Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi

KEANEKARAGAMAN ORDO HYMENOPTERA DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, PERKEBUNAN KARET
DAN HUTAN KARET DI JAMBI

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keaneragaman Ordo
Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di
Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Arintha Traya Prasatya Soegiarso
NIM G34080082

ABSTRAK
ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO. Keanekaragaman Ordo
Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di
Jambi. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan TRI ATMOWIDI.
Deforestasi hutan di Jambi menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit
sangat tinggi. Beberapa taksa dapat digunakan sebagai bioindikator, misalnya
ordo Hymenoptera. Penelitian ini bertujuan mempelajari keanekaragaman ordo
Hymenoptera pada perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan hutan karet di
Jambi. Pengambilan serangga dilakukan dengan mengunakan jaring serangga
pada pukul 07.00 - 11.00 WIB. Dilakukan pengukuran kondisi lingkungan berupa
suhu, kelembapan udara dan intensitas cahaya. Di tiga habitat vegetasi dan habitat
pedesaan di sekitar Hutan Harapan, Jambi, ditemukan 6 famili Hymenoptera,
yaitu Apidae, Halictidae, Megachilidae, Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae.

Kelimpahan terbesar ditemukan pada genus Apis dan Trigona. Spesies endemik
yang ditemukan pada penelitian ini adalah Trigona minangkabau.
Keanekaragaman paling tinggi terdapat pada perkebunan kelapa sawit (16 spesies)
dan yang paling rendah terdapat pada perkebunan karet dan pedesaan (9 spesies).
Jumlah spesies yang ditemukan tidak memiliki korelasi secara nyata dengan suhu,
intensitas cahaya dan kelembapan udara.
Kata

kunci:

keanekaragaman, Hymenoptera,
perkebunan karet, hutan karet

perkebunan

kelapa

sawit,

ABSTRACT

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO. Diversity of Hymenoptera in
Oil Palm Plantation, Rubber Plantation and Jungle Rubber in Jambi. Supervised
by RIKA RAFFIUDIN and TRI ATMOWIDI.
There were much deforestations from primary forest to rubber and oil
palm plantation in Jambi. Some taxa could be bioindicator, for example is
Hymenopteran insects. This research purposed to study the diversity of
Hymenoptera in oil palm plantation, rubber plantation and jungle rubber in Jambi.
Insect collected by using insect net at 7 to 11 am. The environment parameters
measured were temperature, humidity, and light intensity. In three vegetation
habitats and villages adjacent Hutan Harapan, Jambi were found six families of
Hymenoptera, i.e. Apidae, Halictidae, Megachilidae, Pompilidae, Sphecidae and
Vespidae. Highest abundant found were Apis and Trigona. Endemic species found
was Trigona minangkabau. The highest diversity of Hymenoptera was found in
oil palm plantation (16 species), and the less diversity was in rubber plantation
and village (9 species). Generally, number of species of Hymenoptera didn’t
correlated significantly with temperature, light intensity and humidity.
Keywords: diversity, Hymenoptera, oil palm plantation, rubber plantation, jungle
rubber

KEANEKARAGAMAN ORDO HYMENOPTERA DI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, PERKEBUNAN KARET
DAN HUTAN KARET DI JAMBI

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit,
Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi
Nama

: Arintha Traya Prasatya Soegiarso
NIM
: G34080082

Disetujui oleh

Dr Ir Rika Raffiudin, MSi
Pembimbing I

Dr Tri Atmowidi, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah
keanekaragaman, dengan judul Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di
Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rika Raffiudin, MSi dan
Bapak Dr Tri Atmowidi, MSi atas bimbingan dan arahan yang diberikan. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra Hilda Akmal, MSi selaku dosen
penguji wakil komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan
saran saat ujian dan penulisan karya ilmiah. Terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada program kerjasama IPB dan Universitas Göetingen yang telah mendanai
penelitian ini melalui program start up funding Collaborative Research Centre
(CRC) 990. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak
Subhan Zaelani selaku petugas lapangan dari Pusat Perlebahan Nasional
(Pusbanas), keluarga Bapak Sukiwa di Bungku, Jambi, Fahri dan Elida Hafmi
Siregar yang telah membantu selama pengamatan. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Bapak Sih Kahono, Ibu Erna, Mas Anto, serta staff
Laboratorium Entomologi LIPI Bogor yang telah membimbing proses identifikasi
serangga.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, serta

seluruh keluarga dan Wisnu Moko Rahayu atas segala doa dan kasih sayangnya,
seluruh warga Zoo Corner (Mbak Kanthi, Sars, Esa, Ayoy, Hana, Faizal, Ical,
Kania, Heca, Baher), teman-teman Biologi 45 IPB, teman-teman AGRIC, dan
teman-teman Lylas yang selalu memberi semangat kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

Arintha Traya Prasatya Soegiarso

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

METODE PENELITIAN

2

Waktu dan Tempat

2

Metode


2

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Spesies Ordo Hymenoptera

4
4

Ciri-ciri Keseluruhan Serangga yang Dikoleksi

10

Deskripsi Trigona

11


Kondisi Lingkungan di Lokasi Penelitian

12

Hubungan Faktor Lingkungan dengan Jumlah Spesies

13

Keseimbangan Ekosistem

14

SIMPULAN

15

DAFTAR PUSTAKA

15


RIWAYAT HIDUP

18

DAFTAR TABEL
1 Lokasi pengamatan penelitian
2 Jumlah spesies dan kondisi lingkungan pada setiap habitat di Jambi
3 Keberadaan Trigona berdasarkan database stingless bee
4 Korelasi antara faktor lingkungan dengan jumlah spesies Hymenoptera

3
6
9
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Peta lokasi pengamatan
Serangga dalam Famili Apidae
Serangga Hymenoptera herbivor
Serangga Hymenoptera predator
Rata-rata suhu pada setiap lokasi pengamatan
Rata-rata kelembapan udara pada setiap lokasi pengamatan
Rata-rata intensitas cahaya pada setiap lokasi pengamatan
Hasil analisis PCA

