Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
109
dari ilmu. Dengan ilmu manusia bisa mengetahui keagungan Allah swt. Rasa kagum, rasa diawasi, rasa takut, dll. akan selalu menjadi
pengontrol dalam hidup seseorang. Ilmu menjadi sarana untuk mangantarkan seseorang pada Allah swt bukan sebaliknya.
Oleh karenanya, kutipan dari kesimpulan al-Ghazali di atas jangan difahami secara tekstual. Sebab, jika difahami secara tekstual
pernyataan Imam al-Ghazali akan menimbulkan stigma negatif di masyarakat, yang mana semua penyakit atau masalah di dunia
ini dianggap sebagai kesalahan dan menjadi tanggung jawab oleh –orang yang disebut- ulama. Kata ulama disitu tidak hanya tertuju
pada orang yang disebut kyai atau orang yang faham agama, tetapi kata tersebut juga merujuk pada orang-orang yang berilmu, penguasa
berilmu, rakyat berilmu, pejabat berilmu, dan lain-lain. Manusia yang hidup di alam ini tidak ada yang tidak berilmu, walau kapasitasnya
berbeda-beda, ada yang sedikit ada pula yang banyak. Sehingga ketika penguasa rusak –dalam arti ia berilmu tetapi tidak ada rasa
takut kepada Allah swt- maka yang terjadi adalah rakyat juga ikut rusak, karena pemimpin merupakan panutan bagi rakyat.
B. Pembahasan Pendidikan jalan Perbaikan
1.
Persoalan moral yang menjadi masalah utama bangsa ini memang sudah seharusnya melibatkan semua kalangan untuk ikut
ambil bagian dalam memperbaiki bangsa ini. Para ulama, tokoh, dan seluruh lapisan masyarakat semuanya harus turut serta dalam
memperbaiki krisis yang semakin parah ini. Dengan apa? Ya, pendidikan. Semua persoalan tidak pernah lepas dari pendidikan.
Hal ini juga ditegaskan oleh Ahmad Tafsir bahwa selama manusia masih menghadapi masalah, selama itu pula ia butuh pendidikan
Tafsir, 2012: 39.
Meski demikian, perlu dicatat pula bahwa melalui pendidikan masalah selalu muncul. Sebab, pendidikan merupakan sumber
masalah sekaligus untuk menyelesaikan masalah. Para pemimpin korup misalnya, jangan dikira dia tidak mengenyam pendidikan,
justru mereka umumnya sudah mengenyam pendidikan yang tinggi. Hal ini juga diungkapkan oleh Ketua PP LP Ma’arif NU Zainal
Nur Hidayah
110
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Ariin Junaidi saat halaqah pendidikan yang diselenggarakan PC LP Ma’arif NU Kudus di Aula MA NU Banat Kudus. Ia mengatakan;
“Pendidikan nasional belum mampu menghasilkan negarawan dan pemimpin berintegritas. Buktinya, hingga tahun 2013 pendidikan
Indonesia telah menghasilkan ribuan koruptor. Indonesia adalah negara yang tingkat korupsinya terbesar nomor dua di dunia dengan
para pelakunya adalah orang-orang terdidik. Tidak ada yang korupsi itu tamatan SMP atau SMA, semuanya sarjana. Mahfud MD mantan
ketua Mahkamah Konstitusi-red bilang 16 dari 33 gubernur di Indonesia terkena kasus korupsi”
htp:m.nu.or.id .
Moral para elit publik yang semakin lama semakin menurun ternyata merupakan buah dari pendidikan nasional. Pendidikan
nasional belum mampu menghasilkan pemimpin yang berintegritas. Ariin juga menambahkan bahwa “menurut data BPS pada semester
pendidikan juga menghasilkan tujuh juta pengangguran terdidik. Bahkan menurut Human Development Index, pendidikan nasional
telah mengantarkan daya saing sumber daya manusia SDM bangsa Indonesia berada pada peringkat 124. Artinya, pendidikan kita tidak
menghasilkan SDM yang tidak kompetitif, tidak memiliki daya saing dan tidak siap berkompetisi dengan negara tetangga. Indonesia itu
masih kalah dengan singapura, Malaysia maupun Brunei Darussalam.”
htp:m.nu.or.id .
