BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana

  yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dan aturan-aturannya telah disusun dalam satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-

   undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu.

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

  Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materil.Beliau menyatakan bahwa:

  “the term crime has no accepted defenition in the law, except the criticular on that is anything that the lawmakers define as a crime. Basically, a crime is wrong, usually a moral wrong, committed against the society as a whole. Criminal prosecutions are brought in order to punish wrongdoers. Either because we want to deter future crime or simply because we believe wrongdoers deserve to be punished.”

  (Istilah tindak pidana tidak memiliki defenisi dalam undang-undang yang belaku, kecuali satu lingkarang yang adalah sesuatu bahwa pembuat undang-undang mendefenisikan sebagai suatu kejahatan. Pada dasarnya kejahatan adalah kesalahan, biasanya kesalahan moral yang bertentangan dengan masyarakat secara keseluruhan. Penuntutan pidana dilakukan untuk menghukum orang jahat, baik karena kita ingin mencegah kejahatan di masa depan atau hanya karena kita percaya orang jahat pantas dihukum.)

   a.

  Diancam oleh pidana oleh hukum Simons merumuskan bahwa Strafbaar feit (Belanda) ialah kelakukan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Lebih rinci dirumuskan sebagai berikut : b.

  Bertentangan dengan hukum c. Dilakukan oleh orang yang bersalah d. Orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.

   Buku II KUHP mengatur perihal kejahatan dan Buku II KUHP mengatur

  perihal pelanggaran. C.S.T Kansil merumuskan lima (5) unsur dari tindak pidana atau delik yaitu: a.

  Harus ada suatu kelakuan (gedraging) b. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke

  omschrijving) c.

  Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman

   Rumusan delik/tindak pidana membedakan perbuatan yang dilakukan

  dengan sengaja dan yang dilakukan dengan kealpaan (culpa). Misalnya delik pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja tercantum dalam Pasal 338 KUHP, 39 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal 73 40 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: 2008, hal 88 41

  sedangkan yang dengan kealpaan Pasal 359 KUHP. Sesudah perumusan delik, barulah perbuatan tersebut disesuikan dengan syarat dapat dipidananya seorang pembuat, yaitu perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan kepada atau pembuat mampu bertanggungjawab. Pasal 44 KUHP mengatur ketidakmampuan bertanggungjawab. Nyatalah bedanya disini dengan rumusan (unsur) delik.

  Unsur dapat dipertanggungjawabkan adalah sebagai berikut: a. Toerekeningsvat baargeid b.

  Keadaan jiwa seseorang itu sedemikian rupa sehingga: b.

  Dia mengerti arti atau nilai perbuatannya – nilai akibat perbuatannya c.

  Dia mampu menentukan kehendak atas perbuatannya d. Dia sadar bahwa perbuatan itu dilarang baik oleh hukum, kemasyarakatan, maupun kesusilaan c.

  Pendirian/ sikap pembentuk KUHP i.

  Unsur ini dianggap ada/terpenuhi oleh tiap tipe pelaku tindak pidana ii.

  Oleh karenanya tidak dirumuskan dalam pasal iii. Dan tidak perlu dibuktikan, kecuali: iv. Terdapat keragu-raguan akan adanya unsur itu pada pelaku, harus dibuktikan v.

  Tidak terpenuhi unsur ini – Pasal 44 vi. Jika hakim ragu-ragu – in dubio pro reo

  

2. Bentuk Kesalahan dalam KUHP : a.

   Kesengajaan (Opzet)

  Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu ke-1: perbuatan yang dilarang; ke-2 : akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan ke- 3: bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

  

Kesengajaan dapat dirumuskan sebagai berikut : melaksanakan suatu

  perbuatan, yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat atau bertindak. Atau dengan kata lain : bahwa kesengajaan itu ditujukan terhadap perbuatan.

   1.

  Teori kehendak ( wilstheorie), penganjur teori ini adalah Von Hippel yang mengemukakan bahwa “sengaja” adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan kehendak untuk menimbulkan akibat. Ajaran Von Hippel ini dikenal dalam tulisannya: Die Grenze Von Vorsatz Und Fahrlassigkeit terbitan tahun 1903. Teori-teori mengenai sengaja yang tampil pada abad XX ini pernah dikenal :

2. Teori angan-angan (Vooorstellings Theorie), teori ini dikemukakan oleh

  Frank dalam Festshchift Gieszen sekitar tahun 1907 yang menyatakan bahwa suatu akibat tidak mungkin dapat dikehendaki. Dikatakan bahwa manusia hanya memiliki kemampuan untuk menghendaki terlaksananya 43

  sesuatu perbuatan tetapi tidak berkemampuan untuk menghendaki, mengingini atau membayangkan akibat perbuatannya.

