Analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011

i

ANALISIS KERAWANAN PANGAN MENURUT KECAMATAN
DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2011

SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
3
2013
201

ii

ABSTRACT
SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN. Food vulnerability analysis
by municipality in Bogor regency in 2011. Under the guidance of YAYUK
FARIDA BALIWATI and YAYAT HERYATNO.

This study was aimed to analyze food vulnerability problem in Bogor
regency based on municipality. This study designed using retrospective by
secondary data of three aspects of food security and vulnerability atlas (FSVA)
such as aspect of food avaibility, aspect of food access, and aspect of food utility
include policy of food vulnerability from Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (BAPPEDA) of Bogor regency. The data processing began by calculating
the three aspects of food vulnerability by WFP (World Food Programme) and
DKP (Dewan Ketahanan Pangan) in 2009. The three aspects consits of nine
indicators namely food production, poor household, households without access to
electricity, length of damaged road, life expectancy, nutritional status, illiteracy,
access of clean water and health workforce. Policy of food vulnerability was
analyzed using content analysis. Bogor regency consisting of 40 municipalities
and the result showed that mostly municipalities (85%) in Bogor were in secure
food situation but there are six municipalities (15%) were in food vulnerability
situation (composite score more than 0,8). The food vulnerability policy are
support the Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014 but some
institutions don’t have complete programs related to the issue of food vulnerability.
words: FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas), Bogor regency, policy
Key words


i

RINGKASAN
SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN. Analisis Kerawanan Pangan
Menurut Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Dibawah bimbingan
YAYUK FARIDA BALIWATI dan YAYAT HERYATNO.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia agar dapat hidup dan
beraktivitas. Kondisi terpenuhinya kebutuhan akan pangan dikenal dengan istilah
ketahanan pangan. Rawan pangan merupakan suatu resiko yang timbul akibat
kerentanan terhadap kerawanan pangan yang ditandai dengan indikator
ketersediaan pangan, angka kemiskinan, akses jalan, akses listrik, angka
harapan hidup, akses listrik, balita underweight, akses kesehatan, dan penduduk
buta huruf
yang dikembangkan oleh DKP (Dewan Ketahanan Pangan)
bekerjasama dengan WFP (World Food Programe) tahun 2009. Saat ini belum
terdapat informasi yang jelas mengenai tingkat kerawanan pangan di Kabupaten
Bogor dalam rangka antisipasi kejadian rawan pangan. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor menurut
kecamatan. Tujuan khususnya adalah menganalisis situasi kerawanan pangan di
Kabupaten Bogor menurut kecamatan, menganalisis kebijakan mengenai

penanggulangan masalah kerawanan pangan di Kabupaten Bogor, serta
merumuskan rekomendasi pencegahan atau penanggulangan kerawanan
pangan di Kabupaten Bogor.
Penelitian ini merupakan bagian dari Penyusunan Kaji Tindak
Pengembangan Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor Tahun 2011. Penelitian
ini menggunakan desain studi retrospektif yang dilaksanakan mulai dari bulan
Oktober 2012 hingga Januari 2013. Jenis data yang dikumpulkan adalah data
sekunder meliputi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Kabupaten Bogor, Renstra dinas di Kabupaten Bogor yaitu Dinas Pertanian dan
Kehutanan, Dinas Kesehatan serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,,
indikator kerawanan pangan kronis yaitu produksi pangan sumber karbohidrat,
jumlah rumah tangga miskin, jumlah RT tanpa akses listrik, panjang jalan rusak,
angka harapan hidup, jumlah balita underweight, jumlah penduduk buta huruf,
jumlah RT tanpa akses air bersih, jumlah tenaga kesehatan serta rekapitulasi
bencana alam yang terjadi dan luas daerah kekeringan. Data tersebut diperoleh
dari Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Dinas Bina Marga dan
Pengairan Kabupaten Bogor, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Badan Pusat
Statisik Kabupaten Bogor dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Bogor. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis antara
lain sembilan indikator kerawanan pangan dan diolah menggunakan metode

FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) yang dicetuskan oleh DKP (Dewan
Ketahanan Pangan) bekerjasama dengan WFP (World Food Programme) tahun
2009. Kesembilan indikator tersebut kemudian diranking sehingga diperoleh
enam kategori kerawanan pangan. Kategori kerawanan pangan diterjemahkan
dalam bentuk prioritas yaitu prioritas 1 hingga prioritas 6. Prioritas 1 hingga
prioritas 3 menunjukkan daerah yang rawan pangan, sedangkan prioritas 4
hingga 6 menunjukkan daerah yang tahan pangan. Analisis kebijakan terkait
penanganan masalah kerawanan pangan menggunakan pendekatan content
analysis.
Pangan sumber karbohidrat yang digunakan sebagai dasar perhitungan
aspek ketersediaan adalah gabah, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan talas.
Berdasarkan aspek ketersediaan pangan, terdapat 21 kecamatan di Kabupaten
Bogor tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Berdasarkan

ii

persentase rumah tangga miskin, Kecamatan Sukajaya dan Sukamakmur
termasuk dalam kategori rawan pangan (prioritas 2). Indikator panjang jalan pada
aspek akses pangan menggunakan data panjang jalan yang rusak ringan dan
rusak berat. Kriteria yang digunakan adalah apabila persentase jalan rusak lebih

