Pengaruh Jarak dari Hutan dan Kondisi Lanskap Pertanian terhadap Keanekaragaman Hymenoptera

PENGARUH JARAK DARI HUTAN DAN KONDISI LANSKAP
PERTANIAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN
HYMENOPTERA

M. YASIN FARID

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ABSTRAK
M. YASIN FARID. Pengaruh Jarak dari Hutan dan Kondisi Lanskap Pertanian
terhadap Keanekaragaman Hymenoptera. Dibimbing oleh DAMAYANTI
BUCHORI dan ALI NURMANSYAH.
Kondisi lanskap di suatu wilayah mempunyai peranan yang sangat besar
untuk menentukan tingkat keanekaragaman organisme yang ada di wilayah
tersebut. Peningkatan keanekaragaman habitat dapat meningkatkan
keanekaragaman serangga di dalamnya. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari
hubungan antara kondisi lanskap dan jarak dari hutan dengan kelimpahan dan

keanekaragaman Hymenoptera di pertanaman sayuran. Pengambilan sampel
serangga dilakukan mulai bulan Agustus sampai Oktober 2012 pada 8 tempat
berbeda yang meliputi Kecamatan Cisarua, Megamendung, Caringin, Tamansari
dan Cigombong Kabupaten Bogor. Lokasi pengamatan dibagi menjadi 4 kriteria
jarak: 0 sampai 500 m dari hutan (A03, A04), 500 sampai 1000 m dari hutan
(A10,B02), 1000 sampai 1500 m dari hutan (A09,B01) dan 1500 sampai 2600 m
dari hutan (A06,A08). Pengambilan sampel serangga dilakukan dengan
memasang 4-15 buah yellow pan trap (YPT) pada masing-masing lokasi. Jumlah
serangga Hymenoptera yang tertangkap pada pengamatan adalah 779 individu
yang terdiri dari 26 famili dan 130 spesies yang berhasil dikumpulkan. Jumlah
serangga terbanyak diperoleh pada lokasi dengan jarak 1500 sampai 2600 m dari
hutan. Berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon, keanekaragaman spesies
tertinggi terdapat pada lanskap dengan jarak 1000 sampai 1500 m dari hutan
(B01) yang berada di Kecamatan Tamansari. Kesamaan spesies antar lokasi
tercatat masih rendah dengan nilai dibawah 50%, akan tetapi komposisi spesies
antar lokasi tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keanekaragaman Hymenoptera tidak berkorelasi dengan jarak dari hutan
akan tetapi dipengaruhi oleh kondisi dan tipe lanskap.
Kata kunci : lanskap pertanian, hutan, keanekaragaman, Hymenoptera.


ABSTRACT
M. YASIN FARID. The effect of agricultural landscapes and forest distance
toward diversity of Hymenoptera. Supervised by DAMAYANTI BUCHORI and
ALI NURMANSYAH.
Landscape conditions have an enormous role in determining the level of
biodiversity. Complexity of habitats has been known to be associated with the
increase of spesies richness. The purpose of this research is to study the effect of
distance from the forest and agricultural landscapes toward abundance and
diversity of hymenoptera in vegetable crops. A survey was conducted in the
month of August 2012 until October 2012 at eight different habitats in Cisarua,
Megamendung, Tamansari, Caringin and Cigombong from Bogor District. The
habitat observed is divided into four criteria: habitats that are located within 0 to
500 m, 500 to 1000 m, 1000 to 1500 m, and 1500 to 2600 m from the forest.
Sampling was done by installing 4 to 15 Yellow Pan Trap (YPT) in each
locations. Altogether there were 779 individuals belonging to 26 families and 130
species that were collected. Species richness was found in the habitats that are
located 1500 to 2600 m from the forest.Based on Shannon's index, the highest
diversity was found to be on landscape with the distance of 1000 to 1500 m from
the forest (B01) in sub-district Tamansari. Spesies similarity was found to be quite
with less than 50% between different habitats. However, species composition

between different habitats does not show is any difference. Result of the study
does not show that diversity of Hymenoptera is effected by distance from forest
instead it is more influenced by conditions and type of agricultural landscapes.
Key words : Hymenoptera, agricultural landscape, forest, biodiversity.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

PENGARUH JARAK DARI HUTAN DAN KONDISI LANSKAP
PERTANIAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN
HYMENOPTERA

M. YASIN FARID


Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Program Studi Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Penelitian

: Pengaruh Jarak dari Hutan dan Kondisi Lanskap Pertanian
terhadap Keanekaragaman Hymenoptera
Nama Mahasiswa : M. Yasin Farid
NIM
: A34080027


Disetujui oleh

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.
Pembimbing I

Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si.
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada Allah SWT karena berkat
Rahmat dan KaruniaNya penelitian ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul
“Pengaruh Jarak dari Hutan dan Kondisi Lanskap Pertanian terhadap

Keanekaragaman Hymenoptera”. Penelitian dilakukan dari bulan Maret 2012
sampai Desember 2012 di Kabupaten Bogor. Sumber dana penelitian ini berasal
dari Hibah kompetensi DIKTI.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir
Damayanti Buchori, M.Sc. dan Dr. Ir Ali Nurmansyah, M.Si. selaku komisi
pembimbing atas bimbingan yang telah dilakukan mulai persiapan penelitian
sampai penulisan skripsi. Dr. Ir Purnama Hidayat, M.Sc. selaku dosen
pembimbing atas nasehat yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada kedua orang tua yang selalu mendukung dan mendoakan
penulis, BAZNAS RI dan PT. PIJAR NUSA PASIFIK yang telah memberikan
beasiswa, Asri Puspita Sari yang selalu mendoakan, memberi semangat dan
memfasilitasi penulisan. Mas Jalu,Pak Sudarsono, Mbak Adha, Mbak Nita, Mbak
Laras, Pak ucup, Rado dan Huda atas semangat dan bantuannya selama penelitian.
Selanjutnya, Arif, Jack, Ceca, Ijah, Bush, Acoy, Ipul dan teman – teman HPT 45
atas kerjasama dan bantuan morilnya
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kedepannya. Semoga skripsi ini banyak memberikan manfaat.

Bogor, Maret 2013


M. Yasin Farid

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelimpahan dan Keanekaragaman Hymenoptera
Indeks Keanekaragaman Hymenoptera
Pengaruh Jarak dari Hutan dan Kondisi Lanskap Pertanian terhadap
Keanekaragaman Hymenoptera

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
vii
vii
1
3
3
3
4
4
4
4
9
9

12
14
18
18
18
19
21
28

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10


Deskripsi lokasi pengamatan di sekitar gunung Salak dan gunung
Gede Pangrango, Kabupaten Bogor
Data jumlah bidang lahan (patch) lanskap Kabupaten Bogor hasil
analisis dengan Quantum GIS 1.8.0
Persentase penggunaan lahan pada lokasi pengamatan di Kabupaten
Bogor
Jenis dan kelimpahan Hymenoptera pada lanskap dengan berbagai
jarak dari hutan yang berbeda di Kabupaten Bogor
Jumlah individu Hymenoptera pada setiap lokasi pengamatan
berdasarkan kelompok fungsionalnya di Kabupaten Bogor
Jumlah spesies, jumlah individu, indeks keanekaragaman
dan indeks dominansi Hymenoptera di Kabupaten Bogor
Persentase kesamaan spesies antar lokasi berdasarkan indeks
kesamaan Sorenson
Data hasil analisis mantel dengan R-statistik
Data hasil uji mantel antar lokasi sampling di Kabupaten Bogor
Data hasil Analisys of Similarity (ANOSIM)

