PENERAPAN ALGORITMA SELF ORGANIZING MAP DALAM MEMETAKAN DAERAH RAWAN BENCANA TANAH LONGSOR DI INDONESIA.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia terletak di daerah rawan bencana. Berbagai jenis kejadian bencana telah terjadi di Indonesia, baik bencana alam, bencana karena kegagalan teknologi maupun bencana karena ulah manusia. Bencana alam merupakan bencana yang disebabkan oleh perubahan kondisi alamiah alam semesta. Ada empat faktor utama penyebab perubahan kondisi alamiah alam semesta, yaitu angin, tanah, air, dan api. Perubahan kondisi dari keempat faktor ini dapat menyebabkan berbagai macam bencana, seperti angin topan, badai, erosi, longsor, banjir, kebakaran dan letusan gunung berapi.

Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR) menempatkan Negara Indonesia dalam kategori negara dengan risiko terjadinya bencana alam terbesar. Dalam peta rawan bencana internasional, bencana alam di Indonesia menempati posisi tertinggi untuk bahaya tsunami, tanah longsor dan erupsi gunung berapi (BNPB, 2012).

Tingginya kerawanan Negara Indonesia terhadap bencana dikarenakan posisi geografis Indonesia yang berada di ujung pergerakan 3 lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo Australia dan Pasifik. Hal ini diperparah dengan kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang dilalui jalur cincin gunung api dunia (Sukandarrumidi,2010).


(2)

2

Bencana alam di Indonesia mengakibatkan kerugian yang sangat besar, baik dari segi materi maupun jumlah korban. Hingga bulan Juni 2016 jumlah bencana alam yang terjadi di indonesia mencapai angka 1092 kejadian dengan jumlah korban 1.709.425 jiwa dan jumlah kerusakan pemukiman 16.595 unit. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat mengingat kondisi alam saat ini yang tidak stabil (DIBI,2016).

Seringnya terjadi bencana alam menimbulkan korban jiwa dan meningkatkan masalah di berbagai lini, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga perlu dilakukan berbagai upaya penanggulangan bencana. Dalam upaya penanggulangan bencana, ada tiga siklus kegiatan yang harus dilakukan yaitu pra bencana, saat bencana dan pasca bencana, kegiatan ini guna mencegah, mengurangi, menghindari, dan memulihkan diri dari dampak bencana (Depkes, 2007; UU No. 24 Tahun 2007).

Tahapan penanggulangan bencana dapat digunakan adalah pendekatan Siklus Penanganan Bencana (Disaster Management Cycle), yang dimulai dari waktu sebelum terjadinya bencana berupa kegiatan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Pada saat terjadi bencana berupa kegiatan tanggap darurat dan selanjutnya pada saat setelah terjadi bencana berupa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi (Depkes RI, 2007). Dari ketiga tahapan penanggulangan bencana diatas, realita yang terjadi adalah kurangnya perhatian terhadapan kegiatan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Hal ini diperkuat dengan masih


(3)

3

tingginya jumlah korban bencana tanah longsor. Sebagaimana data yang diliris oleh BNPB, jumlah korban jiwa dari bencana tanah longsor tertinggi diantara jumlah korban jiwa dari bencana alam lain, seperti banjir dan gempa bumi.

Dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI), bencana tanah longsor menjadi bencana alam ketiga yang sering terjadi di Indonesia, di bawah bencana alam banjir dan puting beliung. Catatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 466 kabupaten yang ada di Indonesia, 218 kabupaten diantaranya memiliki frekuensi terjadi bencana tanah longsor lebih dari 10 kejadian. Kabupaten yang memiliki frekuensi terjadinya bencana tanah longsor yang paling tinggi adalah Kabupaten Bandung dengan 204 kejadian. BNPB juga merilis bahwa bencana tanah longsor menjadi bencana alam yang paling sering terjadi di indonesia, sampai bulan juni 2016 tercatat ada kurang lebih 6.234 kejadian bencana tanah longsor di indonesia, baik yang memakan korban maupun tidak.

Pemerintah Indonesia selama ini telah berusaha keras untuk mengatasi masalah-masalah dan bencana tanah longsor yang terjadi. Pengendalian bencana ini dilakukan dengan berbagai teknik dan pengukuran tertentu yang melibatkan teknologi, material, pengoptimalan maupun pembatasan terhadap parameter ukuran. Namun sayangnya, pada umumnya pendekatan penyelesaian masalah bencana masih diberikan secara global. Artinya dari satu wilayah dengan wilayah yang lain diberikan pendekatan penyelesaian yang sama atau bersifat repetitive. Faktanya, setiap daerah atau wilayah


(4)

4

mempunyai karakteristik berbeda-beda satu sama lain seperti letak geografis, potensi dan keadaan alam, serta penduduknya yang berbeda-beda baik dari segi pendidikan, penghasilan dan tingkah laku. Jika masing-masing karakteristik wilayah tersebut diketahui, maka hal ini akan mempermudah penyelesaian serta penanggulangan masalah bencana yang cocok untuk wilayah tersebut.

Berdasarkan pada uraian permasalahan diatas maka perlu adanya pengelompokkan wilayah kabupaten-kabupaten di Indonesia berdasarkan kesamaan karakteristik wilayah, dengan tujuan akhirnya yaitu menghasilkan suatu peta pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor seluruh wilayah provinsi di Indonesia yang harapannya dapat menjadi suatu masukan bagi pemerintah dan pihak terkait untuk menanggulangi bencana tanah longsor dengan lebih efisien.

Penelitian terhadap penanggulangan bencana dengan memetakan wilayah berdasarkan potensi terjadi tanah longsor berdasarkan faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor terus dilakukan dengan berbagai metode. Beberapa penelitian terdahulu tentang memetakan daerah rawan bencana tanah longsor yang telah dilakukan, diantaranya adalah Dinata (2013) dengan penelitian tentang pemetaan daerah rawan bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada Kabupaten Buleleng dengan mengaplikasikan metode

overlay dan menggunakan 3 variabel input yaitu curah hujan, penggunaan lahan dan kemiringan lereng yang menghasilkan peta daerah rawan bencana tanah longsor di Kecamatan Sukasada. Adapun teknik overlay merupakan


(5)

5

teknik menumpuk peta sehingga muncul daerah daerah dengan warna tertentu dengan kondisi tertentu. Cahyadi, Fakhri, Gani dan Huuriyah (2016), memetakan gerakan tanah di Kecamatan Majalenka, Jawa Barat dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang menghasilkan tabel analisa resiko. Naryanto (2011), memetakan daerah bencana tanah longsor di Kabupaten Karanganyar dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan penerapan metode overlay.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barakbah dan Santosa (2012) tentang analisa model Hierarchalclustering oleh menunjukkan bahwa metode pembentukan cluster memiliki beberapa kelebihan, yaitu dapat digunakan untuk mengolah informasi dengan jumlah yang sangat besar, dapat digunakan untuk mengelompokkan objek dengan karakteristik yang sangat mirip ke dalam suatu cluster dan memisahkan objek yang berbeda ke dalam

cluster yang berbeda pula. Ada banyak algoritma dalam pembentukan cluster, diantaranya adalah algoritma K-means yang digunakan oleh Ong (2013) dalam menentukan strategi marketing President University yang menghasilkan 3 cluster, algoritma Fuzzy C-Means yang digunakan oleh Setiawan (2010) dalam memetakan potensi tanaman kedelai di Jawa Tengah ke dalam cluster berdasarkan potensi penghasil kedelai, algoritma Self Organizing Map yang digunakan oleh Hariri dan Pamungkas (2016) dalam pengelompokkan abstrak dengan hasil 3 buah cluster berdasarkan pengelompokkan abstark dengan pemilihan cluster terbaik menggunakan nilai Sum Square Error terakhir, dan algoritma GDSBScan, Clarans dan Cure


(6)

6

yang digunakan oleh Mukhlas dan Setiyono (2005) dalam pembentukan

Spatial Cluster dengan hasil cluster output dari algoritma Clarans lebih baik daripada algoritma GDSBScan dan Cure.

Pada proses penerapan algoritma pembelajaran Self Organizing Map, perlu dilakukan validasi cluster untuk menentukan apakah suatu model

cluster tersebut baik sehinggga dapat digunakan sebagai kesimpulan. Dalam melakukan proses validasi cluster terdapat beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu metode nilai Davies Bouldin Index dan purity sebagaimana yang digunakan dalam penelitian Wahono dan Widiarina (2015) untuk validasi hasil cluster dari proses pembelajaran algoritma K-means. Penelitian lain yang menggunakan metode validasi cluster adalah penelitian yang dilakukan oleh Dewanti (2013) yang menggunakan nilai Dunn Index, Hubert’s Statistic dan koefisien Silhoutte dalam proses validasi hasil pembentukan cluster dari proses pembelajaran algoritma K-means.

