Pengaruh Struktur Lanskap Terhadap Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika Pada Lahan Mentimun

PENGARUH STRUKTUR LANSKAP
TERHADAP KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA
PARASITIKA PADA LAHAN MENTIMUN

SUMEINIKA FITRIA LIZMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Struktur
Lanskap terhadap Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika pada Lahan
Mentimun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Sumeinika Fitria Lizmah
NIM A351120071

RINGKASAN
SUMEINIKA FITRIA LIZMAH. Pengaruh Struktur Lanskap terhadap
Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika pada Lahan Mentimun. Dibimbing oleh
DAMAYANTI BUCHORI, PUDJIANTO, dan AKHMAD RIZALI.
Struktur lanskap memengaruhi keanekaragaman hayati pada suatu
ekosistem. Secara umum, lanskap yang kompleks cenderung memiliki
keanekaragaman dan komposisi spesies yang lebih tinggi dibandingkan dengan
lanskap yang sederhana. Lanskap kompleks dicirikan dengan banyaknya tanamantanaman non pertanian di sekitar ekosistem pertanian, sehingga selalu tersedia
sumber pakan dan habitat hidup yang sesuai. Sementara itu, lanskap sederhana
umumnya didominasi oleh tanaman-tanaman pertanian yang cenderung tidak
bervariatif, ditambah dengan sedikitnya tanaman non pertanian. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk memelajari keanekaragaman Hymenoptera parasitika
pada dua lanskap yang berbeda, yaitu lanskap kompleks dan lanskap sederhana.
Penelitian dilakukan pada empat lahan pertanaman mentimun di tiga
kecamatan di Kabupaten Bogor yang dibagi menjadi dua lanskap yaitu lanskap

kompleks (K1 dan K2) dan sederhana (S1 dan S2). Di setiap lanskap dilakukan
pengambilan contoh Hymenoptera parasitika pada lahan mentimun seluas 25 m x
50 m. Penelitian ini dilakukan pada dua kali musim tanam mentimun.
Pengkoleksian Hymenoptera parasitika dilakukan dengan tiga metode, yaitu
pemasangan perangkap nampan kuning, perangkap malais, dan pengambilan
inang dengan metode transek. Untuk mengetahui hubungan keanekaragaman
Hymenoptera parasitika dengan struktur lanskap, dilakukan pengukuran struktur
lanskap melalui pemetaan vegetasi dan penggunaan lahan pada masing-masing
lanskap dengan radius 50 m, 100 m, 150 m, 200 m, dan 250 m dari lahan
mentimun.
Sebanyak 233 spesies Hymenoptera parasitika diperoleh dari empat lahan
mentimun di dua musim tanam berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kompleksitas lanskap tidak memengaruhi keanekaragaman dan komposisi
Hymenopetara parasitika, tapi berpengaruh terhadap kelimpahannya. Berdasarkan
hasil analisis korelasi, parameter lanskap yaitu class area (CA) dan jumlah patch
(NumP) dari pepohonan dan lahan kosong memiliki hubungan dengan keberadaan
Hymenoptera parasitika di ekosistem pertanian.
Kata kunci: kekayaan spesies, agroekosistem, Diaphania indica, Apanteles
taragamae


SUMMARY
SUMEINIKA FITRIA LIZMAH. Effects of Landscape Structure on Diversity of
Parasitic Hymenoptera in Cucumber Field. Supervised by DAMAYANTI
BUCHORI, PUDJIANTO, and AKHMAD RIZALI.
Landscape structure has been known to affect biodiversity in an ecosystem.
In general, biodiversity and species composition tends to be higher in complex
landscape compared to simple landscape. Complex landscape is characterized by
the presence of non crop plants that provides food source and alternative habitats
for insects, whilst simple landscapes are usually dominated by monoculture crop
plants that does not provide many variation of plants as food sources and
alternative habitats. The aim of this research is to study the diversity of parasitic
Hymenoptera under two types of landscapes, i.e. complex and simple landscape
Fields research was conducted at four agricultural landscape of cucumber
fields in Bogor that were grouped into complex landscape (K1 andK2) and simple
landscape(S1 andS2). In each landscape, parasitic Hymenoptera were sampled
from cucumber field (25 m x 50 m) at two different planting seasons. Parasitic
Hymenoptera were collected using three methods i.e. yellow pan trap, malaise
trap, and host collecting using transect method. To study the relationship between
parasitic Hymenoptera and landscape structures, each landscape was quantified
through mapping the vegetation and land-uses within a radius of 50 m, 100 m, 150

m, 200 m, and 250 m from each of the cucumber fields.
In total, 233 species of parasitic Hymenoptera were found from four
cucumber fields at two planting seasons. The result showed that landscape
complexity did not affect the diversity of parasitic Hymenoptera, but it did affect
the species composition. Based on correlation analysis, landscape parameters i.e.
class area (Ca) and number of patch (NumP) of trees and open areas are correlated
with the presence of parasitic Hymenoptera in agricultural ecosystem.
Keywords: species richness, agroecosystem, Diaphania indica, Apanteles
taragamae

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGARUH STRUKTUR LANSKAP
TERHADAP KEANEKARAGAMAN HYMENOPTERA
PARASITIKA PADA LAHAN MENTIMUN

SUMEINIKA FITRIA LIZMAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nina Maryana, MSi

PRAKATA

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Struktur Lanskap terhadap
Keanekaragaman Hymenoptera Parasitika pada Lahan Mentimun”, sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Entomologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini telah
dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati dan beberapa lahan
Pertanaman mentimun di Kabupatn Bogor pada bulan Juli 2013 hingga Agustus
2014.
Pnulis mnghanturkan trima kasih yang sbsar-bsarnya kpada:
1. Ibu Prof Dr Ir Damayanti Buchori MSc, Bapak Dr Ir Pudjianto MSi dan
Bapak Dr Akhmad Rizali SP MSi selaku komisi pembimbing yang tlah
banyak memberikan masukan, pelajaran, dan motivasi kepada penulis
selama penelitian maupun penulisan tesis ini
2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan atas Beasiswa Unggulan tahun 2012-2014 dan Hibah
Kompetensi tahun 2013 yang telah membantu mendanai penelitian ini
3. FAO (Food and Agriculture Organization) melalui proyek kerjasama IPBFAO, Pollinator assessment in Indonesia tahun 2013
4. Ayahanda Sulaiman dan Ibunda Nur Aini Amin atas segala nasihat,
pelajaran hidup, semangat dan doa dalam setiap langkah penulis sehingga

sampai di titik ini
5. Adik-adik tercinta, Mulya Afrianti, Qhusnul Qhatimah, Muhammad Nuzul
Fajar, dan Aulia Suci Ramadhani atas dorongan semangat yang telah
diberikan
6. Adik dan sahabat tersayang Arum “Ayumi” Marlina atas segala motivasi,
semangat, dan bantuan yang diberikan di masa-masa penyelesaian tesis ini
7. Rekan-rekan seperjuangan Entomologi angkatan 2012, Bang Agus, Bang
Topan, Bang Gilang, Bang Mus, Rion, Ihsan, Nadzir, Bu Wid, Mba Dika,
Ita, Yenni, Lutfi, dan Wiwik atas kerjasama, semangat dan bantuannya
8. Rekan-rekan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Ibu Adha Sari SP,
Mba Nita, Pak Ucup, Mba Ratna, Ibu Evawati, Kak Laras, Kak Amanda,
Bayu, Cici, Rizky, Susi, Ihsan, Badrus, Arfiani, dan Novi atas segala
bantuan dan masukannya
9. Teman-teman tersayang, SHINee Shawol, Tohoshinki Cassiopea, EXO
EXO-L untuk selalu memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita
semua.
Bogor, Agustus 2015
Sumeinika Fitria Lizmah


