OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

OVERMACHT DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Komparatif Antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana
Indonesia)

NASKAH PUBLIKASI

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna
Mencapai Derajat Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta

Oleh :
NITA JUWITA
C 100 110 223

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

ABSTRAK
Nita Juwita, NIM C100110223, OVERMACHT DALAM TINDAKPIDA
PEMBUNUHAN (Studi Komparasi antara Hukum Pidana Islam dengan

Hukum Pidana Positif), FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA, 2016.
Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah
menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang dimaksudkan sebagai usaha
mendekatkan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang normatif, penulis
menggunakan analisis deskritif dan komparatif yakni menjelaskan tentang
bagaimana dasar hukum overmacht dalam tindak pidana pembunuhan menurut
hukum pidana Islam dan menurut hukum Pidana Positif, serta bagaimana
implementasi sanksi pidananya ditinjau dari hukum pidana Islam dan Hukum
Pidana Positif.
Overmacht dalam tindak pidana pembunuhan menurut hukum islam tidak dapat
menghapus hukuman, para ulama menyepakati bahwa bagi siapa saja yang telah
melakukan pembunuhan dengan alasan terpaksa (Ikrah) maka tetapdijatuhi
hukuman diyat atau ta’zir. Sedangkan overmacht dalam tindak pembunuhan
menurut hukum pidana positif menyatakan bahwa apabila pelaku melakukan
pembunuhan dengan alasan terpaksa (Overmacht) maka pelaku tersebut didapat
dijatuhi hukuman pidana, karena dalam hukum pidana positif overmacht adalah
salah satu alasan penghapusan pidana.
Kata kunci : overmacht, tindak pidana pembunuhan, hukuman
ABSTRACT

The method used in the conduct of this study is the use of normative law research,
which is intended as an attempt to bring the issues examined by the legal nature
of the normative, the author uses descriptive analysis and comparative which
describes how the basic law of coercion in the criminal act of murder under
Islamic criminal law and according to the criminal law Positive, as well as how
the implementation of criminal sanctions in terms of Islamic criminal law and the
criminal law Positive.
Coercion in the criminal act of murder under Islamic law can not remove the
penalty, the scholars agreed that for anyone who has committed a murder on the
grounds forced (Ikrah) then still getdiyat or ta'zir punishment. While coercion in
the murder according to positive criminal law states that if the perpetrators of
murder by reason of forced (coercion) the offender is obtained sentenced
criminal, because of the positive criminal law coercion is one reason for removal
of criminal.

Keywords:coercion, the crime of murder, punishment

1

PENDAHULUAN

Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh nabi-nabi berdasarkan
wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu Allah pada nabi
Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.1Setiap orang Islam harus mengikuti
syari’at Islam, Segala yang telah diperintahkan oleh Allah dan dicontohkan oleh
Rasul harus di taati dan segala yang dilarangNya harus dihindari.
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani
maupun jasmani, individual dan sosial. Menurut Abu Ishq al Shatibi (m.d.
790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara: (1) agama,
(2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang kemudian disepakati oleh
ilmuwan lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu didalam kepustakaan disebut almaqasid al-khamsah atau al-maqasid al-shari’ah (tujuan hukum Islam).2
Berkaitan dengan yang telah dipaparkan di atas, maka masing-masing
telah memiliki norma atau aturan yang mengaturnya, seperti dalam Islam
ketentuan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana maka telah diatur dalam
Hukum Pidana Islam (Jinayah), dan di Indonesia peraturan yang mengatur tentang
segala tindak pidana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Maka

telah

timbul


suatu

permasalahan

yaitu

bagaimana

jika

pembunuhanpaksaan atau Overmacht dari orang lain? seperti dalam contoh
sebagai berikut : Contoh dalam hal pembunuhan adalah sebagai berikut : Dua
orang, D dan E, bersama-sama memanjat gunung dengan menggunakan tali
dadung yang dipegang oleh kedua orang itu. Pada suatu waktu terjadi keadaan,
bahwa bagi si D hanya ada dua alternatif, yaitu melepaskan talinya dengan akibat
bahwa si E akan jatuh ke dalam jurang, atau tetap memegang tali dengan
1

Syaidus Syahar, 1983, Asas-asas Hukum Islam, Bandung; Penerbit Alumni, hal. 6.

