Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara.

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

SKRIPSI

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH PADA PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA

DI SUMATERA UTARA

OLEH:

NAMA : MARSAULINA L. TOBING

NIM : 040503102

DEPARTEMEN : AKUNTANSI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara”.

Adalah benar hasil karya sendiri dan judul yang dimaksud belum pernah dimuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain dalam konteks penulisan skripsi level Program Reguler S-1 Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Semua sumber data dan informasi yang diperoleh telah dinyatakan dengan jelas, benar apa adanya. Dan apabila di kemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh universitas.

Medan, 29 Maret 2008 Yang membuat pernyataan

Marsaulina L. Tobing NIM : 040503102


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji , hormat, syukur dan kemuliaan bagi Tuhan Yesus Kristus atas kelimpahan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan pada Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi.

Skripsi ini penulis persembahkan terutama untuk kedua orangtua penulis. Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada orangtua yang selalu memberikan dukungan, semangat, bimbingan, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini baik secara moril maupu n materi yaitu: 1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, MEc, selaku Dekan Fakultas Ekonomi

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Arifin Akhmad, M.Si, Ak selaku Ketua Departemen Akuntansi dan Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc,Ak, selaku Sekretaris Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu DR. Erlina, SE, M.Si,Ak, selaku dosen pembimbing yang telah banyak

memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(4)

4. Bapak Drs. Idhar Yahya, MBA, Ak selaku dosen pembanding I/ penguji yang telah banyak memberikan arahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Hasan Sakti Siregar, M.Si, Ak selaku dosen pembanding II/ penguji yang telah banyak memberikan arahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak DR. Syafruddin Ginting, SE, MAFIS, Ak selaku dosen wali penulis, seluruh dosen Fakultas Ekonomi khususnya Departemen Akuntansi yang telah memberi banyak ilmu, nasehat dan arahan pada penulis selama masa perkuliahan, serta seluruh Staff dan Pegawai Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

7. Kedua orang tua tercinta K. Tobing dan N. Br Hutapea, dan kepada Oppung tercinta T. Br Sitorus yang telah mencurahkan kasih sayang, pengorbanan, dukungan serta doa yang diberikan kepada penulis.

8. Adik-adikku yang terkasih Joni Tobing, Meliana Tobing, Jefri Tobing, Vina Tobing yang selalu memberikan dukungan dan dorongan semangat yang tak pernah habis-habisnya sampai saat ini.

9. Tulang dan tante yang sangat mengasihiku, keluarga tulang Sharon, keluarga tante Indri, Tante Flora , yang selalu memberi semangat dan mendukung penulis dengan doa.

10.Sahabat- sahabatku di UKM KMK USU Unit Pelayanan FE, Pemimpin cell group penulis Susanna Simatupang, SE, Romeylinda, SE, Korry Siahan, SE yang terus-menerus mendukung dan memberikan teladan yang baik,


(5)

teman-teman KTB ku ( Elvina, Maria, Marselina, Adelina) yang selalu memberi semangat dan banyak membantu penulis, serta adik-adik kelompok kecil yang sangat aku sayangi dan banggakan (Nelly, Pretty, Magdalena, Mawar, Parulian) tempat penulis berbagi dalam segala hal, dan yang selalu mendukung penulis di dalam doa.

11.Sahabat-sahabat terbaikku di Akuntansi 2004 (Septin, Mahyuni, Tiurmaida, Esra, Elvirita, Minarti,) yang saling berbagi, dorongan semangat, dan dukungan yang sangat besar kepada penulis, dan juga buat semua teman-teman seperjuangan Akuntansi 2004.

12.Sahabat-sahabatku di P.D. Maranatha, koordinasi PD. Maranatha periode 2007/2008, terkhusus buat Isabella yang banyak membantu penulis.

13.Teman-teman kos di Jl. Harmonika N0. 50 Padang Bulan terkhusus buat Juanawati, dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, atas setiap bantuan, dukungan dan doanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan penulis, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam penulisan ke depan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Medan, 29 Maret 2008 Penulis

Marsaulina L. Tobing NIM : 04503102


(6)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang ada tidaknya perbedaan kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara sebelum dan sesudah otonomi daerah dengan menggunakan rasio kemampuan pembiayaan, mobilisasi daerah, tingkat ketergantungan, dan desentralisasi fiskal. Data yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan daerah adalah laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dua tahun sebelum otonomi daerah (tahun 1998/1999 dan 1999/2000), dan dua tahun pada masa otonomi daerah ( tahun 2003 dan 2004). Pengujian data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik yaitu analisis Kolmogorov- Smirnov, uji berperingkat Wilcoxon, dan uji t untuk dua sampel berpasangan.

Hasil dari uji t untuk dua sampel berpasangan menghasilkan t hitung kemampuan pembiayaan 3, 809, sedangkan t tabel 2,178813 (t hitung > t tabel), sehingga menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan pembiayaan sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasil dari uji t untuk dua sampel berpasangan menghasilkan t hitung mobilisasi daerah 2, 658, sedangkan t tabel 2,178813 (t hitung > t tabel), sehingga menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk mobilisasi daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasil dari uji t untuk dua sampel berpasangan menghasilkan t hitung tingkat ketergantungan 4, 719 sedangkan t tabel 2,178813 (t hitung > t tabel), sehingga menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk tingkat ketergantungan sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasil uji berperingkat Wilcoxon untuk desentralisasi fiskal menghasilkan nilai Asymp.Sig.(2-tailed) 0,152, sedangkan taraf nyata 0,05 (Asymp.Sig.(2-tailed) > taraf nyata), sehingga menunjukkan tidak ada perbedaan desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Keywords: Otonomi daerah, rasio kemampuan pembiayaan, mobilisasi daerah, tingkat ketergantungan, desentralisasi fiskal.


(7)

ABSTRACT

The objective of this research is to get empirical evidence whether or not have differences in financial performance of regency/city government in North Sumatera that is before and after territory autonomy by using funding capability, territory mobilization, degree of dependence, and degree of fiscal decentralization. The data which is use to measure the territory financial performance is two years the report of realization revenue and expenditure territory budget before territory autonomy (1998/1999 and 1999/2000), and two years when territory autonomy (2003 and 2004). The analysis of the data used statistic analysis that is Kolmogorov-Smirnov, Wilcoxon, and Paired T Sample Test.

The result of Paired T Sample Test is T arithmetic of funding capability 3.809, and T table 2.178813 ( T arithmetic > T table), so it shows that financial performance of funding capability have differences before and after territory autonomy. The result of Paired T Sample Test is T arithmetic of territory mobilization 2.658, and T table 2.178813 ( T arithmetic > T table), so it shows that financial performance of territory mobilization have differences before and after territory autonomy. The result of Paired T Sample Test is T arithmetic degree of dependence 4.719, and T table 2.178813 ( T arithmetic > T table), so it shows that financial performance of degree dependence have differences before and after territory autonomy. The result of Wilcoxon is the Asymp. Sig. (2- tailed) of degree fiscal decentralization 0.152, and probability 0.05 (Asymp.Sig.(2-tailed) > probability), it shows that financial performance of degree of fiscal decentralization not have differences before and after territory autonomy.

Keywords : Territory autonomy, funding capability, territory mobilization, degree of dependence, degree of fiscal decentralization.


