FAKTOR PENYEBAB PELARIAN NARAPIDA DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A DI WAY HUI

(1)

ABSTRAK

FAKTOR PENYEBAB PELARIAN NARAPIDA DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A DI WAY HUI

OLEH VENELIA HATI

Sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum sudah ada sejak dulu, tetapi sudah berbeda sesuai dengan perkembangan zaman mengingat semakin banyaknya jumlah kejahatan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka para penegak hukum tertantang untuk melakukan tindakan baik yang bersifat preventif yaitu peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan melanggar hukum maupun yang bersifat represif yaitu dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan, dan selain itu juga mengusahakan agar si pelaku tindak kejahatan itu tidak mengulangi perbuatannya. Apalagi dalam menghadapi kehidupan yang serba sulit saat ini sebagian orang akan berpikir secara pintas, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Akan tetapi napi tidak berpikir positif mereka berfikir tidak mendapat keadilan maka ada narapidana yang memutuskan untuk melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan. Berdasarkan uraian tersebut penulis mengajukan permasalahan sebagai berikut : 1) Apakah faktor penyebab larinya narapidana narkotika dari lembaga Pemasyarakatan di Way Hui? 2) Bagaimanakah penanggulangan kejahatan terhadap pelarian narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan di Way Hui.

Penulisan skripsi ini menggunakan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normative berpijak pada norma dan kaidah yang terdapat dalam aturan hukum positif yang berpedoman pada peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelititan ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang berlaku di lapangan. Metode yang digunakan dalam menentukan sampel dari populasi adalah metode proporsional purposive sampling, yaitu metode pengambilan sampel dimana dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulisan dalam rangka memenuhi data yang dibutuhkan. Sampel dalam penelitian ini adalah 3 (tiga) orang petugas Lembaga Pemasyarakatan, 2(dua) orang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Way Hui,1 (satu) orang dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Venelia Hati Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan yang menjadi 1) Faktor penyebab larinya narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika klas II A di Way Hui ada 2 yaitu a) Faktor ekstern yaitu Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang kurang mencukupi, banyaknya


(2)

petugas yang belum mendapat pelatihan tentang teknis pembinaan dan pengamanan, kondisi bangunan yang kurang memadai, ruangan napi yang belum sesuai karena sudah melebihi kapasitas daya tampung. b) Faktor intern yaitu napi yang sudah merasa jenuh dan bosan, ada perselisihan antara sesama napi disel tahanan, berada dilembaga pemasyarakatan menyebabkan narapidana menjadi tertekan dan setress yang dapat mengakibatkan dampak yang lebih buruk yaitu lari dari lapas. 2) upaya penanggulangan pencegahan terhadap pelarian napi dilakukan hal sebagai berikut : a. kebijakan penal yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan terhadap napi yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan apabila napi tersebut tertangkap kembali maka ia akan mendapatkan tambahan masa hukuman sesuai dengan berapa lama ia melarikan. Apabila ia melakukan tindak pidana selama ia melarikan diri maka ia akan disidang kembali dipengadilan dan masa tahanannya akan ditambah sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang telah dilakukannya. Setelah ia dijatuhi hukuman kembali maka tingkat penjagaan pada dirinya akan diperketat dan napi tersebut tidak boleh menerima kunjungan dari keluarga atau sahabat selama waktu yang telah ditentukan dan napi tersebut tidak mendapatkan remisi dan cuti menjelang bebas akan dicabut. b. kebijakan non penal Lembaga Pemasyarakatan dalam hal upaya penanggulangan terhadap pelarian napi melakukan Peningkatan disiplin kerja petugas Lembaga Pemasyarakatan begitu pula dengan napi dilakukan absen setiap pagi disel-sel napi. Membuka dialog kepada napi sehingga napi dapat menerima pembinaan yang diberikan petugas pembinaan lapas kepada napi. Memfungsikan sarana dan prasarana seperti tempat olahraga yaitu sepak bola, bulu tangkis dan membuat kerajinan tangan seperti menjahit, membuat bingkai dan lain-lain. Bagian pengamanan juga meningkatkan keamanan seperti pemeriksaan terhadap barang bawaan yang dibawa keluarga napi pada saat napi menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat. Kemudian diadakan penggeledahan badan dan pemeriksaan barang-barang atau alat-alat kerja setiap pagi, bagi mereka yang bekerja diluar tembok lapas, baik sebelum keluar maupun saat akan masuk. Pemeriksaan dilakukan oleh dua orang petugas penjaga gerbang lembaga pemasyarakatan,

Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam bagian penutup penulis memberikan beberapa saran yaitu: 1) Perlunya diberikan penyuluhan kepada masyarakat umum untuk menjaga keamanan dan mematuhi peraturan yang berlaku, sehingga menciptakan warga yang taat hukum. 2) Kesejahteraan petugas pemasyarakatan pada umumnya hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah, sehingga mereka semakin giat bekerja dan disiplin. mengingat pengabdian yang mereka berikan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan untuk kepentingan mereka sendiri. 3) Narapidana hendaknya menyadari bahwa diadakan tujuan pembinaan supaya kelak mereka bebas tidak mengulangi tindak kejahatan dikemudian hari.


(3)

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum sudah ada sejak dulu, tetapi tata cara sudah berbeda sesuai dengan perkembangan zaman mengingat semakin banyaknya jumlah kejahatan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka para penegak hukum semakin tertantang untuk melakukan tindakan baik yang bersifat preventif yaitu peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum maupun yang bersifat represif yaitu dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan, dan selain itu juga mengusahakan agar si pelaku tindak kejahatan itu tidak mengulangi perbuatannya, apalagi dalam menghadapi kehidupan yang serba sulit saat ini sebagian orang akan berpikir secara pintas, untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum seperti pencurian, pembunuhan, memakai dan mengedarkan narkotika dan perampokan dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut dapat terjadi dimana saja dan setiap hari media cetak atau surat kabar maupun melalui ponsel memuat berita-berita yang meresahkan masyarakat.

Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti hal yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat. Menurut Reglemen 1917 Pasal 28 Ayat (1) penjara adalah tempat pembalasan yang setimpal atau sama


(4)

atas perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh sipelaku tindak pidana dan juga sebagai tempat pembinaan terhadap narapidana atau pelaku tidak pidana. Istilah ini dicetuskan pertama kali oleh Sahardjo, S.H. yang menjabat Menteri Kehakiman RI saat itu. Pemasyarakatan dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan antara Warga Binaan Pemasyarakatan dengan Masyarakat.

Pada perkembangan selanjutnya Sistem Pemasyarakatan mulai dilaksanakan sejak Tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan. Mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mengatakan bahwa pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya. Undang–Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang pemasyarakatan memiliki Program kebijakan itu antara lain Asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. Kemudian Reintegrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 dan 2, undang-undang nomor 12 tahun 1995, tentang Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan, Pemasyarakan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan memiliki masalah, belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri,


(5)

mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan.