Muhammad Daud, Ali, 1990, Hukum Islam, Jakarta; Penerbit Rajawali Pers Citra
Niaga Buku Perguruan Tinggi, hal. 42
2

2

kepastian bahwa keduanya akan jatuh ke dalam jurang. Apabila si D melepaskan
talinya dengan akibat bahwa E jatuh ke dalam jurang

dan mungkin akan

meninggal dunia, maka bisa dikatakan, bahwa D berbuat terdorong oleh hal
memaksa berupa keadaan gawat (noodtoestand).3
Dari contoh tersebut menurut hukum pidana Islam tidak memberlakukan
overmacht pada tindak pidana pembunuhan, pemotongan anggota badan, dan
penganiayaan berat. Berbeda dengan hukum pidana Indonesia, walaupun
perbuatan tersebut pada kenyataannya telah memenuhi unsur pasal 338 KUHP
tentang pembunuhan, namun dalam konsep overmacht dalam hukum pidana
Indonesi ini berlaku untuk semua tindak pidan, termasuk dalam tindak pidana
pembunuhan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, beberapa permasalahan pokok yang akan
diteliti antara lain sebagai berikut: (1) Bagaimana dasar hukum Overmacht dalam
tindak pidana pembunuhan menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana
Indonesia? (2) Bagaimana Implementasi sanksi bagi pelaku tindak pidana
pembunuhan karena overmacht menurut hukum pidana Islam dan Hukum pidana
Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui dasar
hukum dan alasan tindak pidana pembunuhan karena overmacht menurut hukum
Islam dan Hukum pidana Indonesia, serta mengetahaui norma hukum mengenai
sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan karena overmacht
menurut hukum Islam dalam hukum pidana Indonesia.

3

Wirjono Prodjodikoro, 1981 Asas-asas Hukum pidana di Indonesia, Jakarta:

Eresco
3


Manfaat

teoritis

hasil

penelitian

ini

penulis

berharap

dapat

mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum islam dan dijadikan bahan
referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang pasti lebih mendalam
khususnya mengenai permasalahan overmacht dalam tindak pidana pembunuhan

baik perspektif hukum pidana Islam maupun perspektif hukum pidana Indonesia,
serta dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya. Adapun manfaat praktis
hasil dari penelitian ini penulis berharap akan memberikan wawasan pengetahuan
yang nyata dan dapat memberikan informasi mengenai permasalahan overmach
dalam tindak pidana pembunuhan baik perspektif hukum pidana Islam maupun
perpsektif hukum pidana Indonesia.
Kerangka Pemikiran
Dalam aturan Hukum Islam dan Hukum Pidana Positif sudah sangat jelas
bahwa pembunuhan adalah perbuatan yang sangat dilarang, dan bagi yang
melanggarnya maka akan dikenai

sanksi

pidana sesuai dengan

yang

diberlakukannya. Namun untuk pembunuhan karena sebab overmacht dalam
aturan hukum yang diberlakukan didalam hukum pidana Islam dan hukum pidana
positif memiliki beberapa perbedaan, dan mengenai sanksi yang diterapkannya

pun berbeda.
Dalam penentuan bahwa kasus pembunuhan itu karena sebab overmacht
atau bukan tentu harus melewati syarat-syaratnya yang sudah ditentukan. Seperti
dalam hukum Islam yaitu sebagai berikut: (1) Ancaman yang menyertai paksaan
adalah berat, (2) Apa yang diancamkan adalah seketika yang mesti (hampir)
terjadi, (3) Orang yang memaksa mempunyai kesanggupan (kemampuan) untuk
melaksanakan ancamannya, meskipun dia bukan penguasa atau petugas tertentu,
sebab yang menjadi ukuran ialah kesanggupan nyata, (4) Pada orang yang