Dalam pembuatan jaringan, penentuan update bobot dan penentuan hasil output cukup sulit dilakukan apabila menggunakan proses manual, sehingga dalam pengolahan data akan digunakan software untuk membantu proses pembelajaran algoritma. Terdapat beberapa jenis software yang dapat digunakan dalam pembentukan cluster, yaitu software WEKA 3.6.9 yang dapat digunakan untuk membantu proses pembentukan cluster dengan menggunakan algoritma K-means (Dewanti, 2013), software Viscovery SOMine yang dapat digunakan untuk membantu proses pembentukan cluster


(7)

7

Pada penelitian yang dilakukan oleh Cahyani, Putro dan Rahmawati (tahun) telah digunakan metode clustering dengan menggunakan algoritma

Self Organizing Map yang selanjutnya divalidasi dengan nilai Davies Bouldin Index untuk analisa pengelompokkan penerimaan beasiswa. Namun pada penelitian ini pembelajaran algoritma Self Organizing Map dilakukan dengan perhitungan manual, sehingga dalam proses pembelajaran memakan waktu yang cukup lama.

Berdasarkan paparan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Penerapan Algoritma Self Organizing Map dalam Memetakan Daerah Rawan Bencana Alam Tanah Longsor di Indonesia” yang harapannya dapat memanfaatkan algoritma Self Organizing Map dan Davies Bouldin Index dengan menggunakan software Matlab sehingga proses pembelajaran dapat memakan waktu yang lebih singkat.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana penerapan algoritma Self Organizing Map dalam pembentukan

cluster provinsi di Indonesia berdasarkan karateristik wilayah dan tingkat kerawanan bencana alam tanah longsor?

2. Bagaimana penerapan Davies Bouldin Index dalam proses pemilihan cluster

provinsi di Indonesia yang terbaik pada algoritma Self Organizing Map? C. Tujuan penelitian

1. Menerapkan algoritma Self Organizing Map dalam pembentukan cluster

provinsi di Indonesia berdasarkan karateristik wilayah dan tingkat kerawanan bencana alam tanah longsor.


(8)

8

2. Menerapkan Davies Bouldin Index dalam proses pemilihan cluster provinsi di Indonesia yang terbaik pada algoritma Self Organizing Map.

D. Manfaat

1. Menambah wawasan para pembaca umum tentang algoritma Self Organizing Map untuk membentuk cluster.

2. Menambah wawasan para pembaca umum tentang metode validasi cluster

dengan menggunakan nilai Davies Bouldin Index untuk menentukan cluster terbaik dari proses pembentukan cluster dalam algoritma pembelajaran Self Organizing Map.

3. Menambah referensi bagi mahasisa dalam penggunaan model-model pembentukan cluster.


(9)

9 BAB II KAJIAN TEORI

Penelitian ini membahas tentang pemetaan wilayah provinsi di Indonesia dengan membentuk cluster yang diperoleh dari hasil penerapan algoritma pembelajaran Self Organizing Map, dimana hasil output cluster dari proses algoritma pembelajaran Self Organizing Map tersebut divalidasi menggunakan nilai Davies Bouldin Index yang kemudian nilai tersebut akan digunakan dalam proses pemilihan model cluster terbaik. Sebelum melakukan proses pembentukan

cluster ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu, yaitu : A. Tanah longsor

1. Definisi Tanah Longsor

Tanah longsor secara umum adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah (Nandi, 2007: 6).

Ada 6 jenis tanah longsor (BNPB, 2011), yakni: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi jika gaya pendorong lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruh oleh kekuatan batuan dan


(10)

10

kepadatan tanah, sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan.

Gejala umum tanah longsor ditandai dengan munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing, munculnya mata air baru secara tiba-tiba dan tebing yang rapuh serta kerikil yang mulai berjatuhan. Faktor penyebab lainnya adalah sebagai berikut (Nandi, 2007: 6-13):

a. Hujan

Pengaruh curah hujan dalam menghasilkan longsor adalah suatu yang jelas, meskipun sangat sulit untuk menjelas secara tepat (Blong dan Dunkerley,1976). Kesulitan ini muncul karena curah hujan hanya mempengaruhi stabilitas lereng secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kondisi pori-pori udara di dalam material lereng. Kemudian Caine (1980) menggunakan istilah “pengaruh pemicu” curah hujan terhadap tanah longsor atau aliran debris.

Karateristik curah hujan yang memicu tanah longsor atau aliran debris telah digunakan untuk membangun hubungan atara curah hujan dan tanah longsor/aliran debris di berbagai belahan dunia. Parameter curah hujan paling sering diselidiki dalam kaitannya dengan inisiasi longsor meliputi curah hujan kumulatif, curah hujan terdahulu, dan durasi curah hujan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menentukan sistem peringatan pada berbagai tipe bencana. Sistem peringatan ini petama kali dikembangkan oleh USGS di San Frasisco (Keefer et al.,1987;Wilson & Wieczorek,1995). Sistem peringatan ini didasarkan pada perkiraan kuantitatif curah hujan dari kantor pelayanan cuaca nasiona dalam sebuah sistem jaringan alat pengukur hujan


(11)

real-11

time lebih dari 40 buah secara terus-menerus dan ambang batas curah hujan yang menginisiasi tanah longsor (Cannon & Ellen,1985).

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena pada bulan tersebut intensitas curah hujan meningkat. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal ini mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu yang singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat meimbulkan longsor karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila terdapat pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi untuk mengikat tanah.

b. Lereng terjal

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsornya mendatar.

c. Tanah yang kurang padat dan tebal

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dari sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini


(12)

12

memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.

d. Batuan yang kurang kuat

Batuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir dan lepung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah apabila mengalami proses pelapukan dan umunya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

e. Jenis tata lahan

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adlaah karena akar pohonnnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kedaraan. Akibat yang ditimbukan adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

g. Susut muka air danau atau bendungan

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi hilang. Dengan sudut kemiringan waduk, mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.


(13)

13 h. Adanya beban tambahan

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan di sekitar tikungan jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah terjadi penurunan tanah dan retakan yang arahnya ke arah lembah.

i. Pengikisan/ Erosi

Pengikisan banyak terjadi di air sungai yang mengarah ke tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

j. Adanya material timbunan pada tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terdapatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang diikuti dengan retakan tanah.

k. Longsoran lama

Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadinya pengendapan material gunung api pada lereng yang releatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tnahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, dijumpai longsor kecil terutama pada tebing lembah, dijumpai longsoran lama, dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil, longsoran ini cukup luas.


(14)

14

1) Adanya bidang diskontunuitas (bidang tidak sinambung)

Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri : bidang pelapisan batuan, bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar, bidang kontak antara batuan yang retak dengan batuan yang kuat, bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak melewatankan air, dan bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat. Bidang-bidang tersebut merupakan bidang bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.

2) Penggundulan hutan

Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikatan air tanah sangat kurang.

3) Daerah pembuangan sampah

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor ditambah dengan guyuran hujan, seperti yang terjadi di TPAS Leuwigajah di Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.

2. Bencana Tanah Longsor di Indonesia

Bencana tanah longsor telah banyak terjadi di Indonesia. Di daerah-daerah tertentu, frekuensi terjadinya bencana tanah longsor dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bahkan, di tingkat nasional, jumlah kejadian dan korban yang ditimbulkan cenderung meningkat.

Kondisi iklim indonesia yang berupa tropis basah dan letak geografis Indonesia yang berada di jalur gunung api yang sering menimbulkan gempa bumi,


(15)

15

sehingga menyebabkan potensi tanah longsor menjadi tinggi. Hal ini ditunjang dengan adanya degradasi perubahan tataguna lahan akhir-akhir ini, menyebabkan bencana tanah longsor yang semakin meningkat.

Selama ini dalam pembuatan Rencana Tata Ruang Wilayah serta perencanaan pembangunan daerah jarang yang memperhatikan adanya faktor ancaman longsor. Konsekuensinya adalah dampak yang terjadi akan terus berjatuhan apabila tidak dilakukan tindakan nyata mengurangi risiko bencana tanah longsor.

Salah satu kasus bencana longsor besar yang pernah terjadi di Indonesia adalah peristiwa bencana tanah longsor yang terjadi di Karanganyar, yaitu pada tanggal 26 Desember 2007. Bencana tanah longsor tersebut terjadi di 14 kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang menelan korban jiwa 62 meninggal. B. Neural Network (NN)

Model untuk menjelaskan hubungan non linear telah berkembang pesat hingga kini. Salah satu model tersebut adalah Neural Network (NN). Model NN adalah model yang didesain untuk memodelkan bentuk arsitektur syaraf pada otak manusia. Telah banyak dilakukan penelitian dengan menggunakan model NN. Hal ini didorong oleh adanya kemungkinan untuk menggunakan NN sebagai instrumen untuk menyelesaikan berbagai permasalahan aplikasi seperti pattern recognition, signal processing, processing control dan peramalan. NN terdiri dari elemen sederhana yang beroperasi secara paralel dan terinspirasi oleh sistem saraf biologis. Seperti di alam, fungsi jaringan ditentukan terutama oleh hubungan antar elemen, dalam NN elemen ini disebut neuron. Umumnya NN disesusaikan, atau dilatih, sehingga masukan tertentu mengarah ke target output tertentu. NN berawal


(16)

16

dari memodelkan otak manusia dengan cara berbeda dari computer digital

konvensional.

Neuron merupakan bagian penting dalam terbentuknya suatu jaringan syaraf. Neuron sendiri terdiri dari tiga bagian, yatu fungsi penjumlahan (summing function), fungsi aktivasi (activation function), dan keluaran (output).