  Pasal 338: dengan sengaja menghilangkan...

   b.

  4. Met het oogmerk – dengan maksud Pasal 263: dengan maksud untuk menggunakan...

  3. Waarvan hij weet – yang diketahuinya Pasal 480: yang diketahuinya diperoleh dari...

  2. Wetende dat – yang diketahuinya Pasal 204 ayat (1): yang diketahuinya bahwa...

  Pasal 406: dengan sengaja merusak barang...

  c.

  b.

   Dalam ilmu hukum pidana sengaja itu dibedakan atas tiga gradasi: 1.

  Pasal 333 ayat (1): dengan sengaja dan melawan hukum...

  Opzettelijk – dengan sengaja a.

   Rumusan unsur kesengajaan dalam Pasal-Pasal KUHP yaitu: 1.

  3. Sengaja dengan kesadaran akan kemungkinan tercapainya tujuan atau akibat perbuatan (opzet bij megelijkheidsbewustzijn)

  2. Sengaja dengan kesadaran yang pasti mengenai tujuan atau akibat perbuatannya (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

  Sengaja sebagai tujuan/arahan hasil perbuatan sesuai dengan maksud orangnya (opzet als oogmerk)

  Kealpaan/kelalaian (Culpa) 45 C.S.T Kansil at all, Op.Cit., hal 51 46

  Undang-undang tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu. Hanya Memori Penjelasan (Memorie Van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel –Suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu ( quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dengan

   kebetulan.

  Didalam KUHP biasanya di samping disebut dengan sengaja pada suatu rumusan disebut pula delik culpa pada rumusan berikuntya. Disebut pembunuhan dengan sengaja pada Pasal 338 KUHP yang ancaman pidananya maksimum 15 tahun penjara, pada Pada 359 KUHP disebut, “karena salahnya menyebabkan orang mati”, yang di Indonesia diancam pidana maksimal 5 tahun. Ancaman pidana ini sudah diperberat dengan pertimbangan terlalu banyak terjadi delik ini khususnya yang disebabkan oleh pengemudi mobil. Semula diancam hanya

   maksimum satu tahun penjara atau 9 bulan kurungan.

  Para penulis ilmu hukum pidana berpendapat bahwa terjadinya culpa maka harus diambil sebagai ukuran ialah bagaimanakah sebagian besar orang dalam masyarakat bersikap tindak dalam suatu keadaan yang nyata-nyata terjadi.

  

Culpa dibedakan menjadi culpa levissima berarti kealpaan yang ringan sedangkan

culpa lata adalah kealpaan besar, didalam ilmu pengetahuan dikenal kealpaan

  yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Keaalpaan yang disadari itu dapat digambarkan bila seorang yang menimbulkan delik tanpa sengaja dan telah 48 berusaha menghalangi akibat yang terjadi, akan tetapi walaupun demikian akibatnya tetap timbul jua, sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang yang bersikap tidak membayangkan akibat yang timbul, padahal ia seharusnya

   membayangkan.

  3. Ketentuan Tindak Pidana terhadap Nyawa (Pembunuhan) yang dapat dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandungnya Pengertian tentang menghilangkan nyawa orang lain oleh Kitab Undang-

  Undang Hukum Pidana disebut sebagai suatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa

   meninggalnya orang lain tersebut.

  Berkenaan dengan tindak pidana terhadap nyawa tersebut Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat KUHP adalah sebagai berikut: a.

  Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338) Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam Pasal 338 yang rumusannya adalah:

  “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan hukuman penjara selama- lamanya lima belas tahun”.

  R.Soesilo memberikan penjelasan mengenai pasal 338 KUHP ini yaitu sebagai berikut: 50 51 C.S.T Kansil at all, Op.Cit., hal 53-54

  1. kejahatan yang dinamakan .,makar mati” atau .,pembunuhan” (doodslag) disini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain, sedangkan kematian tidak dimaksud, tidak masuk dalam pasal ini, mungkin masuk pasal 359 ( karena kurang hati-hatinya menyebabkan matinya orang lain) atau pasal 351 sub 3 (penganiayaan biasa, berakibat matinya orang lain) atau pasal 353 sub 3 (penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu, berakibat mati), pasal 354 sub 2 (penganiayaan berat berakibat mati) atau pasal 355 sub 2 (penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dahulu berakibat mati).

