatuhan Sanksi Rehabilitasi Sebagai Sanksi Alternatif Terhadap Penyalah guna Narkotika………. 105 B. Efektifitas Sanksi Rehabilitasi dalam Upaya Penanggulangan


(4)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan……….………….……….… 117

B. Saran………..……… 118

DAFTAR PUSTAKA………... 119

DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN


(5)

119

Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Badan Narkotika Nasional, Pedoman dan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, BNN, Jakarta. 2004.

Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana, kencana, Semarang, 2011.

Efendi Muhammad, Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006. Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011

Gatot Suparmo, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta 2007. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007.

Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2012.

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung. 2003.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Muladi dan Barda nawawi arief, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 2010.

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Rena Yulia, Viktimologi, Graaha ilmu, Yogyakarta, 2010.

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1998.

Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.


(6)

Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1990.

Sumarmo ma’sum, Penanggulangan Bahaya narkotika dan ketergantungan Obat, Cv haji masagung, Jakarta,1987.

Taufik makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, 2003.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika Ke dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Sumber Lain

Berkas Sosialisasi Terapi Ketergantungan Narkotika, Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.

Koesnoen, Perkembangan Pembinaan Narapidana di Luar Negeri. Bahan ceramah Seminar Kriminologi ke-1. Semarang. 1969.

Laporan Akuntabilitas Institusi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional Jawa Barat Tahun 2013.

Laporan Akuntabilitas Institusi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional Jawa Barat Tahun 2014.


(7)

Sumber Internet

http://www.negarahukum.com/hukum/latar-belakang-regulasi-narkotika.html.

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57-lang,id-c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx.

http://cirebonnews.com/berita/item/5558-bnn-pecandu-narkoba-capai-42-juta?tmpl=component&print=1#.U6ljq6NPiVp.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57-lang,id-c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx.

http://www.indoganja.com/2013/12/Konvensi-Tunggal-PBB-Tentang-Narkotika-1961.html.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia. www.scribd.com/doc/93201942/Tujuan-BNN.


(8)

Nama : Rhamdhan Maulana Tempat Tanggal Lahir : Bandung 23 Maret 1992

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Rancaekek Komplek Permata Hijau Blok E no 60

Telpon : 085624396181

Pendidikan Formal : - SDN 1 Permata Hijau : - SMPN 1 Cicalengka : - SMAN 1 Cileunyi

Daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya tanpa ada rekayasa yang melebih-lebihkan.


(9)

i

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karena ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang dengan judul “Tinjauan Hukum Tehadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”, solawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat dan sampai kepada kita umatnya di akhir zaman.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada ayahanda dan ibunda yang telah memberikan motivasi, doa yang barokah dan dorongan moril serta materil yang tiada henti-hentinya kepada peneliti.

Peneliti mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat dan terpelajar Dwi Iman Muthaqin, SH., MH selaku pembimbing skripsi peneliti yang berkenan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan dorongan kepada peneliti sejak pengajuan judul skripsi, penyusunan, hingga penulisan skripsi ini.

Ucapan terimakasih yang tulus juga peneliti sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti, sampai dengan selesainya Skripsi ini terutama kepada yang terhormat:

1. Yth. Bapak Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, M.Sc., selaku Rektor Universitas Komputer Indonesia;

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia, Prof. DR Mien Rukmini, S.H., M.H


(10)

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Komputer Indonesia, Hetty Hassanah, S.H., M.H

4. Arinita Sandria, S.H., M.Hum, selaku dosen wali angkatan 2010 yang selalu dengan penuh kesabaran dan ke ikhlasan mengayomi kami semua.

5. Instansi Pemerintah Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa barat yang telah menerima dan menyediakan tempat serta waktunya untuk peneliti melakukan penelitian.

6. Komisaris Polisi Yusdaniel, S.IP., M.H yang telah bersedia bertukar pikiran dan mengarahkan peneliti untuk membuat skripsi.

7. Bapa Edi Hartanto selaku staf deputi bidang rehabilitasi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk di wawancara dan memberikan data terkait skripsi yang peneliti buat.

8. Kepada rekan-rekan angkatan 2010 semua yang telah memberikan motivasi, dan juga dorongan kepada peneliti untuk menyelesaikan Skripsi ini

Akhir kata, semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang terkasih dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, baik moril maupun materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi Peneliti sendiri dan bagi para masyarakat pada umumnya.

Bandung 12 februari 2014 Peneliti


(11)

1

A.

Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan pancasila dan bukan berdasarkan atas kekuasaan, sifat negara hukum yang dapat ditunjukan jika alat-alat perlengkapannya bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang ditentukan lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasai untuk mengadakan aturan-aturan itu.1

Pancasila sebagai dasar negara yang mencerminkan jiwa bangsa Indonesia harus menjiwai semua peraturan hukum dan pelaksanaanya, ketentuan ini menunjukan bahwa di negara Indonesia menjamin adanya perlindungan hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum.2

Kewajiban bagi setiap penyelenggaraa negara untuk menegakan keadilan dan kebenaran berdasarkan pancasila yang selanjutnya melakukan pedoman peraturan-peraturan pelaksanaan, selain itu sifat hukum yang berdasarkan pancasila, hukum mempunyai fungsi pengayoman agar cita-cita luhur bangsa Indonesia tercapai dan terpelihara.3

1 Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007, hlm. 92. 2 Ibid.