Didudukung dengan PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan dalam rumah tahanan Negara untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan penyidikan disidang pengadilan. Pasal 2 huruf b bab II pengertian Kep. Men Kehakiman Republik Indonesia. NO. M.02 PK. 04.01 Tahun 1990 tentang pola pembinaan tahanan dalam bab VII tentang pelaksanaan pembinaan narapidana. Berikut ini merupakan contoh kasus napi yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan kasus pertama napi kabur Senin, 24 Januari 2011 | 20:25 WIB AWAL 2011 merupakan masa kelam bagi jajaran Kementrian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Lampung diawal tahun ini sudah ada dua kasus pelarian tahanan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) Metro dengan meloloskan sembilan narapidana (napi) kabur. Ironisnya, dua kasus itu terjadi hanya berselang dua pekan saja. Kasus pertama terjadi pada 4 Januari lalu, Saat itu 5 narapidana yang menghuni kamar 27 blok B lapas tersebut kabur pukul 03.30 WIB. Mereka adalah Hasmi Rahmat, Supriyanto, Indra Yani, Tabrani, dan Dadang Apriyana. Para napi itu kabur dengan memanfaatkan sarung dan ikat pinggang untuk memanjat plafon serta tembok dinding tahanan setinggi 3 meter. Kejadian serupa kembali terulang 4 tahanan pada 18 januari di kamar 5 blok A sukses melenggang sekitar pukul 03.30 WIB. Keempat tahanan itu adalah Edi Sanjaya, Aris Riyadi, Rusli Harahap, dan Sutio. Mereka kabur dengan membobol tembok lapas menggunakan linggis. Sehingga bulan Januari ini saja sudah 9 tahanan yang berhasil kabur. Dari jumlah itu baru satu tahanan yaitu Supriyanto yang berhasil ditangkap. Kasus ini belum ditambah dengan kasus pelarian tahanan pada 2010


(6)

lalu. Kala itu tercatat ada 17 Napi berhasil meloloskan diri dari lembabnya jeruji besi lapas/rutan 6 diantaranya yang berhasil ditangkap. (http://radarlambar.co.id, Diakses tgl 27 maret 2011)

Kasus yang kedua Berpura-pura mau buang air kecil, seorang tahanan gembong narkoba berhasil kabur. Indra Jaya alias Inbes , 39, yang divonis 4 tahun penjara berhasil mengelabui 2 petugas rutan yang mengawalnya, di dekat lapangan Way Halim, Sabtu (8/05) sekitar pukul 17.30 WIB. Kepala Lembaga Pemasyarakatan Way Hui, Riyanto, mengatakan, kaburnya tahanan narkoba ini karena kelalaian kedua anak buahnya yang melakukan pengawalan saat itu. Napi Indra Jaya baru satu tahun menjalani hukuman dan masih 3 tahun lagi. Pada sore itu, Indra mengeluh perutnya sakit sekali hingga pihak Rutan langsung membawa Indra ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeluk, Bandar lampung. Di tengah perjalanan tepatnya di Taman Kota Way Halim, Bandar lampung, Indra minta izin mau buang air kecil. Kedua penjaga mengizinkan hanya saja tidak mengawasi dari dekat sehingga Indra bisa kabur dengan leluasa. Kedua petugas Lapas mencoba mencari tapi Indra tidak ditemukan sehingga mereka kembali ke Lapas tanpa tahanan. Selanjutnya Ka. Lapas Way Hui, masalah anggota yang lalai saat mengawal tahanan sudah dibuatkan berita acara pemeriksaan dan menyerahkan sepenuhnya ke Kanwil Kementrian Hukum dan HAM Lampung untuk ditindak tegas.

Berdasarkan kasus di atas yang menjadi faktor penyebab pelarian narapidana dari Lapas adalah murni kesalahan dari kedua petugas lalai dalam menjaga narapidana yang mengakibatkan larinya napi tersebut. Maka sudah sepantasnya petugas tersebut yang telah melalaikan tugas mendapatkan sanksi dari Lembaga Pemasyarakatan tempatnya bekerja. Dan narapidana tersebut tertangkap kembali maka napi tersebut akan mengganti masa tahanannya dihitung selama ia


(7)

melarikan diri dari Lapas. Dan hukuman yang diberikan adalah pencabutan hak-hak tertentu narapidana misalnya hak mendapatkan remisi, hak untuk mendapatkan kunjungan .

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah :

a. Apakah faktor penyebab larinya narapidana narkotika dari lembaga Pemasyarakatan Way Hui?

b. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan terhadap pelarian narapidana dari LP Way Hui?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan hukum pidana, yang menjadi ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi pada faktor penyebab pelarian narapidana dari lembaga pemasyarakatan narkotika dan upaya penanggulangan kejahatan terhadap pencegahan napi dari lembaga pemasyarakatan. Dengan lokasi penelitian di wilayah Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A di Way Hui Kec.Sukarame Bandar Lampung.

C. Tujuan dan kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian

Di dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang hendak disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui faktor penyebab larinya narapidana narkotika dari lembaga pemasyarakatan Way Hui


(8)

b. Mengetahui penanggulangan kejahatan terhadap pelarian narapidana narkotika dari lembaga pemasyarakatan Way hui

2. Kegunaan Penelitian a. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum pidana tentang sistem pemasyarakatan dan upaya penanggulangan kejahatan.

b. Secara praktis

Berguna untuk memberi bahan masukan bagi para pelaksana pengadilan dapat mengerti bahwa sesungguhnya nara pidana juga manusia dan sepatutnya kita memperhatikan pula hak-haknya sebagai manusia untuk mendapatkan makanan, pakaian, tempat tinggal, apalagi pendidikan yang layak. Narapidana memang pelanggar hukum, tapi seringkali kita lupa bahwa mereka juga manusia. Dan tingkatkan pengawasan sehingga dapat dicegah narapidana melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan.

D. Kerangka teoritis dan konseptual 1.Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep–konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan tehadap dimensi–dimensi sosial yang relevan untuk penelitian ( Soerjono Soekanto . 1986 : 123 ).

Penulis menggunakan pendapat ahli hukum yang mengemukakan tentang sebab-sebab mengapa orang melakukan tindak kejahatan dan bagaimana upaya penanggulangan kejahatan baik


(9)

pendekatan secara penal dan nonpenal perlu juga didukung tingka kesadarannya akan hukum. Dibawah ini akan dikemukakan beberapa teori sebagai berikut:

a. Teori sebab-sebab orang melakukan kejahatan.

Teori-teori kriminologi dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kejahatan atau penyebab kejahatan. Menurut Ramli Atmasasmita (2005) menjelaskan ada beberapa teori-teori sebab orang melakukan kejahatan tersebut antara lain: 1. Teori Asosiasi Diferensial. perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab. Tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, dan yang dipelajari dalam kelompok adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan yang mendukung perbuatan jahat.

2. Teori Anomi

Emile Durkheim (1893), mendefinisikan sebagai keadaan tanpa norma (deregulation) di dalam masyarakat. Keadaan deregulation atau normlessness tersebut kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Kata anomi telah digunakan untuk masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama.

3. Teori Subkultur


(10)

a. Teori delinquent subculture, yaitu teori yang dikemukakan oleh A.K. Cohen yang dalam penelitiannya dijelaskan bahwa perilaku delinkuen lebih banyak terjadi pada laki-laki kelas bawah dan mereka lebih banyak membentuk gang. Tingkah laku gang subkultur bersifat tidak berfaedah, dengki dan jahat. Terdapat alasan yang rasional bagi delinkuen subkultur untuk mencuri (selain mencari status kebersamaan) mencari kesenangan dengan menimbulkan kegelisahan pada orang lain. Mereka juga mencoba untuk meremehkan nilai-nilai kelas menengah.

b. Teori differential opportunity, yaitu teori yang dikemukakan oleh R.A. Cloward pada tahun 1959. Menurut Cloward tidak hanya terdapat cara-cara yang sah dalam mencapai tujuan budaya tetapi terdapat pula kesempatan-kesempatan yang tidak sah. Ada tiga bentuk subkultur delinkuen, yaitu a. criminal sub culture, b. conflict sub culture, c. retreatis sub culture. Dalam teorinya Cloward dan Ohlin menyatakan bahwa timbulnya kenakalan remaja lebih ditentukan oleh perbedaan-perbedaan kelas yang dapat menimbulkan hambatan-hambatan bagi anggotanya, misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan sehingga mengakibatkan terbatasnya kesempatan bagi anggotanya untuk mencapai aspirasinya.