Pendidikan memang sumber masalah sekaligus sumber penyelesai masalah. Orang baik yang ingin memperbaiki bangsanya
sudah pasti melalui pendidikan, orang jahat yang ingin merusak negaranya juga melalui pendidikan. Memang benar, pendidikan
merupakan masalah yang tidak pernah selesai. Semua memiliki kepentingan dengan pendidikan, entah itu kepentingan baik atau
buruk, yang pasti semuanya butuh pendidikan. Mengapa sedemikian kompleksnya hasil dari pendidikan? Kenapa tidak yang baik saja hasil
dari pendidikan?
Dalam hal ini, Ahmad Tafsir menjelaskan makna pendidikan sebagai berikut:
“Pendidikan adalah usaha menolong manusia menjadi manusia. Menurutnya, Ada dua aspek dalam pendidikan, yaitu menolong dan
manusia. Mengapa menolong, bukan mencetak atau mewujudkan? Ya, karena pendidik tahu bahwa setiap manusia memiliki potensi
yang dapat dikembangkan untuk menjadi manusia. Pada setiap
Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
111
manusia itu ada potensi untuk menjadi manusia, ada juga potensi untuk menjadi bukan manusia, binatang misalnya. Teori inilah yang
dapat menjelaskan mengapa orang yang dididik itu ada juga yang gagal menjadi manusia. Misalnya korupsi ini bukan sifat manusia.
Kata menolong juga menegaskan bahwa perbuatan mendidik itu hanya sekedar menolong. Jadi, pendidik jauh sebelum berbuat telah
mengetahui bahwa muridnya nanti ada yang berhasil dan ada yang tidak.” Tafsir, 2012: 33-39.
Oleh karenanya, wajar kalau pendidikan merupakan sumber masalah dan sekaligus sumber penyelesai masalah, karena pendidikan
sendiri hanyalah perbuatan menolong -pada sesuatu yang baik- bukan mencetak apalagi mewujudkan.
Respon Pendidikan Ma’arif 2.
Persoalan moral dan akhlak yang saat ini statusnya sedang krisis di negara ini, ternyata sudah menjadi suatu keharusan bagi
semua lapisan di masyarakat bawah, menengah, dan atas untuk turut serta memperbaikinya. Tak terkecuali, Ma’arif yang notabene sebagai
lembaga pendidikan di bawah organisasi masyarakat keagamaan Nahdhatul Ulama juga memiliki hak untuk itu. Harus diakui pula
bahwa itu juga merupakan respon dari ditetapkannya kurikulum 2013, yang esensinya adalah pendidikan karakter. Meski tujuannya sama,
tetapi dalam pelaksanaanya semua lembaga pendidikan memiliki gaya dan khas masing-masing, termasuk Lembaga Pendidikan Ma’arif.
Dalam hal ini, Ma’arif menyiapkan sekolah unggulan berbasis aswaja sebagai bentuk keseriusan dalam melaksanakan kurikulum 2013.