Informasi (input) akan dikirm ke neuron dengan bobot tertentu. Input ini akan diproses oleh suatu fungsi yang akan menjumlahkan nilai bobot yang ada. Hasil penjumlahan kemudian akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang (treshold) tertentu melalui fungsi aktivasi setiap neuron. Apabila input tersebut melewati suatu nilai ambang tertentu, maka neuron tersebut akan diaktifkan. Namun apabila

input tersebut tidak melewati nilai ambang batas tertentu, maka neuron tidak akan diaktifkan. Apabila neuron tersebut diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output melalui bobot-bobot outputnya ke semua neuron yang berhubungan dengannya.

Sehingga dapat disimpukan bahwa neuron terdiri dari 3 elemen pembentuk yaitu:

1) Himpunan unit-unit yang dihubungkan dengan jalur koneksi. Jalur-jalur tersebut memiliki bobot yang berbeda-beda. Bobot yang bernilai positif akan memperkuat sinyal yang dibawa. Jumlah, struktur, pola hubungan antar unit-unit tersebut akan menentukan arsitektur jaringan.

2) Suatu unit penjumlahan yang akan menjumlahkan masukan-masukan sinyal yang sudah dikalikan dengan bobotnya.


(17)

17

3) Fungsi aktivasi yang akan menentukan apakah sinyal dari input neuron akan diteurskan ke neuron lain atau tidak.

Umumnya, jika menggunakan Neural Network, hubungan input dan output

harus diketahui secara pasti dan jika hubungan tersebut telah diketahui maka dapat dibuat suatu model. Proses pembelajaran (learning) NN dimulai dengan memasukkan informasi yang sebelumnya telah diketahui hasil kebenarannya. Pemasukan informasi ini dilakukan melalui unit-unit input. Bobot-bobot antar koneksi dalam suatu arsitektur diberi nilai awal dan kemudian NN dijalankan. Bagi jaringan sendiri, bobot-bobot ini digunakan untuk pembelajaran dan mengingat suatu informasi yang telah ada. Pengaturan bobot dilakukan secara terus menerus dan dengan menggunakan kriteria tertentu sampai diperoleh hasil yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

Lapisan lapisan penyusun NN dibagi menjadi 3 yaitu (Siang, 2005: 24): 1) Lapisan input (Input Layer)

Node-node di dalam lapisan input disebut neuron-neuron input. Neuron-neuron input menerima input dari luar, input yang diberikan merupakan penggambaran suatu permasalahan.

2) Lapisan tersembunyi (Hidden Layer)

Node di dalam lapisan tersembunyi disebut neuron tersembunyi. Ouput dari lapisan ini tidak dapat diamati secara langsung.

3) Lapisan output (Output Layer)

Node-node di dalam lapisan output disebut neuron-neuron output. Output dari lapisan ini merupakan hasil dari NN terhadap suatu permasalahan.


(18)

18 1. Arsitektur Jaringan

Model-model NN ditentukan oleh arsitektur jaringan serta algoritma pelatihan. Arsitektur biasanya menjelaskan arah perjalanan sinyal atau data di dalam jaringan, sedangkan algoritma belajar menjelaskan bagaimana bobot koneksi harus diubah agar pasangan input-output yang diinginkan dapat tercapai. Perubahan bobot koneksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada jenis algoritma pelatihan yang digunakan. Dengan mengatur besarnya nilai bobot ini diharapkan bahwa kinerja jaringan dalam mempelajari berbagai macam pola yang dinyatakan oleh setiap pasangan input-output akan meningkat.

Beberapa arsitektur jaringan yang sering dipakai dalam NN antara lain (Fausett, 1994: 12-15) :

a. Jaringan Layar Tunggal (Single-Layer Network)

Jaringan layar tunggal (single-layer network) adalah jaringan yang menghubungkan langsung neuron pada input layer degan neuron pada output layer dengan bobot yang berbeda-beda. Gambar 2.1 adalah contoh jaringan syaraf dengan lapisan tunggal.


(19)

19

Pada gambar 2.1, terlihat bahwa jaringan tersebut lapisan input memiliki p

neuron yang ditunjukkan oleh notasi sampai dengan . Sedangkan pada lapisan output memiliki p neuron yang ditunjukkan oleh notasi sampai dengan . Setiap neuron pada lapisan input dan lapisan output dihubungkan oleh bobot yang bersesuaian (w).

b. Jaringan Lapisan Jamak (Multi-Layer Network)

Jaringan lapisan jamak (multi-layer network) adalah jaringan yang lebih kompleks yang terdiri dari input layer, beberapa hidden layer dan output layer. Gambar 2.2 merupakan contoh arsitektur jaringan dengan banyak lapisan ( Multi-layer Net).

Pada gambar 2.2, terdapat lapisan input dengan banyak j neuron input

. Lapisan tersembunyi ada satu dengan banyaknya neuron tersembunyi . Dan lapisan output dengan banyaknya neuron

. Bobot-bobot yang menghubungkan neuron input ke-j

menuju neuron ke-k pada lapisan tersembunyi disimbolkan dengan sedangkan Gambar 2.2 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Layer Jamak


(20)

20

adalah bobot-bobot dari neuron ke-k pada lapisan tersembunyi yang menuju pada lapisan output ke-l.

c. Jaringan Syaraf dengan Lapisan Kompetitif

Bentuk arsitektur jaringan syaraf dengan lapisan kompetitif memiliki bentuk yang berbeda karena antar neuron pada jaringan ini dapat saling dihubungkan. Jaringan ini memetakan pola input secara tepat. Namun, apabila terlalu banyak membuat NN hanya mampu mengingat set data yang diberikan pada saat proses pelatihan saja. Sedangkan apabila diberikan data input yang baru maka jaringan tidak mampu mengeluarkan input yang benar. Pada jaringan ini sekumpulan neuron akan bersaing untuk dapat menjadi neuron aktif. Umumnya hubungan antara neuron pada lapisan kompetitif tidak diperlihatkan pada diagram arsitektur. Gambar 3 merupakan salah satu contoh arsitektur jaringan syaraf dengan lapisan kompetitif dengan koneksi dari lapisan tersebut memilki bobot – .

Gambar 2.3 Arsitektur Jaringan Syaraf dengan Lapisan Kompetitif Setiap jaringan memuat banyak jalur koneksi yang menghubungkan neuron dalam tiap layer. Penghubung ini memiliki bobot (weight) yang memfasilitasi


(21)

21

pertukaran informasi antar neuron ( ). Metode ini digunakan untuk menentukan bobot koneksi tersebut dinamakan algoritma pelatihan (training). Setiap neuron mempunyai tingkat aktivasi yang merupakan fungsi dari input yang masuk padanya. Aktivasi yang dikirim suatu neuron ke neuron yang lain berupa sinyal dan hanya dapat dikirim sekali dalam satu waktu, meskipun sinyal tersebut disebarkan pada beberapa neuron yang lain.

Berdasarkan dari pola koneksi, Neural Network dapat dibagi ke dalam dua kategori:

a. Struktur feedforward

Sebuah jaringan yang sederhana mempunyai struktur feedforward dimana

signal bergerak dari input kemudian melewati hidden layer dan akhirnya mencapai unit output (mempunyai struktur perilaku yang stabil).

Tipe jaringan feedforward mempunyai sel syaraf yang tersusun dari beberapa lapisan. Lapisan input bukan merupakan sel syaraf. Lapisan ini hanya memberi pelayanan dengan mengenalkan suatu nilai dari suatu variabel. Hidden layer dan lapisan output sel syaraf terhubung satu sama lain dengan lapisan sebelumnya. Kemungkinan yang timbul adalah adanya hubungan dengan beberapa unit dari lapisan sebelumya atau terhubung semuanya.


(22)

22

Gambar 2.4 Jaringan Syaraf Tiruan Feedforward

Yang termasuk dalam struktur feedforward antara lain single layer perceptron, multilayer perceptron, radial basis function network, higher order

network, dan polynomial learning networks. b. Struktur recurrent (feedback)

Suatu jaringan recurrent adalah jaringan yang mempunyai koneksi kembali dari output ke input (dari satu layer ke layer yang lain) seperti pada gambar 2.5, hal ini menimbulkan ketidakstabilan dan dinamika yang sangat kompleks pada jaringan tersebut.


(23)

23

Gambar 2.5 Jaringan Syaraf Tiruan Recurrent

Dengan feedback pada struktur recurrent dapat mempercepat proses iterasi. Adanya proses iterasi yang lebih cepat akan membuat update parameter dan kecepatan konvergensi menjadi lebih cepat.

2. Fungsi Aktivasi

Fungsi aktivasi mendefinisikan nilai output dari suatu neuron dalam level aktivasi tertentu berdasarkan nilai output pengombinasi linear. Jika


(24)

24 maka fungsi aktivasinya adalah

(∑

)

dengan net adalah kombinasi linear, menunjukkan vektor input ke-i, menunjukkan bobot-bobot dari vektor input ke-i menuju output ke-j, dan n menunjukkan dimensi vektor input

Ada beberapa macam fungsi aktivasi yang digunakan pada jaringan syaraf tiruan, antara lain :

a. Fungsi Undak Biner

Jaringan dengan lapisan tunggal sering menggunakan fungsi undak (step function) untuk mengonversikan input dari suatu variabel yang bernilai kontinu ke suatu output biner, yaitu 0 atau 1 (Gambar 2.6).

