Hubungan Antara Struktur Lanskap Pertanian Dengan Komunitas Lepidoptera Dan Hymenoptera Parasitika

HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR LANSKAP PERTANIAN
DENGAN KOMUNITAS LEPIDOPTERA DAN
HYMENOPTERA PARASITIKA

EVAWATY SRI ULINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Hubungan antara
Struktur Lanskap Pertanian dengan Komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera
Parasitika adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Evawaty Sri Ulina
NIM A361110011

iv

RINGKASAN
EVAWATY SRI ULINA. Hubungan antara Struktur Lanskap Pertanian dengan
Komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera Parasitika. Dibimbing oleh
DAMAYANTI BUCHORI, SJAFRIDA MANUWOTO dan PUDJIANTO.
Sektor pertanian masih dihadapkan pada permasalahan rendahnya produksi
komoditas pertanian walaupun berbagai cara telah dilakukan baik melalui
pendekatan intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Di sisi lain, pendekatan
tersebut menyebabkan menurunnya keanekaragaman hayati yang diketahui
memiliki kontribusi besar pada layanan ekosistem dalam usaha mewujudkan
pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu, lahan pertanian yang kurang sesuai bagi
perkembangan serangga hama namun mendukung perkembangan musuh alami

perlu dirancang. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
hubungan antara struktur lanskap, keanekaragaman spesies dan interaksi spesies
yang terjadi di pertanaman, sehingga dapat dikembangkan menjadi landasan
pengembangan pengendalian hama dalam rangka mewujudkan pertanian
berkelanjutan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui
komposisi dan konfigurasi lanskap pertanian di kawasan Bogor, Sukabumi, dan
Cianjur, Jawa Barat; (2) mempelajari praktik budi daya mentimun yang dilakukan
oleh petani; (3) menjelaskan hubungan antara kompleksitas lanskap pertanian
dengan komunitas hama Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika; (4) menjelaskan
hubungan antara jarak dari habitat alami dengan komunitas Lepidoptera dan
Hymenoptera parasitika; (5) mempelajari pergerakan parasitoid yang dominan
memarasit serangga herbivora pada tanaman mentimun dan mengukur jarak terbang
parasitoid tersebut.
Daerah penelitian adalah lanskap pertanian yang berada di kawasan Bogor,
Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat. Pada daerah tersebut ditentukan 16 lokasi
penelitian dengan kriteria memiliki lahan pertanaman mentimun, luas pertanaman
mentimun 1 250 m2 (25 m x 50 m), jarak antar lokasi penelitian minimal 3 km dan
memiliki habitat alami. Kuantifikasi lanskap dilakukan pada radius 500 m, dengan
pertanaman mentimun sebagai titik pusatnya. Secara umum, 16 lokasi penelitian
tersebut memiliki jenis penggunaan lahan yang sama, yaitu lahan pertanian,

pepohonan, semak, perumahan, jalan dan badan air. Dalam radius 500 m (78.56
ha), kondisi lanskap di masing-masing lokasi penelitian tersebut sangat bervariasi.
Proporsi lahan pertanian berkisar 16.20% – 68.56%, sedangkan area pepohonan
berkisar antara 4.6% – 61.40%. Jenis tanaman yang dibudidayakan berjumlah 3 –
15 tanaman. Number of patch (NumP) berkisar antara 46 – 190, mean patch size
(MPS) berkisar antara 0.41 – 1.72 ha, total edge (TE) berkisar antara 26 735 – 59
812 m. Matriks lokasi penelitian adalah lahan pertanian. Lokasi penelitian dapat
dikelompokan menjadi empat tipe lanskap yaitu lanskap sangat sederhana (habitat
alami 12%), sederhana (habitat alami 22%), kompleks (habitat alami 31%) dan
sangat kompleks (habitat alami 35%). Berdasarkan jarak dari habitat alami, lanskap
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertanaman dekat dari habitat alami (< 200 m)
dan jauh dari habitat alami (> 400 m).
Petani mentimun di empat tipe lanskap tersebut umumnya memiliki usia
produktif, luas lahan garapan < 0.5 ha, pendidikan petani rendah dan tidak pernah
mengikuti penyuluhan pertanian. Menurut petani responden, Diaphania indica

vi
(Lepidoptera: Crambidae) merupakan hama yang ditemukan sepanjang masa
pertumbuhan tanaman mentimun, sedangkan Aulacophora similis (Coleoptera:
Chrysomelidae) dianggap sebagai hama utama pada masa awal pertumbuhan

tanaman mentimun. Seluruh petani responden tidak mengetahui peran serangga
sebagai musuh alami dan penyerbuk. Petani umumnya menggunakan pestisida
untuk mengendalikan serangan hama. Perilaku petani dalam penggunaan pestisida
relatif tidak berbeda antar tipe lanskap.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompleksitas lanskap tidak
memengaruhi komunitas Lepidoptera namun memengaruhi kelimpahan parasitoid,
keanekaragaman fungsional Hymenoptera parasitika dan parasitisasinya. Rata-rata
ukuran patch (MPS) dan jumlah patch (NumP) habitat pertanian memengaruhi
parasitisasi dan keanekaragaman fungsional Hymenoptera parasitika. Peningkatan
rata-rata ukuran patch habitat pertanian menyebabkan parasitisasi dan
keanekaragaman fungsional menurun, dan sebaliknya pertambahan jumlah patch
pertanian akan meningkatkan parasitisasi dan keanekaragaman fungsional
Hymenoptera parasitika.
Jarak pertanaman mentimun dari habitat alami tidak memengaruhi
keanekaragaman dan kelimpahan komunitas Lepidoptera, parasitoid primer dan
hiperparasitoid pada pertanaman tersebut. Namun, jarak pertanaman mentimun dari
habitat alami memengaruhi persentase Diaphania indica terparasit.
Keanekaragaman dan kelimpahan Hymenoptera parasitika cenderung meningkat
dengan semakin dekatnya pertanaman mentimun dari habitat alami. Sejumlah 56
(43.1%) spesies Hymenoptera parasitika hanya ditemukan pada pertanaman dengan

jarak tertentu saja dari habitat alami. Dari jumlah tersebut, sebanyak 39 spesies
(69.6%) Hymenoptera parasitika ditemukan di pertanaman mentimun yang berjarak
dekat dari habitat alami, sedangkan pada pertanaman yang berjarak sedang dari
habitat alami ditemukan 17 spesies (13.1%). Keragaman fungsional Hymenoptera
parasitika cenderung meningkat dengan semakin dekatnya lahan pertanaman ke
habitat alami.
Perilaku pemencaran parasitoid merupakan informasi yang harus diketahui
agar tindakan konservasi parasitoid berlangsung efektif. Pola pemencaran
Apanteles taragame (Hymenoptera: Braconidae) dan inangnya adalah
berkelompok. Apanteles taragamae mampu terbang hingga 53.6 m dari titik
pelepasan. Pemencaran dan kemampuan terbang parasitoid dipengaruhi oleh
keberadaan inang dan bukan oleh kondisi habitat sekitar pertanaman.
Kata kunci: Lanskap sederhana, lanskap kompleks, Lepidoptera, Hymenoptera
parasitika, Indonesia