3
7
8
8
12
12
12
13

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Deforestasi di Asia Tenggara merupakan yang paling besar jumlahnya
dibandingkan dengan wilayah tropis lainnya dan dapat mengalami kehilangan
biodiversitas sebesar 42% apabila hal tersebut terus terjadi (Sodhi et al. 2004).
Salah satu contoh wilayah yang terdeforestasi adalah di Jambi yang merupakan
wilayah dengan tingkat deforestasi di paling tinggi, dimana telah terjadi
deforestasi dalam jumlah besar sepanjang tahun 1973-2002. Tutupan hutan yang
menurun ini diakibatkan oleh berubahnya hutan menjadi perkebunan karet dan
perkebunan kelapa sawit (Ekadinata & Vincent 2008).
Dari analisa citra landsat, Taher (2005) melaporkan bahwa pada tahun 1990
Jambi masih memiliki tutupan lahan (vegetasi) berupa hutan yang masih dominan
(2,4 juta ha atau sekitar 49,97% dari seluruh luas provinsi), tetapi pada tahun 2000
tutupan lahan hutan tersebut menurun menjadi sebesar 1,4 juta ha atau sekitar
29,66% dari luas Provinsi Jambi. Berdasarkan angka ini, terjadi pengurangan luas
tutupan lahan hutan sekitar 20,31% dalam kurun waktu 10 tahun. Penurunan luas
wilayah hutan alam yang berubah menjadi kebun karet dan kelapa sawit dalam
jumlah besar dapat mengurangi keanekaragaman serangga karena ketersediaan
sumber pakan serangga akan berkurang. Berdasarkan penelitian Danielsen et al.
(2009), komposisi kesamaan avertebrata yang terdapat di hutan dengan yang
terdapat di dalam pekebunan kelapa sawit di Malaysia menurun dari 31% menjadi
21%.
Pendekatan menggunakan organisme yang dapat memberikan respon
terhadap perubahan kondisi lingkungan, dapat digunakan untuk memahami
dampak perubahan lingkungan (McGeoch dan Chown 1998). Salah satu cara
pendekatan tersebut adalah melalui identifikasi spesies dan perkembangan
serangga. Serangga merupakan bioindikator yang responsif untuk menilai
perubahan yang terjadi dalam suatu habitat (Speight et al. 1999). Bioindikator
dapat diartikan sebagai spesies atau kelompok spesies yang dapat menggambarkan
dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat atau mengindikasikan
keragaman dari kelompok takson di dalam suatu kawasan (McGeoch dan Chown
1998). Beberapa takson dapat digunakan sebagai bioindikator, misalnya serangga
yang termasuk ke dalam ordo Hymenoptera.
Ordo Hymenoptera merupakan ordo yang memiliki peran yang besar,
karena memiliki anggota spesies yang merupakan predator dan polinator
tumbuhan. Ordo ini memiliki keanekaragaman yang besar dan perilaku yang
kompleks. Spesies yang bersayap memiliki empat sayap bermembran, sepasang
sayap belakangnya lebih kecil dari sepasang sayap belakangnya. Alat mulutnya
memiliki mandibula, namun pada banyak spesies, mulutnya menyerupai lidah
yang disebut probosis. Ovipositor Hymenoptera umumnya berkembang dengan
baik. Pada beberapa spesies, ovipositor tersebut termodifikasi menjadi sengat.
Hanya betina yang dapat menyengat sebagai cara pertahanan diri (Triplehorn dan
Johnson 2004).

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keanekaragaman ordo
Hymenoptera di perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, hutan karet dan
pedesaan di Jambi.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2012 - April 2013.
Pengambilan sampel dilakukan di perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan
hutan karet di sekitar Desa Bungku, Kecamatan Bajubang Barat, Muara Bulian,
Jambi, Sumatera. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Laboratorium Biosistematika
Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Metode
Lokasi Penelitian
Pengamatan Hymenoptera dilakukan di empat tipe habitat, yaitu perkebunan
kelapa sawit, perkebunan karet, hutan karet dan pedesaan. Dipilih empat lokasi
(plot) untuk setiap tipe habitat. Perkebunan kelapa sawit diberi kode HO (Harapan
oilpalm plantation) dari HO1 hingga HO4. Perkebunan karet diberi kode HR
(Harapan rubber plantation) dari HR1 hingga HR4 dan hutan karet diberi kode HJ
(Harapan jungle rubber) dari HJ1 hingga HJ4. Tipe habitat hutan karet terdiri dari
tumbuhan yang heterogen, namun tumbuhan yang dominan adalah pohon karet.
Pengamatan Hymenoptera juga dilakukan di pedesaan, yang digunakan sebagai
perbandingan antara habitat yang masih memiliki vegetasi dengan habitat yang
tidak memiliki vegetasi di dalamnya.
Pengamatan dilakukan di sembilan desa yang berbeda di sekitar Taman
Nasional Bukit Duabelas, yaitu Desa Batu Kucing (BK), Desa Pematang Kabau 1
(PK1), Desa Pematang Kabau 2 (PK2), dan desa-desa di sekitar Hutan Hujan
Harapan, yaitu Desa Bungku 1 (B1), Desa Bungku 2 (B2), Desa Sungkai (Su),
Desa Singkawang (Si), Desa Pompa Air 1 (PA1), dan Desa Pompa Air (PA2)
Kecamatan Bajubang Barat, Kota Batanghari, Jambi (Tabel 1). Lokasi
pengamatan ditandai menggunakan GPS device Garmin eTrex 10, sehingga
didapatkan gambar peta lokasi pengamatan di sekitar Hutan Hujan Harapan
(Gambar 1).

3

Gambar 1 Peta lokasi pengamatan. Kode lokasi mengacu ke Tabel 1
Tabel 1 Lokasi pengamatan Hymenoptera di Jambi
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Tipe Habitat
Perkebunan kelapa sawit

Perkebunan karet

Hutan karet

Pedesaan

Kode Plot
HO1
HO2
HO3
HO4
HR1
HR2
HR3
HR4
HJ1
HJ2
HJ3
HJ4
BK
PK1
PK2
B1
B2
Si
Su
PA1
PA2

Koordinat Lokasi
S 01.90988 E 103.26621
S 01.88351 E 103.26765
S 01.85786 E 103.30759
S 01.78723 E 103.27071
S 01.91099 E 103.26664
S 01.87950 E 103.27459
S 01.85968 E 103.30055
S 01.80545 E 103.26470
S 01.92775 E 103.25191
S 01.82558 E 103.29423
S 01.84905 E 103.29970
S 01.78535 E 103.27663
S02.15084 – E102.80189
S01.95830 – E102.58936
S01.96350 – E102.59611
S01.92726 – E103.26033
S01.90878 – E103.26059
S01.79166 – E103.27502
S01.85686 – E103.30259
S01.84985 – E103.28758
S01.84247 – E103.28568