Fungsi undak biner (Hard Limit) dirumuskan sebagai berikut

{

Gambar 2.6 Fungsi Aktivasi: Undak Biner (Hard Limit)


(25)

25 b. Fungsi Treshold

Fungsi treshold merupakan fungsi undak biner yang menggunakan nilai ambang. Fungsi treshold dengan nilai ambang dirumuskan sebagai :

{

Gambar 2.7 Fungsi Aktivasi Treshold

3. Algoritma pembelajaran

Pembelajaran dalam NN didefinisikan sebagai suatu proses dimana parameter-parameter bebas NN diadaptasi melalui suatu proses perangsangan berkelanjutan oleh lingkungan dimana jaringan berada. Proses pembelajaran merupakan bagian penting dari konsep NN.

Proses pembelajaran bertujuan untuk melakukan pengaturan terhadap bobot yang ada pada NN, sehingga diperoleh bobot akhir yang tepat sesuai dengan pola data yang dilatih (Sri Kusumadewi & Sri Hartati, 2010:84). Pada proses pembelajaran akan terjadi perbaikan bobot-bobot berdasarkan algoritma tertentu. Nilai bobot akan naik jika informasi yang diberikan ke suatu neuron mampu tersampaikan ke neuron yang lain. Sebaliknya, nilai bobot akan berkurang jika informasi yang diberikan ke neuron tidak tersampaikan ke neuron yang lainnya. Terdapat 2 metode pembelajaran NN, yaitu (Fausett, 1994: 15):


(26)

26

i. Pembelajaran Terawasi (Supervised Learning)

Metode pembelajaran pada NN disebut terawasi jika output yang telah diketahui sebelumnya. Tujuan pembelajaran terawasi adalah untuk mempredksi satu atau lebih variabel target dari satu atau lebih variabel input. Pada proses pembelajaran, satu pola input akan diberikan ke stau neuron pada lapisan input. Selanjutnya pola akan dirambatkan sepanjang NN hingga sampai ke neuron

output. Lapisan ouput akan membangkitkan pola output yang akan dicocokkan dengan pola output targetnya. Error muncul apabila terdapat perbedaan antara pola output hasil pembelajaran dengan pola target sehingga diperlukan pembelajaran lagi.

ii. Pembelajaran Tak Terawasi (Unsupervised Learning)

Pembelajaran tak terawasi tidak memerlukan target output dan jaringan dapat melakukan training sendiri untuk mengestrak fitur dari variabel independen. Pada metode ini, tidak dapat ditentukan hasil outputnya. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu sesai dengan nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk mengelompokkan unit-unit yang hampir sama ke suatu area tertentu.

4. Fungsi Transfer

Karakter dari neural network tergantung atas bobot dan fungsi transfer yang mempunyai ciri tertentu untuk setiap unit. Fungsi ini terdiri dari 3 kategori yaitu : a. Untuk linear units, aktivitas output adalah sebanding dengan jumlah bobot


(27)

27

b. Untuk threshold units, output diatur satu dari dua tingkatan tergantung dari apakah jumlah input adalah lebih besar atau lebih kecil dari nilai ambang. c. Untuk sigmoid units, output terus menerus berubah-ubah tetapi tidak

berbentuk linear. Unit ini mengandung kesamaan yang lebih besar dari sel saraf sebenarnya dibandingkan dengan linear dan threshold unit, namun ketiganya harus dipertimbangkan dengan perkiraan kasar.

Fungsi transfer dibutuhkan untuk membuat neural network melakukan beberapa kerja khusus. Maka dari itu perlu dipilih bagaimana unit-unit dihubungkan antara satu dengan yang lain dan mengatur bobot dari hubungan tersebut secara cepat. Hubungan tersebut menentukan apakah mungkin suatu unit mempengaruhi unit yang lain. Bobot menentukan kekuatan dari pengaruh tersebut. Dapat dilakukan pembelajaran terhadap 3 lapisan pada neural network untuk melakukan kerja khusus dengan menggunakan prosedur dibawah ini :

1. Memperkenalkan neural network dengan contoh pembelajaran yang terdiri dari sebuah pola dari aktifitas untuk unit-unit input bersama dengan pola yang diharapkan dari aktifitas untuk unit-unit output.

2. Menentukan seberapa dekat output sebenarnya dari neural network sesuai dengan output yang diharapkan.

3. Mengubah bobot-bobot setiap hubungan agar neural network menghasilkan suatu perkiraan yang lebih baik dari output yang diharapkan.

C. Clustering

Clustering merupakan salah satu metode dalam data mining yaitu teknik pengelompokkan data, pengamatan atau memperhatikan dan membentuk kelas


(28)

28

obyek yang memiliki kemiripan. Clustering tidak mempunyai target output. Pada metode ini tidak dapat ditentukan hasil output selama proses pembelajaran. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu tergantung pada nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah mengelompokkan unit-unit yang hampir sama dalam suatu area tertentu.

clustering berbeda dengan klasifikasi, dalam hal tidak ada variabel target untuk

clustering. Clustering tidak mengklasifikasikan, meramalkan, atau memprediksi nilai dari sebuah variabel target dan digunakan ketika kita tidak mengetahui bagaimana data harus dikelompokkan (Susanto&Suryani, 2010).

D. Eucledian Distance

Eucledian Distance dianggap sebagai distance matrix yang mengadopsi prinsip Phytagoras. Hal ini dikarenakan pola perhitungannya yang menggunakan aturan pangkat dan akar kuadrat. Eucledian akan memberikan hasil jarak yang relatif kecil (Davies & Bouldin, 1979:224). Jarak antara nilai random atau bobot dan data dihitung dengan menggunakan rumus persamaan 2.3 berikut :

dimana adalah jarak Eucledian dari input vektor ke-i dengan neuron ke-j, adalah bobot penghubung input vektor ke-j dengan neuron ke-j (bobot akhir),

adalah input vector ke- , dan n adalah jumlah dimensi vektor input.


(29)

29 E. Davies Bouldin Index

Davies Bouldin Indeks merupakan salah satu metode validasi cluster untuk evaluasi kuantitatif dari hasil clustering. Pengukuran ini bertujuan meminimumkan jarak inter-cluster dan memaksimumkan jarak intra-cluster

(Saitta&Smith, 2007). Dalam penelitian ini Davies Bouldin Indeks akan digunakan untuk mendeteksi outlier pada masing-masing cluster yang terbentuk .

1) Variance dari cluster

̅

2) Jarak antar cluster

3) Menentukan jarak inter-cluster maksimum

4) Validasi Davies Bouldin

dengan

: variansi dari data dalam satu cluster

N : banyaknya data dalam satu cluster : data ke- dalam satu cluster

: centroid dari cluster ke-i yang dinyatakan dengan rata-rata cluster

(2.4)

(2.5)

(2.6)


(30)

30

: variance dari cluster-i

̅ : rata-rata jarak dalam satu cluster

: jarak intra-cluster antara cluster-i dengan cluster-j

: jarak intra-cluster maksimum DB : nilai Davies Bouldin Index


(31)

31 BAB III PEMBAHASAN

Algoritma Self Organizing Map (SOM) merupakan suatu metode NN yang diperkenalkan oleh Professor Teuvo Kohonen pada tahun 1982. Self Organizing Map merupakan salah satu bentuk topologi dari Unsupervised Artificial Neural Network (Unsupervised ANN) dimana dalam proses pelatihannya tidak memerlukan pengawasan (target output). Self Organizing Map digunakan untuk mengelompokkan (clustering) data berdasarkan karakteristik atau fitur-fitur data. (Shieh & Liao, 2012).

Dalam algoritma Self Organizing Map, data input berupa vektor yang terdiri dari n komponen (tuple) yang akan dikelompokkan dalam maksimum m

buah kelompok (disebut vektor contoh). Output jaringan adalah kelompok yang paling dekat atau mirip dengan input yang diberikan. Ada beberapa ukuran kedekatan yang dapat dipakai. Ukuran yang sering dipakai adalah Eucledian distance yang paling minimum (Siang, 2009).

Vektor bobot untuk sebuah unit cluster menggambarkan sebuah contoh dari pola input yang dikumpulkan dalam cluster. Selama proses Self Organizing Map, unit cluster yang mempunyai bobot dicocokkan dengan pola input yang terdekat dan dipilih sebagai pemenang (winner). Unit pemenang dan unit tetangganya, dalam hal ini adalah topologi dari unit cluster akan memperbaiki bobot mereka masing-masing (Kristanto, 2004).


(32)

32

A. Arsitektur dan Algoritma Pembelajaran Self Organizing Map

Self Organizing Map atau SOM merupakan suatu algoritma pembelajaran yang baik dalam mengeksporasi data mining dan memiliki kemampuan cukup baik untuk pembentukan model cluster.

