Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Periode 1998 – 2012)

1

FENOMENA PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI DI
KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT, SEBELUM DAN
SETELAH OTONOMI DAERAH (PERIODE 1998 – 2012)

QIKI QILANG SYACHBUDY

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2

3

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fenomena Perburuan
Rente dan Korupsi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah

Otonomi Daerah (Periode 1998 – 2012) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Qiki Qilang Syachbudy
NIM H14090133

4

5

ABSTRAK
Aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity) dan korupsi
merupakan dua masalah yang biasa terjadi di negara-negara berkembang. Baik aktivitas
ekonomi perburuan rente maupun korupsi pada akhirnya akan berdampak terhadap
berkurangnya anggaran belanja pemerintah yang diperuntukkan bagi kesejahteraan

masyarakatnya. Kabupaten Kuningan merupakan bagian dari wilayah negara Indonesia
yang memiliki status sebagai negara berkembang. Oleh karena itu menjadi hal yang
menarik untuk meneliti fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi yang
ada di Kabupaten Kuningan. Penelitian ini menggunakan rentang waktu antara tahun
1998 – 2012 yang membandingkan antara kondisi sebelum dan sesudah Otonomi Daerah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data dan wawancara
mendalam yang kemudian disajikan dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil dari
penelitian ini memperlihatkan bahwa banyak fenomena aktivitas ekonomi perburuan
rente dan korupsi yang ada di Kabupaten Kuningan. Sektor yang paling dominan terjadi
aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi adalah pada pengadaan barang dan jasa.
Terdapat perbedaan pola aktivitas ekonomi perburuan rente dari yang sebelum Otonomi
Daerah menggunakan pendekatan kekerabatan, menjadi pendekatan balas budi setelah
adanya otonomi daerah. Sedangkan dalam fenomena korupsi yang ada di Kabupaten
Kuningan, terdapat tiga jenis korupsi yang biasa terjadi sesuai dengan undang-undang
yang berlaku. Oleh karena itu maka harus ada kerjasama antara pihak pemerintah,
penegak hukum, dan masyarakat di Kabupaten Kuningan dalam menghadapi masalah
aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi tersebut.
Kata kunci: Aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economy activity), Korupsi,
Otonomi Daerah.


ABSTRACT
Rent seeking economy activity and corruption are problems that usually occur in
developing countries. Rent seeking economy activity and corruption will impact on
national budget that is allocated for society prosperous. Kuningan regency is a part of
area in Indonesia as a developing country. Because of that, it becomes interesting to
examine about rent seeking economy activity and corruption that occur in Kuningan
regency. This research uses time range between 1998-2012 that compare the condition
before and after autonomy. The methodology that is used in this research is data
analytical and indepth interview that is presented in the descriptive qualitative
methodology. The result of this research present that there are many cases of rent seeking
economy activity and corruption occur in Kuningan regency. Rent seeking activity and
corruption are occurred in procurement sector. There is difference pattern in the rent
seeking economy activity, that use family relationship pattern before autonomy and
reciprocate pattern after autonomy. Base on Indonesia‟s law, there are three kinds of
corruption that usually occur in Kuningan regency. Because of that, it has to be a
cooperation between government, institution that has competent in law, and society in
Kuningan regency to solve rent seeking economy activity and corruption problems.
Key words: rent seeking economy activity, corruption, autonomy.

6


7

FENOMENA PERBURUAN RENTE DAN KORUPSI DI
KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT, SEBELUM DAN
SETELAH OTONOMI DAERAH (PERIODE 1998 – 2012)

QIKI QILANG SYACHBUDY
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

8


Judul Skripsi

Nama
NIM

:Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
(Periode 1998 - 2012)
: Qiki Qilang Syachbudy
: H14090133

Disetujui,

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus :


-29 OCT 2 1

9
Judul Skripsi

Nama
NIM

:Fenomena Perburuan Rente dan Korupsi di Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat, Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah
(Periode 1998 – 2012)
: Qiki Qilang Syachbudy
: H14090133

Disetujui,

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A.
Dosen Pembimbing


Diketahui oleh

Dedi Budiman Hakim, Ph. D.
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

10

PRAKATA

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji dan syukur
kepada Allah SWT atas semua nikmat, cinta, dan kasih sayang yang Ia berikan
sehingga skripsi ini bisa penulis selesaikan. Penulis sampaikan penghargaan
setinggi-tingginya kepada ibunda tercinta Oom Siti Romlah dan kedua ayahanda
tercinta, Ade Syachbudy (Alm.) dan Salam. Terima kasih atas do‟a dan ketulusan
perjuangannya untuk menghantarkan penulis sampai saat ini. Ibu dan Bapak
adalah inspirator penulis sepanjang hayat.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Oyon
Sofyan dan Ibu Dra. Enna Tjintasih yang sudah penulis anggap sebagai orang tua

sendiri. Terima kasih atas segala bantuan dan kasih sayang Ibu dan Bapak selama
penulis kuliah di IPB. Ibu dan Bapak adalah inspirator dan peletak nilai-nilai dasar
perjuangan pada jiwa penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini
baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama kepada:
1.

2.
3.

4.

5.

6.

Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. selaku dosen
pembimbing skripsi, atas semua masukan, transfer ilmu, bimbingan dan
arahan serta pendidikan yang sangat berharga bagi penulis selama

penyusunan skripsi ini. Bagi saya Prof. adalah seorang pendidik yang
paripurna.
Dr. Alla Asmara, M.Si., selaku dosen pembimbing akademik atas segala
bimbingan sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam proses kuliah.
Bapak Dr. Findi Alexandi dan Ibu Widyastutik, M.Si sebagai dosen penguji
sidang, atas segala kritikan dan masukannya yang membangun sehingga
penulis mendapat tambahan pengetahuan baru serta dapat mengetahui
kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi.
Beasiswa BBM dan beasiswa BUMN yang banyak membantu penulis
sehingga penulis bisa leluasa dalam beraktivitas selama berkegiatan sebagai
mahasiswa.
Teman-teman IE 46 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima
kasih atas segala persahabatan, kenangan, perjuangan, dan asa untuk
mencapai tujuan.
Keluarga besar penghuni Gedung Serbaguna Mahasiswa Islam. Terkhusus
penulis sampaikan terima kasih kepada Sdr. Fadly Sonata Siregar,
Fathurrohman Mangun Yuda, Fuad Habibi Siregar, Erick Saepul Mubarok,
Arifin, Alex Yungan Harahap, Ardiansyah Putra, M. Riza Febriano,
Ruswandi Rinaldo, Naufal Haadi, dan Kang Omon serta para penghuni tidak
tetap seperti Septiadi Yulismar, Ahmad Syarif Mato, dan Abdul Robby

Sjahrir. Terima kasih atas segala rasa persaudaraan dan persahabatannya.
Termasuk terima kasih sudah sering meminjamkan uangnya ketika penulis
sedang pailit.

