Analisis Tentang Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia Dan Hukum Pidana Islam

(1)

ANALISIS TENTANG PIDANA MATI DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Tesis

Oleh

MARDIA PULUNGAN

087005032/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS TENTANG PIDANA MATI DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARDIA PULUNGAN

087005032/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : ANALISIS TENTANG PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

Nama Mahasiswa : Mardia Pulungan.

NIM : 087005032.

Program Studi : Magister Ilmu Hukum.

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) K e t u a

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) K e t u a


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 23 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 3. Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD 4. Dr. Hamdan, SH. MH


(5)

ABSTRAK

Hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Terhadap pertanyaan pidana mati terdapat 2 (dua) arus pemikiran utama,

pertama: adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan

yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang ingin menghapuskan secara keseluruhan, dengan alasan yang selalu dijadikan tameng adalah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup (right to life). Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa Negara, seperti Amerika serikat dan Uni Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia, pidana mati juga berlaku dalam hukum pidana Islam, dalam hukum pidana Islam, pidana mati merupakan jenis pidana yang wajib diterapkan terhadap jarimah (tindak pidana tertentu). Akan tetapi banyak kalangan yang mempersepsikan pidana mati tersebut sebagai suatu pidana yang sangat kejam, dan tidak berprikemanusiaan. Dengan demikian, untuk menjawab pro dan kontra mengenai pelaksanaan pidana mati, khususnya dalam hukum pidana nasional Indonesia, ada baiknya menggali nilai-nilai filosofis dari pidana mati itu sendiri sehingga bisa melahirkan perspektif yang berkaitan dengan pengaturan pidana mati kedepan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati yang berlaku baik dalam hukum pidana nasional Indonesia maupun hukum pidana Islam adalah agar terwujudnya cita-cita hukum itu sendiri, yaitu untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian masyarakat dari gangguan kejahatan. Disisi lain, eksekusi mati tersebut juga dimaksudkan sebagai penjeraan atau pencegahan (detterence/prevention) bagi para penjahat berpotensial lainnya, sehingga terciptalah kedamaian dan ketentraman itu. Kemudian Baik hukum pidana nasional Indonesia maupun hukum pidana Islam sangat memperhatikan rasa keadilan. Karena itulah, keduanya sama-sama menerapkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu yang mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat, meskipun terdapat sedikit perbedaan tentang konsep keadilan itu sendiri dalam kedua sistem hukum tersebut


(6)

Oleh karena itu, hendaknya para pengambil kebijakan dapat mengatur tindak-tindak pidana berat lainnya yang dewasa ini sering terjadi dan sangat mengganggu serta meresahkan masyarakat menjadi salah satu tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana mati. Misalnya, pengacau keamanan, pemerkosaan, penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban, dan sebagainya. Selain itu, pelaksanaan eksekusi mati itu juga harus menjadi agenda penting, yaitu dengan melaksanakannya didepan umum (khalayak ramai) seperti yang berlaku dalam hukum pidana Islam, atau setidaknya dipublikasikan secara luas. Hal ini dimaksudkan agar pidana mati itu benar-benar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu general deterrence (penjeraan bagi masyarakat luas).

Kata kunci : Pidana Mati, Hukum Pidana Indonesia, Hukum Pidana Islam.


(7)

ABSTRACT

Capital sentence remains a controversial debate. Pro and cons in application of capital sentences is competitive among community, and even among policy takers. To question of capital sentences two lines of thinking are posed, first some maintains it based on the applicable requirements, seconds, some wants to eliminate it at all. The common reason for it is always inconsistent with human rights, ice, rights of life. The recent tendency is elimination of capital sentence, as practiced ion some countries, including united states and Europe Union. Indonesia is a state to maintain the capital sentences through positive law system. As stated in national criminal law of Indonesia, the capital sentences is always applied in criminal law of island. In criminal law of island. Capital sentences is a compulsory judgment to be enforced on jeremiahs (certain criminal matter). However, some people assumed that the capital sentences is a very implementation of capital sentences in Indonesia, it is important to dig the philosophical values of the capital sentences it salt in order to generate the per spec ties related to determination of capital sentences in the future.

This was a normative law research of analytical and descriptive nature. In collection of date. This research used the library research, referring to primary law material, secondary law materials and tertiary one related to the problem. The equalization approach was used to analye the data, in depth analysis of data and holistic and then taken into interpretation. The result of juridical interpretation was expended to answer the problem of law posed in this paper.

The result of research indicated that the application of capital sentences either in national criminal law of Indonesia or Islamic law be to realize the ideal of law itself, I,e to produce the order and peace among peoples against offence. In another hand, the execution for capital sentences was also to realize the détente/preventive principle on another potential crimes, thus both order and peace would be created. And both national criminal law of Indonesia or Islamic criminal law were very concerned with the justice. For the reason, both were equally to enforce the capital sentences on certain criminal disturbing the order and peace among peoples, although there was still some debate regarding the concept of justice it self in both law system.

Therefore, it is suggested that policy takers should regulate another heavy criminal matter that is rottenly occurring recently. For example the disturb bane of safety, rape, insults causing the death of victims, and so on. Finally the implementation of execution in capital sentences has been a very importing agenda by applying it before public as practiced in island criminal law, or at least, it should be publicized widely. This will be to prove that the function of capital sentences is made as expected, to be a general detterence (deterring among offensive individuals). Keywords: Capital Sentences, Criminal Law Of Indonesia, Islamic Criminal Law.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah saya memanjatkan segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis Tentang Pidana

Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”. Demikian juga

shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan sayaan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah saya dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu saya anggap sebagai suatu ujian dariMu, sehingga harus saya hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolonganMu, karena saya yakin bahwa Engkau tidak akan membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini saya menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang saya muliakan, yaitu:


(9)

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan saya.

2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada saya dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. MHum selaku pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi saya dalam penulisan tesis ini.

4. Yang terpelajar Bapak Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD dan Bapak Dr. Hamdan, SH. MH selaku penguji dari kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik. 5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum

Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu. 6. Seseorang yang terdekat dihati saya, Dupan Mey Dariah yang dengan

ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada saya, serta senantiasa menemani saya baik dalam suka maupun duka, juga buah hati kami yang baru saja lahir, Abdullah Musthafa, semoga menjadi anak yang sholeh serta panjang umur, semoga semuanya senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.


(10)

7. Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (Dani Sintara, Ijal, Ya’thi, Moral, Abel, Franky, Kiki, Pristi, Leni, Yani, Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu. Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada saudara-saudara kandung saya, yakni: Abdul Hadi Pulungan, Robiatul Adawiyah, Abdul Hafiz, Halimatussa’diyah, Mariyatulkibtiyah, Suaibatul Aslamiyah, Nur Azizah (Butet Menek).

Akhirnya saya sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus saya untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan orang tua saya tercinta, yakni Ayahanda Awal Pulungan dan Ibunda Mojak Batubara, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan sayaan tesis ini.

Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak

Bukanlah Gading” yang berarti juga saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh

dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya mengharap kritik dan saran dari para pembaca sekalian demi menuju tulisan ini kearah yang lebih baik.


(11)

Akhirnya, saya berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, 30 Desember 2010. Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalahan ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19

1. Kerangka teori ... 20

2. Kerangka konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... 31

1. Jenis penelitian ... 33

2. Sumber data ... 33

3. Teknik pengumpul data ... 35


(13)

BAB II : ASPEK FILOSOFIS PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM

PIDANA ISLAM ... 37 A. Asfek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum

Pidana Indonesia ... 37 B. Asfek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum

Pidana Islam ... 54 BAB III : PENGATURAN PIDANA MATI DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA

ISLAM ... 65 A. Pengaturan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana

Indonesia ... 65 1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan

hukuman mati ... 65 a. Pidana mati didalam KUHP ... 66 b. Pidana mati diluar KUHP ... 70 2. Mekanisme Eksekusi Mati Dalam Hukum Pidana

Indonesia ... 73 B. Pengaturan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam ... 79

1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan

hukuman mati ... 79 2. Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana

Islam ... 92

BAB IV : PERSPEKTIF PENGATURAN PIDANA MATI

KEDEPAN ... ... 105 A. Argumentasi Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati


(14)

B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap

Pidana Mati ... 113

C. Perspektif Pidana Mati Kedepan ... 115

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 133 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mardia Pulungan.