4. Teori Label

Tokoh penting dalam pengembangan teori label adalah Howard S. Becker dan Edwin Lemert. Teori ini muncul pada awal 1960-an untuk menjawab pertanyaan tentang kejahatan dan penjahat dengan menggunakan perspektif yang baru. Menurut Becker, bahwa kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan, sifat individual, dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Telah menjadi kesepakatan para penganut teori label, bahwa proses pemberian label merupakan penyebab seseorang untuk menjadi jahat.


(11)

5. Teori konflik

Teori konflik adalah teori yang mempertanyakan hubungan antara kekuasaan dalam pembuatan undang-undang (pidana) dengan kejahatan, terutama sebagai akibat tersebarnya dan banyaknya pola dari perbuatan konflik serta fenomena masyarakat (masyarakat Amerika Serikat) yang bersifat pruralistik (ras, etnik, agama, kelas sosial). Mereka yang memiliki tingkat kekuasaan yang lebih besar, memiliki kesempatan yang lebih besar dalam menunjuk perbuatan-perbuatan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Menurut teori konflik, suatu masyarakat lebih tepat bercirikan konflik dari pada konsensus.

6. Teori Kontrol Sosial

Teori kontrol sosial merupakan suatu teori yang berusaha menjawab mengapa orang melakukan kejahatan. Teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan, tetapi mempertanyakan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat terhadap hukum? Teori kontrol sosial berusaha menjelaskan kenakalan para remaja yang oleh Steven Box (Hendrojono, 2005: 99) dikatakan sebagai deviasi primer. Teori kontrol sosial memandang setiap manusia merupakan makhluk yang memiliki moral yang murni. Oleh karena itu setiap orang memiliki kebebasan memilih berbuat sesuatu. Apakah ia akan berbuat menaati aturan yang berlaku atau melanggar aturan-aturan yang berlaku. Tindakan yang dipilih itu didasarkan pada ikatan-ikatan sosial yang telah dibentuk.


(12)

Dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan tidak cukup hanya dengan pendekatan secara integral, tetapi pendekatan sarana penal dan non penal tersebut harus didukung juga dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada

persepsi bahwa

budaya Kebijakan penanggulangan kejahatan atau penanggulangan kejahatan yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter. Hoefnagels, The Other Side Of Criminology (1969 : 56) upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana; b. Pencegahan tanpa pidana;

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan.

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal dan lewat jalur non penal. Dalam pembagian diatas upaya upaya–upaya yang disebut dalam butir b dan c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat penindasan sesudah kejahatan terjadi sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat pencegahan sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas menurut sudarto. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor–faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor–faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah–masalah atau kondisi–kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan. Dengan demikian


(13)

dilihat dari sudut politik kriminil secara makro dan global, maka upaya–upaya non penal menduduki kunci dan strategis dari keseluruhan politik kriminil. Menurut Gene Kassebaum dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992 : 149).

2.Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep–konsep khusus yag merupakan kumpulan dari arti–arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 132).

Pokok permasalahan dan pembahasan dalam skripsi ini agar tidak terjadi kesalahpahaman, maka dibawah ini ada beberapa konsep yang bertujuan menjelaskan istilah–istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami isi skripsi ini, yaitu sebagai berikut :

a. Faktor adalah sesuatu hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:279).

b. Sebab adalah sesuatu yang mengakibatkan hal tanpa dibuat– buat (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

c. Narapidana adalah adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (UU No. 12 Tahun 1995 Pasal 1 ayat (7)).

d. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12 1995 Pasal 1 ayat (3)).

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana


(14)

terlampir dalam Undang-Undang Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1 ayat (1)).

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan ,maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan skripsi dengan Judul

“Faktor penyebab pelarian narapidana dari lembaga pemasyarakatan narkotika klas II A di Way Hui”. Kemudian dalam bab ini juga memuat perumusan masalah dan pembatasan ruang lingkup masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum Lembaga Pemasyarakatan Way Hui, pengertian narapidana, sistem pemasyarakatan di indonesia, upaya penanggulangan kejahatan.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas mengenai langkah–langkah atau cara yang dipakai dalam penulisan skripsi ini, yang meliputi pendekatan masalah yang digunakan dalam membahas skripsi ini, yang meliputi pendekatan masalah yang digunakan dalam membahas skripsi, sumber dan jenis data, populasi dan sample, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.


(15)

Bab ini menguraikan tentang faktor penyebab larinya narapidana dan upaya penanggulangan kejahatan dalam mencegah pelarian narapidana dari LP.

V. PENUTUP

Bab ini menguraikan dua hal, yaitu kesimpulan dari hasil penelitian ini dan saran terhadap sistem pemasyarakatan dan upaya penanggulangan kejahatan dalam mencegah pelarian narapidana dari LP.


(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Di Way Hui.

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika di Jalan Raya Way Hui, Sukarame dipimpin oleh Riyanto, Bc. IP, SH. Lembaga Pemasyarakatan tersebut berdiri pada tahun 2004. Memiliki kapasitas 155 orang. Dengan luas tanah 22.500 m2 dan luas bangunan 17340 m2 memiliki jumlah 4 blok dan blok khusus narkotika adalah blok A, B, C. Jumlah pegawai seluruhnya 73 orang terdiri dari 64 orang laki–laki dan 9 orang wanita. Terdapat dokter

umum 1 orang dan 2 orang bekerja sebagai perawat. Lembaga pemasyarakatan memiliki beberapa fasilitas sebagai berikut:

1. Klinik umum. 2. Ruang rawat inap. 3. Ruang konsultasi. 4. Kamar obat.

5. Ruang tunggu pasien. 6. Ambulance

7. Alat kedokteran umum. 8. Alat kedokteran gigi. 9. Alat Lab sederhana

10. Tempat penyimpanan obat khusus.

Lembaga pemasyarakatan narkotika sekarang dihuni oleh 520 orang narapidana yang terdiri dari pemakai, pengedar, produsen. Kemudian jumlah penghuni yang mengikuti Theraputic Community atau terapi sosial ada 43 orang narapidana. Lembaga


(17)

Pemasyarakatan dipimpin oleh Kalapas dibawahnya ada Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Pembinaan Narapidana Dan Anak Didik, Seksi Kegiatan Kerja, Bidang Keamanan.

No Kepegawaian Laki-laki Perempuan

1. Jumlah pegawai seluruhnya 64 orang 9 orang

2. Jumlah Dokter umum - 1 orang

3. Jumlah Dokter gigi -

-4. Jumlah Perawat 2 orang

-Data Kepegawaian Tahun 2011.

Dalam hal pencegahan larinya narapidana petugas bagian bidang keamanan melakukan hal sebagai berikut:

a. Menunjuk petugas piket malam oleh para staf, kontrol malam oleh kasi dan kasubsi. b. Diadakan penggeledahan barang bawaan keluarga napi yang berkunjung oleh petugas

lapas.

c. Diadakan penggeledahan blok–blok hunian oleh Plh kalapas

d. Diadakan penggeledahan badan dan pemeriksaan barang–barang atau alatalat kerja

bagi mereka yang bekerja diluar tembok lapas, baik sebelum keluar maupun masuk kembali.