Penyiapan madrasahsekolah unggul yang berbasis Ahlussunnah Wal-Jama’ah semakin menguat pasca ditetapkannya
beberapa keputusan yang dihasilkan dari rapat pleno Pengurus Pusat LP Ma’arif NU. Dalam rapat pleno tersebut, menghasilkan 9 program
Prioritas di 2014. Yaitu; 1 implementasi peraturan pelaksanaan program pendidikan NU Hasil Rakernas; 2 Pembangunan sistem
pendataan satuan pendidikan dengan web based system; 3 Penataan status satuan pendidikan yang didirikan lembagajam’iyah dengan
memfungsikan badan hukum NU untuk satuan pendidikan yang didirikan lembagajam’iyyah; 4 Penerapan standar pendidikan
Ma’arif NU dan pembangunan sistem penjaminan mutu; 5 revitalisasi kurikulum Aswaja dan Ke-NU-an; 6 kaderisasi Aswaja
Nur Hidayah
112
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
di lingkungan siswa dan PTK; 7 Peranserta dalam implementasi Kurikulum 2013 dan program Pendidikan Menengah Universal
PMU; 8 Penguatan kajian, penelitian dan publikasi bidang pendidikan oleh dan untuk lembaga; dan 9 Penguatan jaringan
kerjasama dengan lembaga pemerintah maupun swasta di berbagai bidang bantuan beasiswa untuk siswa dan PTK, penguatan lembaga
dan SDM pendidikan, penempatan kerja lulusan pendidikan kejuruan, dan lain-lain
htp:maarif-nu.or.id .
Perbaikan pendidikan di Ma’arif terus dilakukan demi tercapainya tujuan pendidikan. Penerapan standar pendidikan dan
sistem penjaminan mengisyaratkan suatu bentuk keseriusan Ma’arif dalam pelaksanaan pendidikan karakter pada kurikulum 2013. Sebab,
secara keseluruhan kegiatan-kegiatan yang dikembangkan oleh Ma’arif selama 2013, aspek penjaminan mutu pendidikan terlihat
belum banyak dilakukan karena berbagai keterbasan yang ada, baik sumber dana, manajemen dan SDM yang dimiliki oleh LP Ma’arif
NU
htp:maarif-nu.or.id .
Sementara revitalisasi kurikulum aswaja dan ke-NU-an menjadi sesuatu yang paling pokok dan utama dalam hasil rapat
tersebut. Revitalisasi aswaja merupakan konsekuensi dan bentuk keseriusan Ma’arif dalam menyiapkan madrasahsekolah unggulan
berbasis aswaja. Sekolahmadrasah unggulan berbasis aswaja terus dikembangkan dalam rangka turut serta membangun generasi yang
berkualitas dan berakhlak mulia.
Madrasah Berbasis Ahlussunnah Wal-Jama’ah 3.
Madrasah unggulan berbasis aswaja terus dikembangkan oleh Ma’arif dengan berbagai cara dan tentunya berdasarkan pijakan
pandangan kaum Nahdhiyin tentang makna aswaja. Aswaja sampai saat ini masih terus dikaitkan dengan hadits Maa Ana ‘Alaihi wa Ash-
haabi. Kiai Abdul Muchith Muzadi menjelaskan Maa Ana ‘Alaihi wa Ash-haabi sebagai berikut:
“Kiranya tidak meleset dari kebenaran, kalau Maa Ana ‘Alaihi Wa Ash-haabi, dijelaskan dengan kata-kata: ajaran wahyu Allah swt
yang aku sampaikan kepada sahabatku dan aku amalkan bersama mereka. Dengan kata lain, Maa Ana ‘Alaihi Wa Ash-haabi ajaran Islam
yang paling murni, otentik, baku, dan standart. Dengan pemikiran, semua kaum Muslimin di zaman Rasulullah saw bersama sahabat
Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
113
adalah penganut Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang tidak masuk neraka Muzadi, 2006: 146.
Makna aswaja –khususnya di Nahdhatul Ulama- pada perkembangannya menjadi sempit dan ekslusif. Aswaja sudah
dianggap sebagai kelompok, aliran, ataupun sekte. Banyaknya kelompok-kelompok Islam yang terus bermunculan membuat NU
untuk merumuskan sendiri konsep aswaja. Diantaranya Kiai Bisri Mustofa, menurutnya aswaja adalah paham yang menganut ajaran
dari salah satu empat madzhab di bidang iqih Di bidang tauhid, menganut ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur
al-Maturidi. Di bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Qasim al-Junaidi Zuhri, 2010: 240.
