Molecular Identification Local Isolates of Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction (PCR) Method

IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL
Staphylococcus aureus DENGAN
METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FIDYATUN KHOIRIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi Molekular Isolat Lokal
Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumebr informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2011


Fidyatun Khoiriyah
NIM F251070191

ABSTRACT
FIDYATUN KHOIRIYAH. Molecular Identification Local Isolates of
Staphylococcus aureus by Polymerase Chain Reaction (PCR) Method. Under
direction of RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI
HIDAYAT.

Foodborne disease is a major concern worldwide, and S. aureus is
continuously involved in foodborne disease outbreaks. Staphylococcal
enterotoxins (SE) are important virulence factor for the bacterial intoxications.
This research aimed to identify local isolates of S. aureus based on universal
16S rRNA gene and to identify whether they possess SE A and C1 genes.
Bacterial DNA isolation was conducted using Doyle and Doyle extraction method
with some modification. Amplification of genes encoding for 16S rRNA, SEA
and SEC1 were investigated using primers 63f/1387r, SEA-1/SEA-2 and
SEC1-1/SEC1-2, consecutively. The amplification products of 16S rRNA were
sequenced and then analyzed for their relatedness to S. aureus. The resulted

sequence was analyzed using BLAST (Basic Local Alignment Search Tool)
program and it was found that 5 out of 14 isolates were confirmed as S. aureus.
The local isolates of NU4, NU5 and NU9 have 87 – 92% similarity, but all of the
local isolates do not have similarity with S. aureus ATCC 25923. Based on
amplification of the SE genes, 1 local isolates of S. aureus (NU5) was capable of
producing both SEA and SEC1 while 1 local isolate (NU1) was only capable of
producing SEA.

Keywords: Staphylococcus aureus, staphylococcal enterotoxin, local isolates

RINGKASAN
FIDYATUN KHOIRIYAH. Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus
aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Dibimbing oleh
RATIH DEWANTI-HARIYADI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.
Bakteri S. aureus telah banyak dilaporkan sebagai patogen asal pangan
yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia. Karakteristik S. aureus antara
lain termasuk bakteri bulat Gram positif yang bergerombol seperti anggur,
membentuk pigmen kuning keemasan, tidak membentuk spora, non-motil, bersifat
aerob dan anaerob fakultatif serta membentuk koagulase dan katalase positif.
Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik dengan

mikroflora normal pada makanan. Keberadaan S. aureus pada pangan umumnya
disebabkan oleh kontaminasi silang dari pekerja maupun peralatan pengolahan
yang digunakan serta perlakuan pangan setelah diolah. Bakteri ini sendiri
ditemukan di dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan
berdarah panas termasuk manusia. Lebih dari 30 – 50% populasi manusia adalah
“carrier” S. aureus (Le Loir et al., 2003).
Faktor virulensi yang dihasilkan oleh S. aureus sehingga menyebabkan
keracunan pangan salah satunya adalah enterotoksin stafilokoki (SE). SE
merupakan kelompok protein globular rantai tunggal yang bersifat antigentik
dengan berat molekul rendah. SE juga bersifat larut air, termostabil dan kaya akan
beberapa residu asam amino. Terdapat 14 jenis enterotoksin stafilokoki yang telah
diidentifikasi. SE yang umumnya mengontaminasi makanan diantaranya SEA,
SEB, SEC1 dan SED. Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya
1:10 dengan galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA,
enterotoksin stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara
lain SEC1 dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging
ditemukan 10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung
SED. Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur
S. aureus yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC1 (Rall et
al., 2008). Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturutturut ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED

10.1%. Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu
kelompok dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1
(Argudin et al., 2010).
Beberapa kasus keracunan pangan di dunia akibat kontaminasi S. aureus
yang pernah menjadi outbreak (Kejadian Luar Biasa) antara lain di Florida pada
bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan akibat mengonsumsi
daging ham yang terkontaminasi toksin S. aureus. Sebanyak 31 orang dari
125 orang mengalami gejala keracunan seperti mual, muntah dan diare selama
3-6 jam. Kasus keracunan juga pernah terjadi di Australia berturut-turut pada
bulan Maret dan April 2002 akibat mengonsumsi nasi, kentang dan daging.
Sebanyak 250 orang dari 600 orang menjadi korban (Rall et al., 2008; Pelisser et
al., 2009). Di Indonesia, keberadaan bakteri patogen ini dalam produk pangan
terutama siap santap telah banyak dilaporkan, tetapi untuk sampai terjadinya kasus
keracunan pangan tidak banyak dilaporkan. Beberapa kasus keracunan yang
pernah dilaporkan adalah pada tahun 2009 di Tasikmalaya, sebanyak 148 orang

menjadi korban akibat mengonsumsi nasi bungkus yang mengandung S. aureus
(Kusumaningrum, 2009). Sebelumnya di Padang tahun 2007 juga pernah terjadi
kasus keracunan pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan yang terbuat dari
beras ketan dan setelah diuji laboratorium ternyata positif mengandung S. aureus

