Pengaruh Pengeringan Absorpsi dan Microwave Oven Pada Proses Curing Vanili Termodifikasi

(1)

PENGARUH PENGERINGAN ABSORPSI DAN

MICROWAVE OVEN

PADA PROSES

CURING

VANILI TERMODIFIKASI

FARIDA ANGGRAINI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Pengaruh

Pengeringan Absorpsi dan Microwave Oven Pada Proses Curing Vanili

Termodifikasi adalah karya saya sendiri dengan bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2007

Farida Anggraini NIM F251040151


(3)

ABSTRACT

FARIDA ANGGRAINI. The Effect of Absorption Dying and Microwave Oven

in Modified Vanilla Curing. Under direction of RIZAL SYARIEF and DWI SETYANINGSIH.

Vanilla (Vanilla planifolia Andrews) is one of the souce flavor plant.

Indonesia is the second bigger vanilla producers in the world after Madagascar which can fulfill about 23% of world’s vanilla necessity (FAO 2005). Unfortunately, Indonesian cured vanilla has lower quality than its real potency, as results of the improper curing process.

The modified curing has been done by Setyaningsih (2006). This research reported that the vanillin content is lower in the last drying process (1.15% dw), meanwhile in the first stage during five days drying the vanillin content is the highest (2.8% dw). This research is done to complete that modified curing process by modifying the vanilla drying using absorption drying and microwave oven. It

is also studied the way to increase β-glucosidase enzyme activator penetration into

vanilla tissues using vacuum infiltration and high pressure application. This research also study the effect of stratching and puncturing in enzyme activity and the content of vanillin.

The data shows that the whole vanilla without stratching and puncturing has higher average enzyme activity and vanillin content from soaking stage to first drying, that is 1.15 fold the green vanilla in vacuum infiltration technique and 1.09 fold in high pressure application. The vanillin content is 0.70% dw in vacuum infiltration and 0.80% dw in high pressure application. From several pressure which is applicated, the higher average enzyme activity and vanillin content from soaking to drying stage shows that vacuum infiltration at 5 kPa for 10 minutes is the best treatment, which results enzyme activity 218.88 IU/g and vanillin content 1.08% dw.

At the first drying stage, the higher vanillin content is obtained from the fifth days drying (1.00% dw). Unfortunately, the vanillin content of dried vanilla from absorption drying is lower than that obtained from the first drying, that is 0.82% dw. In the case of drying using microwave oven, drying for 30 minutes each day results the higher vanillin content (0.49% dw) than that from 60 minutes and 90 minutes drying which results 0.36% dw and 0.32% dw. This last vanillin content also can not stabilize the vanillin content which has been obtained from the first drying.

Drying using oven at 60oC for 3 hours each days results the higher vanillin

content and reducing sugar (1.40% dw and 8.57% dw). This value also higher than that obtained from standard curing method (Balitro II method) which has vanillin content 0.96% dw and reducing sugar 5.35% dw. From this research, it is concluded that using the whole vanilla and oven dryer is better to do the curing process. The application of vacuum infiltration technique at 5 kPa for 10 minutes

can shortened the soaking at β-glucosidase enzyme activator.

Keyword : Vanilla planifolia, β-glucosidase enzyme activator, vacuum


(4)

RINGKASAN

FARIDA ANGGRAINI. Pengaruh Pengeringan Absorpsi dan Microwave Oven

Pada Proses Curing Vanili Termodifikasi. Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF dan

DWI SETYANINGSIH.

Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu komoditas

penghasil flavor yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Indonesia menempati posisi yang cukup penting sebagai pemasok vanili dunia, dimana Indonesia menjadi negara produsen vanili kedua terbesar di dunia setelah Madagaskar dan dapat memenuhi 23% dari kebutuhan vanili dunia (FAO 2005). Akan tetapi, vanili kering Indonesia mempunyai kualitas yang lebih rendah dibanding potensi

sebenarnya, salah satu penyebabnya adalah proses curing (teknologi pasca panen

vanili) yang kurang sempurna. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas vanili kering Indonesia adalah dengan memodifikasi atau

perbaikan dalam proses curing.

Perbaikan proses curing telah dilakukan oleh Setyaningsih (2006).

Penelitian tersebut melaporkan bahwa terjadi penurunan kadar vanillin di akhir proses pengeringan (1,15% bk), padahal kadar vanillin pada pengeringan pertama

hari ke-5 telah mencapai nilai yang cukup tinggi (2,8% bk). Proses curing

termodifikasi tersebut dilakukan dengan cara merendam buah vanili segar dalam

aktivator enzim β-glukosidase yaitu butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama 2

jam.

Pada penelitian ini dilakukan perbaikan modifikasi proses curing vanili

melalui modifikasi proses pengeringan, yaitu menggunakan pengering absorpsi

dan microwave oven. Kajian juga dilakukan untuk meningkatkan absorpsi

aktivator enzim β-glukosidase ke dalam jaringan buah vanili dengan teknik

vacuum infiltration maupun pemberian tekanan tinggi sehingga dapat

mempersingkat waktu perendaman dalam aktivator enzim. Penelitian ini akan melihat pula bagaimana pengaruh penyayatan dan penusukan buah terhadap aktivitas enzim dan kadar vanillin buah vanili.

Berdasarkan hasil penelitian, buah vanili utuh tanpa mengalami penyayatan dan penusukan menghasilkan aktivitas enzim rata-rata dari tahap perendaman hingga pengeringan pertama hari pertama yang lebih tinggi, yaitu sebesar 1,15 kali buah segar untuk perendaman menggunakan tekanan vakum 5 kPa dan 1,09 kali untuk pemberian tekanan tinggi 100 kPa di atas tekanan normal. Sementara itu nilai rata-rata kadar vanillin buah utuh 0,70% untuk penerapan

vacuum infiltration adalah dan 0,8% bk untuk penerapan tekanan tinggi. Dari

beberapa tekanan yang diberikan selama perendaman, hasil analisis rata-rata aktivitas enzim dan kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan menunjukkan pemberian tekanan vakum 5 kPa selama 10 menit adalah perlakuan terbaik, dimana dihasilkan rata-rata aktivitas enzim dan kadar vanillin tertinggi, yaitu 218,88 IU/g dan 1,08% bk.

Pada pengeringan tahap pertama, kadar vanillin tertinggi dihasilkan pada hari ke-5 pengeringan, yaitu sebesar 1,0% bk. Upaya mempertahankan kadar vanillin tersebut dilakukan menggunakan pengering absorpsi dengan absorben kapur api yang mempunyai kandungan CaO 82,27%. Kadar vanillin vanili kering yang dihasilkan ternyata lebih rendah dibanding kadar vanillin pengeringan


(5)

pertama hari ke-5, yaitu 0,82%. Tahap pemeraman dan pengeringan yang

berlangsung pada kisaran suhu kamar dan RH rendah, yaitu 27-30oC dan 49-62%

diduga menjadi penyebab tidak sempurnanya hidrolisis glukovanilin menjadi vanillin dan glukosa.

Untuk pengeringan menggunakan microwave oven, pengeringan selama 30

menit tiap hari yang diselingi dengan pemeraman selama 24 jam menghasilkan kadar vanillin tertinggi, yaitu 0,49% dibandingkan dengan pengeringan selama 60 menit dan 90 menit tiap hari yang menghasilkan kadar vanillin berturut-turut 0,36% dan 0,32%. Kadar vanillin akhir yang dihasilkan ini juga tidak dapat mempertahankan kadar vanillin yang telah dicapai pada pengeringan tahap I.

Tingginya tingkat suhu yang digunakan pada pengeringan microwave diduga

menjadi penyebab rendahnya kadar vanillin yang dihasilkan.

Pengeringan menggunakan oven pengering pada suhu 60oC selama 3 jam

tiap hari dapat menghasilkan kadar vanillin dan gula pereduksi yang lebih tinggi, yaitu rata-rata 1,40% bk dan 8,57% bk. Nilai ini juga lebih tinggi daripada vanili kering hasil pengeringan standar, yaitu metode Balitro II yang menghasilkan kadar vanillin 0,96%bk dan kadar gula pereduksi 5,35% bk. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa buah vanili lebih baik digunakan dalam bentuk utuh dan dikeringkan menggunakan oven. Waktu perendaman dalam aktivator enzim dapat

dipersingkat melalui penerapan vacuum infiltration 5 kPa selama 10 menit.

Kata kunci : vanili, aktivator enzim β-glukosidase, vakum infiltrasi, tekanan tinggi, pengeringan absorpsi, microwave


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik


(7)

PENGARUH PENGERINGAN ABSORPSI DAN

MICROWAVE OVEN

PADA PROSES

CURING

VANILI TERMODIFIKASI

FARIDA ANGGRAINI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(8)

(9)

Judul Tesis : Pengaruh Pengeringan Absorpsi dan Microwave Oven Pada Proses Curing Vanili Termodifikasi

Nama : Farida Anggraini

NIM : F251040151

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pangan

Prof.Dr.Ir.Betty Sri Laksmi Jenie,MS Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul

“Pengaruh Pengeringan Absorpsi dan Microwave Oven Pada Proses Curing Vanili

Termodifikasi” ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan penulis sejak bulan Juni 2006 hingga Maret 2007 di Program Studi Ilmu Pangan IPB. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku ketua komisi pembimbing atas

kebijakan, masukan dan bimbingannya selama penulis menempuh studi di Program Studi Ilmu Pangan.

2. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang

telah banyak memberikan bimbingan, masukan, serta dukungan moril selama penulis melaksanakan penelitian hingga terselesaikannya tesis ini.

3. Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc selaku penguji atas saran dan masukannya yang

berharga untuk perbaikan tesis ini.

4. Kedua orang tua penulis Bapak Noor Afandi dan Ibu Sri Endah

Setyaningsih, terima kasih atas limpahan kasih sayang dan doa yang tak pernah putus serta dukungannya hingga penulis berhasil menyelesaikan program Magister ini.

5. Mertua kami Bapak dr. Sutarno, MM dan Ibu Rofi’ah, terima kasih atas

doa, dukungan serta teladan kerja keras yang selalu dicontohkan kepada kami putra-putrinya.

6. Secara khusus kepada Suamiku tercinta, dr. Hendrawan Permadi, atas

cinta dan kasih sayang, ketulusan, doa, motivasi, pengertian serta kesabarannya menanti penulis selama melaksanakan program Magister ini.

7. Adikku tersayang Indra Budi Satria, S.Sos serta adik-adik iparku

Dwinanto Adi Nugroho, ST; Triyanto Wibowo, ST; Diah Pratiwi dan Tomy Hendarto atas doa dan semangat yang selalu diberikan buat penulis.

8. Siti Kurniati, SPi atas bantuan dan kerja samanya di Laboratorium selama


(11)

kebersamaan, persahabatan, dan kesediaan menemani penulis serta menjadi teman berbagi dalam suka dan duka.

9. Mbak Mira Sofyaningsih, STP; Reni Rahmalia STP; Dorkas Sianipar, SP;

Fajriyati Mas’ud STP; Marleni Limonu, SP serta teman-teman IPN 2004 lainnya atas bantuan, dukungan dan kebersamaan kita selama di Laboratorium serta selama menjalani studi di IPN ini.

