Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masing-

56

1. Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masing-

masing Cluster Analisis pada hasil pembentukan cluster akan difokuskan ke dua hal, yaitu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Adapun variabel sampai dengan adalah variabel yang menunjukkan faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan variabel sampai dengan menunjukkan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Analisis hasil pembentukan cluster adalah sebagai berikut a. Kepemilikan Kendaraan Bermotor Gambar 3. 5 Diagram Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, terdapat dua variabel input yang akan dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memililiki kendaraan bermotor dan persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Secara umum, hampir seluruh cluster menunjukkan persentase keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih besar daripada persentase keluarga yang tidak 20 40 60 80 100 Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Tidak Memiliki Kendaraan Bermotor Memiliki Kendaraan Bermotor 57 memiliki kendaraan bermotor dengan perbandingan yang berbeda-beda, hanya pada cluster 6 yang memiliki kondisi yang sedikit berbeda. Pada wilayah cluster 6, persentase rata-rata keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih kecil daripada persentase rata-rata keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. b. Kemiringan Lahan Gambar 3.6 Diagram Jumlah Lokasi Lahan Berkemiringan Curam, Landai dan Sedang Pada kategori kemiringan lahan, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah lokasi untuk lahan dengan kemiringan curam, landai dan sedang. Secara umum, hampir pada seluruh wilayah cluster didominasi oleh lahan dengan kemiringan curam, hanya pada cluster 6 jumlah lokasi lahan curam lebh sedikit daripada jumlah lahan landai. Tentu saja banyaknya lahan dengan kemiringan curam lebih berpotensi untuk menimbulkan bencana tanah longsor. Artinya lebih dari separuh provinsi di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Kemiringan Lahan Curam Landai Sedang 58 menimbulkan bencana tanah longsor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara umum, dari diagram diatas terlihat bahwa seluruh provinsi di Indonesia memiliki jumlah lahan dengan kemiringan sedang yang sangat sedikit. Dapat diambil informasi pula bahwa hampir seluruh cluster memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih banyak dari pada lahan landai dan lahan sedang, hanya pada cluster 6 yang memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih sedikit dari pada lahan landai. Adapun pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 memiliki rata-rata jumlah lokasi lahan curam yang berbeda cukup signifikan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata jumlah lokasi lahan curam lebih dari 4000 lokasi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah. Dari sembilan cluster yang terbentuk, cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik kemiringan lahan yang hampir sama. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 7 adalah Provinsi Sumatera Barat. 59 Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa : 1 Cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan jumlah lahan curam, lahan landai dan lahan sedang yang paling banyak bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya, namun yang paling signifikan perbedaanya adalah jumlah lokasi lahan curam yang dapat menjadi potensi terjadi bencana tanah longsor. 2 Cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. 3 Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 cenderung memiliki karakteristik kondisi kemiringan lahan yang hampir sama. c. Pemilahan Sampah Gambar 3.7 Diagram Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah 20 40 60 80 100 Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah Sampah Dipilah dan Sebagian Dimanfaatkan Sampah Dipilah Kemudian Dibuang Sampah Tidak Dipilah 60 Pada kategori pemilahan sampah, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan, persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang dan persentase keluarga yang tidak memilah sampah. Secara umum, dapat terlihat seperti yang tertera pada diagram, bahwa persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. Artinya kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah masih rendah. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat tidak terkelolanya sampah dengan baik dapat mengakibatkan masalah lingkungan yang beragam, salah satunya adalah tanah longsor. Apabila melihat dari persentase pemanfaatan sampah, maka hampir persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah di seluruh provinsi di Indonesia lebih rendah daripada persetase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah, hanya pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik karena persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta, provinsi yang masuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 61 Kondisi yang sedikit berbeda juga ditemukan pada wilayah cluster 9. Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. Adapun provinsi yang masuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dari hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa : 1 Persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. 2 Pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. 3 Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. 4 Pada wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5, dan cluster 7 memiliki karakteristik wilayah yang hampir sama bila dilihat dari faktor pemilahan sampah. d. Bencana Gempa Bumi Gambar 3.8 Diargam Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi 20 40 60 80 Cluster 1Cluster 2Cluster 3Cluster 4Cluster 5Cluster 6Cluster 7Cluster 8Cluster 9 Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi 62 Pada kategori bencana gempa bumi, terdapat satu variabel input yang dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana gempa bumi. Dari diagram diatas terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 7 adalah wilayah yang rawan terjadi bencana gempa bumi. Tercatat ada rata-rata 62 kasus terjadinya bencana gempa bumi. Hal ini tentu menjadi pertimbangan dalam penanganan pra bencana karena semakin tinggi frekuensi terjadi bencana tanah longsor maka tinggi pula potensi terjadinya bencana tanah longsor. Adapun wilayah yang memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor terendah adalah wilayah cluster 2 dan cluster 3 dengan jumlah kasus kejadian bencana gempa bumi kurang dari 5 kasus. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki potensi terjadi gempa bumi yang cukup tinggi dengan rata-rata lebih dari 10 kejadian. e. Curah Hujan Gambar 3.9 Diagram Jumlah Curah Hujan 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 Jumlah Curah Hujan Jumlah Curah Hujan 63 Gambar 3.10 Diagram Jumlah Hari Hujan Pada kategori curah hujan, terdapat 2 variabel yang dianalisis, yaitu jumlah curah hujan dan jumlah hari hujan. Apabila melihat jumlah curah hujan pada diagram diatas terlihat bahwa karakteristik wilayah pada cluster 3, cluster 4 dan cluster 7 adalah wilayah yang memiliki jumlah hujan cukup tertinggi bila dibandingkan dengan jumlah curah hujan pada cluster lainnya dengan rata-rata jumlah curah hujan lebih dari 2500 mm yang beranggotakan Kalimantan Tengah pada cluster 3, Provinsi Bengkulu pada cluster 4 dan Provinsi Sumatera Barat pada cluster 7. Adapun wilayah yang memiliki jumlah curah hujan terendah adalah cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik curah hujan yang hampir sama dengan rata-rata curah hujan kurang dari 2000mm. 50 100 150 200 250 Jumlah Hari Hujan Jumlah Hari Hujan 64 Apabila melihat dari jumlah hari hujan, maka cluster 4, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah hujan yang sangat banyak dengan rata-rata jumlah hari hujan lebih dari 200 hari. Provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster-cluster ini adalah Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Jawa Timur. Adapun cluster yang memiliki jumlah hari hujan yang paling sedikit adalah cluster 6 yang beranggotakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan rata-rata 98 hari hujan. sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki karakteristik jumlah hari hujan yang hampir sama dengan rata-rata jumlah hari hujan sekitar 180 hari. f. Bencana Kebakaran Gambar 3.11 Jumlah Frekuensi Terjadinya Bencana Kebakaran Pada kategori bencana kebakaran, terdapat satu variabel input yang dianalisis, yaitu frekuansi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan. Secara umum dapat dikatakan hampir seluruh wilayah di provinsi-provinsi di Indonesia memiliki potensi untuk terjadi bencana kebakaran, hanya pada cluster 1 saja, kasus 5 10 15 20 25 30 35 Frekuensi Terjadi Bencana Kebakaran Jumlah Kejadian 65 kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah provinsi DI Yogyakarta. Dari diagram diatas yang tersaji, terlihat bahwa wilayah yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki jumlah kejadian bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya rata-rata kurang dari 15 kejadian. Dapat dikatakan juga bahwa provinsi-provinsi yang masuk ke dalam cluster 2, cluster 3, cluster 7 dan cluster 8 memiliki potensi terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Sedangkan wilayah cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 memiliki potensi terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cenderung sama dengan rata-rata kurang dari 11 kejadian. g. Lahan Kritis Gambar 3.12 Diagram Keberadaan Lahan Kritis Pada kategori lahan kritis, terdapat dua variabel