Deinisi aswaja Kiai Bisri pada dasarnya merupakan Manhaj Fikrah Nahdhiyah metode berpikir ke-NU-an yang digunakan oleh
Nahdhatul Ulama dalam merespon persoalan kegamaan maupun kemasyarakatan dengan ciri-ciri tawassut moderat, tasamuh
toleran, Ishlahiyah perbaikan, tathawwuniyah dinamis, dan manhajiyah metodologis Navis, 2012: 169. Iman, Islam dan
Ihsan sebagai wujud dari entitas dalam Islam yang digambarkan oleh Kiai Bisri, sebenarnya hanyalah suatu bentuk arahan dan anjuran
bagi warga Nahdhiyin agar lebih mudah dalam melaksanakan ajaran agama. Namun, karena pemahaman masyarakat tidak semuanya bisa
memahami dengan baik, pada akhirnya aswaja menurut NU menjadi sangat ekslusif. Dampaknya, aswaja ala NU sudah menjadi suatu
aliran, kelompok ataupun sekte dengan sebuah madzhab. Hakikat ontologi aswaja sudah bergeser ke wilayah epistemologi, padahal
keduanya merupakan sesuatu yang sangat berbeda.
Pemaknaan hadits secara tekstual akan terus memunculkan kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya Ahlussunnah Wal-
Jamaa’ah, bahkan NU sendiri juga mengklaim dirinya Ahlussunnah Wal-Jama’ah Zuhri, 2010: 109. Dengan konsep yang dimilikinya,
NU berusaha membedakan dirinya aswaja dengan kelompok- kelompok lain yang mengaku aswaja. Jika seperti ini, apakah mungkin
sikap tawassut, tasamuh, dan tawazun dapat terwujud? Perpecahan umat Islam memang terjadi karena perilaku umat Islam yang radikal;
seperti suka mengkairkan, membid’ahkan, menyesatkan, identik
Nur Hidayah
114
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
dengan kekerasan, dan lain-lain. Namun, perlu kiranya diketahui bahwa hal itu timbul dari suatu pemikiran dan keyakinan seseorang.
Pemikiran yang begitu ekstrim dan fanatik akan mampu memicu konlik pada umat Islam. Walhasil, perpecahan terjadi. Mengapa
NU tidak menjadi perekat antar kelompok dan golongan umat Islam lainnya berdasarkan faham Aswaja? Pendekatan menuju Islam
Ahlussunnah Wal-Jama’ah boleh saja berbeda dengan kelompok lain, tetapi alangkah baiknya jika deinisi aswaja yang digunakan
oleh NU seharusnya mampu menjadi pemersatu umat Islam, bukan sebaliknya.
Madrasah unggulan berbasis Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang akhir-akhir ini sedang marak di bicarakan di berbagai media
sosial, terutama di internal NU, sebagai bentuk kontribusinya dalam membangun generasi yang berkualitas dan berakhlak mulia
-yang pasti dengan ciri utamanya tawassut, tasamuh, dan tawazun- seakan sedikit harapannya dapat terwujud jika deinisi aswaja
sebagai suatu aliran masih saja berlaku di masyarakat, khususnya warga Nahdhiyin. Sebab, jika deinisi aswaja -yang sudah bergeser
ke wilayah epistemologi- masih berlaku di kalangan Nahdhiyin khususnya, dan masyrakat umumya. Hal itu sama saja mengajarkan
pada peserta didik sejak dini untuk menjadi orang yang fanatik dan ekslusif. Kecil harapannya sikap tawassut, tasamuh, dan tawazun yang
menjadi ciri utama aswaja NU dapat terwujud, jika pemahaman warga Nahdhiyin khusunya, mengenai aswaja masih tetap diartikan
sebagai sebuah madzhab.
Belakangan ini, deinisi aswaja sebagai sebuah madzhab atau aliran keagamaan sebenarnya sudah mendapat banyak kritik dari para
tokoh NU. Said Aqil Siradj merupakan salah satu dari tokoh yang menggugat konsep aswaja sebagai sebuah madzhab. Menurutnya,
aswaja adalah metode berikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri diatas prinsip keseimbangan, jalan
tengah, dan netral dalam akidah, penengah dan perekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, serta keadilan dan toleransi dalam
berpolitik. Sehingga aswaja dapat menjadi perekat antar kelompok dan golongan, menjadi tasamuh, toleran dengan non-aswaja, dan
non muslim sekalipun. Ini merupakan sebuah konsep aswaja yang mencari jalan tengah antara nash dan akal, antara ra’yi dan naqal.
Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
115
Jalan beberapa ulama, tidak hanya pengikut Asy’ari –yang sunni htp:m.nu.or.id
. Konsep aswaja yang ditawarkan oleh Said Aqil Siradj sebagai
metode berikir, mengisyaratkan bahwa aswaja bukan mutlak dimiliki golongan tertentu. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa konsep
aswaja tersebut dapat mencakup berbagai aliran yang mengklaim diri mereka aswaja, bahkan non-aswaja sekalipun. Said Aqil juga
mengatakan kalau NU mampu mengayomi seluruh aliran yang ada di Indonesia ini –yang penting tidak keluar dari tauhid, Alquran, iman
kepada hari kiamat, maka NU bisa menjadi muara dari segala aliran
htp:m.nu.or.id .
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konsep tersebut masih berada dalam wilayah epistemologi. Meski hal itu bisa dijadikan
sebagai perekat antar kelompok dan golongan bahkan pemersatu umat, baik muslim maupun non-muslim. Konsep tersebut lebih tepat
kiranya dikatakan hanya tertuju khusus bagi para pemimpin umat ulama, mujtahid, dan ahli hukum. Para pemimpin mungkin dan
bahkan pasti mempunyai metode-metode berikir dalam melangkah di kehidupan ini berdasarkan pedoman dasar agamanya, yaitu Alquran
dan Hadis, karena kapasitas keilmuannya sudah barang tentu melebihi para pengikutnya rakyat. Lalu bagaimana dengan orang awam?
Umumnya orang awam muslim memang sami’na mendengar wa atha’na taat –walau mungkin terkadang hanya sami’na saja- kepada
pemimpin atau kyainya. Selain itu, perlu diakui juga bahwa banyak pula yang tidak seperti itu -sami’na wa atha’na-. Oleh karenanya,
gesekan-gesekan kecil maupun besar antara NU dengan kelompok lain kemungkinan besar dapat terjadi di kedepannya. Hal ini cukup
logis mengingat orang awam belum tentu memiliki metode berikir yang benar. Sehingga pengkristalan makna aswaja sebagai madzhab
tertentu diperkirakan akan senantiasa berlaku dikalangan umum.
Dari sini, dibutuhkan suatu deinisi baru dari sudut pandang lain dengan tanpa mengubah, mengganti dan bahkan mengacak-
acak dari deinisi para ulama sebelumnya. Tetapi, deinisi yang baru ini mencoba mencari hakikat dan universalitas makna aswaja, tanpa
terikat oleh situasi dan kondisi apapun, tetapi mencakup dan selalu sesuai dengan situasi dan kondisi dimanapun berada.
Nur Hidayah
116
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
Redeinisi Aswaja 4.
Mendeinisikan aswaja dari sudut pandang apapun akan lebih elok jika dimulai dari hadis Rasulullah saw, tentang perpecahan umat;
yang artinya: “Akan terpecah umatku umat Islam menjadi 73 sekte. Yang
selamat daripadanya satu dan yang lainnya binasa. Nabi ditanya: siapa yang yang selamat? Nabi menjawab: Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Apa
Ahlussunnah Wal-Jama’ah? Nabi menjawab: yang aku sekarang ini dan para sahabatku” al Syahrastani, t: 3.