Koleksi Hymenoptera
Pengambilan Hymenoptera dilakukan dengan metode sweeping
mengunakan jaring serangga (Triplehorn dan Johnson 2004). Pengambilan
serangga dilakukan pada pukul 07.00-11.00 WIB dengan berjalan mengelilingi
plot berukuran 50 m x 50 m di setiap lokasi. Ukuran plot tersebut dianggap telah

4
merepresentasikan keseluruhan luas lokasi pengamatan. Serangga yang ditangkap
merupakan perwakilan dari semua serangga yang terbang atau yang hinggap pada
bunga di dalam lokasi pengamatan yang termasuk ordo Hymenoptera.
Pengukuran Kondisi Lingkungan
Pengukuran kondisi lingkungan berupa suhu, kelembapan udara dan
intensitas cahaya diukur setiap 1 jam sekali selama pengambilan serangga pada
setiap lokasi pengamatan. Suhu dan kelembapan udara diukur menggunakan
termohigrometer, sedangkan intensitas cahaya diukur menggunakan lightmeter.
Pengawetan Serangga
Serangga yang telah ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam botol 2 ml
yang telah diisi alkohol 70%. Serangga yang berukuran kecil dimasukkan ke
dalam botol, namun untuk serangga yang berukuran agak besar (sekitar 2 cm),
dimasukkan dahulu ke dalam botol berisi kapas yang telah ditetesi etil asetat
sebagai pembunuh, kemudian serangga dimasukkan ke dalam botol 10 ml yang
berisi alkohol 70%.
Identifikasi Serangga
Serangga yang telah disimpan dalam alkohol 70% kemudian dimounting
di LIPI, Bogor. Setelah melalui proses mounting, serangga dikeringkan di dalam
oven selama tujuh hari, lalu disimpan di dalam freezer selama dua hari. Serangga
kemudian diidentifikasi hingga tingkat famili berdasarkan Triplehorn dan Johnson
(2004), tingkat genus berdasarkan Michener (2000), tingkat spesies untuk Trigona
berdasarkan Sakagami et al. (1990) dan Ceratina berdasarkan Vecht (1952) di
bawah mikroskop stereo. Serangga kemudian difoto menggunakan kamera Nikon
D5100 dengan lensa AF-S DX Micro Nikkor 85mm f/3.5G ED VR.
Analisis Data
Analisis data berupa korelasi jumlah spesies dalam suatu tipe habitat
dengan kondisi lingkungannya menggunakan program R 2.14.2 (http://www.rproject.org/) untuk mendapatkan hasil Principle Component Analisys (PCA).
Vektor korelasi dalam kuadran didapatkan dari regresi terhadap kondisi
lingkungan dengan jumlah spesies yang didapatkan. Nilai korelasi Pearson dan
nilai signifikansi dihitung menggunakan program Systat 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keanekaragaman Spesies Ordo Hymenoptera
Berdasarkan hasil pengamatan dari serangga yang telah ditangkap dan
diidentifikasi, terdapat enam famili yang termasuk ke dalam ordo Hymenoptera
yaitu Apidae, Halictidae, Megachilidae, Vespidae, Sphecidae, dan Pompilidae.
Ditemukan 28 spesies pada ketiga habitat vegetasi, yaitu Apis cerana, A. dorsata,
Trigona laviceps, T. reepeni, T. itama, T. terminata, T. ventralis, T. minangkabau,
T. nitidiventris, Ceratina lieftincki, C. accusator, C. cognata, C. comberi, C.

5
bryanti, Xylocopa collaris, X. confusa (Apidae), Reepenia sp., Lasioglossum sp.,
Agapostemon sp., Halictus sp., Megachile fulvifrons (Halictidae), Vespa tropica,
V. bellicosa, Pseudepipona sp., Polistes sp., Stenodynerus sp. (Vespidae), Sphex
aurulentus (Sphecidae), dan Monodontyx javanus (Pompilidae) (Tabel 2). Genus
yang paling umum ditemukan pada ketiga habitat vegetasi tersebut adalah Trigona
dan Apis. Di habitat pedesaan, ditemukan 9 spesies yaitu A. cerana, A. dorsata, A.
andreniformis, T. laeviceps, T. geissleri, T. thoracica, T. fuscobalteata, X. latipes,
X. confusa (Apidae) dan Lasioglossum sp. (Halictidae). Genus yang paling umum
ditemukan adalah Trigona (4 spesies) (Tabel 2).
Di perkebunan kelapa sawit, ditemukan 16 spesies selama pengamatan.
Spesies yang paling banyak ditemukan pada habitat ini adalah A. cerana, A.
dorsata, dan Trigona. Selain Hymenoptera, terdapat juga serangga yang termasuk
ke dalam ordo Diptera, famili Syrphidae, subtribe Eristalina, yaitu Palpada sp.
dan Ornidia sp yang tertangkap pada habitat perkebunan kelapa sawit, namun data
ini tidak dipublikasikan. Lalat dari famili Syrphidae termasuk lalat yang paling
mirip dengan lebah yang biasa ditemukan pada bunga (Morse 1980). Jumlah
spesies yang paling banyak di habitat perkebunan kelapa sawit terdapat pada HO2
(7 spesies). Lokasi yang memiliki jumlah spesies paling sedikit adalah HO1 (3
spesies). Banyak takson hewan yang berkurang keanekaragaman dan
kelimpahannya pada konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Pada lokasi tersebut umumnya terjadi kehilangan spesies yang hidup dalam
jumlah yang besar (Foster et al. 2011).
Di lokasi HR, ditemukan 9 spesies dengan genus yang paling banyak
ditemukan adalah Ceratina. Lokasi yang memiliki jumlah spesies yang terbanyak
adalah HR3 (6 spesies). Di lokasi HR2 tidak ditemukan serangga. Habitat
perkebunan karet merupakan habitat yang memiliki keanekaragaman serangga
paling rendah dibandingkan dengan tipe habitat lainnya. Beberapa penelitian
melaporkan penurunan jumlah fauna yang signifikan pada perkebunan,
dibandingkan dengan hutan alami. Danielsen dan Heegaard (1995) melaporkan
bahwa konversi hutan karet menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet menuju ke
arah berkurangnya diversitas hewan.
Di hutan karet, ditemukan 14 spesies, genus yang paling umum ditemukan
adalah Trigona (7 spesies). Lokasi hutan karet yang paling banyak memiliki
keanekaragaman spesies adalah HJ3 (7 spesies), sedangkan yang paling sedikit
terdapat pada HJ1 (2 spesies). Pada umumnya, kekayaan spesies pada hutan karet
lebih tinggi dibandingkan pada perkebunan karet. Hutan karet mendukung
diversitas spesies pada lahan yang didominasi oleh tanaman monokultur (Cotter et
al. 2009).
Di pedesaan, terdapat 9 spesies dengan genus yang paling banyak
ditemukan adalah Trigona. Pedesaan yang memiliki jumlah spesies paling banyak
adalah Desa Bungku 2 (4 spesies), sedangkan pada Desa Batu Kucing dan Desa
Pematang Kabau 2 hanya ditemukan masing-masing 1 spesies.