(Gentina et al., 2008). Menurut US FDA (2001), kasus keracunan makanan
biasanya terjadi apabila jumlah S. aureus mencapai 105CFU/g atau lebih. SE
dapat menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah yaitu 0.1 – 1 µg/kg
(ICSMF, 1996). Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia
berdasarkan gen penyandi SE dengan menggunakan teknik Polymerase Chain
Reaction (PCR)yang berasal dari susu segar hewan dan produk pangan olahan asal
hewan sudah pernah dilaporkan (Salasi et al., 2009), sedangkan data mengenai
keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang
berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk
olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi isolat-isolat lokal
S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan mendeteksi keberadaan gen penyandi
SEA serta SEC1 pada isolat-isolat tersebut. Isolasi DNA genom bakteri S. aureus
menggunakan metode Doyle dan Doyle (1989) dengan beberapa modifikasi.
Amplifikasi gen target menggunakan 3 pasang primer berturut-turut, yaitu
63f/1387r, SEA-1/SEA-1 dan SEC1-1/SEC1-2. Hasil amplifikasi untuk gen
16S rRNA dilakukan sekuensing dan dianalisis menggunakan program BLAST
pada situs NCBI (www.ncbi.nlm.nih.gov).
Berdasarkan hasil amplifikasi parsial gen 16S rRNA, 5 dari 14 isolat lokal
yang diteliti adalah S. aureus, meskipun secara uji biokimiawi 14 isolat lokal

tersebut telah diidentifikasi sebagai S. aureus (Apriyadi, 2010). Dalam penelitian
ini, 9 isolat lokal lainnya tidak teridentifikasi sebagai spesies apapun. Tingkat
kemiripan tinggi ditemukan pada isolat lokal NU4, NU5 dan NU9, yaitu berkisar
antara 87 – 92%. Dapat disimpulkan bahwa 3 isolat lokal tersebut merupakan
spesies yang sama. Berdasarkan sumber isolat-isolat lokal S. aureus yang
diperoleh, isolat lokal AS yang berasal dari ayam suwir memiliki kemiripan yang
relatif rendah (76%) dengan isolat lokal yang berasal dari nasi uduk (NU1). Tidak
terdapat kemiripan antara kelima isolat lokal S. aureus dengan S. aureus ATCC
25923 sebagai isolat pembanding.
Hasil amplifikasi gen penyandi SE menunjukkan bahwa dari 2 isolat lokal
S. aureus, 1 isolat mengandung kedua gen penyandi SEA dan SEC1 (NU5) dan
1 isolat hanya mengandung SEA (NU1).

Kata kunci: Staphylococcus aureus, enterotoksin stafilokoki, isolat lokal

IDENTIFIKASI MOLEKULAR ISOLAT LOKAL
Staphylococcus aureus DENGAN
METODE POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

FIDYATUN KHOIRIYAH


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Antung Sima Firlieyanti, STP, M.Si

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya dilakukan untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak mengurangi kepentingan
yang wajar Institut Pertanian Bogor.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

Judul Tesis

: Identifikasi Molekular Isolat Lokal Staphylococcus aureus
Dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)

Nama

: Fidyatun Khoiriyah

NIM

: F251070191

Disetujui
Komisi pembimbing

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc


Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc

Ketua

Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Haryadi, M.Sc

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 9 Agustus 2011

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Alloh
SWT atas segala nikmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga pada akhirnya
penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Identifikasi Molekular
Isolat Lokal Staphylococcus aureus Dengan Metode Polymerase Chain Reaction
(PCR).
Selama perjalanannya menempuh pendidikan S2 ini, penulis merasa
dibantu oleh banyak pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc, selaku
ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc, selaku
anggota komisi pembimbing atas segala arahan, bimbingan, semangat, perhatian
dan kesabaran penuh seperti layaknya ibu sendiri. Semoga Alloh SWT
memberikan balasan yang terbaik atas segala pengorbanan waktu, tenaga, pikiran
dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
Kepada Antung Sima Firlieyanti, STP, MSi, selaku dosen penguji luar
komisi yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberi masukan guna
perbaikan karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada SEAFAST Center –
LPPM IPB yang telah mendanai penelitian ini dan memberi kemudahan bagi