An-Najiyah, Ahlussunnnah Wal-Jama’ah, dan Maa Ana ‘Alaihi al-yaum wa Ash-habi, ketiganya merupakan kalimat yang menjadi
esensi dari hadis tersebut, ketiganya memiliki hubungan yang sangat kuat, melalui ketiganya pula kita bisa mengetahui hakikat aswaja
yang sebenarnya. Oleh karenanya, dalam hal ini ketiga kata tersebut akan di bahas satu persatu agar bisa mengungkap hakikat aswaja yang
sesungguhnya.
a. An-Najiyah Orang yang Selamat
Buku Polaritas Sektarian yang disusun oleh Purna Siswa Aliyah 2007, Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo Kediri,
menjelaskan makna hadis tersebut sebagai berikut:
“Secara tekstual, hadits tersebut memang menyebutkan jumlah irqah yang mana semuanya akan masuk neraka, kecuali satu. Tetapi,
sesungguhnya jumlah irqah yang disebutkan oleh Rasulullah tidaklah untuk menjelaskan bahwa semua golongan akan masuk neraka. Tetapi,
untuk menjelaskan, begitu banyaknya jalan menuju kesesatan, dan hanya ada satu jalan menuju kebenaran” Lirboyo Press, 2007: 7.
Penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa kata irqah yang tertuang dalam hadits tersebut esensinya adalah jalan. Hal ini sangat
masuk akal, mengingat tidak ada kelompok yang tidak memiliki jalan untuk menggapai tujuannya. Dari semua jalan yang ada hanya satu
yang selamat. Sangat rasional pula ketika Nabi saw, bersabda hanya satu kelompok jalan yang selamat. Sebab, tidak mungkin seseorang
berjalan di dua jalan untuk pergi ke tujuannya pada waktu bersamaan. Tetapi, bukan berarti hanya ada satu jalan menuju kebenaran.
Banyak jalan yang bisa mengantarkan seseorang pada tujuannya dengan selamat. Tetapi bukan berarti hanya ada satu jalan menuju
kebenaran. Oleh karena itu, selamat adalah jalan yang benar, bukan
Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
117
jalan itu sendiri. Jalan yang benar belum tentu selamat, sedangkan selamat sudah tentu melalui jalan yang benar. Dua orang pergi ke
satu tujuan dengan jalan yang berbeda belum tentu keduanya selamat sampai tujuan secara bersamaan. Sebab, esensi dari selamat adalah
sampai pada tujuan dengan keadaan baik segalanya, bukan jalan yang dianggap benar.
Demikian, dapat dipahami pula mengenai uraian Kiai Bishri yang mengikuti madzhab meski diklaim sebagai jalan yang paling
benar, tetapi belum tentu penggunanya bisa selamat sampai pada tujuan. Sebab, esensi dari selamat adalah sampai pada tujuan dengan
keadaan baik segalanya, bukan jalan yang dianggap benar.
b. Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Ketika Nabi saw, ditanya siapa yang selamat? Nabi menjawab; Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Secara kebahasaan Ahlus Sunnah Wal-
Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari tiga kata.yaitu:
1 Ahl
Secara linguistik, kata ahli berasal dari kata ahala, ya’halu, atau ya’hilu, uhulan. Kata ini mempunyai varian makna seperti penghuni
sebuah tempat, suami, istri, kerabat, dan bisa juga bermakna pengikut Lirboyo Press, 2007: 7.
2 Al-Sunnah
Sunnah secara hariah berarti suatu sarana, suatu jalan, aturan, dan cara untuk berbuat atau cara untuk hidup. Ia juga berarti
metode atau contoh. Dalam arti aslinya, sunnah menunjuk pada perkataan, perbuatan dan persetujuan yang berasal dari Nabi Saw
Alim, 2011: 188. Sunnah bermakna pula al-thariqah wa law ghaira mardhiyah jalan atau cara walaupun tidak diridhai. Sedangkan
secara terminologis, “Sunnah” adalah suatu nama untuk cara yang diridhai dalam agama, yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw, atau
selainnya dari kalangan orang yang mengerti tentang Islam, seperti para sahabat Rasulullah Saw Navis, 2012: 2.
Imam Ibnu Rajab al-Hanbal mengatakan:
“Yang dimaksud kata sunnah oleh para ulama yang menjadi panutan adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi saw, dan para sahabatnya yang
selamat dari keserupaan dan syahwat” Ramli, 2011: 54.