(12)

Tujuan dari hukum itu diantaranya untuk mencapai kepastian dan keadilan hukum, untuk menjamin dua hal tersebut perlu adanya peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis yang berasaskan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam perikehidupan, untuk itu negara Indonesia menandatangani ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (Convention Against Illicit Traffic In Narcotics Drugs And Psychotropic Substances) tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Narkotika) mempunyai cakupan yang cukup baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun sanksi pidana. Tujuan pembentukan Undang-Undang Narkotika salah satunya adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

Pengertian narkotika secara umum adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang yang menggunakannya.5

4 http://www.negarahukum.com/hukum/latar-belakang-regulasi-narkotika.html, Diakses pada tanggal 23 april 2014, pada pukul 7.30 WIB.


(13)

Narkotika menurut smith kline adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu zat-zat yang di buat dari candu (morphine, codein, methadone).6

Pengaruh penggunaan narkotika tersebut dapat mengakibatkan terjadinya berbagai tindak pidana, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap masyarakat khususnya generasi muda, dan terutama bagi pengguna zat berbahaya tersebut.7

Tindak pidana menurut pompe adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjamin kepentingan umum.8

Tindak pidana narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika dapat dikelompokan dari segi bentuk perbuatannya diantaranya adalah, kejahatan yang menyangkut produksi narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang menyangkut pengangkatan narkotika, kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika, tindak kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika, kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang menyangkut label dan

6 Ibid, hlm. 18. 7 Ibid, hlm 45.

8 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 182.


(14)

publikasi, kejahatan yang menyangkut jalannya peradian, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu, kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga, dan kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur.9

Penyalahgunaan narkotika adalah merupakan tindak kejahatan dan pelanggaran yang mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa pemakai dan juga terhadap masyarakat di sekitar secara sosial.10

Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri disatu sisi merupakan pelaku tindak pidana yang dapat dijatuhi sanksi penjara, tetapi disisi lain merupakan korban. Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri dapat di klasifikasikan kepada kategori korban Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri,11 karena penyalah guna narkotika menderita sindroma ketergantungan (dependence) yang semula disebut adiksi dan habitasi akibat dari penyalah guna narkotika yang dilakukanya sendiri,12 atau dapat dikatakan kejahatan tersebut merupakan kejahatan tanpa korban.

9 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 199. 10 Taufik Makarao, Op.Cit, hlm. 49.

11 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Terhadap Korban Kejahatan, Graha ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 54.

12 Sumarmo masum, Penanggulangan Bahaya Narkotika Dan Ketergantungan obat, CV Haji Masagung, Jakarta, 1987,hlm. 57.


(15)

Undang–Undang Narkotika memberi sanksi hukum yang berbeda bagi pelaku penyalah guna, pengedar, dan bandar. Sanksi secara umum adalah alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku.13

Penetapan sanksi untuk penyalah guna narkotika harus sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri, tujuan dari hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dalam perimbangan yang serasi dari kejahatan atau tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.14

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.15

Berdasarkan Pasal 54 Undang–Undang Narkotika, pecandu Narkotika wajib direhabilitasi, sedangkan pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) Nomor. 4 Tahun 2010, tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahguna dan Pecandu

13 Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 29.

14 Kanter dan Sianturi, Op.Cit. hlm. 55.

15Koesnoen, Perkembangan Pembinaan Narapidana di Luar Negeri. Bahan ceramah


(16)

Narkotika, ditempatkan ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Ini berarti menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban kejahatan narkotika.16

Rehabilitasi berasal dari dua kata, yaitu “re” yang berarti kembali dan “habilitasi” yang berarti kemampuan. Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan, kemampuan dalam hal ini adalah kemampuan fisik dan psikis seseorang.17

Rehabilitasi pecandu narkotika dibagi menjadi dua tahap, yang pertama adalah rehabilitasi medis dan yang kedua adalah rehabilitasi sosial, yang dimaksud rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilaksanakan dirumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah dan ditunjuk oleh menteri kesehatan, dalam rehabilitasi medis ini pecandu di obati agar dapat lepas dari ketergantungan zat kimia narkotika.18

Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat melaksanakan kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial dilakukan untuk mengembangkan kemampuan fisik dan psikis seorang pecandu agar

16 http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia, Diakses pada tanggal 5 april 2014, Pada pukul 10.00 WIB.

17 Efendi Muhammad, Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006, hlm 23.


(17)

pulih dan dapat beraktifitas kembali secara normal di dalam masyarakat, dapat dilakukan melalui pendekatan keagamaan.19

Dua tahap rehabilitasi bagi pecandu narkotika yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, yang kedua rehabilitasi tersebut merupakan sanksi tindakan (maatregel) dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki si pembuat20 dan juga sebagai penerapan model penghukuman baru yaitu dekriminalisasi, yang merupakan model penghukuman non kriminal sebagai salah satu kontruksi hukum modern, yang bertujuan menekan (demand reduction) dalam rangka mengurangi supply narkotika illegal, dan berdampak pada penyelesaian permasalahan narkotika di Indonesia.21

Kasus yang akan dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 172/PID.Sus/ 2012/ PN.BB, terdakwa bernama muhamad Deni Santani, yang terbukti tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan 1 dengan jenis narkotika ganja bagi diri sendiri.

Penangkapan Deni Santani berdasar pada laporan warga daerah majalaya sering terjadi penyalahgunaan Narkotika jenis ganja, berdasarkan informasi tersebut kemudian berdasar pada laporan tersebut Yeyen Rendi dan Adit Tirta Anasir yang keduanya anggota satuan narkoba Polres Bandung, langsung melakukan penyelidikan dan berhasil melakukan penangkapan terhadap Deni Santiani di

19Ibid.