6
Tabel 2 Jumlah spesies Hymenoptera dan kondisi lingkungan pada setiap habitat
di Jambi
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
a

Habitat

HO

HR

HJ

Pedesaan

Spesies
Apis cerana
A. dorsata
Reepenia sp.
Trigona laeviceps
Sphex aurulentusa
Ceratina accusator
Lasioglossum sp.
Polistes sp.a
Agapostemon sp.
Vespa tropicaa
Xylocopa collaris
T. reepeni
X. confusa
Ceratina lieftincki
C. cognata
T. itama
C. bryanti
T. laeviceps
Reepenia sp.
X. collaris
C. accusator
Pseudepipona sp.a
Lasioglossum sp.
T. reepeni
C. comberi
A. cerana
A. dorsata
T. laeviceps
T. terminata
Stenodynerus sp.a
T. reepeni
Halictus sp.
Megachile fulvifrons
Monodontonyx javanusa
Vespa bellicosaa
T. ventralis
T. minangkabau
T. nitridiventris
T. geissleri
A. dorsata
T. laeviceps
A. cerana
T. thoracica
T. fuscobalteata
X. latipes
A. andreniformis
Lasioglossum sp.
X. confusa

Jumlah
Spesies

Kondisi lingkungan rata-rata
Suhu Kelembapan Intensitas
(oC)
udara (%)
cahaya (Lux)

16

28.5

78

12907

9

29.7

79

6628

14

28.2

82

6480

9

33.1

71.1

2681.778

Spesies predator; Kode lokasi penelitian mengacu pada Tabel 1

7

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)

(h)

(i)

(j)

(k)

(l)

(m)

(n)

(o)

(p)

(q)

(r)

(s)

(t)

(u)

Gambar 2 Serangga dalam famili Apidae: (a) Apis cerana, (b) A.dorsata, (c) A.
andreniformis, (d) Trigona laeviceps, (e) T. reepeni, (f) T. itama, (g) T.
terminata, (h) T. ventralis, (i) T. minangkabau, (j) T. nitidiventris, (k)
T. geissleri, (l) T. thoracica, (m) T. fuscobalteata (subfamili Apinae),
(n) Ceratina accusator, (o) C. cognata, (p) C. comberi, (q) C. bryanti,
(r) C. lieftincki, (s) Xylocopa collaris, (t) X. confusa, (u) X. latipes
(subfamili Xylocopinae)

8

(a)

(d)

(b)

(c)

(e)

Gambar 3 Serangga Hymenoptera herbivor: (a) Halictus sp., (b) Agapostemon sp.,
(c) Lasioglossum sp., (d) Reepenia sp. (Halictidae) dan (e)
Megachile fulvifrons (Megachilidae)

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

(g)
Gambar

4

Serangga Hymenoptera predator: (a) Monodontyx javanus
(Pompilidae), (b) Sphex aurulentus (Sphecidae), (c) Polistes sp.,
(d) Vespa bellicosa, (e) V. tropica, (f) Pseudepipona sp., dan (g)
msp. (Vespidae)

Beberapa serangga yang termasuk ke dalam kelompok serangga predator
ditemukan pada pengamatan ini (Tabel 2). Serangga-serangga predator tersebut
ditemukan pada semua habitat vegetasi, namun tidak selalu dapat ditemukan pada
setiap lokasi penelitian. Pada lokasi pedesaan, tidak ditemukan serangga predator
pada saat pengamatan. Serangga tersebut adalah serangga yang termasuk ke dalam
famili Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae. Serangga yang termasuk ke dalam
famili Pompilidae umumnya memangsa laba-laba sebagai makanan untuk
larvanya (Goulet dan Huber 1993).

9
Serangga Sphecidae betina melakukan perburuan terhadap Arthropoda
untuk dijadikan makanan bagi keturunannya (Bohart dan Menke 1976). Famili
Vespidae merupakan predator dari famili Apidae dan beberapa serangga herbivor
lainnya (Michener 2000). Serangga Vespidae dapat menyerang lebah pada saat
lebah mencari pakan atau pada saat lebah masuk ke sarang (Morse 1980). Proses
predasi tersebut tidak ditemukan pada saat pengamatan.
Berdasarkan hasil pengamatan, genus Trigona memiliki jumlah spesies
paling banyak ditemukan selama pengamatan (10 spesies) (Tabel 2), dan delapan
spesies yang ditemukan termasuk ke dalam database stingless bee Schwarz
(1939) (Tabel 3). Terdapat dua spesies endemik di Sumatera, yaitu Trigona
minangkabau dan T. lieftincki (Sakagami et al. 1990). Salah satu spesies endemik
yang ditemukan pada pengamatan ini adalah T. minangkabau (Gambar 2i).
Kekayaan dan kelimpahan stingless bee dipengaruhi oleh keanekaragaman
struktur dan kondisi hutan lokal, seperti jarak dengan hutan primer, jarak dengan
tepi hutan (Liow et al. 2001), keanekaragaman habitat, dan tingkat gangguannya
(Salmah et al. 1990).
Tabel 3 Keberadaan Trigona berdasarkan database stingless bee (SC= Schwarz
1939, SN= Sakagami 1990)
No
Genus
Subgenus
Spesies
1
Hypotrigona
(Pariotrigona)
pendleburyi
2
scintillans
3
Trigona
(Lepidotrigona)
nitidiventris*
4
trochanterica
5
terminata*
6
ventralis ventralis *
7
(Homotrigona)
fimbriata
8
(Heterotrigona)
itama*
9
(Lophotrigona)
canifrons
10
(Geniotrigona)
thoracica*
11
(Tetrigona)
apicalis
12
melanoleuca
13
(Trigonella)
moorei
14
lieftincki
15
(Tetragonula)
16
atripes gr.
atripes
17
collina
18
fuscibasis
19
repeni gr.
reepeni*
20
fuscobalteata*
21
laeviceps gr.
melina
22
drescheri
23
minangkabau*
24
minangkabau f. Darek
25
laeviceps s. lat.*
(*) Spesies yang ditemukan dalam penelitian ini