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penelitian
1.3 Manfaat Penelitian
1.4 Hipotesis

vi
vi
vi
1
1
2
2
3


2

4
4
5
5

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hymenoptera Parasitika
2.2 Pengertian dan Teori Ekologi Lanskap
2.3 Struktur dan Kompleksitas Lanskap
2.4 Pengaruh Lanskap terhadap Keanekaragaman Parasitoid dan
Pengendalian Hayati

6

3

METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2 Pelaksanaan Penelitian
3.3 Analisis Data

9
9
9
14

4

HASIL
4.1 Keanekaragaman dan Kelimpahan Hymenoptera Parasitika
pada Pertanaman Mentimun
4.2 Perbedaan Komposisi Hymenoptera Parasitika pada Lanskap
yang Berbeda
4.3 Hama, Parasitoid dan Tingkat Parasitisasi pada Pertanaman
Mentimun
4.4 Pengaruh Struktur Lanskap terhadap Hymenoptera Parasitika

16


20
24

PEMBAHASAN

24

5
6

SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

16
19

29
29
29
30
34
42

DAFTAR TABEL
3.1 Lokasi, pemilik serta luasan lahan penelitian
3.2 Kriteria pengelompokan lanskap
4.1 Kekayaan spesies dan keanekaragaman Hymenoptera parasitika
yang ditemukan pada lanskap kompleks dan sederhana di
Kabupaten Bogor
4.2 Jumlah individu, spesies, dan famili Hymenoptera parasitika pada
lanskap kompleks dan sederhana
4.3 Jumlah individu masing-masing famili Hymenoptera parasitika
pada lanskap kompleks dan sederhana dari penggunaan
perangkap berbeda
4.4 Persentase parasitisasi pada larva inang yang ditemukan pada
pertanaman mentimun
4.5 Persentase parasitisasi terhadap D. indica dan S. litura pada
pertanaman mentimun di lanskap berbeda dan umur tanaman berbeda
4.6 Hiperparasitisasi Stictopisthus sp. terhadap A. Taragamae pada inang
D. indica

9
10
16
17
19
22
23
23

DAFTAR GAMBAR
3.1
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
4.1
4.2

Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bogor
Contoh kondisi lahan di sekitar pertanaman mentimun
Karakterisasi lanskap disekitar lahan penelitian
Digitasi struktur lanskap berdasarkan penggunaan lahan (land use)
Petak contoh lahan pertanaman mentimun
Desain plot pengambilan contoh parasitika pada lahan mentimun
Perangkap nampan kuning (yellow pan trap)
Perangkap malais
Jumlah individu yang diperoleh berdasarkan perangkap
NMDS dari komposisi parasitika berdasarkan indeks
ketidakmiripan Bray-Curtis
4.3 Persentase parasitisasi pada lanskap kompleks dan sederhana
4.4 Imago hiperparasitoid Stictopisthus sp.
4.5 Hubungan parameter lanskap dengan jumlah spesies parasitika

9
10
11
11
12
13
13
14
18
19
21
22
23

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Keanekaragaman dan kelimpahan Hymenoptera parasitika yang
ditemukan pada pertanaman mentimun pada lanskap kompleks (K1
dan K2) dan lanskap sederhana (S1 dan S2)
Parasitoid dan peranannya yang ditemukan pada lanskap kompleks
(K1 dan K2) dan lanskap sederhana (S1 dan S2)

36
42

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hymenoptera parasitika merupakan bagian dari ordo Hymenoptera yang berperan
sebagai parasitoid (Mason dan Huber 1993). Serangga parasitoid hidup pada atau di
dalam tubuh inangnya dengan memakan cairan inang sehingga menyebabkan kematian
pada inang. Berbeda dengan jenis parasit pada umumnya, serangga parasitoid hanya fase
pradewasanya yang menyerang inang sementara dewasa (imago) hidup bebas di luar
inang (Godfray 1994; Driesche dan Bellows 1996). Jenis inang dari parasitoid umumnya
berasal dari kelas serangga ataupun Arthropoda lainnya (Mason dan Huber 1993; Godfray
1994). Serangga-serangga parasitoid sudah sangat banyak dimanfaatkan sebagai salah
satu agen pengendali hayati hama seperti hama pertanian dan perkebunan.
Pengendalian hayati termasuk salah satu bentuk jasa ekosistem yang tersedia di
alam selain penyerbukan, kesuburan tanah, dan kesehatan lingkungan (Power 2010,
Tscharntke et al. 2012). Jasa ekosistem tersebut tidak hanya bermanfaat untuk kehidupan
manusia tetapi juga seluruh komponen ekosistem termasuk tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme. Keberhasilan suatu pengendalian hayati tentu saja tidak terlepas dari
keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid di lapangan. Terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi keberadaan parasitoid di alam, diantaranya adalah ketersediaan inang,
makanan untuk imago, kesesuaian mikroklimat dan keadaan habitat (Debach dan Rosen
1991; Dyer dan Landis 1996, 1997; Godfray 1994). Faktor-faktor tersebut saling
terhubung dan memengaruhi serta membentuk suatu fungsi lanskap di dalam ekosistem
pertanian yang tentu saja tidak terlepas dari struktur lanskap pertanian itu sendiri (Forman
1995).
Konservasi, dalam hal ini konservasi parasitoid, merupakan salah satu cara untuk
menjaga parasitoid agar tetap berada di lapangan (Tscharntke et al. 2007). Konservasi
parasitoid dapat dilakukan dengan menerapkan atau menjalankan manajemen lanskap
untuk menjaga sumber daya (resource) seperti inang dan makanan, terus tersedia di
lapangan (Landis et al. 2000). Menurut Bianchi (2006), lanskap habitat alami memiliki
peranan penting dalam pengendalian hama. Lanskap yang didukung oleh habitat alami
atau habitat semi-alami berperan sebagai sumber inang alternatif dan mangsa, sumber
nektar, refugium bagi musuh alami sehingga mencegah kerusakan tanaman (Thies et al.
2003; Bianchi et al. 2006). Sementara lanskap pertanian memiliki keanekaragaman
spesies tumbuhan yang rendah dan kompleksitas tumbuhan yang sederhana (Lawton
dalam Menalled et al. 1999) sehingga dengan menerapkan manajemen lanskap yang baik
dapat menciptakan keadaan seperti habitat alami atau semi-alami.
Lanskap alami yang mengalami perubahan untuk berbagai keperluan pertanian,
perumahan, pertambangan dan berbagai keperluan manusia lainnya sedikit banyaknya
memengaruhi struktur, fungsi dan dinamika lanskap alami. Hal ini tentu saja memberikan
efek terhadap keanekaragaman organisme di dalamnya seperti kehilangan spesies
tertentu, munculnya spesies invasif, dan mengganggu jaring-jaring makanan (Kruess dan
Tscharntke 1994). Komponen penting dari kompleksitas struktur lanskap seperti budi
daya, fragmentasi habitat, isolasi habitat, serta transformasi habitat mengubah
kompleksitas struktur lanskap yang berdampak terhadap biodiversitas (Marino dan Landis
1996). Hasil penelitian Rubiana (2014) mnunjukkan bahwa transformasi habitat dari
hutan perkebunan kelapa sawit berpengaruh dalam pembentukan spesies semut yang
dapat dikatakan menjadi kerugian tidak langsung keanekaragaman hayati.