20 Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm 182 21 http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/dekriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia, Op.Cit.


(18)

Kampung Saparako Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung, ketika dilakukan penggeledahan 2 (dua) paket kecil daun ganja kering yang dibungkus kertas koran dan kertas jilid buku yang disimpan dalam saku celana yang dikenakan oleh terdakwa.

Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung memutuskan 4 tahun penjara karena terbukti tanpa hak melawan hukum menggunakan narkotika golongan 1 bagi diri sendiri.22

Undang-Undang Narkotika memiliki dua ketentuan hukum tentang penyalah guna narkotika yaitu rehabilitasi dan pidana penjara. Ketentuan dalam Pasal 54 Undang-Undang Narkotika tentang pecandu dan penyalah guna narkotika yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, Pasal 103 Undang-Undang Narkotika tentang hakim yang berhak memutus dan menetapkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi, jika terdakwa terbukti atau dapat membuktikan bahwa terdakwa merupakan korban penyalah guna narkotika dan juga pertimbangan terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, Dan Pecandu Narkotika Ke dalam Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, akan tetapi pada kenyataanya lebih banyak kasus penyalah guna narkotika yang di putus pidana penjara di banding dengan rehabilitasi.

22

Putusan Nomor 172/PID.Sus/ 2012/ PN.BB. .


(19)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Tinjauan Hukum Terhadap Rehabilitasi Sebagai Sanksi Dalam Upaya Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba adalah sanksi yang sesuai dengan tujuan pemidanaan?

2. Bagaimanakah efektifitas sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika di wilayah jawa barat?

C.

Tujuan Penelitian

Setelah melihat permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Mengetahui, memahami dan mengkaji sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika merupakan sanksi yang sesuai dengan tujuan pemidanaan.

2. Mengetahui, memahami dan mengkaji sanksi rehabilitasi dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika telah efektif.


(20)

D.

Kegunaan Penelitian

Dengan tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat member kontribusi dan influence baik dari segi teoritis maupun praktis untuk seluruh masyarakat, khusunya bagi para pelaku penyalah guna narkoba, sebagai berikut:

1. kegunaan teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan peneliti mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan penanganannya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan tambahan bagi kepustakaan khususnya mengenai masalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

2. Kegunaan praktis

a. Bagi mahasiswa

1. Diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dari segi hukum pidana yang berkaitan dengan masalah tindak pidana penyalahgunaan narkotika

2. Melatih cara berfikir praktis dan logis untuk memecahkan masalah hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana dan perkembangannya dalam masyarakat.


(21)

b. Bagi masyarakat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika, sehingga masyarakat paham akan bahaya menggunakan narkoba beserta konsekwensi hukumnya dan tidak ada masyarakat yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

c. Bagi Lembaga

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi bagi lembaga Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia dalam program kekhususan hukum pidana sebagai suatu sarana melakukan pengkajian masalah-masalah aktual secara ilmiah khususnya dalam penegakan hukum pada tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

d. Bagi Pemerintah

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai bahan dan sumber penemuan hukum, sehingga pemerintah khususnya instansi terkait akan lebih memperhatikan penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika.


(22)

E.

Kerangka Pemikiran

Setiap warga negara Indonesia memerlukan perlindungan hukum yang dapat memberikan keadilan guna mencapai kesejahteraan dalam perikehidupannya.

Dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:

“Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial

Amanat yang terkandung pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut adalah merupakan keadilan dalam penegakan supermasi hukum dan juga mengharuskan pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembangunan nasional, dan juga mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Keadilan adalah perlakuan yang sama di mata hukum dan pemerintahannya sehubungan dengan keadilan tersebut Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum

dan pemeritahan dan wajib menjungjung hukum dan

pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Konsep persamaan kedudukan dalam hukum menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum yang berarti setiap warga negara


(23)

diperlakukan adil oleh pemerintah, di sisi lain warga negara juga wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku.23

Hukum merupakan alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum merupakan suatu fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.24

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:25

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

23 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas

Persamaan Kedudukan dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Alumni, Bandung. 2003, hlm. 24.

24 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 3.


(24)

Van Hattum mengemukakan hukum pidana positif adalah sebagai berikut:26

“Suatu keseluruhan dan asa-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan

khusus yang bersifat hukuman.”

Pembentukan Undang-Undang Narkotika merupakan lex specialis derogate lex generalis, karena tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus yang harus diatur melalui peraturan yang khusus dan terpisah dari peraturan perundang-undangan lainnya.

Tugas dan peran yang diamanatkan oleh Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika melalui Kepres Nomor.17 Tahun 2002 tentang upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) melalui Departemen Pemerintah terkait, diantaranya dengan upaya penegakan hukum, bagi penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika yang merupakan pelaku tindak pidana Narkoba.27

Negara Indonesia yang berdasarkan atas hukum dengan menganut asas legalitas dalam hukum pidana Asas legalitas ini dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)28, Hanya perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan dalam aturan hukum

26 Van Hattum, Dikutip dalam P.A.F Lamintang, Op.Cit, hlm. 2.

27Badan Narkotika Nasional, Pedoman dan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba

Bagi Pemuda, BNN, Jakarta. 2004.


(25)

pidana dapat dituntut untuk dijatuhi pidana apabila aturan tersebut dilanggar, karena hukum pidana menganut asas legalitas, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

“Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan

ketentuan pidana dalam undang-undang, yang ada terdahulu dari

perbuatan itu.”