SC

+
+
+
+
+
+
+
+
+

+
+

+
+

+

SN
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+

10
Ciri-ciri Umum Serangga yang Dikoleksi
Famili Apidae merupakan salah satu famili lebah yang paling tinggi
keanekaragamannya. Apidae terdiri dari famili lebah sosial, lebah soliter dan
lebah komunal. Banyak lebah Apidae memiliki alat mulut yang telah
termodifikasi menjadi proboscis, yang memungkinkan untuk menghisap nektar.
Apidae juga memiliki tungkai yang berseta dan kantong polen pada tungkainya,
misalnya genus Apis dan Trigona (Michener 2000). Apidae dibagi ke dalam tiga
subfamili, yaitu Apinae, Xylocopinae dan Nomadinae (Roig-Alsina dan Michener
1993). Dalam pengamatan ini hanya ditemukan subfamili Apinae dan
Xylocopinae.
Subfamili Apinae terdiri dari semua lebah yang memiliki korbikula, salah
satunya adalah lebah madu (Michener 2000). Lebah madu dapat dikenali dari
tubuhnya yang berwarna coklat keemasan, bentuk sel marjinal dan submarjinal
sayap depannya dan tidak adanya taji pada tibia belakang. Lebah madu
merupakan spesies yang umum dan banyak diketahui dan merupakan lebah yang
paling berperan penting dalam polinasi (Triplehorn dan Johnson 2004). Serangga
dalam subfamili Xylocopinae memiliki ukuran yang sangat beragam, namun
serangga-serangga tersebut memiliki karakter yang sama, yaitu memiliki
basitarsus belakang yang panjang, ramping dan hampir tidak datar, dan juga relatif
memiliki kepala yang rata (Michener 2000).
Famili Halictidae memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang. Beberapa
spesiesnya berwarna metalik, umumnya dikenali melalui segmen pertama yang
bebas dan melengkung pada venasi tengah sayapnya (Triplehorn dan Johnson
2004). Halictinae termasuk kelompok lebah yang memiliki alat mulut yang
pendek (Alexander dan Michener 1995). Serangga pemotong daun (leaf-cutter
bee) atau serangga famili Megachilidae memiliki labrum yang berbentuk seperti
persegi panjang dengan gigi sebanyak tiga atau lebih. Serangga ini membawa
bahan-bahan untuk membuat sarang mereka menggunakan mandibulanya
(Michener 2000).
Famili Pompilidae atau spider wasp adalah serangga soliter yang ramping
dengan tungkai panjang dan berduri, umumnya berukuran tubuh sekitar 35-40 mm
dan berwarna gelap dengan sayap keabuan atau kekuningan (Day 1988). Famili
Sphecidae dapat dibedakan dari tawon lainnya dengan memperhatikan
pronotumnya yang lurus pada bagian batas posteriornya dan umumnya terdapat
penyempitan diantara batas posterior dengan mesoskutumnya (membentuk seperti
kerah). Secara lateral, pronotum berakhir pada cuping melingkar yang tidak
mencapai tegula (O’Neill 2000).
Serangga dalam famili Vespidae umumnya berwarna hitam dengan corak
berwarna kuning, keputihan atau kecoklatan. Pronotum memanjang ke belakang
hingga tegula, berbentuk seperti segitiga dari bagian lateralnya (Carpenter 1981).
Famili Vespidae dapat dibagi ke dalam lima subfamili (Triplehorn dan Johnson
2004) dan tiga subfamili ditemukan dalam penelitian ini, yaitu subfamili
Eumeninae, Vespinae dan Polistinae. Serangga dalam subfamili Eumininae adalah
serangga soliter yang memiliki struktur morfologi fovea yang unik, lubang yang
berpasangan berlokasi di belakang oceli pada vertexnya (Carpenter dan Cumming
1985).

11
Serangga dalam subfamili Vespinae dan Polistinae adalah serangga eusosial
(Hunt 2007). Subfamili Polistinae atau yang dikenal dengan paper wasp bertubuh
memanjang dan ramping dengan metasoma yang berbentuk seperti gelendong,
umumnya berwarna kemerahan atau coklat dengan tanda kuning (Triplehorn dan
Johnson 2004). Subfamili Vespinae memiliki ciri clypeus dengan potongan yang
lebar dan berseta panjang pada bagian kepala dan tubuhnya (Buck et al. 2008).
Deskripsi Trigona
Pada umumnya, Trigona merupakan spesies yang berukuran kecil, berwarna
hitam dan tidak menyengat. Lebah ini tersebar di daerah tropis dan subtropis
selatan belahan dunia. Trigona dapat ditemukan dalam koloni yang anggotanya
berupa seekor ratu dan pekerja betina yang jumlahnya berkisar dari hanya
beberapa puluh sampai 180.000 individu atau lebih (Michener 2000). Berdasarkan
hasil pengamatan, Trigona laeviceps merupakan spesies Trigona yang paling
banyak ditemukan dan hampir terdapat pada setiap tipe habitat. Berdasarkan
Sakagami et al. (1990) T. (Tetragonula) laeviceps (Gambar 2d) memiliki ukuran
tubuh kurang dari 4 mm (sekitar 3,5 mm atau lebih); memiliki warna utama hitam,
pada kepalanya (kecuali pada clypeus) dan pada mesosomal dorsumnya berwarna
kehitaman; ruang malarnya linear atau lebih pendek dari setengah lebarnya
flagellomere; gena terlihat jelas lebih pendek dari mata; jarak ocellocipital sekitar
setengahnya dari diameter ocellar; memiliki dua gigi yang lemah pada
mandibulanya; memiliki mesoscutal yang tidak berseta terutama pada bagian
lateral yang pertama, tidak jelas terlihat; mesoscutellum terlihat jelas
memproyeksikan ke belakang, memiliki kemiringan melebihi propodeum bagian
posterior; propodeum tidak berseta dan berkilau; basitarsus belakang memiliki
cakram elips pada bagian bawahnya mendekati bulu halus, berukuran setengah
dari lebar dari tibia belakang atau lebih pendek; ukuran tibia belakangnya kurang
dari 2 mm, seta pada bagian posteriornya terdiri dari seta bercabang; sayap
depannya tidak berwarna atau hanya sedikit berwarna kecoklatan.
Spesies endemik yang ditemukan pada pengamatan ini adalah T.
(Tetragonula) minangkabau (Gambar 2i) yang memiliki ciri berdasarkan
Sakagami (1990) sebagai berikut: memiliki ukuran tubuh sekitar 3.2-3.5 mm,
ukuran sayap 3.8-4.0 mm; clypeus, tegula, sebagian tungkai belakang dan
metasoma dasarnya berwarna coklat pucat hingga berwarna seperti karat, bagian
yang lebih pucat relatif bersifat lebih dalam; clypeus dan tegulanya berwarna
merah bata pucat hingga seperti karat, terkadang berwarna coklat chestnut;
metasoma berwarna utama coklat chestnut; jarak malar linear atau lebih pendek
dari setengahnya lebar flagellomere 2; gena terlihat jelas lebih pendek daripada
mata; jarak ocellocipital sekitar setengahnya dari diameter ocellar; mandibula
dengan dua gigi yang lemah; memiliki mesoscutal yang tidak berseta terutama
pada bagian lateral yang pertama, tidak terlalu jelas; mesoscutellum terlihat jelas
memproyeksikan ke belakang, memiliki kemiringan melebihi propodeum bagian
posterior; propodeum tidak berseta dan berkilau; basitarsus belakang memiliki
cakram elips pada bagian bawahnya mendekati bulu halus, berukuran setengah
dari lebar dari tibia belakang atau lebih pendek; ukuran tibia belakangnya kurang
dari 2 mm, seta pada bagian posteriornya terdiri dari seta bercabang; sayap
depannya tidak berwarna atau sedikit berwarna kecoklatan.