2
Manajemen dan kompleksitas lanskap pertanian dapat memengaruhi
keanekaragaman tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme di dalamnya (Altieri 1999;
Tscharntke et al. 2005), dimana kedua hal tersebut memengaruhi aliran energi,
pengaturan air, dan keberadaan musuh alami termasuk parasitoid (Altieri 1999). Menurut
Bianchi et al. (2006), kompleksitas lanskap juga memengaruhi kekayaan spesies di
lanskap tersebut. Manajemen lanskap dapat dilakukan dengan manipulasi habitat yaitu
pemanfaatan tanaman-tanaman non pertanian di sekitar areal pertanian sehingga
memberikan fungsi seperti habitat semi-alami (Gámez-Virués et al. 2012). Keberadaan
habitat semi-alami berguna dalam menjaga keberadaan parasitoid, termasuk
meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahannya (Landis et al. 2000). Habitat semialami berupa tanaman-tanaman non pertanian yang ditanam di sekitar ekosistem pertanian
juga berdampak positif terhadap tanaman pertanian itu sendiri. Tanaman non pertanian ini
berguna sebagai penyedia sumber makanan, sumber inang alternatif, refugia, dan habitat
yang sesuai bagi parasitoid (Thies et al. 2003; Bianchi et al. 2006).
Struktur lanskap umumnya dikelompokkan berdasarkan komposisi vegetasi pada
lanskap tersebut. Pertanian dengan lanskap kompleks dicirikan dengan dominannya
tanaman non pertanian di sekitarnya seperti pepohonan, semak, tanaman pagar dan
gulma. Sementara itu, lanskap sederhana memiliki proporsi tanaman non pertanian lebih
sedikit dan cenderung homogen (Menalled et al. 1999; Plećaš et al. 2014). Struktur
lanskap suatu pertanian dapat memengaruhi keanekaragaman, kelimpahan dan
keefektifan parasitoid di dalamnya (Marino dan Landis 1996; Menalled et al. 1999).
Lanskap kompleks cenderung memiliki keanekaragaman musuh alami lebih tinggi
dibandingkan dengan lanskap sederhana (Purtauf et al. 2005; Schmidt et al. 2005). Hasil
penelitian Marino dan Landis (1996) menunjukkan bahwa persentase parasitisasi
Meteoris communis (Hymenoptera: Braconidae) terhadap Pseudaletia unipuncta
(Lepidoptera: Noctuidae) lebih tinggi (13.1%) pada lanskap kompleks dari pada lanskap
sederhana (2.4%). Sementara itu Plećaš et al. (2014) menemukan bahwa kepadatan
kutudaun diikuti dengan peningkatan rata-rata parasitisasi, kekayaan spesies parasitoid
serta hiperparasitisasinya pada lanskap yang dikelola secara ekstensif dan ditanami
berbagai jenis tanaman non-pertanian.
Pengaruh kondisi lanskap terhadap keberadaan parasitoid penting untuk diplajari
lebih dalam karena dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan penyusun
lanskap (struktur lanskap) dengan keanekaragaman, kelimpahan dan komposisi
parasitoid. Informasi yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai data penunjang dalam
melakukan perancangan strategi konservasi musuh alami, dalam hal ini parasitoid,
khususnya di wilayah kabupaten Bogor.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari keanekaragaman Hymenoptera
parasitika di lahan mentimun pada lanskap yang berbeda, (2) membandingkan
keanekaragaman dan komposisi Hymenoptera parasitika di lahan mentimun pada kondisi
lanskap berbeda, dan (3) mempelajari pengaruh struktur lanskap terhadap
keanekaragaman dan komposisi Hymenoptera parasitika di lahan mentimun.
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
penting mengenai (1) keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada pertanaman

3
mentimun, (2) pengaruh kondisi lanskap terhadap keanekaragaman Hymenoptera
parasitika pada pertanaman mentimun, dan (3) data ilmiah sebagai bahan pertimbangan
atau rekomendasi dalam melakukan perencanaan kawasan pertanian dalam upaya
mewujudkan pertanian yang berkelanjutan.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H0: struktur lanskap tidak memengaruhi keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada
pertanaman mentimun.
H1: struktur lanskap memengaruhi keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada
pertanaman mentimun.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hymenoptera Parasitika
Keanekaragaman
hayati
(biological
diversity)
didefinisikan
sebagai
keanekaragaman makhluk hidup (tumbuhan, hewan, mikroorganisme) dari berbagai
habitat termasuk daratan, lautan dan ekosistem akuatik, dan kompleks-kompleks ekologi
lainnya, mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antar spesies dan ekosistem yang
saling berinteraksi (Heywood 1995, Altieri dan Nicholls 2004). Harper dan Hawksworth
(1995) pertama kali membagi keanekaragaman hayati kedalam tiga komponen, yaitu
keanekaragaman genetik (di dalam spesies), keanekaragaman spesies (jumlah spesies),
dan keanekaragaman ekologi (di dalam komunitas).
Serangga sebagai salah satu penyusun keanekaragaman hayati bumi memiliki lebih
dari jutaan spesies yang sudah ditemukan. Hymenoptera termasuk salah satu ordo dengan
jumlah spesies terbesar dalam kelas Insecta selain Coleoptera, Lepidoptera dan Diptera
(LaSalle dan Gauld 1993, CSIRO 2001). Ordo ini mewakili sekitar 7.7% dari keseluruhan
spesies serangga di dunia dengan lebih dari 115.000 spesies telah teridentifikasi (LaSalle
dan Gauld 1993).
Secara fungsional, ordo Hymenoptera dikelompokkan kedalam dua subordo yaitu
Symphyta dan Apocrita (Goulet dan Huber 1993). Subordo Symphyta disebut sebagai
Hymenoptera primitif, dengan pertulangan sayap (venasi) yang lengkap dan abdomen
tanpa penggentingan (CSIRO 2001). Spesies Symphyta umumnya bersifat fitofag dan
memiliki bentuk serta perilaku atau biologi yang sama dengan larva lepidoptera (LaSalle
dan Gauld 1993). Subordo ini terdiri dari 14 famili dan mempunyai tidak lebih dari 15%
spesies dari keseluruhan Hymenoptera (LaSalle dan Gauld 1993). Subordo Apocrita
diketahui memiliki peranan yang beragam terhadap ekosistem, diantaranya sebagai
parasitoid, predator, pemakan madu (mellivorous), pemakan jamur (fungivorous) atau
pemakan bangkai (scavengers); serta berperan sebagai fitofag pada fase larvanya (CSIRO
2001). Berdasarkan peranannya, subordo Apocrita dikelompokkan menjadi dua yaitu
aculata dan parasitika. Apocrita aculata memiliki modifikasi pada bagian ovipositor
menjadi alat penyengat (stinger) dan umumnya berperan sebagai predator dan polinator
(LaSalle dan Gauld 1993, Mason dan Huber 1993). Kelompok parasitika dicirikan dengan
ovipositor tidak berkembang sebagai penyengat melainkan sebagai alat untuk meletakkan
telur (LaSalle dan Gauld 1993, Mason dan Huber 1993). Kelompok parasitika lebih
dikenal dengan sebutan parasitoid. Hampir 75% dari keseluruhan spesies subordo
Apocrita adalah parasitoid (Goulet dan Huber 1993) dan berjumlah sekitar 39 famili
(LaSalle dan Gauld 1993).
Menurut Godfray (1994), parasitoid didefinisikan sebagai serangga yang
membunuh atau memarasit serangga lain dengan cara hidup dan makan di dalam tubuh
inangnya (host). Imago betina parasitoid meletakkan telurnya pada atau di dalam tubuh
inang. Telur yang diletakkan berkembang menjadi larva, pupa hingga menjadi imago
kemudian hidup bebas (Clausen 1940, Godfray 1994, Driesche dan Bellows 1996).
Berdasarkan stadia inangnya, parasitoid dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu
parasitoid telur, parasitoid larva, parasitoid pupa, parasitoid telur-larva, parasitoid larvapupa, parasitoid larva-imago, parasitoid pupa-imago dan parasitoid imago (Clausen 1940,
Godfray 1994).