2. Sebaliknya pembunuhan itu harus dilakukan segerasesudah timbul maksud untuk membunuh itu, tidak dengan dipikir-pikir lebih panjang.

  b.

  Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339) Tindak pidana pembunuhan ini disebutkan dengan pemberatan kaena diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lainnya. Pembunuhan ini adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, yang berbunyi: “Pembunuhan yang diikuti,disertai atau didahului oleh suatu tindak pidana lain, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau sementara waktu paling lama 20 tahun.”

  Apabila rumusan tersebut diperinci, maka terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a.

  Semua unsur pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP b. Diikuti, disertai atau didahului tindak pidana lain c.

  Pembunuhan itu dilakukan dengan maksud: mempersiapkan tindak pidana lain, untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain dan dalam hal tertangkap tangan ditujukan untuk menhindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana serta untuk memastikan penguasaan benda yang diperoleh secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu). Unsur diikuti, disertai atau didahului terletak di belakang kata pembunuhan dan unsur tersebut diartikan sebagai sebuah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, adapun unsur-unsur oogmerk atau maksud juga terletak di belakang kata pembunuhan, maka itu berarti bahwa di samping unsur- unsur itu harus didakwakan oleh penuntut umum terhadap terdakwa dan

  

  dibuktikan di persidangan (karena ia meliputi unsur opzet ) Tindak pidana pembunuhan yang diperberat ini sebetulnya terjadi 2 macam tindak pidana sekaligus, ialah yang satu adalah pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (338) dan yang lain adalah tindak pidana lain (selain pembunuhan). Tindak pidana lain itu harus terjadi, tidak boleh baru percobaannya.

  c.

  Pembunuhan berencana (Pasal 340) Pembunuhan dengan rencana lebih dulu ini adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang rumusannya adalah:

  Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

  Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur: a. Unsur subyektif : dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu b.

  Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan nyawa dan obyeknya adalah nyawa orang lain.

  Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 syarat yaitu : a.

  Memutuskan kehendak dalam suasana tenang, yaitu pada saat memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang. Suasana yang tenang tersebut adalah suasana tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Sebagai indikatornya ialah sebelum memutuskan kehendak untuk membunuh itu, telah dipikirnya dan dipertimbangkannya. Telah dikaji untung dan ruginya. Pemikiran dan pertimbangan seperti ini hanya dapat dilakukan apabila ada dalam suasana tenang, dan dalam suasana tenang sebagaimana waktu ia memikirkan dan mempertimbangkan dengan mendalam itulah akhirnya memutuskan kehendak untuk berbuat.

  b.

  Ada tenggang waktu yang cukup, antara sejak timbulnya/ diputuskannya kehendak sampai pelaksanaan keputusan kehendaknya itu. Waktu yang cukup ini adalah relatif. Dalam arti tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian konkret yang berlaku. Tidak perlu singkat, karena jika terlalu singkat, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berpikir-pikir, karena tergesa-gesa, waktu yang demikian sudah tidak menggambarkan ada hubungan antara pengambilan putusan kehendak untuk membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan.

  c.

  Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Yaitu dalam melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan lain sebagainya.

  d.

  Pembunuhan bayi oleh ibunya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (Pasal 341, Pasal 342, Pasal 343) Pembunuhan bayi oleh ibunya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan dalam praktek hukum sering disebut dengan pembunuhan bayi. Ada 2 macam yaitu pembunuhan bayi yang dilakukan tidak dengan berencana (pembunuhan bayi biasa atau kinderdoodslag) dan pembunuhan bayi yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu (kindermoord).