11
7.

8.

9.

Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor,
Kakanda/Yunda/Adinda yang telah berjasa membentuk pola pikir, menempa
kekuatan jiwa, dan pembelajaran yang sangat luar biasa. Dari hati yang paling
dalam, penulis bangga telah memiliki saudara dan sahabat seperti kalian.
Memang benar rasanya bahwa “Di HMI, kita berteman lebih dari saudara”.
Kawan-kawan dari organisasi Ikatan Santri Pondok Pesantren Al Inayah
(Penulis pernah nyantri selama 1 tahun), DPMKM, Tarung Derajat, KAMMI
(Penulis pernah nge-kos di asrama KAMMI), KMNU, dan IMM. Terima
kasih atas kehangatan persaudaraannya.

Terkhusus kepada adik-adikku, yaitu: Yaya Hidayat, Elis Fauzi Nurhasanah,
dan Alisya Fauzi Labibah, terima kasih sudah mendo‟akan A Qiki sehingga
Aa bisa berjalan sejauh ini. Teruslah berjuang dan jangan lupa, ketika sukses
nanti maka sukseskanlah juga orang lain. Jadilah manusia yang banyak
bermanfaat bagi orang lain. Karena iman harus diikuti oleh ilmu, dan ilmu
harus diamalkan.

12

13

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

xiii

DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

PENDAHULUAN
LatarBelakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi Wilayah
Otonomi Daerah
Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity)
dan Korupsi
Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity)
Korupsi
Penelitian-Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap fenomena
Rent Seeking Economy Activity dan korupsi
di Kabupaten Kuningan
Keberadaan Aktor yang Melakukan Perilaku Rent
Seeking Economy Activity dan korupsi pada Sebelum
dan Sesudah Otonomi Daerah di Kabupaten Kuningan
Jenis – Jenis Korupsi dan Perbedaan Rent Seeking Economy
Activity di Kabupaten Kuningan Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah.
Sebab – Sebab Terjadinya Rent Seeking Economy
Activity dan Korupsi di Kabupaten Kuningan
Perkiraan Kebocoran APBD Akibat Adanya Fenomena
Rent Seeking Economy Activity dan Korupsi
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Perkembangan Wilayah Kabupaten Kuningan
Perkembangan Pembangunan di Kabupaten Kuningan
Pendidikan Masyarakat
Kesehatan Masyarakat
Kesejahteraan Masyarakat

1
1
6
6
7
8
8
9
13
13
15
18
19
21
21
21
21

22

23

23
24
24
25
25
27
27
30
31

14
Investasi
Perkembangan Ekonomi di Kabupaten Kuningan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Fenomena Rent
Seeking Economy Activity dan korupsi
di Kabupaten Kuningan
Keberadaan Aktor yang Melakukan Perilaku Rent Seeking
Economy Activity dan korupsi pada Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah di Kabupaten Kuningan
Uji Beda Pengaruh Korupsi Terhadap APBD di Kabupaten Kuningan
Jenis – Jenis Korupsi dan Perbedaan Rent Seeking Economy
Activity di Kabupaten Kuningan Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah
Sebab – Sebab Terjadinya Rent Seeking Economy
Activity dan Korupsi di Kabupaten Kuningan
Perkiraan Kebocoran APBD Akibat Adanya Fenomena
Rent Seeking Economy Activity dan Korupsi
SIMPULAN
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

33
38
41

41

45
49

52
59
66
68
68
70
73
85

15

DAFTAR TABEL
1. Temuan korupsi berdasarkan aktor yang melakukan korupsi
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dari
tahun ke tahun
3. Tahapan-tahapan menuju otonomi daerah
4. Daftar kecamatan, jumlah desa, luas wilayah, dan jumlah
penduduk di Kabupaten Kuningan.
5. Jumlah penduduk dan persentase pertumbuhan penduduk Kabupaten
Kuningan tahun 1998 - 2011.
6. Dana alokasi pendidikan di Kabupaten Kuningan
tahun 2007 - 2011.
7. Perkembangan jumlah sekolah di Kabupaten Kuningan
tahun 1998 - 2012.
8. Jumlah murid sekolah pada setiap jenjang pendidikan
di Kabupaten Kuningan tahun 1998 - 2012.
9. Jumlah guru pada setiap jenjang pendidikan di Kabupaten Kuningan
tahun 1998 – 2012.
10. Keberlanjutan siswa dalam melanjutkan sekolah pada
jenjang yang lebih tinggi di Kabupaten Kuningan
tahun 2005 - 2012.
11. Besaran dana yang dialokasikan pemerintah Kabupaten
Kuningan untuk kesehatan tahun 2007 - 2013.
12. Perkembangan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur
pada sektor kesehatan di Kabupaten Kuningan tahun 1998 -2012.
13. Tingkat kesejahteraan di Kabupaten Kuningan
tahun 2004 - 2010.
14. Persentase pada setiap golongan kesejahteraan di Kabupaten Kuningan
tahun 2004 - 2010.
15. Perkembangan perizinan di Kabupaten Kuningan
tahun 2007 - 2012.
16. Daftar perusahaan menengah dan besar yang berinvestasi di Kabupaten
Kuningan tahun 2010 - 2012.
17. Data jumlah realisasi investasi di Kabupaten Kuningan
pada tahun 2012.
18. Jumlah investasi pada setiap kecamatan di Kabupaten
Kuningan tahun 2012.
19. Proporsi pendapatan dan pengeluaran keuangan di Kabupaten Kuningan
tahun 2007 - 2013.
20. Pengaruh Otonomi daerah Terhadap Fenomena Rent Seeking Economy
Activity di Kabupaten Kuningan
21. Indikator Kinerja Perekonomian Indonesia dari Era Orde Baru sampai
Era Reformasi
22. Pengaruh otonomi daerah terhadap fenomena korupsi di kabupaten
kuningan
23. Data korupsi dari Kejaksaan Negeri (Kejari) tahun 2011-2012
24. Data yang diperlukan untuk perhitungan uji beda dengan model regresi