dari 30% maka kecamatan tersebut tidak mempunyai akses dan infrastruktur
yang mendukung pertumbuhan perekonomian dan pelayanan jasa yang
memadai. Berdasarkan indikator tersebut, terdapat 11 kecamatan yaitu
Kecamatan Nanggung, Leuwiliang, Sukamakmur, Klapanunggal, Ciseeng,
Rumpin, Cigudeg, Sukajaya, Jasinga, Tenjo dan Parung Panjang yang tergolong
dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Berdasarkan indikator akses rumah
tangga terhadap listrik, terdapat 1 kecamatan yaitu Kecamatan Klapanunggal
yang tergolong dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Rata-rata angka
harapan hidup di Kabupaten Bogor memiliki nilai diatas 65. Angka harapan hidup
tertinggi pada tahun 2011 terdapat di Kecamatan Cariu (71,78) dan terendah
terdapat di Kecamatan Tenjolaya (67,95). Apabila dibandingkan dengan rata-rata
angka harapan hidup nasional (63 tahun), maka AHH di setiap kecamatan di
kabupaten Bogor sudah diatas angka rata-rata nasional. Berdasarkan indikator
penduduk buta huruf diperoleh hasil bahwa seluruh kecamatan yang terdapat di
Kabupaten Bogor bebas dari buta huruf. Persentase penduduk buta huruf di
Kabupaten Boogr tergolong rendah dan tergolong dalam prioritas 6. Berdasarkan
indikator rumah tangga tanpa akses air bersih, masih terdapat 6 kecamatan yaitu
Kecamatan Cisarua, Kemang, Ciampea, Cibinong, Nanggung dan Rancabungur
yang termasuk dalam kategori rawan pangan (prioritas 1). Hasil dari indikator
balita underweight menunjukkan bahwa tidak terdapat kecamatan yang tergolong

dalam prioritas 1 dan 2, sebanyak 60% balita di Kabupaten Bogor memiliki berat
badan yang normal. Menurut rasio penduduk per tenaga kesehatan, masih
terdapat 5 kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Sindur, Tajurhalang, Sukaraja,
Citeureup dan Kemang dalam kategori agak rawan pangan (prioritas 3). Situasi
kerawanan pangan diperoleh dengan membuat suatu indeks komposit yang
merupakan gabungan dari sembilan indikator kerawanan pangan kronis yang
telah dihitung sebelumnya. Berdasarkan skor komposit kerawanan pangan
diperoleh hasil bahwa terdapat 6 kecamatan yang tergolong dalam kategori
rawan pangan (prioritas 2-3) yaitu kecamatan Klapanunggal, Sukamakmur,
Nanggung, Rumpin, Gunung Putri dan Tanjungsari. Sedangkan 34 kecamatan
tergolong dalam kategori tahan pangan (prioritas 3-6) yaitu kecamatan Tenjo,
Parung Panjang, Jasinga, Cigudeg, Sukajaya, Leuwiliang, Leuwisadeng,
Cibungbulang, Pamijahan, Ciampea, Tenjolaya, Gn.Sindur, Parung, Ciseeng,
Bojong Gede, Tajurhalang, Kemang, Rancabungur, Dramaga, Ciomas,
Tamansari, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi, Megamendung, Cisarua,
Sukaraja, Citeureup, Babakan Madang, Cibinong, Cileungsi, Jonggol dan Cariu.
Fokus utama pembangunan Kabupaten Bogor adalah pada bidang sosial
dan kehidupan beragama. Penjabaran misi Kabupaten Bogor dalam RPJMD
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) terkandung tujuan dan
strategi yang terkait dengan penanganan masalah kerawanan pangan. Tujuan,

sasaran dan strategi yang tertuang dalam RPJMD Kabupaten Bogor sudah
mencakup semua indikator yang terdapat dalam KUKP (Kebijakan Umum
Ketahanan Pangan) 2010-2014. Beberapa tujuan dan sasaran yang terkandung
dalam RPJMD Kabupaten Bogor yang termasuk dalam kategori penanganan
masalah kerawanan pangan adalah meningatkan produksi dan konsumsi pangan
daerah, meningkatkan aksesibilitas wilayah pedesaan, meningkatkan
kesejahteraan fakir miskin, meningkatkan infrastruktur wilayah yang mampu
mendukung aktivitas ekonomi, meningkatkan taraf pendidikan masyarakat,
meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat, meningkatkan cakupan

iii

pelayanan listrik pedesaan dan penerapan energi alternatif lainnya. Program
yang terdapat dalam RPJMD kemudian dituangkan dalam bentuk Renstra
(rencana strategis) pada setiap SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang
terdapat di Kabupaten Bogor. Dinas Pertanian dan Kehutanan hanya
mencantumkan 3 program dari 4 program yang terdapat dalam KUKP tentang
penanganan kerawanan pangan. Program yang terdapat dalam Renstra Dinas
Pertanian dan Kehutanan antara lain pemantauan perkembangan pola pangan,
pemanfaatan lahan pekarangan dan pemanfaatan cadangan pangan. Dinas