Self Organizing Map merupakan algoritma yang melakukan pemetaan dari data yang ada di ruang vektor berdimensi tinggi ke ruang vector dua dimensi yang terletak pada lokasi yang berdekatan. Self Organizing Map terdiri dari dua lapisan (layer), yaitu lapisan input dan lapisan output. Setiap neuron dalam lapisan input terhubung dengan setiap neuron pada lapisan output. Setiap neuron pada lapisan output merepresentasikan kelas (cluster) dari input yang telah diberikan.

Self Organizing Map merupakan generalisasi dari jaringan kompetitif, dan merupakan jaringan tanpa supervise (Siang, 2009). Self Organizing Map disusun oleh sebuah lapisan unit input yang dihubungkan seluruhnya ke lapisan unit output, yang kemudian unit-unit diatur di dalam topologi khusus seperti struktur jaringan (Jain & Martin, 1998). Secara umum arsitektur jaringan Self Organizing Map dapat dilihat pada gambar 3.1


(33)

33

dengan adalah vektor input dengan n dimensi dan adalah vektor output dengan m dimensi.

Salah satu algoritma pembelajaran untuk Self Organizing Map adalah algoritma pembelajaran kompetitif dengan metode Kohonen (Kusumadewi, 2003). Pada algoritma pembelajaran Self Organizing Map, akumulasi sinyal yang didapat tidak perlu diaktivasi, karena fungsi aktivasi tidak memberikan pengaruh pada pemilihan winner neuron yang akan memperbarui bobotnya dan bobot tetangganya. Dengan demikian, pada proses pelatihan error tidak dihitung pada setiap iterasi pelatihan. Kriteria berhentinya proses pelatihan dalam Self Organizing Map akan menggunakan jumlah iterasi tertentu.

Pada Gambar 3.2, jika neuron yang di tengah adalah winner neuron untuk suatu input vektor, maka neighbor neuron untuk winner neuron ini adalah mereka yang terletak di dalam lingkaran area, yang didefinisikan dengan Nc(t1), Nc(t2), …dst. Nc(t1) adalah batas area pada iterasi ke-1, Nc(t2) adalah batas area pada iterasi ke-2, dan seterusnya. Neuron yang secara topografi terletak jauh dari

winner neuron tidak diupdate.


(34)

34

Secara ringkas algoritma Self Organizing Map digambarkan seperti tampak pada diagram alir pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Diagram Alir Self Organizing Map (SOM)

Berikut adalah algoritma Self Organizing Map yang digunakan dalam pembentukan cluster berdasarkan Gambar 3.3:

1. Pada langkah awal, seluruh data dampak bencana tanah longsor dan faktor penyebab terjadinya tanah longor menurut provinsi dijadikan data input. Data

input yang digunakan adalah data yang berbentuk matrik , dimana i

adalah jumlah provinsi dan j adalah jumlah variabel. Selanjutnya, dilakukan proses clustering menggunakan metode Self Organizing Map.

2. Pada perhitungan menggunakan metode SOM, diawali dengan inisialisasi bobot secara random (acak). Dalam Matlab2011b digunakan sintaks

net.IW{1,1}


(35)

35

4. Untuk setiap data dilakukan perhitungan terhadap bobot menggunakan rumus

Euclidean Distance. Kemudian dipilih nilai terkecil.

5. Data yang memiliki nilai terkecil dari langkah 4 digunakan untuk proses update bobot. Dalam menentukan bobot terbaru pada waktu t, maka diasumsikan obyek saat ini x(i) dan centroid yang terbentuk . Kemudian untuk menentukan centroid yang baru untukwaktu berikutnya t+1

α adalah learning rate. Pada langkah selanjutnya nilai learning rate yang digunakan adalah learning_rate_new= dimana nilai b berada di antara 0 dengan 1. Pada akhir iterasi, nilai α akan menuju nilai learning rate minimum. 6. Melakukan pengecekan syarat berhenti, Iterasi akan berhenti apabila threshold

terpenuhi, untuk mencapai nilai threshold terpenuhi. Adapun nilai treshold

dikatakan terpenuhi apabila nilai parameter telah terpenuhi.

7. Selanjutnya dilakukan proses pengelompokkan atau clusterisasi, disini menggunakan rumus Euclidean.

8. Hasil akhir dari proses ini yaitu data ter-cluster

1. Membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map

Dalam proses membangun suatu jaringan, hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan menentukan input jaringan. Pada software Matlab, untuk membangun jaringan pada algoritma Self Organizing Map digunakan intruksi sebagai berikut :

Net =selforgmap([a b])

Net=configure(net,NameofData)


(36)

36 dengan

[a b] : ukuran matriks neuron yang akan dihasilkan pada output. Matriks ini nantinya akan digunakan untuk menklasifikasikan vektor input.

NameofData : nama data yang digunakan ketika input

Penentuan nilai a dan b akan mempengaruhi hasil output. Hal ini disebabkan karena jumlah cluster pada akhir proses pembelajaran algoritma self organizing map akan sama banyak dengan hasil perkalian a dan b. Sebagai contoh jika ditentukan nilai a adalah 2 dan nilai b adalah 3 maka jaringan akan menghasilkan output neuron sebanyak 6 neuron. Penentuan nilai a dan b juga akan mempengaruhi topologi neuron output. Sebagai contoh, pada model dengan hasil 6 neuron, maka terdapat 2 kemungkinan bentuk jaringan yang dapat dibangun, yaitu jaringan dengan nilai a adalah 1 dan b adalah 6, dan jaringan dengan nilai a adalah 2 dan b adalah 3. Kedua jaringan ini pada hasil output akan mengelompokkan objek ke dalam 6 neuron, meskipun demikian topologi yang dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda. karena topologi yang dihasilkan oleh kedua model jaringan ini berbeda maka hasil yang diperoleh dapat berbeda, meskipun tidak ada jaminan bahwa jaringan dengan penghubung tunggal antar neuron lebih baik atau lebih buruk bila dibandingkan dengan jaringan dengan penghubung jamak antar neuron.


(37)

37

2. Prosedur Pembentukan Cluster dengan Algoritma Self Organizing Map a. Deskripsi data

Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Naryanto (2011), Dinata (2013) dan Insani (2016), penanggulangan bencana yang mencakup tiga tahap, yaitu pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana akan berjalan secara efisien jika diketahui informasi terkait tentang faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor di Indonesia. Informasi terkait denga faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor dapat dijadikan pertimbangan untuk menentukan jenis penanggulangan pra bencana dan pasca bencana. Oleh karena itu, pada penelitian ini faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari peristiwa bencana tanah longsor akan digunakan sebagai variabel dengan 33 provinsi di Indonesia yang digunakan sebagai sampel. Hal ini disebabkan karena pengambilan data pada provinsi di Indonesia yang hanya mengambil pada tahun-tahun tertentu dengan yang didasarkan pada kelengkapan data dari sumber data. Variabel ditentukan dari hasil penelitian terdahulu terkait bencana tanah longsor dan berita acara yang dirilis oleh BNPB. Adapun variabel yang digunakan adalah :

Tabel 3.1 Variabel Input dan Satuan yang Digunakan

Kode Variabel Satuan Keterangan

Persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor

Persen (%) Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup mobil dan motor. Data diambil pada tahun 2014 Persentase keluarga yang

memiliki kendaraan bermotor

Persen (%) Kendaraan bermotor yang dihitung mencakup mobil dan motor. Data diambil pada tahun 2014


(38)

38

Kode Variabel Satuan Keterangan

Lokasi kemiringan lahan curam

Unit Lahan curam adalah lahan dengan kemiringan lebih dari 25 derajat yang diambil pada tahun 2011.

Lokasi kemiringan lahan landai

Unit Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki kemiringan kurang dari 15 derajat. Data diambil pada tahun 2011.

Lokasi kemiringan lahan sedang

Unit Lokasi yang masuk dalam kategori ini memiliki kemiringan antara 15 sampai 25 derajat. Data diambil pada tahun 2011.

Persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan

Persen (%) Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organic maupun non organik. Keluarga yang masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang secara rutin memilah dan memanfaatkan sampah. Data diambil pada tahun 2014

Persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang

Persen (%) Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organic maupun non organik. Keluarga yang masuk dalam kategori ini adalah keluarga yang secara rutin memilah sampah. Data diambil pada tahun 2014.

Persentase keluarga yang tidak memilah sampah

Persen (%) Jenis sampah yang dihitung adalah sampah organik maupun non organik. Data diambil pada tahun 2014


(39)

39

Kode Variabel Satuan Keterangan

Frekuensi terjadinya gempa bumi

Jumlah Kejadian

Kejadian gempa bumi dihitung seluruhnya, baik tektonik maupun vulkanik.

Frekuensi jumlah hujan mm Frekuensi yang dihitung adalah kerapatan curah

hujan yang dihiung dengan satuan mm

Frekuensi jumlah hari hujan Jumlah Hari Jumlah hari hujan yang dihitung adalah jumlah

hari dimana hujan turun dengan mengabaikan volume curah hujan

Frekuensi terjadi kebakaran

hutan dan lahan

Jumlah kejadian

Jumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan yang dihitung adalah kejadian bencana kebakaran yang terjadi karena fenomena alam ataupun karena kesalahan manusia dengan mengabaikan besar dampak yang ditimbulkan.