5

2.2 Pengertian dan Teori Ekologi Lanskap
Pembahasan mengenai lanskap di dalam ekologi pertanian tidak terlepas dari dua
teori dasar yang dikemukakan oleh Price dan Waldbauer (1975) yaitu teori yang fokus
pada ruang atau space (teori biogeografi kepulauan oleh MacArthur dan Wilson 1967)
dan teori yang fokus pada waktu atau time (suksesi komunitas oleh Odum 1969). Kedua
teori tersebut saling berkaitan dimana ruang dan waktu dapat menentukan kestabilan
suatu populasi di dalam ekosistem termasuk populasi hama dan musuh alaminya. Suatu
lahan pertanian dapat dianalogikan sebagai sebuah pulau, jarak dan ukuran pulau dari
sumber daya menentukan proses terbentuknya kolonisasi ataupun kestabilan populasi
serangga, terutama setelah kestabilan tumbuhan di areal tersebut terbentuk (GámezVirués et al. 2012).
Lanskap adalah suatu bentang alam atau areal heterogen yang tersusun dari
berbagai ekosistem yang saling berinteraksi dan memengaruhi serta memiliki pola sama
yang berulang-ulang (Forman dan Godron 1986). Secara lebih sederhana, Turner et al.
(2001) mendefinisikan lanskap sebagai suatu daerah atau areal heterogen yang terdiri dari
habitat atau jenis penutup areal yang berbeda dan mempunyai ukuran yang bervariasi.
Teori skala spatio-temporal dan perkembangan teknologi memiliki konstribusi
dalam munculnya konsep dan prinsip ekologi lanskap yang penting untuk dipelajari.
Forman dan Godron (1986) mengidentifikasi beberapa prinsip umum dalam membedakan
lanskap berdasarkan ekologi ekosistem, biogeografi, dan bentuk geografi yaitu struktur
dan fungsi lanskap, keragaman biotik, aliran spesies, redistribusi nutrisi, aliran energi,
perubahan lanskap, dan stabilitas lanskap. Menurut Forman (1995), di dalam sebuah
lanskap terjadi tiga proses dasar yang saling berintegrasi, yaitu struktur lanskap, fungsi
lanskap, dan dinamika lanskap. Sebuah pengembangan teori yang dilakukan Forman
(1995) dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait penggunaan lahan dan lingkungan
sosial, yaitu lanskap dan region, patches dan koridor, mosaik, dan penerapan lanskap.
Turner et al. (2001) mengemukanan bahwa terdapat beberapa konsep mendasar
terkait dengan manajemen hama pertanian, yaitu pertama, komposisi yang merupakan
perbedaaan proporsi habitat atau jenis penutup yang ditemukan di areal, kedua,
konfigurasi yang berarti susunan spasial yang spesifik dari jenis penutup di atas lanskap,
dan ketiga adalah konektivitas dimana terdapat ruang spasial yang berkelanjutan untuk
jenis tanaman penutup bentangan lanskap. Sebuah konfigurasi spasial sangat penting
dalam proses ekologi, terutama ekologi lanskap. Di sisi lain, luasan spasial dan pengaruh
aktivitas manusia juga menjadi komponen penting dalam membentuk pola lanskap
(Turner et al. 2001).
2.3 Struktur dan Kompleksitas Lanskap
Struktur lanskap merupakan hubungan spasial antara ekosistem atau komponen
lanskap seperti tumbuhan liar, perkampungan, jalan raya, saluran irigasi dan sebagainya
(Forman dan Godron 1986). Terdapat tiga struktur dasar dari lanskap, yaitu matriks
(matrix), bidang lahan (patch) dan koridor (corridor) (Forman 1995). Matriks adalah
penyusun lanskap yang berukuran paling luas dan bersifat berkelanjutan (Forman dan
Godron 1986, Forman 1995). Contoh matriks alami yang paling penting terkait
keanekaragaman serangga adalah hutan hujan tropis (Forman 1995). Patch merupakan
suatu bidang yang memiliki permukaan yang tidak lurus dan berbeda penampakan dengan