(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat penelitian ... 7

D. Kerangka Konseptual dan Hipotesis ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis... 10

1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 10

a. Pengertian Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ... 10

b. Pengelolaan Keuangan Daerah ... 10

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ... 22

2. Otonomi Daerah ... 30

a. Pengertian Otonomi Daerah ... 30

b. Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 31

c. Realita, Tantangan, dan Harapan Otonomi Daerah ... 36

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 39

BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Data Penelitian ... 41

C. Variabel Penelitian ... 41


(9)

E. Jadwal Penelitian ... 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN A. Data Penelitian ... 45

1. Gambaran Umum Propinsi Sumatera Utara ... 45

2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sebelum Otonomi Daerah ... 47

3. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sesudah Otonomi Daerah ... 49

4. Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara ... 50

B. Analisis Hasil Penelitian ... 53

1. Analisis Hasil... 53

2. Pembahasan Hasil Analisis ... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN


(10)

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1 : Realisasi APBD tahun 1998/1999... 47

Tabel 4.2 : Realisasi APBD tahun 1999/2000... 48

Tabel 4.3 : Realisasi APBD tahun 2003 ... 49

Tabel 4.4 : Realisasi APBD tahun 2004 ... 50

Tabel 4.5 : Kinerja Keuangan Daerah Dalam Bentuk Kemandirian ... 51

Tabel 4.6 : Kinerja Keuangan Daerah Dalam Bentuk Tingkat Ketergantungan ... 52

Tabel 4.7 : Kinerja Keuangan Daerah Dalam Bentuk Desentralisasi Fiskal ... 53

Tabel 4.8 : Test Of Normality ... 53

Tabel 4.9 : Hasil Uji Hipotesis Metode Paired T Test ... 55

Tabel 4.10 : Kesimpulan Hasil Uji Statistik ... 55


(11)

Nomor Judul Halaman

Gambar 1.1 : Kerangka Konseptual ... 8


(12)

Nomor Judul

Lampiran I : Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara Lampiran II : Nota Perhitungan Realisasi APBD tahun 1998/1999 Lampiran III : Nota Perhitungan Realisasi APBD tahun 1999/2000 Lampiran IV : Nota Perhitungan Realisasi APBD tahun 2003 Lampiran V : Nota Perhitungan Realisasi APBD tahun 2004 Lampiran VI : Analisis Normalitas Data

Lampiran VII : Wilcoxon Signed Ranks Test Lampiran VIII : Paired Sample Statistics Lampiran IX : Paired Sample Test


(13)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang ada tidaknya perbedaan kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota di Sumatera Utara sebelum dan sesudah otonomi daerah dengan menggunakan rasio kemampuan pembiayaan, mobilisasi daerah, tingkat ketergantungan, dan desentralisasi fiskal. Data yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan daerah adalah laporan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dua tahun sebelum otonomi daerah (tahun 1998/1999 dan 1999/2000), dan dua tahun pada masa otonomi daerah ( tahun 2003 dan 2004). Pengujian data dilakukan dengan menggunakan analisis statistik yaitu analisis Kolmogorov- Smirnov, uji berperingkat Wilcoxon, dan uji t untuk dua sampel berpasangan.

Hasil dari uji t untuk dua sampel berpasangan menghasilkan t hitung kemampuan pembiayaan 3, 809, sedangkan t tabel 2,178813 (t hitung > t tabel), sehingga menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan pembiayaan sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasil dari uji t untuk dua sampel berpasangan menghasilkan t hitung mobilisasi daerah 2, 658, sedangkan t tabel 2,178813 (t hitung > t tabel), sehingga menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk mobilisasi daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasil dari uji t untuk dua sampel berpasangan menghasilkan t hitung tingkat ketergantungan 4, 719 sedangkan t tabel 2,178813 (t hitung > t tabel), sehingga menunjukkan ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk tingkat ketergantungan sebelum dan sesudah otonomi daerah. Hasil uji berperingkat Wilcoxon untuk desentralisasi fiskal menghasilkan nilai Asymp.Sig.(2-tailed) 0,152, sedangkan taraf nyata 0,05 (Asymp.Sig.(2-tailed) > taraf nyata), sehingga menunjukkan tidak ada perbedaan desentralisasi fiskal sebelum dan sesudah otonomi daerah.

Keywords: Otonomi daerah, rasio kemampuan pembiayaan, mobilisasi daerah, tingkat ketergantungan, desentralisasi fiskal.


(14)

ABSTRACT

The objective of this research is to get empirical evidence whether or not have differences in financial performance of regency/city government in North Sumatera that is before and after territory autonomy by using funding capability, territory mobilization, degree of dependence, and degree of fiscal decentralization. The data which is use to measure the territory financial performance is two years the report of realization revenue and expenditure territory budget before territory autonomy (1998/1999 and 1999/2000), and two years when territory autonomy (2003 and 2004). The analysis of the data used statistic analysis that is Kolmogorov-Smirnov, Wilcoxon, and Paired T Sample Test.

The result of Paired T Sample Test is T arithmetic of funding capability 3.809, and T table 2.178813 ( T arithmetic > T table), so it shows that financial performance of funding capability have differences before and after territory autonomy. The result of Paired T Sample Test is T arithmetic of territory mobilization 2.658, and T table 2.178813 ( T arithmetic > T table), so it shows that financial performance of territory mobilization have differences before and after territory autonomy. The result of Paired T Sample Test is T arithmetic degree of dependence 4.719, and T table 2.178813 ( T arithmetic > T table), so it shows that financial performance of degree dependence have differences before and after territory autonomy. The result of Wilcoxon is the Asymp. Sig. (2- tailed) of degree fiscal decentralization 0.152, and probability 0.05 (Asymp.Sig.(2-tailed) > probability), it shows that financial performance of degree of fiscal decentralization not have differences before and after territory autonomy.

Keywords : Territory autonomy, funding capability, territory mobilization, degree of dependence, degree of fiscal decentralization.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak 1 Januari 2001, Republik Indonesia menerapkan otonomi daerah yang didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang “ Pemerintah Daerah” dan UU No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 33 tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 32 tahun 2004 pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor” sedangkan pemerintah propinsi sebagai ”koordinator”. Kebijakan penerapan otonomi daerah merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia. Otonomi daerah merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, telah terjadi pelimpahan kewenangan yang luas kepada pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan fungsi pemerintah daerah. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dari pemerintah


(16)

pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.

Dalam era otonomi daerah sekarang ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui pendapatan asli daerah. Otonomi menuntut kemandirian daerah dalam berbagai bidang , termasuk kemandirian dalam membiayai pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Oleh karena itu daerah dituntut untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sendiri untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pusat.

Tuntutan peningkatan pendapatan asli daerah semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah disertai pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) ke daerah dalam jumlah besar. Sementara, sejauh ini dana perimbangan yang merupakan transfer keuangan oleh pusat kepada daerah dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah, meskipun jumlahnya relatif memadai yakni sekurang-kurangnya sebesar 25 persen dari Penerimaan Dalam Negeri


(17)

dalam APBN, namun daerah harus lebih kreatif dalam meningkatkan pendapatan asli daerahnya untuk meningkatkan akuntabilitas dan keleluasaan dalam pembelanjaan anggaran pendapatan belanja daerahnya.

Sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial harus digali secara maksimal, namun tentu saja di dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, karena memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Bagi daerah yang tidak memiliki potensi yang memadai, kebijakan tersebut sangat memberatkan karena akan kesulitan dalam membiayai belanja mereka. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah itu sendiri. Mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya.

Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan


(18)

aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan potensi daerah yang bersangkutan.

Kaho (1998:123) mengatakan bahwa salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri adalah kemampuan self-supporting di bidang keuangan. Keuangan merupakan hal yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah melaksanakan otonominya. Kemampuan daerah dimaksud sampai dalam arti seberapa jauh daerah dapat menggali sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhannya tanpa harus selalu menggantungkan diri pada bantuan dan subsidi pemerintah.

Sebelum era otonomi harapan yang besar dari pemerintah daerah untuk dapat membangun daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan (Mardiasmo, 2002). Pada saat ini yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan pendapatan asli daerah (PAD) dalam membiayai belanja daerah. Pendapatan asli daerah dapat dipandang sebagai indikator untuk mengukur ketergantungan suatu daerah kepada pemerintah pusat yang pada prinsipnya adalah semakin besar sumbangan pendapatan asli daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) akan menunjukkan semakin kecilnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Pendapatan asli daerah yang merupakan sumber penerimaan dari daerah itu sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat membantu dan memikul sebagian beban biaya untuk penyelengaraan pemerintahan dan kegiatan


(19)

pembangunan yang semakin meningkat. Hal ini akan menunjukkan bahwa kemandirian dan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab dapat dilaksanakan. Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian ( Saragih, 2003)

Berdasarkan data dari PAD dalam APBD seluruh daerah kabupaten dan kota di Sumatera Utara selama 5 tahun ( 1995/1996 – 1999/2000), peranan PAD masih relatif kecil terhadap APBD. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi rata-rata PAD terhadap APBD hanya sebesar 10,55%. Dari rata-rata kontribusi tersebut, hanya dua daerah kabupaten/kota yang kontribusi rata-rata pendapatan asli daerahnya yang berada diatas rata-rata yaitu kota Medan sebesar 31,45 % dan kota Pematang Siantar 18,07%. Rata-rata kontribusi pajak daerah terhadap PAD pada kabupaten/kota di Sumatera Utara sebelum otonomi daerah sebesar 47% dan setelah otonomi daerah menurun menjadi 41%. Rata-rata kontribusi PAD terhadap belanja rutin non pegawai sebelum otonomi daerah sebesar 42% dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan menjadi 26%. Rata-rata kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah sebelum otonomi daerah sebesar sebesar 7,6% dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan menjadi 4,5%. Rata-rata tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/kota di Sumetera Utara sebesar 72% dan setelah otonomi daerah mengalami penurunan menjadi 45%. Peranan PAD terhadap belanja rutin pada tahun 1998/1999 dan 1999/2000 adalah 11,7 %


(20)

dan 10,6%, sedangkan setelah otonomi daerah yaitu tahun 2003 dan 2004 sebesar 7,35 dan 7,8%.