Tempat / Tanggal Lahir : Tornaincat, 20 September 1982.

Alamat : Jl. Flamboyan Raya Komplek Plamboyan

Island Blok L No. 40 Tanjung Selamat Medan.

Agama : Islam

Pekerjaan : Guru Swasta.

Status Pribadi : Sudah Menikah.

Pendidikan :

1. SDN Batumadinding Kab. Madina : 1990-1996.

2. MTs Musthafawiyah Purba Baru Kab. Madina : 1997-2000. 3. Ma’had Pondok Pesantren Musthafawiyah Kab. Madina : 1996-2003. 4. MAS Musthafawiyah Purba Baru Kab. Madina : 2000-2003.

5. IAIN Sumatera Utara Medan : 2003-2008.

6. Program Magister Ilmu Hukum USU : 2008-2011.

Nama Orang Tua Laki-Laki : Awal Pulungan. Nama Orang Tua Perempuan : Mojak Batubara.

Anak Ke : 1 Dari 8 Bersaudara.

Tahun Masuk Di SPS Ilmu : Tahun 2008. Hukum FH USU


(16)

ABSTRAK

Hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Terhadap pertanyaan pidana mati terdapat 2 (dua) arus pemikiran utama,

pertama: adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan

yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang ingin menghapuskan secara keseluruhan, dengan alasan yang selalu dijadikan tameng adalah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup (right to life). Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa Negara, seperti Amerika serikat dan Uni Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia, pidana mati juga berlaku dalam hukum pidana Islam, dalam hukum pidana Islam, pidana mati merupakan jenis pidana yang wajib diterapkan terhadap jarimah (tindak pidana tertentu). Akan tetapi banyak kalangan yang mempersepsikan pidana mati tersebut sebagai suatu pidana yang sangat kejam, dan tidak berprikemanusiaan. Dengan demikian, untuk menjawab pro dan kontra mengenai pelaksanaan pidana mati, khususnya dalam hukum pidana nasional Indonesia, ada baiknya menggali nilai-nilai filosofis dari pidana mati itu sendiri sehingga bisa melahirkan perspektif yang berkaitan dengan pengaturan pidana mati kedepan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati yang berlaku baik dalam hukum pidana nasional Indonesia maupun hukum pidana Islam adalah agar terwujudnya cita-cita hukum itu sendiri, yaitu untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian masyarakat dari gangguan kejahatan. Disisi lain, eksekusi mati tersebut juga dimaksudkan sebagai penjeraan atau pencegahan (detterence/prevention) bagi para penjahat berpotensial lainnya, sehingga terciptalah kedamaian dan ketentraman itu. Kemudian Baik hukum pidana nasional Indonesia maupun hukum pidana Islam sangat memperhatikan rasa keadilan. Karena itulah, keduanya sama-sama menerapkan pidana mati terhadap tindak pidana tertentu yang mengganggu ketentraman dan kedamaian masyarakat, meskipun terdapat sedikit perbedaan tentang konsep keadilan itu sendiri dalam kedua sistem hukum tersebut


(17)

Oleh karena itu, hendaknya para pengambil kebijakan dapat mengatur tindak-tindak pidana berat lainnya yang dewasa ini sering terjadi dan sangat mengganggu serta meresahkan masyarakat menjadi salah satu tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana mati. Misalnya, pengacau keamanan, pemerkosaan, penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban, dan sebagainya. Selain itu, pelaksanaan eksekusi mati itu juga harus menjadi agenda penting, yaitu dengan melaksanakannya didepan umum (khalayak ramai) seperti yang berlaku dalam hukum pidana Islam, atau setidaknya dipublikasikan secara luas. Hal ini dimaksudkan agar pidana mati itu benar-benar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu general deterrence (penjeraan bagi masyarakat luas).

Kata kunci : Pidana Mati, Hukum Pidana Indonesia, Hukum Pidana Islam.


(18)

ABSTRACT

Capital sentence remains a controversial debate. Pro and cons in application of capital sentences is competitive among community, and even among policy takers. To question of capital sentences two lines of thinking are posed, first some maintains it based on the applicable requirements, seconds, some wants to eliminate it at all. The common reason for it is always inconsistent with human rights, ice, rights of life. The recent tendency is elimination of capital sentence, as practiced ion some countries, including united states and Europe Union. Indonesia is a state to maintain the capital sentences through positive law system. As stated in national criminal law of Indonesia, the capital sentences is always applied in criminal law of island. In criminal law of island. Capital sentences is a compulsory judgment to be enforced on jeremiahs (certain criminal matter). However, some people assumed that the capital sentences is a very implementation of capital sentences in Indonesia, it is important to dig the philosophical values of the capital sentences it salt in order to generate the per spec ties related to determination of capital sentences in the future.

This was a normative law research of analytical and descriptive nature. In collection of date. This research used the library research, referring to primary law material, secondary law materials and tertiary one related to the problem. The equalization approach was used to analye the data, in depth analysis of data and holistic and then taken into interpretation. The result of juridical interpretation was expended to answer the problem of law posed in this paper.

The result of research indicated that the application of capital sentences either in national criminal law of Indonesia or Islamic law be to realize the ideal of law itself, I,e to produce the order and peace among peoples against offence. In another hand, the execution for capital sentences was also to realize the détente/preventive principle on another potential crimes, thus both order and peace would be created. And both national criminal law of Indonesia or Islamic criminal law were very concerned with the justice. For the reason, both were equally to enforce the capital sentences on certain criminal disturbing the order and peace among peoples, although there was still some debate regarding the concept of justice it self in both law system.

Therefore, it is suggested that policy takers should regulate another heavy criminal matter that is rottenly occurring recently. For example the disturb bane of safety, rape, insults causing the death of victims, and so on. Finally the implementation of execution in capital sentences has been a very importing agenda by applying it before public as practiced in island criminal law, or at least, it should be publicized widely. This will be to prove that the function of capital sentences is made as expected, to be a general detterence (deterring among offensive individuals). Keywords: Capital Sentences, Criminal Law Of Indonesia, Islamic Criminal Law.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum1 merupakan sesuatu yang harus ada dan berlaku dalam sebuah masyarakat. Sebuah komunitas masyarakat yang tidak diikat oleh hukum akan mengakibatkan timbulnya ketidakteraturan. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa manusia itu merupakan makhluk sosial (zoon politicion), yang berarti ia merupakan makhluk yang senantiasa ingin berkumpul, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.2

Manusia sebagai makhluk sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya

itu, maka sangat terbuka peluang untuk timbulnya ketidak teraturan tersebut. Salah satu fungsi hukum, adalah membimbing perilaku manusia. Sebagai pedoman ia juga bertugas untuk mengendalikan tingkah laku atau sikap tindak, dan untuk itu ia didukung dengan sanksi negatif yang berupa hukuman agar dapat dipatuhi. Oleh karena itu, hukum juga merupakan salah satu sarana pengendalian sosial. Dalam hal

1

Menurut Van Apeldoorn,sejak rubuan tahun orang berusaha merumuskan defenisi hukum.Namun,belum ditemukan defenisi yang memuaskan. Hampir semua ahli hukum,lanjutnya mendefenisikan hukum itu secara beragam. Hal itu menurutnya membuktikan bahwa hukum itu memiliki bentuk atau segu yang sangat luas, sehingga tidak mungkin mereka menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan. Han Kelsen , mengartikan hukum itu sebagai suatu system kaedah yang merupakan pedoman bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap atau tingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat.

2


(20)

ini, maka hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri sendiri serta harta bendanya. Jadi, barang siapa yang melanggar hukum, dia akan memperoleh hukuman (pidana). Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma disebut hukum pidana. Oleh karena itu, hukum pidana disebut sebagai hukum sanksi istimewa.3

Penjatuhan pidana sebagai penderitaan kepada pelanggar hanya merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat adalah pidana mati. Pidana mati merupakan satu jenis pidana yang tua dalam usianya, setua usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang menganut Civil Law.