10.Nur Rosyiah, STP, Pak Nurwanto, Pak Iyas, Pak Sobirin, Pak Rojak,

Mbak Ida, Mas Edi, Mbak Ari, Pak Taufik serta laboran lainnya di Departemen ITP dan Seafast Center atas segala bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

11.Teman-teman Pondok Berkah : Mbak Wiyana L.S Siregar, STP, MSi; Lisa

Navitasari dan Dik Rina Uswatun Hasanah. Terima kasih atas semua bantuan, doa dan dukungannya buat penulis.

12.Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juli 2007


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jepara pada tanggal 11 Februari 1982 dari ayah Noor Afandi dan ibu Sri Endah Setyaningsih. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Kini penulis telah menikah dengan dr. Hendrawan Permadi. Pendidikan penulis dari SD hingga SMU ditempuh di Jepara. Pada tahun 1999 penulis mendapat kesempatan untuk menempuh studi Sarjana di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Studi Sarjana tersebut diselesaikan pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 4

Tujuan ... 4

Hipotesa ... 5

Manfaat ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Vanili... 6

Pengolahan Vanili (Curing) ... 8

Flavor Vanili ... 12

Modifikasi Proses Curing Vanili ... 13

Standar Mutu Vanili... 14

Pengeringan Vanili... 16

Pengeringan Absorpsi ... 19

Pengeringan Microwave... 24

Vacuum Infiltration... 25

Infiltrasi dengan Pemberian Tekanan Tinggi... 27

METODOLOGI PENELITIAN... 28

Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

Bahan dan Alat... 28

Metode Penelitian ... 29

Rancangan Percobaan ... 41

HASIL DAN PEMBAHASAN... 42

Pengaruh Penyayatan dan Penusukan Pada Aktivitas Enzim dan Kadar Vanillin Buah Vanili ... 44

Aplikasi Tekanan pada Proses Curing Termodifikasi ... 49

Pengeringan Vanili Termodifikasi Menggunakan Pengering Absorpsi ... 57

Pengeringan Vanili Termodifikasi Menggunakan Microwave Oven .... 71

Pengeringan Vanili Termodifikasi Menggunakan Oven Pengering ... 81

Pengeringan Vanili metode Balitro II ... 87

KESIMPULAN DAN SARAN... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia buah vanili segar... 7

2 Syarat umum vanili ... 15

3 Syarat mutu vanili Indonesia ... 15

4 Aktivitas enzim buah vanili utuh, sayat, dan tusuk... 46

5 Kadar vanillin buah vanili utuh, sayat, dan tusuk ... 49

6 Aktivitas enzim dengan pemberian tekanan ... 50

7 Perbandingan aktivitas enzim ... 54

8 Kadar vanillin dengan pemberian tekanan... 55

9 Perbandingan kadar vanillin ... 57

10 Hasil pengujian mutu vanili berdasarkan SNI 01-0010-2002... 80

11 Perbandingan kandungan kimiawi vanili termodifikasi dan standar ... 91

12 Perbandingan karaktersitik fisik vanili termodifikasi dan standar... 91


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Buah vanili ... 7

2 Buah vanili kering... 11

3 Pemberian tekanan vakum dan tekanan tinggi pada tahap perendaman dalam aktivator... 31

4 Vacuum evaporator... 31

5 Autoklaf untuk infiltrasi... 31

6 Pelayuan ... 33

7 Pemeraman... 33

8 Lemari pengering absorpsi... 34

9 Microwave oven... 35

10 Oven pengering ... 36

11 Proses pengeringan termodifikasi ... 38

12 Pengeringan termodifikasi menggunakan microwave oven... 39

13 Pengeringan vanili standar (Metode Balitro II) ... 40

14 Perubahan kadar vanillin pengeringan tahap I... 57

15 Kapur api... 58

16 Perubahan RH pada pengeringan absorpsi... 61

17 Perubahan suhu pada pengeringan absorpsi... 62

18 Perubahan kadar air pengeringan absorpsi... 63

19 Aktivitas enzim selama curing... 66

20 Vanili kering hasil pengeringan absorpsi... 66

21 Perubahan kadar vanillin pengeringan absorpsi... 68

22 Kadar gula pereduksi pengeringan absorpsi ... 68

23 Perubahan pH pengeringan absorpsi... 70

24 Perubahan total asam pengeringan absorpsi ... 70

25 Perubahan kadar vanillin pengeringan microwave... 73

26 Perubahan kadar vanillin pengeringan termodifikasi menggunakan microwave... 74

27 Perubahan kadar air pengeringan microwave... 76


(16)

29 Perubahan pH vanili pengeringan microwave... 79

30 Perubahan total asam vanili pengeringan microwave... 79

31 Penampakan vanili kering hasil pengeringan microwave... 80

32 Perubahan kadar vanillin pengeringan termodifikasi... 82

33 Perubahan kadar gula pereduksi pengeringan termodifikasi ... 83

34 Perubahan pH vanili pada pengeringan termodifikasi ... 84

35 Perubahan total asam vanili pada pengeringan termodifikasi... 84

36 Penampakan vanili kering termodifikasi... 86

37 Perubahan kadar vanillin metode Balitro II ... 87

38 Perubahan kadar gula pereduksi metode Balitro II... 88

39 Perubahan pH vanili metode Balitro II ... 89

40 Perubahan total asam vanili metode Balitro II... 90

41 Penampakan vanili kering metode Balitro II ... 90

42 Kromatogram ekstrak vanili metode termodifikasi ... 95


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Pembuatan ekstrak enzim kasar ... 105 2 Prosedur analisis ... 106 3 Kurva standar vanillin, BSA, dan glukosa ... 112

4 Hasil analisis aktivitas enzim dan kadar vanillin buah vanili

utuh, sayat, dan tusuk ... 113 5 Kadar vanillin pengeringan termodifikasi dan standar ... 115 6 Kadar gula pereduksi metode termodifikasi dan standar ... 118

7 Perubahan pH dan total asam pengolahan termodifikasi

dan standar ... 121

8 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh

penyayatan dan penusukan terhadap aktivitas enzim ... 123

9 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan pengaruh

penyayatan dan penusukan terhadap kadar vanillin ... 124

10 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan pemberian

tekanan pada tahap perendaman dalam aktivator enzim

(aktivitas enzim)... 125

11 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan pemberian

tekanan pada tahap perendaman dalam aktivator enzim

(kadar vanillin)... 127 12 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Vanili (Vanila planifolia Andrews) merupakan salah satu komoditas

perkebunan bernilai ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan oleh kandungan flavor vanili yang dihasilkannya. Berdasarkan informasi terakhir yang diperoleh dari para petani di Kuningan Jawa Barat pada bulan Februari 2007, vanili basah diperdagangkan dengan harga Rp 100.000 per kilogram, sedangkan vanili kering Rp 700.000 per kilogram. Adapun ekstrak vanili alami (salah satu produk olahan dari vanili kering) pada bulan November 2005 diperdagangkan pada US$ 30-60 per galon, sementara itu harga vanili sintetik hanya US$ 10-15 per galon (Schultz

2005, diacu dalam Melawati 2006). Ekstrak vanili alami mempunyai harga jual

yang jauh lebih tinggi dibandingkan vanili sintetik karena flavor ekstrak vanili alami bersifat kompleks dan di dalamnya terkandung senyawa-senyawa aldehid aromatik yang bernilai ekonomi tinggi (Setyaningsih 2006). Oleh karena itulah penggunaan vanili sintetik tidak dapat menggantikan vanili alami (Dignum 2002).

Vanillin sebagai komponen utama flavor vanili saat ini digunakan sebesar 60% sebagai bahan aditif industri makanan dan minuman, 20-25% bagi industri parfum dan kosmetik, dan sekitar 5-10% bagi industri farmasi dan obat-obatan (Anonim 2007). Kegunaan vanili yang luas hingga skala internasional menjadikan komoditas tersebut sebagai komoditas ekspor penting Indonesia. Indonesia menjadi negara produsen vanili kedua terbesar di dunia setelah Madagaskar dan dapat memenuhi 23% dari kebutuhan vanili dunia (FAO 2005). Berdasarkan fakta tersebut sebenarnya Indonesia menempati posisi yang cukup penting sebagai

pemasok vanili dunia, akan tetapi menurut Tombe et al. (2002), vanili Indonesia

mempunyai kualitas dan produktivitas yang masih rendah.

Kualitas vanili kering Indonesia lebih rendah dibanding potensi

sebenarnya, sebagai akibat dari pemanenan belum cukup tua dan proses curing

(teknologi pasca panen vanili) yang kurang sempurna. Vanili Indonesia memiliki

flavor yang kurang manis dan creamy dibanding Bourbon, serta memiliki flavor

kayu, asap, dan jerami. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas vanili kering Indonesia adalah dengan memodifikasi atau perbaikan


(19)

dalam proses curing. Menurut Purseglove et al. (1981), buah vanili segar tidak

memiliki flavor, baru setelah proses curing flavor vanili secara alami terbentuk

secara enzimatis.

Komponen aroma fenolik penting pada buah vanili segar berada dalam

bentuk glikosidanya (Dignum et al. 2002). Proses curing dimaksudkan untuk

melepaskan aglikon membentuk komponen aroma dalam bentuk bebas. Reaksi

biokimiawi utama yang terjadi selama proses curing adalah reaksi hidrolisis dari

prekursor vanillin yaitu glukovanillin (vanillin-β-glukosida) oleh enzim β

-glukosidase endogenus. Reaksi hidrolisis tersebut menyebabkan glukovanillin terpecah menjadi vanillin dan glukosa.

Setyaningsih et al. (2003) telah menggunakan aktivator enzim β

-glukosidase, yaitu butanol, sistein dan dithiothreitol dengan maksud untuk

memacu dan meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase endogenus sehingga

kadar vanillin buah vanili dapat ditingkatkan. Penelitian tersebut melaporkan

bahwa perlakuan perendaman buah vanili segar dalam aktivator enzim β

-glukosidase yaitu butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama 2 jam dan perendaman dalam dithiothreitol 1 mM dan sistein 1 mM selama 1 jam menghasilkan aktivitas enzim, kadar vanillin dan kadar gula yang lebih tinggi dibanding pengeringan standar (Metode Balitro II). Hal ini menunjukkan terdapatnya peluang untuk

meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia melalui modifikasi proses curing

tersebut.

Modifikasi proses curing vanili yang dilakukan Setyaningsih (2006)

dengan cara merendam buah vanili segar dalam aktivator enzim butanol 0,3 M dan sistein 1 mM selama 2 jam menghasilkan kadar vanillin yang tinggi pada pengeringan I (suhu 40°C) hari ke-5, yaitu sebesar 2,8%. Nilai ini lebih tinggi

dibandingkan proses curing standar yang menghasilkan kadar vanillin 1,2%.

