Malioboro Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di

1682 diperingati dengan sebuah Condro sengkolo memet pintu gerbang Kemagangan di pintu gerbang Gadung Mlati, berupa 2 naga yang berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa Jawa Dwi naga rasa tunggal, dwi artinya 2, naga artinya 8, rasa artinya 6 dan tunggal yang berarti 1 dibaca dari belakang menjadi 1682.

2. Aspek-aspek Sosial Budaya, Geografis, Demografis dan Potensi Kraton Yogyakarta

Kraton Yogyakarta merupakan Istana Kesultanan yang masih bernuansa Jawa tradisional walaupun ditengah-tengah proses modernisasi kota Jogja. Dalam hal ini, kraton tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai wahana pelestarian budaya, tetapi juga melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi, mengingat bahwa Kraton Yogyakarta merupakan kediaman gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwana X. Contoh nyatanya adalah hal- hal yang terjadi belum lama ini, bahwa 40 ribuan warga melakukan pisowanan ageng ke Kraton Yogyakarta. Pisowanan ageng tersebut bertujuan untuk meminta penjelasan atau klarifikasi dari Sri Sultan HB X. Tradisi ini dilakukan ketika terjadi kebuntuan informasi, sehingga rakyat mendatangi raja. Mereka memohon penjelasan langsung dari sang raja agar memperoleh kepuasan atas informasi yang tengah beredar di masyarakat. Menurut Gregorius Sahdan, pisowanan ageng ini merupakan tradisi baru dalam konteks hubungan kawula lan gusti di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari semua ini terlihat jelas bahwa Kraton Yogyakarta melaksanakan peran sosialnya.

B. Malioboro Jalan Malioboro adalah nama salah satu jalan dari tiga jalan di

Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi , Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani . Jalan ini merupakan poros Garis Imajiner Kraton Yogyakarta . Terdapat beberapa obyek bersejarah di kawasan tiga jalan ini antara lain Tugu Yogyakarta , Stasiun Tugu , Gedung Agung , Pasar Beringharjo , Benteng Vredeburg dan Monumen Serangan Oemoem 1 Maret . Jalan Malioboro sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para Seniman-seniman- seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang jalan ini. sekitar tahun 1916 kawasan pecinan yang berkembang di wilayah setjodiningratan yaitu sebelah timur kantor pos besar, mulai menjadi basis bisnis menyaingi wilayah kotagede. apalagi setelah dibangun pasar gedhe yang sekarang bernama pasar bringharjo dan mulai beroprasi tahun 1926 geliat ekonomi di kawasan ini mulai beranjak naik. 3 padahal sebelumnya jalan ini hanyalah jalan biasa yang jarang dijamah kecuali sebagai tempat lewat menuju keraton. Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu yang dibangun pada 1887 dan Grand Hotel de Yogya berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda. Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg kini Vredeburg dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini. Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina. belanda di malioboro maliboro yang berarti jalan bunga mungkin untuk menghubungkan dengan pasar kembang disebelah utara sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. perkembangan malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang tionghhoa juga ditunjang oleh posisi yang stretegis dalm filosofi garis imajiner jogja. muncul dan berdirinya bangunan-bangunan strategis juga berperan pada perkembangan malioboro seperti pasar bringharjo, hotel grand jogja hingga stasiun tugu. hingga kini malioboro menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah intrik kehidupan jogja bisa di baca di tulisan sebelumnya. selain sejarah intrik dagang, malioboro adalah saksi bisu penangkapan soekarno sat agresi miiter 2 belanda, saksi pertempuran 6 jam. hingga kini di malioboro juga menjadi pusat dari pemerintahan jogja dengan berdirinya kantor-kantor pemerintahan. budaya lesehan, kompasianer joga di titik nol KM ujung malioboro tapi yang jarang terlintas dalam perkembangan sejarah jogja adalah dunia sastra. dari sinilah dunia sastra jogja mulai mengembangkan taring. dalam Antologi Puisi Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku tersebut, buku yang berisi 110 penyair yang tinggal dan pernah tinggal di yogyakarta selama kurun waktu lebih dari setengah abad. selain itu malioboro memberi jejak tersendiri pada dunia sastra indonesia pada umumnya maupun jogja pada khususnya. kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya senisono. Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi cucu raja sumba, yang melahirkan muid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra alm Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib serta korys layun rampan, hingga ratusan pemuja umbu dalam lingkaran komuniats PSK persada studi klub . Daya hidup seni jalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup budaya lesehan masih bertahan -kopdar canting kompasianer jogja- 4 Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro. malioboro adalah Sebuah jalan pada satu kota adalah kumpulan kenangan yang tergabung secara kolektif bagi penghuninya, namun secara umum saya lebih menikmati titik nol KM jogja yang merupakan ujung selatan jaln malioboro, di situlah hingga kini “budaya lesehan” para seniman masih terus berlanjut.

C. Taman Pintar Pandangan Umum