Dari sini, perlu kiranya diperhatikan dua kalimat inti dari
Nur Hidayah
118
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
deinisi As-Sunnah, yakni “jalan yang ditempuh oleh Nabi saw” dan “diridhai oleh agama selamat”. Istilah yang pertama mengisyaratkan
apa yang telah diketahui Nabi saw, telah dikerjakan. Lebih mudahnya, jalan ibarat ilmu, sedang kata ditempuh memiliki kesamaan dengan
kata berjalan, hal itu ibarat amal. Apa yang dilakukan oleh Nabi saw sebenarnya -baik perkataan, perbuatan, maupun persetujuan-,
merupakan amalan yang didasarkan pada ilmu dan bersumber dari wahyu. Wahyu merupakan sumber dari semua ilmu Nabi saw, baik
wahyu Qauli Alquran maupun wahyu Kauni alam semesta.
Sedangkan kalimat yang kedua merupakan penegas dari yang pertama bahwa semua yang dilakukan oleh Nabi saw, diridhai oleh
Allah swt dalam arti apa yang dilakukan oleh Nabi berada di jalur yang selamat, yaitu jalan benar. Selamat dalam bahasa arabnya adalah
salima. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama, yuslimu, islaman, yang berarti memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan
berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Seseorang yang bersikap demikian dinamakan Muslim, yaitu orang yang telah
menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, patuh, dan tunduk kepada Allah Alim, 2011: 91. Ini berarti hakikat bagi orang-orang
yang selamat adalah orang-orang yang taat kepada Allah swt, dan ketaatan tersebut didasarkan atas ilmu –yang bersumber dari wahyu-
yang senatiasa dimalkan. Oleh karenanya, dapat dipahami bahwa As-Sunnah merupakan ajaran Nabi saw, yang bersifat integral antara
ilmu dengan amal, sehingga hal itu bisa menambah rasa tunduknya pada Allah swt.
3 Al-Jama’ah
Al-Jama’ah berasal dari kata jama’ah artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain. Kata
“Jama’ah” juga berasal dari kata ijtima’ perkumpulan, yang merupakan lawan kata dari tafarruq perceraian dan juga lawan
dari kata furqah perpecahan. Jama’ah adalah sekelompok orang banyak; dan dikatakan juga sekelompok manusia yang berkumpul
berdasarkan satu tujuan. Selain itu, jama’ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu masalah. Secara terminologis al-Jama’ah
adalah kelompok kaum muslimin dari para pendahulu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan
mereka sampai hari kiamat. Mereka berkumpul berdasarkan
Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
119
Alquran dan As-Sunnah, dan mereka berjalan sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Saw. baik secara lahir maupun batin
Navis, 2012: 4.
Jama’ah ini merupakan kelompok mayoritas, pada mereka terdapat ilmu, hikmah, akal, kebijakssanaan, khilafah, kepemimpinan,
pemerintahan, dan politik. Merekalah yang mengatur pelaksanaan shalat jumat, majlis pertemuan, shalat jama’ah, mengatur masjid,
mengatur pelaksanaan ibadah haji, hari raya, dan jihad. Mereka juga mengatur moneter negara, baik pemasukan dan pengeluaran, menjaga
benteng pertahanan dan beberapa kantor. Mereka adalah orang yang selalu berjihad di jalan Allah sekaligus sebagai pengikut setia rasul.