(18)

No Sarana Di Lapas/Rutan ADA TIDAK ADA

1. Klinik Umum ν

-2. Klinik Gigi ν

-3. Ruang Rawat Inap ν

-4. Ruang Konsultasi ν

-5. Kamar Obat ν

-6. Ruang Tunggu Pasien ν

-7. Ruang Laboratorium - Ν

8. Ruang Isolasi untuk perawatan penderita putus obat

- Ν

9. Ambulance ν

-10. Alat Kedokteran Umum ν

-11. Alat Kedokteran Gigi ν

-12. Alat Lab sederhana ν

-13. Ruang serba guna ν


(19)

B. Pengertian Narapidana

Berdasarkan undang–undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan Pasal 1

Ayat (7) narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Maksud dijatuhkannya hukuman/pidana hilang kemerdekaan adalah:

1. Supaya manusia yang dihukum menyadari bahwa ia telah berbuat salah pada masyarakat dan karena diasingkan untuk sementara waktu dari pergaulan masyarakat ramai dan karena perbuatan yang salah itu ia sepantasnya harus menerima dengan sabar akan hukuman yang setimpal.

2. Agar terhadap orang yang dihukum itu diusahakan segala sesuatu menuju kearah perbaikan diri pribadinya. Hal tersebut dapat dicapai dengan jalan memberitahukan kepada narapidana tersebut tentang hak dan kewajibannya.

3. Aspek sosiologis tujuan penghukuman adalah perlindungan pada pelanggar hukum tersebut dan juga perlindungan terhadap masyarakat.

4. Narapidana yang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan harus dapat berperan aktif dan mendukung program pembinaan dan keamanan di Lembaga Pemasyarakatan dengan bantuan dan bimbingan petugas dan tentu saja peran serta masyarakat. Karena pada akhirnya mereka juga akan kembali dan bersosialisasi dengan masyarakat.

Napi menurut pasal 1 nomor 7, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 merupakan terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana mempunyai hak yang sama meskipun


(20)

sebagian hak-haknya untuk sementara dirampas oleh negara. Adapun hak-hak narapidana yang dirampas oleh negara untuk sementara berdasarkan Deklarasi HAM PBB 1948, yaitu:

a. Hak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam lingkungan batas-batas tiap negara. (Pasal 13 ayat (1));

b. Hak meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri (Pasal 13 ayat (2)); c. Hak mengemukakan pendapat, mencari, menerima dan memberi informasi (Pasal 19); d. Kebebasan berkumpul dan berserikat (Pasal 20);

e. Hak memilih dan dipilih (Pasal 21); f. Jaminan sosial (Pasal 22);

g. Hak memilih pekerjaan (Pasal 23);

h. Hak menerima upah yang layak dan liburan (Pasal 24); i. Hak hidup yang layak (Pasal 25);

j. Hak mendapatkan pengajaran secara leluasa (Pasal 26); k. Kebebasan dalam kebudayaan (Pasal 27).

Sedangkan hak-hak yang dapat dicabut dalam Pasal 35 KUHP dapat dirinci sebagai berikut:Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;Hak memasuki angkatan bersenjata; 1. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang didasarkan atas aturan-aturan umum;

2. Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak-anak sendiri;

3. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;


(21)

Hak-hak yang dicabut oleh KUHP ini merupakan pidana tambahan yang sifatnya fakultatif. Artinya, penjatuhan pidana tambahan tidak bersifat serta-merta, tergantung dari pertimbangan hakim. Dan, tidak pidana pokok senantiasa diiringi dengan pengenaan pidana tambahan tersebut. Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi HAM PBB ini, juga telah dirumuskan secara singkat dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang berbunyi sebagai berikut:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan

dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Hak-hak Asasi manusia yang telah tersebut di atas, kemudian dijabarkan lagi dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yaitu:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaan; 2. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaan;

4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

5. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masaa lainnya yang tidak larangan; 6. Mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

7. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya; 8. Mendapat pengurangan masa pidana (remisi);

9. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 10. Mendapatkan pembebasan bersyarat;


(22)

12. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Narapidana adalah manusia yang memiliki spesifikasi tertentu, secara umum Narapidana adalah manusia biasa seperti kita semua, namun kita tidak dapat begitu saja menyamakan begitu saja. Dalam konsep pemasyarakatan baru Narapidana bukan saja sebagai obyek melainkan juga sebagai sebagai subyek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenai pidana, sehingga tidak harus diberantas. Bagaimanapun juga Narapidana adalah manusia yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi lebih produktif, untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjadi pidana. Sistem pemasyarakatan erat kaitannya dengan pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan. Menurut Erlangga (2007) faktor yang mempengaruhi perilaku narapidana yaitu sebagai berikut :

a.Lost of liberty(hilangnya kebebasan)

Setiap narapidana akan merasa kehidupannya semakin terkekang sempit dan terbatas, dimana mereka tidak hanya terkungkung pekatnya penjara, tetapi juga terbatasnya ruang spiritualnya. b.Lost of outonomy(hilangnya otonomi)

Setiap orang yang telah dikategorikan sebagai narapidana secara tidak langsung akan kehilangan sebagian haknya, khususnya masalah pengaturan dirinya sendiri, dan mereka diharuskan untuk tunduk kepada aturan–aturan yang berlaku dilingkungan bui, akibatnya mereka menghadapi depersonalisasi.

c. Lost of Good and service Ketidak bebasan


(23)

memicu perilaku – perilaku baru, seperti mencurigai sesama narapidana dan negosiasi atau menyuap sipir penjara demi suatu tujuan tertentu, masuknya barang-barang terlarang (narkoba dan senjata).

d.lost of hetero seksual relationship Hilangnya

kesempatan untuk menyalurkan nafsu seksual d engan lawan jenis sehingga mengakibatkan perilaku-perilaku seks yang menyimpang (homoseksual, perkosaan homoseksual dan pelacuran homoseksual).

e. lost of security Suasana keterasingan

sebagai akibat hilangnya komonikasi dengan keluarga, teman sehingga menimbulkan persaingan anatara narapidana pada giliranya akan berubah menjadi bentuk-bentuk kekwatiran dan kecemasan bagi individu-individu.

Muladi ( 2007) Menyatakan bahwa perilaku narapidana adalah cerminan budaya sebelum narapidana tersebut masuk penjara (Importansi Nilai) dalam pembinaan terhadap perilaku narapidana dilaksanakan berbagai upaya melalui ; bimbingan mental, bimbingan vocational dan bina spritual, disamping hal tersebut dalam rangka pembinaan yang lebih dalam besukan keluarga diberikan kepada narapidana agar dapat berinteraksi dengan baik dengan masyarakat. Sistem pengawasan narapidana terhadap penjagaan napi disel tahanan dilakukan dengan sistem pengawasan personal dengan pendekatan individu. Petugas bisa berkomunikasi dengan semua narapidana yang ada di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Para napi memiliki kegiatan atau jadwal hal-hal yang harus dilakukan seperti misalnya; pembinaan agama, penyuluhan hukum, peyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan rutin, pemberian keterampilan. Para narapidana diberikan pendidikan keterampilan seperti menjahit, menyulam, membuat bingkai.semua keterampilan


(24)

tersebut dibantu oleh tenaga ahli yang sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dan diharapkan keterampilan tersebut dapat dimanfaatkan setelah ia menjalani masa hukumannya (bebas).