6
matriks yang mengelilinginya (Forman dan Godron 1986, Forman 1995). Koridor adalah
lahan sempit yang diapit oleh dua sisi yang linear (Forman dan Godron 1986, Forman
1995), dapat berfungsi sebagai habitat, pembatas (barrier) maupun lahan perpindahan
serangga dari satu lahan ke lahan yang lainnya (Forman 1995). Masing-masing elemen
penyusun lanskap ini mempunyai sifat tertentu yang dapat diukur seperti luasan, jarak,
bentuk, jumlah habitat dan hubungan satu bidang lahan terhadap bidang lahan lainnya.
Kompleksitas lanskap adalah istilah yang umum digunakan dalam ekologi lanskap.
Istilah ini terkait dengan keanekaragaman elemen lanskap, kelompok spasial, dan
bentuknya. Beberapa matriks lanskap mendeskripsikan dimensi yang berbeda dari
kompleksitas lanskap (Gámez-Virués et al. 2012). Adapun beberapa istilah umum terkait
kompleksitas lanskap seperti yang dikemukakan oleh Turner et al. (2001), antara lain,
Shannon diversity index, Shannon evenness index, mean shape index, edge density, dan
contagion. Shannon diversity index menggambarkan keanekaragaman pada tipe habitat
dengan memperhatikan jumlah kelas tutupan lahan dan distribusi proporsionalnya. Indeks
ini mirip dengan indeks keanekaragaman Simpson. Sedangkan Shannon evenness index
menggambarkan kemerataan areal antar kelas tutupan lahan dimana nilai tinggi
menggambarkan kemerataan daerah antar kelas. Mean shape index menggambarkan
hubungan antara perimeter dan luas patch sebagai rataan dari semua patch yang
ditemukan. Nilai tertinggi dari rataan menunjukkan bentuk lanskap yang lebih kompleks.
Edge density menyediakan pengukuran panjang segmen tepi per hektar dan tergantung
antara kedua patch dan bentuk patch. Contagion menggambarkan tingkat kedekatan sel
(patch yang berdekatan dari jenis patch yang sama). Contagion dipengaruhi oleh dispersi
dan interspersi kelas tutupan lahan.
2.4 Pengaruh Lanskap terhadap Keanekaragaman Parasitoid dan Pengendalian
Hayati
Struktur lanskap dan manajemen habitat merupakan dua hal yang memengaruhi
konservasi parasitoid dan musuh alami lainnya di lapangan (Altieri 1999, Tscharntke et
al. 2005). Struktur lanskap pertanian dalam skala spasial tersusun atas berbagai
komponen diantaranya isolasi fragmentasi habitat, area patch, kualitas patch, diversitas
patch, edge, derajat monokultur, dan mikroklimat yang memengaruhi kelimpahan dan
kekayaan spesies serangga (Marino dan Landis 1999, Hunter 2002). Lanskap pertanian
jika diibaratkan sebagai kepulauan, menyebabkan terjadinya isolasi-isolasi habitat
sehingga keberadaan parasitoid juga tersebar tidak merata. Hal ini dikarenakan suatu
lanskap yang terisolasi belum tentu menyediakan sumber daya yang konstan. Isolasi
habitat akibat dari fragmentasi habitat diketahui memengaruhi keanekaragaman dan
kelimpahan suatu organisme dalam ekosistem, terutama organisme-organisme penting
seperti parasitoid dan spesies lokal. Menurut Kruess dan Tscharntke (1994), isolasi yang
terjadi akibat fragmentasi habitat menyebabkan berkurangnya kemunculan jumlah spesies
sehingga berdampak pada penurunan keefektifan parasitoid. Sisa-sisa fragmentasi habitat
yang kurang terisolasi meningkatkan keanekaragaman spesies dan parasitisme serangga
hama potensial dalam membentuk stabilitas fungsi ekosistem (Kruess dan Tscharntke
2000).
Parasitoid sebagai bagian dari pengendalian hayati dari hama-hama pertanian sangat
berkaitan dengan lanskap di area pertanian (Corbett dan Rosenheim 1996). Lanskap yang
dimaksudkan secara lebih luas diartikan sebagai bagian dari ekosistem pertanian selain
pertanaman utama dimana inang parasitoid hidup. Di dalam lanskap, pertukaran berbagai
material baik berupa energi, nutrisi, dan sumber daya terjadi secara berkesinambungan

7
dan saling memengaruhi, begitupun terhadap parasitoid. Pertukaran ini dapat terjadi pada
skala global atau regional (Marino dan Landis 1999). Lanskap pertanian yang didukung
oleh keberadaan berbagai tanaman dan tumbuhan liar memungkinkan parasitoid hidup
lebih banyak. Tumbuhan liar atau refugium merupakan tanaman non pertanian yang
biasanya tumbuh atau ditanam di sekitar lanskap pertanian. Pemanfaatan tanaman liar
termasuk salah-satu upaya manajemen lanskap yang disebut dengan manipulasi habitat
yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hayati, terutama pada
lanskap sederhana (Gámez-Virués et al. 2012). Selain manipulasi habitat, sistem budi
daya pertanian, kompleksitas, dan efek tanaman tepi juga memengaruhi keanekaragaman
parasitoid pada lanskap (Marino dan Landis 1999). Tanaman non-pertanian yang
digunakan untuk manipulasi lokal biasanya menggunakan flower strips, sementara untuk
manipulasi lanskap dengan menanami pepohonan non-pertanian (Gámez-Virués et al.
2012).
Di pertanian konvensional, flower strips yang biasanya digunakan adalah yang
dapat mengurangi pengaruh hama (Fiedler et al. 2008). Penanaman flower strips biasanya
dilakukan dengan memilih tanaman eksotik atau tanaman lokal yang ditanam disepanjang
tepi tanaman atau antara baris tanaman. Flower strips berguna sebagai pemasok sumber
nektar, polen, dan tempat tinggal bagi parasitoid (Landis et al. 2000). Flower strips
memberikan manfaat yang besar dalam mendukung keberhasilan penendalian hama,
seperti peningkatan tingkat parasitisasi, lama hidup dan fekunditas. Kartosuwondo (1994)
menemukan bahwa parasitisasi Diadegma semiclausum (Hymenoptera: Ichneumonidae)
parasitoid larva Plutella xylostella (Lepidoptera: Pyralidae) pada tanaman kubis, tiga kali
lebih tinggi pada petakan yang ditanami flower strips. Penanaman flower strips juga
meningkatkan lama hidup dan fekunditas Diadegma insulare (Cresson) (Hymenoptera:
Ichneumonidae) yang merupakan parasitoid P. xylostella (Idris dan Grafius 1995). Hal
yang sama juga berpengaruh pada lama hidup dan parasitisasi parasitoid Copidosoma
koehleri (Hymenoptera: Encyrtidae) pada hama kentang Phtorimaea operculella
(Lepidoptera: Gelechiidae) (Baggen dan Gurr 1998).
Selain berguna sebagai penyedia sumber daya, flower strips juga berperan dalam
penyediaan inang alternatif bagi parasitoid sehingga populasi parasitoid pada ekosistem
pertanian pun terpelihara (Scherber et al. 2012). Flower strips haruslah ditanam dengan
pertimbangan jarak tertentu dengan harapan disinggahi musuh alami saat melakukan
perjalanannya mencari inang (Gámez-Virués et al. 2012). Lavandero et al. (2005)
mengamati bahwa D. semiclausum dewasa dapat berpindah sejauh 80 km, padahal jarak
yang umum ditempuhnya dalam pencarian inang adalah 60 km. Hal ini dikarenakan pada
skala jarak tertentu terdapat tanaman liar yang dapat digunakan sebagai sumber makanan
oleh parasitoid.
Manipulasi lanskap dengan penambahan habitat tanaman non-pertanian diketahui
sebagai strategi yang efektif dalam konservasi biodiversitas (Griffiths et al. 2008) dan
juga efektif dalam mengurangi efek buruk dari fragmentasi habitat (Gámez-Virués et al.
2012). Tempat tinggal, nektar, polen, embun madu, mangsa non-hama dan inang adalah
sumber daya bagi musuh alami, termasuk parasitoid, yang semuanya disediakan oleh
habitat pepohonan non-pertanian (Rand et al. 2006). Woltz et al. (2014) mendapatkan
hasil dimana kelimpahan Coccinellidae tinggi pada lahan kacang kedelai yang ditanami
gandum, Fagopyrum esculentum (Caryophyllales: Polygonaceae), sebagai flower strips
dibandingkan dengan kontrol, dan kelimpahan Coccinellidae di kacang kedelai
berkorelasi positif dengan jumlah vegetasi semi-alami di lanskap tersebut. Hal yang sama
juga dilaporkan Plećaš et al. (2014) dimana rata-rata parasitisasi dan kekayaan spesies