4

menghadapi paksaan timbul dugaan kuat bahwa apa yang diancamkan padanya
benar-benar akan terjadi, (5) Perkara yang diancamkan adalah perbuatan yang
dilarang. Sedangkan untuk persyaratan dalam hukum pidana Indonesia
menentukan batas pertanmggung jawaban pidana dari pembuatannya semua
penentuan ini harus berdasarkan ukuran-unuran obyektif. hakim harus melakukan
pembuktian yang sangat ketat dan mendalam untuk membuktikan bahwa ada
unsur overmacht atau tidak dalam tindak pidana. Apabila terbukti ada unsur
paksaan (Overmacht) maka hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pada
sipelaku, akan tetapi jika tidak terbukti, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman

sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut :
(1)Jenis Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, (2) Sumber data :
Data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif, (3) Sumber data primer (a)
Sumber data primer ialah data dasar, data asli yang diperoleh peneliti dari tangan
pertama, dari sumber asalnya yang pertama yang belum diolah dan diuraikan
oranglain.4 Data primer merupakan literatur yang langsung berhubungan dengan
permasalahan penelitian, meliputi Al-Qur’an, Al-hadist, dan Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) (b) Sumber data sekunderadalah data-data yang
diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan
hasil penelitian dan pengolahan orang lain,yang sudah tersedia dalam bentuk
buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan, milik
pribadi peneliti. Untuk melakukan analisa terhadap konsep yang sudah ada
sebagaimana dideskripsikan oleh penulis, penulis mencari sumber dari buku-buku
4

Hilma Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Bandung; CV Mandar Maju, Hal. 65
5


yang mempunyai keterkaitan, meliputi literatur-literatur yang berkaitan dengan
skripsi, buku-buku mata kuliah, jurnal, dan buku-buku lainnya.
PEMBAHASAN
Pembunuhan adalah salah satu tindak pidana atau jarimah yang dilarang
dalam hukum Islam maupun hukum di Indonesia, karena dalam hukum
pembunuhan merupakan pembuatan yang sangat keji dan haram sehingga dilarang
dalam hukum Islam, dalam hukum pidana positif pun melarangnya karena itu
adalah sudah termauk pada pelanggaran hak asasi manusia. Akan tetapi timbul
suatu pertanyaan bagaimana jika terjadi pembunuhan tapi karena adanya dorongan
overmacht(Paksaan)?
Paksaan (Ikrah) suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena
orang lain,dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi
pilihannya. Adapun fuqaha yang mendefinisikan paksaan ialah apa yang
ditimpakan

kepada

orang

lain,

yaitu

yang

membahayakannya

atau

menyakitkannya.5Overmacht dalam hukum pidana Positif adalah suatu tekanan
atau ancaman yang tidak dapat dihindari. Jika ancaman itu dirasa berat dirasa
tidak dapat unuk mengelaknya.
Overmachttelah diatur dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan: “Barang
siapa melakukan perbuatan karena terdorong keadaaan atau daya paksa, tidak
dipidana”. Pada hakikatnya keadaan Overmacht atau Ikrah suatu perbuatan yang
bukan karena keinginnannya sendiri melainkan datang dari tekanan orang lain.
Macam-macam Daya Paksa
(a) Vis absoluta (daya paksa mutlak)
(b) Vis compulsiva (daya paksa relatif), dan
5

Ahmad Hanafi, 1967, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Penerbit Bulan
Bintang, hal 354
6