Kadar vanillin yang tinggi tersebut dicapai pada kondisi kadar air vanili sekitar 70%. Jika pengeringan dilanjutkan sampai kadar air 35% sesuai standar vanili kering, maka kadar vanillin akan menurun (1,15%) meskipun masih lebih tinggi

dibanding standar yaitu curing tanpa modifikasi (0,6%). Penurunan ini diduga

disebabkan oleh terjadinya degradasi vanillin dan penguapan sebagian senyawa volatil oleh panas pada saat pengeringan II yang suhunya 60°C.


(20)

Penurunan kadar vanillin tersebut menyebabkan tidak dijumpainya kadar

vanillin yang tinggi di akhir proses curing. Bahkan penambahan antioksidan yaitu

asam askorbat dan BHT tidak dapat mencegah degradasi vanillin, tetapi justru diduga menghambat reaksi pembentukan vanillin (Setyaningsih 2006). Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan teknologi pengeringan vanili yang lebih baik untuk menyempurnakan hidrolisis semua prekursor senyawa flavor yang terikat sehingga dapat diperoleh kadar vanillin yang sesuai potensinya.

Pada penelitian ini dilakukan perbaikan modifikasi proses curing vanili

melalui modifikasi proses pengeringan. Kajian juga akan dilakukan untuk

meningkatkan absorpsi aktivator enzim β-glukosidase ke dalam jaringan buah

vanili dengan teknik vacuum infiltration maupun pemberian tekanan tinggi pada

tahap perendaman.

Modifikasi proses pengeringan dilakukan menggunakan pengeringan kimia (pengeringan absorpsi) yang dapat berlangsung pada suhu lebih rendah dan

pengeringan menggunakan oven gelombang mikro (microwave oven).

Pengeringan absorpsi merupakan suatu teknologi pengeringan alternatif yang dapat diaplikasikan pada hasil pertanian atau produk yang bernilai ekonomis tinggi dan cocok untuk pengeringan bahan yang peka terhadap panas. Keunggulan lainnya dari pengeringan absorpsi adalah biayanya yang murah, dapat mempercepat proses pengeringan, dan dapat mencegah kehilangan zat volatil selama pengeringan (Soekarto 2000).

Adapun pengeringan vanili menggunakan microwave oven telah dilakukan

Dewi (2005) dan memberikan hasil bahwa pengeringan dengan microwave daya

rendah menghasilkan kadar vanillin yang lebih baik. Pengeringan menggunakan

microwave juga dapat mempercepat tercapainya kadar air vanili kering yang

diinginkan (hanya sekitar 3 jam untuk mendapatkan kadar air 20%). Oleh karena

itu, penelitian ini akan mencoba menggabungkan proses curing termodifikasi

dengan pengeringan microwave juga pengeringan kimia menggunakan absorben

kapur api (CaO). Melalui perbaikan modifikasi proses curing, diharapkan proses

pengeringan dapat dipersingkat dan kadar vanillin vanili dapat dipertahankan

hingga tahap akhir proses curing sehingga kualitas vanili kering dapat


(21)

Perumusan Masalah

Vanili kering Indonesia diketahui masih mempunyai kualitas yang rendah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas vanili kering

tersebut adalah dengan memodifikasi proses curing. Berdasarkan penelitian

Setyaningsih (2006), diketahui bahwa kadar vanillin vanili mengalami penurunan jika kadar air diturunkan dari 70% menjadi 35%. Hal ini diduga disebabkan oleh pemanasan suhu tinggi yang menyebabkan reaksi oksidasi vanillin dan penguapan sebagian senyawa volatil yang telah terbentuk. Pada penelitian ini akan dilakukan

analisis kadar vanillin setiap hari pada pengeringan I suhu 40oC dan pengeringan

dihentikan jika kadar vanillin telah mencapai maksimum. Selanjutnya dilakukan modifikasi proses pengeringan II dengan cara pengeringan kimia menggunakan

absorben kapur api (CaO) dan pengeringan menggunakan microwave oven.

Modifikasi proses juga dilakukan dengan cara meningkatkan absorpsi

aktivator enzim β-glukosidase ke dalam jaringan vanili dengan teknik vacuum

infiltration dan dengan pemberian tekanan tinggi, sehingga diharapkan dapat

mempersingkat waktu perendaman.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Merperbaiki proses curing vanili termodifikasi, dengan cara meningkatkan

absorpsi aktivator enzim β-glukosidase ke dalam jaringan buah menggunakan

teknik vacuum infiltration dan pemberian tekanan tinggi sehingga dapat

mempersingkat waktu perendaman.

2. Mempertahankan kadar vanillin supaya tetap tinggi hingga akhir proses

pengeringan dengan cara mengaplikasikan pengeringan kimia menggunakan


(22)

Hipotesa

1. Perendaman buah vanili dalam aktivator enzim β-glukosidase dengan

pemberian tekanan vakum maupun tekanan tinggi dapat mempercepat absorpsi aktivator ke dalam jaringan buah vanili, dengan demikian waktu perendaman dapat dipersingkat.

2. Perbaikan cara pengeringan yaitu dengan menggunakan pengering absorpsi

bersuhu rendah dengan absorben kapur api (CaO) maupun pengeringan cepat

menggunakan microwave oven berdaya rendah (80 Watt) dapat mencegah

reaksi oksidasi vanillin dan pengupan komponen volatil vanili akibat suhu tinggi, dengan demikian kadar vanillin diharapkan tetap tinggi hingga akhir proses curing.

Manfaat Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Memberikan nilai tambah bagi pengolahan vanili di Indonesia dengan

memberikan pengetahuan tentang alternatif teknologi proses pengolahan buah vanili.

2. Mempersingkat waktu perendaman dalam aktivator enzim β-glukosidase


(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Vanili

Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae

(anggrek-anggrekan), yang merupakan famili terbesar dalam tanaman berbunga. Vanili

mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al. 1981). Dari sekian

banyak jenis, jenis yang mempunyai nilai ekonomi yaitu V. planifolia, V.

pompona, dan V. tahitensis. Di antara ketiga jenis tersebut, V. planifolia atau

dikenal pula dengan V. fragnans Salisba Mens. mempunyai produksi yang lebih

tinggi dan lebih bermutu karena kadar vanillinnya yang lebih tinggi. V. planifolia

juga paling banyak dijumpai di Indonesia (Hadisutrisno 2005). Kedudukan tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledoneae

Ordo : Orchidales

Famili : Orchidaceae

Genus : Vanili

Species : Vanili spp.

Keadaan iklim yang diperlukan oleh tanaman vanili adalah suhu udara

25-38oC, kelembaban udara sekitar 80%, dan hujan berulang-ulang tetapi tidak

banyak. Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 6-7 dengan drainase yang baik. Di Indonesia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun pada ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut, tanaman vanili tumbuh dan berproduksi dengan baik (Salim 1993). Tanaman vanili mulai berbunga setelah dua tahun, mulai berbuah setelah 3 tahun dan mencapai hasil maksimal dalam 10-12 tahun (Heath dan Reineccius 1986).

Buah vanili berbentuk kapsul (polong), bersudut tiga, bertangkai pendek, panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm, dan permukaannya licin. Buah vanili akan cukup masak dalam waktu 8-9 bulan setelah pembuahan. Buah muda berwarna hijau, bila sudah masak warnanya menjadi kekuning-kuningan. Biji buahnya


(24)

banyak, berwarna hitam, dan berukuran rata-rata 0,2 mm (Rismunandar dan Sukma 2003). Buah vanili segar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Buah vanili segar.

Richard (1991) menyatakan bahwa waktu panen adalah faktor penting yang harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas vanili yang baik. Buah hendaknya dipanen pada saat yang tepat (cukup masak), jangan terlalu awal (kurang masak) atau terlalu masak. Buah yang dipanen tepat waktu, kandungan vanillinnya di atas 2,2%, berwarna hitam, berminyak, dan mengkilat. Bila dipanen kurang masak, buah terlalu kaku dan flavornya kurang sempurna karena kadar vanillinnya rendah. Sedangkan bila dipetik terlalu masak, buah akan pecah, sehingga harganya akan rendah. Buah vanili yang dipanen sekitar umur 240 hari (8 bulan) setelah penyerbukan akan menghasilkan kadar vanillin tertinggi, yaitu 2,95% (Salim 1993). Komposisi kimia buah vanili segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia buah vanili segar

Komposisi Kimia Kandungan (%)

Air

Karbohidrat Lemak Kalium Kalsium Klor Nitrogen Magnesium

78 – 82 8 – 20

4 -15 0.005 0.003 0.0024

0.004 0.0015 Sumber : Purseglove et al. (1981)


(25)

Pengolahan Vanili (Curing)

Buah vanili diperdagangkan tidak dalam bentuk mentah, oleh karena itu memerlukan proses lebih lanjut. Vanili kering merupakan produk buah vanili yang paling banyak permintaannya di pasar (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Proses pengolahan buah vanili dikenal dengan istilah curing. Dalam proses

curing, terjadi proses biokimia yang menyebabkan perubahan-perubahan pada buah vanili. (Kantor Pusat BRI 1986).

Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa buah vanili yang memasuki

perdagangan internasional adalah dalam bentuk cured vanili dari V. fragnans, V.

tahitensis, dan V. pompona. Di pasaran internasional, vanili Indonesia dikenal

dengan sebutan Java Vanilla Beans (Ruhnayat 2004). Penentu kualitas utama dari

cured vanili adalah karakter aroma atau flavornya. Faktor-faktor lain yang juga

turut menentukan kualitas cured vanili adalah penampakannya secara umum

(terutama warna), fleksibilitas, panjang, kadar air dan kandungan vanillinnya

(Purseglove et al. 1981; Heath dan Reineccius 1986). Kandungan vanillin yang

tinggi diinginkan akan tetapi nilai ini tidak secara langsung sebanding dengan kualitas aroma atau flavor dari buah vanili.

Proses curing buah vanili terdiri dari beberapa tahap berikut :

1. Pelayuan (wilting treatment/killing/scalding)

Pelayuan bertujuan untuk mematikan sel-sel kulit bagian luar buah, dan memberikan jalan untuk bekerjanya enzim serta membantu mempermudah proses pengeringan (Nurdjanah dan Rusli 1998;

Purseglove et al. 1981). Mula-mula, air dimasak dalam wadah atau drum

yang terbuat dari besi atau stainless steel. Setelah suhu air mencapai

63-65oC, polong vanili dicelupkan menggunakan wadah yang terbuat dari

pelat besi berlubang atau anyaman kawat atau keranjang bambu (Ruhnayat 2004). Polong yang tua dicelup selama 3 menit karena lebih tebal dan padat, sedangkan polong yang muda atau terlalu tua cukup 1.5-2 menit. Pencelupan yang terlalu lama akan melembekkan serat sehingga dapat menurunkan kualitas, sedangkan pencelupan yang terlalu cepat tidak dapat memacu kerja enzim secara maksimal (Hadisutrisno 2005). Proses pelayuan yang sempurna ditandai oleh perubahan warna buah menjadi


(26)

coklat (Purseglove et al. 1981). Disamping pencelupan dalam air panas, pelayuan dapat dilakukan dengan cara penghamparan dan penggoresan (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

2. Pemeraman (sweating)

Setelah dilayukan, polong vanili ditiriskan dan diperam selama 24 jam dalam tempat pemeraman. Tempat pemeraman terbuat dari peti kayu yang berdinding ganda. Di antara kedua dinding tersebut dimasukkan sabut kelapa atau serbuk gergaji yang berfungsi sebagai isolator agar suhu

dapat dipertahankan antara 38-40oC. Untuk meningkatkan daya isolator

dan menyerap air yang keluar dari polong vanili, bagian dalam kotak harus dilapisi dengan kain yang agak tebal. Jika suhu polong vanili yang sudah

ditiriskan kurang dari 38-40oC, perlu dilakukan penjemuran atau

pemanasan awal selama 3 jam sebelum diperam. Setelah itu, polong vanili dibungkus dengan kain hitam (Ruhnayat 2004).