penulis untuk dapat melaksanakan penelitian hingga selesai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada: (1) Tim mahasiswa satu bimbingan,
yaitu Bombay, Veni, Mbak Desty, Winnie, Ipit, Ivani, Juli dan Ipan, yang telah
mengisi hari-hari penulis selama penelitian dan membantu dalam banyak hal,
(2) Mbak Ari, Sofah dan Yeris serta para teknisi lainnya di laboratorium
SEAFAST Center, (3) Mbak Tuti di Laboratorium Virologi Tumbuhan, HPT IPB,
yang telah banyak mengajarkan ilmu dan hal-hal teknis maupun non-teknis
tentang bidang molekular, (4) Teman-teman IPN, terutama Zaim dan Uni Rita,
yang telah memberi semangat dan banyak membantu di detik-detik terakhir
penyelesaian masa studi, (5) Teman-teman di Laboratorium Bioteknologi Pangan
SEAFAST Center, Midun, Mbak Dwi, Mbak Elfi, Mbak Maya, Dilla, Yogi, Dita,
Victor, Ahmad dan Goy yang selalu memberi semangat dan bantuan, (6) Temanteman Liqo, serta (7) Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu, terima atas dukungannya.
Tak lupa dengan sangat penulis mengucapkan terima kasih kepada papa,
mama, adik-adik dan seluruh keluarga besar yang tak henti-hentinya memberikan
doa, kasih sayang, semangat dan bantuan. Terima kasih yang luar biasa teruntuk
suami dan mujahid kecilku, Ukasyah, penulis merasa amat sangat bersyukur
memiliki kalian berdua. Tidak ada penyesalan atas apa yang sudah terjadi dan
pada akhirnya semua dapat terselesaikan juga walaupun harus melewati rintangan
yang berliku.

Depok, September 2011

Fidyatun Khoiriyah

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkkan di Jakarta pada tanggal 12 Juni 1984 dari Ayah H.
Achwani dan Ibu Hj. Atika Nurkhasanah. Penulis merupakan anak sulung dari
tiga bersaudara.
Tahun 2002, penulis lulus dari SMU Negeri 112 Jakarta dan pada tahun
yang sama terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Biologi Universitas Nasional
Jakarta. Selama menempuh bangku kuliah, penulis mendapat beasiswa dari NEF
(Nagao Environmental Foundation).
Tahun 2007, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana
IPB dan mengambil Program Studi Ilmu Pangan (IPN) dengan peminatan
Mikrobiologi dan Bioteknologi Pangan. Selama menempuh pendidikan S2,
penulis tercatat sebagai anggota Forum Mahasiswa Ilmu Pangan (Formasip).
Penulis juga pernah mengikuti beberapa seminar internasional, diantaranya
“Probiotics” pada tahun 2008.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL….…………………………………………………………….

xiii

DAFTAR GAMBAR...…………………………………………………………..

xiv

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………..

xv

PENDAHULUAN……………………………………………………….............
Latar Belakang………………………………………………………………
Tujuan Penelitian………………………………………………………........
Manfaat Penelitian…………………………………………………………..
Hipotesis…………………………………………………………………….

1
1
4
5
5

TINJAUAN PUSTAKA……………………...…..………………………............
Karakteristik Staphylococcus aureus………………………………………..
Kontaminasi S. aureus dalam Pangan………………………………………
Perilaku S. aureus dalam Pangan …………………………………………..
Penyakit karena S. aureus…………………………………………………..
Dosis Infeksi S. aureus……………………………………………………...
Keracunan Makanan oleh Stafilokoki………………………………………
Metode Deteksi S. aureus…………………………………………………...
Enterotoksin Stafilokoki (SE)……………………………………………….
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Enterotoksin Stafilokoki (SE)
Mekanisme Aksi SE………………………………………………………...
Konstruksi Pustaka Gen 16S rRNA…………………………………………
Polymerase Chain Reaction (PCR)……………………………....................
Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing)…………………………………..
Analisis Keragaman Genetika………………………………………………