(c) Noodtoestand (keadaan darurat)6
Di bawah ini disajikan pokok-pokok pikiran Jonkers tentang ketiga macam
daya paksa tersebut di atas :
(1) Daya paksa absolut (overmacht absolute)
Dalam pengertian tersebut termasuk hal-hal, yang pembuat tidak dapat
berbuat lain. Pembuat dalam keadaan demikian tidak dapat berbuat lain. Pembuat
dalam keadaan demikian tidak dapat mengadakan pilihan lain selain daripada
berbuat demikian. Pengaruh yang bekerja terhadapnya dapat bersifat jasmaniah
dan rohaniah. Misalnya daya paksa rohaniah : Seseorang ditangkap oleh orang
yang kuat, lalu dilemparkan keluar jendela, shingga terjadi perusakan barang.
(2) Daya Paksa Relatif (Overmacht Relatif)
Kekuasaan, kekuatan, dorongan atau paksaan phsyiek atau psyichisch
terhadap orang bersangkutan bersifat relatif atau nisbi. Misalnya : pada
perampokan sebuah bank, bankir diancam dengan pistol supaya menyerahkan
uang. Bilamana tidak dilakukannya, maka pistol itu akan ditembakkan oleh
perampok dan pelurunya mengenai dirinya. Teoritis, bankier itu dapat melawan
dengan risiko mati ditembak. Bilamana ia tidak melawan dan menuruti kehendak
perampok, maka ia tidak dapat dipidana, sekalipun ia telah melakukan perbuatan
yang bersifat melawan hukum.
(3) Keadaan Darurat (noodtoestend)
Keadaan darurat adalah alasan pembenar, yaitu kalau seseorang dihadapkan
pada suatu dilema untuk memilih diantar melakukan delik atau merusak
kepentingan yang lebih besar. Dalam keadaan demikian dibenarkan oleh hukum

6

Op.cit Hal. 192
7

kalau orang melakukan delik agar kepentingan yang lebih besar tadi diamankan.
Karena itu delik tersebut dalam keadaan yang demikian tidak dapat dipidana.7
Dasar Hukum Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Indonesia
a.

Dasar Hukum Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Islam
Pertama, diantara perbuatan-perbuatan jarimah ada perbuatan yang orang

boleh melakukannya,karena ada paksaan misalkan dipaksa makan bangkai, daging
babi, minum khomar, ganja, dan sebagainya. Yang termasuk dalam golongan ini
ialah perbuatan-perbuatan jarimah yang mengenai makanan dan minuman. Pada
dasarnya perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang, tapi karena
adanya overmacht, sehingga tidak dijatuhi hukuman atas perbuatannya tersebut,
dengan catatan karena dharurat dan tidak boleh berlebih-lebihan.
Kedua, diantara perbuatan-perbuatan jarimah yang orang tidak boleh
melakukan jarimah itu meskipun dipaksa dengan paksaan absolut, misalkan
dipaksa untuk membunuh, menganiaya berat. Para fuqoha pada umumnya sepakat
atas pendirian tersebut di atas, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai
hukuman yang dijatuhkan terhadap siberbuat. Imam Malik dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa si berbuat harus dihukum qisas; Ulama-ulama dari madzhab
Syafi’i berpendapat bahwa ia dihukum diyat; sedangkan Imam Hanafi dan Imam
Muhammad hanya menetapkan hukuman ta’zir. Adapun hukuman tambahan bagi
sipelaku adalah hilangnya hak berwasiat dan hak mendapat warisan.
Pada dasarnya sikorban atau walinya tidak mempunyai hak mengampuni
dalam soal pidana, akan tetapi untuk jarimah qisas diyat ini ia diberi hak
mengampuni sebagai pengecualian. Ia diberi hak mengampuni karena jarimah ini
7