  1. Pembunuhan bayi oleh ibunya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan sebagaimana dimuat dalam Pasal 341 yang rumusannya adalah sebagai berikut: “Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan bayi pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya dipidana karena membunuh bayinya sendiri dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.” Rumusan diatas memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

  Pelaku : seorang ibu Perbuatannya : menghilangkan nyawa Obyeknya : nyawa bayinya Waktunya : 1) pada saat bayi dilahirkan

  2) tidak lama setelah bayi dilahirkan Motifnya : karena takut diketahui melahirkan b. Unsur subyektif : dengan sengaja

  Langemeijer berpendapat bahwa ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 341 KUHP itu juga diberlakukan bagi wanita yang telah menikah, jika wanita tersebut memang mempunyai alasan untuk merasa takut akan diketahui oleh orang

  

  lain bahwa ia telah melahirkan seorang anak Simons berpendapat mengenai sebab pidana terhadap pelaku dari tindak pidana yang diancamkan terhdap pelaku tindak pidana pembunuhan anak atau

  kinderdoodslag itu diperingan dibandingkan dengan pidana yang telah

  diancamkan terhadap tindak pidana pembunuhan pada umumnya adalah karena tindak pidana pembunuhan anak pada umumnya telah dilakukan oleh seorang ibu dengan motif yang tersendiri dan dilakukan dalam keadaan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan (verminderde annsprakelijkheid) sebagai akibat dari

  

  kegoncangan jiwanya (gemoedsbeweging). Kegoncangan jiwa dari seorang ibu

  53 Noyon-Langemeijer, Het Wetbook (Catatan 1 Pada Pasal 290) dalam P.A.F.

  Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh & Kesehatan, Sinar Grafika, yang tidak menikah dalam hal itu telah melahirkan seorang anak di luar pernikahan karena khawatie mendapat malu jika diketahui oleh orang lain.

  2. Pembunuhan bayi oleh ibunya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan dengan direncanakan lebih dahulu. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 342, yakni:

  “Seorang ibu yang untuk melaksanakan keputusan kehendak yang telah diambilnya karena takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan bayi, pada saat bayi dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja menghilangkan nyawa bayinya itu, dipidana karena pembunuhan bayinya sendiri dengan rencana dengan pidana paling lama sembilan tahun.”

  Pengambilan keputusan kehendak dalam Pasal 342 ini memiliki perbedaan unsur berencana dengan unsur berencana pada Pasal 340. Perbedaan ini adalah, kalau dalam hal pembentukan kehendak dari moord (340) dilakukan dalam keadaan atu suasana (batin) yang tenang, namun sebaliknya terbentuknya kehendak dari kindermoord (342) adalah suasana (batin) yang tidak tenang karena dalam suasana batin yang ketakutan akan diketahuinya bahwa dia melahirkan bayi.

  Perbedaan utama antara kindermoord dengan kinderdoodslag terletak pada saat timbulnya keputusan kehendak untuk membunuh bayi. Pada kinderdoodslag, kehendak itu timbul secara tiba-tiba pada saat bayi sedang dilahirkan atau pada saat yang tidak lama setelah bayi dilahirkan. Sedangkan pada kindermoord terdapat tenggang waktu antara sejak timbulnya tanda-tanda akan melahirkan sampai dengan keluarnya/terpisahnya bayi dari tubuh ibu. Maka diambilnya keputusan kehendak untuk membunuh itu adlah sebelum tanda-tanda tersebut itu adalah syarat mutlak untuk unsur ‘berencana’ dalam kejahatan pembunuhan bayi berencana.

  Berkaitan dengan Pasal 341 dan Pasal 342 ini, R. Soesilo menyatakan bahwa syarat terpenting dari pembunuhan ini adalah bahwa pembunuhan anak itu dilakukan oleh ibunya dan harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui kelahiran anjak itu. Biasanya anak yang didapat karena berzina atau hubungan kelamin yang tidak sah.

  3. Ketentuan Pasal 343 merumuskan ketentuan sebagai berikut: “Bagi orang lain yang turut campur dalam kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 341 dan 342 dianggap kejahatan itu sebagai makar mati atau pembunuhan. Orang lain yang turut serta dalam melakukan pembunuhan bayi ini (Pasal 55

  KUHP) adalah setiap orang yang ikut bersama ibu dalam mewujudkan tindak pidana terhadap Pasal 341 dan 342 tersebut, termasuk juga pelaku pembantu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 56 KUHP. Namun, bagi yang membantu ini haruslah berupa pembantu aktif, tidak boleh pembantu pasif.

  Karena itu bagi pelaku pembantu dalam pembunuhan bayi ini lebih sempit pengertiannya dari pelaku pembantu yang dirumusakan dalam Pasal 56 KUHP tersebut.