5

6
7
10
12
13
14
14
16
16

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4

Peta lokasi pengamatan di sekitar gunung Salak dan gunung Gede
Pangrango, Kabupaten Bogor
Digitasi lokasi menggunakan software Quantum GIS versi 1.8.0
Jumlah individu dan spesies Hymenoptera pada berbagai lanskap
dengan jarak dari hutan yang berbeda di Kabupaten Bogor
Hubungan total bidang lahan (patch) dengan jumlah spesies
Hymenoptera pada lanskap pertanian di Kabupaten Bogor

4
6
11
15

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3

Deskripsi jenis sayuran dan habitat yang ada di sekitar lokasi
pengamatan di Kabupaten Bogor
Deskripsi letak administrasi lokasi pengamatan di Kabupaten Bogor
Deskripsi lokasi peletakan Yellow Pan Trap (YPT) pada masingmasing lanskap di Kabupaten Bogor.

22
24
25

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kondisi lanskap dalam suatu wilayah memilki peranan yang sangat besar
dalam menentukan tingkat keanekaragaman organisme yang ada di dalamnya.
Definisi lanskap menurut Forman dan Gordon (1986) adalah suatu areal heterogen
yang tersusun dari ekosistem yang saling berinteraksi dan memiliki pola semacam
yang berulang. Definisi lain dari lanskap adalah konfigurasi partikel topografi,
tanaman penutup, permukaan lahan dan pola kolonisasi yang tidak terbatas,
beberapa koherensi dari kealamian dan proses kultural dan aktivitas (Green dalam
Ferina 1998). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa lanskap adalah
kesatuan wilayah di permukaan bumi yang terdiri dari kesatuan ekosistem yang
saling berinteraksi. Lanskap terdiri dari tiga proses dasar yang terjadi di dalamnya
yaitu struktur, fungsi dan dinamika (Fry 1999). Tiga proses dasar tersebut saling
berkaitan satu sama lain yang pada gilirannya dapat mengakibatkan perubahan
dominansi habitat pada lanskap tersebut.
Struktur lanskap adalah kumpulan elemen-elemen lanskap yang membentuk
suatu ekosistem dan memiliki sifat fisik tertentu yang dapat diukur seperti ukuran,
bentuk, jarak dan jumlah habitat yang ada didalamnya (Yaherwandi et. al. 2007).
Menurut Samways (1995), terdapat tiga struktur dasar pembentuk lanskap yaitu
matriks (matrix), bidang lahan (patch) dan koridor (corridor). Matriks merupakan
elemen lanskap yang memiliki ukuran paling luas dan memiliki peranan penting
dalam fungsi lanskap. Bidang lahan (patch) merupakan suatu area yang memiliki
penampakan berbeda dengan matriks yang mengelilingi serta ukurannya yang
lebih kecil jika dibandingkan dengan matriks. Selanjutnya koridor merupakan
lahan sempit yang kedua sisinya linier dan berbeda dengan matriks serta dapat
berperan sebagai habitat, koridor perpindahan dan koridor perintang. Pada lanskap
pertanian di Kabupaten Bogor, matriks dapat berupa hutan yang berada di sekitar
gunung Salak dan gunung Gede Pangrango yang masih memiliki keanekaragaman
habitat tinggi. Bidang lahan (patch) dapat berupa petakan-petakan lahan pertanian
serta lahan di sekitarnya baik berupa semak maupun pemukiman. Dalam hal yang
sama, koridor yang ada pada lanskap pertanian di Kabupaten Bogor dapat berupa
tanaman pagar (habitat), pematang (koridor perpindahan) serta jalan dan
pemukiman (koridor perintang).
Fungsi lanskap adalah hasil interaki antara elemen-elemen spasial di antara
komponen ekosistem yang menyangkut proses-proses biologi, kimia dan fisika
yang terjadi di dalam lanskap (Yaherwandi et. al 2007). Fungsi suatu lanskap
sangat dipengeruhi oleh struktur lanskap baik berupa ukuran, bentuk maupun
proporsi habitat pertanaman dan tumbuhan liar yang berkorelasi dengan aliran
spesies, energi dan nutrisi di dalam lanskap (Fry 1999). Perubahan yang terjadi
pada struktur dan fungsi lanskap biasa disebut dengan dinamika lanskap (Forman
dan Gordon 1986). Pada lanskap alami, faktor utama yang menyebabkan
terjadinya dinamika lanskap antara lain bencana alam berupa banjir, kebakaran
dan gunung meletus serta gangguan manusia seperti penebangan pohon dan
praktek pertanian. Gangguan terhadap lanskap alami yang berlangsung terusmenerus akan mengubah kondisi lanskap dalam waktu yang singkat dan akan
berakibat buruk terhadap komunitas serangga yang menempati ekosistem tersebut.

2
Lanskap pertanian merupakan sekumpulan ekosistem baik ekosistem pada
areal pertanaman maupun areal di luarnya (Forman dan Godron 1986). Lanskap
pertanian dapat dibedakan menjadi lanskap pertanian sederhana yaitu lahan
pertanian yang hanya terdiri atas satu jenis tanaman (monokultur) dan tumbuhan
liar. Selanjutnya lanskap pertanian kompleks yaitu lahan pertanian yang memiliki
banyak macam tanaman (polikultur) dan beberapa tanaman liar di sekitarnya.
Lanskap pertanian berbeda dengan habitat alami, komposisi lanskap pertanian
cenderung lebih homogen jika dibandingkan dengan habitat alami. Homogenitas
yang terjadi pada lanskap pertanian terjadi akibat adanya proses kehilangan
spesies dan rusaknya jejaring makanan sebagai akibat dari praktek budidaya
pertanian yang intensif (Kruess dan Tscharntke 1994). Menurut van Emden
(1990) peningkatan keanekaragaman habitat dalam lanskap pertanian dapat
meningkatkan keanekaragaman serangga hama dan serangga bermanfaat.
Sehingga, lanskap pertanian yang ditopang oleh berbagai macam tanaman dan
tumbuhan liar serta vegetasi yang lebih kompleks akan mempunyai serangga
hama dan musuh alami yang lebih beragam dibandingkan dengan lanskap
pertanian yang lebih homogen. Menurut Marino dan Landis (2000),
keanekaragaman struktur lanskap pertanian tidak hanya mempengaruhi
keanekaragaman musuh alami akan tetapi juga kelimpahan dan keefektifannya.
Sebagai habitat alami, hutan mempunyai banyak keanekaragaman flora dan
fauna baik yang sudah teridentifikasi maupun yang belum. Keanekaragaman
tersebut akan membentuk suatu keseimbangan, sehingga pada habitat alami
seperti hutan jarang ditemukan kerusakan tumbuhan akibat serangga herbifor.
Menurut van Emden (1990), peningkatan keanekaragaman ekosistem pada suatu
lanskap pertanian akan meningkatkan keanekaragaman serangga hama dan
serangga bermanfaat yang berperan menekan kerusakan tanaman oleh hama.
Selain itu, keanekaragaman ekosistem pada struktur lanskap juga mempengaruhi
kelimpahan serta keefektifan musuh alami (Marino dan Landis 2000). Sebagian
besar musuh alami yang termasuk kelompok serangga parasitika menyerang
inangnya pada fase pradewasa, akan tetapi setelah mencapai fase dewasa serangga
ini tetap membutuhkan makanan berupa polen dan nektar untuk melanjutkan
hidup serta berkembangbiak. Hutan dengan keanekaragaman yang tinggi pada
tumbuhan penyusun struktur lanskapnya dapat mencukupi kebutuhan musuh
alami akan polen dan nektar, serta dapat dijadikan sebagai tempat berlindung saat
terjadi keadaan yang tidak memungkinkan (Thomas dan Marshall 1999)
Musuh alami yang memiliki keanekaragaman tinggi serta berperan penting
dalam usaha pertanian berasal dari ordo Hymenoptera. Dari jumlah famili yang
dimiliki ordo ini, hampir 74% familinya berperan sebagai parasitoid (Yaherwandi
et al. 2007). Tingginya tingkat keanekaragaman parasitoid yang ada pada ordo
Hymenoptera juga dikemukakan oleh Quicke (1997) yang menyatakan bahwa
80% parasitoid yang ada merupakan Hymenoptera. Hymenoptera parasitika dapat
ditandai dengan adanya penggentingan di ruas abdomen pertama dan ovipositor
tidak berkembang sebagai alat penyengat. Parasitoid merupakan serangga yang
memarasit/membunuh serangga lain dan mampu melengkapi perkembangannya
dalam satu inang. Menurut LeSalle dan Gauld (1993) telah diketahui bahwa 39
famili Hymenoptera parasitika bersifat sebagai parasitoid. Hal ini menunjukkan
sangat berlimpahnya keberadaan musuh alami di alam yang dapat dimanfaatkan
untuk pengendalian serangga hama. Sampai saat ini, penelitian tentang serangga