Kesehatan hanya mencantumkan 2 program penanganan kerawanan pangan
yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan rawan pangan dan pemantauan
perkembangan pola pangan. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil hanya
mencantumkan 1 program yaitu pengembangan sistem isyarat dini keadaan
rawan pangan dan gizi.
Rekomendasi program terkait pencegahan dan penanggulangan masalah
pangan yang diberikan kepada pemerintah Kabupaen Bogor didasarkan pada
hasil analisis kerawanan pangan di setiap kecamatan. Rekomendasi yang
diberikan yaitu peningkatan pelayanan dan kebutuhan air bersih yang cukup,
peningkatan dan pengelolaan produksi hasil pertanian tanaman pangan serta
penyuluhan mengenai pentingnya gizi untuk balita.

iv

ANALISIS KERAWANAN PANGAN MENURUT KECAMATAN
DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2011

SARTIKA FITRIANA THEODORA PANGGABEAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
Dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
3
2013
201

vi

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal
penelitian yang berjudul “Analisis Kerawanan Pangan di Kabupaten Bogor”.
Penyusunan proposal penelitian ini merupakan syarat bagi penulis untuk dapat

melakukan penelitian guna memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi,
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Banyak pihak yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Ibu Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS
selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa sabar membimbing dan
mengarahkan penulis dalam penyusunan proposal penelitian.
2. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc sebagai dosen pemandu seminar dan
penguji sidang skripsi yang banyak memberikan masukan dalam penelitian
dan penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr.Ir. Lilik Kustiyah, Msi selaku dosen pembimbing akademik yang selalu
memberikan motivasi untuk belajar dan mengerjakan segala hal.
4. Orang tua yang telah membesarkan dan mendidik dengan ketulusan,
kesabaran serta dukungan dan doa yang tiada henti diberikan untuk penulis.
5. Dewi Panggabean S.Pi, Robby Panggabean SP, Dame Panggabean dan
Ruben Panggabean sebagai saudara yang selalu mendoakan penulis.
6. Dwi Nuraini, Dwiyani, Dian Dwi, Rista, Stacey, Andra, Vilia, Wilda, Yudhi,
Aryo, Rahmat, Anggrisya, Sondang, Amrina, Babe Ferry Irawan dan Efri
selaku sahabat-sahabat terbaik yang selalu mendukung penulis.

7. Suci, Asep, Nur Indah Fitri dan Yulimiaris selaku mahasiswa satu bimbingan
skripsi yang menemani dan membantu proses penyusunan.
8. Teman-teman pembahas dalam seminar (Arizki, Mbak Yulis dan Faqih) yang
telah memberikan saran dan kritikan untuk perbaikan skripsi ini.
9. Teman-teman kost Bangka 15 (Egie dan Doddy) yang telah memberikan doa,
semangat, dan dukungan kepada penulis.
10. Temen-teman seperjuangan di MIJMG 44 dan alih jenis Gizi Masyarakat (GM)
angkatan ke-4 atas semangat dan dukungannya.
11. Seluruh teman dan pihak yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu
atas bantuan dan doa yang diberikan pada penulis.

vii

Penulis

menyadari

bahwa

penyusunan

skripsi

ini

masih

jauh

dari

kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya penulis pribadi dan semua pihak pada umumnya.

Bogor,

Maret 2013

Sartika F.T Panggabean

viii

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Agustus 1989 di Sidikalang,
Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Penulis merupakan anak kedua dari
pasangan Bapak Parmian Panggabean dan Ibu Nurmala Sianipar. Penulis
menyelesaikan pendidikan TK di TK Polisi Bhayangkara Sidikalang pada tahun
1995. Selanjutnya tahun 2001, penulis menyelesaikan pendidikan di SD St.Yosef
Sidikalang dan pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP
Negeri 1 Sidikalang. Pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA
Negeri 1 Sidikalang. Saat duduk dibangku SMA, penulis aktif dalam keanggotaan
OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah), menjabat sebagai sekretaris PASKIBRA
(Pasukan Pengibar Bendera) dan kegiatan PMR (Palang Merah Remaja).
Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor program
Diploma Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi melalui
jalur USMI pada tahun 2007. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikan
ke jenjang alih jenis Ilmu gizi Institut Pertanian Bogor. Selama perkuliahan,
penulis termasuk anggota PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) dan pernah
bergabung dalam tim asistensi mata kuliah Agama Kristen serta tim asistensi
mata kuliah Dekorasi Hidangan dan Teknik Pelayanan Makanan pada Program
Diploma. Selain itu, penulis termasuk dalam kepanitiaan FIT FESTIVAL (Food

and Nutrition Fresh, Fit Active and Health).

ix

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.....................................................................................................................viii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xii
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
Latar Belakang...........................................................................................................1
Tujuan......................................................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian.................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................4
Definisi dan Ruang Lingkup Pangan......................................................................4
Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan....................................................... 5
Definisi dan Ruang Lingkup............................................................................... 5
Indikator Kerawanan Pangan.............................................................................6
Kebijakan..................................................................................................................11
Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan...........................................................11
Kebijakan Ketahanan Pangan......................................................................... 11
KERANGKA PEMIKIRAN..............................................................................................13
METODE PENELITIAN................................................................................................. 15
Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................. 15
Jenis dan Cara Pengambilan Data...................................................................... 15
Pengolahan dan Analisis Data..............................................................................16
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis........................................16
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien....................................20
Analisis dan Pemetaan Situasi Kerawanan Pangan....................................22
Analisis Kebijakan Penanganan Kerawanan Pangan..................................23
Definisi Operasional................................................................................................23
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................................24
Gambaran Umum Kabupaten Bogor................................................................... 24
Keadaan Geografis dan Administratif.............................................................24
Penduduk............................................................................................................ 25
Kondisi Perekonomian...................................................................................... 26
Situasi Kerawanan Pangan................................................................................... 28
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Kronis........................................28
Situasi Kerawanan Pangan Komposit............................................................ 28
Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien....................................53
Kebijakan terkait Kerawanan Pangan..................................................................56
Rekomendasi Program Pencegahan dan Penanggulangan Kerawanan
Pangan..................................................................................................................... 60
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................................................62
Kesimpulan.............................................................................................................. 62
Saran.........................................................................................................................62
LAMPIRAN...................................................................................................................... 66