6
6
9
13
15
16
16
19
22
26
29
31
32
34
35

METODE PENELITIAN………………………………………………………...
Tempat dan Waktu…………………………………………………………..
Bakteri Uji…………………………………………………………………..
Bahan dan Media……………………………………………………………
Alat………………………………………………………………………….
Pelaksanaan Penelitian……………………………………………………...
Persiapan dan Pewarnaan Gram Kultur Bakteri S. aureus……………..
Persiapan Kultur Bakteri…………………………………………..
Pewarnaan Gram Bakteri…………………………………………..
Identifikasi Molekuler Kultur Bakteri S. aureus……………………….
Persiapan Kultur Bakteri…………………………………………..
Isolasi DNA Genom Bakteri………………………………………
Amplifikasi Gen 16S rRNA Bakteri………………………………
Sekuensing Gen 16S rRNA Bakteri.................................................
Amplifikasi Gen Penyandi SEA dan SEC1………………………..

39
39
39
39
40
41
42
42
42
42
42
43
44
45
45

HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………….. 46
Pewarnaan Gram……………………………………………………………. 46
Identifikasi Molekular Isolat Lokal S. aureus……………………………… 46

Isolasi DNA Genom Bakteri………………………………………….
Amplifikasi dan Analisis Sekuen Parsial Gen 16S rRNA……………
Amplifikasi Gen SEA dan SEC1……………………………………..

46
49
56

SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………
Simpulan…………………………………………………………………….
Saran……………………………………………………………………….

60
60
60

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………

61

LAMPIRAN……………………………………………………………………...

68

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus…….

7

2

Karakteristik spesies stafilokoki...................................................

8

3

Sumber, faktor risiko dan konsekuensi keberadaan S. aureus
dalam rantai pangan......................................................................

11

4

Data cemaran S. aureus pada beberapa pangan...........................

13

5

Faktor-faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan
pangan..........................................................................................

17

6

Karakteristik utama enterotoksin stafilokoki (SE).......................

23

7

Persentase identitas asam amino pada SE yang berbeda..............

24

8

Support genetika pada beberapa gen penyandi SE.......................

26

9

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi enterotoksin yang
dihasilkan oleh S. aureus..............................................................

27

Pasangan primer oligonukleotida yang digunakan untuk
amplifikasi gen target...................................................................

40

Produk sekuensing dari isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat
pembanding (S. aureus ATCC 25923) berdasarkan sekuen gen
parsial 16S rRNA dengan primer 63f, 1387r dan hasil contig……

51

Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolate
pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan
beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen
parsial 16S rRNA dengan primer 1387r………………………….

53

Sumber isolat dan asal negara dari masing-masing galur
S.
aureus
berdasarkan
sekuen
gen
parsial
16S rRNA………………………………………………………....

54

Persen kemiripan isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat
pembanding (S. aureus ATCC 25923) yang dianalisis dengan
beberapa galur S. aureus pada Bank Gen berdasarkan sekuen gen
parsial 16S rRNA…………………………………………............

55

Persen kemiripan antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan
sekuen gen parsial 16S rRNA dengan primer 1387r……………..

56

10
11

12

13

14

15

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x.....................................................

6

2 Mekanisme aksi enterotoksin stafilokoki (SE)...........................................

31

3 Diagram alir pelaksanaan penelitian........................................................... 41
4 Morfologi bakteri S. aureus hasil pewarnaan Gram……………………... 46
5 Visualisasi total DNA genom isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat luar
S. aureus ATCC 25923. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923
(1), AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8),
NU7 (9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan
NU14 (15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA………… 49
6 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen 16S rRNA universal
isolat lokal S. aureus. Sampel (a) dan (b) terdiri dari: ATCC 25923 (1),
AS (2), NU1 (3), NU2 (4), NU3 (5), NU4 (6), NU5 (7), NU6 (8), NU7
(9), NU8 (10), NU9 (11), NU10 (12), NU11 (13), NU13 (14) dan NU14
(15). M adalah DNA ladder 1 kb sebagai penanda DNA dan K- sebagai
kontrol negatif……………………………………………………………. 50
7 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi SEA isolat
lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3),
NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10),
NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai
penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif…………………………... 57
8 Visualisasi DNA hasil amplifikasi fragmen gen penyandi SEC1 isolat
lokal S. aureus. Sampel terdiri dari: ATCC 25923 (1), AS (2), NU1 (3),
NU3 (4), NU4 (5), NU5 (6), NU6 (7), NU7 (8), NU8 (9), NU9 (10),
NU11 (11) dan NU13 (12). M adalah DNA ladder 100 bp sebagai
penanda DNA dan K- sebagai kontrol negatif………………………….
57