3
parasitika khususnya Hymenoptera masih terkonsentrasi pada taksonomi dan
biologisnya saja. Oleh sebab itu, data mengenai keanekaragaman, kelimpahan dan
komposisi parasitoid yang berhubungan dengan perubahan struktur lanskap sangat
terbatas. Pada sisi lain, informasi ini sangat penting untuk pengelolaan sistem
pertanian yang berorientasi pada Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Sangat
diperlukan kajian yang lebih mendalam mengenai hubungan keanekaragaman,
kelimpahan serta komposisi parasitoid terhadap perubahan struktur lanskap yang
terjadi, khususnya di wilayah Bogor.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara jarak dari hutan
dan kondisi lanskap pertanian dengan kelimpahan dan keanekaragaman
Hymenoptera.
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan informasi dasar
mengenai keanekaragaman dan persebaran Hymenoptera di wilayah pertanian di
Kabupaten Bogor yang selanjutnya dapat digunakan untuk pemodelan pertanian
berkelanjutan yang diiringi dengan sistem PHT.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di 5 kecamatan di Kabupaten Bogor yang terdapat
pertanaman sayuran meliputi Kecamatan Cisarua, Megamendung, Tamansari,
Caringin dan Cigombong serta di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilakukan mulai Maret 2012 hingga Januari 2013.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan berupa : alkohol 70%, dan air sabun. Alat yang
digunakan berupa : mangkuk kuning (yellow pan trap), botol film, kuas, saringan,
tabung ependorf, mikroskop stereo, GPS dan buku identifikasi.
Metode Penelitian
Survei Lokasi
Pada tahap ini dilakukan pencarian lahan pertanian terutama pertanian
sayuran. Pada pemantauan pertama hanya dilakukan pencarian lahan sayuran di
seluruh wilayah Kabupaten Bogor. Di wilayah Bogor ditemukan 31 calon
wilayah yang akan dipilih dan dikelompokkan berdasarkan kriteria yang
dibutuhkan.
Penentuan Lokasi

Kota Bogor

Kab. Bogor

Gambar 1 Peta lokasi pengamatan di sekitar gunung Salak dan gunung Gede
Pangrango, Kabupaten Bogor.

5
Lokasi pengambilan sampel adalah lahan sayuran yang memenuhi kriteria
jarak dari hutan serta keadaan struktur lanskap. Berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan, didapatkan 8 lokasi yang dijadikan tempat pengambilan sampel.
Lokasi pengamatan berada di sekitar gunung Gede Pangrango dan gunung Salak
dapat dilihat pada Gambar 1.
Lokasi pengamatan dibagi ke dalam 4 kriteria berdasarkan jarak dari hutan
yaitu kelompok J1 (0 sampai 500 m) yang terdiri dari lokasi A03 dan A04, J2
(500 sampai 1000 m) terdiri dari lokasi A10 dan B02, J3 (1000 sampai 1500 m)
terdiri dari lokasi A09 dan B01 serta kelompok J4 (1500 sampai 2600 m) terdiri
dari lokasi A06 dan A08. Deskripsi masing-masing lokasi pengamatan dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Deskripsi lokasi pengamatan di sekitar gunung Salak dan gunung Gede
Pangrango, Kabupaten Bogor
Lokasi

Ketinggian1

Jarak_Hutan2

A03
1034
330
A04
925
200
A06
872
2590
A08
637
2500
A09
727
1090
A10
685
740
B01
643
1300
B02
653
820
1
: meter di atas permukaan laut ;2 : meter.

Kode

Grup_jarak2

Kecamatan

Desa

J1
J1
J4
J4
J3
J2
J3
J2

0-500
0-500
1500-2600
1500-2600
1000-1500
500-1000
1000-1500
500-1000

Cisarua
Megamendung
Megamendung
Caringin
Caringin
Caringin
Tamansari
Cigombong

Cibeureum
Sukaresmi
Sukagalih
Wates jaya
Lemahduhur
Pasirbuncit
Tamansari
Pasirjaya

Pemetaan Lahan dan Perizinan
Setelah mendapatkan lahan, dilakukan pemetaan dengan cara menggambar
kondisi areal pertanian pada radius 500 m dalam bentuk peta berdasarkan jenis
komoditas yang ditanam. Pemetaan dimulai dengan pendugaan areal pertanian
melalui google earth, kemudian dilakukan groundcheck untuk memastikan
komoditas yang ditanam serta menentukan batas areal pertanian dengan areal lain
dengan tracking menggunakan GPS. Setelah itu, dilakukan penggambaran peta
menggunakan software Quantum GIS. Hasil groundcheck yang diperoleh
dipadukan dengan hasil tracking GPS sehingga dapat digambarkan penggunaan
lahan secara detail pada area pengamatan seperti terlihat pada gambar 2.

6

Pertanian sayuran
Pertanian non-sayuran
Non-pertanian

Gambar 2 Digitasi lokasi menggunakan Program Quantum GIS versi 1.8.0
Analisis Hasil Pemetaan
Gambar yang diperoleh dari Quantum GIS kemudian dianalisis berdasarkan
penggunaan lahan dan jenis komoditasnya. Akhirnya diperoleh jumlah bidang
lahan untuk lahan pertanian sayuran, pertanian non-sayuran, perumahan dan lahan
hijau. Dengan mengetahui jumlah petakan, lanskap yang ada dapat
dikelompokkan menjadi lanskap sederhana dan lanskap kompleks. Data jumlah
bidang lahan yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah bidang lahan (patch) lanskap hasil analisis dengan Quantum GIS
1.8.0
Lanskap
A03
A04
A06
A08
A09
A10
B01
B02

Sayuran
4
7
24
27
18
20
9
18

Pertanian
Nonsayuran
5
18
11
39
3
44
20
13

Total
9
25
35
66
21
64
29
31

Perumahan

Lahan
hijau

Total

9
4
15
2
9
6
8
4

9
15
10
4
15
18
22
11

27
44
60
72
45
88
59
46

A: sekitar gunung Gede ; B: sekitar gunung Salak.