vii

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA............. 7
2 Jenis dan cara pengambilan data........................................................................... 15
3 Faktor konversi penggunaan komoditas pangan untuk benih, pakan,
ternak dan tercecer................................................................................................... 16
4 Range indikator kerawanan pangan kronis dan sementara............................... 21
5 Score kriteria gradasi warna prioritas.....................................................................22
6 Rasio ketersediaan pangan dan kategori prioritas kecamatan di
Kabupaten Bogor berdasarkan indikator ketersediaan pangan......................... 29
7 Luas lahan sawah per kecamatan di Kabupaten Bogor tahun 2011.................30
8 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas ketersediaan pangan
pokok........................................................................................................................... 32
9 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator kemiskinan
di Kabupaten Bogor...................................................................................................33
10 Persentase kecamatan berdasarkan indikator kemiskinan di Kabupaten
Bogor........................................................................................................................... 34
11 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator akses
penghubung yang kurang memadai di Kabupaten Bogor...................................35
12 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses
penghubung yang kurang memadai....................................................................... 37
13 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator persentase
rumah tangga tanpa akses listrik di Kabupaten Bogor........................................ 37
14 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator persentase
rumah tangga tanpa akses listrik............................................................................ 39
15 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka
harapan hidup di Kabupaten Bogor........................................................................40
16 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator angka harapan
hidup ...........................................................................................................................41
17 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator angka
penduduk buta huruf di Kabupaten Bogor.............................................................42
18 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator rumah
tangga tanpa akses air bersih di Kabupaten Bogor............................................. 43
19 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator rumah tangga
tanpa akses air bersih...............................................................................................45
20 Kecamatan dan golongan proritasnya berdasarkan indikator akses
terhadap fasilitas kesehatan di Kabupaten Bogor................................................45
21 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator akses terhadap
fasilitas kesehatan..................................................................................................... 47
22 Kecamatan dan golongan prioritasnya berdasarkan indikator balita
underweight di Kabupaten Bogor............................................................................47

viii

23 Kriteria masalah kesehatan masyarakat menurut prevalensi masalah
gizi................................................................................................................................49
24 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator balita
underweight................................................................................................................ 49
25 Situasi kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Bogor............ 50
26 Persentase kecamatan berdasarkan prioritas indikator komposit
kerawanan pangan....................................................................................................51
27Jumlah kecamatan pada setiap prioritas beserta indikator kerawanan
pangan........................................................................................................................ 53
28 Bencana alam yang terjadi di Kabupaten Bogor tahun 2011.............................54
29 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor tahun 2011......................56
30 Perbandingan antara program KUKP dan RPJMD mengenai masalah
kerawanan pangan....................................................................................................58
31 Analisis konsistensi renstra terkait kerawanan pangan...................................... 59

vii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka analisis kerawanan pangan menurut kecamatan di kabupaten
Bogor tahun 2011……………..........................................................................14

1

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
ketersediaan pangan................................................................................................ 67
2 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase RT miskin...............................................................................................68
3 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase RT tanpa akses listrik.......................................................................... 69
4 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase jalan rusak............................................................................................. 70
5 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase angka harapan hidup........................................................................... 71
6 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase balita undeweight..................................................................................72
7 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase penduduk buta huruf............................................................................ 73
8 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase RT tanpa akses air bersih................................................................... 74
9 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan berdasarkan indikator
persentase jumlah tenaga kesehatan.................................................................... 75
10 Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan Kabupaten Bogor....................76
11 Persentase daerah kekeringan di Kabupaten Bogor.......................................... 77
12 Prioritas permasalahan kerawanan pangan pada tiap kecamatan di
Kabupaten Bogor...................................................................................................... 78