SUMMARY
EVAWATY SRI ULINA. The Relations between Landscape Structure with the
Communities of Lepidoptera and Hymenopteran Parasitica. Supervised by
DAMAYANTI BUCHORI, SJAFRIDA MANUWOTO and PUDJIANTO.
The agricultural sector has always been faced with the problem of low

production of agricultural commodities although the agricultural intensification and
extension have been done. On the other hand, the approach led to the decline of
biodiversity known to have a major contribution to ecosystem services in any
efforts towards sustainable agriculture. Therefore, we should design the agricultural
land not suitable for insect pests but can conserve natural enemies. In general, this
study aims to provide substantial information on the relationship between landscape
structure, species diversity and species interactions that occur in the crop of
cucumber, so it can be developed into a cornerstone of the development of pest
control in order to realize sustainable agriculture. In particular, the objectives of
study were (1) obtain the composition and configuration of agricultural landscapes
in lowland and medium West Java; (2) an inventory of cucumber cultivation
practices carried out by farmers; (3) describes the relationship between the
complexity of the agricultural landscape with the communities of Lepidoptera and
Hymenoptera parasitica; (4) explain the relationship between the distance of a
natural habitat with Lepidoptera and Hymenoptera parasitica communities; (5) to
study the movement of the dominant parasitoid in cucumber fields and measure the
distance of the parasitoid fly.
Agricultural landscapes in 16 research sites are located in lowland and
midland in West Java has the same type of landuse, such as agricultural land, trees,
shrubs, housing, roads and water bodies. Within a radius of 500 m, the landscape is

very greatly. The proportion of agricultural land ranges from 16.20% - 68.56%,
while the area of trees ranging between 4.6% - 61.40%. Types of cultivated plants
around 3-15 plants. The patch number (NumP) ranged between 46-190, MPS
ranged from 0.41 - 1.72 ha, TE range between 26 735-59 812 m. For understanding
the relationship between landscape composition and insect communities,
landscapes are grouped based on the proportion of natural habitat into four types of
landscape, the very simple landscape (natural habitat around 12%), simple
landscape (natural habitat about 22%), complex landscape (natural habitat is 31%)
and very complex landscape (natural habitats is 35%). Based on the distance to
natural habitat, landscape grouped into two, namely the cropland close to natural
habitats ( 400 m).
Results of interviews with farmers revealed that farmers generally have a
productive age, land area used for cucumber cultivation less than 0.5 ha, low
education and never contact with agricultural extension. Diaphania indica
(Lepidoptera: Crambidae) reported as pests are found throughout the plant growth
cucumber, while Aulacophora similis (Coleoptera: Chrysomelidae) considered a
major pest in the early growth of cucumber plants. The whole farmer respondents
did not know the role of insects as natural enemies and pollinators. Farmers are very
dependent on the use of pesticides.
Landscape complexity does not affect communities of Lepidoptera and

Hymenoptera, but affect parasitoid abundance, functional diversity and parasitism

viii
percentage. Mean patch size (MPS) and patch number (NumP) of farmland
influenced percentage of parasitation and functional diversity of Hymenoptera
parasitoid. Increasing the mean patch size of farmland patch decreases percentage
of parasitation and functional diversity of Hymenoptera parasitoid, while the patch
number of farmland will increase parasitation and functional diversity of
Hymenoptera parasitoid.
Distance of cucumbers field to the natural habitat does not affect the diversity
and abundance of Lepidoptera communities, primary parasitoid and
hyperparasitoid. However, distance of cucumbers field to natural habitats affect the
percentage of parasitized Diaphania indica. Diversity and abundance of
Hymenoptera parasitica tends to increase on the cucumber field that closed to
natural habitats. A number of 56 (43.1%) parasitica Hymenoptera species found
only in cropping with a certain distance away from the natural habitat. Of these, as
many as 39 species (69.6%) Hymenoptera parasitica found in cucumber cultivation
within close natural habitats, while the crop is being of natural habitats found 17
species (13.1%). The functional diversity of Hymenoptera parasitica tends to
increase on cropland closed to natural habitat.

The distribution pattern of Apanteles taragamae and its host are aggregate.
Parasitoid A. taragamae (Hymenoptera: Braconidae) able to fly up to 53.6 m from
the point of release. Dispersal of A. taragamae influenced by the presence of the
host and is not affected by habitat conditions around the farmland.
Keywords: simple landscape, complex landscape, Lepidoptera, Hymenoptera
parasitoid, Indonesia.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

x

HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR LANSKAP PERTANIAN

DENGAN KOMUNITAS LEPIDOPTERA DAN
HYMENOPTERA PARASITIKA

EVAWATY SRI ULINA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

xii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Purnama Hidayat, MSc
(Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)

2. Dr. Akhmad Rizali, SP., MSi
(Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas
Brawijaya)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:
1. Dr. Ir. Purnama Hidayat, MSc
(Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor)
2. Prof. (Riset) Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MS
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian)