Penentuan Unit Pengamatan
Unit pengamatan ditentukan berdasarkan jumlah dan luasan petakan sayuran
yang terdapat pada masing-masing lokasi pengamatan. Semakin banyak jumlah
dan besar luasan petak pengamatan maka semakin banyak juga unit pengamatan
yang diperoleh, begitu juga sebaliknya. Persentase penggunaan lahan untuk
masing-masing lokasi dapat dilihat pada Tabel 3.

7
Tabel 3 Persentase penggunaan lahan pada lokasi pengamatan di Kabupaten
Bogor
Pertanian (%)
Lahan hijau
Lanskap
Perumahan (%)
(%)
Sayuran Nonsayuran Total
A03
0.2
28.8
29
10.37
60.63
A04
3.53
19.29
22.82
0.95
76.23
A06
12.04
5.72
17.73
23.7
58.54
A08
11.68
46.64
58.32
7.4
34.28
A09
9.99
13.04
23.03
7.23
69.74
A10
7.94
41.4
49.34
16.01
34.65
B01
8.27
19.53
27.8
16.82
55.38
B02
1.09
7.47
8.66
0.87
90.57
A: sekitar gunung Gede ; B: sekitar gunung Salak

Pengambilan Sampel
Yellow pan trap (YPT) adalah perangkap kuning yang terbuat dari mangkuk
dengan diameter 15 cm dan tinggi 5 cm. mangkuk kuning diisi larutan air sabun
hingga 2/3 bagian dengan tujuan mematikan serangga yang masuk dalam
perangkap. kemudian diletakkan di lapangan sebanyak 4-15 buah pada setiap
lokasi. Jumlah YPT tergantung ukuran dan jumlah patch sayuran yang ada pada
setiap lokasi. YPT diletakkan di lapang selama 24 jam kemudian semua serangga
yang terperangkap dibersihkan dari kotoran dan dipindahkan ke dalam botol film
yang berisi alkohol 70% kemudian di lakukan pelabelan sesuai lokasi peletakan
YPT.
Identifikasi
Identifikasi sampel diawali dengan menyortir serangga yang didapatkan
berdasarkan ordo. Setelah dipisahkan sesuai ordo kemudian untuk Ordo
Hymenoptera dilanjutkan ketingkat famili hingga morfospesies. Semua proses
identifikasi dilakukan dengan menggunakan buku panduan Hymenoptera of The
World (Goulet dan Huber 1993).
Analisis data
Data yang diperoleh disusun dengan Microsoft Excel 2010 kemudian
dilakukan analisis menggunakan perhitungan indeks keanekaragaman dengan
rumus Shannon-Wiener (Magurran 1988) yang menitik beratkan pada kekayaan
spesies (richness) yang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:


H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi = Proporsi jumlah individu spesies parasitoid ke-i (ni) terhadap total
individu (N) ; (ni/N)
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman Shannonwiener yaitu: Semakin tinggi nilai H’ berarti keanekaragaman spesies semakin
tinggi, berlaku sebaliknya jika nilai H’ mendekati 0 maka keanekaragaman

8
rendah. Asumsi yang dipakai bahwa individu terambil secara acak dari populasi
besar, dan semua spesies terwakili dalam contoh (Maguran 1998)
Indeks Keanekaragaman Simpson yang digunakan untuk mengetahui
dominansi spesies lebih menitik beratkan pada perhitungan kelimpahan spesies
(abundance) yang dominan daripada kekayaan spesies (richness) yang dapat yang
dihitung dengan menggunakan persamaan:
D’ = ∑ (Pi)2
D = Indeks dominansi Simpson
Pi = Proporsi spesies Hymenoptera ke-i dalam komunitas
Kemiripan komposisi spesies Hymenoptera antar
menggunakan Indeks Sorensen yang memiliki persamaan:

lokasi

dihitung

IS =
IS : Indeks Kesamaan Spesies Sorensen
A : Jumlah spesies Hymenoptera di habitat 1
B : Jumlah spesies Hymenoptera di habitat 2
C : Jumlah spesies Hymenoptera yang sama di kedua habitat yang
dibandingkan.
Nilai IS berkisar antara 0-1. Nilai 1 terjadi bila jumlah spesies yang
ditemukan di kedua habitat adalah sama.
Pengaruh jarak dari hutan dan jarak antar lokasi terhadap keanekaragaman
spesies Hymenoptera dihitung dengan analisis statistik dan uji lanjut
menggunakan program R-statistic yang terdiri dari uji mantel dan Analysis of
Similarity (ANOSIM).
Uji mantel dilakukan untuk mengetahui hubungan matriks antara jarak
lokasi dari hutan dengan kemiripan jenis spesies yang terdapat pada setiap lokasi.
Pengujian dimulai dengan menganalisis semua Hymenoptera yang berhasil
dikumpulkan, selanjutnya dilakukan tanpa menggunakan semut dan yang terakhir
hanya menganalisis Hymenoptera yang bersifat sebagai parasitoid. Keeratan
hubungan antara jarak dari hutan dengan keanekaragaman Hymenoptera dapat
dilihat dari nilai r dan nilai P yang diperoleh. Semakin besar nilai r yang diperoleh
berarti semakin besar hubungan antara dua variabel yang diuji. Selain itu,
hubungan dikatakan signifikan apabila nilai P yang diperoleh kurang dari α (0.05).
Analysis of Similarity (ANOSIM) dilakukan untuk mengetahui perbedaan
komposisi spesies antar kelompok lokasi pengamatan dengan kriteria jarak dari
hutan yang berbeda. Prosedur pengujian yang dilakukan sama dengan prosedur
pada uji mantel yaitu melihat komposisi seluruh Hymenoptera yang diperoleh,
Hymenoptera tanpa semut dan dilanjutkan dengan hanya melihat komposisi
Hymenoptera parasitoid. Perbedaan komposisi spesies dilihat dari nilai R yang
berkisar antara -1.0 sampai +1.0. Komposisi spesies antar lokasi dapat dikatakan
berbeda apabila nilai R > 0 dan nilai P < α (0.05).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kelimpahan dan Keanekaragaman Hymenoptera
Total jumlah Hymenoptera yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah 779 individu yang terdiri dari 26 famili dan 130 spesies. Jumlah
Hymenoptera yang dikumpulkan dari lanskap J1(A03 dan A04) yaitu 203 individu
dan 51 spesies, lanskap J2 (A10 dan B02) yaitu 181 individu dan 58 spesies,
lanskap J3 (A09 dan B01) mempunyai 185 individu dan 62 spesies, dan lanskap
J4 (A06 dan A08) yaitu 210 individu dan 56 spesies (Tabel 4). Hasil ini
menunjukkan bahwa kekayaan spesies paling tinggi terdapat pada lanskap J3 yang
memiliki 62 spesies. Jarak lanskap J3 yang relatif jauh dari hutan akan tetapi
memiliki jumlah spesies paling tinggi menunjukkan bahwa tingkat kelimpahan
dan kekayaan spesies Hymenoptera tidak dipengaruhi langsung oleh jarak dari
hutan akan tetapi sangat dipengaruhi oleh komposisi dan pengelolaan habitat. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Kamarudin et al. (2005) yang menyatakan bahwa
perbedaan tingkat kelimpahan dan perkembangan spesies dipengaruhi oleh pH
tanah, tanaman penutup dan kepadatan makanan.
Secara umum Hymenoptera yang memiliki jumlah spesies dan individu
berlimpah pada semua lanskap adalah Famili Diapriidae, Encyrtidae dan
Trichogrammatidae. Kelimpahan yang tinggi pada beberapa famili tersebut dapat
diakibatkan oleh tingginya jumlah inang pada area pengamatan. Inang merupakan
sumber daya utama bagi parasitoid, sehingga makin tinggi jumlah inang maka
akan semakin banyak pula Hymenoptera yang dapat hidup pada inang tersebut.
Selain famili-famili dominan, terdapat juga beberapa famili yang hanya ada pada
satu tipe lanskap saja. Famili tersebut meliputi famili Eupelmidae yang hanya
ditemukan pada lanskap J1, famili Eucoilidae hanya ditemukan pada lanskap J2,
famili Megaspilidae dan Sphecidae hanya ditemukan pada lanskap J3 serta famili
Cynipidae, Figitidae dan Halistidae yang hanya ditemukan lanskap J4.
Keberadaan famili yang hanya ada pada satu tipe lanskap dapat terjadi akibat
adanya efek koridor perintang yaitu koridor yang menghambat pergerakan
individu tertentu untuk melintasi lanskap (Forman dan Godron 1986).
Dominansi famili Encyrtidae pada lanskap J1 dipengaruhi oleh faktor
ketersediaan inang dan kondisi lingkungan. Encyrtidae merupakan Hymenoptera
parasitika yang biasa menyerang telur dan larva Coleoptera, Diptera, Lepidoptera
dan Orthoptera (Goulet dan Huber 1993). Lanskap dekat dari hutan yang berada di
Kecamatan Cisarua dan Megamendung memiliki jenis sayuran dari famili
Brassicaceae yang rentan terhadap serangan hama dari famili lepidoptera
khususnya pada fase larva. Keadaan ini sangat menguntungkan bagi keberadaan
Hymenoptera parasitoid khususnya parasitoid larva karena adanya inang yang
mendukung eksistensi parasitoid tersebut. Selain itu, keberadaan tumbuhan liar
yang dapat berfungsi sebagai tempat berlindung Hymenoptera pada saat fase
imago dengan proporsi relatif besar juga sangat mendukung keberadaan
Hymenoptera parasitoid khususnya famili Encyrtidae. Demikian juga pada
lanskap lain dengan jarak berbeda dari hutan, ketersediaan inang dan kondisi
lingkungan mempunyai peranan yang sangat besar terhadap dominansi serangga
tertentu (Rizali et al. 2002).

10
Tabel 4

Rata-rata jenis dan kelimpahan Hymenoptera pada lanskap dengan
berbagai jarak dari hutan yang berbeda di Kabupaten Bogor
J1*
J2
J3
J4
Famili
ind. sp.
ind. sp.
ind. sp.
ind. sp.
Andrenidae
2
1
2
1
2
1
Aphelinidae
3
2
2
1
1
1
3
1
Apidae
2
2
2
2
3
1
Bethylidae
2
1
1
1
Braconidae
1
1
34
6
5
4
9
3
Ceraphronidae
6
2
1
1
6
4
7
3
Cynipidae
1
1
Diapriidae
19
4
31
5
15
4
29
4
Encyrtidae
64
4
17
3
23
4
47
3
Eucoilidae
4
2
Eulophidae
19
5
4
3
6
5
15
4
Eupelmidae
1
1
Eurytomidae
2
2
1
1
Figitidae
1
1
Formicidae
18
5
23
9
32
10
7
6
Halistidae
1
1
Ichneumonidae
3
3
3
3
3
2
1
1
Megaspilidae
2
1
Mymaridae
20
2
5
2
9
2
7
2
Mymaromatidae
1
1
1
1
Platygastridae
5
3
1
1
3
2
2
1
Pompilidae
2
2
3
2
Scelionidae
8
4
4
2
7
3
21
7
Sphecidae
1
1
Tiphiidae
6
2
12
5
11
4
10
5
Trichogrammatidae
23
8
34
9
56
12
41
8
Individu
203
181
185
210
Spesies
51
58
62
56

*: jarak dari hutan (m)
J1: 0 – 500 m ; J2: 500 – 1000 m ; J3:1000 – 1500 m ; J4: 1500 – 2600 m

Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan dominansi famili Hymenoptera
pada setiap lanskap yang memiliki jarak dari hutan berbeda. Perbedaan dominansi
tersebut dapat diakibatkan oleh adanya perbedaan tingkat keanekaragaman
ekosistem yang ada dalam masing-masing lanskap, peningkatan keanekaragaman
ekosistem akan meningkatkan keanekaragaman serangga di dalamnya (van
Emden 1990). Selain itu, menurut Rizali et al. (2002) kondisi habitat berpengaruh
terhadap keanekaragaman serta dominansi serangga tertentu.

11

146
125
104

98
84

87

81

Spesies

57
41

40
23

200

Gambar 3

330

30

740

33

40

820
1090
1300
Jarak dari hutan (m)

32

2500

37

Individu

2590

Jumlah individu dan spesies Hymenoptera pada berbagai lanskap
dengan jarak dari hutan yang berbeda di Kabupaten Bogor

Kelimpahan dan keanekaragaman spesies Hymenoptera (Gambar 3)
menunjukkan adanya perbedaan pada berbagai lanskap dengan jarak berbeda dari
hutan. Jumlah individu dan spesies tertinggi terdapat pada lanskap A04 yang
berjarak 200 m dari hutan dengan 146 individu serta 41 spesies. Lokasi A04 yang
terletak di Kecamatan Megamendung memiliki keanekaragaman spesies tertinggi
dikarenakan pada lanskap ini, kondisi lanskap pertaniannya cukup kompleks
dengan berbagai macam tanaman di dalamnya. Lanskap pertanian kompleks yaitu
lahan pertanian yang memiliki banyak macam tanaman (polikultur) dan beberapa
tanaman liar di sekitarnya (Yaherwandi et al. 2007). Keadaan lanskap pertanian
yang kompleks akan mengakibatkan habitat yang ada di dalamnya beragam.
Habitat yang beragam tersebut berfungsi sebagai penyedia inang alternatif,
makanan serangga dewasa, tempat berlindung serta pembentuk iklim mikro yang
mendukung kelangsungan hidup dan keanekaragaman Hymenoptera (Dryer dan
Landis 1997). Selain memiliki jarak dari hutan yang cukup dekat, kondisi lanskap
A04 memiliki proporsi habitat yang mendukung kelangsungan hidup
Hymenoptera. Lanskap A04 didominasi areal pertanian dengan umur tanaman
relatif pendek yang dikelilingi oleh tumbuhan liar berupa semak serta hutan.
Tanaman pertanian yang memiliki umur relatif pendek dapat menyebabkan
peningkatan tingkat keanekaragaman Hymenoptera. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Fry (1999) yang mengatakan bahwa struktur lanskap seperti ukuran,
bentuk lahan, proporsi habitat pertanaman dan tumbuhan liar akan mempengaruhi
aliran spesies, energi dan nutrisi dalam lanskap yang pada gilirannya akan
mempengaruhi juga tingkat keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Secara umum, Hymenoptera yang ditemukan dapat dikelompokkan menjadi
tiga berdasarkan fungsinya yaitu : kelompok parasitoid terdiri dari 681 individu,
kelompok predator 87 individu, serta kelompok polinator 14 individu (Tabel 5).
Kelimpahan Hymenoptera parasitoid pada lanskap dengan berbagai jarak dari
hutan yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Mayoritas
famili Hymenoptera yang berhasil dikumpulkan berperan sebagai parasitoid