12
Kondisi Lingkungan di Lokasi Penelitian
Pengamatan lingkungan yang dilakukan pada setiap lokasi menunjukkan
hasil yang bervariasi dengan kisaran suhu rata-rata pada tiga habitat utama, yaitu
25,6 – 32,4 oC. Suhu rata-rata yang paling tinggi terukur pada HR3 (25,6 oC) dan
suhu rata-rata terendah terukur pada HJ3 (32,4 oC) (Gambar 9). Kisaran
kelembapan udara adalah 72 – 89%, dengan kelembapan udara tertinggi terukur
pada HJ3 (89%), dan kelembapan udara terendah terukur pada HR3 (72%)
(Gambar 10). Kisaran intensitas cahaya pada ketiga habitat utama adalah sebesar
3204 – 30992 lux dengan intensitas cahaya tertinggi terukur pada HO3 (30992
lux) dan intensitas cahaya terendah terukur pada HR3 (3204 lux) (Gambar 11).
Pengamatan lingkungan dilakukan untuk mengetahui korelasi kondisi lingkungan
dengan jumlah spesies yang ditemukan selama pengamatan.

Suhu (OC)

35
30
25
20


HR
Lokasi Pengamatan

HO

HJ

Kelembapan udara
(%)

Gambar 5 Rata-rata suhu pada setiap lokasi pengamatan
90
85
80
75
70

HO

HR
Lokasi Pengamatan

HJ

Intensitas cahaya
(Lux)

Gambar 6 Rata-rata kelembapan udara pada setiap lokasi pengamatan
40000
30000
20000
10000
0
HO

HR
Lokasi Pengamatan

HJ

Gambar 7 Rata-rata intensitas cahaya pada setiap lokasi pengamatan

13
Hubungan Faktor Lingkungan dengan Jumlah Spesies
Secara umum, jumlah spesies memiliki korelasi positif dengan suhu,
dengan nilai korelasi 0.11. Jumlah spesies Hymenoptera juga berkorelasi positif
dengan intensitas cahaya dengan nilai korelasi 0.168. Namun, jumlah spesies
dengan kelembapan udara memiliki korelasi negatif dengan nilai korelasi -0.089
(Tabel 4). Semakin besar nilai korelasi maka kedua faktor yang dikorelasikan
memiliki korelasi yang kuat. Hasil PCA menunjukkan arah vektor dalam kuadran
korelasi antara faktor lingkungan dengan jumlah spesies. Di habitat perkebunan
kelapa sawit dan perkebunan karet, jumlah spesies menunjukkan korelasi positif
dengan suhu dan intensitas cahaya yang ditunjukkan dengan arah vektor yang
searah, sedangkan jumlah spesies dengan kelembapan udara berkorelasi negatif
yang ditunjukkan dengan arah vektor yang berlawanan (Gambar 12a).
Pada habitat hutan karet, jumlah spesies Hymenoptera berkorelasi positif
dengan kelembapan udara dan berkorelasi negatif dengan suhu dan intensitas
cahaya (Gambar 12b). Hal ini dikarenakan habitat hutan karet memiliki suhu
udara dan intensitas cahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua habitat
vegetasi perkebunan. Sedikitnya sinar matahari yang masuk ke dalam habitat ini
menyebabkan serangga melakukan pencarian pakan pada pohon yang lebih tinggi.
Menurut Verma dan Dulta (1986), aktivitas mencari pakan Apis cerana terhambat
dan berhenti lebih awal seiring dengan meningkatnya ketinggian pohon.
Tabel 4 Korelasi antara faktor lingkungan dengan jumlah spesies Hymenoptera
Parameter lingkungan
Suhu
Kelembapan udara
Intensitas cahaya

(a)

Jumlah Spesies
Korelasi Pearson
0.11
-0.089
0.168

Probabilitas
1
1
1

(b)

Gambar 8 Hasil analisis PCA hubungan antara suhu, kelembapan udara dan
intensitas cahaya dengan jumlah spesies Hymenoptera di habitat
vegetasi (a) perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet dan (b)
hutan karet.