Terkait dengan penghukuman maka harus sejalan dengan tujuan pemidanaan, terdapat 2 (dua) teori tentang tujuan pemidanaan yaitu:29 1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen) 2. Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen).

Pengertian narkotika Secara umum, adalah zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakanya, yaitu dengan cara mamasukan kedalam tubuh.30

Istilah yang dipergunakan bukanlah narcotics pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan drug yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh pemakai, yaitu:31

1. Mempengaruhi kesadaran

2. Memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia

3. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa; a. Penenang

29 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm.10.

30 Taufik Makarao, Op.Cit., hlm 16 31 Ibid, hlm 17.


(26)

b. Perangsang (bukan rangsangan sexsual)

c. Menimbulkan halusinasi (pemakaiannya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat.

Pengertian narkotika menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa:

“Yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.”

Narkotika menurut sudarto mengandung arti yaitu:32

“Perkataan narkotika berasal dari bahasa yunani yaitu

narke yang berarti terbius dan tidak sadarkan diri.”

Definisi narkotika dari biro bea dan cukai Amerika Serikat dalam buku Narcotic Identification Manual sebagaimana dikutif oleh Djoko Prakoso, Bambang Riyadi, dan Mukhsin dikatakan bahwa:33

“Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,

kokain, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut, yakni morphine, heroin, codein, hasich, cocain. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam hallucinogen dan stimulant.”

32Ibid.


(27)

Tindak pidana (strafbaar feit) menurut simons merumuskan bahwa:34

“Adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.”

Tindak pidana narkotika telah diatur dalam Undang-Undang narkotika dan dapat di klasifikasikan sebagai berikut:35

1. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika 2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika 3. Kejahatan yang menyangkut pengangkatan narkotika 4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika

5. Tindak kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika 6. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika 7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi

8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradian

9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika 10. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu

11. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga 12. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak di bawah umur

34 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm.205. 35 Taufik Makarao, Op.Cit. hlm. 199.


(28)

Undang-Undang Narkotika telah memberikan sanksi hukuman yang berbeda antara, pengedar bandar, dan penyalahguna narkotika, Sanksi terhadap bandar narkotika diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).”

Bandar narkotika pada pasal tersebut dapat disimpulkan adalah orang yang memproduksi mengimpor dan menyalurkan narkotika dalam jumlah atau skala yang besar.

Pengedar narkotika diatur dalam Pasal 114 Undang-Undang narkotika yang menyebutkan bahwa:

“1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliarrupiah).

2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling


(29)

singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditambah 1/3 (sepertiga).”

Penyalahguna narkotika diatur dalam pasal 127 ayat 1 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“Setiap Penyalah Guna:

a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.”

Definisi Penyalah guna menurut Pasal 1 butir 15 Undang Narkotika adalah:

“Orang yang menggunakan narkotika tanpa hak melawan atau

melawan hukum.”

Penyalah guna narkotika bagi diri sendiri merupakan korban jika dilihat dari tipologi koban ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri menurut Stephen Schafer termasuk pada self victimizing victims (korban yang juga sebagai tumbal), yaitu seorang yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri 36, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan (dependence) yang semula disebut adiksi (ketergantungan) dan habitasi (kebiasaan) akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukanya sendiri.37

36 Stephen Schafer, Dikutip dalam buku Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan

Terhadap Korban Kejahatan, Graha ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 53-54. 37Sumarmo Ma’sum, Op.Cit, hlm. 57.


(30)

Korban menurut Van Boven merujuk pada kepada deklarasi prinsip-prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan adalah sebagai berikut:38

“Orang yang secara individual menderita maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan maupun

kelalaian.”

Korban mempunyai hak untuk mendapatkan rehabilitasi ataupun restitusi sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada korban tersebut, mengacu pada pendapat Arif Gosita hak korban penyalah guna narkotika adalah mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.39

Rehabilitasi bagi korban penyalah guna dan pecandu narkotika dibagi menjadi dua tahap yang pertama adalah rehabilitasi medis, dan yang kedua rehabiitasi sosial. Rehabilitasi medis dijelaskan dalam Undang-Undang Narkotika Pasal 1 butir 16 yang menyebutkan bahwa:

“Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan

secara tepadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan

narkotika.”

Rehabilitasi sosial dijelaskan delam Pasal 1 butir 17 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara

terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu

38 Van Boven, Dikutip dalam, Rena yulia, Op.Cit, hlm. 50. 39Arif Gosita, Dikutip dalam Ibid, hlm. 55.


(31)

narkotika dapat melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan

masyarakat.”

Hakim dalam yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan atau terdakwa menjalani pengobatan atau perawatan, berdasar pada Pasal 103 Undang-Undang Narkotika yang menyebutkan bahwa:

“1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan

menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.” Definisi rehabilitasi dikemukakan oleh Suparlan, yang mana rehabilitasi tersebut mengandung arti:40

“Rehabilitasi merupakan suatu proses kegiatan untuk memperbaiki kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, serta mental seseorang sehingga orang itu dapat mengatasi

masalah kesejahteraan sosial bagi dirinya serta keluarganya.”

Tindakan (Maatregel) Sering dikatakan berbeda dengan pidana, maka tindakan bertujuan melindungi masyarakat, sedangkan pidana bertitik berat pada pengenaan sanksi kepada pelaku suatu perbuatan. Mengenai suatu tindakan untuk orang yang tidak mampu atau kurang


(32)

Dekriminalisasi pengguna narkotika merupakan model penghukuman non kriminal, penghukuman yang menghapuskan istilah pelaku kejahatan (kriminal), seseorang yang diberikan sanksi tapi bukan sanski terhadap tindakan kriminal tetapi lebih kepada perbaikan kepada pengguna narkotika yang dilakukan dengan cara rehabilitasi, dengan tujuan kebutuhan akan narkotika akan berkurang dan permintaan supply/ narkotika ilegal akan menurun.