input yang dianalisis, yaitu luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis. Secara umum dapat dikatakan bahwa di seluruh wilayah provinsi di Indonesia didominasi oleh lahan kritis. Hal ini 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Lahan Kritis Lahan Sangat Kritis 66 terlihat dari lahan kritis pada masing-maisng cluster memiliki luas rata-rata yang lebih tinggi daripada luas rata-rata lahan sangat kritis, bahkan pada cluster 8 tidak memiliki lahan yang masuk dalam kategori lahan sangat kritis. Bila melihat luas lahan kritis maupun lahan sangat kritis pada masing masing wilayah cluster 3, cluster 4 dan cluster 6 menjadi wilayah yang memiliki kondisi lahan yang paling buruk dengan luas lahan kritis lebih dari 1000 hektar. Untuk cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan yang cukup buruk dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar 500 hektar, sedangkan untuk cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang lebih baik dengan luas rata-rata lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 8 menjadi wilayah dengan kondisi lahan yang paling baik karena memiliki lahan kritis dengan luas tersempit, yaitu hanya 33 hektar. Bila membandingkan keberadaan lahan sangat kritis antar wilayah cluster, maka cluster 3 dan cluster 4 memiliki kondisi terburuk dengan luas lahan sangat kritis yang yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Kondisi lahan pada wilayah cluster 2 dan cluster 5 sedikit lebih baik dengan rata-rata luas lahan kritis berkisar pada angka 100 sampai 170 hektar, sedangkan pada wilayah cluster lainnya memiliki rata-rata luas lahan kritis tidak lebih dari 100 hektar. dari seluruh cluster yang terbentuk, bila keberadaan lahan sangat kritis maka cluster 1 dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik , bahkan pada wilayah cluster 8 tidak ditemukan lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis. Berdasarkan hasil analisis diatas, maka dapat disimpulkan bahwa : 67 1 Cluster 3 dan cluster 4, dan cluster 6 memiliki kondisi lahan yang sangat buruk dengan rata-rata luas lahan kritis mencapai lebih dari 1000 hektar. 2 Cluster 2, cluster 5 dan cluster 7 memiliki kondisi lahan cukup buruk dengan luas rata-rata lahan kritis dan lahan kritis sangat kritis berkisar 500 hektar. Meskipun demikian, kondisi lahan pada cluster 2 sedikit lebih buruk daripada cluster 5 dan cluster 7 dengan keberadaan lahan sangat kritis yang lebih luas. Sedangkan kondisi lahan pada cluster 5 dan cluster 7 relatif sama. 3 Cluster 1 dan cluster 9 memiliki kondisi lahan yang cukup baik dengan keberadaan lahan kritis tidak lebih dari 300 hektar dan luas lahan sangat kritis yang tidak lebih dari 40 hektar. Meski begitu, bila melihat pada luas lahan kritis dan luas lahan sangat kritis pada masing masing cluster, cluster 9 memiliki kondisi yang lebih buruk daripada wilayah cluster 1 karena baik luas lahan kritis maupun luas lahan sangat kritis pada wilayah cluster 9 lebih luas daripada luas lahan krits dan lahan sangat kritis pada wilayah cluster 1. 4 Cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik bila dibandingkan wilayah cluster lainnya karena wilayah ini memiliki luas lahan kritis tersempit dan tidak ditemukannya lahan yang masuk ke dalam kategori lahan sangat kritis. 68 h. Daerah Resapan Air Gambar 3.13 Diagram Persentase Keberadaan Daerah Resapan Air Gambar 3.14 Diagram Persentase Keberadaan Taman Tanah Berumput Pada kategori daerah resapan air, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu luas daerah sumur resapan, luas daerah lubang resapan biopori, dan luas daerah taman tanah berumput. Secara umum, daerah resapan air diseluruh provinsi di Indonesia didomiasi oleh taman tanah berumput dengan persentase mencapai 90 persen dari luas daerah resapan air. Namun apabila dibandingkan 1 2 3 4 5 6 7 8 Daerah Resapan Air Sumur Resapan Lubang Resapan Biopori 10 20 30 40 50 60 Taman Tanah Berumput Taman Tanah Berumput 69 dengan rata-rata luas wilayah untuk masing-masing cluster, maka cluster 3 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik. Hal ini terlihat dari jumlah daerah resapan air masing masing cluster yang mencapai 44.36 persen dan 41.43 persen. Persentase ini lebih besar dari pada persentase daerah resapan air di wilayah lain yang bahkan tidak mencapai angka 30 persen. Bila melihat dari data persentase luas daerah resapan air, masyakarat di wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 memiliki kesadaran akan penyediaan daerah resapan air yang cukup tinggi. Persentase rata-rata luas daerah sumur resapan air pada cluster 1 mencapai angka 7.3 persen, sedangkan untuk persentase rata-rata luas daerah lubang resapan biopori mencapai angka 2.81 persen. persentase ini lebih baik bila dibandingkan dengan persentase luas wilayah daerah resapan air di cluster lain yang bahkan tidak mencapai 1 persen untuk kategori sumur resapan dan lubang resapan airbiopori. Secara umum, penanganan pra bencana apabila melihat dari masalah ketersediaan daerah resapan air, maka untuk seluruh wilayah dapat difokuskan kepada peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya penyediaan daerah sumur resapan dan lubang resapan biopori. Sedangkan untuk penanganan ketersediaan daerah taman tanah berumput dapat difokuskan ke wilayah-wilayah yang masuk ke dalam cluster 1 yang memiliki persentase daerah taman tanah berumput yang kecil. 