14
Korelasi jumlah spesies Hymenoptera dengan parameter lingkungan
memiliki nilai probabilitas sebesar 1. Hal ini menunjukkan bahwa parameter
lingkungan dan jumlah spesies tidak berkorelasi signifikan. Menurut Faheem et al.
(2004), aktivitas mencari makan serangga sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti ketinggian, temperatur udara, intensitas cahaya, kelembapan
udara, kecepatan angin, dan curah hujan.
Suhu udara mempengaruhi serangga pollinator. Energi yang diperlukan
pada saat serangga mencari pakan sebagian dipengaruhi oleh suhu lingkungan
(Heinrich 1979). Aktivitas pencarian pakan lebah juga sangat dipengaruhi oleh
perubahan suhu udara. Aktivitas pencarian pakan akan berhenti pada saat suhu
udara lebih rendah dari 8 oC. Aktivitas lainnya berlangsung pada suhu antara 8-16
o
C, aktivitas optimum berlangsung pada suhu antara 16-32 oC dan aktivitas
pencarian pakan akan berkurang pada saat suhu di atas 32 oC (Roberts 1979).
Faheem et al. (2004) melaporkan bahwa aktivitas serangga sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya, baik pada serangga nokturnal dan diurnal.
Lebah madu beraktivitas pada saat intensitas cahaya sebesar 500 lux dan
aktivitasnya menurun dan berhenti pada saat intensitas cahaya sebesar 10 lux
(Levchenko 1961). Kelembapan udara juga mempengaruhi aktivitas serangga
(Levesque dan Burger 1982) dan lebah (Cruden 1972).
Keseimbangan Ekosistem
Jumlah spesies hewan pada suatu habitat tidak hanya ditentukan oleh faktor
lingkungannya, tapi juga oleh ketersediaan makanan. Makanan adalah salah satu
faktor yang sangat penting dalam menentukan banyaknya hewan (Triplehorn dan
Johnson 2004). Pada perkebunan kelapa sawit terdapat tanaman semak yang pada
umumnya didominasi oleh tanaman Mimosa pudica. Pada tipe habitat perkebunan
kelapa sawit masih ditemukan lebih banyak spesies dibandingkan tipe habitat
lainya dan ditemukan 3 spesies predator yang termasuk ke dalam famili Vespidae,
yaitu Sphex aurulentus, Polistes sp., dan Vespa tropica. Banyaknya spesies yang
ditemukan pada saat pengamatan dikarenakan serangga masih bisa melakukan
aktivitas pencarian pakan pada bunga kelapa sawit. Danielsen et al. (2009)
melaporkan bahwa keanekaragaman avertebrata (nyamuk, lebah, kumbang, kupukupu, semut dan ngengat) tidak banyak berbeda antara pada perkebunan kelapa
sawit dengan hutan. Namun, Foster et al. (2011) menyatakan bahwa pada
perkebunan kelapa sawit terjadi kehilangan spesies yang lebih besar dalam jangka
waktu yang panjang. Walaupun masih terdapat spesies herbivor dan predator,
namun jika beberapa herbivor mencari pakan pada jenis tanaman yang sama
dalam satu tempat maka tempat tersebut memiliki keanekaragaman yang rendah
(Duffy 2002).
Serangga atau lebah yang ditemukan pada perkebunan karet adalah
serangga yang hinggap di bunga atau semak, bukan pada pohon karet. Pada
tumbuhan karet, nektar ekstraflora menetes pada sambungan dari petiol daun
muda yang berbentuk trifoliate (Devanesan et al. 2011). Nektar tersebut tidak
ditemukan pada saat pengamatan. Keanekaragaman Apidae pada pada perkebunan
karet merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan keanekaragaman pada
perkebunan kelapa sawit dan hutan karet. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

15
nektar atau polen yang dapat diambil oleh serangga pada pohon karet sangat
terbatas.
Pada habitat hutan karet terdapat beberapa spesies serangga yang mencari
pakan pada pohon-pohon yang tidak teramati oleh pengamat. Oleh karena itu,
sebagian serangga tidak dapat dikoleksi. Walaupun kondisi hutan karet lebih
tertutup dan lembab dibandingkan habitat perkebunan, serangga masih dapat
hidup di habitat tersebut. Agroforestri ini ditanam dan dimiliki petani dengan
komponen vegetasinya cukup besar, sebagai vegetasi hutan sekunder (Beukema et
al. 2007). Sebagai agroforestri yang kompleks, habitat tersebut dapat
menyediakan lebih banyak pengaruh ekologis yang positif dibandingkan dengan
perkebunan karet (Angelsen 1995).
Berdasarkan Liow et al. (2001), terdapat kecenderungan penurunan
kepadatan jumlah spesies dan populasi pada beberapa takson di Asia Tenggara
yang disebabkan oleh meningkatnya gangguan hutan, seperti penebangan atau
perubahan hutan menjadi lahan monokultur. Salah satunya takson yang memiliki
kecenderungan penurunan spesiesnya adalah lebah. Padahal, kelompok lebah
memiliki fungsi ekosistem yang penting, seperti siklus nutrisi, predasi dan
polinasi. Kelimpahan lebah memiliki potensi sebagai penyangga ekosistem dalam
melawan perubahan yang disebabkan hilangnya spesies serangga lain (Fitzherbert
et al. 2001).

SIMPULAN
Dalam penelitian ini didapatkan 6 famili Hymenoptera di tiga habitat
vegetasi (perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan hutan karet) dan habitat
pedesaan di sekitar Hutan Harapan, Jambi, Sumatera, yaitu Apidae, Halictidae,
Megachilidae, Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae. Kelimpahan terbesar
Hymenoptera di habitat tersebut pada genus Apis dan Trigona. Spesies endemik
yang ditemukan pada penelitian ini ialah Trigona minangkabau. Famili Apidae,
Halictidae dan Megachilidae merupakan spesies herbivor, sedangkan famili
Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae merupakan serangga predaor.
Keanekaragaman Hymenoptera yang paling tinggi terdapat pada habitat
perkebunan kelapa sawit, dan paling rendah pada perkebunan karet dan pedesaan.
Secara umum, jumlah spesies yang ditemukan memiliki korelasi positif dengan
suhu dan intensitas cahaya, namun berkorelasi negatif dengan kelembapan udara.

DAFTAR PUSTAKA
Alexander BA, Michener CD. 1995. Phylogenetic studies of the families of shorttongued bees. Univ Kansas Sci Bull. 55:377-424.
Angelsen A. 1995. Shifting cultivation and “deforestation”, a study from
Indonesia. Wor Develop. 23: 1713-1729.
Beukema H, Danielsen F, Vincent G, Hardiwinoto S, van Andel J. 2007. Plant
and bird diversity in rubber agroforests in the lowland of Sumatra,
Indonesia. Agrofor Syst. 70:217-242.