Jumlah luas lahan sangat kritis Hektar (Ha) Lahan yang masuk dalam kategori sangat kritis

adlah lahan yang sama sekali tidak dapat dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan sangat rendah

Jumlah luas lahan kritis Hektar (Ha) Lahan yang masuk dalam kategori lahan kritis

adalah lahan yang tidak produktif mski telah dikelola, bersifat gundul dan tingkat kesuburan rendah.


(40)

40

Kode Variabel Satuan Keterangan

Persentase keluarga dengan

kepemilikian sumur resapan air

Persen (%) Sumur resapan air yang dihitung adalah sumur resapan air yang berada di tanah warga dengan mengabaikan jumlah sumur resapan. Data Diambil pada tahun 2014.

Persentase keluarga dengan

kepemilikian lubang resapan biopori

Persen (%) Lubang resapan biopori yang dihitung adalah lubang resapan yang berada di tanah warga dengan mengabaikan luas area lubang resapan air. Data Diambil pada tahun 2014

Persentase keluarga dengan

kepemilikan taman/ tanah berumput

Persen (%) Taman/ tanah berumput yang dihitung adalah Taman/ tanah berumput yang berada di tanah warga dengan mengabaikan luas taman/ tanah berumput. Data Diambil pada tahun 2014

Frekuensi terjadinya bencana

tanah longsor

Jumlah kejadian

Jumlah kejadian dihitung baik keseluruhan, baik yang menimbulkan korban dan kerusakan maupun yang tidak

Jumlah korban meninggal Jiwa Korban meninggal yang dihitung adalah yang

terkena dampak bencana, tidak termasuk relawan.

Jumlah korban hilang Jiwa Korban hilang dihitung adalah korban yang tidak


(41)

41

Kode Variabel Satuan Keterangan

Jumlah korban terluka Jiwa Korban terluka yang dihitung yaitu semua

korban luka dampak bencana, baik ringan maupun berat, dan tidak termasuk relawan.

Jumlah korban menderita Jiwa Korban menderita yang dihitung adalah yang

menderita secara finansial dan psikologis.

Jumlah korban mengungsi Jiwa Korban mengungsi yang dihitung adalah korban

bencana yang meninggalkan lokasi bencana pada waktu pasca bencana.

Jumlah rumah rusak berat Unit Rumah rusak berat adalah rumah yang

ditemukan kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik stuktural maupun non-struktural, seperti dinding rubuh, lantai retak merekah, dan lain sebagainya.

Jumlah rumah rusak sedang Unit Rumah rusak sedang adalah rumah ditemukan

kerusakan pada sebagian komponen non struktural atau komponen struktural seperti, struktur atap, struktur lantai dan lain sebagainya.

Jumlah rumah rusak ringan Unit Rumah rusak ringan adalah rumah yang

ditemukan kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi.


(42)

42

Kode Variabel Satuan Keterangan

Jumlah fasilitas peribadatan

yang rusak

Unit Fasilitas peribadatan mencakup masjid, gereja, vihara dan fasilitas peribadatan lainnya

Jumlah fasilitas pendidikan

yang rusak

Unit Fasilitas pendidikan meliputi sekolah, kampus, perpustakaan, dan fasilita pendidikan lainnya

Jumlah fasilitas kesehatan

yang rusak

Unit Fasilitas kesehatan meliputi rumah sakit, puskesmas, apotik dan fasilitas kesehatan lainnya.

Panjang jalan yang terkena

dampak bencana

KM Panjang jalan yang dihitung adalah yang terkena dampak longsoran, dan yang terkena dampak tidak langsung (timbulnya retakan karena bencana). Adapun jalan yang diukur adalah jalan utama, seperti jalan penghubung antar desa.

b. Normalisasi Data

Sebelum dilakukan proses pembelajaran (training), data input harus dinormalisasi terlebih dahulu. Normalisasi adalah penskalaan terhadap nilai-nilai input sedemikian sehingga data-data input masuk dalam suatu range tertentu. Pada pembelajaran algoritma Self Organizing Map proses normalisasi perlu dilakukan agar rentang nilai pada masing-masing variabel tidak terpaut jauh.

Proses normalisasi dapat dilakukan dengan metode Min-Max Normalization


(43)

43

dengan range nilai minimum dan nilai maksimum dari atribut tersebut ke range nilai yang baru, dilakukan perhitungan sebagai berikut

dengan :

: nilai yang baru setelah dinormalisasi : nilai yang lama sebelum dinormalisasi

: nilai maksimum dari variabel

: nilai minimum dari variabel

: nilai maksimum yang baru pada variabel

: nilai minimum yang baru pada variabel Berikut akan digunakan persamaan 3.2 dengan memanfaatkan variabel persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor di Indonesia ( ). Berikut adalah data persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor:

Tabel 3.2 Persentase Keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor

Provinsi Persentase Provinsi Persentase

Aceh 24.63 Nusa Tenggara Barat 45.87

Sumatera Utara 26.61 Nusa Tenggara Timur 67.29 Sumatera Barat 23.81 Kalimantan Barat 20.95

Riau 12.07 Kalimantan Tengah 17.22


(44)

44

Provinsi Persentase Provinsi Persentase

Jambi 16.06 Kalimantan Selatan 16.29

Sumatera Selatan 19.92 Kalimantan Timur 8.68

Bengkulu 18.94 Sulawesi Utara 49.42

Lampung 18.90 Sulawesi Tengah 30.02

Kep, Bangka Belitung 9.51 Sulawesi Selatan 29.56 Kepulauan Riau 9.53 Sulawesi Tenggara 33.10

DKI Jakarta 18.75 Gorontalo 45.43

Jawa Barat 36.08 Sulawesi Barat 38.37

Jawa Tengah 26.85 Maluku 58.08

DI Yogyakarta 18.54 Maluku Utara 49.19

Jawa Timur 23.20 Papua Barat 44.54

Banten 24.09 Papua 71.39

Bali 13.69

Dari tabel 3.2 diperoleh persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor dengan nilai minimum 8.68 persen dan nilai maksimum 71.39 persen. Dengan menggunakan persamaan 3.2 data akan dinormalkan dengan nilai maksimum 1 dan nilai minimum 0. Maka untuk normalisasi data variabel pada Provinsi Aceh adalah sebagai berikut :


(45)

45

Sehingga diperoleh bahwa hasil normalisasi data variabel pada Provinsi Aceh adalah 0.23453. Hasil selanjutnya untuk normalisasi data pada variabel

adalah sebagai berikut

Tabel 3.3 Hasil Normalisasi Data Variabel

Provinsi Persentase Provinsi Persentase

Aceh 0.254345 Nusa Tenggara Barat 0.593047 Sumatera Utara 0.285919 Nusa Tenggara Timur 0.93462 Sumatera Barat 0.241269 Kalimantan Barat 0.195663

Riau 0.054058 Kalimantan Tengah 0.136182

Jambi 0.117685 Kalimantan Selatan 0.121352 Sumatera Selatan 0.179238 Kalimantan Timur 0

Bengkulu 0.16361 Sulawesi Utara 0.649657

Lampung 0.162972 Sulawesi Tengah 0.340297

Kep, Bangka Belitung 0.013236 Sulawesi Selatan 0.332961 Kepulauan Riau 0.013554 Sulawesi Tenggara 0.389412

DKI Jakarta 0.16058 Gorontalo 0.586031

Jawa Barat 0.436932 Sulawesi Barat 0.473449

Jawa Tengah 0.289746 Maluku 0.787753

DI Yogyakarta 0.157232 Maluku Utara 0.645989

Jawa Timur 0.231542 Papua Barat 0.571839

Banten 0.245734 Papua 1


(46)

46

Penentuan nilai maksimum dan minimum yang baru untuk variabel akan disamakan pada rentang 0 sampai dengan 1. Hasil selanjutnya untuk normalisasi seluruh variabel data input akan ditampilkan pada lampiran 2.

c. Pembentukan Cluster

Pembentukan cluser terbaik meliputi penentuan jumlah neuron output yang akan digunakan dalam mengklasifikasikan data input. Penentuan jumlah neuron ini menjadi penting karena pada output, data akan diklasifikasi menjadi cluster-cluster yang jumlahnya sama dengan jumlah neuron input. Tidak ada aturan pasti dalam menentukan jumlah neuron, maka dari itu penentuan jumlah neuron dilakukan dengan cara mengelompokkan data dengan pembentukan kelompok yang mungkin dilakukan pada data input.

Setelah menentukan banyak neuron, melakukan pelatihan (training) pada jaringan yang telah dibangun dan dikonfigurasikan dengan data input. Hal ini dilakukan agar bobot awal yang sebelumnya ditentukan secara random (acak) akan diupdate bobotnya dengan dilakukan pelatihan (training) pada jaringan. Pelatihan jaringan pada algoritma Self Organizing Map akan berhenti apabila telah mencapai iterasi maksimum. Pada skripsi ini, iterasi maksimum ditentukan sebanyak 1000 iterasi untuk seluruh model yang akan dibentuk. Untuk pelatihan jaringan dengan 1000 iterasi pada software Matlab digunakan sintaks

net.trainparam.epochs=1000; net=train(net,data)


(47)

47

Setelah pelatihan jaringan telah mencapai iterasi maksimum, maka dapat dimunculkan nilai dari bobot akhir. Kemudian langkah selanjutnya adalah menentukan jarak antara salah satu data input ke masing-masing neuron yang telah ditentukan. Masing-masing input dihitung jaraknya dengan neuron dengan menggunakan persamaan eucledian distance. Setelah diperoleh jarak antara input dengan masing-masing neuron, kemudian jarak antara data input dengan salah satu neuron dibandingkan dengan jarak antara data input dengan neuron lainnya yang masih dalam satu pelatihan (training). Pemilihan cluster terbaik dilakukan dengan menentukan nilai Davies Bouldin Index dari masing masing model, kemudian dibandingkan dengan nilai Davies Bouldin Index dari model yang lainnya.