Terdapat dua arus pemikiran utama mengenai pidana mati ini, yaitu: pertama, adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan secara keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa Negara Amerika serikat dan Negara negara Uni

3

Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, pidana mati Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 11


(21)

Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya.4

Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun nasional. Hukum gantung terhadap Saddam Hussein di Irak memicu debat di fora internasional. Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika eksekusi Tibo Cs dilakukan dan rencana eksekusi terhadap Amrozi Cs.

Pidana mati diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana mati sebagai mana tercantum dalam KUHP belaku di Indonesia sejak januari 1918 dan diatur dalam pasal 10. Dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok adapun ketentuan diluar KUHP adalah antara lain dalam undang-undang (UU) No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU No. 31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo UU No.1 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.26 tahun 2000 Pengadilan Hak Azasi Manusia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.5

Perundang-undangan RI yang Memiliki Ancaman Pidana Hukuman Mati

No Judul UU Keterangan

4 Ibid. 5


(22)

Makar

Mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI

Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI

Membunuh kepala negara sahabat Pembunuhan berencana

Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati Pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati

1

Kitab UU Hukum Pidana

Menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang

Melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang

Pemerasan dengan kekerasan 2 UU Darurat No. 12 Tahun

1951

Senjata api

3 Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959

Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.

4 Perpu No. 21 Tahun 1959 Memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi

5 UU No. 11/PNPS/1963 Pemberantasan kegiatan subversif


(23)

pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan

7 UU No. 5 Tahun 1997 Psikotropika 8 UU No. 35 Tahun 2009 Narkotika 9 UU No. 31 Tahun 1999 yang

dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo UU No.1 Tahun 2001

Pemberantasan Korupsi

10 UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM

11 UU No. 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Sumber: data olahan Litbang Kontras6

Di Indonesia perdebatan tentang penerapan pidana mati telah dimulai setidaknya sejak penjahat kelas kakap Kusni Kasdut dieksekusi pada tanggal 6 februari 1980.7 Ia dijatuhi hukuman mati karena kejahatan melakukan perampokan dan pembunuhan. Pelaksanaan eksekusi setelah permintaan grasinya ditolak. Terhadap terpidana Kusni Kasdut perhatian masyarakat pada waktu itu sangat besar. Kepergiannya meninggalkan keharuan, sekalipun ia adalah bekas perampok dan pembunuh. Secara

6

www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia. pdf.: tanggal 20 september 2010.

7

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas


(24)

kebetulan dalam masyarakat Indonesia sedang ada gerakan yang mempertanyakan, apakah pidana mati masih sesuai dengan kebudayaan masyarakat pancasila.8

Hukum pidana yang merupakan warisan kolonial Belanda itu kemudian dimuat dalam satu kitab Undang-Undang yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrech) yang disingkat dengan KUHP (WvS).9 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari tiga buku itu,10 diatur secara tegas kedalam pasal-pasalnya tentang bentuk-bentuk perbuatan yang dapat dikenakan sanksi/pidana sekaligus jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan tersebut. Dalam salah satu pasal-pasal tersebut (pasal 10) di cantumkan pula secara tegas jenis-jenis pidana yang akan dijatuhkan terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana. Salah satu jenis pidana dan merupakan pidana terberat yang dicantumkan dalam pasal 10 itu adalah pidana mati. Berdasarkan ketentuan pasal 10 tersebut, maka dapat dipahami bahwa pidana mati merupakan salah satu jenis pidana yang secara yuridis formal berlaku di Indonesia, kendatipun senantiasa menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum. Bahkan, sebagaimana menurut Andi Hamzah, delik/tindak pidana yang dapat diancam pidana mati dalam hukum nasional yang berlaku di tanah air saat ini semakin banyak. Sebab di luar KUHP ternyata juga tercantum ancaman pidana mati tersebut.

8

Ibid hlm.10 9

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan hukum pidana (Code penal) Perancis.

10

Buku I KUHP itu berisi tentang peraturan umum yang dimuat dalam pasal I sampai 103. Buku II berisi tentang kejahatan yang dimuat dalam pasal 104 sampai 488. Buku III berisi tentang pelanggaran yang dimuat dalam pasal 489 sampai 569 .Lihat R. Soesilo,Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Karya Nusantara , Bandung, 1990, hlm. 7-9.


(25)

Penarapan pidana mati dalam sistem hukum nasional (KUHP) Indonesia, pada

peraktiknya sangat diupayakan sebagai alternative terakhir. Karena itulah dalam KUHP ancaman pidana mati itu selalu diikuti dengan pidana yang lain sebagai alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun. Bahkan eksekusi mati itu harus melalui persetujuan (Fiat executie) presiden. Adanya penolakan garasi oleh presiden, barulah eksekusi itu boleh dijalankan.11

Ketentuan yang terkait dengan proses penjatuhan pidana mati seperti diatas merupakan filter yang agak ketat untuk terlaksananya eksekusi mati dalam hukum positif Indonesia, kendatipun pidana terberat itu pada dasarnya diatur secara tegas sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 KUHP tersebut. Adanya filter terhadap pelaksanaan eksekusi mati itu yidak terlepas dari hakikat pemidanaan itu sendiri yaitu bertujuan unyuk mengarahkan si terpidana kearah kebaikan. Dimana tujuan ini tidak akan terwujut apabila ia terlanjur dieksekusi mati.

Sudarto mengatakan bahwa:

Suatu pidana itu dapat diukur dari sudut keadilan dan kemanfaatan. Keadian yang ingin ditegakkan oleh manusia yang sipatnya tidak sempurna ini, tidak mungkin keadilan yang sempurna. Nyawa adalah milik paling berharga bagi manusia. Hilangnya nyawa berarti hilangnya nyawa itu sendiri. Adakah alasan yang cukup kuat untuk menghilangkan manusia itu sendiri? Kekeliruan dari pengadilan selalu dapat terjadi, dan kalau hal ini terjadi dalam penjatuhan hukum mati, maka tidak ada kemungkinan lain sama sekali tidak memperbaiki, manfaat pidana ini sangat diragukan.12

11

Andi Hamzah, sistem pidana dan pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pratnya, Cet,. II, 1993). hlm. 36.

12


(26)

Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable

rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi

dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya. Penulisngnya ratifikasi Kovenan Sipil Politik ini tidak diikuti pula dengan ratifikasi Protokal Tambahan Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik tentang Pengahapusan Hukuman Mati.13

Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti Penyiksaan No.5/1998.

Penerapan hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional, mencatat hingga September 2007 ini, terdapat 142 negara – dengan rata-rata pertambahan 3 negara

13

Dinamika kontemporer hukuman mati di Indonesia, diakses dari situs http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=dinamika+kontemporer+hukuman+mati&aq=f&aqi= &aql=&oq=&gs_rfai=&fp=f7bfdd729ceebdb7: tanggal 20 september 2010.


(27)

tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati baik melalui mekanisme hukum atau politik di Indonesia pasti meninggikan martabat Indonesia di mata komunitas internasional.14

Selain itu dalam konteks politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital

punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan

hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana

14 Ibid


(28)

pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Di tahun 2005 ini misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala internasional di Cikande, Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga di dunia dengan total produksi 100 kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar Rp 100 milyar.15

Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian; Komisaris MP Damanik dan Ajun Komisaris Girsang. Meningkatnya angka kejahatan narkoba juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan dengan angka kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku. sampai saat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhir kali pada 1 Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh diri di Bali. Satu pernyataan

15 Ibid


(29)

pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Australia, Jakarta (9 September 2004), Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005:

“Penulis tidak kaget dengan vonis ini karena penulis sudah menyangka sejak awal penulis menjadi terdakwa. Penulis menolak vonis ini karena dijatuhkan oleh pengadilan setan yang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah. Kalaupun penulis dihukum mati, berarti penulis mati syahid”.16

Sikap ini juga ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan. Penerapan hukuman mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme semacam ini. 3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi,

di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa.

Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati. Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM.

4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik

16 Ibid


(30)

berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan:

“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

Penulisngnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11 perundang-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati.

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan kasus-kasus lainnya baru-baru ini.17

Belum lagi dengan kasus-kasus kejahatan berat yang dilakukan warga Negara Indonesia yang berada di negara lain seperti Malaysia yang diancam hukuman mati.