  Ketentuan mengenai pertanggungjawaban bagi orang yang terlibat selain ibu (Pasal 343) yang tidak tunduk pada ketentuan mengenai pertanggungjawaban pada Pasal 341 dan Pasal 342, melainkan pada Pasal 338 dan Pasal 340, maka berarti ketentuan Pasal 343 ini adalah berupa perkecualian dari ketentuan pada Pasal 58 KUHP.

  Faktor-faktor atau kondisi yang mempengaruhi seorang ibu sehingga dengan sengaja menghilangkan nyawa anak yang baru dilahirkan atau tidak berapa lama setelah dilahirkan adalah sebagai berikut: a.

  Dari faktor psikis, yaitu adanya perasaan takut yang mendalam akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, perbuatan itu dilakukan oleh seorang ibu yang tidak menghendaki anak itu hidup, anak yang dilahitkan tanpa ayah atau ayah dari anak itu tidak bertanggungjawab.

  b.

  Dari faktor waktu, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seorang ibu untuk menghilangkan nyawa anak itu pada saat dilahirkan atau tidak berapa lama setelah dilahirkan sehingga timbul niat untuk menghilangkan nyawa anak itu karena merupakan aib yang sangat memalukan.

  c.

  Dari faktor ekonomi, yaitu seorang ibu yang melakukan perbuatan menghilangkan naywa anak itu karena dipengaruhi tingkat ekonmominya yang memprihatinkan atau tidak mampu. Jika anak itu lahir ada kekhawatiran tidak mampu membiayai hidup anak itu, sementara untuk

   memenuhi kebutuhan dirinya sehari-hari pun tidak mampu.

  e.

  Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (Pasal 346 s/d Pasal 349) Kejahatan mengenai pengguguran dan pembunuhan kandungan jika dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan menjadi:

  1. Pengguguran dan pembunuhan kandungan oleh perempuan yang mengandung itu sendiri. Dicantumkan dalam Pasal 346 yang rumusannya sebagai berikut: “Perempuan yang dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

  Dalam rumusan kejahatan Pasal 346, subyek hukumnya disebutkan dengan “seorang perempuan” (de vrouw) sedangkan Pasal 341 dan Pasal 342 adalah “seorang ibu” (de moeder). Hal ini disebabkan karena dalam Pasal 346 tidak disyaratkan kandungan tersebut sudah berwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran bayi maupun kelahiran bayi sebagaimana dalam Pasal 341 dan Pasal 342.

  2. Pengguguran dan pembunuhan kandungan atas persetujuan perempuan yang mengandung yang dirumuskan dalam Pasal 348 yaitu sebagai berikut: a.

  Barangsiapa dengan sengaja menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan dengan izin perempuan itu, dihukum penjara selama –lamanya lima tahun enam bulan.

  b.

  Jika karena perbuatan itu perempuan itu menjadi mati, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun. Syarat terjadi persetujuan yang dimaksud dalam rumusan pasal ini adalah harus ada dua pihak yang mempunyai kehendak yang sama. Disini tidak dipersoalkan dari mana asal/datangnya inisiatif untuk dilakukannya pengguguran atau pembunuhan kandungan itu. Karena yang penting adalah sebelum atau pada saat memulai perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan, sama-sama dikehendaki baik oleh perempuan maupun oleh orang yang melaksakan perbuatan itu. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) mengatur tentang adanya ketentuan pidana khusus yang dipakai di Indonesia yang dirumuskan dalam Pasal

  63 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa:

  (2) Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan pidana yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.

  F. A Lamintang menjelaskan bahwa apa yang diatur dalam Pasal 63 ayat (2) ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan samenloop dari beberapa perilaku yang terlarang. Dari rumusan Pasal 63 ayat (2) tersebut kiranya cukup jelas dapat diketahui bahwa yang diatur di dalamnya itu sebenarnya mengenai kemungkinan suatu perilaku terlarang itu telah diatur dalam ketentuan pidana tertentu. Akan tetapi kemudian ternyata telah diatur kembali dalam ketentuan

   pidana yang lain.

  Hal semacam itu apabila ketentuan pidana yang ditentukan terakhir itu merupakan suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, dalam arti secara lebih khusus mengatur perilaku yang sebenarnya telah diatur di dalam ketentuan pidana. Maka ketentuan pidana yang bersifat khusus itu lah yang harus diberlakukan. Atau dengan perkataan lain, dalam hal semacam itu berlakulah

  

  hukum yang mengatakan lex spesialis derogat lex generali Kitab undang-undang hukum pidana telah mengatur tindak pidana secara umum. Dalam hal tindak pidana pembunuhan anak kandung yang dilakukan oleh oangtua yang bukan termasuk dalam lingkup Pasal 341 (Pembunuhan bayi oleh ibunya) dan Pasal 342 (Pembunuhan bayi berencana), belum jelas diatur secara konkret perlindungannya. Oleh sebab itu, pemerintah kembali merumuskan tindak pidana dalam lingkup keluarga yang mengakibatkan matinya korban ke dalam UU 56 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti,

  Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara lebih khusus.