Dalam rangka penentuan jarak, diperlukan bobot akhir yang telah memenuhi

treshold pelatihan (training). Pada Matlab2011b, digunakan sintaks net.WI{1,1} untuk memunculkan bobot akhir. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penentuan jarak dan penentuan nilai Davies Bouldin Index. Indeks ini menjadi penting nantinya karena meskipun tidak ada aturan dalam menentukan jumlah cluster, akan tetapi dengan menggunakan indeks ini maka akan ditentukan satu model pembentukan cluster terbaik dari proses algoritma Self Organizing Map.

Pada algoritma Self Organizing Map, pembentukan cluster didasarkan pada pengukuran jarak dari data input menuju neuron yang ditentukan untuk meminimumkan jarak. Pengukuran jarak dilakukan pada seluruh data input


(48)

48

pembentukan cluster. Berikut ini akan digunakan persamaan 2.3 dengan memanfaatkan hasil normalisasi data pada lampiran 2. Berikut adalah data hasil normalisasi untuk Provinsi Aceh (lampiran 2)

Tabel 3.4 Data Hasil Normalisasi untuk Provinsi Aceh Variabel Data Normalisasi Variabel Data Normalisasi

0.254345 0.09894

0.805546 0.787703

0.693285 0.045842

0.545854 0.02904

0.279379 0.050633

0.294657 0.027397

0.295789 0.057674

0.618305 0.375738

0.709677 0.021185

0.24564 0.024096

0.027742 0.028302

0.146739 0

0.106234 0

0.17012 0

0.073973 0.028395

Kemudian berikut adalah bobot akhir untuk model 2 cluster yang diperoleh dengan menggunakan sintaks net.IW{1,1} pada Matlab R2011b (lampiran 3):


(49)

49

Tabel 3.5 Bobot Akhir untuk Model 2 Cluster

Variabel Neuron 1 Neuron 2 Variabel Neuron 1 Neuron 2

0.348914 0.363339 0.175183 0.393993

0.665662 0.702639 0.56635 0.342393

0.119897 0.713447 0.02488 0.943117

0.198274 0.988293 0.040307 0.854798

0.169282 0.845898 0.030185 0.968354

0.234277 0.50054 0.043783 0.89863

0.38042 0.361492 0.029688 0.588159

0.595059 0.402784 0.021627 0.8103

0.187345 0.516129 0.019995 0.979767

0.399001 0.457728 0.008526 0.954217

0.511798 0.54908 0.017537 0.746855

0.081313 0.057065 0.016983 0.62987

0.150604 0.03468 0.037475 0.858974

0.179882 0.064477 0.038462 0.555556

0.126712 0.14589 0.059165 0.165092

Berdasarkan data hasil normalisasi dan bobot akhir dari data input Provinsi Aceh, maka dapat ditentukan jarak antara neuron 1 dan neuron 2 dengan data

input Provinsi Aceh. Dengan menggunakan Eulcedian Distance maka dapat ditentukan jarak inter-cluster data pada Provinsi Aceh ke masing-masing cluster.


(50)

50

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, dapat ditentukan bahwa jarak data input

Provinsi Aceh dengan neuron 1 adalah 1.22873 dan 8.355261987 menuju neuron 2. Hasil selanjutnya untuk pengukuran jarak inter-cluster dengan model 2 cluster

pada data Provinsi di Indonesia ditampilkan pada tabel 3.6

Tabel 3.6 Hasil Penentuan jarak inter-cluster untuk model 2 Cluster

Provinsi Jarak inter-cluster Provinsi Jarak inter-cluster

Neuron 1 Neuron2 Neuron 1 Neuron2

Aceh

1.228073 8.622531106

Nusa Tenggara

Barat 1.006555 10.4494678 Sumatera Utara

1.059239 7.980898251

Nusa Tenggara

Timur 2.564208 9.88624854 Sumatera Barat 1.861766 8.903682686 Kalimantan Barat 0.979144 11.3273205 Riau 0.646923 11.04041274 Kalimantan Tengah 1.889993 12.6025547 Jambi 0.878249 10.47028513 Kalimantan Selatan 0.463075 10.6796804 Sumatera Selatan 1.155025 10.92125456 Kalimantan Timur 1.342332 11.2183817

Bengkulu 1.519668 11.3323463 Sulawesi Utara 1.12292 10.1252997 Lampung 0.535926 9.861366374 Sulawesi Tengah 0.584682 10.2615239 Kep, Bangka

Belitung 0.633345 11.54353969 Sulawesi Selatan 1.315625 8.18669635 Kepulauan Riau 0.617065 11.27028711 Sulawesi Tenggara 1.295533 10.8805594

DKI Jakarta 1.695931 11.79594585 Gorontalo 0.645623 11.3853839 Jawa Barat 12.96255 1.074597879 Sulawesi Barat 0.395872 10.8227673 Jawa Tengah 8.149487 1.091968726 Maluku 0.821558 10.5994132 DI Yogyakarta 2.49624 11.45160779 Maluku Utara 0.877804 11.0061983 Jawa Timur 3.352092 5.696632716 Papua Barat 0.980984 11.3638504 Banten 0.938294 10.11591651 Papua 1.556857 9.86020501


(51)

51 dengan bentuk topologi bobot sebagai berikut

Gambar 3. 4. Topologi Bobot Model 2 cluster

Berdasarkan gambar 3.4, dapat terlihat bahwa neuron dan data input provinsi di Indonesia di representasikan ke dalam dua dimensi. Pada gambar 3.4, neuron ditampilkan dalam bentuk dot berwarna biru, sedangkan untuk data input provinsi di Indonesia ditampilkan dalam bentuk dot berwarna hijau. Adapun bobot penghubung antar neuron ditampilkan dalam bentuk garis berwarna merah.

Berdasarkan tabel 3.6 diketahui jarak inter-cluster untuk masing masing neuron pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Karena tujuan pembentukan cluster sendiri adalah untuk mengelompokkan unit-unit yang hampir sama pada suatu daerah tertentu dan memaksimumkan perbedaan antar cluster yang dibentuk. Sehingga unit-unit input akan dikelompokkan ke neuron yang paling dekat dengan unit input.

Tabel 3.7 Hasil Pembentukan Model 2 Cluster

Provinsi Eucledian

distance Cluster Provinsi

Eucledian

distance Cluster

Aceh 1.228073 1 Nusa Tenggara Barat 1.006555 1 Sumatera Utara 1.059239 1 Nusa Tenggara


(52)

52 Provinsi Eucledian

distance Cluster Provinsi

Eucledian

distance Cluster

Sumatera Barat 1.861766 1 Kalimantan Barat 0.979144 1

Riau 0.646923 1 Kalimantan Tengah 1.889993 1

Jambi 0.878249 1 Kalimantan Selatan 0.463075 1 Sumatera Selatan 1.155025 1 Kalimantan Timur 1.342332 1

Bengkulu 1.519668 1 Sulawesi Utara 1.12292 1

Lampung 0.535926 1 Sulawesi Tengah 0.584682 1

Kep, Bangka

Belitung 0.633345 1 Sulawesi Selatan 1.315625 1

Kepulauan Riau 0.617065 1 Sulawesi Tenggara 1.295533 1

DKI Jakarta 1.695931 1 Gorontalo 0.645623 1

Jawa Barat 1.074597879 2 Sulawesi Barat 0.395872 1

Jawa Tengah 1.091968726 2 Maluku 0.821558 1

DI Yogyakarta 2.49624 1 Maluku Utara 0.877804 1

Jawa Timur 3.352092 1 Papua Barat 0.980984 1

Banten 0.938294 1 Papua 1.556857 1

Bali 0.911133 1

Tabel 3.7 menunjukkan model pembentukan cluster dengan 2 cluster. Pada

cluster 1, terdapat 31 anggota dan untuk cluster 2 terdapat 2 anggota. Hasil selanjutnya untuk model pembentukan cluster ditampilkan pada lampiran 4. B. Penerapan Metode Davies Bouldin Index (DBI) dalam Menentukan

Cluster Terbaik dari Proses Algoritma Self Organizing Map

Davies Bouldin Index digunakan untuk validasi cluster, yaitu prosedur yang mengevaluasi hasil analisis cluster secara kuantitatif dan objektif sehingga dihasilkan kelompok optimum. Dalam skripsi ini, Davies Bouldin Index (DBI) akan digunakan untuk mendeteksi outlier pada masing-masing cluster yang terbentuk. Pengukuran ini bertujuan untuk memaksimalkan jarak inter-cluster


(53)

53

Berikut ini persamaan Davies Bouldin Index yang diperoleh dengan menggunakan hasil penghitungan jarak inter-cluster pada model pembentukan cluster dengan 2 cluster (lampiran 4).