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan manusia sehingga ketersediaan pangan
bagi masyarakat harus selalu terjamin. Hak asasi atas pangan tersebut telah
menjadi komitmen pemerintah, yang dinyatakan dalam UU No 7 Tahun 1996.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan telah menjadi prasyarat dasar
yang harus dimiliki oleh daerah otonom. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No 38 tahun 2007 yang menyatakan bahwa ketahanan pangan
adalah urusan wajib pemerintah (pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota).
Masalah pangan dan gizi merupakan masalah ekologi (Gibson 2005).
Masalah pangan yang semakin kompleks lambat laun dapat menciptakan
masalah kerawanan pangan. Kerawanan pangan diartikan sebagai kondisi suatu
daerah, masyarakat, atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan
keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis
bagi pertumbuhan dan kesehatan. Kerawanan pangan dapat terjadi secara
berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat
keadaan darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien).
Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas 35.377,76 km2 didiami penduduk
sebanyak 46.497.175 juta jiwa. Penduduk ini tersebar di 26 kabupaten/kota, 625
kecamatan dan 5.899 desa/kelurahan. Jumlah penduduk terbesar terdapat di
Kabupaten Bogor sebanyak 4.966.624 Jiwa (11,03 %), sedangkan penduduk
terkecil terdapat di Kota Banjar yaitu sebanyak 192.903 Jiwa (0,43 %) (BPS Jawa
Barat 2011). Menurut hasil pendataan BPS (2011), Kabupaten Bogor terdiri dari
40 kecamatan, 434 desa/kelurahan, 13.541 RW dan 913.206 RT. Laju
pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor cukup tinggi. Berdasarkan data
kependudukan Kabupaten Bogor, jumlah penduduk di Kabupaten Bogor tahun
2011 sebanyak 4.966.624 jiwa dengan jumlah penduduk miskin sebanyak
196.067 RT (BPS 2011). Penduduk miskin memiliki resiko tinggi dan rentan
terhadap kerawanan pangan. Setiap tahunnya, rata-rata pertumbuhan penduduk
Kabupaten Bogor mencapai 3,19 % per tahun dalam kurun waktu 2006-2011.
Saat ini kepadatan penduduk Kabupaten Bogor tergolong cukup tinggi, tetapi
dibeberapa area masih jarang sehingga masih belum seimbang masalah
pemerataan penduduk di Kabupaten Bogor. Bertambahnya jumlah penduduk

2

tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan. Berdasarkan hasil
pemantauan status gizi (2010), kasus gizi buruk di Kabupaten Bogor masih tinggi
dengan jumlah 252 kasus.

Diantara 252 kasus tersebut tercatat 9 balita

meninggal dunia akibat gizi buruk. Penyebab dominan kasus tersebut adalah
masalah ekonomi dan minimnya pengetahuan mengenai gizi. Penyebab lainnya
adalah masalah pemahaman hidup sehat, layak dan bersih yang masih kurang
ditengah masyarakat.
Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas ± 298.838,304 Ha dengan lahan
sawah seluas 1.006 Ha dan 309.624 Ha lahan perkebunan. Lahan yang
digunakan sebagai lahan pertanian di Kabupaten Bogor sangat minim seiring
dengan

meningkatnya

perkembangan

luas

lahan

pemukiman

penduduk

khususnya di daerah timur Kabupaten Bogor. Sedangkan untuk lahan berupa situ
dan kolam, memiliki luas sekitar 11.470 Ha. Kabupaten Bogor memiliki potensi
besar pada sektor pertanian dengan komoditi pertanian yang dihasilkan antara
lain lain gabah sawah, gabah gogo, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar,
wortel, bawang daun, ketimun, kacang panjang, dan cabe. Akan tetapi pada
kenyataannya, Kabupaten Bogor masih memiliki ketergantungan terhadap
pasokan dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini didasarkan
karena hasil produksi pertanian lokal saja tidak bisa diandalkan dalam memenuhi
kebutuhan pangan penduduk Kabupaten Bogor. Tidak terpenuhinya kebutuhan
pangan akibat rawannnya kemampuan penduduk untuk mendapatkan akses
pangan merupakan indikator input yang dapat mempengaruhi terjadinya masalah
seperti kondisi buruknya status kesehatan dan gizi yang akan menurunkan
kualitas sumber daya manusia.
Berbagai program telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bogor
dalam mengatasi masalah pangan dan gizi. Salah satu program yang telah
dilakukan di bidang kesehatan adalah menyiapkan kader kesehatan disetiap
desa untuk memantau perkembangan setiap balita yang ada, termasuk masalah
kesehatan dan gizi yang dibutuhkan. Namun jumlah balita yang mengalami gizi
kurang masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa program yang menangani
masalah kerawanan pangan harus ditingkatkan. Berdasarkan hal tersebut maka
penentuan kondisi kerawanan pangan di Kabupaten Bogor merupakan data
penting untuk digunakan sebagai bahan analisa untuk mencegah terjadinya
bahaya kekurangan pangan dan gizi melalui pemahaman daerah rawan pangan.

3

Tujuan
Tujuan

umum

dari

penelitian

ini

adalah

menganalisis masalah

kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten Bogor. Sedangkan tujuan
khususnya yaitu:
1. Menganalisis situasi kerawanan pangan menurut kecamatan di Kabupaten
Bogor.
2. Menganalisis kebijakan mengenai penanggulangan masalah kerawanan
pangan di Kabupaten Bogor.
3. Merumuskan rekomendasi pencegahan atau penanggulangan kerawanan
pangan di Kabupaten Bogor.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai tingkat kerawanan pangan di Kabupaten Bogor, provinsi
Jawa Barat. Bagi bidang keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan mampu
memberikan pengetahuan mengenai kerawanan pangan juga diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan rekomendasi kepada pemerintah Kabupaten Bogor
dan semua pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
penanganan masalah pangan dan gizi di masa mendatang.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Ruang Lingkup Pangan
Menurut Undang-undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang pangan, definisi
pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan
baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Definisi tersebut
dipertegas dalam UU Pangan yang baru yaitu UU no 18 tahun 2012, pada pasal
1 Bab I, bahwa pangan merupakan segala sesuatu yang bersumber dari sumber
hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan,
perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau
minuman.
Berdasarkan konsep pola pangan harapan (PPH) yang dirumuskan oleh
FAO-RAPA (1989) dikenal sembilan kelompok pangan yaitu gabah-gabahan,
umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacangkacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Kesembilan kelompok pangan ini
menjadi dasar pertimbangan dan penentuan dalam perhitungan nilai PPH. PPH
atau desirable dietary pattern didefinisikan sebagai susunan beragam pangan
yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik
secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan atau konsumsi
pangan (Hardinsyah et al 2001). Melalui pendekatan PPH, mutu konsumsi dan
ketersediaan pangan penduduk dapat dilihat dari skor pangan (dietary score)
atau dikenal dengan skor PPH. Skor PPH adalah suatu penilaian konsumsi
pangan dalam jumlah, mutu, keragaman, dan keseimbangannya antar kelompok
pangan. Semakin tinggi skor PPH, maka konsumsi pangan semakin beragam
dan seimbang (Baliwati 2011).
Pangan strategis adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati,
baik yang diolah maupun yang tidak diolah antara lain beras, tepung terigu,
jagung, ubikayu/singkong, gula, kedelai dan daging sapi (Putri 2011). Menurut
Simatupang (2004), pangan strategis merupakan jumlah komoditas strategis
(special products) yang sangat penting bagi hajat hidup orang banyak, baik dari