Op.cit Hal. 193
8

erat hubungannya dengan sikorban. Mungkin sikorban atau walinya memikirkan
nasib keluarganya yang ditinggalkan, kemudian ia memaafkan dan meminta diyat.
Atau sikorban/walinya orang yang bermurah hati, kemudian memaafkan tanpa
minta diyat. Atau sikorban/walinya orang yang bermurah hati, kemudian
memaafkan tanpa minta diyat. Dan pembunuhan semi sengaja dan karena khilaf,
dihukum wajib bayar diyat 100 ekor unta, atau 200 lembu atau 1000 dinar,
diberikan kepada wali sikorban.
Ketiga, ada juga perbuatan-perbuatan jarimah yang boleh melakukannya
karena darurat. Keadaan darurat dipersamakan dengan paksaan; perbedaan antara
keduanya terletak pada sebab timbulnya. Dalam paksaan siberbuat dipaksa oleh
orang lain dan dalam darurat si berbuat dipaksa oleh keadaan. Misalnya orang
terlalu lapar kemudian mencuri makanan atau minuman sekedar untuk menjaga
hidupnya.
b.

Dasar Hukum Overmacht Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Menurut
Hukum Pidana Positif
Menurut hukum pidana Indonesia paksaan (Overmacht) merupakan alasan

yang menghapuskan tindak pidana, yang dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP.
Hapusnya hukuman ini berlaku secara umum tanpa membedakan jenis-jenis
tindak pidana, termasuk dalam pidana pembunuhan. Dalam hukum pidana positif ,
tindak pidana pembunuhan sengaja dalam bentuk umum diatur dalam Pasal 338
KUHP dengan pidana penjara maksimal 15 tahun, Pasal 339 dengan ancaman
pidana penjara maksimal dua puluh tahun, dan Pasal 340 KUHP dengan ancaman
mati. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja diatur dalam Pasal 359 dengan
penjara maksimal lima tahun. Penentuan adanya Overmacht bergantung pada
penilaian hakim yang berdasarkan ukuran-ukuran obyektif dan subyektif.

9

Menurut pendapat penulis, dalam hal ini hakim harus melakukan
pembuktian yang sangat ketat dan mendalam untuk membuktikan bahwa ada
unsur overmacht atau tidak dalam tindak pidana. Apabila terbukti ada unsur
paksaan (Overmacht) maka hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman pada
sipelaku, akan tetapi jika tidak terbukti, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman
sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Implementasi Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Karena
Overmacht Menurut Hukum Pidana Islam Dan Hukum Pidana Indonesia
a.

Implementasi Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Karena
Overmacht Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam hukum Islam sangatlah melarang manusia untuk bunuh diri, dan

membunuh orang lain. Ketika terjadi suatu pemaksaan untuk memilih diantara dua
pilihan yang mana pilihan tersebut mengakibatkan bahaya terhadap dirinya sendiri
atau membahayakan orang lain. Tentu Islam telah mengaturnya dalam kaidah
untuk mengatur hal atau keadaan seperti ini, bahwa“Kemadharatan tidak boleh
dihilangkan dengan kemadharatan lagi”8. Kaidah tersebut menegaskan kepada
setiap manusia untuk tidak menghindari bahaya dengan bahaya yang lain atau
mengorbankan orang lain demi menyelamatkan diri atau sebaliknya. Tapi apabila
manusia berada dalam kondisi diantara dua pilihan yang mengakibatkan bahaya,
terdapat

alternatif

lain

seperti

kaidah

berikut:“Apabila

dua

mafsadah

bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudharatnya dengan
mengerjakan yang lebih ringan mudharatnya”.
Dalam kaidah diatas menegaskan kepada manusia apabila dihadapkan dua
pilihan yang mana kedua pilihan tersebut mengandung kerusakan, keburukan
Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
Beirut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, tt, hlm. 86.
8