Narapidana memiliki permasalahan kebanyakan dari mereka setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas murni ataupun yang masih dalam bimbingan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) tidak mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada dilapas tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari pekerjaan diluar Lapas. Sedangkan hasil dari pembimbingan yang dilakukan petugas pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian keterampilan kerja namun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai menyalurkan ke tempat kerja dari pihak lembaga pemasyarakatan sendiri belum bisa menyalurkan, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri dan hal ini menjadi dilema bagi napi disatu sisi keberadaan mantan narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap masih dianggap jahat. Disisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran kebursa kerja ataupun pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi narapidana maupun mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha sendiri yang kemudian hari dalam diri napi tersebut muncul persepsi bahwa dirinya tidak diterima dilingkungannya dan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan pintas yaitu mengulangi tindakannya yang melanggar hukum. Menurut Edwin Lemert tindakan penyimpangan dibagi menjadi dua yaitu:

1. Prilaku menyimpang Primer dapat terjadi pada setiap orang manakala orang tersebut ditangkap atau ditahan mendapat stigmatisasi atau anggapan dikeluarkan dari interaksi dengan


(25)

sistem nilai yang berlaku sebelumnya dimasyarakat, untuk selanjutnya didorong dalam keadaan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang yang mendapatkan stigmatisasi yang sama.

2. Prilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya stigmatisasi formal ini. Yang dapat mempengaruhi timbulnya prilaku-prilaku kriminal yang sekunder yang sering kali sulit diatasi seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.

C. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia 1. Sejarah Sistem Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan HAM sebagai payung sistem pemasyarakatan Indonesia, menyelenggarakan sistem pemasyarakatan agar narapidana dapat memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga narapidana dapat diterima kembali dalam lingkungan masyarakatnya, kembali aktif berperan dalam pembangunan serta hidup secara wajar sebagai seorang warga negara.

Konsep Pemasyarakatan di indonesia diperkenalkan secara formal oleh Sahardjo S.H. beliau adalah menteri Kehakiman Republik Indonesia.menjelaskan bahwa tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, juga ditujukan untuk membimbing terpidana agar bertobat, mendidik, supaya ia menjadi orang yang berguna. Perumusan lebih jauh menurut konsep pemasyarakatan dalam konferensi tersebut telah dirumuskan sepuluh prisip umum pemasyarakatan yaitu:

a. Orang yang tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.


(26)

b. Menyatakan pidana bukan merupakan tindakan balas dendam dari negara. c. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan .

d. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat dari pada sebelum ia masuk dalam lembaga.

e. Selama ia kehilangan kemerdekaan bergerak terpidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari padanya.

f. Pekerjaan yang diberikan kepadanya tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepentingan jawatan atau kepentingan negara sewaktu saja.

g. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila.

h. Tiap orang adalah manusia dan harus diperhatikan sebagai manusia meskipun ia telah tersesat. i. Pidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan

j. Disediakan dan dipupuk sarana–sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif

Setelah munculnya pemasyarakatan pada tahun 1964 ini, diperlukan waktu lebih dari 30 tahun hingga indonesia memiliki undang–undang khusus tentang pemasyarakatan. Namun disisi lain lamanya rentang waktu untuk dibuatnya undang–undang khusus tentang pemasyarakatan memperlihatkan lemahnya perhatian proses politik, legislatif dan eksekutif. Dalam perkembangan selanjutnya pelaksanaan sistem pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya undang–undang nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.

2. Pembinaan Narapidana

Proses pembinaan berjalan selama 2/3 masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan, maka pembinaan dalam tahap ini memasuki pembinaan tahap akhir. Pembinaan tahap


(27)

akhir yaitu berupa kegiatan perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa pidana. Pada tahap ini, bagi narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat. Pembinaan dilakukan diluar Lapas oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang kemudian disebut pembimbingan Klien Pemasyarakatan.

a. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan

Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :

1. Sarana Gedung Pemasyarakatan

Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial,

dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.

2. Pembinaan Narapidana

Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).


(28)

Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

a. Pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan ada dua macam yaitu: 1. Pembinaan kepribadian

ditujukan untuk meningkatkan kesadaran mental dan fisik sehingga dapat menyadari kesalahan yang pernah dilakukan. Adalah bentuk–bentuk pembinaan kepribadian adalah sebagai berikut:

a) Pembinaan kesadaran mental dan fisik, kegiatan pembinaan kesadaran mental dan fisik, ditujukan untuk meneguhkan jasmani dan rohani narapidana narkoba, dapat melalui pendidikan/penyuluhan agama, pembinaan psikis dan pembinaan olahraga.

b) Pembinaan kesadaran berbangsa, bernegara, dan kesadaran hukum, dilakukan dengan cara dan metode seperti ceramah, diskusi, temuwicara, atau simulasi.

c) Pembinaan kemampuan intelektual, setiap narapidana narkoba yang buta huruf tanpa memandang usiadiberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan umum berupa paket A dan paket B.

d) Pembinaan sosial kemasyarakatan, dalam bentuk kegiatan kerja bakti diluar maupun didalam lingkungan lapas.


(29)

e) Pembinaan pencegahan kambuhan, melalului bimbingan personal yaitu bimbingan melalui konseling.

2. Pembinaan Kemandirian

Pembinaan kemandirian ditujukan untuk memberikan keterampilaan kepada narapidana agar dapat memiliki bekal hidup setelah selesai menjalani pidana. Pembinaan ini dalam bentuk: a) Latihan keterampilan pertanian, peternakan, perbaikan barang alat elektronik;

b) Keterampilan baris–berbaris, upacara; c) Keterampilan melaksanakan ibadah;

d) Melakukan pekerjaan diluar lembaga pemasyarakatan melalui asimilasi.

Dalam sistem pemasyarakatan terdapat pola pembinaan yang satu dan yang lain saling berhubungan yang terbagi dalam empat tahapan yaitu:

1. Tahap awal

Pembinaan yang diawali dengan mapenaling (masa pengenalan lingkungan) sejak diterima sekurang–kurangnya telah menjalani 1/3 masa pidana, sebenarnya didalam tahap ini masih dalam masamaksimum security.

2. Tahap lanjutan pertama

Pembinaan lanjutan pertama, diatas 1/3 sampai dengan sekurang–kurangnya ½ dari masa pidana sebenarnya. Pengawasan dilakukan mulai berkurang dan mendekatimedium security. 3. Tahap lanjutan kedua


(30)

Pembinaan lanjutan kedua, diatas 1/3 dan sekurang–kurangnya 2/3 dari masa pidana sebenarnya dengan tingkat pengawasan medium security. Disinilah narapidana memperoleh asimilasi yang bisa bekerja diluar lembaga pemasyarakatan.

4. Tahap akhir

Pembinaan lanjutan diatas 2/3 sampai selesai masa pidananya dengan tingkat pengawasan minimum security. Disinilah narapidana memperoleh hak–haknya menjelang bebas seperti cuti menjelang bebas ataupun pembebasan bersyarat.