Pemeraman bertujuan agar terjadi reaksi enzimatis dalam polong

vanili, dimana enzim β-glukosidase akan mengubah glukovanillin menjadi

vanillin dan glukosa (Purseglove et al. 1981; Ruhnayat 2004; Hadisutrisno

2005). Pada proses pemeraman ini terjadi perubahan secara biokimiawi dan enzimatik yang dapat menimbulkan aroma khas vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Tujuan lain dari pemeraman adalah untuk memperoleh tekstur dan fleksibilitas tertentu (Kantor Pusat BRI 1986). Vanili yang berubah warna menjadi kecoklatan (sawo matang), lentur (lemas), dan berminyak menunjukkan bahwa fermentasi telah berjalan sempurna.

3. Pengeringan (drying)

Setelah pemeraman selesai, polong dikeluarkan dari kotak dan langsung dijemur. Penjemuran dilakukan di atas kawat kasa yang telah dialasi kain hitam. Penjemuran bertujuan untuk menurunkan kadar air dari 70% menjadi 40-42%. Polong yang tua memerlukan waktu penjemuran hingga 15-20 hari, sedangkan polong muda sekitar 10-14 hari. Penjemuran dilakukan pada pukul 08.00-10.00. Setelah itu, kain hitam ditutup untuk menghindari polong dari terik matahari. Pada pukul 14.00-16.00 kain kembali dibuka. Setelah pukul 16.00, kain ditutup kembali dan kotak kasa


(27)

disimpan di dalam ruangan yang bersih dan berventilasi baik. Keesokan harinya, kotak kasa berisi vanili dibawa keluar untuk dijemur kembali (Hadisutrisno 2005). Proses pengeringan dan pemeraman dilakukan berselang-seling selama 5-7 hari, sampai buah vanili berwarna hitam (atau hitam kecoklat-coklatan) mengkilat, cukup kering, dan lentur (lemas). Menurut Rismunandar dan Sukma (2003), pengeringan dapat dilakukan

menggunakan alat pengering pada suhu 60-65oC selama 3 jam.

Kadar air yang telah mencapai 40-42% diturunkan lagi menjadi

22-25% (Hadisutrisno 2005). Menurut Arana (1943) diacu dalam Purseglove

et al. (1981), kadar air optimum untuk cured vanili adalah 30-35%.

Dengan turunnya kadar air, aroma vanili semakin muncul. Caranya dengan pengeringan secara lambat yang dilakukan di dalam ruangan yang kering bersih, sejuk, dengan ventilasi yang baik, dengan suhu ruang sekitar

28-29oC dan kelembaban udara 70-80%. Polong diletakkan di atas rak tripleks

yang disusun dengan jarak 6 cm. Selama pengeringan, vanili harus terus dipantau karena rawan terhadap cendawan. Bila terdapat jamur, polong harus segera dibersihkan dengan air dingin atau air panas bila cendawannya banyak, bahkan dapat menggunakan alkohol 70% bila sangat parah. Lalu, polong tersebut dijemur kembali. Polong basah ini dipisahkan dari polong yang kering. Pengeringan telah selesai bila polong berwarna coklat kemerahan hingga kehitaman, beraroma tajam, dan lentur. Bila dililitkan pada jari akan kembali seperti semula. Dalam keadaan seperti ini atau kadar air 22-25%, polong dapat disimpan hingga 1-2 tahun (Hadisutrisno 2005). Menurut Ruhnayat (2004), pengeringanginan dilakukan dalam ruangan selama 30-45 hari. Pengeringanginan ini dapat

dikombinasikan dengan oven yang bersuhu 50oC selama 3 jam setiap hari.

Mutu vanili yang dihasilkan dengan cara kombinasi tersebut jauh lebih baik dan waktu yang diperlukan lebih singkat, yaitu sekitar 10 hari.

4. Penyimpanan (Conditioning)

Conditioning bertujuan untuk menyempurnakan atau memantapkan

aroma vanili (Heath dan Reineccius 1986; Richard 1991). Polong-polong vanili diikat dengan tali sebanyak 50-100 polong per ikat. Kemudian


(28)

masing-masing ikatan dibungkus dengan kertas minyak, kertas perkamon (parafin) atau plastik. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi kertas minyak. Peti tersebut kemudian disimpan di ruangan yang sejuk dan kering (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Penyimpanan ini dilakukan selama 2-3 bulan atau lebih lama untuk menyempurnakan perkembangan

aroma dan flavor yang dikehendaki (Purseglove et al. 1981). Secara rutin

dilakukan pemeriksaan untuk melihat adanya serangan jamur. Polong yang terserang jamur segera dibersihkan dengan kapas atau kain halus yang dibasahi alkohol. Polong yang kurang atau tidak keluar aromanya dijemur

dan diperam kembali (Ruhnayat 2004). Menurut Purseglove et al. (1981),

conditioning normalnya dilakukan pada suhu ruang. Buah vanili kering

hasil proses curing dapat dilihat pada Gambar 2.

Setiap negara penghasil vanili mengembangkan proses curing dengan cara

yang berbeda-beda, akan tetapi secara umum terdapat empat tahap utama yaitu

killing, sweating, drying dan conditioning (Purseglove et al. 1981; Heath dan

Reineccius 1986; Dignum et al. 2002). Kesalahan dalam proses pengolahan buah

vanili akan mengakibatkan turunnya mutu vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Pada tahap awal killing dan sweating, hanya 40% glukovanillin yang terhidrolisis

menjadi vanillin (Odoux 2000).


(29)

Flavor Vanili

Flavor vanili terbentuk dari sejumlah komponen aromatik yang dihasilkan

selama proses curing, dimana vanillin adalah komponen flavor yang paling

dominan. Flavor vanili dari berbagai belahan dunia bervariasi bergantung pada iklim, tanah, derajat polinasi, tingkat kematangan pada saat panen dan metode

curing yang digunakan (Purseglove et al. 1981).

Pembentukan aroma dan flavor selama proses curing merupakan akibat

dari proses fermentasi. Cured vanili mengandung vanillin, asam-asam organik

(p-hydroxy benzoic acid dan p-coumaric-acid), wax, gum, resin, tanin, pigmen, gula,

selulosa dan mineral (Purseglove et al. 1981; Farrel 1990). Flavor vanili yang

kaya dan lengkap mengandung lebih dari 200 senyawa volatil dan sebagian besar senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan, akan tetapi hanya 26 senyawa yang ditemukan dalam konsentrasi lebih dari 1 ppm.

Senyawa yang paling besar adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehide (vanillin)

yaitu 2-2,8%, p-hydroxybenzaldehyde 0,2%, asam vanillat 0,2%, dan

p-hydroxybenzylmethyl eter 0,02% dan asam asetat sekitar 0.02% (Anklam 1993;

Klimes dan Lamparsky 1976, diacu dalam Anklam et al. 1997).

Vanillin hanya merupakan salah satu diantara sekian banyak komponen yang menyusun karakter aroma, akan tetapi kadar vanillin masih menjadi

indikator/parameter penting untuk menilai kualitas cured vanili (Purseglove et al.

1981; Anklam et al. 1997). Beberapa komponen non-volatil kemungkinan juga

memegang peranan penting dalam memodifikasi persepsi flavor. Sebagai contoh,

resin tidak mempunyai aroma, akan tetapi mempunyai taste yang menyenangkan,

sehingga secara keseluruhan juga menguntungkan dalam memantapkan

komponen volatil aromatik dalam larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981).

Terdapat tiga jenis glukosida yang menghasilkan vanillin dan komponen-komponen fenol lainnya sebagai hasil pemecahan hidrolitik. Glukosida terbanyak diidentifikasi sebagai glukovanillin, sementara itu glucovanillyl alkohol

ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil. Glukosida ketiga adalah ptotocatechuic

acid (3,4-dihydroxy benzoic acid) (Heath dan Reineccius 1986). Vanillin

terbentuk dari prekursor glukovanillin yang kemudian terhidrolisis selama proses


(30)

Arana 1943, diacu dalam Ruiz-Teran et al. 2001). Hidrolisis dari glukosida-glukosida lainnya menghasilkan komponen-komponen volatil lain yang berkontribusi pada terbentuknya aroma dan flavor secara keseluruhan. Perubahan lebih lanjut dari vanillin yang dibebaskan dan substrat-substrat lainnya terjadi

melalui aksi enzim-enzim oksidasi dan selama tahap conditioning perubahan

non-enzimatik memegang peranan penting dalam pembentukan aroma (Purseglove et

al. 1981).

Modifikasi Proses Curing Vanili

Modifikasi atau perbaikan dalam teknologi proses curing dimaksudkan

untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Setyaningsih et al. (2003)

telah melakukan modifikasi ini, yaitu dengan penambahan perlakuan sebelum

tahap killing (pelayuan). Perlakuan tersebut dilakukan dengan cara penyayatan

buah (straching) dan perendaman buah vanili dalam aktivator enzim β

-glukosidase untuk memacu dan meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase

endogenus. Penyayatan dimaksudkan untuk memudahkan masuknya aktivator

enzim β-glukosidase ke dalam jaringan vanili.

Perlakuan scratching (penyayatan) ini telah dilakukan pula pada metode

Guadeloupe (Purseglove et al. 1981). Adanya penyayatan memberikan hasil yang

lebih baik, dimana tingkat pecahnya buah menjadi rendah, waktu untuk sweating

dan drying menjadi lebih pendek, serta kandungan vanillin dapat ditingkatkan.

Akan tetapi, teknik ini menjadikan vanili lebih mudah terserang jamur dan mempunyai fleksibilitas dan penampakan yang lebih rendah daripada teknik yang umum dilakukan.

Pada modifikasi curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003),

aktivator enzim yang berhasil meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase

endogenus adalah butanol 0,3 M dan sistein 1 mM serta dithiotreinol 1 mM dan sistein 1 mM, dengan waktu perendaman vanili berturut-turut selama dua jam dan satu jam. Modifikasi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pelayuan pada

suhu 40oC selama 30 menit. Pada proses curing standar (metode Balitro II),


(31)

pelayuan modifikasi proses curing Setyaningsih et al. (2003) dipilih karena pada

suhu tersebut enzim β-glukosidase menghasilkan aktivitas tertinggi.