8
parasitoid dan hiperparasitoid kutudaun lebih tinggi pada lanskap dengan habitat tanaman
non-pertanian yang lebih luas dan beragam, positif memengaruhi pengendalian biologis.
Pertanian monokultur memiliki keanekaragaman parasitoid yang lebih rendah
dibandingkan dengan pertanian polikultur (Heong et al. 1991). Selain itu Östman et al.
(2001) menemukan musuh alami Rhopalosiphum padi (hama dan musuh alami yang
terdapat pada tanaman padi) yang ditemukan lebih banyak dan menetap pada padi yang
ditanam secara organik dibandingkan yang ditanam secara konvensional. Marino dan
Landis (1999) melaporkan bahwa keanekaragaman dan laju parasitisme parasitoid ulat
grayak (Pseudaletia unipuncta) (Lepidoptera Noctuidae) pada stuktur lanskap kompleks
pada pertanaman jagung dengan hedgegrow, oldfield dan woodlot lebih tinggi
dibandingkan dengan lanskap sederhana yang terdiri dari pertanaman jagung dengan
sedikit tumbuhan liar. Hal yang serupa juga dipaparkan oleh Thies dan Tscharntke (1999)
dimana laju parasitisme Tersilochus heterocerus (Hyemenoptera: Ichneomonidae) dan
Phradis interstitialis (Hymenoptera: Ichneomonidae) terhadap kumbang Meligethes
aeneus (Coleoptera: Nitidulidae) lebih tinggi dan kerusakan tanaman lebih rendah pada
lanskap kompleks dibandingkan dengan lanskap sederhana. Roschewitz et al. (2005) dan
Thies et al. (2005) menemukan bahwa pada lanskap yang kompleks terjadi peningkatan
rata-rata parasitisasi kutudaun diikuti dengan kelimpahan kutudaun tersebut. Sementara
Menalled et al. (2003) dan Costamagna et al. (2004), menunjukkan bahwa kompleksitas
lanskap tidak memiliki pengaruh pada keanekaragaman parasitoid, tetapi berpengaruh
pada tingkat parasitisisasinya. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, diketahui bahwa
kompleksitas dan komposisi lanskap tidak hanya mendukung kehidupan parasitoid, lebih
dari itu juga dapat meningkatkan keanekaragaman dan keefektifan parasitoid tersebut
dalam menekan populasi serangga hama.

9

3 METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan contoh serangga dilakukan pada pertanaman mentimun di empat
lokasi yang tersebar di wilayah Kabupaten Bogor (Gambar 3.1). Penyortiran dan
identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian lapangan
dilakukan mulai dari Juni 2013 sampai November 2013 dilanjutkan dengan identifikasi di
laboratorium pada bulan Desember 2013 sampai Agustus 2014.

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian di Kabupaten Bogor
3.2 Pelaksanaan Penelitian
Penentuan Lokasi dan Lanskap
Lokasi penelitian yang digunakan merupakan lanskap pertanian dataran rendah di
tiga kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu di Kecamatan Dramaga (Desa Cangkurawuk),
Kecamatan Ciampea (Desa Cihideung Udik dan Desa Banteng), dan Kecamatan
Cibungbulang (Desa Cibatok). Tabel 3.1 menjelaskan keterangan untuk masing-masing
lokasi penelitian.
Lokasi
K1
K2
S1
S2

*

Tabel 3.1 Lokasi, pemilik serta luasan lahan penelitian
Kecamatan
Desa
Pemilik lahan
Luas lahan
Cibungbulang
Cibatok
Pak Ages
25 m x 75 m
Ciampea
Benteng
Pak Suhanda
50 m x 57 m
Ciampea
Cihideng Udik
Pak Kosasih
26 m x 52 m
Dramaga
Cangkurawuk
Pak Jaya
26 m x 53 m

* K (kompleks), S (sederhana)

Lanskap pertanian diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yaitu kriteria
secara kuantitatif (persentase lahan hijau, tanaman berbunga, kondisi lahan) dan kriteria

10
kualitatif (keanekaragaman vegetasi, komposisi (heterogen) vegetasi, dan penggunaan
lahan (land use)). Masing-masing kriteria kemudian dilakukan pembobotan berdasarkan
hasil pemetaan lanskap dengan nilai persentase untuk keseluruhan adalah 100%. Hasil
pengklasifikasian diperoleh dua kelompok lanskap yaitu lanskap kompleks (K1 dan K2)
dan lanskap sederhana (S1 dan S2) (Tabel 3.2). Lanskap kompleks memiliki lebih dari
50% non pertanian (lahan hijau, pepohonan) dengan komposisi lahan yang heterogen,
sedangkan lanskap sederhana terdiri dari kurang 30% tanaman non pertanian dengan
komposisi lahan homogen serta vegetasi yang tidak beragam (Gambar 3.2).
Lahan
Hijau
84.76%
73.00%
79.22%
61.15%

Tabel 3.2 Kriteria pengelompokan lanskap

Tanaman
Kondisi Komposisi
Lanskap
berbunga
lahan
lahan
K1
19.84%
40.00%
Heterogen
K2
38.59%
31.42%
Heterogen
S1
29.58%
21.16%
Homogen
S2
13.52%
31.34%
Homogen
1
2)
K (kompleks), S (sederhana), 1: Pertanian, 2: hutan, 3: perumahan
1

a

Keanekagaman
vegetasi
Beragam
Beragam
Beragam
Tidak beragam

Penggunaan
Lahan2
1, 2, 3
1, 2, 3
1, 2, 3
1, 2, 3

b

Gambar 3.2 Contoh kondisi lahan di sekitar pertanaman mentimun, a) lanskap kompleks
b) lanskap sederhana
Pemetaan dan Pengukuran Struktur Lanskap
Pemetaan diawali dengan menandai titik lokasi penelitian menggunakan global
positioning system (GPS), kemudian memberikan kode pada masing-masing titik sesuai
dengan kelompok lanskapnya. Metode pemetaan lanskap yang digunakan mengadopsi
metode pemetaan yang dilakukan oleh Scherber et al. (2012) yaitu melakukan pemetaan
vegetasi dan penggunaan lahan pada setiap gradien jarak meliputi 50 m, 100 m, 150 m,
200 m, dan 250 m (Gambar 3.3). Di setiap radius dilakukan ground check untuk mencatat
komoditas pertanian yang ditanam dan vegetasi tanaman lain seperti pepohonan di sekitar
lahan pada setiap lanskap. Data yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya dipetakan
secara digital dengan menggunakan perangkap lunak Q-GIS (Quantum GIS Development
Team 2014).
Hasil pemetaan lanskap menggambarkan tipe penggunaan lanskap yang terdapat
pada masing-masing pertanaman mentimun pada radius 250 m di masing-masing lanskap
penelitian (Gambar 3.4). Lanskap kompleks memiliki proporsi penggunaan lahan (land
use) yang lebih merata dibandingkan dengan lanskap sederhana. Lanskap kompleks
mempunyai jumlah pepohonan dan tanaman non pertanian lain yang lebih dominan