xiv

xv

PRAKATA
Alhamdulillahirabbil ‘alamin. Puji syukur atas segala rahmat dan karunia
yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala sehingga disertasi berjudul “Hubungan
antara Struktur Lanskap Pertanian dengan Komunitas Lepidoptera dan
Hymenoptera parasitika” berhasil penulis selesaikan. Disertasi ini disusun untuk
memenuhi persyaratan memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB).
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ketua komisi
pembimbing Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, MSc., untuk waktu, arahan,
bimbingan dan memperkenalkan saya pada ilmu dan seni melakukan penelitian
lapangan dalam skala luas, dan juga menginspirasi saya untuk bekerja lebih keras.
Terima kasih saya ucapkan pada anggota komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir Sjafrida
Manuwoto, MSc dan Dr. Ir. Pudjianto, MSi untuk waktu, arahan, bimbingan dan
saran yang diberikan dengan tulus dan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Pengalaman dan wawasan
berfikir yang diberikan merupakan hal yang sangat berharga bagi penulis dalam
menyusun disertasi ini serta pembelajaran dalam kehidupan penulis. Terima kasih
diucapkan kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, MSc, Dr. Akhmad Rizali, SP, MSi dan
Prof. (Riset) Dr. Ir. Deciyanto Soetopo, MSi sebagai penguji Luar Komisi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Kepala Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, dan Kepala Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara, atas kesempatan, izin,
serta bantuan materil yang diberikan selama penulis melaksanakan tugas belajar di
Program Doktor, Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih disampaikan
kepada Pimpinan dan staf Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PAIR) Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang telah memfasilitasi penyediaan radioaktif 32P
dan proses penandaan dan deteksi 32P pada serangga. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Rektor IPB, Ketua Departemen Proteksi Tanaman (PTN), Ketua
Program Studi Entomologi, staf pengajar Program Studi Entomologi, serta staf
administrasi Pascasarjana dan PTN IPB atas bantuan yang diberikan selama penulis
menempuh pendidikan.
Terima kasih kepada seluruh rekan mahasiswa pascasarjana Program Studi
Entomologi/Fitopatologi IPB, Forum Wacana Entomologi/Fitopatologi, Forum
Tugas Belajar Litbangtan untuk segala kebersamaan selama menempuh studi
semoga selalu diberikan kelancaran dan kesuksesan untuk menyelesaikan studinya.
Untuk yang terkasih keluarga besar Laboratorium Pengendalian Hayati,
Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB, Ratna Rubiana, Anik
Larasati, Rizky Nazaretta, Amanda Mawan, Sumeinika Fitria Lizmah, Ita Fitriyana,
Susilawati, Arfiani Fitri dan Nurul Novianti, terima kasih atas kesediaannya untuk
menjadi teman diskusi selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
Dukungan moril, bantuan tenaga, waktu yang diluangkan dan persahabatan yang
indah senantiasa penulis peroleh di masa-masa sulit selama penulis menempuh
pendidikan program Doktor ini. You guys are marvelous. Kepada teknisi yang telah
membantu kelancaran selama penelitian, mbak Adha Sari, teh Nita dan Pak Ucup,
penulis ucapkan terima kasih.

xvi
Kepada kedua orangtua terkasih, H. Sjamsuddin Sembiring (alm) dan Hj.
Mariany Surbakti, yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan pendidikan
terbaik, serta doa yang tidak pernah putus sehingga penulis dapat menggapai citacita, semoga Allah melimpahkan rahmat dan karuniaNya. Terima kasih juga penulis
ucapkan kepada Ayah mertua H. Asmen Moechtar (alm), ibu mertua Hj. Yuwisma
(alm), adik, kakak ipar, adik ipar serta keponakan atas dorongan semangat dan doa
yang diberikan.
Kepada suamiku tercinta, Herman Asmen, terima kasih atas seluruh doa,
cinta, kesabaran, dorongan semangat serta selalu berada di samping penulis dalam
setiap tawa dan tangis selama menempuh pendidikan ini. Untuk permata hatiku,
Abiyyu Denvisevian AAPS, terima kasih atas pengertian dan pengorbanan yang
telah diberikan selama bunda menempuh pendidikan ini. Semoga ini dapat
memberikan contoh yang baik bagi ananda untuk senantiasa belajar dan menuntut
ilmu sampai kapanpun.
Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian studi ini,
penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT berkenan membalas semua
kebaikan yang telah diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Aamiin

Bogor, Februari 2017
Evawaty Sri Ulina

xvii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xix

DAFTAR GAMBAR

xx

DAFTAR LAMPIRAN

xxii

1

PENDAHULUAN

2

Latar Belakang ............................................................................................ 1
Perumusan Masalah .................................................................................... 3
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 4
Hipotesis Penelitian..................................................................................... 4
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA
7

3

4

5

6

KOMPOSISI DAN KONFIGURASI LANSKAP PERTANIAN DI
KAWASAN BOGOR, SUKABUMI DAN CIANJUR JAWA BARAT

1

16

Pendahuluan .............................................................................................. 16
Bahan dan Metode..................................................................................... 17
Hasil .......................................................................................................... 20
Pembahasan ............................................................................................... 26
Simpulan ................................................................................................... 29
PENGETAHUAN DAN PERILAKU PETANI DALAM BUDI DAYA
DAN PENGENDALIAN HAMA MENTIMUN
30
Pendahuluan .............................................................................................. 30
Bahan dan Metode..................................................................................... 31
Hasil .......................................................................................................... 32
Pembahasan ............................................................................................... 37
Simpulan ................................................................................................... 38
HUBUNGAN KOMPLEKSITAS LANSKAP DENGAN KOMUNITAS
LEPIDOPTERA DAN HYMENOPTERA PARASITIKA PADA
PERTANAMAN MENTIMUN
39
Pendahuluan .............................................................................................. 39
Bahan dan Metode..................................................................................... 40
Hasil .......................................................................................................... 44
Pembahasan ............................................................................................... 61
Simpulan ................................................................................................... 65
HUBUNGAN JARAK PERTANAMAN DARI HABITAT ALAMI
DENGAN KOMUNITAS LEPIDOPTERA DAN HYMENOPTERA
PARASITIKA
66
Pendahuluan .............................................................................................. 66
Bahan dan Metode..................................................................................... 66

xviii
Hasil ........................................................................................................... 70
Pembahasan ............................................................................................... 78
Simpulan .................................................................................................... 80
7 POLA PEMENCARAN Apanteles taragamae Viereck
(HYMENOPTERA: BRACONIDAE) PADA LANSKAP PERTANIAN 81
Pendahuluan .............................................................................................. 81
Bahan dan Metode ..................................................................................... 82
Hasil ........................................................................................................... 85
Pembahasan ............................................................................................... 89
Simpulan .................................................................................................... 91
8 PEMBAHASAN UMUM
92
9 SIMPULAN DAN SARAN