Secara keseluruhan, pada proses modifikasi terdapat enam tahap

pengolahan, yaitu penyayatan (statching), perendaman dalam aktivator enzim β

-glukosidase, pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying) dan

conditioning. Modifikasi proses curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003)

ini menghasilkan peningkatan aktivitas enzim, kadar vanillin, dan kadar gula

dibandingkan metode curing standar (metode Balitro II).

Penggunaan butanol sebagai aktivator enzim β-glukosidase dikarenakan

enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan dengan air sebagai penerima bagian glikosil sehingga dapat meningkatkan reaksi. Gugus hidroksil

n-butanol akan terikat pada enzim β-glukosidase melalui ikatan hidrogen. Gugus

hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air melalui sistem kopelarut satu fase. Sistem kopelarut adalah sistem yang melarutkan pelarut organik (butanol) pada larutan penyangga yaitu air dalam satu fase sehingga enzim masih dapat mengikat air. Adanya air menyebabkan struktur enzim menjadi lebih fleksibel sehingga lebih mudah berikatan dengan substrat (Setyaningsih 2006).

Adapun sistein termasuk asam amino non esensial dalam pertumbuhan sel dan mempunyai karakter berupa kristal putih, bersifat higroskopis, larut dalam air dan alkohol. Sistein mempunyai gugus SH yang membantu kestabilan struktur enzim. Gugus SH adalah gugus yang mudah teroksidasi. Ketika ada reaksi oksidasi, gugus SH akan diserang terlebih dahulu sehingga enzim dapat terlindungi (Setyaningsih 2006).

Standar Mutu Vanili

Ekspor vanili Indonesia selama ini ditujukan ke pasar Amerika Serikat. Namun, perkembangan sepuluh tahun terakhir, selain Amerika Serikat, vanili Indonesia juga diekspor ke beberapa negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan Perancis; Australia; dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea. Di pasar Amerika Serikat, vanili yang berkadar air rendah (20-25%) lebih disukai karena sebagian besar digunakan untuk keperluan industri ekstraksi. Untuk pasar


(32)

Perancis, Jerman, dan Jepang, dikehendaki vanili yang berpenampilan baik, berkadar vanillin tinggi, dan beraroma tajam. Ini disebabkan sebagian vanili di negara tersebut digunakan untuk konsumsi rumah tangga yang dipasarkan dalam

kemasan glass tube (Risfaheri et al. 1998; Suwandi dan Sudibyanto 2005).

Untuk menyeragamkan mutu vanili, Organisasi Standar Internasional (ISO) telah menetapkan spesifikasi komoditi vanili yang diperdagangkan di pasar dunia dengan menggunakan ISO 5565-1982. Semua negara produsen (termasuk Indonesia) maupun konsumen mengacu pada standar ISO tersebut (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Adapun di Indonesia, standar mutu vanili yang digunakan adalah berdasarkan SNI 01-0010-2002 yang merupakan hasil revisi pada rapat kaji ulang, prakonsensus dan konsensus nasional pada tanggal 17 Oktober 2002.

Standar ini mengacu pada acuan normatif ISO 948:1980, tentang Spices and

Condiments-Sampling.

Tabel 2 Syarat umum vanili

No Jenis Mutu Persyaratan

1 Bau Bau khas vanilla

2 Warna Hitam mengkilat, hitam kecoklatan mengkilap,

sampai coklat

3 Keadaan polong Penuh berisi sampai dengan kurang berisi,

berminyak, lentur sampai dengan kaku

4 Benda-benda asing Bebas

5 Kapang Bebas

Sumber : SNI 01-0010-2002

Tabel 3 Syarat mutu vanili Indonesia

Persyaratan Jenis Mutu

Mutu 1A Mutu 1B Mutu II Mutu III

Bentuk Utuh Utuh Utuh/dipotong Utuh/dipotong

Ukuran polong utuh (cm)

Min. 11 Min. 11 Min. 8 Min. 8

Ukuran polong dipotong-potong

Tidak ada Tidak ada Tidak

disyaratkan

Tidak disyaratkan %Polong utuh

yang pecah dan terpotong

Maks. 5 Tidak

disyaratkan

Tidak disyaratkan

Tidak disyaratkan

% kadar air Maks. 38 Maks. 38 Maks. 30 Maks. 25

% kadar vanilin Min. 2,25 Min. 2,25 Min. 1,50 Min. 1,00

% kadar abu Maks. 8 Maks. 8 Maks. 9 Maks. 10


(33)

Keterangan :

1. Buah polong vanili yang cukup tua adalah yang hijau kekuning-kuningan

dengan ujung yang menguning.

2. Polong utuh yang pecah adalah vanili yang disajikan dalam bentuk utuh,

tetapi pecah lebih dari 4 cm ukuran panjangnya.

3. Benda asing adalah bahan-bahan bukan vanili, misalnya ranting, batu,

tanah, bagian tubuh serangga dan lain-lainnya yang terikut dalam vanili.

4. Vanili yang ditumbuhi atau diserang oleh kapang dapat dilihat dengan

mata biasa

5. Polong utuh yang terpotong adalah polong vanili yang pada bagian

ujungnya terpotong sebagian tapi persyaratan panjang minimumnya masih terpenuhi.

Pengeringan Vanili

Pengeringan didefinisikan sebagai proses pemberian panas di bawah kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan (Fellows 2000). Pengeringan merupakan metode tertua untuk tujuan

preservasi (pengawetan) bahan (Edmont et al. 1957; Singh dan Heldman 2001).

Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan diantaranya adalah kondisi proses (temperatur dan kelembaban udara), jenis bahan pangan yang dikeringkan dan desain alat pengering.

Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi karena perbedaaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan luar bahan (Fellows 2000). Pengeringan akan mengurangi massa dan volume produk dalam jumlah yang signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk transportasi produk dan penyimpanan (Singh dan Heldman 2001). Secara umum, produk-produk

hortikultura dikeringkan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami (


(34)

Pengeringan vanili dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari atau menggunakan pengering buatan. Pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan menghamparkan vanili di atas lembaran kain hitam tebal berukuran kira-kira 1,5 m yang kurang lebih dapat membungkus 10-15 kg buah vanili. Untuk memudahkan penjemuran, dapat dibuat para-para dari bambu setinggi 0,9 m, lebar 1,5 m, dan panjang 10-12 m (untuk menjemur 10 kg buah vanili). Di atas para-para ini dihamparkan kain katun sebagai alas vanili, yang dijemur selama 2-2,5 jam (tergantung dari panas teriknya matahari). Selama penjemuran ini, vanili tersebut dibungkus kembali menggunakan kain hitam dan dipanaskan lagi selama 2 jam (Kantor Pusat BRI 1996).

Pengeringan buatan buah vanili telah banyak dipelajari untuk mengatasi permasalahan yang sering muncul dalam pengeringan tradisional. Arana (1944)

diacu dalam Purseglove et al. (1981) membandingkan pengeringan tradisional

dengan matahari dengan oven pada suhu 45oC dimana kelembaban dijaga tetap

tinggi. Pemeraman dan pengeringan menggunakan oven dilaporkan menghasilkan keuntungan dimana tumbuhnya jamur dapat dikurangi dan waktu proses menjadi lebih singkat. Penggunaan lampu infra merah juga telah dipelajari oleh Cernuda

dan Loustalot (1948) diacu dalam Purseglove et al. (1981), akan tetapi metode

pengeringan ini dilaporkan tidak memberikan keuntungan (mahal) dan dapat

memacu oksidasi yang pada akhirnya merusak cured vanili.

Widodo (1988) melakukan percobaan pengeringan vanili menggunakan alat pengering kabinet bertenaga listrik. Diperoleh hasil bahwa untuk menurunkan kadar air vanili dari 70,06% bb sampai kadar air 35,80% bb dibutuhkan waktu 48 jam dengan suhu pengeringan rata-rata 67,8°C. Energi yang dibutuhkan adalah sebesar 91.000 kJ. Percobaan ini juga memberikan informasi bahwa setelah pengujian mutu secara organoleptik, vanili hasil pengeringan tersebut lebih baik daripada mutu pengeringan hasil pengeringan dengan sinar matahari.

Pengeringan vanili menggunakan microwave oven dilakukan oleh Dewi

(2005). Penelitian tersebut menyatakan bahwa pengeringan microwave dengan

daya rendah yaitu 80 Watt menghasilkan kadar vanillin yang lebih baik daripada daya lebih tinggi. Semakin lama waktu pengeringan maka proses penurunan kadar air semakin cepat dan laju pengeringan semakin meningkat. Secara umum terjadi


(35)

penurunan kadar air dan peningkatan kadar vanillin selama proses pemeraman tetapi terjadi penurunan kadar vanillin selama proses pengeringan sebagai akibat suhu pemanasan yang tinggi sehingga merusak enzim.

Selama pengeringan, produk akan mengalami perubahan warna, tekstur,

flavor dan aroma. Dinyatakan oleh Mazza dan LeMaguer (1980) diacu dalam

Fellows (2000), bahwa panas tidak hanya menguapkan air selama pengeringan, akan tetapi juga menyebabkan hilangnya komponen volatil dari bahan pangan dan sebagai akibatnya sebagian besar bahan pangan yang dikeringkan mempunyai flavor yang lebih rendah daripada bahan asalnya. Tingkat hilangnya komponen volatil bahan tergantung pada temperatur, kandungan air dalam bahan, tekanan uap komponen volatil dan solubilitas komponen volatil tersebut dalam uap air. Komponen volatil yang mempunyai volatilitas dan difusivitas relatif tinggi akan hilang pada tahap awal pengeringan. Bahan pangan yang mempunyai kandungan flavor dengan nilai ekonomi tinggi (misalnya herba dan rempah) hendaknya dipanaskan pada suhu yang rendah.

Menurut Fellows (2000), struktur porous yang terbuka dari produk yang

dikeringkan kemungkinan akan terisi oleh oksigen, dan hal ini menjadi penyebab kedua terpenting dari hilangnya aroma karena terjadinya oksidasi komponen-komponen volatil dan lemak selama penyimpanan. Perubahan flavor dalam buah-buahan sebagai akibat oksidasi atau aktivitas enzim hidrolitik dapat dicegah dengan menggunakan sulfur dioksida, asam askorbat atau asam sitrat atau melalui

pasteurisasi pada susu atau jus buah dan blanching pada sayur-sayuran.

Pencegahan dapat pula dilakukan dengan penambahan enzim atau aktivasi enzim yang secara alami terkandung dalam bahan yang dikeringkan yang dapat menghasilkan flavor dari prekursor flavor dalam bahan pangan.

Anklam et al. (1997) melaporkan bahwa vanillin dapat teroksidasi menjadi

asam vanilat dan juga divanillin. Divanillin yaitu produk dimerik vanili terdeteksi setelah vanillin mengalami oksidasi dalam larutan yang mengandung hidrogen peroksida dan enzim peroksidase. Penambahan peroksida saja tidak menyebabkan terbentuknya produk oksidasi vanillin. Adapun asam vanilat merupakan produk oksidasi vanillin dengan adanya enzim xanthine oksidase. Kecepatan oksidasi


(36)

vanillin yang dihasilkan dari ekstrak vanili alami diketahui lebih rendah dibandingkan vanillin sintetik.