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Konsentrasi dan kemurnian DNA genom bakteri S. aureus……………

68

2 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 63f untuk
isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat pembanding S. aureus 25923 yang
disekuensing............................................................................................... 69
3 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA menggunakan primer 1387r
(reverse complement) untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat
pembanding S. aureus 25923 yang disekuensing………………………... 76
4 Urutan basa (nukleotida) gen 16S rRNA hasil contig menggunakan
primer 63f dan 1387r untuk isolat-isolat lokal S. aureus dan isolat
pembanding S. aureus 25923…………... ……………………………… 84

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keracunan pangan akibat kontaminasi bakteri patogen atau dikenal dengan
istilah foodborne disease (FBD) merupakan permasalahan keamanan pangan yang
menjadi

perhatian

dunia,

tidak

terkecuali

Indonesia.

Padahal

dalam

mengupayakan keamanan pangan tersebut, masing-masing negara telah membuat
kebijakan seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah
tentang Pelabelan Pangan, Manajemen Keamanan Pangan dan berbagai panduan
lainnya. Namun demikian, masih saja terdapat kejadian dimana cemaran pangan
kurang dapat diantisipasi secara sempurna sehingga menimbulkan kekacauan,
seperti temuan Staphylococcus aureus pada pangan siap santap.
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif, berbentuk bulat
bergerombol seperti anggur dan tidak membentuk spora sehingga sangat mudah
diinaktifkan dengan perlakuan panas. S. aureus merupakan bakteri yang umum
terdapat pada manusia dan bersifat patogen yang dapat menyebabkan keracunan
pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus
intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus pada
pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala umum keracunan enterotoksin
stafilokoki berupa mual, pusing, muntah dan diare. Enterotoksin stafilokoki dapat
menyebabkan keracunan pada dosis yang sangat rendah, yaitu 0.1-1 µg/kg
(ICSMF, 1996). Gejala keracunan dapat terlihat 30 menit hingga 8 jam setelah
mengonsumsi makanan yang mengandung toksin tersebut (Blackburn dan Mc
Clure, 2002).
Sudah sejak lama, S. aureus menjadi salah satu agen terpenting penyebab
terjadinya food-borne disease di masyarakat. Penyebab utama masuknya S. aureus
ke dalam rantai pangan, yang kemudian menyebabkan keracunan adalah karena
rendahnya tingkat sanitasi pekerja. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh
pada tingkat kontaminasi. Menurut Ray (2001), pangan yang disiapkan di bawah
kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian

2

food-borne disease. Hal ini terutama terjadi pada negara berkembang, seperti
Indonesia dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada negara maju.
Berdasarkan laporan the Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
(1989) menyatakan bahwa pada tahun 2001 hingga 2005 rata-rata setiap tahun
terjadi 327 kasus keracunan pangan akibat bakteri di Amerika Serikat, 15%
diantaranya disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki. Sementara itu pada tahun
2006, terjadi 295 kasus keracunan pangan akibat bakteri dan 9.8% diantaranya
juga disebabkan oleh enterotoksin stafilokoki (SE). Tidak hanya kasus tersebut,
di Amerika Serikat yang tergolong negara maju, foodborne disease diduga
bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325,000 kasus rawat inap dan
5,000 kasus kematian per tahunnya (Jaykus, 2003).
Kejadian Luar Biasa (KLB) lainnya yang pernah dilaporkan antara lain
di Osaka Jepang pada tahun 2000, yaitu produk susu skim bubuk dan susu
rekonstitusi ditemukan mengandung enterotoksin stafilokoki A (SEA). SEA yang
terkandung mencapai 80 ng. Selanjutnya di Amerika Serikat, pada produk susu
coklat cair mengandung 200 ng atau kurang SEA (Ikeda et al., 2005).
KLB akibat S. aureus di Indonesia sendiri pernah terjadi di beberapa daerah.
Di Tabanan Bali pada tahun 2004, 159 orang dilaporkan keracunan akibat
mengonsumsi