12
(LaSalle dan Gauld 1993). Hal ini menunjukkan bahwa parasitoid memiki peranan
yang sangat penting dalam ekosistem pertanian untuk pengendalian hama.
Modifikasi populasi parasitoid pada ekosistem pertanian dapat mengatur populasi
serangga hama sehingga tidak melampaui ambang ekonomi dan merugikan secara
ekonomi (van Emden 1990). Dengan demikian, perlu diperhatikan peranan dan
keberadaan Hymenoptera dalam pengelolaan ekosistem pertanian dengan cara
memodifikasi lingkungan area pertanian yang mendukung keberadaan
Hymenoptera parasitoid.
Tabel 5 Rata-rata jumlah individu Hymenoptera pada setiap Yellow Pan Trap
berdasarkan kelompok fungsionalnya di Kabupaten Bogor
Lokasi

Parasitoid*
∑ind. ∑fam ∑sp.

Predator*
∑ind. ∑fam ∑sp.

Polinator*
∑ind. ∑fam ∑sp.

A03
52
12
21
5
1
2
A04
129
13
34
13
1
3
4
2
3
A06
116
11
32
3
1
3
6
3
3
A08
83
15
28
4
1
4
A09
95
12
29
9
1
4
A10
64
8
20
19
2
9
1
1
1
B01
52
12
27
27
3
11
2
1
1
B02
90
14
35
7
3
4
1
1
1
Total
681
87
14
* Berdasarkan buku Goulet dan Huber (1993) dan asumsi bahwa formicidae adalah predator .
Indeks Keanekaragaman Hymenoptera
Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Spesies Hymenoptera
Hymenoptera yang diperoleh dari beberapa tipe lanskap dengan jarak dari
hutan yang berbeda memiliki kekayaan individu dan kelimpahan spesies yang
berbeda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh keadaan cuaca saat
pengambilan sampel, keadaan habitat sekitar lahan, ketinggian tempat dan teknik
budidaya yang dilakukan.
Tipe lanskap yang memiliki jumlah individu dan spesies tertinggi adalah
lanskap A04 (0 sampai 500 m dari hutan) dengan 146 individu yang terdiri dari 41
spesies. Berdasarkan nilai indeks Shannon, lanskap yang memiliki
keanekaragaman Hymenoptera paling tinggi adalah lanskap dengan jarak B01
dengan nilai indeks Shannon 2.37 dan nilai indeks dominansi Simpson 0.093
(Tabel 6). Nilai indeks dominansi yang ada menunjukkan bahwa 9.3% spesies
yang ditemukan menunjukkan dominansi terhadap spesies lainnya. Penggunaan
lahan pada lanskap B01 yang berada di Kecamatan Tamansari didominasi areal
pertanian dan tumbuhan liar menjadikan lanskap ini memiliki keanekaragaman
Hymenoptera tertinggi.

13
Tabel 6 Jumlah spesies (S), Jumlah individu (I),Indeks keanekaragaman (H) dan
indeks dominansi (D) Hymenoptera pada tipe lanskap berbeda di
Kabupaten Bogor
Keanekaragaman
S
I
H
D

A03
23
57
2.025
0.099

A04
41
146
2.208
0.09

Kriteria jarak dari hutan
A06
A08
A09
A10
B01
37
32
33
30
40
125
87
104
84
81
2.138 2.272 1.782 1.82 2.377
0.094 0.089 0.153 0.175 0.093

B02
40
98
2.34
0.077

A: sekitar gunung Gede ; B: sekitar gunung Salak.

Menurut Odum (1998), keanekaragaman akan bernilai tinggi jika nilai
indeks dominansi relatif rendah. Dari hasil penelitian ini, terlihat bahwa semua
tipe lanskap menunjukkan nilai indeks dominansi yang beragam akan tetapi nilai
indeks keanekaragamannya tidak banyak berbeda untuk semua lanskap, sehingga
dapat dikatakan keanekaragaman Hymenoptera relatif sama pada setiap tipe
lanskap. Tingkat keanekaragaman Hymenoptera yang didominasi oleh
Hymenoptera parasitoid tidak terlalu tinggi dimungkinkan akibat dari
keanekaragaman vegetasi dan inang yang ada pada masing-masing lokasi juga
rendah.
Indeks Kesamaan Spesies Hymenoptera
Menurut hasil penelitian, persentase indeks kesamaan Sorensen pada
lanskap dengan kompleksitas dan jarak dari hutan yang berbeda memiliki
persentase yang berbeda-beda. Indeks kesamaan spesies tertinggi berada pada
lokasi B02 dengan A06 sebesar 48.33% (Tabel 7). Nilai ini menunjukkan bahwa
lanskap B02 dan A06 memiliki kesamaan spesies tertinggi jika dibandingkan
dengan kesamaan spesies pada lanskap yang lain. Hal ini dapat terjadi akibat
tanaman sayuran penyusun kedua lanskap memiliki kesamaan. Kesamaan
tanaman penyusun lanskap ini dapat mengakibatkan spesies serangga hama dan
musuh alami yang ada pada kedua lanskap juga akan memiliki tingkat kesamaan
yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Yaherwandi et al. (2007) juga
menyatakan bahwa tingkat keanekaragaman Hymenoptera pada suatu lanskap
dipengaruhi oleh keadaan dan komposisi tanaman penyusun lanskap tersebut.
Secara keseluruan indeks kesamaan Sorenson pada berbagai jarak dari hutan
memiliki persentase kesamaan yang berbeda-beda disetiap lokasinya. Semua
lokasi pengamatan menunjukkan persentase kesamaan < 50% yang artinya semua
tipe lanskap memiliki kesamaan spesies yang rendah. Faktor rendahnya kesamaan
ini dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi habitat pada masing-masing lokasi
yang berkorelasi dengan keanekaragaman spesies di dalamnya, serta
dimungkinkan pengaruh pengendalian hama dan penyakit sayuran dengan bahan
kimia yang berlebihan.

14
Tabel 7 Prosentase kesamaan spesies antar lokasi
Sorenson
Kriteria jarak
A03
A04
A06
A08
A03
100
A04
34.37
100
A06
26.83 45.28
100
A08
35.71 35.71 38.77
100
A09
35.08 46.91 36.36 38.36
A10
29.73 44.89 39.65 31.11
B01
30.77 44.94 34.68 38.51
B02
30.77 37.25 48.33 40.43

berdasarkan indeks kesamaan
A09

A10

B01

B02

100
39.56
31.7
37.89

100
26.26
32.14

100
38.83 100

A: sekitar gunung Gede ; B: sekitar gunung Salak.