11
dibandingkan dengan lanskap sederhana yang cenderung didominasi oleh tanaman
pertanian dan perumahan.

a

c

b

d

Gambar 3.3 Karakterisasi lanskap di sekitar lahan penelitian, a) lanskap kompleks 1, b)
lanskap kompleks 2, c) lanskap sederhana 1, d) lanskap sederhana 2
a

c

b

d

Gambar 3.4 Digitasi struktur lanskap berdasarkan penggunaan lahan (land use), a)
lanskap kompleks 1, b) lanskap kompleks 2, c) lanskap sederhana 1, d)
lanskap sederhana 2
Parameter lanskap yang dapat diukur dari suatu lanskap sangat beragam, setidaknya
terdapat sekitar 17 parameter lanskap tersebut. Pengukuran parameter lanskap yang

12
digunakan dalam penelitian ini mengikuti metode dari McGarigal et al. (2014). Adapun
parameter lanskap yang diukur dalam penelitian ini adalah:
- Class Area (CA): jumlah keseluruhan tipe patch pada tingkatan kelas yang sama.
- Number of Patch (NumP): jumlah keseluruhan patch, baik pada tingkatan kelas
maupun tingkatan lanskap.
- Shannon’s Diversity Index (SDI): indeks keanekaragaman Shannon untuk mengukur
tingkat keanekaragaman patch dalam lanskap.
- Shannon’s Evenness Index (SEI): untuk mengukur tingkat distribusi patch.
Penyiapan plot pengamatan dan Pengambilan Contoh Serangga
Penyiapan Lahan Tanaman Mentimun untuk Pengamatan. Penanaman
mentimun dilakukan sebanyak dua kali. Penanaman pertama dilakukan dari bulan Juni
sampai Agustus 2013, sementara penanaman kedua dilakukan pada bulan September
sampai November 2013 pada lokasi yang sama dengan penanaman pertama. Di setiap
lanskap dilakukan penanaman mentimun pada lahan seluas 25 m x 50 m (Gambar 3.5).
Varietas mentimun yang ditanam yaitu Mutiara Bumi, Alicia F1. Jarak tanaman
mentimun yang diterapkan pada lokasi pengamatan adalah 0.6 m x 0.6 m. Benih
mentimun ditanam di setiap bedengan dengan lebar 1,0 m – 1.2 m dan tinggi 0.4 m.

Lebar 25 m

Panjang 50 m

Guludan
(masingmasing 2
baris)

Gambar 3.5 Petak contoh lahan pertanaman mentimun
Budidaya Tanaman Mentimun. Budidaya tanaman mentimun pada penanaman
pertama dan penanaman kedua dibedakan oleh adanya pengaplikasian pestisida pada
penanaman pertama. Pada pertanaman pertama, 3 lahan pengamatan yaitu K1, K2, dan S1
diaplikasikan pestisida sementara lahan S2 tidak dilakukan penyemprotan pestisida.
Adapun pemakaian pestisida ini dilakukan pada minggu keempat atau kelima setelah
tanam. Pemakaian pupuk baik sintetis dan organik dilakukan dengan jumlah yang sama
dikedua penanaman.
Pengambilan Contoh Serangga. Pengambilan contoh serangga dilakukan dengan
tiga metode, yaitu pemasangan perangkap nampan kuning (yellow pan trap), pemasangan
perangkap malais, dan koleksi serangga inang dengan metode transek. Perangkap nampan
kuning dan perangkap malais merupakan perangkap yang efektif untuk mengoleksi
serangga ordo Hymenoptera (Noyes 1994). Pelaksanaan setiap metode pengambilan
contoh serangga dan penempatan perangkap seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.6.

15
Persentase kejadian parasitisasi =

x 100%

Untuk mengetahui nilai kuantitatif parameter lanskap yang berpengaruh terhadap
keanekaragaman spesies Hymenoptera pada keempat lanskap dilakukan analisis
deskriptif, sedangkan untuk melihat faktor parameter lanskap yang paling berpengaruh
dilakukan analisis parameter lanskap dengan menentukan buffer untuk masing-masing
titik sampel pada radius 50 m, 100 m, 150 m, 200 m, dan 250 m. Pada masing-masing
buffer dilakukan analisis habitat dengan Fragstat spatial pattern analysis program
(McGarigal et al. 2014) untuk memperoleh data parameter lanskap. Selanjutnya
dilakukan analisis korelasi untuk melihat hubungan antara parameter lanskap terhadap
keanekaragaman Hymenoptera parasitika. Keseluruhan analisis tersebut dikerjakan
dengan pada perangkat lunak R statistic (R-Development Core Team 2014).

16

4 HASIL
4.1 Keanekaragaman dan Kelimpahan Hymenoptera Parasitika pada Pertanaman
Mentimun
Keanekaragaman Hymenoptera parasitika yang diperoleh pada penelitian ini
berjumlah 233 spesies yang terdiri dari 28 famili dan 2 077 individu. Di lanskap
kompleks ditemukan 233 spesies dan 1 382 individu dari 28 famili, sedangkan pada
lanskap sederhana ditemukan 23 famili dari 157 spesies, dan 695 individu (Tabel 4.1;
Lampiran 1). Kekayaan spesies Hymenoptera parasitika yang diperoleh lebih tinggi di
lahan mentimun dengan lanskap kompleks dibandingkan dengan lanskap sederhana.
Namun hasil analisis menunjukkan bahwa keanekaragaman Hymenoptera parasitika dari
kedua lanskap (kompleks dan sederhana) tidak memiliki perbedaan. Sementara itu,
kelimpahan Hymenoptera parasitika yang ditemukan dipengaruhi oleh struktur lanskap.
Berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa perbedaan struktur lanskap pada keempat
lokasi tidak memengaruhi jumlah spesies (F1.2= 1.657, P= 0.327), keanekaragaman/H’
(F1.2= 1.657, P= 0.327) dan kemerataan/E (F1.2= 6.36, P= 0.128) dari Hymenoptera
parasitika yang diperoleh (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Kekayaan spesies dan keanekaragaman Hymenoptera parasitika yang
ditemukan pada lanskap kompleks (K1 dan K2) dan lanskap sederhana (S1 dan
S2) di Kabupaten Bogor
Jumlah
Famili

Jumlah
Spesies

Jumlah
Individu

H'*

E*

Kompleks
K1
K2
Total

21
24
28

147
164
233

588
894
1 382

4.51
4.53

0.9
0.88

Sederhana
S1
S2
Total

15
23
23

98
127
157

293
402
695

4.19
4.47

0.91
0.92

Lanskap

*

H’: Indeks keanekaragaman Shannon-Winner; E: Indeks kemerataan Shannon

Perbedaan kompleksitas lanskap di sekitar pertanaman mentimun menyebabkan
adanya famili atau jenis Hymenoptera tertentu yang hanya ditemukan di salah satu tipe
lanskap (Tabel 4.2). Secara umum famili-famili yang ditemukan pada lanskap kompleks
lebih beragam dari pada lanskap sederhana, demikian juga dengan jumlah individunya.
Famili Diapriidae, Scelionidae dan Braconidae ditemukan memiliki jumlah individu dan
spesies paling banyak pada setiap pengambilan sampel baik pada lanskap kompleks
maupun lanskap sederhana. Beberapa famili lain seperti Chrysididae, Cynipidae,
Elasmidae, Figitidae, Gasteruptidae, Megaspilidae, Mymarommatidae, dan Torymidae
memiliki jumlah individu yang sedikit dan paling jarang ditemukan.