Rendahnya PAD dalam struktur penerimaan daerah disebabkan karena sumber-sumber yang masuk dalam kategori PAD umumnya bukan sumber potensial bagi daerah. Sumber-sumber potensial di daerah sudah diambil oleh pusat sebagai sumber penerimaan pusat, sehingga yang tersisa di daerah hanya sumber-sumber yang kurang potensial, seperti pajak reklame, penerangan jalan, hotel dan restoran dan sebagainya. Peranan PAD masih sangat kecil sehingga penerimaan pemerintah daerah baik secara langsung maupun tidak langsung sangat tergantung pada transfer dari pemerintah pusat. Ketergantungan yang tinggi terhadap penerimaan dari pusat dan rendahnya peranan PAD dalam penerimaan daerah mengakibatkan rendahnya kemampuan PAD dalam membiayai pengeluaran daerah. Berdasarkan kondisi diatas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan suatu kajian terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten / kota sebelum dan sesudah otonomi daerah. Sehingga penulis membahasnya dalam skripsi yang berjudul “ Analisis Kinerja Keuangan Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah Pada Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara”.

B. Perumusan Masalah

Sesuai uraian yang terdapat pada latar belakang masalah dan topik yang penulis pilih untuk diteliti, maka penulis membuat perumusan masalah :


(21)

1. Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan pembiayaan daerah pemerintah kabupaten/ kota sebelum dan sesudah otonomi daerah?

2. Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan mobilisasi daerah pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah?

3. Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk ketergantungan pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah?

4. Apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk desentralisasi fiskal pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan:

1. Kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan pembiayaan daerah pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah.

2. Kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan mobilisasi daerah pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah.

3. Kinerja keuangan dalam bentuk ketergantungan pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah.

4. Kinerja keuangan dalam bentuk desentralisasi fiskal pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah.


(22)

b. Manfaat penelitian

1. Bagi penulis, sebagai bahan masukan dan menambah pengetahuan penulis dalam melakukan penelitian terhadap kinerja keuangan daerah.

2. Bagi instansi pemerintah kabupaten/ kota, memberikan informasi mengenai kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah.

3. Bagi pihak lain, sebagai bahan masukan bagi penelitian yang sejenis dan bacaan yang bermanfaat untuk menambah pengetahuan khususnya mengenai kinerja keuangan pemerintah kabupaten/kota sebelum dan sesudah otonomi daerah.

D. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual

Keuangan daerah Keuangan daerah

sebelum otonomi setelah otonomi

Dibandingkan 2. Hipotesis

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Keterangan bagan:

Pada pemerintah kabupaten/ kota di Sumatera Utara, data yang dipakai adalah Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemudian

Kinerja keuangan : a.Rasio kemampuan

pembiayaan b.Rasio kemampuan

mobilisasi daerah c.Rasio tingkat

ketergantungan pemerintah kabupaten/ kota d.Rasio desentralisasi

fiskal

Kinerja keuangan : a.Rasio kemampuan

pembiayaan b.Rasio kemampuan

mobilisasi daerah c.Rasio tingkat

ketergantungan

pemerintah kabupaten/ kota

d.Rasio desentralisasi fiskal


(23)

dari APBD ini diambil data-data yang diperlukan atau yang dipakai dalam penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan memakai rasio kinerja keuangan daerah yaitu: rasio kemampuan pembiayaan, rasio kemampuan mobilisasi daerah, rasio tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/ kota, rasio desentralisasi fiskal. Kemudian rasio- rasio tersebut akan dibandingkan antara sebelum dan sesudah otonomi daerah.

2. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Jawaban yang diberikan didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

a : Ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan pembiayaan daerah pemerintahan kabupaten/kota sebelum dan setelah otonomi daerah.

b : Ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan mobilisasi daerah pemerintahan kabupaten/kota sebelum dan setelah otonomi daerah.

c : Ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk kemampuan mobilisasi daerah pemerintahan kabupaten/kota sebelum dan setelah otonomi daerah.

d : Ada perbedaan kinerja keuangan dalam bentuk desentralisasi fiskal pemerintah kabupaten/kota sebelum dan setelah otonomi daerah.


(24)

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Teoritis

1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

a. Pengertian kinerja Keuangan pemerintah Daerah

Kinerja (performance) menurut kamus akuntansi manajemen diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu sistem keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan sistem keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang- undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari sistem laporan pertanggungjawaban kepala daerah berupa perhitungan APBD.

b. Pengelolaan Keuangan Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.58 tahun 2005, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk


(25)

di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.58 tahun 2005, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi fiskal secara efektif dan efisien, salah satunya tergantung pada pengelolaan keuangan daerah.

Sejak Repelita I tahun 1967 sampai dengan pertengahan repelita IV tahun 1999, APBD di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31 Maret tahun berikutnya. Menurut UU No. 5 tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintah pusat. Bantuan keuangan dimaksud dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan yang diserahkan kepada pemerintah daerah dan subsidi kepada pemerintah daerah. Dalam pasal 55 Undang- Undang tersebut disebutkan tentang sumber pendapatan daerah otonom yaitu:

1. Pendapatan asli daerah yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan yang sah.

2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintah pusat yang terdiri dari sumbangan pemerintah pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. 3. Lain-lain penerimaan yang sah.

4. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah.


(26)

5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari pemerintah pusat untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas propinsi.

Sebelum adanya UU otonomi daerah, sistem penatausahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada kontribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi.

Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era sebelum otonomi daerah:

1. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja angsuran, sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain serta pengeluaran tidak tersangka.

2. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan, baik fisik maupun non fisik.

3. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barang/ jasa, belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang tertera dengan sistem digit. Namun dalam pelaksanaannya, setiap jenis belanja tersebut memiliki digit penutup dengan sebutan pengeluaran lain-lain yang tidak jelas pemanfaatan dan pertanggungjawabannya seperti belanja barang lain, pemeliharaan lain dan perjalanan dinas lain-lain.


(27)

4. Dalam komposisi belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan kepala daerah masing-masing.

Pembelanjaan belanja rutin dibelanjai dari kemampuan pendapatan asli daerah, dan belanja pembangunan didanai dari subsidi pemerintah pusat. Sebelum otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dilaksanakan, secara umum terdapat tiga jenis transfer di Indonesia yaitu

1. Subsidi daerah otonom (SDO)

Subsidi daerah otonom bertujuan untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah guna membantu menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan. Sebagian besar dana SDO digunakan untuk membiayai gaji pegawai pemerintah di daerah ( sekitar 95% dari total SDO). Sebagian kecil lainnya digunakan untuk keperluan selain pegawai, yaitu subsidi bagi pengeluaran rutin di bidang pendidikan dasar, ganjaran bagi pegawai pedesaan, subsidi untuk penyelenggaraan rumah sakit di daerah. SDO dapat dikategorikan sebagai transfer pusat yang bersifat khusus karena daerah tidak memiliki kewenangan dalam menetapkan penggunaan SDO, dan kegunaan dari transfer ini sudah ditetapkan pemerintah, yaitu membiayai belanja pegawai di daerah.


(28)

Bantuan inpres bertujuan untuk memberikan bantuan pembangunan daerah, baik yag bersifat umum maupun khusus yang diberikan atas instruksi presiden. Dasar pemberian bantuan tersebut adalah adanya penyerahan sebagian urusan kepada daerah dan terbatasnya kemampuan keuangan pemerintah daerah untuk membiayai urusan-urusan tersebut. Selain itu tujuan dari bantuan inpres adalah untuk mencapai pemerataan, terutama dalam hal kesempatan kerja, berusaha, berpartisipasi dalam pembangunan, dan distribusi hasil-hasil pembangunan.