16
Bohart RM, Menke AS. 1976. Sphecid Wasps of the World: A Generic Revision.
Barkeley (US): Univ of California Pr.
Buck M, Marshall SA, Ceung DKB. 2008. Identification atlas of the Vespidae
(Hymenoptera, Aculeata) of the northeastern Neartic region. Canada J
Arthrop Identif . 5: 1-492.
Carpenter JM. 1981. The phylogenetic: relationships and natural classification of
the Vespoidea (Hymenoptera). Syst Entomol. 7: 11-38.
Carpenter JM, Cumming JM. 1985. A character analysis of the North American
potter wasps (Hymenoptera: Vespidae: Eumeninae). J Nat Hist. 19: 877916.
Cotter M, Martin K, Sauerborn J. 2009. How do “renewable products” impact
biodiversity and ecosystem services – the example of natural rubber in
China. JARTS. 110: 9-22.
Cruden RW. 1972. Pollinators in high-elevation ecosystem: Relative effectiveness
of birds and bees. Sci. 176: 1439-1440.
Danielsen F, Heegaard M. 1995. Impact of logging and plantation development on
species diversity – a case study from Sumatra. Di dalam: Sandbukt O.
1995. Centre for Development and the Environment. Oslo (NO):
University of Oslo. hlm. 73-92.
Danielsen F, Beukema H, Burgess ND, Parish F, Brühl CA, Donald PF,
Murdiyarso D, Phalan B, Reijnders L, Struebig M et al. 2009. Biofuel
plantations on forested lands: double jeopardy for biodiversity and climate.
Conserv Biol. 23:348-358.
Day MC. 1988. Spider Wasp (Hymenoptera: Pompilidae). London (GB): Royal
Entomological Society of London.
Devanesan S, Premila KS, Shailaja KK. 2011. Influence of climate change on
rubber honey production. Nat Rubb Res. 24: 170.
Duffy JE. 2002. Biodiversity and ecosystem function: the consumer connection.
OIKOS 99:201-219.
Ekadinata A,Vincent G. 2008. Dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo, Jambi.
Di dalam: Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D,
Siagian YL, Munggoro DW, editor. Belajar dari Bungo: Mengelola
Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor (ID): Center for
International Forestry Research (CIFOR). hlm. 53-62.
Faheem M, Aslam M, Razaq M. 2004. Pollination ecology with special reference
to insects-a review. J Res (Sci). 15: 395-409.
Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Bruhl CA, Donald PF, Phalan
B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity? Trends Ecol
Evol. 23:538–545.
Foster WA, Snaddon JL, Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF,
Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV et al. 2011. Establishing
the evidence base for maintaining biodiversity and ecosystem function in
the oil palm landscape of South East Asia. Phil Trans R Soc B. 366 : 32773291.
Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of the World: An identification Guide to
Families. Ottawa (CA): Agriculture Canada Publication.
Heinrich B. 1979. Bumblebee Economics. Cambridge (GB): Harvard Univ Pr.
Hunt JH. 2007. The Evolution of Social Wasps. Oxford (GB): Oxford Univ Pr.

17
Levchenko IA. 1961. Twilight vision of bees. Pchelovodstvo. 38: 5-6.
Levesque CM, Burger JF. 1982. Insects (Diptera, Hymenoptera) associated with
Minuartia groenlandica (Caryophyllaceae) on Mount Washin gton, New
Hampshire, and their possible role as pollinators. Arct Alp Res. 14: 117124.
Liow LH, Sodhi NS, Elmqvist T. 2001. Bee diversity along a disturbance gradient
in tropical lowland forests of Southeast Asia. J App Ecol. 38: 180–192.
McGeoch MA, Chown SL. 1998. Scaling up the value of bioindicators. TREE. 13:
46-47.
Michener CD. 2000. The Bees of The World. Baltimore (US): The John Hopkins
Univ Pr.
Morse RA. 1980. Honey Bee Pests, Predators, and Disease. London (GB):
Cornell Univ Pr.
O’Neill KM. 2000. Solitary Wasp: Behavior and Natural History. California
(US): Comstock Publication.
th
Roberts RB. 1979. Energetics of cranberry pollination. Proc 4 Int Symp Poll Md
Agric Exp Stn Spec Misc. 1: 431-440.
Sakagami SF, Ohgushi R, Roubik DW. 1990. Natural History of Social Wasps
and Bees in Equatorial Sumatra. Sapporo (JP): Hokkaido Univ Pr.
Salmah S, Inoue T, Sakagami SF. 1990. An analysis of apid bee richness (Apidae)
in central Sumatra. Di dalam: Sakagami SF, Ohgushi R, Roubik DW,
editor. Natural History of Social Wasps and Bees in Equatorial Sumatra.
Sapporo (JP): Hokkaido Univ Pr. hlm 139-174.
Schwarz HF. 1939. The Indo-Malayan species of Trigona. Bull Amer Mus Nat
Hist. 76:83-141.
Sodhi NS, Koh LP, Brooke BW and Ng PK. 2004. South East Asian biodiversity:
an impeding disaster. Trends Ecol Evol. 19:654–660.
Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects, Concept and
Aplications. Oxford (GB): Blackwell Science.
Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990-2000: Dasawarsa
Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Di dalam: Adnan H, Tadjudin D, Yuliani
EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL, Munggoro DW, editor.
Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi.
Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). hlm. 3749.
Triplehorn CA, Johnson NF. 2004. Borror and DeLong’s Introduction To the
Study of Insect 7th Edition. Stamford (US): Cengage Learning.
Vecht JvD. 1952. A preliminary revision of the oriental species of the genus
Ceratina (Hymenoptera, Apidae). Zoologishe Verhandelingen 16. Leiden
(NZ): E.J. Brill.
Verma LR, Dulta DK. 1986. Foraging behavior of Apis cerana indica and Apis
mellifera in pollinating apple flowers. J Apic Resist. 25: 197-201.

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Januari 1990
sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Saso
Soegiarso Soegito dan Prapti Nirmalawati. Penulis lulus dari
SMP Negeri 5 Bogor pada tahun 2005 dan lulus dari SMA
Negeri 3 Bogor pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis
diterima di Jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memiliki pengalaman sebagai asisten praktikum pada mata kuliah
Ekologi Dasar pada tahun 2010, Avertebrata dan Fungsi Hayati Hewan pada
tahun 2011, Vertebrata pada tahun 2012 dan Fungsi Hayati Hewan pada tahun
2013. Penulis aktif sebagai anggota UKM Bola Basket IPB (AGRIC) sejak tahun
2008.
Penulis aktif dalam beberapa kepanitiaan kegiatan kampus seperti Biologi
Interaktif, Grand Biodiversity, Bionic, Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI), Sport
and Art Competition on MIPA Faculty (SPIRIT), Libama Divisi 2 Jawa Barat dan
pernah mengikuti pertandingan Liga Basket Mahasiswa (Libama) Divisi 1 Jawa
Barat di Bandung pada tahun 2009 dan 2010. Penulis telah melakukan studi
lapangan di Taman Wisata dan Cagar Alam Pangandaran pada tahun 2010
mengenai “Keberadaan Telur Cacing Parasit pada Sapi Bali (Bibos javanicus) di
Kawasan Konservasi Pangandaran”. Pada tahun 2011, penulis melakukan praktik
lapangan di Taman Margasatwa Ragunan yang berjudul “Konservasi ex-situ
Binturong Jawa (Arctictis binturong javanicus) di Taman Margasatwa Ragunan
Jakarta”.