nasi

bungkus

dan

hasil

pengujian

laboratorium

BPOM

menunjukkan bahwa sisa nasi bungkus dan muntahan korban mengandung
mikroba patogen S. aureus. Bakteri patogen ini juga ditemukan pada jajanan jeli
yang mengakibatkan 20 orang murid di Gresik keracunan. Pada tahun yang sama
juga terjadi kasus keracunan di Bandar Lampung karena mengonsumsi campuran
nasi dan ikan tongkol. Sementara itu pada tahun 2007, terjadi keracunan makanan
pada 36 orang setelah mengonsumsi camilan di sebuah hotel di Padang. Hasil uji
klinis laboratorium menunjukkan sampel makanan positif mengandung S. aureus
(Gentina et al., 2008).
Keracunan pangan oleh S. aureus disebabkan oleh enterotoksin.
Enterotoksin stafilokoki merupakan kelompok protein globular rantai tunggal
yang bersifat antigenik dengan berat molekul rendah, yaitu 26,900-29,600 dalton.
SE ini diproduksi terutama oleh S. aureus, tetapi dapat diproduksi juga oleh
S. intermedius, S. hyicus, dan S. xylosus (Bhatia dan Zahoor, 2007). SE bersifat

3

larut air dan stabil terhadap panas (termostabil) serta kaya akan residu lisin, asam
aspartat, asam glutamat, dan tirosin (Le Loir et al., 2003). Terdapat

14 jenis SE

yang telah diidentifikasi, yaitu SEA SEB, SEC, SED, SEE, SEG, SEH, SEI, SEJ,
SEK, SEL, SEM, SEN, dan SEO. Namun hanya SEA, SEB, SEC, SED, dan SEE
yang hingga saat ini dapat dideteksi dengan peralatan komersial (Ikeda et al.,
2005). Hanya sedikit galur yang menghasilkan SEB, proporsinya 1:10 dengan
galur penghasil SEA (Bennett dan Amos, 1982). Selain SEA, enterotoksin
stafilokoki yang paling sering mengontaminasi produk pangan antara lain SEC
dan SED. Menurut Pelisser et al., (2009), pada produk keju dan daging ditemukan
10 galur S. aureus yang mengandung SEA dan 12 galur mengandung SED.
Sedangkan pada produk susu mentah dan pasteurisasi terdapat 16 galur S. aureus
yang mengandung SEA dan 8 galur yang mengandung SEC (Rall et al., 2008).
Menurut Maslankova et al., (2009), pada produk olahan susu berturut-turut
ditemukan S. aureus yang mengandung SEC 24.1%, SEB 13.9% dan SED 10.1%.
Berdasarkan perbandingan sekuen asam amino, SEA berada satu kelompok
dengan SED, sedangkan SEB berada satu kelompok dengan SEC1 (Argudin et al.,
2010).
Enterotoksin stafilokoki sangat stabil terhadap enzim proteolitik, seperti
pepsin dan tripsin, sehingga toksin ini tetap aktif di saluran pencernaan.
Enterotoksin ini juga tahan terhadap kimotripsin, renin, dan papain. Meskipun
demikian, SEB dan SEC1 dapat dipotong pada loop sistein oleh tripsin. SEB dapat
dihancurkan oleh pepsin pada pH 2, tetapi SEB menjadi resisten terhadap pepsin
pada pH yang lebih tinggi, dimana kondisi tersebut adalah kondisi normal
di dalam lambung setelah seseorang mengonsumsi makanan (Bhatia dan Zahoor,
2007).
Data mengenai keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen
penyandi SE yang dihasilkan sudah pernah dilaporkan. Salasi et al., (2009)
melakukan deteksi gen penyandi SE pada produk susu segar dan produk pangan
olahan asal hewan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction
(PCR). Berdasarkan penelitian tersebut, dari 20 isolat yang ada ditemukan
mengandung satu atau bahkan lebih gen penyandi SE, yaitu SEC (6 isolat); SEE
(1 isolat); SEH (1 isolat); SEB dan SEI, SEC dan SEG, SEG dan SEI (masing-