2
4
10
26
27
28
28
29
29

30
30
31
33
33
34
35
37
37
39
43
44
45
47

16
linear sederhana
25. Daftar nama badan usaha yang ditenggarai terjadi aktivitas ekonomi
perburuan rente
26. Jenis-jenis fenomena rent seeking economy activity di Kabupaten
Kuningan sebelum dan sesudah otonomi daerah
27. Deskripsi dan modus korupsi yang terjadi di Kabupaten Kuningan
28. Sebab-sebab terjadinya aktivitas ekonomi perburuan rente
di Kabupaten Kuningan sebelum dan sesudah otonomi daerah
29. Sebab-sebab terjadinya korupsi di Kabupaten Kuningan sebelum dan
sesudah otonomi daerah
30. Data ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali

50
51
54
55
59
61
72

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pola Komunikasi Antara Pusat dan Daerah
Pola Baru Hubungan Pemerintah dan Masyarakat
Kerangka Pemikiran Penulisan Skripsi
Peta Kabupaten Kuningan
Grafik proporsi distribusi PDRB dari berbagai sektor ekonomi
Grafik laju pertumbuhan ekonomi pada berbagai sektor di Kabupaten
Kuningan tahun 1998 - 2011.

12
12
20
25
39
40

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Data perusahaan pemenang tender di Kabupaten Kuningan tahun
anggaran 2012-2013
Laju Pertumbuhan Ekonomi dari Tahun 1998 Sampai Tahun
2011 Atas Dasar Harga Konstan
Distribusi Persentase Setiap Sektor Ekonomi dari Tahun 1998 Sampai
Tahun 2011 Atas Dasar Harga Konstan
Perhitungan uji coba model regresi sederhana korupsi dan aktivitas
perburuan rente di Kabupaten Kuningan
Daftar Informan yang Diwawancarai

73
76
78
80
81

17

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peralihan kepemimpinan di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru terjadi
pada saat-saat sulit. Sebagai contoh, sampai saat berakhirnya pemerintahan
Presiden Soekarno di tahun 1967, inflasi sudah mencapai 650%. Sektor pertanian
tetap menjadi andalan utama, tanpa sesuatu terobosan produksi yang membawa
rakyat keluar dari lingkaran kemiskinan. Pengangguran di kota-kota semakin
meningkat dan investasi asing hampir tidak ada. Oleh karena itu, ketika
pemerintahan Orde Baru dibentuk, Soeharto segera menghimpun para teknokrat
ekonomi dalam pemerintahannya dan mendeklarasikan pembangunan sebagai
misi utamanya.1
Dalam mengimplementasikan misi utamanya tersebut maka pemerintahan
Orde Baru menerapkan sistim yang sentralistik guna menjamin pemerataan
pembangunan di seluruh wilayah negara Indonesia. Tujuan utama dari sistim yang
sentralistik tersebut adalah untuk memudahkan dalam pengukuran hasil
pembangunan. Namun demikian, keadaan yang sentralistik tersebut akhirnya
semakin memberatkan pemerintah pusat karena beban energi yang dikeluarkan
untuk mengurus manajemen pembangunan nasional menjadi sangat besar.
Sementara pemerintah daerah hanya sebatas menunggu kebijakan dari pemerintah
pusat. Semakin beratnya beban yang dipikul oleh pemerintahan Orde Baru ini
yang kemudian menjadi latar belakang dari munculnya butir pasal 11 ayat 1
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 yang menyatakan bahwa titik berat otonomi
daerah diletakkan pada daerah tingkat II.
Namun demikian, sampai pada awal 1990-an, amanah yang berada pada
pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tersebut tidak terealisasi.
Pemerintah daerah masih dalam kondisi bergantung kepada pemerintah pusat. Hal
ini terlihat dari kegagalan pemerintah Indonesia dalam menghadapi krisis pada
tahun 1997. Penyebab utamanya adalah karena pemerintah pusat masih sibuk
dengan urusan dalam negeri sehingga kurang bisa fokus terhadap ancamanancaman ekonomi global.
Kurangnya ketahanan ekonomi dari pemerintahan derah inilah yang
kemudian menjadi dasar pemikiran untuk membentuk Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun
1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan
kedua undang-undang inilah maka pada bulan Januari tahun 2001 seluruh daerah
yang sudah merasa siap sudah bisa untuk menjalankan otonomi daerah versi baru.
Namun demikian, dalam perjalanannya, kedua undang-undang ini dirasa
banyak memiliki kelemahan, terutama yang berkaitan dengan peraturan tentang
pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Sistem pemilihan kepala daerah
inilah yang kemudian menjadi indikasi terhadap banyaknya kasus pidana korupsi
di pemerintahan daerah.
1

Ryaas Rasyid, MA dalam Desentralisasi & Otonomi Daerah. (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm.
6.

18
Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Partnership for Governance
Reform (PGR) yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM)
menunjukkan hasil bahwa lingkungan sekitar Kantor Bupati/Walikota/Gubernur
dan DPRD menempati lima besar urutan dengan intensitas korupsi tertinggi2. Dan
jika dilihat dari aktor yang melakukan korupsi maka diperoleh data pada tabel 1.
Tabel 1. Data temuan korupsi berdasarkan aktor yang melakukan korupsi
Aktor
Jumlah Terdakwa
Anggota DPRD
162
Swasta
48
Staf BUMN
30
Staf Dinas
17
Kepala Dinas
15
Anggota KPUD
12
Bupati
11
Kepala Sekolah/Pejabat Kampus
9
Kepala/Staf Pertanahan
8
Staf Bea Cukai
7
Lurah/Camat
7
Staf Pemkab
7
Walikota/Wakil Walikota
6
Sekda Walikota
5
Staf Departemen
5
Ketua/Wakil KUD
3
Staf Ahli Walikota/Bupati
3
Kepala Kantor Departemen
2
Kepala Bagian Pemkab
2
Jaksa
2
Anggota Partai Politik
2
Gubernur
2
Militer
1
KP2LN
1
BPKD
1
Sekda Bupati
1
Kepala Rumah Sakit
1
Kabiro Provinsi
1
Kepala Bapeda
1
Pegawai Pos
1
Jumlah
373
Sumber: Independent Report: Corruption Assessment and Compliance United
Nation Convention against Corruption (UNCAC)-2003 in Indonesian
Law By Indonesia Corruption Watch (ICW), hlm. 23.
Berdasarkan data yang ada di tabel 1 maka terlihat bahwa para aktor korupsi
banyak yang terlibat pada level pemerintahan daerah mulai dari tingkat gubernur
2