96

DAFTAR PUSTAKA

97

LAMPIRAN

113

RIWAYAT HIDUP

129

xix

DAFTAR TABEL
3.1 Letak administratif, koordinat dan ketinggian lokasi penelitian
3.2 Skor dan bobot parameter lanskap yang digunakan pada
pengelompokan lanskap
3.3 Proporsi penggunaan lahan dalam radius 500 m (78.56 ha) di 16
lanskap pertanian
3.4 Luas area pertanian dalam radius 500 m dan jumlah jenis tanaman
yang ditanami pada area tersebut
3.5 Nilai parameter lanskap 16 lokasi penelitian
3.6 Rata-rata (+SD) nilai parameter lanskap 16 lokasi penelitian pada
level kelas
3.7 Nilai CA, MPS dan NumP pada area pepohonan dan semak serta tipe
lanskap di 16 lokasi penelitian
3.8 Luas lahan dan proporsi penggunaan lahan pada lanskap sangat
sederhana (SS), sederhana (S), kompleks (K), sangat kompleks (SK)
4.1 Karakteristik petani mentimun di empat tipe lanskap pertanian Jawa
Barat
4.2 Perilaku petani dalam budi daya mentimun di empat tipe lanskap
pertanian Jawa Barat
5.1 Serangga Lepidoptera yang berasosiasi dengan tanaman mentimun,
jumlah individu dan kategori dominasi
5.2 Spesies inang, stadia inang serta spesies parasitoid yang berasosiasi
dengan serangga Lepidoptera pada tanaman mentimun
5.3 Spesies hiperparasitoid dan hiperparasitisasi pada A. taragamae
5.4 Kekayaan spesies dan kelimpahan hama Lepidoptera dan
parasitoidnya pada beberapa tipe lanskap
5.5 Hubungan antara parameter lanskap dengan kelimpahan, kekayaan
spesies serangga dan parasitisasi
5.6 Keanekaragaman dan kelimpahan Hymenoptera parasitika di
pertanaman mentimun pada beberapa tipe lanskap
5.7 Hubungan antara parameter lanskap dengan community weighted
mean (CWM) panjang tubuh, panjang sayap depan, panjang sayap
belakang, panjang tibia belakang dan lebar kepala Hymenoptera
parasitika
6.1 Kekayaan spesies dan kelimpahan hama Lepidoptera dan
parasitoidnya pada pertanaman mentimun yang dekat dan sedang
dari habitat alami
6.2 Keanekaragaman dan kelimpahan Hymenoptera parasitika di
pertanaman mentimun yang berjarak dekat dan sedang dari habitat
alami
7.1 Lokasi administratif dan koordinat lokasi pelepasan parasitoid
7.2 Pola distribusi larva D. indica dan A. taragamae pada pertanaman
mentimun
7.3 Jumlah inang dan parasitisasinya oleh parasitoid yang dilepas pada
pertanaman mentimun
7.4 Jarak terbang parasitoid A. taragamae pada pertanaman mentimun

18
20
22
24
25
27
28
29
33
34
44
46
49
50
54
55

62

71

75
84
86
88
89

xx

DAFTAR GAMBAR
1.1

Peta jalan penelitian hubungan struktur lanskap pertanian dengan
komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika
2.1 Komponen penyusun lanskap
2.2 Tipe patch berdasarkan cara terbentuknya
2.3 Ilustrasi pola pemencaran serangga
3.1 Lokasi penelitian di kawasan Bogor, Sukabumi dan Cianjur
3.2 Foto udara lokasi penelitian yang digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan groundcheck
3.3 Peta penggunaan lahan dalam radius 500 m di 16 lanskap pertanian
3.4 Hubungan proporsi luas area pepohonan dan pertanian dalam
radius 500 m di 16 lanskap pertanian
3.5 Komposisi tanaman pertanian pada radius 500 m di 16 lanskap
pertanian
4.1 Peta lokasi penelitian wawancara petani mentimun
4.2 Hama utama tanaman mentimun pada lanskap sangat sederhana,
sederhana, kompleks dan sangat kompleks
4.3 Jenis pestisida yang umum digunakan petani untuk mengendalikan
hama tanaman mentimun di lanskap sangat sederhana (SS),
sederhana (S), kompleks (K) dan sangat kompleks (SK)
4.4 Interval waktu aplikasi pestisida pada pertanaman mentimun
dalam satu musim tanam
4.5 Jumlah aplikasi pestisida pada pertanaman mentimun dalam satu
musim tanam
5.1 Peta lokasi penelitian berdasarkan kompleksitas lanskap
5.2 Desain plot pengambilan serangga Lepidoptera pradewasa dan
Hymenoptera parasitika
5.3 Serangga Lepidoptera yang menyerang tanaman mentimun
5.4 Komposisi hama Lepidoptera pada berbagai umur tanaman
mentimun
5.5 Diaphania indica (A) imago, (B) Telur, (C) Larva dan (D) Pupa
5.6 Parasitoid yang memarasit D. indica, C. chalcites dan S. litura
pada pertanaman mentimun
5.7 Komposisi parasitoid yang memarasit hama Lepidoptera pada
berbagai umur tanaman mentimun
5.8 Hubungan kelimpahan larva D. indica dan jumlah D. indica
terparasit pada tanaman mentimun
5.9 Hubungan kompleksitas lanskap dengan (A) kelimpahan larva D.
indica dan (B) persentase kerusakan tanaman
5.10 Interaksi tritropik hama, parasitoid dan hiperparasitoid pada
pertanaman mentimun di lanskap (A) sangat sederhana, (B)
sederhana, (C) kompleks dan (D) sangat kompleks
5.11 Efek kompleksitas lanskap terhadap parasitisasi
5.12 Jumlah spesies famili Hymenoptera parasitika di empat tipe
lanskap