3. Daftar isian proyek

Subsidi dan bantuan dapat dikategorikan sebagai bantuan antar tingkat pemerintahan karena menjadi bagian dari anggaran pemerintah daerah.

Dimulai sejak tahun anggaran 2001 sampai saat ini pendapatan dan belanja daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 januari dan berakhir 31 Desember. Pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan mendasar dengan ditetapkan UU No.32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004. Kedua UU tersebut telah memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah dalam menata sistem akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Kewenangan dimaksud diantaranya adalah keleluasan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan arah, tujuan dan target penggunaan anggaran.

Salah satu bagian penting dalam pengelolaan keuangan daerah adalah Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD). SAKD diperlukan untuk


(29)

mendukung akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Setiap penggunaan sumber keuangan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan baik dari aspek penanggungjawab penggunaan dana tersebut. Sistem pengelolaan keuangan daerah secara rinci diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk menyusun dan menetapkannya melalui Peraturan Daerah (Perda). Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan otonomi dan motivasi kepada masing-masing Pemerintah Daerah agar dapat menyusun sistem pengelolaan keuangan daerah yang efisien dan efektif dengan mengacu pada semangat desentralisasi, demokratisasi, keadilan, transparansi dan akuntabilitas yang sesuai dengan aspirasi dan kemampuan setiap daerah.

Terciptanya sistem pengelolaan keuangan daerah yang efisien dan efektif merupakan kebutuhan setiap pemerintah daerah untuk dapat mencapai kinerja yang optimal dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomis. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan mekanisme manajemen yang bertumpu pada dua dimensi yaitu perencanaan dan pengendalian.

Dalam sistem akuntansi keuangan daerah dapat menyusun laporan keuangan daerah yang meliputi laporan perhitungan APBD, laporan arus kas, neraca daerah, dan catatan atas laporan keuangan. Tujuan pelaporan keuangan daerah adalah :

a. Akuntabilitas

Mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepada unit organisasi


(30)

pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui laporan keuangan pemerintah secara periodik.

b. Manajerial

Menyediakan informasi keuangan yang berguna untuk perencanaan dan pengelolaan keuangan pemerintah serta memudahkan pengendalian yang efektif atas seluruh aset, hutang, dan ekuitas dana. c. Transparansi

Menyediakan informasi keuangan yang terbuka bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Asas umum pengelolaan keuangan daerah :

1. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat.

2. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.

Dibidang penerimaan daerah, menurut UU No. 33 tahun 2004 sumber penerimaan daerah :

1. Pendapatan asli daerah

Pendapatan asli daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan


(31)

daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peratuan perundang-undangan yang berlaku untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dana atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Menurut UU No. 33 tahun 2004 dalam upaya meningkatkan PAD, daerah dilarang untuk menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya yang tinggi dan menetapkan Peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan impor/ ekspor.

Upaya peningkatan PAD secara positif dalam pengertian bahwa keleluasaan yang dimiliki oleh daerah harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan PAD maupun untuk menggali sumber-sumber penerimaan baru tanpa membebani masyarakat dan tanpa menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Upaya peningkatan PAD tersebut harus dipandang sebagai perwujudan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat.

Peningkatan PAD dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1. Intensifikasi, melalui upaya:

a. Pendataan dan peremajaan objek dan subjek pajak dan retribusi daerah.


(32)

b. Mempelajari kembali pajak daerah guna mencari kemungkinan untuk dialihkan menjadi retribusi.

c. Menginstensifikasi penerimaan retribusi daerah yang ada.

d. memperbaiki prasarana dan sarana pungutan yang belum memadai. 2. Penggalian sumber-sumber penerimaan baru (ekstensifikasi)

Upaya penggalian sumber-sumber penerimaan diarahkan pada pemanfaatan potensi daerah yang memberikan kelebihan atau keuntungan secara ekonomis kepada masyarakat.

3. Peningkatkan pelayanan kepada masyarakat

Wujud dari layanan yang baik kepada masyarakat dan memuaskan berupa:

a. Adanya kemudahan dalam pengursan kepentingan dengan layanan yang cepat.

b. Memperoleh palayanan secara wajar.

c. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan d. Pelayanan yang jujur dan terus terang

Pada akhirnya diharapkan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat akan dapat meningkatkan pendapatan daerah yang akan didistribusikan kembali kepada masyarakat dalam wujud berupa pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.


(33)

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut UU No. 33 tahun 2004 adalah suatu sistem keuangan pemerintahan dalam negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan, dan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah sejalan dengan kewajiban, pembagian kewenangan dan tanggungjawab serta tata cara penyelenggaraan wewenang tersebut.

Dana perimbangan terdiri dari: a. Dana bagi hasil

Filosopi yang menjadi arah pelaksanaan dana bagi hasil adalah pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten/kota telah memiliki bagian yang telah ditentukan oleh perundang-undangan dari sumber daya alam. Selama kurang lebih tiga puluh tahun pusat telah mengeksploitasi hasil sumber daya alam di daerah tanpa memberikan dampak yang nyata terhadap pembangunan dan kesejahteraan rakyat di daerah. Berpegang kepada indikator-indikator kemakmuran umum diketahui bahwa sebagian besar daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam kurang menikmati kemakmuran. Salah satu motivasi desentralisasi adalah upaya agar daerah mendapatkan bagian dari kekayaan alam yang mereka miliki. Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak :

1. Pajak bumi dan bangunan


(34)

3. Pajak penghasilan pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh pasal 21

Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam yaitu: 1. Kehutanan

2. Pertambangan umum 3. Perikanan

4. Pertambangan minyak bumi 5. Pertambangan gas bumi 6. Pertambangan panas bumi

b. Dana alokasi umum

Dana alokasi umum betujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Menurut Soekarwo (2003:5), besarnya dana alokasi umum minimal 25% dari penerimaan dalam negeri bagi beberapa daerah dirasakan sangat kurang, tetapi sebagian daerah lain memandang dana alokasi umum telah dapat memenuhi kebutuhan daerah. Proporsi DAU antara daerah propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota. Dana ini dimaksudkan untuk menjaga pemerataan dan perimbangan keuangan antar daerah. Pembagian DAU dilakukan dengan memperhatikan:


(35)

1. Potensi daerah (PAD, PBB, BPHTB, dan bagian daerah dari penerimaan sumber daya alam).

2. Kebutuhan pembiayaan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

3. Tersedianya dana APBN.

Peruntukan DAU sebenarnya ditujukan untuk membiayai kegiatan pembangunan daerah, bukan untuk membiayai belanja pemerintah. Namun demikian terdapat kesalahan persepsi tentang peruntukan DAU yang digunakan untuk menutupi anggaran belanja pemerintah. Dasar yang menjadi pertimbangan pemberian dana kontijensi oleh pemerintah adalah APBD yang defisit dan tidak mencukupi untuk membiayai gaji pegawai yang sebelumnya menjadi tanggungjawab pusat, dan dengan kebijakan desentralisasi fiskal, gaji pegawai menjadi tanggung jawab daerah masing-masing.

c. Dana alokasi khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan tertentu, yaitu merupakan program nasional atau program/ kegiatan yang tidak terdapat di daerah lain. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar


(36)

masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.

Perhitungan DAK dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan beberapa kriteria, yaitu umum, khusus, dan teknis. Ketiga kriteria tersebut menjadi tolak ukur pemerintah dalam memformulasikan DAK yang akan diberikan kepada daerah. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Sedangkan kriteria khusus ditetapkan oleh kementrian negara/ departemen teknis. Tidak semua pembiayaan kegiatan khusus dialokasikan dari DAK, namun daerah yang bersangkutan wajib menyediakan dana sekurang-kurangnya 10% dari DAK yang dialokasikan dari APBD, dana tersebut diistilahkan sebagai dana pendampingan.

3. Lain-lain pendapatan

Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat, dan hibah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah. Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/ atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD.


(37)

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Menurut UU No. 33 tahun 2004, APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah, maka dalam APBD tergambar semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah dalam kurun waktu satu tahun. Selain sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah, APBD merupakan instrumen dalam rangka mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara.

Dari aspek pelaksanaan, pemerintah daerah dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan sistem kebijakan yang utama bagi Pemerintah Daerah.

Prinsip penyusunan APBD: 1. Partisipasi masyarakat

Partisipasi masyarakat mendukung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin


(38)

melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan APBD.