17
Tabel 4.2 Jumlah individu, spesies dan famili Hymenoptera parasitika pada lanskap
kompleks dan sederhana
Famili

K11
3

S

S12

K2
N

4

S

S2

N

S

N

S

N

Aphelinidae

1

2

2

3

0

0

1

1

Bethylidae

3

10

5

15

3

6

7

18

Braconidae

18

83

11

60

12

76

13

53

Ceraphronidae

6

20

12

57

5

17

8

18

Chalcididae

6

18

3

6

6

11

5

9

Chrysididae

1

1

0

0

0

0

1

1

Cynipidae

0

0

1

1

0

0

0

0

Diapriidae

22

150

26

292

19

63

19

88

Drynidae

0

0

1

1

1

1

1

2

Elasmidae

1

1

0

0

0

0

1

1

Encyrtidae

7

24

14

39

4

6

9

18

Eucharitidae

1

1

1

1

1

1

1

1

Eucoilidae

7

26

6

20

6

16

5

12

Eulophidae

8

13

11

25

5

9

7

16

Eupelmidae

3

3

1

1

0

0

1

2

Eurytomidae

3

3

2

4

1

2

2

5

Evaniidae

2

2

1

2

0

0

1

1

Figitidae

0

0

2

3

0

0

0

0

Gasteruptidae

0

0

1

1

0

0

0

0

Ichneumonidae

20

54

16

36

9

26

8

17

Megaspilidae

0

0

1

1

0

0

0

0

Mymaridae

5

9

7

19

5

8

4

12

Mymarommatidae

1

3

0

0

0

0

0

0

Platygastridae

3

5

5

17

0

0

3

6

Pteromalidae

0

0

1

1

1

1

1

3

Scelionidae

28

158

27

178

20

50

28

113

Torymidae

0

0

0

0

0

0

2

3

Trichogrammatidae

2

2

7

11

0

0

1

2

1

147
588
164
894
98
293
127
2
3
4
K1-K2: lanskap kompleks; S1-S2: lanskap sederhana; S: jumlah spesies; N: jumlah individu

402

Penggunaan perangkap yang berbeda memengaruhi jumlah serangga contoh yang
diperoleh (Gambar 4.1). Jumlah individu Hymenoptera parasitika tertinggi diperoleh dari
perangkap kuning pada keempat lanskap. Perolehan serangga contoh dengan
menggunakan perangkap malais cenderung lebih sedikit dengan jumlah individu paling
banyak pada lanskap K1. Sementara itu, pengambilan contoh serangga dengan metode
pengambilan langsung (metode transek) juga menghasilkan perolehan jumlah individu
yang tidak terlalu berbeda dengan perangkap malais.

18

Gambar 4.1 Jumlah individu yang diperoleh berdasarkan perangkap
Jumlah famili Hymenoptera yang ditemukan selama penelitian juga dipengaruhi
oleh penggunaan perangkap tersebut (Tabel 4.3). Terdapat famili-famili yang hanya
diperoleh dari perangkap malais saja seperti famili Chrysididae, Megaspilidae,
Gasteruptidae, dan Torymidae. Hal yang sama juga didapatkan pada perangkap kuning
dimana famili seperti Cynipidae dan Figitidae hanya diperoleh dari perangkap ini,
sedangkan famili yang ditemukan dengan metode transek juga ditemukan dari perangkap
malais dan perangkap kuning yaitu famili Braconidae, Elasmidae, dan Ichneumonidae.

19
Tabel 4.3 Jumlah individu masing-masing famili Hymenoptera parasitika pada lanskap
kompleks dan sederhana dari penggunaan perangkap berbeda
Famili

Perangkap Malaise

Metode Transek

Perangkap Kuning

Kompleks

Sederhana

Kompleks

Sederhana

Kompleks

Sederhana

Aphelinidae

0

1

0

0

5

0

Bethylidae

15

14

0

0

10

10

Braconidae

74

74

33

20

26

35

Ceraphoridae

1

2

0

0

76

33

Chalcididae

21

19

0

0

3

1

Chrysididae

1

1

0

0

0

0

Cynipidae

0

0

0

0

1

0

Diapriidae

19

13

0

0

423

138

Drynidae

0

3

0

0

1

0

Elasmidae

0

1

1

0

0

0

Encyrtidae

5

5

0

0

58

19

Eucharitidae

1

2

0

0

1

0

Eucoilidae

16

14

0

0

20

14

Eulophidae

7

11

0

0

21

14

Eupelmidae

2

1

0

0

2

1

Eurytomidae

5

5

0

0

2

2

Evaniidae

3

0

0

0

1

1

Figitidae

0

0

0

0

3

0

Gasteruptidae

1

0

0

0

0

0

Ichneumonidae

35

17

1

0

54

26

Megaspilidae

1

0

0

0

0

0

Mymaridae

0

4

0

0

28

16

Mymarommatidae

2

0

0

0

1

0

Platygastridae

2

1

0

0

20

5

Pteromalidae

0

3

0

0

1

1

Scelionidae

60

37

0

0

176

126

Torymidae

0

3

0

0

0

0

Trichogrammatidae

0

1

0

0

13

1

4.2 Perbedaan Komposisi Hymenoptera Parasitika pada Lanskap yang Berbeda
Komposisi dan kekayaan spesies Hymenoptera parasitika pada setiap lanskap tidak
memiliki perbedaan (Tabel 4.2). Komposisi dan kekayaan spesies Hymenoptera
parasitika (beta-diversity) dinilai lebih dapat menggambarkan pengaruh perbedaan
struktur lanskap dibandingkan hanya berdasarkan jumlah spesies Hymenoptera parasitika
(alpha-diversity). Salah satu analisis beta-diversity yang sering digunakan adalah analisis
NMDS, yaitu untuk mengetahui hubungan keanekaragaman Hymnoptera parasitika yang
terdapat pada lanskap yang berbeda di sekitar pertanaman mentimun. NMDS diperoleh
dari analisis berdasarkan indeks Bray-Curtis. Untuk mengetahui tingkat perbedaan antar
lanskap dilakukan uji lanjut dengan menggunakan analisis kemiripan (ANOSIM).
Meskipun secara statistik (ANOSIM statistik R= 0.2396, P= 0.132) tidak berbeda
nyata, komposisi spesies antar lanskap cenderung berbeda berdasarkan pemisahan

20
kelompok yang terlihat dalam analisis NMDS (Gambar 4.2). Perbedaan tersebut
dikarenakan kompleksitas lanskap di sekitar pertanaman mentimun yang berbeda.
stress 0.0298

Gambar 4.2 NMDS dari komposisi parasitika berdasarkan indeks Bray-Curtis. Kode yang
terdapat di dalam gambar menunjukkan area studi: K1 dan K2= Kompleks,
S1 dan S2= Sederhana; angka 1 dan 2 setelah titik menunjukkan mu