Berdasarkan uraian diatas peneliti berpendapat agar kasus ini perlu dituangkan ke dalam suatu kajian hukum berupa penulisan karya ilmiah untuk mencari jalan atas permasalahan yang terjadi.

F.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.

Spesifikasi Penelitian

Dalam spesifikasi penelitan ini bersifat pendekatan Deskriptif Analitis yaitu:41

“Menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.”

Suatu pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang masyarakat, sehingga mampu menjelaskan seperti apa tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang

41 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1998, hlm. 97-98.


(33)

berkembang di masyarakat dan bagaimana tindakan hukum yang tepat agar dapat mengambalikan seorang penyalah guna menjadi lepas dari ketergantungan narkotika.

2.

Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu:42

“Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan norma-norma hukumya yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas.”

3.

Tahap Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu: a. Penelitian kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan yaitu:43

“Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan teratur dan

sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat

edukatif, informatif, dan kreatif kepada masyarakat.”

Studi kepustakaan ini untuk mempelajari dan meneliti literatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan bagaimana penanganan mengenai pelaku yang sekaligus sebagai korban, sehingga data yang diperoleh adalah sebagai berikut:

42Ibid, hlm. 15.

43 Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 42.


(34)

1. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan Surat Edaran Mahkaman Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial. 2. Data sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan

hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer antara lain:44

a) Rancangan peraturan perundang-undangan b) Hasil karya ilmiah para sarjana

c) Hasil-hasil penelitian

3. Data Tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan infomasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.45

b. Penelitian lapangan (Field Research) Penelitian lapangan yaitu:

“Suatu cara memperoleh data yang bersifat primer.”46

Penelitian ini dimaksudkan untuk menunjang dan melengkapi data primer, dengan cara melakukan pencarian data sekunder berupa observasi lapangan dan wawancara secara terstruktur.

44 Ronny Hanitjo Soemitro, Op.Cit, hlm. 53. 45 Ibid.


(35)

4.

Teknik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder maupun bahan tertier, sedangkan studi lapangan digunakan untuk memperoleh data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah penelitian.

5.

Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah sebagai berikut:

a.

Observasi digunakan catatan lapangan (catatan berkala).

b.

Interview, dipergunakan Directive Interview atau pedoman wawancara terstruktur, dengan menggunakan buku catatan untuk mencatat hasil pembicaraan narasumber.

6.

Analisi Data

Analisis data dilakukan dengan metode yuridis kualitatif, yaitu dengan cara penyusunan data secara kualitatif dan sistematis untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas, kemudian data yang telah disusun dianalisis untuk dicari kesimpulan.

7.

Lokasi penelitian

Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data dan bahan untuk melakukan penelitian di berbagai lokasi, yang diantaranya adalah:


(36)

a. Perpustakaan:

1) Perpustakaan Hukum Universitas Padjadjaran Bandung yang bertempat di jalan Imam Bonjol No 21.

2) Perpustakaan Hukum Universitas Pasundan Bandung yang bertempat di jalan Lenngkong Dalam No. 17 Bandung.

b. Beberapa Instansi yaitu:

1) Badan Narkotika Provinsi Jawa Barat yang beralamatkan Jl. terusan Jakarta No. 50 Antapai Bandung.

2) Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang bertempat di jalan Surapati No. 47.

3) Pengadilan Bale Bandung yang beralamat di Jalan Jaksa Naranata Bale endah Kabupaten Bandung.


(37)

27

NARKOTIKA

A. Pidana dan Pemidanaan

1. Kebijakan Hukum Pidana

Penangulangan kejahatan dengan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Ada pula yang menyebutnya sebagai older philosophy of crime control. Dilihat sebagai suatu masalah kebijakan, maka ada yang mempermasalahkan apakah perlu kejahatan ditanggulangi, dicegah atau dikendalikan, dengan menggunakan sanksi pidana.1

Sanksi pidana merupakan peninggalan dari kebiadaban kita di masa lalu (a vestige of our savage past) yang seharusnya di hindari pendapat itu ternyata berdasarkan pada pandangan bahwa pidana merupakan tindakan perlakuan atau pengenaan penderitaan yang kejam.2

Sejarah hukum pidana menurut M. Cherif Bassiouni, penuh dengan gambaran-gambaran mengenai perlakuan yang oleh ukuran-ukuran sekarang dipandang kejam dan melampaui batas kemanusiaan. Dikemukakan selanjutnya bahwa gerakan pembaruan

1 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm 149.


(38)

pidana di Eropa Kontinental dan di inggris terutama justru merupakan reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana.3

Dasar pemikiran lainnya ialah adanya pemahaman determinisme yang menyatakan bahwa orang tidak mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan kemasyarakatannya. Dengan demikian, kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak dapat di persalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.4

Seorang penjahat merupakan jenis manusia khusus yang memiliki ketidak normalan organi dan mental, maka bukan pidana yang seharusnya dikenakan kepadanya, tetapi yang diperlukan adalah tindakan-tindakan perawatan yang bertujuan untuk memperbaiki.5

Pandangan determinisme inilah yang menjadi ide dasar dan sangat mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi dengan tokoh antara lain Lombroso, Garofalo, Fern. Menurut Alif Ross pandangan iniah yang kemudian berlanjut pada gerakan modern the campaign against punishment (kampanye meniadakan hukuman).6

3 M.Cherif Bassiouni, Subtantive Criminal Law, Dikutip dalam buku Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm 150.