17 Ibid


(31)

“ Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, sebanyak 70 warga Negara Indonesia yang mendapat vonis hukuman mati saat ini berada di penjara di Malaysia,” kata Abdul Malik Harahap pada diskusi “Nasib TKI dan Diplomasi Setengah Hati “ di Jakarta, sabtu. Abdul Malik menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, WNI yang mendapat hukuman di Malaysia secara keseluruhan sebanyak 6.845 kasus pidana dan perdata. Dari jumlah tersebut, kata dia, ada sebanyak 177 WNI yang terancam hukuman mati, yakni terjerat kasus narkoba 142 orang serta terjerat kasus pembunuhan dan senjata api sebanyak 35 orang18

Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia ( KUHP ), pidana mati juga berlaku dalam hukum pidana Islam. Dalam Alqur’an surat al-Mululk ayat 2 di ingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan tuhan. Karena itu Islam sangat memperhatikan keselamatan hidup dan kehiduan manusia sejak ia masih dalam kandungan sampai sepanjang hidupnya. dan untuk melindungi keselamatan hudup manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta sanksinya baik di dunia seperti hukum had, diyat (denda) dan termasuk hukuman qisas, maupun hukuman di akhirat kelak.

Demikian juga dalam hukum pidana Islam, pidana mati merupakan jenis pidana yang wajib diterapkan terhadap jarimah (tindak pidana tertentu). Akan tetapi banyak kalangan yang mempersepsikan pidana mati tersebut sebagai suatu pidana yang sangat kejam, dan tidak berprikemanusiaan.

18


(32)

Dalam Al-Qur’an maupun hadis, istilah yang digunakan untuk menyebutnya sangat bervariasi tergantung kepada Jarimah atau tindak pidana yang dilakukan, misalnya pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan sengaja (al-qatl al- ‘amd), pidana salib (salaba) terhadap tindak pidana perampokan dan pembunuhan, dan sebagainya.19

Dalam hukum pidana Islam, sistem hukum pidanya diklasifikasikan kedalam tiga bentuk, yaitu:

1. Hudud, yaitu jenis/bentuk pidana yang telah ditentukan oleh Tuhan dan

Rasul-Nya terhadap seorang yang melakukan tindak pidana hudud. Sehingga hakim dalam hal ini bersifat pasif, artinya ia tidak berwenang menambah atau mengurangi, apalagi membebaskan tersangka dari tuntutan hudud tersebut.20 2. Qisas, yaitu jenis pidana eksekusi mati yang dijatuhkan terhadap tersangka

pembunuhan karena dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.21Jenis pidana ini pada dasarnya juga telah ditetapkan oleh Tuhan dan Rasul-Nya. Akan tetapi hakim dalam hal ini dapat bersifat aktif, artinya ia dibenarkan bahkan merupakan tindakan yang arif untuk menyarankan perdamaian kepada keluarga korban dengan cara mengajukan agar mereka memaafkan tersagka. Salah satu bentuk perdamaian itu adalah pihak korban membebaskan tersangka pembunuhan itu dari tuntutan qisas ini. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa penarapan / pemberlakuan pidana mati tersebut merupakan jaminan untuk langengnya sebuah masyarakat itu sendiri.22 Rasionalisasinya adalah bahwa seseorang yang bermaksud menghilangkan nyawa orang lain akan berpikir panjang untuk melakukannya, karena pada akhirnya nyawanya juga akan dihilangkan melalui pidana qisas (eksekusi ) tersebut.

3. Ta’zir, yaitu, jenis pidana yang tidak diatur secara tegas oleh Tuhan dan

Rasul-Nya. Karena itu hakim dalam hal ini dituntut untuk bersifat aktif. Artinya, ia diberi kewenangan secara luas untuk menetapkan pidananya dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban masyarakat. Jenis pidananya dapat berupa nasehat, pemukulan/ cambuk, penjara, dan sebagainya.

19

Kedua Term yang digunakan Al-qur’an untuk penyebut pidana mati diatas dapat dilihat dalam QS, 5: 33, Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,(Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.1.

20

Abd. Al-Qadir Audah, Juz II, Muassasah ar-Risalah,Beirut Libanon, 1412/1993, hlm. 663. 21

Ibid.,hlm. 663 22


(33)

Adapun urgensi pembagian jenis /bentuk pidana seperti diatas adalah untuk mengkategorikan setiap tindak pidana (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku jarimah tersebut, apakah tergolong kepada jazimah hudud, qisas atau ta’zir. Selain itu pengklasifikasian tersebut juga erat kaitannya dengan kewenangan hakim dalam menentukan vonis/pidana kepadanya. Terhadap jarimah yang tergolong kepada

hudud misalnya, seorang hakim tidak memiliki kewenangan dalam memilih

jenis/bentuk pidana yang akan dijatuhkan pada seorang tersangka sebagaimana dikemukakan diatas. Jadi, tugas hakim dalam hal ini adalah menjatuhkan pidana yang telah ditentukan tersebut apabila telah terbukti kesalahannya. Dengan demikian permohonan maaf dari pihak manapun tidak akan dapat mempengaruhi vonis yang akan dijatuhkan oleh hakim, karena jenis pidana tersebut merupakan hak Tuhan (haqq li Allah) untuk kepentingan orang banyak (maslahat al-mujtami).

Berbeda dengan qisas meskipun merupakan jenis pidana yang telah ditetapkan oleh Tuhan sebagaimana pidana hudud, akan tetapi ia merupakan jenis pidana yang bersifat khusus. Artinya aplikasi pidana tersebut sangat tergantung kepada sikap keluarga korban pembunuhan. Dengan demikian. Apabila keluarga korban memaafkannya maka hakim tidak dibolehkan menjatuhkan pidana mati (qisas) tersebut. Ketentuan seperti inilah yang menyebabkan tindak pidana pembunuhan itu ditetapkan sebagai hak hamba/perorangan (haqq al-ibad/al-afrad).23

Sebaliknya apabila keluarga korban tidak memafkannya, maka hakim bahkan kepala Negara sekalipun tidak berhak memberikan maaf (grasi) seperti yang berlaku

23


(34)

dalam hukum pidananasional. Adapun pidana ta’zir sebagaimana di kemukakan sebelumnya, bahwa hakim diharapkan bersifat aktif dan memiliki kewenangan yang sangat luas dalam menjatuhkan jenis pidananya.

Sebagaimana dipaparkan diatas, bahwa pidana merupakan jenis pidana yang secara yuridis formal berlaku dalam hukum pidana nasional Indonesia dan sampai saat ini masih terdapat pro dan kontra dikalangan ahli hukum. Kalangan yang pro dengan pidana mati berargumentasi antara lain bahwa pidana terberat itu lebih epektif karena memiliki daya represif yaitu menakut-nakuti menjerakan (deterrence), dan sesuai dengan prikemanusiaan. Selain itu pidana mati tersebut dapat mencegah tindakan publik untuk tidak melakukan pengeroyokan/balas dendam terhadap tersangka (dalam kasus pembunuhan). Sedangkan kalangan yang kontra berargumentasi bahwa disamping tidak sesuai dengan prikemanusiaan, keefektifannya sebagai alat penjeraan masih diragukan. Selain itu kesalahan dalam peradilan tidak dapat diperbaiki.

Jimly Assidiqie dalam bukunya Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia mengatakan dalam hal kebijakan mengenai agama dalam pembaharuan bentuk pidana menjelaskan bahwa bagaimana sesungguhnya kedudukan agama dalam proses pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam rangka pembentukan KUHP Nasional. Meskipun secara ideal, konstitusi menghendaki sifat hukum nasional yang tidak sekuler, namun demikian pelaksanaan gagasan ideal itu masih harus dijabarkan dan dilaksanakankedalam semua bidang hukum, termasuk juga budang hukum pidana.


(35)

Akan tetapi, tentu saja hal inipun tergantung pula kepada bagaimana persepsi para perancang dan pejabat pembentuk hukum pidana itu sendiri mengenai agama.24

Jika di kaitkan dengan rencana pembentukan KUHP baru maka sangat penting adanya pertimbangan nilai nilai agama dalam pembaharuan bentuk pidana khususnya mengenai pidana mati.

Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa untuk menjawab pro dan kontra mengenai pelaksanaan pidana mati, khususnya dalam hukum pidana nasional Indonesia, ada baiknya menggali nilai-nilai filosofis dari pidana mati itu sendiri sehingga bisa melahirkan perspektif yang berkaitan dengan pengaturan pidana mati kedepan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat fenomena pro dan kontra terhadap pidana mati dalam hukum pidana, khususnya hukum pidana nasional Indonesia dan dengan membandingkannya dengan pidana mati dalam hukum pidana Islam, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah perbandingan antara hukum pidana nasional Indonesia dengan hukum pidana Islam terkait dengan pidana mati dengan mengangkatnya kedalam suatu bentuk tesis dengan judul: ”Analisis Tentang

Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”.

B. Perumusan Masalah

24


(36)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah pokok yang perlu dirumuskan dalam beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana aspek Filosofis pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam?

2. Bagaimana pengaturan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam?

3. Bagaimana Perspektif pengaturan pidana mati kedepan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui aspek Filosofis pidana mati dalam hukum pidana dan hukum pidana Islam.

2. Untuk mengetahui pengaturan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan hukum pidana Islam.

3. Untuk mengetahui bagaimana perspektif pengaturan pidana mati kedepan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara toritis dan praktis yaitu:


(37)

Sesuai dengan jenis penelitian ini (komparatif) diharapkan dapat mengemukakan sisi kelemahan dan keunggulan dari kedua sistem hukum tersebut. Sisi keunggulannya diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu yang berkaitan dengan pidana mati.

2. Bersifat praktis

Sisi keunggulan yang dapat diperoleh dari hasil studi perbandingan tentang pidana mati terhadap kedua sistem hukum tersebut diharapkan dapat pula dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional (KUHP) yang merupakan warisan kolonial belanda.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penelitian mengenai “ Analisis Tentang Pidana Mati Dalam Hukum Pidana dan Hukum Islam” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan pembahasan yang sama. Adapun judul penelitian yang mendekati adalah tesis saudari Nelvitia Purba dengan judul “ Suatu analisis Perkembangan hukuman Mati Di Indonesia .”


(38)

Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka digunakan beberapa teori dan konsep dalam rangka menganalisis pidana mati daalam hukum pidana dan hukum pidana Islam.

1. Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan karya ilmiah fungsinya adalah sebagai pemandu untuk mengorganisasi, memprediksi dan memperjelaskan fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif maupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep yang akan digunakan dalam sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep,asas,dan norma-norma hukum yang dianggap relevan.

Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan sasarannyaadlah nyawa seseorang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya olehkarena itusetiap manusia,selalu berusaha untuk mempertahankan nyawanyauntuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan. Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikutidengan ancaman pidana lain sebagai alternatifnya. Berkenaan dengan pidana mati Modderman mengatakan bahwa: Demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan,


(39)

namun penarapan ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasadapat diterapkan.25

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan pidana mati sebagai berikut: Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan dimuka umum.26

Pidana mati merupakan jenis pidana yang senantiasa menjadi perdebatan serius diberbagai Negara. Bahkan perdebatan itu bukan hanya muncul dari kalangan para ahli hukum, namun juga dari kalangan filosofis, teolog, dan ilmuan, sasial. Dikalangan ahli hukum, setidaknya ada tiga teori tentang pemidanaan. Dan teori itu lahir didasarkan kepada persoalan mengapa suatu tindak pidana harus dijatuhi sanksi pidana. Teori yang pertama disebut teori absolut. Menurut teori ini sebuah pidana diberikan karena pelaku kejahatan memang harus menerima pidana itu semata-mata karena kesalahannya. Pidana itu menjadi retribusi yang adil atas kerugian yang diakibatkannya.27

Menurut Imanuel Khant (1724-1804) tokoh aliran retributivisme bahwa dalam segala situasi sebuah pidana dapat dijatuhkan terhadap seorang pelaku kejahatan

25

J.E. Sahetafy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana MatiTerhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: C.V.Rajawali, 1979), hlm.47.

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung :Eresco, 1989), hlm. 9.

27

Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukum Legal, (Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 71


(40)

hanya karena ia terbukti bersalah. Dengan demikian penderitaan yang disebabkan oleh seseorang harus dibayar dengan retribusi berupa hukuman/pidana. Dengan kata lain Kant berpendapat bahwa pidana adalah merupakan ganjaran (desert) terhadap perbuatan jahat yang sudah dilakukan. Karena itu aliran retributinisme ini menganut perinsip punitur peccatum est (dihukum karena bersalah).

Beranjak dari teori diatas, maka dalam hal pidana mati Kant berpendapat bahwa apabila seseorang terbukti melakukan pembunuhan, maka ia juga harus dibunuh. Dalam kasus ini lanjutnya, tidak mungkin ada ganti rugi yang memuaskan secara adil kecuali pidana mati, karena hanya pidana itulah yang dapat menyeimbangi kejahatan pembunuhan itu. Senada dengan pendapat Kant, Hegel (1770-1831 M), juga tokoh aliran retributivisme berpendapat bahwa, tidak ada pidana yang patut diberikan terhadap seorang pembunuh kecuali dengan mencabut nyawa si pembunuh.28

Berbeda dengan teori absolute diatas, teori relatif tujuan pada dasarnya menolak pidana mati tersebut. Menurut teori ini suatu pidana dapat diberikan apabila mengandung konsekuensi yang positif bagi si terhukum atau orang lain. Dengan kata lain sebuah pidana baru dapat dibenarkan apabila secara ositif dapat membuat jera si terhukum sekaligus berfungsi preventif bagi orang lain. Menurut teori ini konsekuensi yang terpenting dari suatu pidana adalah efek-efeknya yang bersifat preventif, yaitu kontribusinya terhadap pencegahan kejahatyan atau penurunan jumlah pelanggaran hukum. Karena itu aliran ini menganut prinsif punitur utni

pecetur (dihukum agar tidak lagi bersalah). Akan tetapi dalam kondisi tertentu pidana

28


(41)

mati itu dapat diterapkan demi mempertahankan tertib hukum. Justru itu wujut pidana menurut teori ini berbeda-bada ssesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki

(verbetering), menakutkan (afschrikking) dan membinasakan (onschdelijkmaking).29

Dengan demikian menurut teori ini pidana mati itu dapat diterapkan apabila kondisinya menuntut demikian.

Dikalangan ahli hukum juga terjadi perbedaan pandangan/pro dan kontra tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP. Mantan Hakim Agung Bismar Siregar misalnya, menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan maksud jika sewaktu-waktu dibutuhkan masih tersedia. Sebab ia berpendirian bahwa jika seorang pejabat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan, maka hanya pidana matilah yag pantas dujatuhkan. Senada dengan pendapat diatas, mantan jaksa Agung Ali Said berpendapat, bahwa jika seseorang mengetahui masih ada ancamannya, maka ia akan berhati-hati untuk melaksanakan kejahatan.Hampir senada dengan pendapat yang terakhir. Moh. Assegaf berpendapat, bahwa jka pidana mati itu benar-benar dijalankan secara konsekuen, maka ia dapat mengurangi

timbulnya kejahatan. Sebagai bukti di Negara-negara yang menjalankan secara

konsekuen, misalnya Arab Saudi, Pakistan, dan Singapura, angka kejahatan dapat dianggap relatif kecil.30

Berbeda dengan pandangan diatas, JE Sahetapy dalam disertasinya berpendapat bahwa pidana hendaknya dilihat sebagai suatu sarana yang mempunyai tujuan

29

Bambang Poernomo, Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 7 30


(42)

membebaskan dan bukan sebagai pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan, sebab bagaimanapun, lanjutnya, perbuatan itu sudah terjadi dan korban telah jatuh. Pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa keseimbangan kembali kecuali hanya untuk memuaskan dendam. Ia menandaskan, bahwa dalam perspektif tujuan membebaskan, pidana harus diartikan kemasa depan. Sebab itu, ia menolak pidana tersebut karena tidak sesuai dengan pendekatan utilitas dimana ia memang meragukan keefektipannya.31

Selain Sahetapy, Roeslan Saleh merupakan ahli hukum yang kontra dengan pidana mati. Menurutnya, banyak negara yang menghapuskan pidana mati tersebut merupakan bukti bahwa orang menyadari betapa buruknya penerapan pidana berat tersebut. Akan tetapi diantara negara tersebut ada pula yang memasukkan kembali pidana itu ke dalam hukum pidanya.