10

atau bahaya yang bertentangan, maka pilihlah yang lebih besar kebaikanna serta
pilihlah yang ringan ketidak manfaatannya (Mudharat).
Dalam hukum Islam jarimah yang diperbolehkan dengan alasan adanya
paksaan (Ikrah) hanyalah memakan bangkai, meminum khomar, dipaksa untuk
Murtad, dan dipaksa berzina. Dalam hukum Islam tidaklah memberlakukan
pembunuhan, mutilasi, atau penganiayaan berat. Bagi seseorang yang lebih
memilih tindak pidana yang lebih berat, dibanding menolak bahaya yang lebih
ringan, maka sipelaku tersebut tetap dikanai hukuman.
Dalam memberikan sanksi terhadap pelaku pembunuhan, Islam tidak
terpaku hanya pada satu hukum saja, akan tetapi memberikan alternatif baik
pembunuhan itu sengaja atau pembunuhan yang tidak disengaja. Bahkan Islam
memberikan pilihan bagi keluarga terbunuh dalam memberikan sanksi terhadap
pelaku antara qisas atau memaafkan dan disuruh pilih pula memberikan maaf
dengan tidak memberikan ganti apa-apa.
Sanksi tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam beraneka ragam.
Selain hukuman qisas terdapat pula hukuman yang lain seperti, hukuman diyat,
ta'zir, kafarat. Hal ini membantu para hakim dalam melaksanakan sanksi pidana
sesuai dengan jarimah yang dilakukan. Adapun tujuan penerapan sanksi adalah
untuk memperbaiki jiwa dan mendidiknya serta berusaha menuju ketentraman dan
keberuntungan masyarakat manusia. Kemudian dalam penerapan hukuman mati
syari'at Islam tidak menghalanginya sama sekali, tetapi Islam mengadakan aneka
rupa syarat untuk menyempitkan pelaksanaan hukuman tersebut dan memberikan
keringanan apabila ada maaf dari pihak terbunuh.Contoh kasus : Duduk
perkaranya adalah sebagai berikut:

11

Siti sering mengalami penyiksaan dari majikan perempuannya. Kondisi ini
diceritakan Siti kepada keluarga melalui surat yang dikirim ke keluarga di
Bangkalan. Siti mengatakan tidak kerasan bekerja di Arab Saudi dan ingin pulang
pada Hari Raya Idul Fitri pada 1998.Lantas terjadilah kejadian itu, Siti bercerita
saat hendak salat Subuh, dia memasak air di dapur.Lalu, majikan perempuannya
memukul kepala, menjambak dan mencekik lehernya.Kemudian, dalam keadaan
kesusahan dan kesakitan, Siti mencari pisau dan menusuk perut majikannya.
Kemudian pelaku di Penjara Umum Madinah sejak 5 Oktober 1999. Setelah
melalui rangkaian proses hukum, pada 8 Januari 2001, Pengadilan Madinah
menjatuhkan hukuman mati atau qishash kepada Siti Zaenab. Dengan jatuhnya
keputusan qishash tersebut hanya pemaafan hanya bisa diberikan oleh ahli waris
korban.Namun, pelaksanaan hukumna mati tersebut ditunda untuk menunggu
Walid bin Abdullah bin Muhsin Al-Ahmadi, putra bungsu korban, mencapai usia
akil balig. Pada tahun 2013, setelah dinyatakan akil baligh Walid bin Abdullah bin
Muhsin Al-Ahmadi menyampaikan kepada pengadilan perihal penolakannya
untuk memberikan pemaafan kepada Siti Zaenab dan tetap menuntut pelaksanaan
hukuman mati. Hal ini kemudian dicatat dalam keputusan pengadilan pada tahun
2013. Akhirnya Siti Zaenab di eksekusi hukuman mati pada hari selasa, 14 Maret
2015.9
b.

Analisis ImplementasiSanksi Bagi Pelaku Overmacht Dalam Tindak Pidana
Positif.
Implementasi sanksi bagi pelaku Overmacht dalam hukum pidana positif

adalah diatur dalam Pasal 48 KUHP yang pada intinya tidak dapat dihukum
pidana, dan ini berlaku juga untuk tindak pidana pembunuhan yang
9

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150415074100-20-46707/kronologi-sitizaenab-hingga-dihukum-mati-di-arab-saudi/. Pukul 17.41