5
7
8
14
17
19
21
22
23
32
35

36
36
37
41
42
44
45
45
47
48
49
51

52
53
55

xxi
5.13 Kelimpahan famili Hymenoptera parasitika yang diperoleh dari (A)
transek dan perangkap nampan kuning serta (B) perangkap nampan
kuning di empat tipe lanskap
5.14 Kelimpahan spesies Hymenoptera parasitika pada pertanaman
mentimun di empat tipe lanskap
5.15 Diagram Venn jumlah spesies Hymenoptera parasitika di empat
tipe lanskap
5.16 Keragaman ukuran tubuh Hymenoptera parasitika pada berbagai
kompleksitas lanskap
5.17 Hubungan kompleksitas lanskap dengan community weighted mean
(CWM) karakteristik morfologi Hymenoptera parasitika
6.1 Peta lokasi penelitian berdasarkan jarak dari habitat alami
6.2 Desain plot pengambilan serangga Lepidoptera pradewasa dan
Hymenoptera parasitika
6.3 Hubungan jarak lokasi pertanaman mentimun dari habitat alami
dengan (A) proporsi kelimpahan dan (B) distribusi spesies hama
Lepidoptera yang menyerang tanaman mentimun
6.4 Hubungan jarak lokasi pertanaman mentimun dari habitat alami
dengan persentase tanaman mentimun terserang hama Lepidoptera
6.5 Interaksi tritrofik hama, parasitoid dan hiperparasitoid pada
pertanaman mentimun di berbagai jarak pertanaman dari habitat
alami
6.6 Hubungan jarak pertanaman mentimun dari habitat alami dengan
(A) kekayaan spesies dan (B) kelimpahan parasitoid yang
memarasit D. indica
6.7 Hubungan antara persentase D. indica terparasit dengan (A)
kekayaan spesies dan (B) kelimpahan parasitoid yang memarasit D.
indica
6.8 Jumlah spesies famili Hymenoptera parasitika di pertanaman
mentimun yang berjarak dekat dan sedang dari habitat alami
6.9 Kelimpahan famili Hymenoptera parasitika di pertanaman
mentimun yang berjarak dekat dan sedang dari habitat alami
6.10 Diagram Venn jumlah spesies Hymenoptera parasitika di berbagai
jarak pertanaman dari habitat alami
6.11 Famili Hymenoptera parasitika yang ditemukan pada keseluruhan
jarak dari habitat alami
6.12 Hubungan jarak pertanaman mentimun dari habitat alami dengan
community weighted mean (CWM) karakteristik morfologi
Hymenoptera parasitika
7.1 Peta lokasi penelitian pola pemencaran serangga
7.2 Lanskap pelepasan parasitoid dalam radius 500 m dengan titik
pelepasan pada areal pertanaman mentimun (titk tengah lanskap)
7.3 Titik pelepasan parasitoid A. taragamae
7.4 Denah plot pengamatan (pengumpulan) larva D. indica
7.5 Pola keberadaan D. indica dan A. taragamae pada lahan
pertanaman mentimun di Bantarjaya
7.6 Pola keberadaan D. indica dan A. taragamae pada lahan
pertanaman mentimun di Cibanteng

52
57
58
59
60
67
68

71
72

73

74
75
76
76
77
78

79
82
83
84
84
86
87

xxii
7.7
7.8
7.9

Pola keberadaan D. indica dan A. taragamae pada lahan
pertanaman mentimun di Cihideung Udik
Pola keberadaan D. indica dan A. taragamae pada lahan
pertanaman mentimun di Mekarjaya
Pola pemencaran A. taragamae

87
88
89

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Daftar pertanyaan wawancara kepada petani mentimun
Jenis Lepidoptera yang berasosiasi dengan pertanaman mentimun di
empat tipe lanskap
Spesies Hymenoptera parasitika yang ditemukan di pertanaman
mentimun
Foto spesimen Hymenoptera parasitika yang ditemukan di empat tipe
lanskap

115
121
122
126

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tantangan yang dihadapi sektor pertanian di masa yang akan datang adalah
meningkatkan produktivitas tanaman dan di sisi lain menjaga keanekaragaman
hayati pada ekosistem pertanian. Ini merupakan dua hal yang tidak mudah untuk
dilaksanakan karena seringkali menimbulkan konflik kepentingan. Peningkatan
produksi pertanian umumnya dilakukan melalui pendekatan intensifikasi maupun
ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi pertanian terjadi melalui peningkatan input
seperti penggunaan pestisida, pupuk kimia, varietas unggul, benih rekayasa genetik,
mesin pertanian untuk mengolah tanah serta rotasi tanaman yang singkat (Benton
et al. 2003; Tscharntke et al. 2005). Sedangkan ekstensifikasi pertanian terjadi
melalui aktifitas konversi ekosistem alami menjadi ekosistem pertanian,
fragmentasi habitat alami dan regionalisasi komoditas pertanian (Tscharntke et al.
2005). Hal ini menyebabkan rendahnya keanekaragaman hayati pada ekosistem
pertanian selain karena perubahan iklim, polusi dan invasi biotik (Hooper et al.
2005; MA 2005). Keanekaragaman hayati merupakan komponen yang sangat
penting untuk mengoptimalkan jasa ekosistem (Hoehn et al. 2008; Bennett et al.
2012; Cardinale et al. 2012). Kontribusi jasa ekosistem yang tidak optimal akan
menyebabkan terjadinya perbedaan produksi yang diperoleh petani dengan potensi
produksi komoditas tersebut (Boomarco et al. 2013).
Pengendalian populasi hama oleh musuh alami merupakan salah satu jasa
ekosistem yang tidak saja bermanfaat bagi lingkungan tetapi juga menguntungkan
dari sisi ekonomi, karena tindakan tersebut mampu mengurangi kehilangan hasil
tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penggunaan
pestisida (Ȍstman et al. 2003; Boomarco et al. 2013). Di Amerika, nilai ekonomi
pengendalian hayati hama adalah sebesar US$ 4.5 milyar per tahun (Losey dan
Vaughan 2006), sedangkan di dunia diperkirakan mencapai US$ 417 milyar per
tahun (Costanza et al. 1997).
Keberhasilan pengendalian hayati dipengaruhi oleh berbagai komponen pada
skala petakan maupun lanskap (Gurr et al. 2003; Tscharntke et al. 2007). Pada skala
petakan, teknologi pengelolaan tanaman seperti penggunaan pestisida, pupuk
kimia, varietas unggul, benih rekayasa genetik dan rotasi tanaman dapat
memengaruhi komposisi, kelimpahan dan sebaran spesies serangga pada
agroekosistem (Booij dan Noorlander 1992; Cárcamo 1995; Bengtsson et al. 2005).
Sedangkan pada skala lanskap, struktur komunitas, kekayaan dan kelimpahan
spesies, dinamika populasi dan interaksi antar trofik dipengaruhi ukuran patch,
konfigurasi spasial, komposisi lanskap, konektivitas habitat dan kompleksitas
habitat (Kareiva 1987; Marino dan Landis 1996; Zabel dan Tscharntke 1998;
Tscharntke dan Brandl 2004; Bianci et al. 2006; Finke and Denno, 2006; Woodcock
et al. 2007).
Dalam penelitian ini, keanekaragaman hayati lebih ditekankan pada tingkat
komunitas yang ada dalam ekosistem pertanian. Hal ini disebabkan keberhasilan
suatu pengendalian hayati dipengaruhi oleh banyak faktor yang terdapat pada
ekosistem pertanian tersebut, seperti populasi hama, populasi musuh alami dan
keanekaragaman habitat. Populasi hama pada suatu ekosistem tidak saja