Sumber: Dokumen PGR & PSKK UGM yang dimuat dalam Independent Report: Corruption
Assessment and Compliance United Nation Convention against Corruption (UNCAC)-2003 in
Indonesian Law By Indonesia Corruption Watch (ICW), hlm. 11

19
sampai pada tingkat Lurah/Kepala Desa. Melihat fakta dari keadaan seperti itulah
maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 tahun
2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999. Melalui UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 inilah maka ditetapkan bahwa pemilihan kepala
daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sehingga diharapkan bisa
mengurangi peluang-peluang praktik-praktik korupsi di daerah dan diharapkan
bisa mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat untuk ikut menentukan pemimpin
daerahnya.
Munculnya Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 tidak serta merta
menjamin kesejahteraan bagi daerah-daerah yang ada di Indonesia. Jika dilihat
secara makro, menurut data UNDP tahun 2011, Human Development Index (HDI)
Indonesia masih termasuk ke dalam golongan Medium Human Development
dengan angka rata-rata lama sekolah sekitar 5,8 tahun, angka harapan hidup
sekitar 69,4 tahun, dan pendapatan per kapita per tahun sebesar $ 3.716. Meskipun
seperti data yang diperlihatkan oleh BPS, secara umum angka HDI terus
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Trend kenaikan indeks HDI ini terus
meningkat mulai dari tahun 1999 sebesar 64,3 sampai pada tahun 2010 sebesar
72,7 3.
Begitu pula halnya dengan kondisi kemiskinan dan ketenagakerjaan, data
Indonesia secara makro menyebutkan bahwa ada trend membaik dari tahun ke
tahun. Persentase kemiskinan mengalami perbaikan, dari data sekitar 16,58% pada
tahun 2007 sampai pada sekitar 12,49% pada tahun 2011. Begitupun dengan
kondisi ketenagakerjaan, jumlah penduduk yang menganggur dari dua tahun
terakhir mengalami perbaikan, yaitu sebanyak 7.700.086 orang di tahun 2011
menjadi 7.614.241 di tahun 2012 4.
Namun demikian, data-data yang selalu mengalami kondisi trend secara
keseluruhan di Indonesia tidak serta merta diikuti oleh masing-masing kondisi
daerah di masing-masing provinsi dan kabupaten di seluruh wilayah. Menurut
data pada bulan Oktober tahun 2012, wilayah Indonesia terdiri dari 33 provinsi,
399 kabupaten, dan 98 kota 5. Masing-masing wilayah tersebut memiliki kondisi
dan tantangan yang berbeda-beda. Hal ini tergantung kepada kondisi Sumberdaya
alam, Sumberdaya sosial, dan faktor kepemimpinan di masing-masing wilayah
tersebut.
Seperti di daerah Jawa Barat, beberapa kondisi seperti HDI, jumlah
kemiskinan, infrastruktur, dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, pengangguran terbuka
mengalami penambahan dari tahun 2011 sebanyak 1.901.843 jiwa menjadi
sebesar 1.969.006 jiwa pada tahun 2012. Wilayah Provinsi Jawa Barat yang terdiri
dari 17 kabupaten dan 9 kota kemudian memiliki karakteristik yang berbeda-beda
pula keadaannya 6. Seperti di Kabupaten Kuningan, pertumbuhan ekonomi selalu
mengalami trend naik, tetapi kondisi ketenagakerjaan terjadi pasang surut dari
3

BPS: Indeks Pembangunan Manusia Provinsi dan Nasional tahun 1996 - 2010. (sumber:
www.bps.go.id)
4
BPS: Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman
Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi tahun 2007-2011.
5
BPS: Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi bulan Oktober 2012, hal. 56
6
BPS: Booklet Jawa Barat dalam Angka 2010

20
tahun ke tahun. Padahal trend Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten
Kuningan selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, seperti yang
diperlihatkan oleh data pada tabel 2.
Tabel 2. Data Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kuningan dari tahun ke
tahun.
Bagian Pendapatan
Tahun
Asli Daerah (Rp)
1998-1999
30.038.671.760
1999-2000
6.543.224.749
2000
5.626.262.000
2001
12.095.000.000
2002
16.496.870.000
2003
20.511.180.000
2004
24.947.354.910
2005
31.148.900.000
2006
35.040.920.000
2007
37.415.404.000
2008
45.679.000.000
2009
52.748.000.000
2010
70.927.000.000
2011
79.210.000.000
2012
88.198.000.000
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) (diolah)
Berdasarkan data pada tabel 2 maka kenaikan PAD idealnya diikuti oleh
peningkatan kualitas masyarakat Kabupaten Kuningan. Namun demikian, kualitas
masyarakat Kabupaten Kuningan seperti halnya jalan di tempat. Hal inilah yang
menjadi dasar dari penulisan skripsi ini, yaitu mencari permasalahan yang
menyebabkan terjadinya kondisi yang tidak ideal tersebut. Fakta lain dari kondisi
kenaikan PAD yang tidak diimbangi oleh pembangunan yang signifikan adalah
dengan masuknya Kabupaten Kuningan pada peringkat E dalam dalam hal faktor
ekonomi daerah (peringkat 131) dan faktor tenaga kerja (peringkat 152)
berdasarkan pemeringkatan 169 kabupaten yang dilakukan oleh Komite
Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD)7.
Fenomena korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking
economy activity) merupakan dua hal yang digunakan sebagai dasar untuk
memahami kondisi pembangunan di Kabupaten Kuningan. Secara luas, korupsi
didefinisikan sebagai usaha untuk mencari keuntungan pribadi melalui jabatan
yang dimiliki8. Berlainan dengan korupsi, aktivitas ekonomi perburuan rente (rent
seeking) dapat diartikan sebagai proses pelaku ekonomi, baik secara individu
maupun kelompok, untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi

7

8

Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD), Daya Saing Investasi
Kabupaten/Kota di Indonesia, 2005: Persepsi Dunia Usaha: Peringkat 169 Kabupaten dan 59
Kota di Indonesia, Metodologi dan Temuan Utama (Jakarta: KPPOD, 2005), hlm. 66 – 69.
Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa dan H. Lindsey Parris, Penuntun Pemberantasan
Korupsi dalam Pemerintahan Daerah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 3