2. Transparansi dan akuntabilitas anggaran

APBD yang disusun harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis belanja serta kolerasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu, setiap penggunaan anggaran harus bertanggungjawab terhadap penggunaan sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan.

3. Disiplin anggaran

Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan antara lain:

a. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.

b. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggaran dalam APBD/ perubahan APBD.


(39)

c. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah.

4. Keadilan anggaran

Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Masyarakat yang memiliki kemampuan pendapatan rendah secara proporsional diberi beban yang sama, sedangkan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban yang tinggi pula. Untuk mempertimbangkan kedua kebijakan tersebut pemerintah daerah dapat melakukan perbedaan tarif secara rasional untuk menghilangkan rasa ketidakadilan. Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.

5. Efisiensi dan efektivitas anggaran

Dana yang tersedia harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran, dalam perencanaan anggaran perlu memperhatikan:

a. Tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat, serta indikator kinerja yang ingin dicapai.


(40)

b. Penetapan prioritas kegiatan dan penghitungan beban kerja, serta penetapan harga satuan yang rasional.

6. Taat azas

APBD sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah ditetapkan dengan peraturan daerah, memperhatikan:

a. APBD tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, mengandung arti bahwa apabila pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah tersebut telah sesuai dengan ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, atau peraturan/ keputusan/ surat edaran menteri yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksud mencakup kebijakan yang berkaitan dengan keuangan daerah.

b. APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum yang mengandung arti bahwa rancangan peraturan daerah tentang APBD lebih diarahkan agar mencerminkan keberpihakan kepada kebutuhan dan kepentingan masyarakat dan bukan membebani masyarakat. Peraturan daerah tidak boleh menimbulkan diskriminasi yang dapat mengakibatkan ketidakadilan, menghambat kelancaran arus barang dan petumbuhan ekonomi masyarakat, pemborosan keuangan negara/ daerah, memicu ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, dan


(41)

mengganggu stabilitas keamanan serta ketertiban masyarakat yang secara keseluruhan mengganggu jalannya penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

c. APBD tidak bertentangan dengan peraturan daerah lainnya, mengandung arti bahwa apabila kebijakan yang dituangkan dalam peraturan daerah tentang APBD tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sebagai konsekuensinya bahwa rancangan peraturan daerah tersebut harus sejalan dengan pengaturannya tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah dan menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan daerah lainnya, seperti Peraturan Daerah mengenai pajak daerah, retribusi daerah dan sebagainya.

Dalam proses perencanaan atau penyusunan APBD, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kinerja (performance budget) memuat:

1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja/ pengeluaran

2. Standar pelayanan yang diharapkan menurut perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan

3. Persentase dari jumlah pendapatan yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/ pembangunan.


(42)

1. Pendapatan daerah

Dalam kebijakan perencanaan pendapatan daerah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang menambah ekuitas dana lancar sebagai hak pemerintah daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.

b. Semua pendapatan daerah dianggarkan dalam APBD secara bruto, mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut dan/ atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/ daerah lain dalam rangka bagi hasil.

c. Pendapatan daerah merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.

2. Belanja daerah

Belanja yang dianggarkan dalam APBD, supaya mempedomani hal-hal sebagai berikut:

a. Belanja daerah diprioritaskan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan propinsi atau kabupaten/ kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.


(43)

b. Belanja dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. c. Belanja daerah disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang

berorientasi pada pencapaian hasil dari input yang direncanakan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas perencanaan anggaran serta memperjelas efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran.

d. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, pemerintah daerah supaya memberikan perhatian yang maksimal terhadap upaya peningkatan investasi di daerah, termasuk investasi bidang pendidikan. e. Penyusunan belanja daerah diprioritaskan untuk menunjang efektivitas

pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam rangka melaksanakan urusan daerah yang menjadi tanggungjawabnya.

3. Pembiayaan daerah

Pembiayaan disediakan untuk menganggarkan setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/ atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Penerimaan pembayaran:


(44)

b. Pencairan dana cadangan

c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan d. Penerimaan pinjaman daerah

e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman f. Penerimaan piutang daerah

g. Penerimaan kembali penyertaan modal (investasi) daerah Pengeluaran pembiayaan:

a. Pembentukan dana cadangan

b. Penyertaan modal pemerintah daerah c. Pembayaran pokok utang

d. Pemberian pinjaman daerah

e. Sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berjalan. Jika APBD mengalami surplus, maka dapat digunakan untuk :

a. Pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo b. Penyertaan modal (investasi daerah)

c. Transfer ke rekening dana cadangan

Jika APBD diperkirakan defisit, dapat didanai dari sumber pembiayaan daerah.

2. Otonomi Daerah

a. Pengertian Otonomi Daerah

Menurut Sarundajang (1998), otonomi (autonomy) berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan namous berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the


(45)

legal self sufficientcy of social body and is actual independence. Menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah, yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah.

b. Pelaksanaan Otonomi Daerah

Tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, yang secara serentak diberlakukan di seluruh propinsi di Indonesia. Widjaja (2004:65) mengatakan dengan diberlakukannya UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, mulai tanggal 1 Januari 2001 Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah memberikan petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan


(46)

dan pelaksanaan APBD. Menurut Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Negara Djoko Hidayanto (2004: 53), pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia efektif dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Menurut Direktur Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004:92), 1 Januari 2001 merupakan momentum awal yang mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia khususnya bagi penyelenggara pemerintahan di daerah, karena pada tahun tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan secara efektif. Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan pelaksanaan daerah dimulai tahun 2001 (Widjaja, 2004:100). Misi utama pelaksanaan otonomi daerah adalah :

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

2. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk

berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Konsep otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab dapat diterjemahkan bahwa pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi masyarakat di daerah masing-masing. Hal ini berarti dalam pelaksanaannya pemerintah daerah harus memiliki kemampuan untuk menangkap aspirasi masyarakat di daerahnya, kemudian kebutuhan aspirasi tersebut didefinisikan, selanjutnya pemerintah daerah berprakarsa untuk mengakomodasikan kebutuhan tersebut dalam


(47)

pembangunan daerah. Proses tersebut dilaksanakan secara transparan dengan melibatkan peran serta rakyat tanpa meninggalkan prisip-prinsip efisiensi dan efektivitas, sehingga pemerintah daerah dapat mempertanggungjawabkan kewenangan tersebut kepada masyarakat. Dalam otonomi yang demikian, daerah memiliki keleluasaan yang bulat dan utuh dalam penyelenggaraan pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang utuh dan bulat tersebut harus dipertanggungjawabkan secara utuh kepada masyarakat.

Secara umum UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah banyak membawa kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat karena daerah telah banyak membawa kemajuan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat . Pemerintah daerah setempat diberi wewenang yang luas untuk mengelola kekayaan daerah guna dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Namun dalam pelaksanaannya, telah menimbulkan dampak negatif berupa timbulnya kepala daerah sebagai raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, serta tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan di atasnya. Dengan dimilikinya wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah, terbuka peluang untuk tumbuhnya korupsi, kolusi, nepotisme ( KKN) di daerah, sengketa antar daerah baik sengketa kewenangan maupun sengketa wilayah (perbatasan). Maka dilakukan penyempurnaan UU No. 22 tahun 1999 yang bertujuan untuk memperbaiki kelemahan- kelemahan yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Penyempurnaan dilakukan melalui UU No.32 tahun 2004.


(48)

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 lebih memperjelas dan mempertegas hal-hal yang sudah diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 terutama mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, antara propinsi dengan kabupaten/kota serta antar sesama daerah. Perubahan yang cukup signifikan dengan diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 adalah pemilihan kepala daerah secara langsung.

Hakikat otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan menjalankan sendiri apa yang menjadi bagian atau wewenangnya. Otonomi daerah di Indonesia adalah pelimpahan sebagian wewenang dari pusat ke daerah untuk mengurus dan menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Otonomi daerah tidak merupakan pendelegasian wewenang, melainkan pemberian atau pelimpahan wewenang. Penerima wewenang mempunyai otoritas penuh untuk mengatur dan menjalankannya sesuai dengan caranya masing-masing.

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan daerah dimulai tahun 2001. Memaksimalkan hasil-hasil yang akan dicapai dan menghindari kerumitan dan hal-hal yang dapat menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat terjawab secara nyata dengan penerapan otonomi daerah yang luas dan kelangsungan pelayanan umum tidak diabaikan.