70 i. Bencana Tanah Longsor Gambar 3.15 Frekuensti Terjadinya Bencana Tanah Longsor Pada kategori bencana tanah longsor terdapat 1 variabel input yang dianalisis, yaitu frekuensi terjadinya bencana tanah longsor. Dari data nilai mean faktor- faktor terjadinya bencana tanah longsor, wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 menjadi wilayah yang paling berpotensi terjadi tanah longsor dengan rata-rata kejadian bencana tanah longsor mencapai lebih dari 100 kejadian. Bahkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor pada wilayah cluster 9 mencapai 1113 peristiwa. Kemudian wilayah lain yang memiiki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup signifikan adalah cluster 8 dengan 336 peristiwa dan wilayah cluster 7 dengan 172 peristiwa. Cluster 1 dan cluster 6 memiliki rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor yang cukup banyak dengan rata-rata kejadian bencana 200 400 600 800 1000 1200 Frekuensi Terjadi Bencana Tanah Longsor Frekuensi 71 tanah longsor mencapai lebih dari 50 peristiwa. Adapun cluster 2 dan cluster 5 memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor yang cukup rendah dengan rata- rata 27 kejadian. Sedangkan pada cluster 4 frekuensi terjadi bencana tanah longsor rata-rata mencapai 17 kejadian. Dari seluruh cluster, yang terbentuk, cluster 3 adalah wilayah yang memiliki frekuensi terjadi tanah longsor yang terendah dengan rata-rata 4 kejadian. Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa : 1 Wilayah cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan frekuensi kejadian bencana tanah longsor yang sangat tinggi dengan jumlah kejadian lebih dari 100 peristiwa. Adapun cluster 4 menjadi wilayah yang paling tinggi frekuensi terjadinya bencana tanah longsor dengan rata-rata 1113 peristiwa tanah longsor. 2 Wilayah cluster 1 dan cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor sedang dengan rata-rata jumlah peristiwa bencana tanah longsor lebih dari 50 kejadian. Meskipun pada kenyataanya jumlah frekuensi terjadi bencana tanah longsor di wilayah cluster 1 dan cluster 6 cukup berbeda, namun pada proses pra bencana kedua cluster ini dapat dikategorikan pada karakteristik yang sama. 3 Wilayah cluster 2 dan cluster 8 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor yang rendah karena rata-rata jumlah kejadian rata-rata 27 kejadian. Sedangkan di bawah kedua cluster ini ada cluster 4 dengan 17 kejadian. 72 4 Wilayah cluster 6 adalah wilayah dengan frekuensi bencana tanah longsor terendah dengan rata-rata 13 peristiwa tanah longsor j. Korban Bencana Gambar 3. 16 Diagram Jumlah Korban Akibat Bencana Tanah Longsor Pada kategori korban bencana tanah longsor, terdapat 5 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah korban mengungsi, korban menderita, korban terluka, korban hilang dan korban meninggal. Secara umum, dapat terlilhat bahwa potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor sangat kecil. Hal ini dapat terlihat dari sedikitnya jumlah korban hilang dan terluka yang ditimbulkan dari bencana tanah longsor. Sebaliknya, potensi timbulnya korban mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Bila melihat jumlah korban pada masing masing-masing wilayah cluster, maka cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6, dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita, sedangkan pada wilayah cluster1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban mengungsi. 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Mengungsi Menderita Terluka Hilang Meninggal 73 Bila melihat dari jumlah korban yang ditimbulkan maka cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Rata-rata setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan 89 korban jiwa, diikuti dengan cluster 8 dengan rata-rata 75 korban per kejadian bencana. Adapun pada cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa, cluster 2 dan cluster 9 dengan rata-rata 33 korban jiwa, sedangkan pada cluster 1, cluster 3 jumlah korban yang jatuh rata-rata 24 korban jiwa. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor. Dari hasil analisis di atas maka disimpulkan bahwa : 1 Potensi timbulnya korban hilang dan terluka akibat dari bencana tanah longsor cukup kecil, sedangkan potensi timbulnya korban mengungsi, korban menderita, dan korban meninggal cukup tinggi. Adapun kondisi pada cluster 9 sedikit berbeda, karena pada wilayah ini potensi adanya korban terluka sama besar dengan potensi adanya korban meninggal. 