Pengaruh Jarak dari Hutan dan Kondisi Lanskap Pertanian terhadap
Keanekaragaman Hymenoptera
Pengaruh Jarak dari Hutan terhadap Keanekaragaman Hymenoptera
Uji mantel dilakukan untuk mengetahui hubungan antara jarak suatu lokasi
dari hutan terhadap tingkat keanekaragaman Hymenoptera yang ada di dalamnya.
Hasil uji mantel terhadap semua Hymenoptera yang berhasil dikumpulkan
menunjukkan bahwa jarak dari hutan tidak mempunyai pengaruh terhadap
keanekaragaman Hymenoptera (Tabel 8). Hal ini ditunjukkan dengan nilai r yang
diperoleh tidak ada yang mendekati angka 1. Selain itu, nilai P yang diperoleh dari
semua lanskap lebih tinggi dari α (0.05) sehingga bisa dikatakan tidak ada
hubungan yang signifikan antara jarak lanskap dari hutan dengan keanekaragaman
Hymenoptera. Jika semut dikeluarkan, nilai r dan nilai P yang diperoleh pada
semua lokasi juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
jarak lanskap dari hutan dengan keanekaragaman Hymenoptera, begitu juga
dengan hasil uji mantel khusus Hymenoptera parasitoid. Tidak adanya pengaruh
jarak dari hutan terhadap keanekaragaman Hymenoptera khususnya parasitoid
diduga karena kurang beragamnya inang yang ada pada lokasi pengamatan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Heinrichs et al. (1994) yang menyatakan bahwa
keanekaragaman parasitoid mengikuti keanekaragaman inang yang ada.
Tabel 8 Data hasil analisis mantel jarak lokasi pengamatan dengan hutan di
Kabupaten Bogor menggunakan program R-statistik
Keseluruhan
Tanpa semut
Parasitoid
Lokasi
r
Nilai P
r
Nilai P
r
Nilai P
A03
0.336
0.187
0.312
0.219
0.312
0.203
A04
0.265
0.151
0.307
0.081
0.296
0.1
A06
0.166
0.276
0.165
0.271
0.167
0.288
A08
-0.031
0.546
-0.032
0.541
-0.032
0.519
A09
0.316
0.165
0.258
0.19
0.263
0.187
A10
0.14
0.188
-0.286
0.908
-0.282
0.915
B01
-0.283
0.922
-0.132
0.735
-0.145
0.75
B02
-0.539
0.923
-0.546
0.928
-0.538
0.937
A: sekitar gunung Gede ; B: sekitar gunung Salak.

15
Pengaruh Kondisi Lanskap Pertanian terhadap Keanekaragaman
Hymenoptera
Lanskap pertanian merupakan sekumpulan ekosistem baik ekosistem pada
areal pertanaman maupun areal di luarnya (Forman & Godron 1986). Secara
umum lanskap pertanian dapat dibedakan menjadi lanskap pertanian sederhana
dan lanskap pertanian kompleks. Kompleksitas suatu lanskap selain dilihat dari
komposisi penyusunnya juga dapat dilihat dari jumlah patch penyusun lanskap
tersebut (McGarigal dan Marks 1995). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
jumlah spesies Hymenoptera yang ditemukan pada suatu lanskap mengalami
fluktuasi seiring dengan peningkatan jumlah patch yang menyusun lanskap
tersebut (Gambar 4). Penurunan jumlah spesies yang terjadi pada lokasi A09 jika
dibandingkan dengan A04 mungkin terjadi akibat perlakuan petani yang berbeda
pada dua lokasi tersebut. Lokasi A04 yang dibudidayakan secara organik dengan
banyak macam sayuran yang ditanam memungkinkan terjadinya ekosistem yang
mendukung keberadaan Hymenoptera. Hal ini dapat mengakibatkan jumlah
spesies Hymenoptera yang ada pada lokasi A04 lebih banyak jika dibandingkan
dengan A09 meskipun jumlah patch yang ada pada lokasi A04 lebih sedikit.
Selanjutnya pada lokasi A06, A08 dan A10 jumlah spesies mengalami penurunan
seiring dengan peningkatan jumlah patch yang ada. Penurunan jumlah spesies
yang terjadi dimungkinkan akibat dari perilaku petani yang intensif dalam
pengaplikasian pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman.
45
A04

40

B02

B01
A06

35
Jumlah spesies

A09

A08

30

A10

25
A03
20
15
10
5
0
27

44

45

46
59
Jumlah patch

60

72

88

Gambar 4 Hubungan total bidang lahan (patch) dengan jumlah spesies
Hymenoptera pada lanskap pertanian di Kabupaten Bogor
Struktur lanskap adalah kumpulan elemen-elemen lanskap yang membentuk
suatu ekosistem dan memiliki sifat fisik tertentu yang dapat diukur seperti ukuran,
bentuk, jarak dan jumlah habitat yang ada didalamnya (Yaherwandi et. al. 2007).
Kondisi lanskap lokasi A04 yang terletak pada Kecamatan Megamendung

16
mempunyai struktur dengan bentuk dan habitat yang lebih beragam dibandingkan
dengan lokasi yang lain. Lokasi ini didominasi oleh lahan pertanian yang terletak
di lereng bukit dengan banyak macam tanaman liar. Keanekaragaman habitat
tanaman liar berupa semak serta jenis sayuran yang dibudidayakan secara organik
pada lokasi A04 sangat mendukung keberadaan Hymenoptera yang ada di
dalamnya. Selanjutnya menyebabkan lokasi A04 memiliki keanekaragaman
spesies yang tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain. Hal ini sesuai dengan
pendapat Fry (1999) yang menyatakan bahwa struktur dan kondisi lanskap akan
mempengaruhi tingkat keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya.
Pengaruh Jarak Antar Lanskap terhadap Keanekaragaman Hymenoptera
Uji mantel yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh jarak antar lokasi
terhadap keanekaragaman Hymenoptera yang ada di dalamnya menunjukkan tidak
ada hubungan yang signifikan antara keduanya (Tabel 9). Tidak adanya korelasi
jarak antar lokasi terhadap keanekaragaman Hymenoptera terlihat dari kecilnya
nilai r yang diperoleh dan nilai P yang melebihi nilai α (0.05). Selanjutnya
dilakukan analisis yang sama terhadap Hymenoptera tanpa semut. Hasil yang
diperoleh hampir sama dengan hasil analis Hymenoptera keseluruhan yaitu nilai r
yang diperoleh kecil serta nilai P melebihi α (0.05). seperti halnya analisis
Hymenoptera keseluruhan dan tanpa semut, analisis yang dilakukan terhadap
Hymenoptera parasitoid juga tidak menunjukkan adanya korelasi antara jarak
antar lokasi pengamatan terhadap keanekaragaman Hymenoptera yang ada di
dalamnya.
Tabel 9

Data hasil uji mantel antar lokasi sampling di Kabupaten Bogor
menggunakan program R-statistic