  

B. Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan Oleh Orangtua Terhadap

Anak Kandung dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

  Perlindungan terhadap anak merupakan hak asasi yang harus diperoleh anak. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan dari pasal tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalam mendapat perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan saja masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan hukum, khususnya

   penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan.

  

1. Perlindungan Anak dan Batas Usia Anak dalam UU Nomor 23

Tahun 2002

  Bab I Ketentuan Umum dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”, Berdasarkan hal tersebut, anak yang belum dilahirkan dan masih di dalam kandungan ibu menurut undang-undang ini telah mendapatkan suatu perlindungan hukum dan batasan usia tersebut membedakan antara anak dan dewasa yaitu pengelompokkan usia maksimal sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum sehingga hal tersebut menjadi patokan dalam menganalisis suatu kasus yang terjadi, apakah masuk ranah anak atau dewasa.

  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lahir sebagai upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi

  

  manusia. Komitmen pemerintah terhadap perlinndungan anak sesungguhnya telah ada sejak berdirinya negara ini. Hal ini bisa dilihat dari Pembukaan UUD 1945, disebutkan bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya

   dilakukan melalui proses pendidikan.

  Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.

  Secara garis besar, perlindungan anak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu perlindungan yang bersifat yuridis dan perlindungan yang bersifat non 59 yuridis. Perlindungan yang bersifat yuridis adalah perlindungan yang menyangkut semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak langsung bagi seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Perlindungan yang bersifat yuridis meliputi perlindungan dalam bidang hukum publik dan hukum keperdataan, sedangkan perlindungan yang bersifat non

   yuridis meliputi bidang sosial, kesehatan, pendidikan.

  Perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 dijabarkan dalam berbagai Pasal berikut yaitu: a.

  Pasal 59 menentukan bahwa “Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.” b.

  Pasal 64 ayat (3) menentukan bahwa Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: 1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; 2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

  3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

  4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

  c.

Pasal 69 menentukan bahwa :

  1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan 61 seksual dilakukan melalui upaya :

  

Soemitra, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta :1990, hal 13 a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 2)

  Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) d.

Pasal 80 Menentukan bahwa :

  (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

  (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

  (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

  e.

Pasal 81 menentukan bahwa:

  (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

  (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

  f.

  Pasal 82 menentukan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

2. Ketentuan Pidana Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan

  UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memandang tindakan kekerasan anak yang menyebabkan matinya anak sebagai tindakan pelanggaran hukum yang berakibat dapat dipidana dengan hukuman sebagaimana diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak lebih khususnya dalam Pasal 80 seperti yang dirumuskan sebagai berikut: (1)

  Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2)

  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3)

  Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4)

  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

  Pasal 1 ayat (4) dalam undang-undang ini menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Secara khusus untuk ketentuan sanksi dari tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orangtua dari anak tersebut bisa dilihat dari Pasal 80 tersebut ayat yang ke (3) dan (4) yaitu dengan pidana penjara dan denda yang kemudian diperberat. Dalam kedua ayat tersebut jelas disebutkan bahwa apabila pelaku yang melakukan tindakan penganiayaan dan mengakibatkan matinya anak adalah orangtua dari anak tersebut maka hukumannya diperberat dengan pidana tambahan sepertiga dari hukuman yang ditentukan oleh ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan pelaku pidana adalah orang lain.

  

C. Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan Terhadap Anak Kandung

Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

  Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini memuat beberapa pasal dari tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (yang tergolong ringan) yang menjadi delik aduan, selebihnya merupakan delik biasa (berdasarkan Pasal 15 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). Tetapi prakteknya, karena sulitnya membuktikan dan menemukan saksi, maka kemudian menjadi delik aduan. Demi terwujudnya keadilan dan jaminan kepastian hukum perlu adanya kejelasan bahwa tindakan-tindakan kekerasan internal rumah tangga bukan hanya merupakan “delik aduan” tetapi “delik pidana umum”

1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

  Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004, pengertian kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

  Sementara dalam ayat yang ke (2) disebutkan bahwa Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Anak Dibawah Umur Dan Anak Yang Telah Dewasa

  Pengertian anak menurut UU PKDRT harus dikaitkan dengan kualifikasi “anak dan bukan anak (dewasa)” menurut undang-undang karena “anak dan bukan anak (dewasa) apabila menjadi pelaku dan korban dalam tindak pidana KDRT maka akan memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda.