4Ibid, hlm. 151. 5 Ibid.

6 Alif Ros, On Guilt, Responsibility and Punisment, Dikutip dalam Buku Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 151.


(39)

Pemikiran/ide penghapusan pidana itu dikemukakan pula oleh Filippo Gramatica, seorang tokoh extrim dari aliran defense sosial, yang merupakan perkembangan lebih dari aliran modern.

Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana kesalahan dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Jadi, pada prinsipnya ajaran Gramatica menolak konsepsi-konsepsi mengenai tindak pidana, penjahat dan pidana.7

Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum pidana seperti dikemukakan di atas menurut Roeslan Saleh adalah keliru beliau mengemukakan tiga alasan mengenai masih perlunya pidana dan hukum pidana adapun intinya adalah sebagai berikut:8

a. Perlu tidaknya hukum pidana terletak pada persoalan tujuan- tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan masing-masing.

7 Marc Ancel, Social Defense, Dikutip dalam buku Muladi dan Barda Nawawi Arief,

Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 152.

8 Reoeslan Saleh, Mencari Azas-Azas Umum Sesuai Untuk hukum pidana nasional, Dikutip dalam Buku Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 152.


(40)

b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi seorang terhukum, dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu tidaklah dapat di biarkan begitu saja.

c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga negara masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.

Memperhatikan alasan diatas, maka Roeslan Saleh tetap mempertahankan adanya pidana dan hukum pidana dilihat dari sudut politik kriminal dan dari sudut tujuan fungsi dan pengaruh dari hukum pidana itu sendiri. Istilah yang digunakan beliau sendiri ialah masih adanya dasar asusila dari hukum pidana.9

Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:10

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah

keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui

9 Ibid, hlm 153.


(41)

undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakan norma-norma sentral dari masyarakat.

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (sosial defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare). dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Perumusan tujuan politik kriminal yang demikian itu pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh United Nations of Asia and Far East Institute for Prevention of Crime and Treatment of Offenders (UNAFEI)di Tokyo tahun 1973 sebagai berikut:11

“Most of group members agreed some discussion that “protection of the society” could be accepted as the final goal of

criminal policy, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like “happiness of

citizens”, “a wholesome and cultural living”, ”social welfare” or equality” .

Kesejahteraan masyarakat dapat diterima sebagai tujuan akhir dari kebijakan kriminal, meskipun tidak di jelaskan tentang tujuan utama adalah kesejahteraan masyarakat, yang mungkin mungkin akan dijelaskan oleh istilah-istilah seperti kebahagiaan warga, kesejahteraan sosial atau kesetaraan”

Politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial).

11 Sumary Report, Resource Material Series No. 7, UNAFEI, Dikutip dalam Buku Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Semarang, 2011, hlm. 4.


(42)

Marc Ancel menyatakan, bahwa modern criminal science terdiri dari tiga komponen Crimonlogy, Criminal Law dan Penal Policy dikemukakan olehnya, bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga pada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Marc Ancel meyatakan:12

“Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai tekhnik peraturan perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelediki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional,dimana para sarjana dan praktisi, para ahli krimonologi dan para sarjana hukum dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan pidana yang

realistik, humanis dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat”

Marc Ancel mengemukakan bahwa system hukum pidana abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga dan oleh semua ahli dibidang sosial.13

Istilah kebijakan diambil dari istilah policy (Inggris) atau belanda politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula di sebut dengan istilah politik

12 Marc Ancel Di kutip dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Semarang, 2011, hlm 23.


(43)

hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechts politiek.14

Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut sudarto, Politik Hukum adalah:15

a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat.

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang di cita-citakan.

Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.16 Dalam kesempatan ini beliau menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi yang pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.17

14Ibid, hlm. 26.

15 Sudarto, Dikutip dalam, Ibid. 16Ibid.


(44)

Politik hukum pidana adalah sebagai bagian dari politik hukum maka, politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam dalam definisi penal policy dari Marc Ancel yang menyebutkan secara singkat bahwa suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Peraturan hukum positif (the positif rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas peraturan perundang-undangan hukum pidana. Degan demikian, istilah penal policy menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana.

Menurut A Mulder, Strafrechts politiek (politik hukum) ialah garis kebijakan untuk menentukan:18

a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau di perbaharui.

b. Apa yang dapat di perbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.


(45)

Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:19

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada

pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial-politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukandengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach). Sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya.20

Pendekatan demikian terlihat pula misalnya, pada tulisan Satjipto Rahardjo yang berjudul Pembangunan Hukum yang Diarahkan Kepada Tujuan Nasional. Dikemukakan oleh oleh Satjipto Rahadrjo bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masa tersebut dan

19 Ibid, hlm 30. 20Ibid.


(46)

pengimplementasiannya ke dalam sistem hukum masing-masing. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan hal itu.21

Bertolak dari pendekatan kebijakan tersebut maka Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang sering disebut sebagai kriminalisasi harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut;22

a. Pembangunan hukum pidana harus mmperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata materiil, spiritual berdasarkan Pancasila sehubungan dengan ini maka (pengunaan) hukum pidana bertujuan untuk menangulangi kejahatan dan mengadakan penguguran terhadap tindakan penangulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat.

c. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

21 Ibid, hlm 31.


(47)

d. Pengunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitan atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai kelampauan beban tugas (overbelasting).