Dari alasan baik yang pro, maupun dari yang kontra tersebut, terdapat kesamaan bahwa mereka mendasarkan pada pancasila sebagai dasar atau landasannya, terutama sila ketuhanan yang maha Esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab.32

31

JE. Sahetapy, Op. cit., hlm. 146. 32

Apabika kita melihat satu kesatuan dari pancasila maka ia mengandung keseimbangan antara sila yang satu dengan sila yang lainnya. Namun, apabila kita melihat pancasilan secara parsial (menitikberatkan pada salah satu sila), ada pendapat yang mengatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan pancasila dan ada pula yang mengatakan tidak bertentangan dengan pancasila. Jadi kedua pendapat tersebut sama- sama didasarkan kepada pancasila. Hal ini sudah tercermin dalam penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Undip yang bekerja sama dengan Kejaksaan Agung tahun 1981-1982. Kesimpulan penelitian itu menyatakan bahwa ada kecenderungan diantara mereka yang pro dan yang kontra terhadap pidana mati, untuk menjadikan pancasila sebagai “ justification”.Lihat, Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008).


(43)

Nilai ketuhanan yang maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakam nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-nya, maka sudah semestinya hukum kodrat dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum tuhan. Ketiga macam hukum itu tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain.33

Apabila ada dua pendapat yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Disamping teori absolute dan relatif, makamuncul teori ke tiga (teori gabungan), dimana teori ini mengakui adanya unsur pembalasan disatu pihak dan unsur memperbaiki di pihak lain.

Teori gabungan dimaksud dibagi kedalam tiga golongan, yaitu:

1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan dan tata tertib masyarakat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 3. Teori gabungan yang menganggap kedua asas itu harus dititik beratkan sama. Untuk mengetahui teori pemidanaan dalam hukum pidana Islam, setidaknya dapat dilihat melalui dua ayat Al-Qur’an berikut ini:

33


(44)

1. Q.S. Al-Baqarah ayat 179 yang artinya: dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

Ayat ini secara tegas menginformasikan bahwa ditetapkannya pidana qisas itu dalam sistem hukum pidana Islam, agar kehidupan manusia itu menjadi langgeng (terjamin). Sebab denga adanya pidana itu manusia akan berpikir untuk melakukan pembunuhan, karena ia menyadari bahwa membunuh orang lain bererti membunuh diri sendiri. Jadi, pencantuman pidana qisas itu dimaksudkan sebagai tekanan awal secara pisikologis bagi setiap calon pelaku pembunuhan agar mengurungkan niatnya itu. Dengan demikian, orientasi pemidanaan dalam ayat ini bersipat preventiv (bagi calon pelaku), dan sekaligus bersifat retribusi (bagi pelaku pembunuhan).

Meskipun demikian, pidana qisas itu bukanlah pidana yang mudah untuk dijatuhkan. Pelaksanaannya cukup selektif/ketat karena menyangkut pencabutan nyawa seseorang. Diantara indikasi selektifnya pelaksanaan eksekusi mati itu adalah adanya prinsif (kaedah) dalam dalam hukum pidana Islam, bahwa pelasanaan pidana hudud tidak dapat dijalankan jika terdapat keragu-raguan / (syubhat).34 Prinsip yang ada dalam ukum Islam ini sekaligus dapat meghilangkan khawatiran para ahli hukum posoitif/ modern yang keberatan yang

34

Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, al-Asybah wa an- Naza’ir, Semarang: Toha Putra), hlm. 84.


(45)

keberatan dengan penarapan pidana mati karena alasan bahwa jika dikemudian hari terjadi kekeliruan, pidana itu tidak dapat ditarik kembali.

2. Q.S. An-Nur ayat : 2 yang artinya: “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman”.35

Ayat ini menegaskan bahwa pelaksanaan pidana terhadap pelaku perzinaan itu dilakukan dengan disaksikan oleh masyarakat luas (kaum muslimin). Tujuan penyaksian ini adalah agar menjadi peringatan pula bagi mereka untuk tidak melakukan tindak pidana (Jarimah) tersebut.36

Dengan demikian orientasi pemidanaan dalam ayat ini bersifat general

derrence (pencegahan terhadap masyarakat luas). Selain itu pidana tersebut

dimaksudkan untu penjeraan/pencegahan bagi terpidana (individual deterrence) agar tidak mengulangi kejahatannya. Orientasi/ teori pemidanaan seperti itu telah dirumuskan oleh yuris Islam (fuqaha) dalam satu statemennya yang intinya bahwa sebuah pidana dimaksudkan sebagai pencegahan (mawani’) sebelum kejahatan itu dilakukan, dan sebagai penjeraan (al-zawajir) apabila kejahatan tersebut telah dilakukan.37

Sebagaimana dipahami bahwa tujuan syari’ (Tuhan) dalam mensyariatkan hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan sekaligus

35

Depag RI (Al-Qur’an dan Terjemahan), op. cit., hlm. 543. 36

Abdul Kholiq, loc, cit. 37


(46)

menghindarkannya dari mafsadat baik didunia maupun diakhirat.38 Tujuan hukum seperti tersebut diatas oleh para pakar filsafat hukum Islam lazim juga disebut dengan

at-tahsil wa al-ibqa atau jalb al-masalih al-mafasid, yaitu mengambil maslahat dan

sekaligus mencegah kerusakan.39 Dalam kaitan inilah Yusuf Hamid Al-Alim menegaskan bahwa tujuan utama (a’zam al-maqasid) diutusnya para Rasul As, oleh Tuhan adalah untuk menghilangkan kezaliman diantara manusia, sehingga terwujudlah ketentraman dan kedamaian diantara mereka.40

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat sebagaimana disebutkan diatas, maka bukan hanya para ulama Islam, bahkan seluruh agamawan sepakat bahwa ada 5 (lima) unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok dimaksud adalah: Memelihara agama (hifz ad-din), Memelihara jiwa (hifz an-nafs), Memelihara akal (hifz al-aql), Memelihara keturunan dan atau kehormatan (hifz an-nasb/al-ird), Memelihara keturunan (hifz al-mal).41

Untuk memelihara kelima unsur pokok itulah maka Tuhan menetapkan pidana (uqubah) terhadap pelaku tindak pidana (al-jani) yang dapat menggangu atau menghambat terwujudnya lima kebutuhan dasar (iad-daruriyat) diatas. Karena itu ditetapkanlah pidana murtad (hadd ar-riddah) dalam rangka untuk memelihara agama, ditetapkan pula pidana qisas (uqubah al-qisas) untuk memelihara jiwa/nyawa manusia, untuk memelihara akal, maka ditetapkanlah pidana meminum minuman

38

Pada dasarnya, Tuhan menginginkan agar manusia selamat dari azab-Nya diakhirat. Karena itulah tujuan hukum bukan hanya untuk kemaslahatan didunia, melainkan juga diakhirat.

39

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM, 1985), hlm. 100. 40

Ibid. 41


(47)

keras (hadd asy-syarb), untuk memelihara keturunan dan / atau kehormatan maka ditetapkan pidana zina (hadd az-zina), kemudian ditetapkan pula pidana pencurian (hadd as-sirqah) untuk memelihara harta.42

Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa Tuhan dan Rasul-Nya lewat Al-Qur’an dan Hadis sengaja menetapkan sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku tindak pidana yang dapat merusak/mengganggu al-kulliyat al-khams diatas, mengingat kelima unsur tersebut adalah merupakan kebutuhan yang paling mendasar.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Khalid Mas’ud mendefenisikan Jinayat (Hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana) adalah:

Sebagai hukum-hukum yang memperhatikan kelima ad-daruriyat al-khams diatas dengan cara preventif. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam jinayat itu adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi dan membersihkan apa-apa saja yang dapat menghalangi terwujudnya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.43

Dengan diberlakukannya sanksi hukum yang tegas dan berat berupa pidana mati terhadap tindak-tindak pidana (jarimah) tersebut baik yang tergolong kedalam

jarimah qisas maupun hudud, maka diharapkan akan terpelihara dan terwujudlah

kelima kebutuhan mendasar diatas. Sehingga dengan demikian terwujud pulalah tujuan disyariatkannya hukum itu (maqasid asy-syari’ah), yaitu kemaslahatan manusia itu sendiri dan sekaligus menghindarkannya dari mafsadat.