2
dipengaruhi oleh keberadaan musuh alami, tetapi juga turut dipengaruhi oleh
vegetasi yang ada pada ekosistem tersebut. Menurut Root (1973), dalam teori
resource concentration hypothesis kelimpahan hama rendah pada ekosistem
dengan vegetasi yang lebih beragam karena hama spesialis akan sulit untuk
menemukan inangnya.
Struktur komunitas dapat digambarkan melalui tiga pendekatan yaitu
keanekaragaman spesies (kekayaan dan kelimpahan relatif spesies), interaksi trofik
dan kelompok fungsional (Schowalter 2011). Keanekaragaman spesies merupakan
pendekatan yang umum digunakan untuk mempelajari struktur komunitas
serangga. Pendekatan yang sama juga digunakan dalam penelitian ini. Menurut
Whittaker (1972), terdapat tiga tingkat keanekaragaman spesies berdasarkan skala
geografi, yaitu keanekaragaman alfa, beta dan gamma. Keanekaragaman alfa
adalah keanekaragaman spesies dalam suatu habitat. Keanekaragaman beta adalah
ukuran keanekaragaman yang dihitung dengan membandingkan keanekaragaman
spesies antar ekosistem atau berdasarkan gradien lingkungan. Sedangkan
keanekaragaman gamma yaitu keanekaragaman spesies di seluruh habitat yang
dibandingkan.
Komponen keanekaragaman spesies yang menentukan karakter spesies
tersebut terdiri dari kekayaan spesies, kemerataan spesies, komposisi serta interaksi
spesies (Chapin et al. 2000). Namun, peran kekayaan spesies musuh alami dalam
pengendalian hayati tidak konsisten. Finke dan Denno (2004, 2005) melaporkan
bahwa kemampuan komunitas musuh alami yang sederhana dalam mengendalikan
populasi hama adalah sama atau lebih baik dibandingkan dengan komunitas musuh
alami yang kompleks. Beberapa penelitian lain justru menunjukkan sebaliknya,
dimana komunitas musuh alami yang beragam lebih efektif mengendalikan
populasi serangga hama dibandingkan dengan komunitas musuh alami yang relatif
kurang beragam (Cardinale et al. 2003; Aquilino et al. 2005; Wilby et al. 2005;
Straub 2006; Snyder et al 2006). Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh komunitas
musuh alami tidak berlaku umum karena ada faktor-faktor lain yang turut
memengaruhi hasil akhir dari interaksi hama dan musuh alami.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keanekaragaman serangga
dipengaruhi oleh kompleksitas lanskap. Keanekaragaman serangga herbivor akan
meningkat dengan bertambah luasnya habitat alami (Clough et al. 2007). Menurut
Plećaš et al. (2014) kepadatan populasi kutudaun, parasitisasi dan keanekaragaman
parasitoid kutudaun dan hiperparasitoid akan meningkat dengan bertambah
kompleksnya suatu lanskap. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa kompleksitas
lanskap tidak memengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid.
Kepadatan kutudaun dan parasitoidnya tidak dipengaruhi oleh kompleksitas
lanskap (Vollhardt et al. 2008; Caballero-Lopez et al. 2012). Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan mengenai pengaruh kompleksitas lanskap terhadap struktur
dan komposisi serangga serta kemampuannya untuk menekan populasi hama masih
belum menjadi pengetahuan yang berlaku umum.
Hymenoptera parasitika merupakan salah satu kelompok serangga yang
kinerjanya dipengaruhi oleh kompleksitas lanskap (Brewer et al. 2008; Zhao et al.
2013). Kinerja dan kelimpahan parasitoid meningkat pada lanskap kompleks yang
dicirikan dengan tingginya proporsi habitat alami (Schmidt dan Tscharntke 2005;
Steingrover et al. 2010). Habitat alami ini berfungsi sebagai sumber pakan, inang

3
alternatif, tempat berlindung dan iklim mikro lahan pertanian yang sesuai bagi
perkembangan musuh alami (Landis et al. 2000; Gagic et al. 2011).
Mentimun (Cucumis sativus L) merupakan salah satu komoditas hortikultura
komersial yang dibudidayakan hampir di seluruh wilayah Indonesia mulai dari
dataran rendah hingga tinggi. Pada tahun 2013, luas areal panen mentimun
mencapai 49 296 ha dengan produksi 491 636 ton dan rata-rata hasil 9.97 t/ha
(Kementerian Pertanian 2015). Luas areal panen dan produksi mentimun tersebut
jauh lebih rendah dibandingkan lima tahun yang lalu. Penurunan luas lahan tersebut
disebabkan oleh perubahan komoditas yang ditanam oleh petani atau konversi
lahan pertanian menjadi nonpertanian. Sedangkan angka rata-rata produktivitas
9.97 t/ha tergolong belum optimal, karena menurut hasil penelitian AVNET (Asean
Vegetable Network) potensi hasil mentimun berkisar antara 12 sampai 19 t/ha
(Sumpena dan Permadi 2005) dan potensi hasil tiga varietas mentimun yang
dihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran berkisar antara 21 sampai 35 t/ha
(Sumpena dan Permadi 1999). Di Jawa Barat, tanaman mentimun dapat ditemukan
sepanjang tahun pada lanskap sederhana maupun kompleks serta pada berbagai
ketinggian daerah. Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur merupakan salah satu
sentra pertanaman mentimun di Jawa Barat.
Pengaruh lanskap terhadap serangga herbivor dan parasitoidnya di daerah
tropis khususnya Indonesia perlu diteliti karena lanskap pertanian Indonesia juga
banyak mengalami perubahan sejak terjadinya revolusi hijau. Sampai saat ini
penelitian pengendalian hayati lebih ditekankan pada pendekatan individu dan skala
lokal sedangkan praktek di lapangan lebih banyak difokuskan pada pelepasan (baik
secara inokulasi dan inundasi musuh alami). Upaya untuk melakukan konservasi
terhadap musuh alami yang telah ada di lapangan masih belum banyak dilakukan,
padahal untuk mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi dalam pengendalian
hayati. Konservasi musuh alami mutlak perlu dilakukan setelah tahapan inokulasi
dan inundasi dilaksanakan. Oleh karena itu, kajian ini dianggap penting sebab
berpengaruh terhadap strategi pengendalian hama guna mendukung pertanian
berkelanjutan.