Pelaksanaan otonomi daerah tidak hanya dilihat dari seberapa besar daerah akan memperoleh dana perimbangan, tetapi harus diimbangi dengan upaya-upaya nyata, agar sistem pengelolaan keuangan daerah, mampu memberikan nuansa


(49)

manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan bertanggung jawab. Pada dasarnya, kebijakan otonomi daerah diarahkan pada:

1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur daerah.

2. Kesetaraan hubungan antara pusat dan pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.

3. Menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai hak :

1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya 2. Memilih pimpinan daerah

3. Mengelola aparatur daerah 4. Mengelola kekayaan daerah

5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah

6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah

7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lainnya yang sah

8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan

Berdasarkan UU No. 33 tahun 2004 dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah mempunyai kewajiban:


(50)

1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 3. Mengembangkan kehidupan demokrasi. 4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan. 5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan 6. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. 7. Melestarikan lingkungan hidup

8. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.

Ciri utama yang menunjukkan bahwa suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan daerah mengurus rumah tangganya sendiri dengan mengandalkan kemampuan keuangan daerah sendiri. Kondisi ini merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal dimana suatu daerah harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerahnya. Ketergantungan kepada pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar atau dominan, yang didukung oleh kebijaksanaan perimbangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.


(51)

Kondisi Indonesia pada saat ini, terdapat jurang-jurang kesenjangan sosial dan ketimpangan antar daerah yang memerlukan banyak usaha untuk merekatkan kembali rasa persatuan dan kesatuan dalam kebersatuan dan kebersamaan yang hakiki, dan rasa kebangsaan dan solidaritas sesama. Tantangan yang berkembang adalah bahwa perubahan dari rezim otoriter sentralistik menuju otonomi demokratik memerlukan kesabaran, kepeloporan, keteladanan para pemimpin. Ditengah-tengah turbulensi arus kepentingan memang diperlukan kepemimpinan yang efektif, manajemen yang efisien dan yang penting adalah paradigma dan visi arah pembangunan yang jelas, yaitu kepentingan rakyat banyak.

Konsep desentralisasi dan otonomi daerah masih terfokus untuk menata dan mempercepat pembangunan di wilayah masing-masing. Hal ini dirasakan belum cukup efisien dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No.32 tahun 2004, setiap pemerintah kabupaten/kota sebagai daerah otonom dituntut mampu menyediakan pelayanan publik yang optimal dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah juga meningkatkan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mencari alternatif-alternatif solusi yang inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Pemerintah daerah dituntut untuk lebih memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas pelayanan publik dalam berbagai bidang.


(52)

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah.

Melalui otonomi, diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu melaksanakan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatannya dan mampu menetapkan belanja daerah secara ekonomis, efisien, serta efektif termasuk perangkat daerah meningkatkan kinerja, mempertanggungjawabkan kepada pemerintah atasannya maupun kepada publik. Harapan yang harus diupayakan adalah otonomi yang dapat memperkokoh kedaulatan rakyat atas dasar keadilan dan yang dapat melestarikan kemampuan sumber daya untuk generasi mendatang menuju pembangunan berkelanjutan.

Masalah kemampuan keuangan daerah merupakan suatu dilema bagi daerah otonom. Di satu pihak, dengan prinsip otonomi daerah, undang-undang mewajibkan daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya


(53)

sendiri, baik untuk urusan rutin maupun tugas-tugas dalam pembangunan daerah. Tetapi di pihak lain, justru pembiayaan urusan rutin rumah tangga daerah otonom ini yang harus dibantu oleh pemerintah pusat. Kewajiban otonomi tersebut membutuhkan biaya yang seharusnya disediakan sendiri oleh daerah dari sumber keuangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat dan sumber lain yang ada di daerah.

Potensi ekonomi daerah sangat menentukan dalam usaha meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggaraan rumah tangganya. Sekarang banyak ditemukan bahwa antara beban tugas yang harus dikerjakan oleh daerah tidak seimbang atau tidak konsisten serta situasi keuangan daerah itu sendiri. Selama ini upaya-upaya pengoptimalan potensi daerah sering terkendala oleh terbatasnya sumber daya, dana dan teknologi, terutama dalam menyediakan pelayanan bagi masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan antar daerah, dan wilayah dengan tingkat urbanisasi dan ekonomi yang tinggi.

B. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Wirawan Setiaji (Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana), melakukan penelitian mengenai peta kemampuan keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi daerah studi pada kabupaten dan kota se-Jawa- Bali. Data yang ingin diperoleh peneliti adalah data mengenai seberapa besar peran PAD dalam membiayai belanja daerah sebelum diberlakukannya otonomi daerah (tahun 1999 dan 2000) dan sesudah diberlakukannya otonomi daerah (tahun 2001 sampai tahun 2004). Parameter yang digunakan adalah perhitungan dan analisis kinerja


(54)

PAD melalui ukuran share dan growth, melakukan pemetaan dan analisis kemampuan keuangan daerah dengan metode kuadran. Penelitian ini membuktikan bahwa adanya perbedaan kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah.

Bambang Haryadi (2002), melakukan penelitian tentang pengaruh fiskal stress terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupaten/ kota dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah ( suatu kajian empiris di propinsi Jawa Timur). Periode APBD yang menjadi pengamatan penelitian adalah periode dua tahun sebelum terjadi krisis ekonomi tahun anggaran 1995/ 1996, 1997/1998, dan periode setelah krisis ekonomi yaitu tahun anggaran 1998/ 1999, 1999/ 2000. Rasio yang dipakai untuk mengukur kinerja keuangan adalah tingkat kemandirian pembiayaan, tingkat ketergantungan, desentralisasi fiskal. Dari uji tingkat kemampuan pembiayaan menunjukkan bahwa periode sebelum krisis ekonomi relatif lebih besar dibandingkan sesudah krisis ekonomi. Kemampuan mobilisasi daerah semakin membaik sesudah krisis ekonomi jika dibandingkan dengan sebelum krisis ekonomi. Setelah krisis ekonomi tingkat ketergantungan pemerintah kabupaten/ kota semakin menurun jika dibandingkan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Tingkat desentralisasi fiskal semakin menurun setelah terjadinya krisis ekonomi.


(55)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah penelitian komparatif. Menurut sugiyono (2004 : 11) “penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat membandingkan”. B. Data Penelitian

Data penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari laporan statistik keuangan pemerintah kabupaten propinsi Sumatera Utara yang diterbitkan oleh kantor statistik BPS Propinsi Sumatera Utara. Periode realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang menjadi pengamatan penelitian adalah periode dua tahun sebelum otonomi daerah (tahun anggaran 1998/1999 dan 1999/2000) dan dua tahun pada periode otonomi daerah (tahun 2003 dan tahun 2004)

C. Variabel Penelitian

Menurut Haryadi (2002) variabel yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah :

1. Tingkat kemandirian pembiayaan

Ukuran ini untuk menguji tingkat kekuatan kemandirian pemerintah kabupaten dan kota dalam membiayai APBD setiap periode anggaran. Tingkat kemandirian pembiayaan diukur menurut 2 kriteria ukuran kuncoro (1995) yaitu:


(56)

a. Kemampuan daerah dalam pembiayaan : PAD

Belanja rutin non pegawai b. Kemampuan mobilisasi daerah : Pajak daerah

PAD

Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal bersama pemerintah pusat dan propinsi semakin rendah, demikian sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.

2. Tingkat ketergantungan

Bagian ini akan mengukur tingkat kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Derajat otonomi fiskal ini menujukkan kemampuan daerah dalam meningkatkan PAD.


(57)

Total Penerimaan APBD tanpa subsidi 3. Desentralisasi fiskal

Ukuran ini menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu kabupaten dan kota untuk melaksanakan pembangunan. Ini berarti bahwa pemerintah pusat memberikan otonomi kepada daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan dan pembiayaannya dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan kota.

Desentralisasi fiskal : PAD

Total penerimaan daerah D. Analisis Data

Sebelum melakukan uji terhadap hipotesis, terlebih dahulu dilakukan analisis normalitas data. Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah data penelitian mempunyai distribusi normal atau tidak normal. Analisis normalitas ini diperlukan sebagai prasyarat dari uji beda untuk dua sampel yang berpasangan. Untuk mendeteksi data pada penelitian ini akan digunakan uji non parametrik yaitu kolmogorov- smirnov. Bila hasil pengujian normalitas data menghasilkan suatu penyebaran yang tidak normal dari rasio-rasio keuangan, maka terhadap rasio-rasio tersebut digunakan uji beda berperingkat Wilcoxon. Untuk menguji hipotesis - hipotesis yang diungkapkan sebelumnya dilakukan pengujian statistik parametrik, yaitu uji t untuk dua sampel yang berpasangan. Uji t ini digunakan untuk dua sampel berpasangan yaitu sampel sebelum dan setelah terjadinya otonomi daerah apakah mempunyai tingkat


(58)

kemandirian pembiayaan, tingkat ketergantungan dan tingkat desentralisasi daerah secara nyata atau signifikan berbeda atau tidak.