Cengkrama mereka tentang zuhud. Setiap hembus nafas mereka selalu terjaga. Setiap zaman mereka selalu menjadi tauladan. Petuah
mereka sebagai pencegah. Ajakan mereka adalah akhirat selamat. Kehidupan mereka sebagai kaca benggala. Kematian mereka menjadi
ibrah. Kubur mereka menjadi tempat ziarah. Tapak tilas mereka tidak pernah lekang oleh waktu. Selamanya mereka tidak akan pernah
dilupakan. Dan semua hati mencintai mereka Lirboyo Press, 2007: 19. Ini berarti, kata al-Jama’ah yang dimaksud bukanlah kelompok
ataupun aliran. melainkan Jama’ah yang dimaksud disini ialah orang- orang yang telah mengamalkan ilmunya, dengan tujuan agar selamat
id-dunya wal akhirat. Amalan tersebut tidak hanya beorientasi pada hal-hal ukhrawi, tetapi berorientasi pula pada hal-hal yang duniawi
profan, semuanya bersifat terpadu dengan hanya satu tujuan, yakni selamat dalam arti tunduk pada Allah.
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa aswaja bukanlah kelompok, golongan, aliran, sekte apalagi dipahami hanya
sebagai jalan yang benar. Tetapi, aswaja merupakan orang-orang yang tunduk pada Allah swt, yang bermuara dari ilmu dan amalnya.
c. Ma An ‘Alaihi Al-Yaum Wa As}-h}abi
Banyak para ulama yang sudah menafsirkan kalimat ini, dan semuanya memiliki substansi yang sama, walau berbeda redaksinya.
Diantaranya Kiai Abdul Muchith Muzadi menjelaskan Maa Ana ‘Alaihi Wa Ash-haabi sebagai berikut:
“Kiranya tidak meleset dari kebenaran, kalau Maa Ana ‘Alaihi Wa Ash- haabi, dijelaskan dengan kata-kata: ajaran wahyu Allah swt yang aku
sampaikan kepada sahabatku dan aku amalkan bersama mereka. Dengan
Nur Hidayah
120
Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam
kata lain, Ma Ana
‘Alaihi Wa As
}
-h
}
a bi
ajaran Islam yang paling murni, otentik, baku, dan standart. Dengan pemikiran, semua kaum Muslimin di
zaman Rasulullah saw bersama sahabat adalah penganut Ahlussunnah Wal-Jama
’ah yang tidak masuk neraka” Muzadi, 2006: 146.
Penjelasan serupa juga dikatakan oleh Masyhudi Muchtar, menurutnya:
“Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah ajaran wahyu Allah swt disam- paikan kepada sahabat-sahabatnya dan aku amalkan bersama
mereka.”Muchtar, 2007: 3.
Substansi dari penjelasan tersebut mengenai Ma An ‘Alaihi Wa As}-h}abi pada dasarnya hanyalah pada ilmu dan amal sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam sub-bab Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebelumnya. Jawaban Nabi mengenai pertanyaan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah sebenarnya merupakan suatu bentuk perintah dan penegasan beliau bagi umat Islam untuk mengikuti Nabi saw, agar
bisa selamat pada tujuannya. Nur Uhbiyati dalam bukunya Dasar- Dasar Ilmu Pendidikan Islam menjelaskan ada tiga faktor mengapa
harus mengikuti Nabi Saw:
a. Nabi Muhammad saw, sebagai utusan Tuhan, merupakan orang yang paling tahu tentang agama yang dibawanya Islam, dan
paling sempurna dalam hal mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam.
b. Seorang Islam selain diharuskan taat kepada Allah, juga harus patuh dan mengikuti jejak langkah orang yang menjadi Nabi
saw, dan utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad QS. An-Nisa`: 59, QS. Al-Anfal: 20.
c. Dalam kenyataannya pribadi Nabi Muhammad saw, adalah sangat mulia dan disebut insan kamil artinya manusia sempurna.
Kesempurnaan ini tidak terjadi sjak masa kenabian, tetapi semenjak beliau belum diutus menjadi Nabi saw Uhbiyati,
2013: 27.
Berbagai uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah bukanlah aliran maupun kelompok. Tetapi
Ahlussunnah Wal-Jama’ahadalah orang-orang yang tunduk pada Allah swt. yang bermuara dari ilmu dan amalnya.
Redeinisi Ontologi Aswaja dalam Pendidikan Ma’arif di Era kontemporer
Vol. 10, No. 1, Februari 2015
121
C. simpulan