  Perbedaan antara anak yang dibawah umur dengan anak yang telah dewasa harusnya menjadi fokus dari UU PKDRT tersebut karena dalam Pasal 27 UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dilakukan oleh orangtua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.” Hal tersebut berarti bahwa konstruksi “seorang anak” dalam Pasal 27 ini dilihat dari “bentuk kedewasaan” menurut hukum dan dengan demikian, anak sebagai pelaku dan korban tindak pidana KDRT bisa terkualifikasi sebagai “anak yang telah dewasa” dan “anak yang masih dibawah umur

  Anak yang dibahas dalam tulisan ini adalah anak dalam kualitas sebagai “korban”. Pengertian anak tersebut menurut Undang-undang PKDRT tidak memiliki batasan umur, karena anak dalam UU PKDRT jika sebagai korban bukan dilihat dari kualifikasi/batasan umurnya, tetapi hal tersebut dilihat dari ikatan darah (anak kandung) dan ikatan yuridisnya (anak angkat dan anak tiri)

  

  (vide penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a UU PDKRT)

  62

3. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Ketentuan Pidananya

  Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 sebagai berikut: 1.

  Kekerasan fisik 2. Kekerasan psikis 3. Kekerasan seksual; atau 4. Penelantaran rumah tangga

  Lebih jauh lagi bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga dapat dijelaskan secara lebih rinci yaitu :

  1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dsalam hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.

  Perbedaan kekerasan fisik dalam Pasal 6 UU PKDRT dengan kekerasan fisik dalam Pasal 351 KUHP terletak pada penafsiran dari kekerasan fisik tersebut.

  Dalam Pasal 6 UU PKDRT diberikan penafsiran otentik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Sedangkan dalam Pasal 351 KUHP tidak dijelaskan pengertian dari penganiayaan tetapi hanya menyebutkan kualifikasi deliknya yakni penganiayaan.

  Masalah yang muncul dalam penafsiran kekerasan fisik dalam UU PKDRT yaitu tidak adanya pengertian yuridis dari “rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat”, padahal hal tersebut sangat penting untuk menentukan dan membuktikan jenis perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan fisik.

  Guse Prayudi, SH dalam bukunya yang berjudul Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga merangkum pengertian dari “rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat” dalam KUHP dan yurisprudensi dan dijelaskan sebagai berikut: a.

  Rasa sakit, misalnya mencubit, mendupak, memukul, menempeleng. Rasa sakit hanya cukup bahwa orang lain merasa sakit tanpa ada perubahan dalam bentuk badan b. Jatuh sakit artinya timbul gangguan atas fungsi dari alat-alat didalam badan manusia c.

  Luka berat adalah luka yang terkualifikasi dalam Pasal 90 KUHP yakni: 1.

  Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbukan bahaya maut

  2. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian

3. Kehilangan salah satu pancaindera 4.

  Mendapat cacat berat 5. Menderita sakit lumpuh 6. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih, dan 7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan Berikut tabel yang memuat ketentuan bentuk-bentuk kekerasan fisik dengan ancaman sanksi pidananya dalam UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 :

   Tabel 1

Kekerasan Fisik

  Delik Sanksi o Kekerasan fisik dalam lingkup rumah penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau

  Tangga o o denda paling banyak Rp 15 juta Kekerasan fisik yang mengakibatkan penjara paling lama 10 (sepuluh) korban mendapat jatuh sakit atau luka tahun; atau o denda paling banyak Rp 30 juta berat Kekerasan fisik yang mengakibatkan penjara paling lama 15 (lima matinya korban belas) tahun; atau o o denda paling banyak Rp 45 juta

  Kekerasan fisik yang dilakukan suami penjara paling lama 4 (empat) terhadap isteri atau sebaliknya yang bulan; atau o tidak menimbulkan penyakit atau denda paling banyak Rp 5 juta halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau

63 Peri Umar Farouk, Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,

  kegiatan sehari-hari 2.