5

aspek

lapangan

pekerjaan,

jaminan

perolehan

pangan

yang

cukup,

perlindungan dan dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan serta
preservasi dan stabilisasi sosial politik.
Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan
Definisi dan Ruang Lingkup
Hasil pertemuan World Food Summit pada tahun 1996 mendefinisikan
ketahanan pangan sebagai situasi “when all people, at all time, have physical

and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary
needs and food preferences for an active and healthy life.” Ketahanan pangan
adalah suatu kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi suatu daerah atau rumah
tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau (Kementan 2010). Konsep dasar
ketahanan pangan dimaknai sebagai situasi dimana terdapat ketersediaan
pangan yang cukup dan dengan harga yang stabil sepanjang waktu.
Ketersediaan pangan yang cukup diartikan sebagai situasi dimana jumlah bahan
pangan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk tersedia cukup baik dari sisi
kuantitas maupun dari sisi kualitas. Tujuan pembangunan ketahanan pangan
adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman,
bermutu, dan bergizi seimbang pada tingkat rumah tangga, daerah, nasional
sepanjang waktu dan merata melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal,
teknologi inovatif dan peluang pasar, serta memperkuat ekonomi pedesaan dan
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Rawan pangan adalah suatu kondisi suatu daerah, masyarakat, atau
rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup
untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan
sebagian besar masyarakatnya (Badan Ketahanan Pangan 2006). Suatu daerah
dikatakan rawan pangan dapat diukur dengan banyaknya jumla rumah tangga
prasejahtera yang relatif masih banyak karena alasan ekonomi, status gizi
masyarakatnya yang ditunjukkan oleh status gizi balitanya, ketersediaan pangan
daerah dan kerentanan pangan (Subagyo 2012).
Dewan Ketahanan Pangan mendefinisikan kerawanan pangan sebagai
suatu kondisi ketidakmampuan untuk memperoleh pangan yang cukup dan
sesuai untuk hidup sehat dan aktif, baik secara sementara maupun lama.
Menurut Nainggolan (2006), kerawanan pangan dapat terjadi secara berulang-

6

ulang pada waktu-waktu tertentu (kronis), dan dapat pula terjadi akibat keadaan
darurat seperti bencana alam maupun bencana sosial (transien). Sedangkan
Amin dkk (1998) mendefinisikan rawan pangan adalah suatu kondisi yang
mengandung unsur berhubungan dengan state of poverty seperti masalah
kelangkaan sumberdaya alam, kekurangan modal, miskin motivasi dan sifat
malas yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mencukupi konsumsi pangan.
Kondisi rawan pangan dapat disebabkan karena : (a) tidak adanya akses
secara ekonomi bagi individu/rumah tangga untuk memperoleh pangan yang
cukup, (b) tidak adanya akses secara fisik bagi individu/rumah tangga untuk
memperolah pangan yang cukup, (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan
yang produktif bagi individu/rumah tangga dan, (d) tidak terpenuhinya pangan
secara cukup dalam jumlah mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga.
Kerawanan pangan terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80%
dari kebutuhan oangan dan gizi hariannya. Pada dasarnya kerawanan pangan
dan kelaparan disebabkan masalah kekurangan pangan antara lain akibat: (1)
rendahnya ketersediaan pangan, (2) gangguan distribusi karena kerusakan
sarana dan prasarana serta keamanan distribusi, (3) terjadinya bencana alam
menyebabkan suatu wilayah terisolasi, (4) kegagalan produksi pangan, serta (5)
gangguan kondisi sosial (DKP 2005).
Tingkat kerawanan pangan dipengaruhi oleh (1) kemampuan penyediaan
pangan kepada individu atau rumah tangga, (2) kemampuan individu atau rumah
tangga untuk mendapatkan pangan, (3) proses distribusi dan pertukaran pangan
yang tersedia dengan sumberdaya yang dimiliki individu atau rumah tangga
(Amin dkk 1998). Ketiga hal tersebut pada kondisi rawan pangan yang akut atau
kronis dapat muncul secara simultan dan relatif permanen. Sedangkan pada
kondisi rawan pangan yang bersifat sementara, faktor yang berpengaruh
kemungkinan hanya salah satu faktor atau dua faktor saja dan sifatnya tidak
permanen.
Indikator Kerawanan Pangan
Menurut