Kepala bagian pembinaan pegawai pada bidang pembinaan, bidang kegiatan kerja dan bidang pengamanan Lapas mempunyai kepedulian yang sangat tinggi dalam menjalankan tugasnya masing-masing dapat menunjang keberhasilan pembinaan Narapidana. Narapidana pada saat menikmati hak-hak yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbing Warga Binaan Masyarakat. Salah satu hak tersebut adalah hak mendapat kunjungan dari keluarga, teman dekat, atau sanak saudara sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Narapidana diberi berkomonikasi secara langsung dengan orang-orang yang mengunjungi di ruang tamu. Semua hak yang diatur oleh perundang-undangan dapat diperoleh narapidana. Meskipun demikian, hak tersebut harus diimbangi dengan pemenuhan narapidana. Hak-hak tersebut akan diberikan jika narapidana memenuhi persyaratan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M 10 PK.04.10. Tahun 1999 tentang Assimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

2. Di catat dalam buku register lembaga pemasyarakatan anak; 3. Mendapatkan wali;


(31)

4. Memperoleh pelayanan kesehatan yang layak oleh dokter atau tenagakesehatan lainnya di dalam atau di luar Lapas dengan biaya negara;

5. Biaya pengobatan bagi yang sakit serius dan dirawat di rumah sakit pemerintah di tanggung oleh negara.

6. Mendapatkan makanan dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan;

7. Narapidana yang sakit berhak mendapat makanan tambahan dengan petunjuk dokter;

8. Menerima makanan dari luar Lapas setelah mendapat izin dari Kepala Lapas; 9. Narapidana yang berpuasa berhak mendapat makanan tambahan;

10. Berhak menyampaikan keluhan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan;

11. Memperoleh bahan bacaan atau informasi dari media massa diluar lembaga Pemasyarakatan ;

12. Menerima kunjungan dari keluarganya, penasehat hukumnya atau orang tertentu lainnya di ruangan khusus;

13. Mendapatkan Remisi;

14. Mendapatkan Asimilasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

15. Mendapatkan Cuti Mengunjungi Keluarga dan Cuti Menjelang Bebas; 16. Memperoleh Pembebasan Bersyarat;

17. Menjadi anggota partai politik sesuai dengan aspirasinya dan melaksanakan hak pilihnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

18. Memperoleh hak-hak dibidang politik, hak memilih dan hak keperdataan lainnya. Hak politik adalah hak menjadi anggota partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan


(32)

yang berlaku. Hak keperdataan lainnya misalnya melakukan surat menyurat dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya, dan izin keluar Lapas dalam hal-hal luar biasa.

Selama ini petugas banyak sekali memiliki masalah atau kesulitan dalam memberikan pembinaan narapidana didalam lapas antara lain adalah latar belakang sosial dan pendidikan napi yang sangat beragam, banyaknya petugas yang belum mendapat pelatihan tentang teknis pembinaan dan pengawasan, anggaran biaya yang belum mencukupi. Dalam pelaksanaan tugas penjagaan demi tercapainya keamanan dan ketertiban di lingkungan lembaga pemasyarakatan maka dibuatlah tugas pokok dan fungsi dari Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP) Kep. DirJen Pemasyarakatan No. EKP.09.05. 701. A. Tahun 2003:

1. Menyusun rencana kerja kesatuan pengaman Lembaga Pemasyarakatan; 2. Mengevaluasi hasil pelaksanaan tugas tahun yang lalu;

3. Menyusun rencana kerja kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan; 4. Mengajukan rencana kerja kesatuan pengamanan Lembaga Pemasyarakatan; 5. Mengawasi Pelaksanaan tugas pengamanan dan pengawasan terhadap napi;

6. Memeriksa absensi petugas keamanan dan ketertiban pada setiap pergantian regu jaga;

7. Meneliti hasil laporan petugas jaga tentang pelaksanaan tugas pengamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan;

8. Menugaskan komandan regu jaga untuk mengatur petugas penjagaan;

9. Mengkoordinasikan pemeliharaan keamanan dan ketertiban Lembaga Pemasyarakatan;

10. Mengontrol peralatan dan sarana petugas pengamanan serta memonitor keadaan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan;


(33)

11. Mengontrol, mengawasi, memberikan teguran kepada petugas jaga yang tidak disiplin setiap saat;

12. Mengawasi penerimaan, penempatan dan pengeluaran narapidana; 13. Mengawasi penerimaan narapidana/anak didik;

14. Mengawasi penggeledahan bahan dan barang-barang bawaan narapidana baru;

15. Mengawasi penempatan pengeluaran narapidana/anak didik dari Blok Lembaga Pemasyarakatan;

16. Melakukan pemeriksaan pelanggaran keamanan dan ketertiban dalam Lembaga Pemasyarakatan serta membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP);

17. Mengajukan BAP pada KPLP untuk mendapat petunjuk lebih lanjut;

18. Melaksanakan tindak lanjut pelanggaran keamanan dan kertiban keamanan narapidana/anak didik sesuai petunjuk Kepala Lembaga Pemasyarakatan;

19. Memberikan penilaian pelaksanaan pekerjaan bawahan;

20. Membuat dan menyerahkan DP3 kepada atasan untuk mendapat pengesahan.

Upaya penanggulangan masalah narkotika saat ini dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu :

a. Demand Reduction adalah upaya untuk mengurangi permintaan akan narkotika yang berupa kegiatan yang mengarah pada pemulihan penyalahgunaan narkotika, mulai dari program detoksifikasi, rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial;

b. Harm reduction adalah program pengurangan dampak buruk dalam bentuk kegiatan penjangkauan dan pendampingan, program pendidikan sampai pada program pembagian jarum suntik gratis untuk mengurangi angka HIV/AIDS dan penyakit-penyakit lainnya.


(34)

Selain itu upaya penanggulangan masalah narkotika yaitu sistem pembinaan narapidana dengan orientasi yang berbasis di masyarakat (Community-Based corrections) menjadi pilihan yang efektif dalam sistem pemasyarakatan. Community-Based corrections merupakan suatu metode baru yang digunakan untuk mengintegrasikan narapidana kembali ke kehidupan masyarakat. Semua aktifitas yang mengarah ke usaha penyatuan komunitas untuk mengintegrasikan narapidana kemasyarakat. Melalui metode Community-based corrections memungkinkan Warga Binaan Pemasyarkatan membina hubungan lebih baik, sehingga dapat mengembangkan hubungan baru yang lebih positif. Tujuan utama Community-based corrections ini adalah untuk mempermudah narapidana berinteraksi kembali dengan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka penerapan Community-based corrections perlu didasarkan pada standar kriteria sebagai berikut :

a. Lokasi pembinaan yang memberikan kesempatan bagi narapidana untuk berinteraksi dengan masyarakat;

b. Lingkungan yang memiliki standar pengawasan yang minimal;

c. Program pembinaan seperti pendidikan, pelatihan, konseling dan hubungan yang didasarkan kepada masyarakat;

d. Diberikan kesempatan untuk menjalankan peran sebagai warga masyarakat, anggota keluarga, siswa, pekerja dan lain;

e. Diberikan kesempatan untuk menumbuhkan dan mengembangkan diri.

Menurut Kartasasmita, penerapan Community-based corrections dapat dilakukan dengan memberdayakan warga binaan pemasyarakatan melalui 3 upaya sebagai berikut :


(35)

a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan;

b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering) dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) ;

c. Memberdayakan mengandung pola melindungi, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kurang berdaya

menghadapi yang kuat.

Pelaksanaan pembinaan lembaga pemasyarakatan menghadapi beberapa faktor yang bisa menghambat berhasilnya pembinaan antara lain belum adanya klasifikasi bagi narapidana residevis dan non residevis, penempatannya seperti program-program pembinaan pemberian remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, asimilasi, yang diperuntukkan bagi masing- masing klasifikasi, dana pembinaan yang terbatas, perbandingan jumlah petugas dengan narapidana yang kurang seimbang, sikap narapidana dalam mengikuti pembinaan, dan kurangnya partisipasi pemerintah dan masyarakat.

D. Penanggulangan Kejahatan

Upaya penanggulangan kejahatan dapat juga diartikan politik kriminal sebagai pengaturan atau penyusunan rasional usaha–usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat dan tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial .(Barda Nawawi Arief, 1996 : 23).