  Kekerasan Psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus. Kekerasan psikis adalah jenis tindak pidana yang benar-benar baru karena tidak ada padanannya dalam KUHP, berbeda dengan tindak pidana KDRT dalam bentuk lainnya. Perbuatan pokok tentang kekerasan psikis ini dirumuskan dalam Pasal 45 ayat (1) UU PKDRT yaitu: “Kekerasan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dana/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.” Unsur-unsur dari Pasal tersebut adalah : a) setiap orang; b) yang melakukan perbuatan psikis; c) dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan pada ayat yang ke (2) dari Pasal 45 menyatakan : “Dalam perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.”

  Berikut tabel yang memuat ketentuan bentuk-bentuk kekerasan psikis dengan ancaman sanksi pidananya dalam UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 : Tabel 2

  

Kekerasan Psikis

  Delik Sanksi o Kekerasan psikis dalam lingkup rumah penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau

  Tangga o o denda paling banyak Rp 9 juta Kekerasan psikis yang dilakukan penjara paling lama 4 (empat) suami terhadap isteri atau sebaliknya bulan; atau o yang tidak menimbulkan penyakit atau denda paling banyak Rp 3 juta halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari

  3. Kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

  Kekerasan seksual meliputi (Pasal 8) : (a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

  Catatan untuk kekerasan seksual adalah dengan adanya frasa “pemaksaan” dalam perumusan kekerasan seksual. Namun hal ini tidak dijelaskan dalam UU PKDRT apa yang dimaksud dengn “pemaksaan”, apakah “pemaksaan” tersebut sama dengan “memaksa” dalam pasal-pasal dalam KUHP atau tidak.

  Disini penegak hukum dibebani untuk menafsirkan kembali dengan melihat konstruksi perkosaan (Pasal 285 KUHP) dan melihat pengertian korban KDRT yakni orang yang mengalami “kekerasan/ancaman kekerasan”, maka kekerasan disini harus dikonstuksikan sebagai “memaksa baik dengan cara kekerasan dan/ataupun ancaman kekerasan.” Lebih lanjut Pasal 46 menyatakan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

  Berikut tabel yang memuat ketentuan bentuk-bentuk kekerasan seksual dengan ancaman sanksi pidananya dalam UU PKDRT Nomor 23 Tahun 2004 :

   Tabel 3

Kekerasan Seksual

  Delik Sanksi o Kekerasan seksual o penjara paling lama 12 tahun; atau denda paling banyak Rp 36 juta o Memaksa orang yang menetap dalam penjara paling singkat 4 tahun dan rumah tangganya melakukan paling lama 15 tahun; atau o hubungan seksual denda paling sedikit Rp 12 juta dan o paling banyak Rp 300 juta

  Mengakibatkan korban mendapat luka penjara paling singkat 5 tahun dan yang tidak memberi harapan akan paling lama 20 tahun; atau o sembuh sama sekali, mengalami denda paling sedikit 25 juta dan gangguan daya pikir atau kejiwaan paling banyak 500 juta sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janindalam kandungan, atau engakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi

  4. Penelantaran rumah tangga yaitu seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).

  Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomi yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.

   Tabel 4

Dokumen yang terkait

A. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 1 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Karies - Perbedaan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi Dan Mulut Dan Pengalaman Karies Pada Siswa Pendidikan Formal (Sdit Alif) Dan Nonformal (Sd Yayasan Amal Shaleh) Di Kecamatan Medan Polonia

0 2 19

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 13

Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 34

KATA PENGANTAR - Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Pasien Berdasarkan Hukum Positif Indonesia(Studi Padaunit Pelayanan Teknis Balai Kesehatan Indera Masyarakat Medan)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perjanjian Kerjasama Operasi Pengusahaan Air Minum Di Pelabuhan Belawan Antara Pt. Pelindo I Dengan Pt. Metito Indonesia

1 2 16

BAB II PERANAN DAN UPAYA PEMERINTAH (BPN) A. Pendaftaran Tanah dalam Pandangan Yuridis - Kesadaran Hukum Masyarakat Nias Dalam Rangka Pendaftaran Tanah (Studi Kasus Di Kabupaten Nias)

0 1 23

Kesadaran Hukum Masyarakat Nias Dalam Rangka Pendaftaran Tanah (Studi Kasus Di Kabupaten Nias)

0 0 41

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

0 0 56

Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

0 1 25