12

mengakibatkan hapusnya sifat melawan hukum, tapi dengan syarat ada bukti yang
kuat dan alasan pembenar.
Menurut pendapat penulis, hukum pidana Indonesia cenderung memanjakan
pelaku dengan adanya overmacht sebagai alasan menghapuskan hukuman. Tindak
pidana pembunuhan digolongkan sebagai tindak pidana murni dan hanya
termasuk dalam wilayah hukum publik, sehingga wewenang penjatuhan hukuman
berada sepenuhnya pada penguasa atau negara, tanpa campur tangan dari pihak
keluarga korban untuk menuntut ganti rugi terhadap pelaku dengan mengganti
hukuman lainnya.
Dari pemaparan di atas, terdapat persamaan dalam hukum Islam dan hukum
pidana Indonesia yaitu keduanya mengkategorikan overmacht dalam tindak
pidana pembunuhan sebagai pembunuhan sengaja. Adapun perbedaan baik dalam
hukum Islam maupun hukum pidana Indonesia yaitu dari segi penerapan hukum
terhadap overmacht dalam hukum Islam dapat dilihat dahulu dari sebab-sebabnya
misalkan sebab diperbolehkannya suatu jarimah, sebab yang dapat yang dapat
menhapus hukuman atas tindak pidana, dan perbuatan yang dilarang tidaklah
berpengaruh terhadap tindak pidana.
Dalam hukum Islam Overmacht hanya berlaku untuk makanan, minuman
saja, dan untuk tindak pidana pembunuhan (sengaja) tidak berlaku, sehingga
pelaku tetap harus dijatuhi sanksi pidana (seperti, qisas, diyat, dan ta’zir).
Sedangkan menurut hukum pidana Positif Overmacht adalah salah satu dari alasan
penghapusan pidana kartena adanya alasan pemaaf dan pembenar, dan pelaku
dapat dinyatakan lolos dari segala tuntutan hukum termasuk pelaku pembunuhan.
Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:

13

Terdakwa yang bernama Sudir pekerjaannya adalah seorang pengemudi
Truk (bukan Mobil untuk membawa penumpang). Pada hari Minggu tanggal 4
November 1979 TRUK AE 1253 XX yang dikemudikannya diperintahkan untuk
membawa penumpang 35 orang Polisi. Di perjalanan yaitu bertempat di kilometer
36-37 jurusan Pacitan-Ponorogo desa Tegalombo, wilayah hukum Pengadilan
Negeri Pacitan, telah terguling dan mengakibatkan 12 orang penumpang (Polisi)
menderita luka-luka.
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Dalam hal ini pelaku didakwa berdasarkan Pasal 360 ayat (2) KUHP, “karena
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa hingga timbul, penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu”.
Berdasarkan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum tersebut diatas,
Pengadilan

Negeri

Pacitan

menjatuhkan

putusannya

sebagai

berikut:

Putusan Pengadilan Negeri
Menyatakan bahwa kesalahan tertuduh: karena kealpaannya menyebabkan
orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga menjadikan halangan menjalankan
pekerjaan jabatan selama waktu tertentu” telah terbukti secara sah dan
meyakinkan; Menyatakan pula bahwa perbuatan pidana yang telah terbukti secara
sah dan meyakinkan itu dilakukan oleh tertuduh karena adanya daya paksa (Pasal
48 KUHP) Melepaskan oleh karena itu tertuduh dari segala tuntutan hukum;
Memerintahkan supaya ia segeradimerdekakan, kecuali kalau ia tertuduh karena
alasan lain tetap ditahan penjara; Memerintahkan pula supaya barang
bukti.........”10
Majelis Hakim menegaskan bahwa tindakan terdakwa tersebut adalah
10

Hamdan, 2012, Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus, Jakarta: Refika
Aditama, hal. 187-188
14

karena pengaruh overmacht. Maka dari itu, terdakwa tidak memenuhi unsur Pasal
360 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim sepakat bahwa perbuatan terdakwa termasuk
melanggar