21
pemerintah9. Namun demikian, baik korupsi maupun aktivitas ekonomi perburuan
rente memiliki suatu persamaan dalam hal sama-sama melakukan aktivitas untuk
mengalokasikan Sumberdaya hanya kepada individu atau kelompok tertentu saja
sehingga akan mengabaikan keadilan di dalam sebuah masyarakat. Hanya saja ada
perbedaan objek diantara keduanya dimana objek dari aktivitas korupsi adalah
berupa ekonomi, sedangkan objek dari aktivitas ekonomi perburuan rente adalah
kebijakan.
Aktivitas korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente menjadi hal yang
sangat penting untuk dikaji karena pada kedua aktivitas ini sangat merugikan
dalam proses pembangunan daerah, yakni mengabaikan kesejahteraan
masyarakatnya. Secara luas, pembangunan mencakup masalah efisiensi alokasi
Sumberdaya produktif yang langka serta berkesinambungan dalam pertumbuhan
dari waktu ke waktu. Pembangunan juga memberi perhatian kepada mekanismemekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan10. Pembangunan
perekonomian di daerah Kabupaten Kuningan menjadi menarik karena terdapat
dua kali periode kepemimpinan bupati Aang Hamid Sugandha pada tahun 20032008 dan 2008-2013 setelah sebelumnya dipimpin oleh Bupati Arifin
Setiamihardja pada periode 1998-2003 dan Bupati Yeng DS Partawinata pada
periode 1993-1998. Perbandingan masing-masing kondisi pembangunan yang
dilakukan pada setiap masa kepemimpinan tersebut, yang dilihat dari program
kerja, kebijakan (peraturan daerah), dan output-nya, akan memberikan
pemahaman tentang cara-cara dan orientasi aktor-aktor politik tersebut dalam
mengusahakan pembangunan di Kabupaten Kuningan. Melalui pendekatan
tersebut maka akan terlihat pula tentang adanya gejala korupsi dan aktivitas
ekonomi perburuan rente dalam wilayah birokrat pada masing-masing periode
kepemimpinan.
Tentu saja perbandingan kondisi di setiap pembangunan tersebut akan
berkaitan dengan masalah otonomi daerah. Mulai dari sebelum otonomi daerah,
yaitu pada kepemimpinan Yeng DS Partawinata, kemudian berlakunya UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 pada masa Arifin Setiamihardja, dan sampai pada
masa berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pada masa pemerintahan
Aang Hamid Sugandha. Dengan semakin baiknya iklim demokrasi di Indonesia,
disertai kewenangan dan keuangan yang semakin bertambah kepada pemerintah
daerah selayaknya memberikan keleluasaan kepada daerah untuk memajukan
masyarakatnya.
Namun demikian, dalam setiap kepemimpinan (baik sebelum maupun
setelah otonomi daerah), selalu ada faktor penghambat dalam perjalanan
kepemimpinannya. Ada dua faktor penghambat, yakni korupsi dan aktivitas
ekonomi perburuan rente. Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk
dibahas mengenai fenomena korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente yang
terjadi di Kabupaten Kuningan pada era sebelum dan sesudah otonomi daerah.

9

Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi (Malang:
Bayumedia Publishing, 2010), hlm. 140
10
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan (Jakarta:
Erlangga, 2006), hlm. 11.

22
Perumusan Masalah
Pada dasarnya setiap pemerintahan di dunia ini selalu bertujuan
mengembangkan perekonomiannya sedemikian rupa sehingga taraf hidup bangsa
yang bersangkutan meningkat. Taraf hidup yang lebih tinggi itu dicerminkan oleh
adanya dua kata penting yaitu masyarakat yang adil dan makmur 11.
Namun demikian, adanya faktor manusia sebagai subjek yang menjalankan
roda pemerintahan baik di ranah eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan
roda pemerintahan terdapat berbagai penyimpangan. Aktivitas ekonomi perburuan
rente dan korupsi merupakan dua permasalahan yang sering terjadi di kalangan
eksekutif dan legislatif di Indonesia12. Hal inilah yang kemudian membuat
pembangunan di Indonesia tidak mengalami kemajuan yang signifikan.
Pelaksanaan pembangunan umumnya masih banyak penyimpangan dalam
pemerintahan nasional di Indonesia, termasuk dalam pemerintahan tingkat
kabupaten. Pasca pemerintahan Orde Baru pemerintahan daerah terus menerus
mendapatkan kewenangan yang semakin besar dalam rangka kesejahteraan
masyarakatnya masing-masing. Adanya peralihan dari sistem yang sentralistik
kepada otonomi daerah itulah yang kemudian membawa konsekwensi besar
terhadap tata kelola pemerintahan daerah.
Pasca berjalannya otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) di
seluruh Indonesia mengalami peningkatan yang tajam. Dalam kaitan
pemerintahan di Kabupaten Kuningan, terdapat beberapa pertanyaan diantaranya:
1. Apakah ada indikasi aktivitas ekonomi perburuan rente dan perilaku korupsi
di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah?
2. Apakah ada perbedaan pola aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi
di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah?
3. Sektor-sektor mana sajakah yang terindikasi adanya perilaku aktivitas
ekonomi perburuan rente dan korupsi di Kabupaten Kuningan pada waktu
sebelum maupun setelah adanya Otonomi Daerah?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti:
1. Fenomena aktivitas ekonomi perburuan rente dan perilaku korupsi di
Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah.
2. Perbedaan pola aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi di Kabupaten
Kuningan pada waktu sebelum dan sesudah Otonomi Daerah.
3. Sektor-sektor yang terindikasi adanya perilaku aktivitas ekonomi perburuan
rente dan korupsi di Kabupaten Kuningan pada waktu sebelum maupun
setelah adanya Otonomi Daerah.

11

Suparmoko, Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah (Yogyakarta: Andi
Yogyakarta, 2002), hlm. 1.
12
Data dapat dilihat dari bagian latar belakang.

23
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup perbandingan situasi pada periode
kepemimpinan di Kabupaten Kuningan antara rentang waktu 1998-2012 yang di
dalamnya sangat berkaitan dengan program otonomi daerah. Faktor-faktor yang
akan digunakan sebagai bahan perbandingan adalah data time series mengenai
Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD), infrastruktur, Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), Human Development Index (HDI), pengangguran,
investasi, data korupsi, data dari LPSE, Produk Domestik Bruto (PDB),
Pendapatan Asli Daerah (PAD), kemiskinan, pertumbuhan rata-rata, dan ditambah
dengan penelitian terhadap peraturan daerah (Perda) yang dibuat pada periode
sebelum dan sesudah otonomi daerah. Sehingga pada akhirnya, setelah
membandingkan data-data tersebut, maka dapat diteliti dengan menggunakan
pendekatan Ilmu Ekonomi Politik dan Pembangunan mengenai keberadaan
perilaku aktivitas ekonomi perburuan rente dan korupsi pada periode sebelum dan
sesudah otonomi daerah.