2 Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 6 dan cluster 8 didominasi oleh korban menderita 3 Wilayah cluster 1, cluster 5, cluster 7 dan cluster 9 didominasi oleh korban mengungsi. 4 Wilayah cluster 5 menjadi wilayah yang terkena dampak korban jiwa yang paling besar dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata 74 setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan korban sebanyak 89 korban jiwa, diikuti oleh wilayah cluster 8 dengan 75 korban jiwa. 5 Pada wilayah cluster 6 dan cluster 7 jumlah korban yang jatuh akibat bencana tanah longsor rata-rata berjumlah 50 korban jiwa 6 Pada wilayah cluster 2 dan cluster 9 jumlah korban yang jatuh rata-rata 33 korban jiwa. 7 Wilayah cluster 4 memiliki rata-rata jumlah korban jiwa yang paling sedikit dengan 15 korban jiwa di setiap kejadian bencana tanah longsor k. Kerusakan Rumah Gambar 3.17 Diagram Jumlah Kerusakan Rumah Pada kategori kerusakan rumah, terdapat 3 variabel yang akan dianalisis, yaitu jumlah rumah rusak ringan, jumlah rumah rusak sedang dan jumlah rumah rusak berat. Secara umum, dampak kerusakan yang diberikan oleh bencana tanah 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9 Rusak Ringan Rusak Sedang Rusak Berat 75 longsor pada rumah warga cukup besar. Hal ini terlihat dari 9 cluster yang terbentuk, hanya cluster 5 dan cluster 8 yang memiliki rumah rusak berat yang lebih sedikit dari pada jumlah rumah rusak ringan maupun rumah rusak sedang. Bila melihat jumlah korban pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan rumah yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor didominasi oleh kerusakan berat dan kerusakan ringan, dengan jumlah rata-rata rumah rusak berat lebih banyak daripada jumlah rumah rusak ringan. Sehingga pada rencana pra bencana, potensi dampak kerusakan pada rumah perlu menjadi prioritas dalam penanganannya. Namun secara umum, jumlah kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada rumah warga cukup besar, dengan minimal ada 3 rumah warga yang rusak di setiap kejadian bencana tanah longsor. l. Fasilitas Umum Gambar 3.18 Diagram Jumlah Kerusakan Pada Fasilitas Umum 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Fasilitas Kesehatan Fasilitas Pendidikan Fasilitas Peribadatan 76 Pada kategori kerusakan pada fasilitas umum, terdapat 3 variabel yang dianalisis yaitu kerusakan pada fasilitas kesehatan, kerusakan pada fasilitas pendidikan dan kerusakan pada fasilitas peribadatan. Bila melihat dari jumlah kerusakan pada masing-masing fasilitas umum, potensi timbulnya kerusakan pada fasilitas umum, baik fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun peribadatan sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya jumlah fasilitas umum yang rusak akibat bencana tanah longsor. Dengan kata lain, tidak setiap kejadian bencana tanah longsor menimbulkan kerusakan pada fasilitas umum. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada fasilitas umum tetap ada, meski dengan potensi yang sangat kecil. m. Kerusakan Jalan Gambar 3.19 Diagram Panjang Jalan yang Terkena Dampak Tanah Longsor 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Panjang Jalan km Panjang Jalan km 77 Pada kategori kerusakan pada jalan, terdapat 1 variabel yang dianalisis yaitu kerusakan pada jalan. Secara umum, potensi adanya kerusakan pada jalan akibat dari bencana tanah longsor cukup tinggi. Bila melihat panjang jalan yang rusak akibat bencana tanah longsor pada masing-masing wilayah cluster, maka kerusakan pada jalan yang ditimbulkan oleh bencana tanah longsor pada wilayah cluster 7 menjadi yang paling besar dengan panjang jalan yang rusak mencapai 178.99 km. Pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 dampak kerusakan pada jalan cukup besar dengan rata-rata hampir mencapai 111 km, sedangkan pada cluster 1 dan cluster 6 jumlah kerusakan pada jalan tergolong sedang dengan panjang rata-rata jalan yang rusak mencapai 72.6 km. Dari seluruh cluster yang terbentuk, cluster 2, cluster 3 dan cluster 4 memiliki panjang jalan rusak yang paling pendek dengan panjang jalan yang rusak bahkan tidak mencapai 4 km. Bila membandingkan frekuensi terjadi bencana tanah longsor dan panjang jalan yang rusak, maka cluster 5, cluster 6 dan cluster 7 menjadi wilayah dengan potensi kerusakan pada jalan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya. Namun meski begitu, kemungkinan timbulnya kerusakan pada jalan tetap ada. Hal ini perlu menjadi pertimbangan karena pada proses penanggulangan pasca bencana, akses jalan yang baik menjadi faktor penting dalam kelancaran penanggulangan bencana. 78

2. Analisis Cluster Berdasarkan Faktor dan Dampak Terjadinya Bencana