Hymenoptera

r

Nilai P

Keseluruhan

0.15

0.205

Tanpa semut

0.165

0.177

Parasitoid

0.163

0.188

Perbedaan komposisi spesies Hymenoptera antar kelompok lokasi dengan
kriteria jarak dari hutan yang berbeda dilihat dengan Analisys of Similarity
(ANOSIM). Hasil ANOSIM (Tabel 10) menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan komposisi spesies antar kelompok lokasi dengan jarak dari hutan yang
berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan R yang didapatkan bernilai negatif, selain itu
nilai P yang didapatkan juga lebih besar dari nilai α (0.05) yaitu sebesar 0.714.
ANOSIM yang dilakukan terhadap sampel Hymenoptera tanpa semut juga
menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan analisis terhadap keseluruhan
Hymenoptera. Jika Hymenoptera non-parasitoid dikeluarkan, hasil ANOSIM yang
didapatkan juga tidak menunjukkan adanya perbedaan komposisi spesies antar
lokasi dengan jarak dari hutan yang berbeda.
Tabel 10

Hasil Analisys of Similarity (ANOSIM) Hymenoptera antar lokasi
pengamatan di Kabupaten Bogor

17
Hymenoptera

R

Nilai P

Keseluruhan

-0.125

0.714

Tanpa semut

-0.156

0.719

Parasitoid

-0.073

0.617

Hasil uji mantel dan ANOSIM antar lokasi tidak menunjukkan adanya
korelasi jarak antar lokasi pengamatan dengan keanekaragaman Hymenoptera.
Selain itu, komposisi spesies antar lokasi pengamatan juga tidak menunjukkan
adanya perbedaan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena jenis sayuran yang ada
pada lokasi pengamatan hampir sama, sehingga serangga hama yang ada pada
masing-masing lokasi juga tidak jauh berbeda. Keadaan seperti ini akan
mempengaruhi keanekaragaman Hymenoptera yang didominasi parasitoid, sesuai
dengan pendapat Heinrichs et al. (1994) yang menyatakan bahwa
keanekaragaman parasitoid mengikuti keanekaragaman inang yang ada.
Keanekaragaman inang dan parasiotid semakin tinggi pada daerah ekuator
(Godfray 1994). Selain itu, menurut Quicke (1997) keanekaragaman parasitoid
juga dipengaruhi oleh jenis vegetasi, iklim dan ketinggian di atas permukaan laut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Jumlah spesies terbanyak di setiap yellow pan trap yang dipasang, terdapat
pada tipe lanskap dengan jarak 500 – 1000 m dari hutan. Hymenoptera parasitoid
mendominasi semua tipe lanskap yang diamati. Keanekaragaman spesies
Hymenoptera tertinggi terdapat pada lanskap B01 dengan jarak 1000-1500m dari
hutan. Kesamaan spesies antar tipe lanskap cukup rendah yaitu dibawah 50%.
Hasil penelitian tidak menunjukkan bahwa keanekaragaman Hymenoptera
dipengaruhi langsung oleh jarak dari hutan akan tetapi dipengaruhi oleh kondisi
dan tipe lanskap.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh ketinggian,
struktur vegetasi sekitar lahan pertanian, serta pola budidaya terhadap
keanekaragamana Hymenoptera untuk mengetahui kondisi optimum yang
mendukung perkembanagan Hymenoptera.

DAFTAR PUSTAKA
Borror DJ, Tripelhorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga
Ed ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajahmada
University Press. Terjemahan dari: An Introduction to The Study of Insects.
Desmann RF, Milton JP dan Freeman PH. 1977. Prinsip Ekologi untuk
Pembangunan Ekonomi. Sumarwoto O, penerjemah. Jakarta (ID):
Gramedia. Terjemahan dari: The Principle of Ecology to Economic
Development.
Dryer LE, Landis DA. 1997. Influence of non-crop habitat on distribution of
Eriborus terebrans (Hym: Ichneumonidae) in corn fields. Environ. Entomol.
26: 924 – 932.
Farina A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology. London (GB):
Chapman and Hall.
Forman RTT, Gordon M. 1986. Landscape Ecology. New York (US): John Wiley
& Sons.
Fry GLA. 1999. Lanscape ecological principles and sustainable agriculture. BCPC
Symposium Proceedings No 63; p 247–254.
Godfray HCJ. 1994. Parasitoid: Behavioral & Evolutionary Ecology. New Jersey
(US): Princeton University Press.
Goulet H, Huber JT.1993. Hymenoptera of The World: And Identification Guide
to Families. Ottawa (CA): Agriculture Canada Publication.
Haila Y. 2002. A Conceptual genealogy of fragmentation research: from island
biogeography to landscape ecology. Ecological Applications 12: 321-334.
Heinrichs EA, Aguda RM, Barrion AT, Bharathi M, Chelliah S, Dalle D,
Gallagher KO, kritani K, Roberts DW, Smith CM, Weber G. 1994. Biology
and Management of Rice Insects. New Delhi (IN): IRRI-Willey Eastern.
Helmi M.2007. Zonasi ekosistem alami pulau kecil dengan pendekatan ekologi
lanskap di Pulau Karimunjawa dan Kemujan, Taman Nasional
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
LaSalle J, Gauld ID. 1993. Hymenoptera: Their Diversity, and Their Impact on
the Diversity of Other Organisms. LaSalle J, Gauld ID, editor. Hymenoptera
and Biodiversity. Wallingfor (UK): CAB international. hlm. 1-26.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and its Measurement. New Jersey
(US): Princeton University Press.
Marino PC, Landis DA. 2000. Parasitoid community structure: implications for
biological control in agricultural landscape. Di dalam: Ekbon B, Irwin ME,
Robert Y, editor. Interchanges of Insect between Agriculturan and
Surrounding Landscapes. Boston (US): Kluwer Academic Publishers. hlm.
183-193.
McGarigal, K. and B.J. Marks. 1995. FRAGSTATS: Spatial Pattern Analysis
Program for Quantifying Landscape Structure. Portland (US): Department
of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research Station.
Meffe GK, Carroll CR. 1997. Principles of Conservation Biology. Sinauer
Associates, Inc., Sunderland (UK): Massachusetts.

Morrison ML, Marcot BG, Mannan RW. 1992. Wildlife-Habitat Relationships.
The university of Wisconsin, Madison. 343p.
Odum. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Sumingan C, editor. Yogyakarta
(ID): UGM Press.
Quicke DLJ. 1997. Parasitic Wasps. London (GB): Chapman and Hall.
Rizali A, Buchori D, Triwidodo H. 2002. Keanekaragaman serangga pada lahan
persawahan-tepian hutan: indikator untuk kesehatan lingkungan. HAYATI
Journal of Biosciences 9:41-48.
Schowalter TD. 2000. Insect ecology: an ecosystem approach. San Diego (CA):
Academic Press.
Solichah C, Witjaksono dan Martono E. 2004. Ketertarikan Plutella xylostella L
terhadap beberapa macam ekstrak daun Cruciferae. Agrosains 6(2): 80-84.
Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects: Concepts and
Aplication. London (GB): Blackwell Science.
Thamrin M, Asikin S dan Najib M. 2003. Eksplorasi unsur esensial komponen
pengendalian hama terpadu bagi hama di lahan rawa. Seminar Hasil-hasil
Penelitian; 2003 Oktober 18-24. Banjarbaru (ID): Balitran Banjarbaru.
Thomas CFG, Marshall EJP. 1999. Arthropod abundance and diversity in
differently vegetated marginsof arable fields. Agriculture Ecosystem and
Environment. 72:131-144.
van Emden HF.1991. Plant diversity and na