2. Kerangka konsepsi.

42

Ibid, hlm. 129. 43

Yudian W. Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 230.


(48)

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap tulisan ini, peneliti akan menegaskan beberapa terminologi yang digunakan dalam tulisan ini.

1. Pidana Mati

Pidana mati dalam penelitian ini adalah hukuan mati. Penulis sengaja menggunakan terminologi pidana, karena istilah ini menurut penulis lebih khusus disbanding dengan istilah hukuman, walaupun sebagian pakar menganggap keduanya sinonim. Penulis lebih cenderung kepada pendapat yag menyatakan bahwa hukuman merupakan istilah yang bersifat umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administrative, disiplin dan sebagainya. Sedangkan pidasna merupakan istilah khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Dalam hukum pidana nasional pidana itu dikategorikan kepada dua macam pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati merupakan pidana pokok yang diletakkan dalam urutan pertama (pasal 10 KUHP). Dalam hukum pidana Islam, pidana itu diistilahkan dengan ‘uqubah. Secara gaaris besar, ‘uqubah itu dikategorikan kepada tiga macam, yaitu: hudud, qisas atau diyat dan ta’zir.

2. Undang-undang No. 5 Tahun 1969

UU No 2/Pnps/1964 Penpres No 2/Pnps1964 (LN 1964 No 138) yang ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No. 5 Tahun 1969) Tentang Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer.


(49)

Adapun hukum pidana Islam yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kitab-kitab fiqh, baik yang berupa warisan ulama terdahulu maupun karangan ulama/ ilmuan muslim kontemporer yang bersumber dari Al-qur’an dan hadis yang berkaitan dengan aspek kepidanaan (jinayat).

4. Esekusi.

Pengertian Eksekusi dalam penelitian ini adalah pelaksanaan putusan hakim, atau pelaksanan hukum badan peradilan, khususnya pidana mati.

5. Hak Asasi Manusia (HAM)

Hak berarti derajat, martabat, atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedang kan asasi adalah sesuatu yang bersifat mendasar, atau pokok. Adapun manusia merupakan makhluk yang berakal budi. Dengan demikian manusia merupakan makhluk tuhan yang berakal budi, memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Jika dikaitkan dengan pidana mati, maka HAM disini berarti penarapan pidana terberat itu itu melanggar/ merendahkan hak manusia yang paling mendasar itu.

6. Tindak Pidana (Jarimah)

Yang dimaksud tindak pidana dalam tulisan ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan seseorang yang melanggar hukum. Dalam istilah belanda disebut dengan straf baar feit. Istilah tersebut dalam bahasa Arab disebut Jarimah.

G. Metode Penelitian.

Melakukan penelitian hukum setidaknya diperlukan lagkah-langkah yang dapat diterapkan baik terhadap penelitian untuk praktis maupun akademis. Ilmu hukum


(50)

memunyai krakteritik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai kadilan, validditas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar, prosedur, ketentuan-ketentuan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.44

Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah (1) mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan ; (2) pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan hukum; (3) melakukan telaah atas issu hukum yang diajukan berdasarkan beberapa bahan yang telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk argumentatif yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan preskriptif berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.45

Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, karena pada satu sisi mengutamakan tinjauan dari segi pengaturan hukum yang menyangkut pidana mati, dalam hukum pidana Islam. Metode pendekatan normatif itu dipergunakan dengan pertimbangan titik tolak penelitian adalah analisis terhadap ketentuan pidana mati dalam hukum pidana Islam.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, sebagi berikut:

44

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Offset, 2009), hlm. 22.

45


(51)

1. Jenis Penelitian.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normative (normatif law) Penelitian hukum normatif.46 Sebagaimana yang ditegaskan oleh Marzuki “Didalam penelitian hukum, yang diteliti adalah kondisi hukum secara intrinsik, yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai norma sosial. Hasil yang hendak dicapai oleh penelitian hukum bukan mencari jawaban atas efektivitas suatu ketentuan, pengaruh faktor-paktor non hukum terhadap peraturan hukum, peranan suatu institusi tertentu dalam penegakan hukum.47

Penelitian hukum sebagaimana disebut diatas adalah dimaksudkan untuk menemukan aturan-aturan hukum tentang pidana mati, baik dalam hukum pidana nasional maupun hukum idana Islam. Sehingga sisi keunggulan yang dan dalam hukum pidana Islam diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional yang nota bene masih merupakan warisan pemerintah kolonial belanda.

Bertitik tolak dari tujuan penelitian tersebut diatas, diharakan dapat mempergunakan untuk menganalisis maasalah yang telah diidentifikasi.

46

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup: 1. Penelitian terhadap asas hukum. 2. Sistematik hukum. 3. Taarap Sinkronisasi vertical dan horizontal. 4. Perbandingan hukum. 5. Sejarah hukum. Lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 14.

47


(52)

2. Sumber Data.

Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data skunder dalam wujud bahan hukum primer yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian. Data sekunder tersebut dibagi menjadi tiga: bahan hukum primer bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Ketiga jenis data tersebut diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini, yang meliputi:

1. Bahan hukum perimer, yaitu:

Dalam hukum pidana nasinal yang terdiri dari:

a. Bahan hukum dari zaman penjajahan sampai saat ini yang masih berlaku, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang pidana mati

c. Undang-undang Dasar 1945

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum premier, misalnya tulisan/ hasil penelitian para pakar hukum pidana nasional tentang pidana mati, diantaranya: Pidana Mati di Indonesia, dimasa lalu, kini, dan masa depan, karangan Andi Hamzah dan Sumangelipu. Pidana mati di Indonesia Dewasa Ini, karangan Djoko Prakoso dan Nurwachid. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,karangan JE. Sahetapy.


(53)

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang dapat memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, majalah dan sebagainya.48

4. Dalam Hukum Pidana Islam, terdiri atas: a. Bahan hukum primer, yaitu:

1. Al-qur’an dan hadis Nabi saw

2. Karya/ kitab-kitab fqih karangan ulama yang bersumber dari Al-qur’an dan Hadis, diantaranya, Badai as-sana’i, karangan kasani, Mawahib

al-Jalil karangan al-Magribi, al- Umm, karangan asy –Syafi’i, al- Muhazzab,

karangan asy-Syairazy, Majmu’ Syarh al- Muhazzab, karangan an-Nawawi, al-Mugni karangan Ibn Qudamah, kitab al-fiqh ‘ala al- Mazahib

al-Arba’ah,karangan al-jaziri.

b. Bahan hukum skunder yaitu bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan perimer, misalnya, tulisan para ulama terdahulu atau tulisan ulama kontemporer, cendikiawan muslim yang berkaitan dengan pidana mati, diantaranya: Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh karangan az-zuhaili, Al-Hudud fi

al-Islam, karangan Ahmad Fathi Bahansi, Bidayah al-Mujtahid, karangan Ibn Rusyd.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum perimer dan sekunder, misalnya kamus ensiklopedia, majalah dan sebagainya.

48


(54)

3. Teknik Pengumpulan Data.

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, pendapat sarjana, dan bahan-bahan lainnya. Situs Web juga menjadi bahan dalam penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

4. Analisis data .

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Penelitian yuridis normative yang bersifat kualitatif,adalah penelitian yang mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan dan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.49 Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai pidana mati dalam hukum positif dan hukum pidana Islam, kemudian membuat sistemetika dari pasal-pasal tersebut hingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Pada bagian akhir data yang berupa peraturan perundang undangan ini diteliti dan dianalisis secara kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh, yaitu berua data-data skunder melalui penelitian kepustakaan (library

research).

49


(55)

BAB II

ASPEK FILOSOFIS PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Aspek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia.