Dewan

Ketahanan

Pangan

(2009),

kerawanan

pangan

merupakan isu multi dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai
parameter tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak
ada cara spesifik untuk mengukur ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan
pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada tiga dimensi yang

7

berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh
rumah tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu.
Indikator yang digunakan dalam FSVA (Food Security and Vulnerability

Atlas) berdasarkan DKP 2009 berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan
berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Selain itu,
pemilihan indikator juga tergantung pada ketersediaan data pada tingkat
kabupaten atau kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan berdasarkan FSVA
No
Indikator
Ketersediaan Pangan
1
Ratio konsumsi normatif per
kapita terhadap ketersediaan
bersih gabah + jagung + ubi
kayu + ubi jalar

Akses Pangan dan Penghidupan
2
Persentase penduduk yang
hidup dibawah garis
kemiskinan
3
4

Persentase desa yang tidak
memiliki akses penghubung
yang memadai
Persentase rumah tangga
tanpa akses listrik

Definisi dan Perhitungan
1. Data rata-rata produksi bersih
tiga tahun (2005-207) gabah,
jagung, ubi kayu, talas dan ubi
jalar pada tingkat kabupaten
dihitung menggunakan faktor
konversi standar.
2. Ketersediaan bersih pokok per
kapita per hari dihitung dengan
membagi
total
ketersediaan
pokok kabupaten dengan jumlah
populasinya.
3. Data
bersih
pokok
dari
perdagangan dan impor tidak
diperhitungkan.
4. Konsumsi
normatif
pokok/hari/kapita adalah 300
gram/orang/hari.
5. Rasio
konsumsi
normatif
perkapita
dihitung
terhadap
ketersediaan
bersih
pokok
perkapita. Rasio lebih besar dari
1 menunjukkan daerah defisit
pangan dan daerah dengan rasio
lebih kecil dari 1 adalah surplus
untuk produksi pokok.
Nilai pengeluaran per kapita setiap
bulan untuk memenuhi standar
minimum
kebutuhan
konsumsi
pangan.
Lalu lintas antar desa yang tidak
bisa dilalui kendaraan roda empat.
Persentase rumah tangga yang tidak
memiliki akses terhadap listrik dari
PLN dan/atau non PLN, misalnya
generator.

8

Tabel 1 Indikator peta kerentanan dan kerawanan pangan Kabupaten Bogor
(lanjutan)
No
Indikator
Pemanfaatan Pangan
5
Angka harapan hidup saat lahir

Definisi dan Perhitungan

Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru
lahir dengan asumsi tidak ada perubahan
pola mortalitas sepanjang hidupnya.
6
Berat badan balita underweight
Anak dibawah lima tahun yang berat
badannya kurang dari -2 SD dari berat
badan normal pada usia dan jenis kelamin
tertentu.
7
Perempuan buta huruf
Persentase penduduk diatas 15 tahun
yang tidak dapat membaca atau menulis.
8
Persentase rumah tangga tanpa Persentase rumah tangga yang tidak
akses air bersih
memiliki akses ke air minum yang berasal
dari air leding/PAM, pompa air, sumur
atau mata air yang terlindung.
9
Persentase rumah tangga terhadap Rasio jumlah tenaga kesehatan yang
akses fasilitas kesehatan
terdapat di setiap kecamatan dengan
jumlah penduduk.
Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Transien
10
Bencana alam
Data bencana alam yang terjadi di
Indonesia dan kerusakannya selama
periode 200-2007.
11
Penyimpangan curah hujan
Data rata-rata tahunan curah hujan pada
musim hujan dan kemarau selama 10
tahun dihitung.
12
Persentase daerah puso
Persentase daerah yang ditanami padi
yang rusak akibat kekeringan dan banjir.
13
Deforestasi hutan
Perubahan kondisi penutupan lahan dari
hutan menjadi non hutan

Sumber: Dewan Ketahanan Pangan 2009

Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), ketersediaan pangan adalah
ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber, baik dari
produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan.
Ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi wilayah tersebut, perdagangan
pangan melalui mekanisme pasar di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh
pedagang dan cadangan pemerintah serta bantuan pangan dari pemerintah atau
organisasi lainnya. Ketersediaan pangan disuatu daerah merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk.
Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis
pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia atau telah ditanam di
daerah tersebut untuk waktu yang panjang (Suhardjo 1989). Ketersediaan
pangan harus dipertahankan atau memiliki jumlah yang lebih besar daripada
kebutuhan penduduk terhadap pangan.
Produksi pangan tergantung pada berbagai faktor seperti iklim, jenis
tanah, curah hujan, irigasi, komponen produksi pertanian yang digunakan dan