Pengeringan Absorpsi

Pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan melalui penyerapan air di dalam bahan pangan oleh material penghisap yang bersifat poros. Mekanisme yang terjadi adalah proses penarikan air dari dalam bahan pangan dengan prinsip kapiler oleh absorben. Air yang terhisap absorben tidak hanya pada bagian permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata ke seluruh bagian absorben (Hall 1957).

Dalam proses pengeringan absorpsi, sejumlah bahan dan absorben diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Bahan pengisap yang digunakan harus memiliki tekanan uap air yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan yang akan dikeringkan (Christensen 1974). Pengeringan absorpsi tidak menggunakan aliran udara pengering dan suhu tinggi, sehingga faktor yang mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara pengering.

Jenis Pengeringan Absorpsi

Sifat penyerapan air oleh bahan absorben telah banyak digunakan terutama di dalam kemasan untuk mencegah penyerapan air oleh produk (dikenal sebagai proses desikasi dalam kemasan). Menurut Samuel dan Vedamurthy (1984), absorben atau desikan yang digunakan untuk pengurangan air dari udara yang kontak dengan bahan pangan harus bersifat non korosif, tidak berbau, tidak

beracun, tidak mudah terbakar, secara kimiawi bersifat inert terhadap

ketidakmurnian udara, dan mudah didaur ulang. Selain itu, harganya juga harus relatif murah. Untuk bahan pangan, desikan yang umum digunakan berupa silika gel atau kalsium oksida (CaO), karena bahan-bahan ini merupakan bahan pengering yang mudah diperoleh dan tidak berbahaya, sehingga bila terserap ke dalam bahan pangan tidak membahayakan konsumen.

Kapur api (CaO) juga merupakan material penyerap air atau absorben yang sangat baik untuk pengeringan secara absorpsi. Pengeringan absorpsi dengan


(37)

kapur api merupakan metode pengeringan yang sederhana dengan bahan absorben yang relatif murah.

Prinsip Pengeringan Absorpsi dengan Kapur Api

Proses terjadinya pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api (CaO) adalah terjadinya penyerapan uap air yang ada di udara (lingkungan) pengering oleh absorben sehingga uap air udara pengering menjadi sangat rendah. Rendahnya RH udara pengering mengakibatkan terjadinya penguapan air bahan yang dikeringkan ke lingkungan udara pengering. Menurut Soekarto (2000), prinsip pengeringan dengan kapur api atau CaO di dalam lemari pengering absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang pengering; (3) energi panas diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO. Proses tersebut berlangsung secara terus-menerus sampai tercapai kondisi kesetimbangan atau ekuilibrium.

Jadi dalam proses pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api (CaO), pengeringan bahan disebabkan oleh adanya perbedaan RH udara

pengering karena diabsorpsi oleh absorben dengan aktivitas air (aw) bahan, karena

uap air yang ada di udara diserap oleh absorben.

Karakteristik Kapur Api

Kapur api atau disebut juga kapur gamping maupun kapur tohor merupakan padatan berwarna putih yang berbentuk bongkahan dengan rumus

kimia CaO dan mempunyai titik cair 2570oC serta titik didih 2850oC. Kapur api

merupakan bahan pengering yang telah banyak digunakan dalam desikator dengan kapasitas yang sedang dan meninggalkan udara yang cukup kering. CaO mudah diperoleh sebagai kapur api dengan harga yang murah. CaO bersifat tidak

mencair, bereaksi dengan air membentuk basa, dengan menyisakan 3 x 10-3 mg


(38)

serbuk sehingga bila dipakai dalam desikator harus diusahakan agar debunya tidak mengganggu, misalnya dengan memberi tutup kain halus.

Gaspary dan Bucher (1981) meyatakan bahwa CaO diproduksi dengan

memanaskan batu kapur pada suhu 800oC-1200oC. Kapur api dapat dikelaskan

berdasarkan derajat panas yang diberikan pada waktu pembentukannya, yaitu :

1. Soft burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu 800oC

dengan sifat produk yang sangat reaktif (berupa CaO).

2. Hard burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu sekitar

1200oC dan waktu yang lebih lama, sehingga terbentuk kristal dengan sifat

yang reaktivitasnya rendah (berupa Ca).

3. Medium burnt lime, dihasilkan melalui proses dengan waktu dan suhu di

antara kedua proses di atas.

Komposisi kimia kapur api dari Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat yaitu dari Kajai dan Kemang Udik masing-masing mengandung CaO sebesar 93,6% dan 94,2% (Gaspary dan Bucher 1981). Sedangkan kapur api produksi PD Djaja Ciampea Bogor yang dianalisa oleh Sucofindo pada tahun 1998, mengandung CaO sebesar 88,82%.

Energi Panas Dari Kapur Api

CaO disebut kapur api karena apabila material tersebut bereaksi dengan air akan dihasilkan panas yang tinggi. Menurut Halim (1995), dibandingkan dengan desikan atau absorben yang lain yang sering digunakan untuk pengeringan bahan pangan, CaO memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi panas saat bereaksi dengan air. Fenomena pelepasan energi dalam CaO ini dapat dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengeringan di dalam bahan pangan.

Chang dan Tikkanen (1988) mengemukakan bahwa umur simpan kapur api relatif singkat (sekitar 60 hari), karena kapur api ini cepat bereaksi secara

eksotermik dengan air untuk membentuk Ca(OH)2. Reaksi yang bersifat

eksotermik ini mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu akibat pelepasan energi reaksi CaO dengan air sebagai berikut :


(39)

Reaksi yang bersifat eksotermik tersebut menghasilkan peningkatan suhu, tetapi suhu bahan selama pengeringan berlangsung kurang lebih konstan karena energi panas yang dilepaskan kapur (reaksi eksotermik) terus diserap bahan dan segera digunakan untuk penguapan air yang dikandung bahan (reaksi endotermik), dengan proses endotermik dan eksotermik yang kurang lebih setimbang (Soekarto 2000).

Aplikasi Pengeringan Absorpsi Dengan Kapur Api

Pemanfaatan kapur api sebagai absorben dalam proses pengeringan absorpsi telah dicobakan pada beberapa produk yaitu pada pengeringan biji lada (Halim 1995), pengeringan brem padat (Hersasi 1996), pengeringan fillet ikan (Asikin 1998), pengeringan gabah (Fuadi 1999), pengeringan biji pala (Suryani 1999), pengeringan benih tomat (Suzana 2000), dan pengeringan lada hitam (Wulandari 2002).

Pengeringan absorpsi pada lada hitam yang dilakukan Halim (1995), memerlukan waktu pengeringan yang sama dengan waktu pengeringan secara penjemuran yaitu selama 8 hari, dengan rendemen lada hitam yang relatif sama. Tetapi pengeringan absorpsi dapat menghambat proses kehilangan minyak atsiri lada selama pengeringan, dimana kehilangan minyak atsiri dapat dihambat sebanyak 5 kali lipat untuk lada segar dan 14 kali lipat untuk lada kering petani dibandingkan dengan metode oven.

Penggunaan kapur api sebagai absorben pada pengeringan brem padat dapat mempersingkat waktu pengeringannya. Pengeringan brem padat untuk mencapai kadar air 16% basis kering pada suhu kamar yang biasanya memerlukan waktu 18 jam, dapat dipersingkat waktunya menjadi 12 jam (Hersasi 1996). Selain lebih cepat, pengeringan brem dapat dilakukan di daerah yang memiliki RH udara rata-rata yang tinggi seperti di daerah Bogor, yang sulit digunakan untuk mengeringkan brem padat.

Pengeringan absorpsi telah diaplikasikan pula untuk mengeringkan bahan hewani seperti fillet ikan dengan menurunkan kadar air ikan menjadi 9,04% basis basah. Pengeringan fillet ikan dengan alat pengering absorpsi pada RH 20% dan


(40)

pengeringan menggunakan alat pengering model terowongan pada RH 40%, suhu

40oC dan aliran udara 2,0 m/detik (Asikin 1998).

Pada pengeringan biji pala bertempurung, waktu yang dibutuhkan pengeringan absorpsi lebih lama, yaitu 8-9 hari dibanding waktu pengeringan dengan penjemuran selama 7 hari (rata-rata lama penjemuran 3 jam/hari). Rendemen minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu sebesar 11,78% pada pengeringan absorpsi dan 10,92% pada penjemuran. Meskipun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengering absorpsi memiliki penampakan dan warna yang paling baik (Suryani 1999).

Hasil penelitian Suzana (2000) menunjukkan bahwa pengeringan benih tomat dengan alat pengering absorpsi selama satu hari dapat menghasilkan benih tomat kering dengan kadar air 5,5% bb. Uji viabilitas menunjukkan bahwa benih tomat memiliki daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70% sampai 94,5%.

Adapun hasil penelitian Wulandari (2002) menunjukkan bahwa pengeringan absorpsi pada lada hitam dapat memperkecil hilangnya minyak atsiri pada lada dibanding pengeringan menggunakan sinar matahari. Proses pengeringan absorpsi juga dapat berlangsung lebih cepat (sekitar 4-5 hari) untuk mencapai kadar air 12% dibandingkan pengeringan menggunakan sinar matahari (7-8 hari).

Keunggulan Pengering Absorpsi Dengan Kapur Api

Menurut Soekarto (2000), pengeringan dengan kapur api memiliki beberapa keunggulan yaitu : (1) bahan absorben kapur api mudah didapat dan harganya murah; (2) daya pengeringannya kuat; (3) cocok untuk pengeringan bahan yang peka terhadap panas dan sinar; (4) dapat mencegah kehilangan zat volatil selama pengeringan; (5) tidak memerlukan bahan bakar yang dapat

mencemari lingkungan; (6) hasil sampingnya berupa bahan kapur Ca(OH)2 yang

banyak manfaatnya; dan (7) laju pengeringannya dapat dikendalikan.

Pengeringan absorpsi juga memiliki rendemen yang baik karena dapat menekan kehilangan bahan akibat tercecer (Halim 1995). Selain itu, pengering absorpsi mudah dalam proses pengeringannya dan peralatan yang digunakan relatif sederhana.


(41)

Pengeringan Microwave

Microwave merupakan bentuk dari energi gelombang elektromagnetik

dengan frekuensi berkisar antara 300 MHz-300GHz yang dapat diaplikasikan secara luas dalam industri. Pengeringan adalah salah satu aplikasi dari

penggunaan microwave yang telah dilakukan selama 40 tahun terakhir untuk

mengeringkan bahan pangan, produk-produk kayu, kertas, tekstil, produk-produk mineral dan bahan-bahan kimia (Mujumdar 2003).

Pemanasan dan pengeringan menggunakan microwave berbeda dengan

metode pengeringan konvensional. Metode konvensional diatur oleh gradien temperatur antara temperatur luar dan temperatur dalam bahan, sedangkan

mekanisme pemanasan dari frekuensi microwave tidak diatur oleh gradien

temperatur. Energi yang dihasilkan diserap oleh bahan yang masih basah.