Perumusan Masalah
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai suatu pendekatan dalam
perlindungan tanaman telah diterapkan sebagai kebijakan secara formal di
Indonesia sejak diterbitkannya Undang – Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budi daya Tanaman dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang
Perlindungan Tanaman. Namun hingga kini kebijakan tersebut belum mampu
mengendalikan serangan hama tanaman dan juga belum mampu merubah
ketergantungan petani terhadap penggunaan pestisida. Di sisi lain, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa struktur lanskap turut memengaruhi kekayaan
spesies, kelimpahan individu, dinamika populasi dan interaksi hama dengan
parasitoid. Oleh karena itu, perlu dilakukan serangkaian penelitian untuk dapat
memahami interaksi antara hama Lepidoptera, musuh alami serta struktur lanskap
di daerah tropis seperti Jawa Barat. Dalam penelitian ini, musuh alami difokuskan
pada kelompok Hymenoptera parasitika. Hal ini terutama disebabkan Hymenoptera
parasitika mampu mengendalikan berbagai jenis serangga herbivor dan mampu

4
berpindah serta menempati habitat lain di saat tanaman utama sudah dipanen atau
tidak ada di lapangan. Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab pertanyaanpertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana tipe lanskap pertanian di kawasan Bogor, Sukabumi dan
Cianjur?
2. Bagaimana praktik-praktik budi daya yang dilakukan oleh petani?
3. Apakah kompleksitas lanskap memiliki hubungan dengan komunitas
serangga Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika?
4. Apakah jarak pertanaman dari habitat alami memengaruhi komunitas
serangga Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika?
5. Bagaimana perilaku dan pola pemencaran parasitoid?
Peta jalan penelitian disajikan dalam Gambar 1.1. Peta jalan ini
menggambarkan arah penelitian hubungan antara struktur lanskap pertanian dengan
komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika di pertanaman mentimun.

Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
struktur lanskap, keanekaragaman spesies serangga dan interaksi spesies serangga
yang terjadi di pertanaman mentimun, sehingga dapat dikembangkan menjadi
landasan pengembangan pengendalian hama dalam rangka mewujudkan pertanian
berkelanjutan.
Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui komposisi dan konfigurasi lanskap pertanian di kawasan
Bogor, Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat.
2. Mempelajari praktik budi daya yang dilakukan oleh petani dan implikasinya
terhadap keanekaragaman serangga
3. Menjelaskan hubungan antara kompleksitas lanskap pertanian dengan
komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika
4. Menjelaskan hubungan antara jarak dari habitat alami dengan komunitas
Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika
5. Mempelajari pergerakan parasitoid yang dominan memarasit serangga
herbivora pada tanaman mentimun dan mengukur jarak terbang parasitoid
tersebut.

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian yang telah dikemukakan,
hipotesis penelitian ini disusun sebagai berikut:
1. Komposisi dan konfigurasi lanskap pertanian di kawasan Bogor, Cianjur
dan Sukabumi, Jawa Barat tidak berbeda.
2. Karakteristik petani tidak berpengaruh terhadap praktek budi daya
tanaman mentimun

5

Gambar 1.1

Peta jalan penelitian hubungan struktur lanskap pertanian dengan
komunitas Lepidoptera dan Hymenoptera parasitika

6
3. Lanskap pertanian sangat kompleks tidak berpengaruh terhadap
kelimpahan, keanekaragaman, komposisi serta interaksi antara serangga
Lepidoptera dan musuh alaminya
4. Jarak dari habitat alami tidak berpengaruh terhadap kelimpahan,
keanekaragaman, komposisi serta interaksi antara serangga Lepidoptera
dan musuh alaminya
5. Pola sebaran inang tidak berpengaruh terhadap pola sebaran parasitoid
Apanteles taragamae

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
pengelolaan lanskap pertanian berbasis tanaman sayuran yang dapat memelihara
keanekaragaman parasitoid dalam rangka mendukung program pengembangan
kawasan agribisnis hortikultura di Indonesia.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi Lanskap
Istilah ‘ekologi lanskap’ pertama kali diperkenalkan oleh Carl Troll pada
tahun 1939. Troll mendefinisikan ekologi lanskap sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan antara susunan bidang lahan dalam suatu lanskap dengan spesies yang
hidup di dalamnya (Forman dan Godron 1986). Ekologi lanskap berbeda dengan
cabang ilmu ekologi lainnya, seperti ekologi populasi, komunitas dan ekosistem.
Ekologi lanskap menekankan skala spasial yang luas dan dampak ekologi dari pola
spasial ekosistem. Secara khusus, ekologi lanskap dianggap sebagai pengembangan
dan dinamika heterogenitas spasial, interaksi dan pertukaran di seluruh lanskap
yang heterogen, pengaruh heterogenitas spasial pada proses biotik dan abiotik, dan
pengelolaan heterogenitas spasial. Dengan demikian, fokus utama dari ekologi
lanskap adalah pada (a) wilayah geografis spasial yang heterogen, (b) pengaturan
kembali elemen lanskap, dan (c) tindakan manusia sebagai respon terhadap proses
ekologi dan pengaruh timbal balik manusia pada proses ekologi (Risser et al.
1984).
Lanskap adalah suatu lahan heterogen yang tersusun dari ekosistem yang
saling berinteraksi dan memiliki semacam pola yang berulang-ulang (Forman dan
Godron 1986). Lanskap fokus pada tiga karakteristik, yaitu struktur, fungsi dan
perubahan.
Struktur Lanskap
Struktur lanskap mengacu pada pola spasial elemen lanskap dan hubungan
antara ekosistem yang beda. Struktur lanskap menilai hubungan antara ekosistem
sebagai ukuran, bentuk dan jumlah (Forman dan Godron 1986). Menurut Farina
(2000), struktur lanskap memiliki dua kualitas, yaitu komposisi dan konfigurasi.
Komposisi lanskap didefinisikan sebagai jenis dan sebaran patch dalam lanskap.
Komposisi lanskap merupakan indikator yang baik untuk menilai kesesuaian
lingkungan terhadap suatu spesies. Konfigurasi mengacu pada karakteristik spasial
atau dengan kata lain mengacu pada distribusi spasial tutupan lahan. Struktur dasar
lanskap terdiri dari 3 komponen yaitu matriks, patch dan koridor (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Komponen penyusun lanskap (Forman 1995)