4

masing 1 isolat); SEC dan SEE (2 isolat); SEB dan SEC (4 isolat). Kombinasi
3 jenis gen penyandi SE ditemukan masing-masing sebanyak 1 isolat untuk SEB,
SEC dan SEI; SEC, SEE dan SEI serta SEC, SEG dan SEI. Data mengenai
keberadaan bakteri S. aureus di Indonesia berdasarkan gen penyandi SE yang
berasal dari produk-produk pangan tradisional siap santap ataupun produk-produk
olahan pangan lainnya belum pernah dilaporkan.
Laporan resmi tentang kasus keracunan stafilokoki di Indonesia masih
terbatas jumlahnya. Data yang tersedia umumnya hanya menyatakan lokasi
kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya.
Hal ini menyebabkan monitor dan evaluasi apabila terjadi suatu kejadian luar
biasa (KLB) berdasarkan asal-muasal keracunan (etiologi), sumber makanan dan
tempatnya pun belum terlaksana dengan baik. Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) melaporkan bahwa kasus keracunan pangan di Indonesia
paling banyak terjadi pada pangan olahan yang melibatkan industri jasa boga dan
industri jasa katering. Data mengenai prevalensi isolat lokal S. aureus dan
keracunan stafilokoki yang ditimbulkannya pada produk pangan tradisional santap
belum tersedia. Oleh karena itu perlu diketahui frekuensi keberadaan isolat lokal
S. aureus dalam produk pangan tradisional siap santap dan toksin yang
dihasilkannya guna dijadikan acuan dalam penetapan manajemen risiko baik
di tingkat produsen maupun konsumen.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
(1)

Mengidentifikasi isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA,
sehingga dapat diketahui persentase tingkat kemiripan antar isolat-isolat
tersebut.

(2)

Mendeteksi keberadaan gen penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) dan
enterotoksin stafilokoki C (SEC1) pada isolat-isolat lokal S. aureus.

5

Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat menambah
informasi (database) tentang S. aureus yang ada di Indonesia untuk melakukan
kajian risiko S. aureus isolat lokal yang ada di Indonesia.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Terdapat kemiripan
antar isolat-isolat lokal S. aureus berdasarkan gen 16S rRNA dan (2) Terdapat gen
penyandi enterotoksin stafilokoki A (SEA) serta enterotoksin stafilokoki C
(SEC1) pada isolat-isolat lokal tersebut.

6

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram positif dan jika diamati di
bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau
berkelompok seperti buah anggur seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Staphylococcus aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran
diameter 0.5-1.5 µm dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak
membentuk spora, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan
katalase positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua
macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.

Gambar 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x
(Todar, 2008)
S. aureus mampu memanfaatkan berbagai komponen organik sebagai nutrisi
untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen,
sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling dibutuhkan diantara vitamin B
lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan pada kondisi cenderung anaerob, maka
urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk kondisi aerob dan produksi
enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan sebagai sumber C, N dan
energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk produksi
enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan Bier, 2003; Jay, 2000).
S. aureus termasuk ke dalam kelompok bakteri mesofilik, namun terdapat
beberapa galur S. aureus yang mampu tumbuh pada suhu rendah 6-7oC. Pada
umumnya, S. aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-48.5oC dengan suhu optimum

7

pertumbuhan 30-37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4.5 hingga 9.3, dengan pH
optimum 7.0-7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (aw),
stafilokoki mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan
bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan stafilokoki tetap terjadi pada aw 0.83
yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri.
Kebanyakan galur-galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap
konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada
konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap
komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan
sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus
(Le Loir et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus
Pertumbuhan
Faktor Pengaruh
Optimum

Kisaran

37°C

4 –48°C

pH

6.0-7.0

4.0-9.8

aw

0.98≥0.99

0.83≥0.99

Atmosfer

Aerobik

Anaerobik hingga aerobik

Natrium Klorida

0.5-0.4%

0-20%

Suhu

Adam dan Moss (1995)
S. aureus mampu memproduksi sejumlah besar enzim-enzim ekstraseluler,
toksin dan komponen kimia lainnya. Beberapa metabolit ekstraseluler ini sangat
bermanfaat untuk identifikasi S. aureus dan membedakannya dari spesies
stafilokoki lainnya. Karakteristik S. aureus dan beberapa spesies stafilokoki
lainnya ditampilkan pada Tabel 2. Dua metabolit yang umum dimanfaatkan untuk
identifikasi S. aureus adalah aktivitas koagulase (enzim yang mengkoagulasi
plasma) dan termonuklease (TNase), enzim fosfodiesterase tahan panas yang

8

dapat

memecah

DNA

maupun

RNA

untuk

menghasilkan

produk

fosfomononukleotida.