(36)

Tujuan akhir dari politik kriminil ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yang sering disebut dengan berbagai istilah seperti kebahagian warga masyarakat atau penduduk, kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan. Kesejahteraan masyarakat sosial atau untuk mencapai keseimbangan secara sederhana tujuan kebijakan kriminil itu sendiri. Kebijakan penanggulangan kejahatan atau penegakan hukum secara politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang luas, sebagaimana teori G.P Hoefnegels yang dituliskan dan digambarkan kembali oleh Barda Nawawi Arief dalam mengenaiCriminal Policy.

Sedangkan Kebijakan penanggulangan kejahatan atau penanggulangan kejahatan yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. G.Peter. Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana; b. Pencegahan tanpa pidana;

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan.

Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur penal dan lewat jalur non penal. Dalam pembagian diatas upaya upaya–upaya yang disebut dalam butir b dan c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Dapat dibedakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat penindasan sesudah kejahatan terjadi sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat pencegahan sebelum kejahatan terjadi. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor–faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor–faktor kondusif itu


(37)

antara lain berpusat pada masalah–masalah atau kondisi–kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan.

Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminil secara makro dan global, maka upaya–upaya non penal menduduki kunci dan strategis dari keseluruhan politik kriminil. Menurut Gene Kassebaum dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992 : 149), penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Menurut Roeslan saleh ada 3 alasan mengenai perlunya pidana dan hukum pidana adapun intinya sebagai berikut:

a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan–tujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan, bukan pada hasil akan tetapi dalam pertimbangan antara dari hasil itu dan nilai dari batas–sbatas kebebasan tersebut;

b. Adanya usaha–usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti saat sekali bagi terhukum;

c. Pengaruh pidana bukan semata–mata ditujukan kepada penjahat , tatapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga yang mentaati norma.


(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode penelitian adalah instrument generalisasi acuan teoritis dalam hipotesis untuk memperoleh data empiris melalui penelitian (Didi Atmadilaga,1997: 125).

Pendekatan masalah yang digunakan penulis adalah pendekatan yuridis normatif dan empiris, yaitu:

1. Pendekatan Normatif

Dilakukan dengan cara mempelajari buku–buku, bahan–bahan bacaan hukum literatur, peraturan perundang–undangan yang menunjang dan berhubungan dengan penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelaahan hukum tertulis.

2. Pendekatan Empiris

Dengan mengadakan penelitian lapangan, yaitu dengan melihat fakta–fakta yang ada dalam praktik dan mengenai pelaksanaannya.

B. Sumber Dan Jenis Data 1. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan.

2. Jenis Data


(39)

1. Data Sekunder

Data yang bersumber dari studi kepustakaan, yaitu: a. Bahan Hukum Primer yaitu:

1. Undang–Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan; 2. Reglement 1917 tentang penjara;

3. Undang–Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika; 4. Undang–Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. b. Bahan Hukum Sekunder

Adalah berupa bahan hukum yang meliputi peraturan pelaksana, PP RI No. 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. kep. Men. Kehakiman Republik Indonesia. NO. M.10 PK. 04.10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas. Kep Men Kehakiman Republik Indonesia. NO. M.02 PK. 04.01 Tahun 1990 tentang pola pembinaan tahanan dalam bab VII tentang pelaksanaan pembinaan narapidana

c. Bahan Hukum Tersier

Adalah hasil karya ilmiah, hasil–hasil penelitian, kamus besar Indonesia, kamus hukum, literatur–literatur, Koran, internet, majalah dan sebagainya.

2. Data Primer

Adalah data yang diperoleh atau bersumber dari kegiatan penelitian langsung dilembaga pemasyarakatan Narkotika di way hui.


(40)

B. Penentuan Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan obyek atau seluruh individu atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti (Burhan Ashosf, 1996:44). 2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri–ciri utama dari populasi dan ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. (Soerjono Soekanto,1983 : 121). Dalam penentuan sampel, penulis menggunakan metode pengambilan sampel yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian (purpossive sampling). (Irawan Soehartono, 1990: 89). Maka dalam penelitian sampel atau responden yang diambil adalah :

1. Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan di Way Hui 1 orang 2. Kasi Bagian Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan di Way Hui 1 orang 3. Kasubsi Registrasi Lembaga Pemasyarakatan di Way Hui 1 orang 4. Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Narkotika di Way Hui 2 orang 5. Dosen Pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung 1 orang +

Jumlah : 6 orang D. Metode Pengumpulan Dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ditentukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi Kepustakaan


(41)

dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan faktor penyebab pelarian narapidana dari LP Narkotika.

b. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer.dengan cara mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu dan dilakukan secara langsung dengan responden.

2. Cara Pengolahan Data

Pelaksanaan pengolahan data yang telah diperoleh dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a. Editing adalah data yang diperoleh dari penelitian diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan;

b. Tabulasi data adalah mengelompokkan data yang telah ditentukan agar diperoleh data–data yang benar–benar diperlukan untuk kepentingan penelitian kemudian dalam bentuk table; c. Sistematisasi adalah melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok–

pokok bahasan, sehingga memudahkan analisa data.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan–kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dan memudahkan pembahasan. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data tersebut demikian ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu suatu metode penarikan data yang didasarkan pada


(42)

fakta-fakta yang bersifat umum, untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan berdasarkan penelitian.


(43)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat untuk Pembinaan kepada narapidana yang berorientasi pada masa depan yang cerah dapat diwujudkan, apabila narapidana itu sungguh-sungguh menyadari bahwa pidana penjara yang dijatuhkan bukanlah dimaksudkan untuk membalas perbuatan yang dilakukan oleh warga binaan itu, akan tetapi untuk mengayomi serta memasyarakatkan napi itu kejalan yang benar agar mereka menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan harkat dan martabatnya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan larinya narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan adalah:

a. Faktor ekstern yaitu Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang kurang mencukupi, banyaknya petugas yang belum mendapat pelatihan tentang teknis pembinaan dan pengamanan, kondisi bangunan yang kurang memadai, ruangan napi yang belum sesuai karena sudah melebihi kapasitas daya tampung.

b. Faktor intern yaitu napi yang sudah merasa jenuh dan bosan, ada perselisihan antara sesama napi disel tahanan, berada dilembaga pemasyarakatan menyebabkan narapidana menjadi tertekan dan setress


(44)

karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan baru yang dapat mengakibatkan dampak yang lebih buruk yaitu lari dari lapas.

2. Upaya penanggulangan terhadap pelarian narapidana dari Lembaga Pemasyarakatan ada 2 yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal adalah sebagai berikut:

a.Kebijakan penal adalah lebih menitikberatkan pada sifat penindasan/pemberantasan/penumpasan apabila terjadi tindak pidana maka mereka akan medapat hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya dan mereka yang melakukan tindak pidana akan dibina dilembaga pemasyarakatan dibimbing dengan pola pembinaan yang sesuai dengan mereka. Yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan terhadap napi yang melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan apabila napi tersebut tertangkap kembali maka ia akan mendapatkan tambahan masa hukuman sesuai dengan berapa lama ia melarikan. Apabila ia melakukan tindak pidana selama ia melarikan diri maka ia akan disidang kembali dipengadilan dan masa tahanannya akan ditambah sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang telah dilakukannya. Setelah ia dijatuhi hukuman kembali maka tingkat penjagaan pada dirinya akan diperketat dan napi tersebut tidak boleh menerima kunjungan dari keluarga atau sahabat selama waktu yang telah ditentukan dan napi tersebut tidak mendapatkan remisi dan cuti menjelang bebas akan dicabut.

b. kebijakan Non Penal adalah Lebih menitikberatkan kepada pencegahan/penangkalan/pengendalian hal ini dilakukan sebelum kejahatan