Hipotesis:

Ho : tidak terdapat perbedaan yang signifikan Ha : terdapat perbedaan yang signifikan Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima E. Jadwal Penelitian

Kegiatan 2007 2008

Nov Des Jan Febr Mar Apr Penyusunan

proposal

Pengajuan Proposal Bimbingan

proposal

Pengumpulan data Seminar proposal Analisis data Bimbingan skripsi


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Data Penelitian

1. Gambaran Umum Propinsi Sumatera Utara

Sumatera Utara adalah sebuah propinsi yang terletak di Pulau Sumatera, berbatasan dengan Aceh di sebelah Utara dan dengan Sumatera Barat serta Riau di sebelah Selatan. Pusat pemerintahan propinsi Sumatera Utara terdapat di Medan. Propinsi Sumatera Utara terbagi atas 22 kabupaten, 7 kota, 325 kecamatan, dan 5. 456 kelurahan desa. Sumatera Utara terletak pada 1 A° - 4A° Lintang Utara dan 98A°-100A° Bujur Timur. Luas daratan propinsi Sumatera Utara 71.680 kilometer bujursangkar. Sumatera Utara tersohor karena luas perkebunannya. Perkebunan tersebut dikelola oleh pihak swasta maupun negara. Kebijaksanaan umum pengelolaan keuangan Propinsi sumatera Utara disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta potensi daerah dengan selalu berpedoman pada Undang-Undang yang berlaku. Untuk membiayai pelaksanaan pembangunan daerah seluruh sumber dana dari swasta maupun luar negeri, APBD dan swadaya masyarakat akan dimanfaatkan seefisien dan seefekti mungkin.

Sejak 1 Januari 2001 struktur dan mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah berubah sesuai dengan kebijakan baru tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Alokasi dana dari pusat untuk APBD yang sebelumnya berupa subsidi daerah otonom( SDO), sekarang disatukan dalam dana alokasi umum (DAU). Secara umum DAU yang diterima


(60)

oleh daerah propinsi dan daerah kabupaten/kota lebih besar daripada jumlah subsidi daerah otonom. Namun, karena sekarang biaya operasional instansi di daerah dan gaji pegawai di daerah dibiayai melalui dana lokasi umum (DAU), maka kebanyakan dana alokasi umum (DAU) yang diterima hanya cukup untuk kebutuhan anggaran rutin. Sebenarnya pemerintah daerah masih mempunyai sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, tetapi banyak yang memperkirakan bahwa jumlahnya lebih kecil daripada dana sektoral yang selama ini dialokasikan ke daerah melalui tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dengan makin banyaknya kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah, khususnya daerah kabupaten dan kota, maka kebutuhan biaya operasional pelaksanaannya menjadi makin banyak. Di samping itu dengan makin banyaknya pegawai pusat yang dilimpahkan ke daerah yang harus digaji dan aset negara yang harus dipelihara pemerintah daerah, maka tentu saja semakin banyak dana yang diperlukan pemerintah daerah. Karena dana yang diterima pemerintah daerah dari pemerintah pusat untuk membiayai semua itu diperkirakan tidak cukup, maka pemerintah daerah berusaha keras meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah, retribusi daerah, dan sumbangan pihak ketiga (SPK).

Setelah otonomi daerah banyak pemerintah kabupaten/ kota yang melakukan pemekaran. Pemerintah kabupaten/ kota yang terbentuk sebelum otonomi daerah dan yang tidak melakukan pemekaran ada 7 kabupaten dan 6 kota yaitu : pemkab Tapanuli Selatan, Pemkab Tapanuli Tengah, Pemkab Labuhan


(61)

Batu, Pemkab Asahan, Pemkab Simalungun, Pemkab Karo, Pemkab Langkat, Pemkab Sibolga, Pemkot Tanjung Balai, Pemkot Pematang Siantar, Pemkot Tebing Tinggi, Pemkot Medan, Pemkot Binjai.

2. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sebelum Otonomi Daerah

Tabel 4.1

Realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pemerintah Kabupaten /Kota Di Sumatera Utara

Tahun Anggaran 1998/ 1999 ( Dalam 000 Rupiah)

No Nama Daerah Penerimaan Pengeluaran Rutin

Pengeluaran Pembangunan 1 Pemkab Tapanuli Selatan 158.902.579 88.891.898 67.564.659 2 Pemkab Tapanuli Tengah 45.088.250 21.385.379 20.866.662 3 Pemkab Labuhan Batu 89.644.785 49.177.020 35.731.004 4 Pemkab Asahan 95.032.881 67.784.496 25.617.630 5 Pemkab Simalungun 117.611.581 84.926.866 32.483.622 6 Pemkab Karo 51.855.478 33.460.619 17.030.384 7 Pemkab Langkat 98.530.326 64.890.356 32.694.194 8 Pemkab Sibolga 18.271.141 10.422.494 6.350. 469 9 Pemkot Tanjung Balai 20.336.609 11. 799.397 6.482.267 10 Pemkot Pematang Siantar 32.298.858 24.525.349 7.632.435 11 Pemkot Tebing Tinggi 22.285.594 13.922.311 7.883.127 12 Pemkot Medan 189.262.568 122. 498. 333 61. 264.397 13 Pemkot Binjai 28.905.635 20.879.627 6.763.793 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara


(1)

C. Lampiran III

Nota Perhitungan Realisasi APBD

Pemerintah Kabupaten / Kota Di Sumatera Utara

Tahun Anggaran 1999/2000

( Dalam 000 Rupiah)

No Nama Daerah PAD BRNP Pajak Daerah TPDTS TPD

1 Pemkab Tapanuli Selatan 2.238.405 17.506.353 1.175.811 4.685.027 164.302.220 2 Pemkab Tapanuli Tengah 1.596.545 4.838.742 592.196 4.432.779 61.154.525 3 Pemkab Labuhan Batu 4.431.230 18.134.478 2.597.686 9.145.623 117.472.790 4 Pemkab Asahan 8.253.938 20. 384. 892 6.437.481 9.884.605 124.688.494 5 Pemkab Simalungun 5.012.052 17.388.849 3.349.847 5.213.144 145.036.884 6 Pemkab Karo 3.566.021 5.864.098 1.444.234 3.697.759 67.352.364 7 Pemkab Langkat 4.109.503 16.853.276 3.078.882 4.874.489 125.842.520 8 Pemkab Sibolga 1.366.077 3.863.819 401.471 2.859.366 25.047.988 9 Pemkot Tanjung BAlai 2.146.706 4.274.570 873.349 4.201.651 25.405.044 10 Pemkot Pematang Siantar 5.520.297 8.346.562 2.696.014 6.959.923 42.169.202 11 Pemkot Tebing Tinggi 2.728.002 5.358.955 1.130.902 3.824.724 27.041.267 12 Pemkot Medan 59.420.212 69.514.547 37.672.640 64.920.049 226.436.729 13 Pemkot Binjai 2.478.850 6.459.024 1.049.401 3.741.065 43.656.135

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara


(2)

D. Lampiran IV

Nota Perhitungan Realisasi APBD

Pemerintah Kabupaten / Kota Di Sumatera Utara

Tahun Anggaran 2003

( Dalam 000 Rupiah)

No Nama Daerah PAD BRNP Pajak Daerah TPDTS TPD

1 Pemkab Tapanuli Selatan 7.879.346 84.301.125 2.663.528 10.305.077 330.580.275 2 Pemkab Tapanuli Tengah 5.433.747 30.582.105 1.718. 101 27.174.464 177.13.039 3 Pemkab Labuhan Batu 25.630.556 71.421.550 6.672.872 46.391.857 383.594.433 4 Pemkab Asahan 22.626.588 65.306.304 14.285.738 22.626.588 371.292.472 5 Pemkab Simalungun 17.493.1011 44.156.352 10.193.000 85.516.183 453.828.896