Pasal 48 KUHP. Oleh karena itu, terdakwa tidak dapat dituntut,

Karena yang dilakukan oleh terdakwa adalah benar dan terdakwa memiliki bukti,
walaupun hal ini menyebabkan penumpang luka-luka, tapi karena dalam keadaan
terpak (overmacht), maka terdakwa dinyatakan tidak dapat dituntut.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
Pertama, dalam hukum Islam Overmacht hanya dibolehkan pada
perbuatan-perbuatan jarimah yang berkaitan dengan makanan dan minuman,
berdasarkan Q.S Al-Baqarah ayat (173) yang pada intinya tidak ada hukuman bagi
siapa saja yang memakan bangkai, darah, daging babi, dan makanan apa saja yang
di haramkan jika memang dalam keadaan terpaksa dan tidak melampaui batas.
Tapi apabila memang makanan dan minuman tersebut adalah hasil curian maka si
terpaksa wajib memberikan ganti rugi kepada korban yang dicuri. Sedangkan
untuk overmacht membunuh dan menganiaya berat dalam hukum Islam tidak
boleh atau dilarang keras, terkecuali jika ada alasan atau sebab yang benar,
berdasarkan pada Q.S Al-an’am : 151 yang mengandung makna bahwa Allah
telah mengharamkan membunuh jiwa seseorang, jika tidak ada sebab yang benar,
misalnya murtad, dan berzina. Berbeda lagi dalam hukum pidana positif
overmacht merupakan dasar peniadaan hukuman dari suatu tindak pidana dengan
adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, berdasarkan pasal 48 KUHP yang
pada intinya bahwa bagi siapapun yang melakukan tindak pidana karena terpaksa
maka tidak ada hukuman atas tindak pidana tersebut.

15

Kedua, implementasi sanksi untuk pelaku tindak pidana pembunuhan
karena adanya overmacht hukuman yang dijatuhkan dalam

hukum Islam

terhadap si pelaku adalah dengan hukuman qisas, diyat, dan ta’zir. Sedangkan
dalam hukum pidana positif sebaliknya yaitu pidana yang dilakukan karena
overmacht maka tidak dipidana, karena adanya alasan pembenar yang
mengakibatkan hapusnya sifat melawan hukum perbuatan, sehingga apa yang
dilakukan sipelaku menjadi perbuatan yang benar. Walaupun dalam kenyataannya
perbuatan sipelaku telah memenuhi unsur tindak pidana, akan tetapi karena
hilangnya sifat melawan hukum, maka terdakwa tidak dipidana.
Saran
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan oleh penulis, maka penulis
dapat memberikan saran sebagai berikut:
Pertama, bagi Mahasiswa supaya dapat mengetahui, menela’ah, dan
mengkaji tentang penafsiran dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana
Positif.
Kedua, bagi pemerintah sebagaimana yang terjadi di dalam masyarakat
banyak keresahan terhadap moral bangsa yang semakin meresahkan khususnya
tentang pembunuhan, Pemerintah yang diamanahi untuk membentuk hukum yang
tegas dan adil dalam menangani segala macam tindak pidana, guna
menyelamatkan moral bangsa ini.

16

DAFTAR PUSTAKA
Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Bandung; CV Mandar Maju
Hanafi, Ahmad, 1967, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta; Penerbit Bulan
Bintang
Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair,
Beirut: Daar al-Kutub al-‘Alamiyah, tt
Ali, Daud, Muhammad, 1990, Hukum Islam, Jakarta; Penerbit Rajawali Pers Citra
Niaga
Buku Perguruan Tinggi, hal. 42
Syahar, Syaidus, 1983, Asas-asas Hukum Islam, Bandung; Penerbit Alumni
Moeljatno, 2008, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta; Bumi Aksara
Departemen Agama RI, 2005, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV
Penerbit Jumanatul’Ali-Art (J-ART)
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150415074100-20-46707/kronologi-sitizaenab-hingga-dihukum-mati-di-arab-saudi/. Pukul 17.41