8
Matriks adalah komponen lanskap yang ukurannya paling luas dan terkoneksi
serta memegang peranan penting dalam fungsi lanskap (Forman dan Godron 1986).
Lebih lanjut (Samways 1995) menjelaskan bahwa matriks merupakan elemen
lanskap yang berada di sekitar patch. Menurut Forman (1995) konektivitas adalah
ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network), atau matriks terhubung
atau berkesinambungan. Sebagai contoh, suatu lanskap dengan matriksnya adalah
hutan, memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan hutannya berarti memiliki
konektifitas lebih tinggi.
Patch merupakan suatu area berbentuk poligon yang relatif homogen yang
berbeda dari sekitarnya (Forman dan Godron 1986). Patch dapat dibedakan menjadi
5 tipe berdasarkan cara terbentuknya (Gambar 2.2), yaitu: 1) disturbance patch,
patch yang terbentuk oleh karena adanya gangguan pada sebagian kecil area
matriks, misalnya patch yang terbentuk oleh karena adanya kebakaran hutan; 2)
remnant patch, patch yang terbentuk oleh karena adanya gangguan dalam skala
luas, misalnya pulau/daratan yang ditumbuhi semak-semak oleh karena lembahnya
tergenang oleh banjir; 3) environmental resource patch, patch yang mencerminkan
sumberdaya terdistribusi normal pada suatu lingkungan dan merupakan hasil dari
sumberdaya yang permanen dan relatif terpisah dari daerah sekitarnya (patch ini
tidak disebabkan oleh kerusakan), misalnya terkonsentrasinya amfibi dan reptil di
gurun pasir; 4) introduced patch, patch yang didominasi oleh individu hasil
introduksi manusia, misalnya perkebunan kelapa sawit; 5) ephemeral patch, spesies
teragregasi sementara oleh karena adanya perubahan lingkungan biotik atau abiotik
dengan intensitas rendah sehingga akhirnya spesies tersebut beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi. Perbedaan yang terjadi pada cara terbentuknya patch ini
menentukan dinamika spesies di dalamnya (Forman dan Godron 1981).

Gambar 2.2 Tipe patch berdasarkan cara terbentuknya (Forman dan Godron
1981)
Ukuran, bentuk dan jumlah patch memengaruhi jumlah dan keanekaragaman
spesies (Forman dan Godron 1981). Lebih lanjut Ludwig et al. (2000) menjelaskan
bahwa ukuran patch juga memengaruhi dinamika nutrisi di dalamnya. Luasan suatu

9
patch yang terisolasi dapat memengaruhi kekayaan fauna khususnya serangga.
Kekayaan spesies serangga pemakan biji pada tanaman Vicia sepium meningkat
pada area yang terdapat tanaman inang, dan menurun akibat terdapatnya isolasi
pada patch (Kruess dan Tscharntke 2000).
Koridor merupakan patch yang bentuknya memanjang (Forman dan Godron
1986). Menurut McGarigal et al. (2014), berdasarkan fungsinya dikenal tiga macam
bentuk koridor ini yaitu koridor habitat, koridor perpindahan (movement corridor),
dan koridor perintang (barrier corridor). Koridor habitat merupakan koridor yang
berfungsi sebagai tempat untuk hidup bagi suatu organisme baik sementara maupun
permanen. Koridor perpindahan berfungsi sebagai jalur penghubung perpindahan
suatu spesies dari satu habitat ke habitat lainnya. Koridor perintang merupakan
koridor yang dapat menghambat aliran energi, nutrisi mineral, dan atau perpindahan
spesies ke habitat lain. Koridor habitat dan koridor perpindahan berturut-turut
secara pasif dan aktif dapat meningkatkan keterhubungan lanskap dengan
organisme, sebaliknya koridor perintang dapat menurunkan keterhubungan lanskap
dengan organisme.
Fungsi Lanskap
Fungsi lanskap adalah hasil interaksi antara elemen-elemen spasial, yaitu,
aliran energi, material, dan organisme diantara komponen-komponen ekosistem
(Forman dan Godron 1986). Fungsi berhubungan dengan struktur, tetapi lebih
menyangkut proses-proses biologi, kimia, dan fisik yang terjadi di dalam lanskap.
Keanekaragaman dan distribusi spesies, proses-proses populasi (migrasi, kelahiran
dan kematian), genetika populasi, dan interaksi tanaman-hama dan musuh alami
semuanya dipengaruhi oleh struktur lanskap (Fry 1995).
Perubahan Lanskap
Perubahan lanskap merupakan perubahan yang terjadi pada struktur dan
fungsi lanskap dari waktu ke waktu (Forman dan Godron 1986). Faktor penting
yang menyebabkan perubahan tersebut adalah karena seringkali terjadi gangguan
dalam skala yang luas pada ekosistem tersebut, seperti kebakaran, penebangan
pohon dan banjir (Landis dan Menalled 1998). Perubahan lanskap ini
mengakibatkan kehilangan spesies dan rusaknya jejaring makanan (Kruess dan
Tscharntke 1994).

Hubungan Struktur Lanskap dan Serangga
Habitat alami memiliki peranan yang penting dalam ekosistem pertanian. Hal
ini disebabkan habitat alami dapat memelihara keanekaragaman hayati pada
lanskap pertanian dan juga memberikan layanan ekosistem seperti pengendalian
hayati (Landis et al. 2000; Bianchi et al. 2006; Milligan et al. 2016), konservasi
tanah (Mäder et al. 2002), retensi unsur hara (Raudsepp-Hearne et al. 2010), dan
penyerbukan tanaman (Klein et al. 2003, 2007; Carvalheiro et al. 2010). Habitat
alami atau semi alami terdiri dari habitat pepohonan, padang rumput, hutan, dan
habitat tanaman di pinggir/tepi pertanaman budi daya. Keberadaan habitat
alami/semi alami tersebut di lanskap pertanian digunakan musuh alami untuk
memperoleh inang alternatif, pakan imago parasitoid, tempat berlindung, dan

10
membuat iklim mikro pada lahan pertanian sesuai bagi perkembangan musuh alami
(Landis et al. 2000; Tscharntke et al. 2007; Rusch et al. 2010). Namun, habitat
alami tidak selamanya berpengaruh positif terhadap pengendalian hayati. Menurut
Tscharntke et al. (2016), hal tersebut diduga disebabkan oleh lima hal, yaitu 1) tidak
adanya musuh alami yang efektif