24

TINJAUAN PUSTAKA
Aktivitas korupsi dan aktivitas ekonomi perburuan rente merupakan dua hal
yang mengganggu dalam proses pembangunan di dalam suatu wilayah. Hal ini
terjadi karena kedua aktivitas tersebut menyebabkan kebijakan ekonomi yang
dibuat oleh pemerintah menjadi salah sasaran atau bahkan menyebabkan
kebijakan ekonomi yang dibuat tersebut sebagai kebijakan yang tidak pro
terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Program Otonomi Daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) adalah sebuah garis waktu pembeda yang sangat menarik untuk dikaji
dalam berbagai sudut pandang permasalahan sehingga dapat dilihat efek manfaat
dari adanya otonomi daerah terhadap kemajuan kesejahteraan masyarakat secara
umum. Dalam proses pembangunan ekonomi dalam suatu wilayah, kebijakan
ekonomi pemerintah berperan sangat penting. Namun demikian, kebijakan
ekonomi pemerintah tersebut bisa menjadi sesuatu yang mengganggu masyarakat
jika dalam proses pembuatan kebijakan maupun implementasinya, dijalankan
dengan tidak memperhatikan aspek keadilan dan kebutuhan masyarakat. Aktivitas
ekonomi perburuan rente merupakan hal yang dapat mempengaruhi proses
kebijakan pemerintah, sedangkan aktivitas korupsi adalah hal yang dapat
mengganggu imlementasi kebijakan pemerintah sehingga manfaat pembangunan
tidak sampai kepada masyarakat.
Oleh karena itu, dalam membahas topik permasalahan ini penulis akan
menguraikan beberapa teori yang dianggap relevan dengan pokok pembahasan.
Teori-terori tersebut seperti: teori otonomi daerah, teori pembangunan ekonomi
wilayah, teori kebijakan ekonomi pemeritah, teori rent seeking economy activity,
dan teori korupsi.

Pembangunan Ekonomi Wilayah
Pembangunan ekonomi merupakan suatu hal yang penting dalam
meningkatkan kesejahteraan di dalam masyarakat. Melalui pembangunan
ekonomi inilah maka dibuat indikator-indikator kesejahteraan sehingga
pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjadi hal yang paling dominan dalam
menentukan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi memiliki arti yang jauh lebih luas dan mencakup
perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.
Pembangunan merupakan proses transformasi yang menurut perjalanan waktu
ditandai oleh perubahan struktural, yaitu perubahan pada landasan kegiatan
ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, pada dasarnya, inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya
proses transformasi (sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier) sehingga
akan menyebabkan perubahan struktural.13

13

Didin S. Damanhuri, Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik, dan Solusi bagi
Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press, 2010), hlm. 3

25
Di negara sedang berkembang, isu pembangunan ekonomi menjadi hal yang
menarik untuk dikaji. Hal ini tidak terlepas karena masih adanya ketimpangan
ekonomi yang sangat mencolok diantara individu di dalam masyarakat.
Ketimpangan ekonomi itulah yang kemudian sering menjadi pemicu dalam
ketidakstabilan kehidupan di dalam sebuah masyarakat.
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan
berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa
ketimpangan hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan, antar golongan
pendapatan, tetapi juga ketimpangan antardaerah, yakni antar daerah pedesaan dan
daerah perkotaan. Kemudian juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan
regional.14
Permasalahan ketimpangan pembangunan tersebut, diperlukan peran
pemerintah dalam perubahan struktural yang ada di masyarakat. Ruang lingkup
tindakan sangat luas dan menyeluruh. Menurut Prof. Lewis15 lingkup itu
mencakup penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk
lembaga-lembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan
distribusi pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi
uang, menjamin kesempatan kerja penuh dan menentukan laju investasi. Namun
demikian, tugas terpenting dari pemerintah adalah mengatasi perbedaan sosial dan
menciptakan situasi psikologis, ideologis, sosial dan politik yang menguntungkan
bagi pembangunan ekonomi.16
Melihat peran pemerintah yang strategis dalam upaya pembangunan suatu
wilayah maka diperlukan suatu birokrasi pemerintah yang baik karena birokrasi
pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat. Oleh karena itulah diperlukan birokrasi
pemerintah yang netral dari berbagai kepentingan selain kepentingan rakyat
banyak.17
Bahasan mengenai birokrasi pemerintahan menjadi hal yang menarik di
Kabupaten Kuningan karena, dalam dua periode kepemimpinan terakhir, terdapat
komposisi keterwakilan anggota legislatif dari beberapa partai yang memiliki
keterwakilan signifikan di DPRD18. Dengan demikian, menjadi hal yang menarik
untuk diteliti mengenai perilaku aktor pemerintahan dalam proses pembangunan
ekonomi wilayah, termasuk di Kabupaten Kuningan.

Otonomi Daerah
Otonomi daerah (Otda) merupakan sebuah jawaban atas beragamnya
masyarakat yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah
Indonesia mengalami sistem pemerintahan yang sentralistik pada zaman
14

Dumairy, Perekonomian Indonesia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1996), hlm. 62
ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004), hlm. 432
16
Ibid, hlm. 431.
17
Damanhuri, op. cit., hlm. 137
18
Menurut sumber sekretariat DPRD Kab. Kuningan tercatat bahwa khususnya pada periode
kepemimpinan 2008 – 2013 terdapat tiga partai yang kalau dijumlahkan memiliki persentase
suara lebih dari 50%. Partai-partai tersebut adalah: PDIP (28%), Golkar (14%), dan Demokrat
(14%).
15