Kesimpulan dari simposium pembaruan Hukum Pidana Nasional pada bulan agustus 1980 di semarang. Dalam salah satu laporannya dinyatakan antara lain:23

”Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan

haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat”.

Khususnya mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi laporan simposium itu antara lain menyatakan: untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum seperti berikut:24

a. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.

b. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban pelaku, dan pelaku, kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang dicapai.

23 Laporan Simposium Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Dikutip dalam, Ibid, hlm. 32.


(48)

c. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang yang nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.

d. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

Kriteria umum diatas, dalam symposium tersebut memandang perlu pula untuk memperhatikan sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu dengan melakukan penelitian, khusunya yang berhubungan dengan kemajuan tekhnologi dan perubahan sosial.

Menurut bassiouni keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, termasuk:25

a. Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai.

b. Analisa biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari.

c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia; dan

d. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminaslisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.


(49)

Problem dari pendekatan yang berorientasi pada kebijakan adalah kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai, kedalam membuat keputusan.

Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassiouni seharusnya di pertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan dengan nilai emosional (the emossionally laden value judgment approach) oleh kebanyakan badan-badan legislatif. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dari a policy oriented approach ini lamban datangnya, kerena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Masalahnya antara lain, terletak pada sumber-sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah itu. Kelambanan yang demikian itu ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus menerus tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem, mengakibatkan timbulnya krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overreach of the criminal law), yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan saksi yang efektif.26


(50)

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur nonpenal (bukan/di luar hukum pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindasan/ pemberantasan/ penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada pada sifat preventif (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan repfresif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.27

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur nonpenal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah mengenai faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya nonpenal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal. Posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan,


(51)

ditegaskan pula dalam berbagai kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders sebagai berikut:28 a. Pada kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas, Venezuela antara

lain dinyatakan di dalam pertimbangan reseolusi mengenai Crime tends and crime prevention strategis.

1) The crime problem impedes progress toward the attain ment of an acceptable quality of life for all people.

(Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas lingkungan hidup yang layak atau pantas bagi semua orang).

2) Crime prevention strategies should be based upon the elimination of causes and conditions giving rise to crime (Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kodisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan).

3) The main causes of crime in many countries are social inequality, racia and national discrimination, low standard of living, unemployment and ilitiracy among broad sections of the population.

(Bahwa penyebab utama dari kejahatan di banyak Negara ialah ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebutahurupan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk).


(52)

Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu dinyatakan antara lain:

Call upon all states members of the United Nation to take every measure in their power to eliminate the conditions of life which detract from human dignity and lead to crime, including unemployment, poventry, literacy, racial and national discrimination and various from social inequality

(Menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan meyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurupan (kebodohan), diskriminasi rasial dan nasional serta bermacam-macam bentuk dari ketimpangan

sosial)”.

b. Pada kongres PBB ke 7 tahun 1985 di Milan, italia, antara lain di tegaskan di dalam dokumen A/CONF.121/L/9 (mengenai crime prevention in the context of development).29

“Bahwa upaya pengahapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar (the basic crime prevention strategies). Selanjutnya di dalam pertimbangan resolusi no 22 mengenai crime prevention in the context of developmentantara lain di tegaskan, bahwa:

The basic crime prevention must seek to eliminate the causes and conditions that favour crime”.

(Dasar pencegahan kejahatan harus berusaha untuk menghilangkan penyebab dan kondisi yang mendukung kejahatan)".


(53)

Guiding Principle yang di hasilkan kongres ke 7 di tegaskan antara lain, bahwa:30

policies for crime prevention and criminal justice should take into account the structuran causes, including secio-economic causes of injustice, of which criminality is often but a symptom”.

(Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio ekonomi dimana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom).

c. Pada kongres PBB ke 8 tahun 1990 di Havana, cuba, antara lain ditegaskan di dalam dokumen A/CONF.144/L.17 (mengenai Social aspects of crime prevention and criminal justice in the context of development):31

the social aspects of development are an important factor in the achievement of the objectives of the strategy for crime prevention and criminal justice in the context of development and should be given higher priority”.

(Bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran strategi pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam konteks pembangunan dan harus diberikan prioritas paling utama).

30 Ibid.

31 Dokumen Seventh UN Congres A/CONF>144/L.17, hlm.2. Dikutip dalam Buku Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Semarang, 2011, hlm. 48.


(54)

Aspek sosial yang oleh kongres ke 8 diidentifikasi sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (khusunya dalam masalah Urban Crime), antara lain disebutkan di dalam dokumen A/CONF.144/L3 sebagai berikut:32

a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurupan (kebodohan), ketiandaan/ kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/tidak serasi.

b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan-ketimpangan sosial.

c. Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga.

d. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang bermigrasi ke kota-kota atau negara-negara lain.

e. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan.

f. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga.

g. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan


(55)

masyarakatnya, di lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya.

h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang di sebut diatas.

i. Meluasnya aktifitas kejahatan yang terorganisasi, khusunya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian. j. Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai

ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak, atau sikap-sikap tidak toleran (intoleransi).

Masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan penal. Di sinilah keterbatasan jalur penal dan oleh karena itu, harus ditunjang oleh jalur nonpenal. Salah satu jalur nonpenal untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti dikemukakan di atas adalah lewat jalur kebijakan sosial (sosial policy). Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadiidentik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB (mengenai The Prevention of


(56)

Crime and The Treatment of Offenders), bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu;33

a. Tidak direncanakan secara rasional (it was not rationally planned) atau direncanakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang (unbalanced/inadequately planned).

b. Mengabaikan nilai-nilai cultural dan moral (disregarded cultural and moral values); dan

c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh/integral (did not include integrated social defense strategies).