9

bahkan insentif bagi para petani untuk menghasilkan tanaman pangan. Produksi
meliputi produk pokok, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buahbuahan, rempah, gula dan produk hewani. Porsi utama kebutuhan kalori sehari
penduduk Indonesia berasal dari sumber pangan karbohidrat yaitu sekitar
setengah dari kebutuhan energi per orang per hari. Oleh karena itu, yang
digunakan dalam analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang berasal dari
produksi pangan pokok pokok yaitu gabah, jagung, umbi-umbian (ubi kayu dan
ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada
tingkat provinsi maupun kabupaten.
Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari tiga pilar ketahanan
pangan. Indikator ini merupakan salah satu indikator utama yang digunakan
untuk analisis peta ketahanan dan kerentanan pangan (food security and

vulnerability atlas). Menurut Dewan Ketahanan Pangan (2009), akses pangan
adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang cukup, baik
dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, pinjaman dan bantuan pangan.
Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, namun tidak semua
rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun
keragaman pangan melalui mekanisme tersebut. Rumah tangga atau daerah
yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai dan berkesinambungan,
sewaktu-waktu dapat berubah dapat menyebabkan kemiskinan dan rentan
terhadap kerawanan pangan.
Menurut

Bank

Dunia,

secara

global,

penduduk

yang

tingkat

pendapatannya di bawah US$ 1,25 (Purchasing Power Parity/PPP) per hari
dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan
garis kemiskinan nasional sebesar US$ 1,55 PPP per hari (Rp 166.697
orang/bulan pada tahun 2007). Semakin besar jumlah penduduk miskin di suatu
daerah maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka
kerawanan pangan akan semakin tinggi. Kurangnya akses terhadap infrastruktur
dan fasilitas umum dapat menyebabkan “kemiskinan lokal” dimana masyarakat
yang tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit
dan ketersediaan pasar yang buruk sehingga kurang memiliki kesempatan
ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai.
Akses pemanfaatan pangan merupakan pilar ketiga dalam ketahanan
pangan. Pemanfaatan pangan meliputi: a) pemanfaatan pangan yang bisa
diakses oleh rumah tangga, dan b) kemampuan individu untuk menyerap zat gizi

10

(pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan oleh
rumah tangga tergantung pada: a) fasilitas penyimpanan dan pengolahan
makanan yang dimiliki oleh rumah tangga, b) pengetahuan dan praktek yang
berhubungan dengan penyiapan makanan, pemberian makan untuk balita dan
anggota keluarga yang sedang sakit atau sudah tua (ada juga pengaruh
adat/kepercayaan dan hal tabu), c) distribusi makanan dalam keluarga, d) kondisi
kesehatan masing-masing individu yang mungkin menurun karena penyakit,
higiene, air dan sanitasi yang butuk dan kurangnya akses ke fasilitas kesehatan
dan pelayanan kesehatan.
Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya
dapat mempengaruhi ketahanan pangan suatu wilayah baik sementara ataupun
dalam jangka waktu yang panjang. Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara
(transient food insecurity). Bencana alam, perubahan harga atau goncangan
terhadap

pasar,

epidemik

penyakit,

konflik

sosial

dan

lain-lain

dapat

menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan
sementara dapat berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan
pangan seperti ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan
pangan.
Menurut

Dewan

Ketahanan

Pangan

(2009),

kerawanan

pangan

sementara dapat juga dibagi menjadi dua sub kategori menurut siklus, dimana
terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan misalnya
musim paceklik yang terjadi dalam periode sebelum dan saat panen yang
merupakan hasil dari suatu goncangan mendadak dari luar pada jangka waktu
yang pendek seperti kekeringan atau banjir. Variabilitas iklim secara langsung
mempengaruhi berbagai aspek ketahanan pangan, khususnya dalam hal
ketersediaan dan distribusi pangan. Peristiwa bencana alam seperti kekeringan
dan banjir berkaitan dengan karakteristik dan fluktuasi curah hujan. Kekeringan
dan banjir disebabkan oleh besarnya variasi curah hujan yang diterima oleh
setiap wilayah geografis. Variasi curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh berbagai faktor baik global, regional maupun lokal. Faktor global antara lain
fenomena El Nino dan Dipole Mode. Faktor regional antara lain Sirkulasi Monsun
dan suhu muka laut perairan Indonesia. Faktor lokal yang berpengaruh yaitu
ketinggian, posisi bentangan suatu pulau, sirkulasi angin darat dan angin laut.
Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang rusak

11

karena disebabkan oleh bencana alam (banjir, longsor dan kekeringan) dan
penularan hama oleh organisme pengganggu tanaman (OPT). Produksi dan
produktivitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca.
Kebijakan
Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan
Menurut Pratiwi (2008), kebijakan adalah suatu suatu peraturan yang
telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu
keadaan, misalnya

pertumbuhan, baik

besaran maupun arahnya pada

masyarakat umum. Kebijakan berguna sebagai alat pemerintah untuk campur
tangan dalam mempengaruhi perubahan secara sektoral dalam masyarakat
termasuk didalamnya kebijakan pada sektor pertanian.
Menurut Simatupang (2003), kebijakan publik adalah tindakan kolektif
yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk
mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan private (individu
atau lembaga swasta). Bentuk-bentuk kebijakan publik yaitu: 1) kebijakan publik
yang bersifat makro (umum, mendasar) yaitu peraturan perundang-undangan
antara lain UUD 1945, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah (RPJMD / Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah); 2)
kebijakan publik yang bersifat meso (menengah, penjelas pelaksanaan) yaitu
berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati serta Peraturan Walikota; 3) kebijakan publik yang bersifat
mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi dari
kebijakan diatasnya seperti renstra (rencana strategis) setiap SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah). Bentuk kebijakan publik mikro adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh aparat publik dibawah Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota
(Dwidjowijoto 2006).
Kebijakan Ketahanan Pangan