Tabel 2 Karakteristik spesies stafilokoki
Sifat
S. aureus
S. intermedius
S. hyicus
a
Pigmen
+


Koagulase
+
+
±
Dnase
+
+
±
Hemolisis
+
+

Mannitol (an)
+


Acetoin
+


Gumpalan
+
+
+
Hyaluronidase
+

±
Lysostaphyn
ST
ST
ST
a
>90%.
an:kondisi anaerobik; ST: sensitivitas tinggi; SR: sensitivitas rendah

S. epidermidis



±

+


SR

Bennet dan Monday (2003)
Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan oleh
S. aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas.
Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama
foodborne disease (FBD) karena S. aureus dapat mengkontaminasi produk
makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di
dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas
termasuk manusia, Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah “carrier”
S. aureus (Le Loir et al., 2003).
Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik
dengan mikroflora normal kebanyakan pada makanan. Telah banyak penelitian
yang menunjukkan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan
segar dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus,
mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan
pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi
dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus.
Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,

9

Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, kelompok Enterobactericeae,
Lactobacillaceae, kelompok Enterococci dan Streptococcus (Jay, 1996).
Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis faktor virulensi yang
mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein
permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung
penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin,
kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh
leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam
hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Todar, 2008).
Pada tubuh manusia terdapat faktor virulensi S. aureus yang mampu
menghambat fagositosis, yaitu protein A dan kapsul. Protein A adalah protein
permukaan yang mengikat molekul IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa
biokimia yang menjadi pertahanannya terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan
katalase (Todar, 2008).

Kontaminasi S. aureus dalam Pangan
Stafilokoki dapat ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau
peralatan makan, permukaan lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan
hewan adalah reservoir utama. Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50%
di saluran pernapasan, tenggorokan dan di permukaan rambut dan kulit seseorang
yang sehat sekalipun.
Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi
pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al.,
2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus
umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang
melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada
bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan
risiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000).
Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat
Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami
kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau
dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang

10

tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor
lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri
patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri
psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada
penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri
asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat
pertumbuhan

S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin

(Ash, 2000).
US FDA (1999) menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat
dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang
panas (60°C atau 140°F) atau kurang dingin (7.2°C atau 45°F), dan adanya
kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Penjelasan mengenai
konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan
tidak dilakukan dengan tepat dapat dilihat pada Tabel 3.
Jalur masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan
kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar,
gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu,
pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih
disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah
S. aureus (Schaechter et al., 1993).
Apabila S. aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung
nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah
dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi
yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar
protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk
olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam,
kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (US
FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin,
threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin
pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan
S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).

11

Tabel 3 Sumber, faktor resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam
rantai pangan
Sumber

Resiko

Lingkungan Luas
Hewan
Manusia
Udara,
air,
dan
tumbuhan
Lingkungan
Pengolahan
Makanan
Bahan Baku
Karkas
hewan
Produk
olahan hewan
Bumbu
Proses
Pengolahan

Penyajian

Lingkungan
Makanan

Permukaan
kontak
dengan
makanan
Udara, air
Pengolah
makanan
Produk
Pangan

Konsekuensi
jika
resiko tidak terkontrol

Lemahnya
sanitasi Meningkatnya
infeksi
peternakan dan higiene S. aureus pada manusia
perorangan
dan hewan

S. aureus dalam jumlah S.
aureus
bertahan
yang tinggi
selama
proses
pengolahan dan terjadi
kontaminasi silang dari
bahan baku pangan
terhadap
makanan
olahan
Proses Pengolahan tidak S.
aureus
bertahan
mencukupi, pembersihan selama
proses
dan desinfeksi
tidak pengolahan dan terjadi
memadai, sumber air kontaminasi
postburuk dan lemahnya process terhadap produk
sanitasi dan higiene pangan
perorangan
Ketidaktepatan
suhu S.
aureus
penyimpanan,
faktor berkembangbiak
dan
pertumbuhan intrinsik memproduksi
tidak dikendalikan
staphylococcal
enterotoxins (SE)

Penyajian

Hewan
Manusia
Permukaan
kontak
dengan
makanan
Udara dan air
Robinson et al. (2000)

Kontaminasi
dari
enterotoksigenik
S.
aureus
terhadap
makanan yang telah
diolah. Ketidak tepatan
suhu
lingkungan
penyajian makanan

S.
aureus
berkembangbiak
dan
memproduksi
enterotoksin stafilokoki
(SE)

Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula
yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan
dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi

12

(hingga 20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya
S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu
20°C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung
tangan disposable dalam proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau
pendinginan pada makanan hingga