26
pemerintahan Orde Baru, kemudian muncullah sistem yang lebih demokratis
dimana pemerintah daerah diberikan kekuasaan yang luas untuk memajukan
daerahnya dengan cara melibatkan masyarakat secara maksimal untuk menggali
segala potensi yang ada baik yang bersifat fisik maupun nonfisik.
Secara sederhana, otonomi daerah dapat dipahami sebagai sebuah proses
devolusi dalam sektor publik dimana terjadi pengalihan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata
lain, dalam konteks Indonesia, otonomi daerah diartikan sebagai proses
pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.19
Sistem desentralisasi atau yang lebih dikenal sebagai otonomi daerah di
Indonesia pada saat ini pada dasarnya memuat aturan mengenai desentralisasi
politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal. Dalam hal politik,
pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memutuskan sendiri apa yang
menurutnya penting dan dibutuhkan masyarakatnya, termasuk contoh dalam hal
ini adalah dengan adanya sistem pemilihan langsung dalam menentukan kepala
daerah. Mengenai administrasi, undang-undang otonomi daerah mengatur bahwa
secara administrasi, wilayah di Indonesia dibagi menjadi kawasan daerah dan
kawasan pusat yang masing-masing wilayah itu meskipun memiliki fungsi yang
berbeda namun memiliki fungsi koordinasi yang saling berkaitan. Melalui
desentralisasi administrasi ini, bukan saja diatur mengenai mana kawasan pusat
dan mana kawasan daerah tetapi juga diatur pula mengenai tata cara dalam
berkoordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Selain
desentralisasi di bidang politik dan bidang administrasi, desentralisasi di bidang
fiskalpun dipandang penting karena menyangkut bagaimana cara pemerintah
daerah dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Desentralisasi fiskal ini
menyangkut pemberian kewenangan menggali sumber pendapatan, hak menerima
transfer dari pemerintah pusat, dan menentukan belanja rutin dan investasi.
Berdasarkan sejarahnya, sistem otonomi daerah yang ada pada saat sekarang
ini merupakan kelanjutan dari tahap-tahap sebelumnya. Berikut adalah tabel 3
yang memuat peraturan-peraturan sebagai tahap-tahap yang pada akhirnya
melahirkan sistem otonomi daerah seperti sekarang ini.
Tabel 3. Tahapan-tahapan menuju otonomi daerah.
Period
Law
Basic Proportion
Effective
Decentralisation act
Formation of local councils with little
Dutch
1903
administrative autonomy
Occupation
More autonomy to locals government
Decentralisation act
(1903-1942)
and application of De-concentration
1922
System
Re-continuation or reapplication of
Japanese
Dutch administration system and
Occupation
Japanese Order 1942
pushing De-concentration system
(1942-1945)
applied
Proclamation Law No. 1/1945
Formally ended and former
19

Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 6

27
of
independence
(1948-1965)

decentralization laws and emphasing
on De-concentration function.

Emphasis on Decentralisation and the
increasing role and assignment to the
Law No. 22/1948
Head of Regions (District and
provinces)
After
Law No. 1/1957
Emphasis on Deconcentration
Independence
Emphasis on Deconcentration. The
(1948-1965)
President Edict 6/1959 head of Regions appointed by the
Central Government.
Emphasis on Decentralisation. The
Law No. 18/1965
formation of Local Government.
New Order
The Central Domination over the
Era (1965Regions and application of pseudo
Law No. 5/1974
1998)
Decentralisation with a tight control.
Formally enhance a Devolution
Law No.22&25/1999 compare to the previous system and
Reform Era
the larger role of local governments.
(2001-now)
The Central Government give a bigger
Law No.32&33/2004 power to people of Region to chose
their leader.
Sumber: Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang:
UMM Press, 2008), hlm. 72.
Berdasarkan tabel 3 maka terlihat sebuah evolusi dimana sistem otonomi
daerah yang baru itu diajukan sebagai kelanjutan dari agenda politik otonomi
daerah yang lebih luas. Para perancang dari Undang-Undang yang baru itu
menganggap bahwa otonomi daerah akan sangat mendukung kebebasan daerah
untuk membangun pemerintahannya sendiri yang mandiri (self sustaining
government) dengan memperhatikan dan dengan mengikuti prinsip konsultasi
dengan sistem pemerintahan pusat dan hak-hak tradisional di daerah istimewa
seperti yang dinyatakan oleh Undang-Undang Dasar 1945.20
Perubahan terhadap sistem otonomi daerah itulah yang pada akhirnya
menyebabkan perubahan pola komunikasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.

20

Ibid, hlm. 73.

28

Sebelum Desentralisasi

Sesudah Desentralisasi
Central
Governm
ent

Central
Governm
ent

Province
Province
Association

Regency/

Regency/

City

City

Association

Gambar 1. Pola Komunikasi Antara Pusat dan Daerah
Sumber: Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang:
UMM Press, 2008), hlm. 128.
Selain adanya perubahan komunikasi seperti yang terlihat pada gambar 1,
sistem otonomi daerah ini juga kemudian memberikan dampak terhadap adanya
perubahan pola baru hubungan pemerintah dan masyarakat.
Sebelum Desentralisasi
Central
Gov.

Sesudah Desentralisasi
Central
Gov.

Local
Government

Citizen/NG

Gov.

Os

Agency

Citizen/NG

Gov.

Os

Agency

Gambar 2. Pola Baru Hubungan Pemerintah dan Masyarakat
Sumber: Said M. Mas‟ud, Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia (Malang:
UMM Press, 2008), hlm. 134.

29
Sistem otonomi daerah ini pada dasarnya menghendaki adanya peningkatan
partisipasi masyarakat karena dengan otonomi daerah, kebijakan yang diambil
pemerintah daerah akan lebih dekat dengan masyarakatnya. Bukti-bukti mengenai
meningkatnya partisipasi masyarakat ditunjukkan oleh meningkatnya akses publik
ke pemerintah daerah dalam bentuk berkembangnya ruang publik yang bersamaan
dengan menurunnya keterlibatan militer dalam urusan pemerintah.21
Khususnya di Kabupaten Kuningan, keberadaan otonomi daerah telah
banyak mempengaruhi berjalannya roda pemerintahan. Pola-pola perilaku antar
komponen di masyarakatpun kemudian mengalami perubahan. Dengan adanya
otonomi daerah ini kemudian masyarakat, melalui arahan pemerintah daerah,
dituntut untuk berperan aktif dalam mengusahakan kebutuhannya sendiri dengan
cara mengembangkan potensi-potensi daerahnya tersebut.

Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity)
dan Korupsi
Secara sederhana, korupsi telah dianggap sebagai salah satu bentuk
perburuan rente (rent seeking). Ini dipandang sebagai sarana khusus oleh pihak
swasta maupun pemerintah yang berusaha untuk mengejar kepentingan dalam
kompetisi untuk perlakuan istimewa. Dalam kasus seperti ini, biasanya perilaku
perburuan rente kemudian diikuti oleh perilaku korupsi berupa penyalahgunaan
jabatan (abuse of power). Namun demikian, tidak semua korupsi itu adalah
perilaku perburuan rente, dan tidak semua perilaku perburuan rente adalah
korupsi.22 Dalam makna korupsi yang mencakup peburuan rente ekonomi maka
dapat dipahami bahwa korupsi dapat terjadi karena perilaku perburuan rente dari
badan pemerintah dan perusahaan yang berusaha membuat kebijakan/regulasi dari
sebuah proses politik yang pada akhirnya menciptakan peluang untuk korupsi23.
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah penjelasan mengenai aktivitas ekonomi
perburuan rente dan korupsi.