Apabila dipandang dari sudut filosofis, maka mempersoalkan hukuman mati berarti mempertanyakan, apakah adanya hukuman mati dapat dibenarkan atau dipertanggungjawabkan? Pertanyaan ini dapat dikemukakan dengan cara lain, yakni apakah hukuman mati mempunyai tempat di dalam gagasan tentang hukum itu sendiri? Jadi, dalam menentukan dapat atau tidak dapat dipertahankannya hukuman mati dalam sistem hukum pidana nasional Indonesia.

Oleh karena itu, bila dicermati, apa yang menjadi motif penggunaan pidana mati di Indonesia tentunya berbeda-beda dari tiap masa atau konteks munculnya peraturan yang memberikan hukuman mati tersebut. Namun untuk memberikan gambaran yang sederhana maka akan dipaparkan beberapa motif utama dari penggunaan pidana mati tersebut.

Di masa Daendeles, motif melakukan konsolidasi hukum pidana dan menerapkan kebijakan hukuman mati ini tak lain disamping karena ia sekedar menyesuaikan


(56)

hukuman dalam hukum pidana tertulis dengan sistem hukum lokal.50 Dimana menurutnya, banyak hukum lokal yang masih menerapkan hukuman mati dan hukuman badan (hukuman kejam). Daendeles mungkin juga tidak mengetahui alternatif lain selain menggunakan kebijakan tersebut.51 Selain ia tidak memiliki pengalaman sedikitpun mengenai urusan di tanah jajahan. Kemungkinan lainnya mengapa Daendeles bertindak ganas dengan melakukan konsolidasi menerapkan hukuman mati (dan hukuman kejam lainnya) karena ia bertugas untuk mempertahankan pulau jawa dari serangan angkatan perang Inggris dan oleh sebab itu sangat takut akan kemungknan timbulnya pemberontakan rakyat jajahan.52

Dimasa pembentukan kodifikasi hukum pidana (WvSI) dengan melakukan unifikasi hukum pidana. Pemerintah Kolonial belanda tetap mempertahankan hukuman mati tersebut di daerah jajahannya termasuk Indonesia. Berbeda dengan perkembangan kodifikasi Hukum Pidana di Belanda dimana pada tahun 1870 hukuman mati di Belanda justru dihapuskan. Motif pemerintahan Kolonial Belanda masih mempertahankan hukuman mati tersebut sangatlah beragam, namun pada intinya pencantuman hukuman mati tersebut memiliki: motif rasial, alasan karena faktor ketertiban umum dan konteks hukum pidana dan kriminologi pada masa itu.53

50

E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1950), hlm. 77. 51

Supomo dan Djokosutono, Sejarah politik Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1982), hlm. 35

52

E. Utrecht, op.cit. 53


(1)

3. Hendaknya agar ketentuan yang berlaku dalam hukum pidana Islam dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pembaruan hukum pidana nasional Indonesia yang notabene merupakan warisan kolonial Belanda. Sejalan dengan itu, maka para ulama, ilmuwan/cendikiawan muslim yang ikut berperan dalam mengambil kebijakan tersebut, agar dapat berupaya secara maksimal untuk mentransformasikan hukum pidana Islam kedalam hukum pidana nasional sehingga benar-benar sesuai dengan nilai keadilan dan kemanusiaan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi usul al-Fiqh, Mesir: Dar at-Tauzi, 1993.

Abdul Aziz Dahlan dkk, Ed, Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan Ke. V, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001.

Abi As-Su’ud Muhammad bin Muhammad Al-Ummari, tafsir Abi As-Su’ud, Beirut: Dar Ihya At-Turas Al-Arabi, 1990.

Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Al-jami’ As-Sahih Sunan At-Tirmizi, Mesir, Mustafa Al-Baby Al-Halaby Wa Auladih, 1975.

Abu Bakar, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Semarang: Toha Putra, 1984. Abu Bakar Al-Jaza’iri , Minaj Al-Muslim, Dar Al-Irsyad.

Abd. Al-Qadir Audah, Juz II, Muassasah ar-Risalah,Beirut Libanon, 1993. Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara persada, 1985.

Alau Ad-Din Abi Bakar bin Mas’ud Kasani, Bada’I As-sana’I, Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah.

Al-Jazairi, Kitab Al-fiqh Al-Mazahib Al-Arabaah, Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 1990.

Alvi Syahrin Beberapa Masalah Hukum, Medan: PT. Softmedia, 2009. Al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, Istambul: Dar Sahnun: 1992.

Andi Hamzah, sistem pidana dan pemidanaan , Jakarta: Pratnya, 1993. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, pidana mati , Jakarta : Ghalia , 1985.

An-Nawawi Majmu’ Syarh Muahazzab Li As-Syairazi, Jeddah: Maktabah Al-Irsyad. Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Ghalia


(3)

Bambang Poernomo, Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1982.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, Semarang: Toha Putra, 1989. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke.

2 Cetakan Ke IX, Jakarta, Balai Pustaka, 1997.

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Dewasa Ini, Jakarta : Ghalia , 1984.

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesembilan, Jakarta: 1966.

---, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1950. Fathurrahman Djamal, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1999.

Ibn Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1988.

Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, al-Asybah wa an- Naza’ir, Semarang: Toha Putra.

J.E. Sahetafy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana MatiTerhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: C.V.Rajawali, 1979.

Jimly Assidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana , Bandung: Angkasa,1996. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM, 1985.

Kafrawi Ridwan dkk, Ed, Ensiklopedi Islam, Cetakan Ke. III, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1994.

Lili Rasjidi dan Arief Sidharta, Flsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja Karya CV, 1989.

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Bandung: Remaja Karya, 1985.

Mahmud Mulyadi, dan Feri Antoni Subakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi ,Jakarta: PT. SOFMEDIA, 2010.


(4)

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy, Pustaka Bangsa Press, 2008.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001. M. Solly Lubis, Modul Teori Hukum, Medan: Pasca Sarjana USU.

Muhammad Ali As-Sabuni, Rawai’ Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Qur’an, Suriah: Maktabah Al-Gazali, 1980.

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazhi Al-Qur’an Al-Karim, Beirut: Dar Al-Fikr, 1987.

Muhammad Ibn Idris al-Syafi‘i, al-’Umm, Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1980. Muhammad Syarbaini AL-Khatib, Al-Iqna, Semarang: Toha Putra, 1983.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Fajar Interpratama Offset, 2009.

Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Rajawali Pers, 1989.

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Di Indonesia , Jakarta: Aksara Baru, 1987.

---, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, Jakarta: Aksara Baru, 1987.

---, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (akarta: Aksara Baru, 1983.

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982 R. Soesilo,Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bandung: Karya Nusantara, 1990. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif, Suatu Tinjauan


(5)

Subhi Mahmasani, Turats al-Khulafa’ al-Rasyidin fi al-Fiqh wa al-Qada’, Beirut: Dâr al- Malâyîn, 1984.

---, Turats al-Khulafa’ al-Rasyidin fi al-Fiqh wa al-Qada’.

Supomo dan Djokosutono, Sejarah politik Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1982.

Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati, Jakarta: Kompas, 2009.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di , (Bandung: Eresco, 1989. Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi HUkum,

Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana , 2008.

Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukum Legal, Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Yudian W. Asmin, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Republik Tahun 1945 (Amandemen Keempat). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.


(6)

Undang-Undang Nomor 2 (PnPs) Tahun 1964 Tentang tata Cara atau Mekanisme Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Militer.

Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api, Amunisi, dan Bahan Peledak.

Surat Kabar :

Harian Analisa, Minggu 29 Agustus 2010.

Internet :

http://homseks.blogspot.com/2010/08/sejarah-homoseksual.html

www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_. pdf.: tanggal 20 september 2010

Dinamika kontemporer hukuman mati di , diakses dari situs http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&q=dinamika+kontemporer+huku man+mati&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=f7bfdd729ceebdb7: tanggal 20 september 2010.

HM. Nasruddin Anshoriy, Jihad Melawan Korupsi,

http://www.ombudsman-asahan.org/index.php?option=com_content&task=view&id=399&itemid=74 diakses tanggal 13 Juni 2010.

Putusan Pengadilan :

Putusan Nomor 21/PUU-VI/2008 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2/PnPs/1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati. Putusan Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum Pada Tanggal 15 Oktober 2008.

Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Narkotika. Putusan Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk Umum Pada Tanggal 23 Oktober 2007.