(45)

terjadi. maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Lembaga Pemasyarakatan dalam hal non penal upaya penanggulangan terhadap pelarian napi melakukan Peningkatan disiplin kerja petugas Lembaga Pemasyarakatan dengan cara absen setiap pagi begitu pula dengan napi dilakukan absen setiap pagi disel-sel napi. Membuka dialog kepada napi sehingga napi dapat menerima pembinaan yang diberikan petugas pembinaan lapas kepada napi. Memfungsikan sarana dan prasarana seperti tempat olahraga yaitu sepak bola, bulu tangkis dan membuat kerajinan tangan seperti menjahit, membuat bingkai dan lain-lain. Bagian pengamanan juga meningkatkan keamanan seperti pemeriksaan terhadap barang bawaan yang dibawa keluarga napi pada saat napi menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat. Kemudian diadakan penggeledahan badan dan pemeriksaan barang-barang atau alat-alat kerja setiap pagi, bagi mereka yang bekerja diluar tembok lapas, baik sebelum keluar maupun saat akan masuk. Pemeriksaan dilakukan oleh dua orang petugas penjaga gerbang lembaga pemasyarakatan, Hal itu dilakukan untuk mencegah sesuatu yang tidak diinginkan seperti napi yang ingin melarikan diri dari lapas, napi yang melawan petugas lapas, perkelahian sesama napi yang ada dilapas. Selain itu juga napi yang berada dilapas diharapkan apabila telah usai menjalani hukuman keterampilan yang didapat dilapas diharapkan berguna dan bermanfaat bagi dirinya untuk mencari pekerjaan


(46)

setelah keluar dari lembaga pemasyarakata dan dapat diterima kembali keberadaannya ditengah lingkungan masyarakat.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah:

1. Perlunya diberikan penyuluhan kepada masyarakat umum untuk menjaga keamanan dan mematuhi peraturan yang berlaku, sehingga menciptakan warga yang taat hukum;

2. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan pada umumnya hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah,sehingga mereka semakin giat bekerja dan disiplin. mengingat pengabdian yang mereka berikan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan untuk kepentingan mereka sendiri;

3. Narapidana hendaknya menyadari bahwa dengan diadakan tujuan pembinaan supaya kelak mereka bebas tidak mengulangi tindak kejahatan dikemudian hari.


(47)

FAKTOR PENYEBAB PELARIAN NARAPIDANA DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A DI WAY HUI

(Skripsi)

Oleh VENELIA HATI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(48)

(49)

Hati

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 7

E. Sistematika Penulisan... 13

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A di Way Hui ... 15

B. Pengertian Narapidana ... 17

C. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia ... 24

D. Penanggulangan Kejahatan ... 35

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 38

B. Sumber dan Jenis Data ... 38


(50)

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 41 E. Analisis Data ... 42 DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... .... 43

B. Faktor-Faktor Penyebab Larinya Narapidana Dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A di Way Hui... ... 45

C. Upaya Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pelarian Narapidana Dari Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas II A di Way Hui.. .... 52

DAFTAR PUSTAKA V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 59 B. Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA


(51)

MOTTO

Sukses punya label harga dan pada label itu tertulis keberanian, tekad yang bulat, disiplin, ambil

risiko, kegigihan, dan konsistensi mengerjakan sesuatu yang benar

karena alasan yang benar dan bukan hanya ketika kita merasa suka

(JAMES M. MESTON)

Jangan membatasi diri sendiri.banyak orang membatasi diri mereka pada sesuatu yang mereka pikir

bisa mereka lakukan. Anda bisa pergi sejauh pikiran anda bisa pergi. Apa yang anda percaya,

ingat, bisa anda raih.


(52)

FAKTOR PENYEBAB PELARIAN NARAPIDANA DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A DI WAY HUI

Oleh VENELIA HATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(53)

Judul Skripsi : FAKTOR PENYEBAB PELARIAN

NARAPIDANA DARI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN NARKOTIKA

KLAS II A DI WAY HUI. Nama Mahasiswa :Venelia Hati

Nomor Pokok Mahasiswa : 0742011334

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H NIP. 19620817 198703 2 003 NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(54)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati M., S.H., M.H. ... Sekretaris / Anggota :Firganefi, S.H., M.H. ... Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. PJ. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(55)

(56)

Persembahan

Ketika kebahagiaan terasa menghampiri kita akan mempersembakan hal yang terbaik kepada

orang-orang yang kita cintai dengan segala ketulusan dan kerendahan hati

Kupersembahkan Gelar Keserjanaan kepada Papi dan mami

sebagai tanda bakti dan patuhku.

Kakak dan adikku tercinta, keponakanku yang selalu menjadi kebanggaanku.

Sahabatku yang selalu memberikan motivasi dan semangat

dalam keberhasilanku.


(57)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dayamurni Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang bawang Barat pada Tanggal 21 Juni 1988, sebagai anak ke Tujuh dari sembilan bersaudara buah hati dari pasang an Bapak Djuhairi Adi dan ibu Nuryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Dayamurni yang diselesaikan pada tahun 2000, dilanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Daya Asri yang diselesaikan pada Tahun 2003, dilanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Dayamurni yang diselesaikan pada Tahun 2006.

Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 2010 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di Malang, Bali, Yogyakarta.


(1)

FAKTOR PENYEBAB PELARIAN NARAPIDANA DARI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A DI WAY HUI

Oleh VENELIA HATI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

Judul Skripsi : FAKTOR PENYEBAB PELARIAN

NARAPIDANA DARI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN NARKOTIKA

KLAS II A DI WAY HUI. Nama Mahasiswa :Venelia Hati

Nomor Pokok Mahasiswa : 0742011334

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H NIP. 19620817 198703 2 003 NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(3)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati M., S.H., M.H. ... Sekretaris / Anggota :Firganefi, S.H., M.H. ... Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. PJ. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(4)

(5)

Persembahan

Ketika kebahagiaan terasa menghampiri kita akan mempersembakan hal yang terbaik kepada

orang-orang yang kita cintai dengan segala ketulusan dan kerendahan hati

Kupersembahkan Gelar Keserjanaan kepada Papi dan mami

sebagai tanda bakti dan patuhku.

Kakak dan adikku tercinta, keponakanku yang selalu menjadi kebanggaanku.

Sahabatku yang selalu memberikan motivasi dan semangat

dalam keberhasilanku.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dayamurni Kecamatan

Tumijajar Kabupaten Tulang bawang Barat pada

Tanggal 21 Juni 1988, sebagai anak ke Tujuh dari

sembilan bersaudara buah hati dari pasang an

Bapak Djuhairi Adi dan ibu Nuryati.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Dayamurni yang

diselesaikan pada tahun 2000, dilanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

Negeri 1 Daya Asri yang diselesaikan pada Tahun 2003, dilanjutkan Sekolah Menengah

Atas (SMA) Negeri 1 Dayamurni yang diselesaikan pada Tahun 2006.

Pada Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas

Lampung. Pada tahun 2010 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di


Dokumen yang terkait

Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

5 92 134

ANALISIS SOSIOLOGIS KEGIATAN NARAPIDANA NARKOTIKA SELAMA PROSES PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Way Hui Bandar Lampung)

0 10 37

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH WANITA (Studi pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Bandar Lampung)

4 91 56

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH WANITA (STUDI PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA KLAS II A BANDAR LAMPUNG

4 21 53

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Bandar Lampung)

3 22 62

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta)

0 10 72

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta)

0 4 70

IMPLEMENTASI SISTEM PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS II A YOGYAKARTA.

0 0 10

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM REHABILITASI TERHADAP NARAPIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas IIA Jakarta)

0 0 12

PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Way Hui Bandar Lampung)

0 0 15