Aktivitas ekonomi perburuan rente (Rent Seeking Economy Activity)
Rente merupakan sebuah kegiatan yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, karena pada dasarnya rente adalah proses seseorang mendapatkan
keuntungan setelah melakukan suatu aktivitas ekonomi baik berupa penyewaan
(rent), menanamkan modal, maupun dengan menjual tenaga dan jasanya (upah).
Hal ini sesuai dengan teori ekonomi klasik yang memandang bahwa rente sebagai
sebuah aktivitas positif yang dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan24.
21

Ibid, hlm. 137.
Airin Nuraini, Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia: Studi
Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011, Tesis,
Pasca Sarjana IPB, 2013, hlm. 47.
23
Riyanto, Korupsi dalam Pembangunan Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan Budaya,
Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, hlm. 14-15.
24
Ahmad Erani Yustika, Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi (Malang:
Bayumedia Publishing, 2010), hlm. 140
22

30
Namun demikian, makna aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking
economy activity) dimaknai sebagai sebuah aktivitas ekonomi yang negatif karena
menurut asumsi awal yang dibangun dari teori ekonomi politik, menyebutkan
bahwa setiap kelompok kepentingan (self interest) berupaya untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya (effort) yang sekecilkecilnya25. Melalui asumsi awal yang dibangun itulah maka bisa dianalisis
mengenai perilaku para pelaku ekonomi, baik pengusaha, politisi, dan kelompok
kepentingan yang kemudian menggunakan proses lobi untuk menggapai
keuntungan yang sebesar-besarnya. Melalui lobi inilah maka akan berdampak
pada proses pengambilan keputusan khususnya di dalam pemerintahan. Proses
para pelaku ekonomi, baik secara individu maupun kelompok, untuk
meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah itulah yang
kemudian di dalam ilmu ekonomi politik disebut sebagai kegiatan mencari rente
(rent seeking)26. Namun demikian, perilaku perburuan rente juga bukan hanya
dimiliki oleh pihak pengusaha, tapi juga pemerintah (eksekutif/birokrasi dan
legislatif)27.
Hal yang kemudian menarik untuk dianalisis adalah mengenai penyebab
adanya rent seeking economy activity yaitu mengenai adanya halangan masuk
(barrier to entry) bagi pelaku ekonomi dalam meningkatkan persaingan
(competition). Adanya halangan masuk inilah yang akan mengakibatkan setiap
pelaku bisnis untuk berupaya sekuat tenaga memengaruhi pemerintah atau pihak
lain yang dianggap bisa membantunya untuk memasuki pasar28. Oleh karena itu,
untuk mencegah munculnya pemburu rente, salah satunya adalah dengan
membuat regulasi yang memungkinkan pasar berjalan sempurna, yakni melalui
peniadaan halangan masuk bagi pelaku ekonomi dan peningkatan persaingan29.
Namun demikian, perilaku aktivitas ekonomi perburuan rente juga dilakukan oleh
pihak pemerintah. Hal ini disebabkan karena mahalnya biaya politik yang
dikeluarkan untuk keperluan kampanye partai politik. Sumber-sumber pendanaan
yang berasal dari subsidi negara ataupun sumbangan korporasi adalah sesuatu
yang patut untuk dicurigai karena membuka peluang bagi praktik-praktik yang
merupakan daerah abu-abu/koruptif. Secara implisit, asumsi dari pendapat ini
adalah bahwa politisi-politisi dari partai politik adalah berkarakter sebagai rent
seeker yang selalu bertujuan memperkaya diri sendiri.30
Kasus yang terjadi di Indonesia, misalnya dalam pemerintahan Orde Baru,
kegiatan rent seeking tersebut bisa ditelusuri dari persekutuan bisnis besar dengan
birokrasi pemerintah sehingga menimbulkan keuntungan seperti monopoli
maupun lisensi impor. Hal lain yang terjadi kemudian adalah penguasaan terhadap
perusahaan perusahaan swasta yang sebagaian besar dikuasai oleh mereka yang
memiliki hubungan pribadi khususnya dengan elit pemerintah31. Munculnya
penyimpangan dalam proses perekonomian di Indonesia terutama pada masa Orde
25

Ibid, hlm. 140.
Ibid, hlm. 140.
27
Nuraini, op. cit., hlm. 41.
28
Yustika, op. cit., hlm. 144.
29
Buchanan dalam Ahmad Erani Yustika, hlm. 144
30
Nuraini, op. cit., hlm. 42-43.
31
Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992 (Jakarta:
Gramedia, 2008), hlm. 189
26

31
Baru diakui karena tidak adanya kontrol yang kuat dari masyarakat. Dalam kata
lain, peran civil society pada saat itu masih lemah32.
Namun demikian, setelah berakhirnya masa Orde Baru dan semakin
terbukanya arus informasi kepada masyarakat, semakin memudahkan masyarakat
dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah melalui kebijakankebijakan yang dikeluarkannya. Keadaan seperti ini pada akhirnya semakin
menguatkan keberadaan civil society di masyarakat yang kemudian secara
langsung atau tidak langsung berdialog dengan pemerintah mengenai kebijakankebijakan yang dikeluarkannya sehingga kegiatan pencarian rente ini akan bisa
dikurangi.
Penguatan dari civil society (selain penghapusan barrier to entry dan
meningkatkan persaingan) inilah yang kemudian harus diusahakan di setiap
wilayah pemerintahan daerah sehingga akan tercipta good governance yang
kemudian berimplikasi kepada semakin baiknya pelayanan yang dihasilkan guna
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Korupsi
Korupsi merupakan sebuah permasalahan serius di dalam sebuah
masyarakat. Dengan adanya permasalahan korupsi maka akan timbul
ketidakadilan ekonomi karena hal ini akan menyebabkan terakumulasinya
sumberdaya hanya pada segelintir orang saja. Dengan demikian, distribusi
sumberdaya ekonomi tidak sampai kepada seluruh masyarakat. Fenomena hal
seperti inilah kemudian pada akhirnya bukan saja akan merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, tetapi juga menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Pada
akhirnya, kegiatan korupsi ini akan menyebabkan sumberdaya yang tidak
produktif sehingga aka