6 Pemkab Karo 9.310.352 44.721.924 3.819.493 37.448.966 228.067.538

7 Pemkab Langkat 14.831.910 73.572.621 9.166.037 14.786.910 370.283.570 8 Pemkab Sibolga 7.135.535 36.317.509 1.348. 706 7.453.535 118.821.611 9 Pemkot Tanjung BAlai 9.933.585 31.840.165 3.122.662 15.966.048 135.216.662 10 Pemkot Pematang Siantar 11.563.236 32.323.018 4.619.156 20.729.234 181.262.416 11 Pemkot Tebing Tinggi 6.263.263 51.088.799 2.513.034 7.774.263 132.464.072 12 Pemkot Medan 233.786. 690 375.193.352 132.234.572 315.786.690 1.032.495.965 13 Pemkot Binjai 8.312.932 42.932.807 3.230.311 21.387.301 170.632.616

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara


(3)

E. Lampiran V

Nota Perhitungan Realisasi APBD

Pemerintah Kabupaten / Kota Di Sumatera Utara

Tahun Anggaran 2004

( Dalam 000 Rupiah)

No Nama Daerah PAD BRNP PJD TPDTS TPD

1 Pemkab Tapanuli Selatan 8.574..660 81.205.628 3.331.749 25.014.660 331.054.792 2 Pemkab Tapanuli Tengah 5.288.398 45.810.375 1.622.2991 16.219.861 176.837.674 3 Pemkab Labuhan Batu 21.152.751 65.711.206 7.057.500 69.530.835 381.217.786 4 Pemkab Asahan 21.384.666 62.395.780 12.630.100 53.394.123 381.529.715 5 Pemkab Simalungun 173.857.576 59.898.782 9.103.000 59.538.114 411.929.669

6 Pemkab Karo 10.459.592 36.062.050 4.271.000 19.745.840 231.174.668

7 Pemkab Langkat 16.570.134 113.224.245 9.424.134 62.595.562 421.574.725 8 Pemkab Sibolga 5.782.969 24.371.751 1.301.800 13.426.969 123.493.435 9 Pemkot Tanjung BAlai 8.712.055 51.388.422 3.573.892 21.635.439 141.115.960 10 Pemkot Pematang Siantar 13.603.647 45.564.549 4.531.418 32.692.953 195.287.962 11 Pemkot Tebing Tinggi 6.230.879 42.976.082 2.526.421 11.556.968 132.140.100 12 Pemkot Medan 271.618.428 346.291.454 152.820.000 513.974.066 1.150.000.464 13 Pemkot Binjai 12.962.969 57.315.918 5.793.600 35.429.874 194.600.195

Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara


(4)

LAMPIRAN

A. Lampiran I

Pemerintah Kabupaten/ Kota di Sumatera Utara

No Nama Daerah Keterangan

1 Kabupaten Angkola Sipirok Terbentuk 17 Juli 2007

2 Kabupaten Asahan Terbentuk sebelum otonomi daerah 3 Kabupaten Batubara Terbentuk 15 Juni 2007, dan merupakan

pemekaran dari kabupaten Asahan 4 Kabupaten Dairi Terbentuk 23 september 1964 5 Kabupaten Deliserdang Terbentuk 1 Juli 1946 6 Kabupaten Humbang Hasundutan Terbentuk 28 Juli 2003

7 Kabupaten Karo Terbentuk tahun 1946

8 Kabupaten Labuhan Batu Terbentuk tahun 2005

9 Kabupaten Langkat Terbentuk sebelum otonomi daerah 10 Kabupaten Mandailing Natal Terbentuk tahun 1999

11 Kabupaten Nias Melakukan pemekaran terhadap kabupaten Nias Selatan

12 Kabupaten Padang Lawas Terbentuk tanggal 10 Agustus 2007 dan merupakan pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan

13 Kabupaten Nias Selatan Terbentuk tanggal 28 Juli 2003 dan merupakan pemekaran dari Nias

14 Kabupaten Padang Lawas Utara Terbentuk tanggal 10 Agustus 2007 dan merupakan pemekaran dari kabupaten Tapanuli Selatan

15 Kabupaten Pakpak Bharat Terbentuk tanggal 25 Februari 2003 dan merupaka pemekaran dari kabu

paten Dairi

16 Kabupaten Samosir Terbentuk tanggal 18 Desember 203 dan merupakan pemekaran dari kabupaten Toba Samosir

17 Kabupaten Serdang bedagai Terbentuk 18 Desember 2003 dan merupakan pemekaran dari Deliserdang 18 Kabupaten Simalungun Terbentuk sebelum otonomi daerah 19 Kabupaten Tapanuli Selatan Terbentuk sebelum otonomi daerah 20 Kabupaten Tapanuli Tengah Terbentuk sebelum otonomi daerah

21 Kabupaten Tapanuli Utara Terbentuk tanggal 5 Oktober 1945, dan melakukan pemekaran terhadap kabupaten Toba Samosir

22 Kabupaten Toba Samosir Terbentuk tanggal 9 Maret 1999 dan merupakan pemekaran dari Toba Samosir

23 Kota Binjai Terbentuk tanggal 15 Juni 1872

24 Kota Medan Terbentuk tahun 1945

25 Kota Padang Sidempuan Terbentuk tanggal 21 Juni 2001 sebagai pemerintah kota

26 Kota Pematang Siantar Terbentuk sebelum otonomi daerah 27 Kota Sibolga Terbentuk sebelum otonomi daerah 28 Kota Tebing Tinggi Terbentuk sebelum otonomi daerah 29 Kota Tanjung Balai Terbentuk pada tanggal 1 Juli 1917


(5)

F. Lampiran VI

Analisis Normalitas Data

Kolmogorov-Smirnov

KPD0 KPD1 KMD0 KMD1

N 13 13 13 13

Normal

Parameters(a,b)

Mean

.42612385 .26796269 .47405354 .41998608 Std. Deviation .184597608 .154937377 .146027370 .126286475 Most Extreme

Differences

Absolute

.146 .228 .218 .179

Positive .146 .228 .218 .179

Negative -.105 -.138 -.121 -.156

Kolmogorov-Smirnov Z .527 .822 .785 .646

Asymp. Sig. (2-tailed) .944 .508 .569 .798

Analisis Normalitas Data

Kolmogorov-Smirnov

DF0 DF1 TK0 TK1

N 13 13 13 13

Normal

Parameters (a,b)

Mean

.07639892 .06316169 .72886900 .45315292 Std. Deviation .061747562 .052313170 .176629695 .135321242 Most Extreme

Differences

Absolute

.216 .390 .197 .139

Positive .216 .390 .108 .098

Negative -.183 -.232 -.197 -.139

Kolmogorov-Smirnov Z .778 1.407 .711 .501

Asymp. Sig. (2-tailed) .581 .038 .693 .964

G. Lampiran VII

Wilcoxon Signed Ranks Test

N

Mean

Rank Sum of Ranks

DF1 - DF0 Negative Ranks 8(a) 8.25 66.00

Positive Ranks 5(b) 5.00 25.00

Ties 0(c)

Total 13

a DF1 < DF0 b DF1 > DF0 c DF1 = DF0


(6)

Test Statistics(b)

DF1 - DF0

Z -1.433(a)

Asymp. Sig.

(2-tailed) .152

a Based on positive ranks. b Wilcoxon Signed Ranks

H. Lampiran VIII

Paired Samples Statistics

Mean

N

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

Pair 1 KDdP0 .42612385

13

.184597608

.051198165

KDdP1 .26796269

13

.154937377

.042971897

Pair 2 KMD0 .47405354

13

.146027370

.040500705

KMD1 .41998608

13

.126286475

.035025566

Pair 3

TK0

.72886900

13

.176629695

.048988263

TK1

.45315292

13

.135321242

.037531360

Paired Samples Correlations

N Correlation

Sig.

Pair 1

KDdP0 & KDdP1

13

.623

.023

Pair 2

KMD0 & KMD1

13

.854

.000

Pair 3

TK0 & TK1

13

.107

.727

I. Lampiran IX

Paired Samples test

Paired Differences t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval

of the Difference

Lower Upper

Pair 1 KDdP0 - KDdP1

.158161154 .1497308 .04152785 .0676797 .248642580 3.809 12 .002 Pair 2 KMD0 -

KMD1 .054067462 .0759034 .02105183 .0081994 .099935472 2.568 12 .025 Pair 3 TK0 -