Resolusi PBB tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan strategi penanggulangan kejahatandan harus diberikan prioritas paling utama yaitu, tujuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerjasama ekonomi internasional hendaknya ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebutahurupan, kebodohan, penyakit dan ketakutan akan perang serta memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidup dalam lingkungan yang sehat.

Upaya penanggulangan kejahatan yang integral mengandung arti pula, bahwa masyarakat dengan seluruh potensinya harus juga dipandang sebagai bagian dari politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, Kongres PBB pun menekankan, bahwa the over all


(57)

organization of society should be considered as anti criminogenicdan menegaskan bahwa community relations were the basis for crime perevention programs. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk membina dan meningkatkan efektivitas extra-legal system atau informal system yang ada di masyarakat dalam usaha penanggulangan kejahatan, antara lain kerjasama dengan organisasi sosial dan keagamaan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi volunteer yang ada di masyarakat.

Kebijakan penanggulangan bahaya penyalahgunaan Narkoba di Indonesia telah dimulai sejak berlakunya Ordonnansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Stbl. 1927 Nomor 278 jo. Nomor 536). Organisasi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang dinyatakan berlaku sejak 26 Juli 1976. Dalam perkembangan terakhir, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997.dan juga Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, Undang-Undang tentang Narkoba menggunakan sarana penal (hukum pidana) untuk penanggulangan bahaya narkoba. Kebijakan penal yang tertuang dalam Undang-Undang tersebut.

Menanggulangi penyalahgunaan zat/obat psikotropika telah pula dibuat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Lahirnya ketiga undang-undang itu didahului dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika


(58)

dan Psikotropika Tahun 1988. Perangkat perundang-undangan untuk memberantas Narkoba itu (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997) juga dilengkapi dengan berbagai Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan), antara lain tentang Peredaran Psikotropika (Permenkes Nomor 688/Menekes/Per/VII/1997) dan tentang Ekspor dan Impor Psikotropika (Permenkes Nomor 785/Menkes/Per/VII/1997).34

2. Pengertian Pidana

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka Dalam mengindentifikasikan tujuan pemindanaan, dalam konsep KUHP baru dan bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana.

Upaya penanggulangan narkotika berhubungan dengan hukum pidana berhubungan dengan masalah sanksi pidana atau masalah pidana dan pemidanaan. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.35

Bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran itu, maka syarat pemindanaan bertolak dari pokok pemikiran keseimbangan mono-dualistik antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu

34 http://www.indoganja.com/2013/12/Konvensi-Tunggal-PBB-Tentang-Narkotika-1961.html, Diakses pada tanggal 7 januari 2014, Pukul 19.00 WIB.


(1)

korban dan pelaku di dalam tindak pidana narkotika, khususnya untuk pelaku penyalah guna narkotika.

5. Menjalin kerjasama yang baik antara penyidik kepolisian dan staf instansi Badan Narkotika Nasional khususnya bidang rehabilitasi, agar penanganan penyalah guna dan pecandu narkotika dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Menetapkan sanksi bagi aparat penegak hukum yang tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi bagi seorang pecandu narkotika dan ketentuan sanksi tersebut harus termuat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Andi hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Badan Narkotika Nasional, Pedoman dan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda, BNN, Jakarta. 2004.

Barda Nawawi Arief, kebijakan hukum pidana, kencana, Semarang, 2011.

Efendi Muhammad, Psikopedagogik Anak Berkelainan, Bumi Aksara, Jakarta, 2006.

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011


(2)

Gatot Suparmo, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta 2007.

Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma, Yogyakarta, 2007.

Kanter dan Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2012.

Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam

Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

Alumni, Bandung. 2003.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam

Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Muladi dan Barda nawawi arief, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, PT Alumni, Bandung, 2010.

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Rena Yulia, Viktimologi, Graaha ilmu, Yogyakarta, 2010.

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Semarang, 1998.

Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana, CV Armico, Bandung, 1990.

Sumarmo ma’sum, Penanggulangan Bahaya narkotika dan ketergantungan Obat, Cv haji masagung, Jakarta,1987. Taufik makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, 2003.


(3)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika Ke dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Sumber Lain

Berkas Sosialisasi Terapi Ketergantungan Narkotika, Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat.

Koesnoen, Perkembangan Pembinaan Narapidana di Luar

Negeri. Bahan ceramah Seminar Kriminologi ke-1.

Semarang. 1969.

Laporan Akuntabilitas Institusi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional Jawa Barat Tahun 2013.

Laporan Akuntabilitas Institusi Pemerintah, Badan Narkotika Nasional Jawa Barat Tahun 2014.

Putusan Nomor 172/PID.Sus/ 2012/ PN.BB.


(4)

http://www.negarahukum.com/hukum/latar-belakang-regulasi-narkotika.html.

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57- lang,id-c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx.

http://cirebonnews.com/berita/item/5558-bnn-pecandu-narkoba-capai-42-juta?tmpl=component&print=1#.U6ljq6NPiVp. http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/de

kriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/de kriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia

http://www.gepenta.com/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,57- lang,id-c,artikel-t,Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx.

http://www.indoganja.com/2013/12/Konvensi-Tunggal-PBB-Tentang-Narkotika-1961.html.

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2013/11/19/813/de kriminalisasi-penyalah-guna-narkotika-dalam-konstruksi-hukum-positif-di-indonesia.

www.scribd.com/doc/93201942/Tujuan-BNN.


(5)

(6)