Peralatan microwave terdiri dari tiga komponen utama, yaitu microwave

generator, waveguide, dan applicator. Keuntungan pengeringan menggunakan

microwave diantaranya prosesnya cepat, kecepatan pengeringan tinggi, waktu

pengeringan lebih singkat, kualitas produk menjadi lebih seragam dan lebih baik jika dikombinasikan dengan proses pengeringan konvensional lainnya (misalnya

vacuum drying atau freeze drying), konsumsi energi menjadi lebih rendah, dan

menghemat biaya (Mujumdar 2003; Wang et al. 2004). Bahan pangan dengan

kandungan air tinggi seperti buah dan sayuran dapat menyerap energi microwave

dengan cepat.

Pemanasan dengan microwave merupakan akibat dari interaksi kimia

kandungan bahan pangan dengan medan elektromagnetik. Ketika gelombang

microwave diaplikasikan pada bahan pangan, dipol-dipol molekul air dan molekul

polar lainnya akan berusaha berorientasi ke dalam medan elektromagnetik tersebut (seperti halnya kompas di dalam medan magnet). Karena terjadi perubahan osilasi yang sangat cepat dalam medan elektromagnet antara kutup positif dan negatif berjuta-juta kali setiap menit, maka dipol-dipol tersebut akan berusaha mengikutinya. Perubahan yang sangat cepat tersebut pada akhirnya akan menimbulkan panas friksi. Meningkatnya temperatur dalam molekul air akan memanaskan komponen-komponen di sekitarnya dalam bahan pangan tersebut melalui konduksi maupun konveksi (Mujumdar 2003). Dapat dikatakan bahwa


(42)

pemanasan menggunakan microwave menimbulkan panas dari dalam ke luar bahan. Panas akan menguapkan molekul air secara perlahan-lahan dan merata di seluruh permukaan bahan. Pada kenyataannya bagian luar menerima energi yang sama dengan bagian dalam bahan, akan tetapi bagian permukaan akan kehilangan panas lebih cepat karena menguapkan panas ke lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan bagian permukaan tidak menerima panas yang berlebih (tidak terjadi overheating).

Pengeringan menggunakan microwave dipengaruhi oleh kemampuan

bahan untuk menyerap energi microwave itu sendiri. Kemampuan bahan dalam

menyerap gelombang mikro, yang juga menentukan jumlah panas yang dihasilkan

dikenal dengan istilah loss factor. Bahan pangan dengan kandungan air tinggi

mempunyai loss factor yang tinggi. Bahan tersebut akan menyerap energi dengan

cepat sehingga penguapan air terjadi dengan cepat sehingga waktu pengeringan dapat dipersingkat (Mujumdar 2003). Air merupakan zat bersifat polar yang

sangat mudah menyerap energi microwave (loss factor = 12.0 pada 2450 MHz).

Vanili adalah bahan yang mempunyai kandungan air yang tinggi, dengan demikian vanili tergolong bahan yang mudah menyerap gelombang mikro.

Pengeringan menggunakan microwave oven telah digunakan sebagai

metode pengeringan alternatif untuk produk-produk pangan seperti buah, sayur,

snack, dan produk-produk olahan susu. (Wang et al. 2004). Beberapa produk

pangan telah berhasil dikeringkan dengan aplikasi microwave-vacuum atau

kombinasi microwave dengan proses konveksi, seperti misalnya plain yoghurt,

cranberri, irisan wortel, gel buah, susu skim, whole milk, kasein bubuk, irisan

kentang, anggur, apel dan mushroom dan gingseng Amerika, serta vanili.

Vacuum Infiltration

Kata vakum berasal dari bahasa latin vacuus, yang berarti kosong. Kata ini

merefleksikan kondisi vakum ideal atau vakum sempurna (tekanan absolut nol). Tekanan absolut nol ini, seperti halnya suhu absolut nol Kelvin tidak pernah terealisasi di dunia nyata. Walaupun demikian, tekanan nol atm tetap dipergunakan sebagai acuan pada alat ukur tekanan (Ryans dan Roper 1986).


(43)

Teknologi vacuum merupakan salah satu bentuk teknologi baru yang berkontribusi untuk preservasi/pengawetan buah dan sayur-sayuran. Teknologi ini

dikenal pula dengan vacuum infusion atau vacuum impregnation. Teknologi

vacuum merupakan perlakuan pendahuluan yang diberikan pada pemrosesan buah

atau sayur untuk meningkatkan kualitasnya dengan cara inkorporasi aktif suatu

material tertentu ke dalam struktur produk. Teknologi vacuum infusion didasarkan

pada transfer massa hidrodinamik secara cepat dengan cara menempatkan produk

pangan di bawah kondisi vacuum sebelum pemberian larutan impregnasi.

Perlakuan ini menyebabkan udara yang semula terkandung dalam pori-pori buah atau sayuran digantikan oleh larutan impregnasi. Waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi vakum tergantung dari efisiensi sistem vakum (pompa dan bagian-bagian alat vakum yang lain) dan biasanya hanya berlangsung selama beberapa detik saja (Saurel 2002). Perlakuan ini dapat diaplikasikan pada produk

porous dan pada buah serta sayuran utuh maupun yang dipotong-potong.

Teknologi vacuum dapat dikombinasikan dengan pencelupan produk

dalam larutan hipertonik (Saurel 2002). Pada proses pencelupan ini, penggunaan

tekanan vacuum dapat mempercepat penetrasi larutan ke dalam produk

dibandingkan dengan proses difusi molekuler yang terjadi dengan lebih lambat.

Ketika kondisi vacuum diaplikasikan, gas-gas yang terperangkap dalam

produk akan mengembang dan sebagian akan dihilangkan dari matriks bahan pangan. Setelah tekanan dirubah kembali ke tekanan normal, perbedaan tekanan dihasilkan sehingga menyebabkan penetrasi larutan ke dalam struktur produk yang masih kosong hingga tercapai keseimbangan tekanan internal dan eksternal.

Waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi vacuum tergantung pada efisiensi

sistem vacuum (misalnya pompa dan perlengkapan lainnya) dan dapat

berlangsung hanya selama beberapa detik saja. Pada beberapa kasus, produk harus

tetap dijaga di bawah kondisi vaccum untuk beberapa menit untuk meyakinkan

ekstraksi gas-gas internal telah berlangsung dengan baik. Langkah ini tidak

penting jika degassing telah sempurna selama tekanan menurun (Saurel 2002).

Teknik vacuum infiltration dilakukan untuk mempercepat absorpsi larutan

ke dalam jaringan produk. Vacuum infiltration dari larutan kalsium klorida telah


(44)

ketidakteraturan fisiologi selama penyimpanan buah dan sayur-sayuran. Sebagai

contoh, vacuum infiltration diterapkan pada apel, lemon, alpukat, mangga,

strawberri, dan tomat (Saurel 2002). Teknik vaccum infiltration dari etanol telah

pula dilakukan pisang (Bagnato et al. 2003) untuk mendorong masuknya etanol ke

dalam buah-buahan tersebut.

Infiltrasi Dengan Pemberian Tekanan Tinggi

Pemberian tekanan tinggi di atas 1 atm (tekanan udara normal) telah dilakukan oleh Kesmayanti (1996) dan Juanasri (2004). Kesmayanti (1996) melakukan infiltrasi poliamin ke dalam buah mangga di dalam autoklaf yang telah dirancang untuk infiltrasi. Melalui selang karet yang menghubungkan alat dengan kompresor, udara dialirkan ke dalam alat sehingga tekanan alat mencapai sekitar

10 lb/inch2 atau 0,72 kg/cm2. Pemberian tekanan tersebut dilakukan selama tiga

menit.

Juanasri (2004) melakukan infiltrasi spermidin dan giberelin ke dalam buah manggis untuk tujuan pengawetan. Seperti halnya penelitian Kesmayanti (1996), alat yang digunakan adalah autoklaf yang telah dimodifikasi untuk infiltrasi. Tekanan yang diberikan untuk infiltrasi spermidin dan giberelin ke

dalam buah manggis tersebut adalah 0,3 kg/cm2. Proses dilakukan selama tiga


(45)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Kimia South

East Asian Food and Agriculture Science and Technology (SEAFAST) Center,

Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Juni 2006 sampai Maret 2007.

Bahan dan Alat

Bahan baku yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah buah vanili

segar jenis Vanilla planifolia Andrews berusia 6-8 bulan yang diperoleh dari Desa

Lebakbarang Kecamatan Lebakbarang, Pekalongan, Jawa Tengah untuk penelitian tahap I dan Desa Tundagan, Kecamatan Ciniru, Kuningan, Jawa Barat untuk penelitian tahap II. Untuk keseragaman bahan, buah vanili dipilih yang memiliki panjang antara 15-20 cm, polong penuh, utuh, tanpa cacat atau pecah.

Bahan-bahan lain yang diperlukan adalah aktivator enzim β-glukosidase yaitu

butanol dan sistein, etanol 95% dan 60%, pNPG (paranitrofenil β

-D-glukopironasidase ), bufer fosfat, vanillin standar, NaOH, Coomasie blue, Bovine Serum Albumin (BSA), asam fosfat, natrium karbonat, DNS (dinitrosalysilic acid), kapur api yang diperoleh dari Pekapuran Karya Baru, Ciampea Bogor, dan bahan kimia lainnya untuk analisis.

Adapun peralatan yang digunakan diantaranya adalah pisau, bak perendaman, waterbath, rak penirisan, kotak pemeraman yang dilengkapi lampu 5 Watt, kain planel hitam, neraca analitik, pipet mikro, oven pengering, alat pengering absorpsi berupa lemari yang dilengkapi absorben dan rak bahan, oven

gelombang mikro (microwave oven), alat vakumisasi, kertas saring Whatman

No.1, vacuum evaporator, autoklaf yang telah dimodifikasi, kaleng kedap udara

untuk membawa kapur api, termometer, desikator, spektrofotometer UV, alat-alat gelas, cawan alumunium, dan alat-alat untuk analisis lainnya.


(46)

Metode Penelitian Penelitian Tahap I

Proses curing vanili termodifikasi masih membutuhkan penyempurnaan

untuk meningkatkan kualitas vanili kering. Penelitian tahap pertama akan

dilakukan untuk meningkatan kontak antara enzim β-glukosidase dengan aktivator

melalui infiltrasi vakum maupun tekanan tinggi.

Pada penelitian yang dilakukan Setyaningsih (2006), perendaman buah vanili dalam aktivator enzim butanol 0,3 M dan sistein 1 mM dilakukan selama 2

jam. Penelitian ini akan mencoba menerapkan teknik vacuum infiltration dan

pemberian tekanan tinggi pada tahap perendaman dengan tujuan untuk mempercepat penetrasi aktivator enzim ke dalam buah vanili sehingga waktu perendaman dapat dipersingkat. Dengan teknik ini, diharapkan aktivator akan lebih efektif masuk ke dalam jaringan buah dan mempermudah kontak dengan enzim yang kebanyakan terdapat pada bagian sitoplasma atau periplasma sel mesokarp dan endokarp buah vanili.

Sebelum diproses, buah vanili dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan. Pada penelitian Setyaningsih (2006), buah vanili mengalami penyayatan

(stratching) terlebih dahulu sebelum direndam dalam aktivator enzim. Pada tahap

awal penelitian ini, akan dicoba menggunakan vanili utuh, vanili yang disayat dan vanili yang ditusuk menggunakan jarum untuk melihat bagaimana absorpsi aktivator enzim untuk masing-masing perlakuan tersebut. Penyayatan pada vanili dilakukan sedalam 1 mm menggunakan jarum steril dengan arah horizontal sebanyak tiga buah sayatan. Aktivator yang digunakan pada penelitian ini adalah butanol 0,1 M dan sistein 3 mM. Tahap awal penelitian tahap I ini dilakukan menggunakan tekanan vakum (vakum penuh) maupun tekanan tinggi (sebagai perbandingan) dengan waktu masing-masing 10 menit. Analisis yang dilakukan adalah aktivitas enzim, kadar protein terlarut, kadar vanilin dan kadar air. Perlakuan yang menghasilkan aktivitas enzim dan kadar vanilin tertinggi akan digunakan untuk tahap penelitian selanjutnya.

Pemberian tekanan vakum dilakukan menggunakan alat vakumisasi

(bagian dari vacuum evaporator) dengan kisaran tekanan 0 hingga 760 mmHg


(47)

aktivator butanol 0,1 M dan sistein 3 mM dimasukkan sehingga vanili terendam dalam aktivator tersebut. Selanjutnya tekanan vakum diberikan sehingga gas-gas yang terperangkap dalam produk akan mengembang dan sebagian akan dihilangkan dari matriks bahan pangan. Setelah kondisi vakum dicapai maka larutan akan berpenetrasi ke dalam struktur produk hingga tercapai keseimbangan tekanan internal dan eksternal.

Setelah perlakuan terbaik diperoleh, langkah selanjutnya adalah memberikan tekanan vakum pada vanili hasil perlakuan terbaik tersebut secara penuh (vakum penuh/5 kPa) dan setengah vakum (50 kPa). Dilakukan pula pemberian tekanan pada suhu ruang (normal). Untuk masing-masing tekanan tersebut, akan dicoba perendaman buah vanili selama 5, 10, 20, 30, dan 40 menit.

Analisis yang dilakukan adalah aktivitas enzim β-glukosidase, kadar protein

terlarut, kadar air dan kadar vanillin. Dari hasil yang diperoleh akan terlihat bagaimana pola absorpsi aktivator ke dalam jaringan buah.

Untuk pemberian tekanan tinggi, alat yang digunakan adalah autoklaf yang telah dimodifikasi untuk infiltrasi (Gambar 5). Mula-mula aktivator butanol 0.1 M dan sistein 3 mM dimasukkan ke dalam autoklaf yang mempunyai kisaran tekanan 1-2 bar (760-1480 mmHg) di atas tekanan normal. Kemudian buah vanili direndamkan ke dalam larutan aktivator enzim hingga terendam sempurna. Udara dari kompresor dialirkan ke dalam autoklaf melalui selang karet sehingga tekanan dihasilkan. Tekanan akan dicoba diberikan pada 1 dan 1,5 bar (100 dan 150 kPa) di atas tekanan normal. Perendaman buah vanili akan dicoba dilakukan selama 3, 5, 10, 15, dan 20 menit untuk masing-masing tekanan. Tekanan dan waktu yang

dipilih sebagai perlakuan terbaik adalah yang menghasilkan aktivitas enzim β

-glukosidase dan kadar vanillin tertinggi. Diagram alir aplikasi tekanan vakum dan tekanan tinggi pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Analisis aktivitas enzim β-glukosidase, kadar protein terlarut, kadar air,

dan kadar vanillin dilakukan masing-masing pada pada buah vanili segar, buah

vanili setelah tahap perendaman, pelayuan, dan pengeringan hari ke-1 (40oC).

Prosedur ekstraksi enzim β-glukosidase dari buah vanili dapat dilihat pada

Lampiran 1, sedangkan prosedur analisis kadar vanillin dapat dilihat pada Lampiran 2.


(1)

125 Lampiran 10 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan pemberian

tekanan pada tahap perendaman dalam aktivator enzim (Aktivitas enzim)

Lampiran 10a Analisis sidik ragam rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan 5 kPa)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 27120,88 6780,22 108,25 5,192 11,392 Error 5 313,17 62,63

Total 9 27434,05

Lampiran 10b Uji lanjut Duncan rata-rata aktivitas enzim (tekanan 5 kPa) Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

10 menit 218,882 A 40 menit 191,899 B

5 menit 173,158 B

30 menit 142,400 C

20 menit 67,258 D

Lampiran 10c Analisis sidik ragam rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan 50 kPa)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 19025,86 4756,46 517,89 5,192 11,392 Error 5 45,92 9,18

Total 9 19071,78

Lampiran 10d Uji lanjut Duncan rata-rata aktivitas enzim (tekanan 50 kPa) Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

10 menit 172,727 A 20 menit 165,486 A

40 menit 87,488 B

30 menit 78,017 C

5 menit 76,119 C

Lampiran 10e Analisis sidik ragam rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan 100 kPa)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 1764,81 441,20 635,23 5,192 11,392 Error 5 3,47 0,69

Total 9 1768,28

Lampiran 10f Uji lanjut Duncan rata-rata aktivitas enzim (tekanan 100 kPa) Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

30 menit 76,0664 A

5 menit 55,1866 B

40 menit 50,8593 C 20 menit 41,5477 D 10 menit 38,4573 E


(2)

Lampiran 10g Analisis sidik ragam rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan tinggi 100 kPa di atas normal)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 2482,56 620,64 18,20 5,192 11,392 Error 5 170,52 34,10

Total 9 2653,08

Lampiran 10h Uji lanjut Duncan rata-rata aktivitas enzim (tekanan tinggi 100 kPa di atas normal)

Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 15 menit 155,882 A 10 menit 151,725 A

5 menit 150,507 A

20 menit 133,323 B

3 menit 113,514 C

Lampiran 10i Analisis sidik ragam rata-rata aktivitas enzim tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan tinggi 150 kPa di atas normal)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 2417,19 604,29 13,34 5,192 11,392 Error 5 226,52 45,30

Total 9 2643,71

Lampiran 10j Uji lanjut Duncan rata-rata aktivitas enzim (tekanan tinggi 150 kPa di atas normal)

Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

3 menit 153,184 A

5 menit 152,933 A

15 menit 130,216 B 10 menit 125,820 B 20 menit 113,801 B


(3)

127 Lampiran 11 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan pemberian

tekanan pada tahap perendaman dalam aktivator enzim (Kadar vanillin)

Lampiran 11a Analisis sidik ragam rata-rata kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan 5 kPa)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 0,04982 0,0124 5387,60 5,192 11,392 Error 5 0,00001 0,000002

Total 9

Lampiran 11b Uji lanjut Duncan rata-rata kadar vanillin (tekanan 5 kPa) Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

10 menit 1,0755 A

30 menit 1,0719 A

20 menit 0,9764 B

40 menit 0,9692 C

5 menit 0,8877 D

Lampiran 11c Analisis sidik ragam rata-rata kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan 50 kPa)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 0,0396 0,00992 16,26 5,192 11,392 Error 5 0,0030 0,00061

Total 9 0,0426

Lampiran 11d Uji lanjut Duncan rata-rata kadar vanillin (tekanan 50 kPa) Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

30 menit 1,02360 A 10 menit 1,01855 A 20 menit 0,98410 A 40 menit 0,89585 B

5 menit 0,87240 B

Lampiran 11e Analisis sidik ragam rata-rata kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan 100 kPa)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 0,04406 0,01102 35,67 5,192 11,392 Error 5 0,00154 0,0003

Total 9 0,0456

Lampiran 11f Uji lanjut Duncan rata-rata kadar vanillin (tekanan 100 kPa) Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05

10 menit 0,84185 A 40 menit 0,75145 B 30 menit 0,74090 B

5 menit 0,71780 B


(4)

Lampiran 11g Analisis sidik ragam rata-rata kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan tinggi 100 kPa di atas normal)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 0,02161 0,0054 1655,82 5,192 11,392 Error 5 0,00002 0,000003

Total 9 0,02163

Lampiran 11h Uji lanjut Duncan rata-rata kadar vanillin (tekanan tinggi 100 kPa di atas normal)

Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 15 menit 0,947100 A 20 menit 0,903950 B 5 menit 0,862200 C 10 menit 0,85625 D

3 menit 0,80975 E

Lampiran 11i Analisis sidik ragam rata-rata kadar vanillin tahap perendaman hingga pengeringan (tekanan tinggi 150 kPa di atas normal)

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Waktu perendaman 4 0,011109 0,002777 914,53 5,192 11,392 Error 5 0,000015 0,000003

Total 9 0,011124

Lampiran 11j Uji lanjut Duncan rata-rata kadar vanillin (tekanan tinggi 150 kPa di atas normal)

Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 15 menit 0,87390 A

5 menit 0,87350 A

20 menit 0,85555 B

3 menit 0,80430 C


(5)

129 Lampiran 12 Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan vanili kering hasil pengeringan

Lampiran 12a Analisis sidik ragam kadar vanillin metode pengeringan

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Metode pengeringan 3 0,89709 0,29903 11,94 6,591 16,694 Error 4 0,10016 0,02504

Total 7 0,99725

Lampiran 12b Uji lanjut Duncan rata-rata kadar vanillin Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 Oven (modifikasi) 1,3996 A

Balitro 0,9592 B Pengering Absorpsi 0,8158 B C

Microwave Oven 0,4864 C

Lampiran 12c Analisis sidik ragam gula pereduksi metode pengeringan

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Metode pengeringan 3 33,8215 11,2738 7,81 6,591 16,694 Error 4 5,7736 1,4434

Total 7 39,5951

Lampiran 12d Uji lanjut Duncan rata-rata gula pereduksi Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 Oven (modifikasi) 8,571 A

Balitro 5,352 A B

Microwave Oven 4,841 B

Pengering Absorpsi 2,842 B

Lampiran 12e Analisis sidik ragam pH metode pengeringan

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Metode pengeringan 3 0,80894 0,269646 7190,56 6,591 16,694 Error 4 0,00015 0,000038

Total 7 0,80909

Lampiran 12f Uji lanjut Duncan rata-rata pH

Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 Pengering Absorpsi 5.885 A

Microwave Oven 5.275 B

Balitro 5.190 C

Oven (modifikasi) 5.055 D

Lampiran 12g Analisis sidik ragam total asam metode pengeringan

Sumber Keragaman df JK KT F hit F α=0,05 F α=0,01 Metode pengeringan 3 222,1055 74,0351 8,92 6,591 16,694 Error 4 33,2113 8,3028

Total 7 255,3168

Lampiran 12h Uji lanjut Duncan rata-rata total asam Perlakuan Rata-rata Peringkat α=0,05 Oven (modifikasi) 28,580 A

Microwave Oven 28,535 A

Balitro 28,530 A


(6)