Maka diperoleh nilai pada model 2 cluster ‖ ̅

̅ ‖

‖ ‖

Sehingga dapat ditentukan nilai dan IDB

Untuk hasil penentuan nilai Davies Bouldin Index selengkapnya akan ditampilkan pada lampiran 5.

C. Analisis Pembentukan Cluster dengan metode Self Organizing Map

Pemilihan model pembentukan cluster terbaik dilakukan dengan melihat hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index. Untuk menentukan model pembentukan


(54)

54

cluster terbaik, maka dibentuk beberapa model pembentukan cluster dengan jumlah cluster yang berbeda. Dalam penelitian ini, dibentuk 9 model pembentukan cluster yang dimulai dengan membentuk model 2 cluster hingga membentuk model 10 cluster menggunakan Matlab (lampiran 7). Berdasarkan hasil penghitungan nilai Davies Bouldin Index untuk masing masing model (lampiran 5), dapat dilihat bahwa dengan pembentukan model lebih dari 4 cluster, terdapat cluster yang hanya memiliki satu anggota saja. Hal ini mungkin terjadi apabila anggota input tersebut tidak sama dengan yang lainnya. Dengan kata lain, dalam pembentukan cluster, terdapat input yang memiliki karateristik khusus sehingga tidak dapat dikelompokkan dengan yang lainnya. Dalam penelitian lain, hal ini disebut dengan kasus khusus. Meski hanya memiliki satu anggota, kelompok tersebut tetap dihitung sebagai cluster. Akan tetapi pada perhitungan nilai Davies Bouldin Index¸ nilai akan selalu bernilai nol jika salah satu dari atau menunjukkan cluster ke- atau cluster ke- yang hanya memiliki satu anggota.

Berdasarkan nilai Davies Bouldin Index, diperoleh bahwa nilai Davies Bouldin Index untuk model 8 cluster memiliki nilai minimum dengan nilai sebesar 0.173808643. hasil penentuan jarak inter-cluster dan pembentukan cluster untuk model 8 cluster ditampilkan pada tabel 3.8.


(55)

55

Tabel 3.8 Penentuan Jarak Inter-Cluster dan Pembentukan Cluster untuk Model 9

Cluster

Provinsi Eucledian

distance Cluster Provinsi

Eucledian

distance Cluster

Aceh 0.875 5 Nusa Tenggara Barat 0.755604 5

Sumatera Utara 0.824781 5 Nusa Tenggara Timur 9.7 6 Sumatera Barat 1.08 7 Kalimantan Barat 0.478437 4

Riau 0.283553 2 Kalimantan Tengah 1.17E-30 3

Jambi 0.4201 2 Kalimantan Selatan 0.167562 2

Sumatera Selatan 0.820101 2 Kalimantan Timur 1.217905 2

Bengkulu 1.37E-30 4 Sulawesi Utara 0.708464 5

Lampung 0.182669 2 Sulawesi Tengah 0.254085 5

Kep, Bangka Belitung 0.170635 2 Sulawesi Selatan 1.008522 5

Kepulauan Riau 0.158978 2 Sulawesi Tenggara 1.016041 5

DKI Jakarta 1.153046 2 Gorontalo 0.333477 5

Jawa Barat 0.838334 9 Sulawesi Barat 0.249417 5

Jawa Tengah 0.838334 9 Maluku 0.339403 5

DI Yogyakarta 0.001898 1 Maluku Utara 0.533828 5

Jawa Timur 2.09E-30 8 Papua Barat 0.559245 5

Banten 0.555936 2 Papua 0.710331 5

Bali 0.594471 2

Untuk penentuan kategori tingkat kerawanan bencana tanah longsor didasarkan pada mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster. Mean yang diperoleh kemudian digunakan sebagai dasar untuk menganalisis karakteristik dari suatu cluster secara umum. Maka untuk melihat karateristik dari masing-masing

cluster dilakukan penghitungan dan analisis terhadap nilai mean dari faktor-faktor terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari bencana tanah longor dari seluruh anggota cluster (lampiran 7).


(56)

56

1. Analisis Faktor dan Dampak Terjadinya tanah longsor pada masing-masing Cluster

Analisis pada hasil pembentukan cluster akan difokuskan ke dua hal, yaitu faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan dampak dari terjadinya bencana tanah longsor. Adapun variabel sampai dengan adalah variabel yang menunjukkan faktor penyebab terjadinya bencana tanah longsor dan variabel

sampai dengan menunjukkan dampak dari terjadinya bencana tanah

longsor. Analisis hasil pembentukan cluster adalah sebagai berikut a. Kepemilikan Kendaraan Bermotor

Gambar 3. 5 Diagram Persentase Kepemilikan Kendaraan Bermotor Dalam kategori kepemilikan kendaraan bermotor, terdapat dua variabel input

yang akan dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memililiki kendaraan bermotor dan persentase keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Secara umum, hampir seluruh cluster menunjukkan persentase keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih besar daripada persentase keluarga yang tidak

0 20 40 60 80 100

Persentase Kepemilikan Kendaraan

Bermotor

Tidak Memiliki Kendaraan Bermotor Memiliki Kendaraan Bermotor


(57)

57

memiliki kendaraan bermotor dengan perbandingan yang berbeda-beda, hanya pada cluster 6 yang memiliki kondisi yang sedikit berbeda. Pada wilayah cluster

6, persentase rata-rata keluarga yang memiliki kendaraan bermotor lebih kecil daripada persentase rata-rata keluarga yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

b. Kemiringan Lahan

Gambar 3.6 Diagram Jumlah Lokasi Lahan Berkemiringan Curam, Landai dan Sedang

Pada kategori kemiringan lahan, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu jumlah lokasi untuk lahan dengan kemiringan curam, landai dan sedang. Secara umum, hampir pada seluruh wilayah cluster didominasi oleh lahan dengan kemiringan curam, hanya pada cluster 6 jumlah lokasi lahan curam lebh sedikit daripada jumlah lahan landai. Tentu saja banyaknya lahan dengan kemiringan curam lebih berpotensi untuk menimbulkan bencana tanah longsor. Artinya lebih dari separuh provinsi di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 Cluster 1 Cluster 2 Cluster 3 Cluster 4 Cluster 5 Cluster 6 Cluster 7 Cluster 8 Cluster 9

Kemiringan Lahan

Curam Landai Sedang


(58)

58

menimbulkan bencana tanah longsor. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam

cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara umum, dari diagram diatas terlihat bahwa seluruh provinsi di Indonesia memiliki jumlah lahan dengan kemiringan sedang yang sangat sedikit. Dapat diambil informasi pula bahwa hampir seluruh cluster memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih banyak dari pada lahan landai dan lahan sedang, hanya pada cluster 6 yang memiliki jumlah lokasi lahan curam yang lebih sedikit dari pada lahan landai. Adapun pada wilayah cluster 8 dan cluster 9 memiliki rata-rata jumlah lokasi lahan curam yang berbeda cukup signifikan dengan wilayah cluster lainnya dengan rata-rata jumlah lokasi lahan curam lebih dari 4000 lokasi. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Tengah.

Dari sembilan cluster yang terbentuk, cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka

cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1. Sedangkan pada wilayah cluster lainnya cenderung memiliki karakteristik kemiringan lahan yang hampir sama. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 7 adalah Provinsi Sumatera Barat.


(59)

59

Dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa :

1) Cluster 8 dan cluster 9 adalah wilayah dengan jumlah lahan curam, lahan landai dan lahan sedang yang paling banyak bila dibandingkan dengan wilayah cluster lainnya, namun yang paling signifikan perbedaanya adalah jumlah lokasi lahan curam yang dapat menjadi potensi terjadi bencana tanah longsor.

2) Cluster 1 dan cluster 7 memiliki kondisi yang paling baik diantara cluster

lainnya bila dilihat dari faktor kemiringan lahan. Jumlah lokasi lahan curam pada wilayah-wilayah ini kurang dari 400 lokasi, sedangkan bila membandingkan keberadaan lahan landai dan lahan sedang maka cluster 7 memiliki kondisi yang lebih baik karena jumlah lahan curam pada wilayah ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan wilayah cluster 1.

3) Wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5 dan cluster 6 cenderung memiliki karakteristik kondisi kemiringan lahan yang hampir sama.

c. Pemilahan Sampah

Gambar 3.7 Diagram Persentase Keluarga berdasarkan Pemilahan Sampah

0 20 40 60 80 100

Persentase Keluarga berdasarkan

Pemilahan Sampah

Sampah Dipilah dan Sebagian Dimanfaatkan Sampah Dipilah Kemudian Dibuang Sampah Tidak Dipilah


(60)

60

Pada kategori pemilahan sampah, terdapat 3 variabel input yang dianalisis, yaitu persentase keluarga yang memilah sampah dan sebagian dimanfaatkan, persentase keluarga yang memilah sampah kemudian dibuang dan persentase keluarga yang tidak memilah sampah. Secara umum, dapat terlihat seperti yang tertera pada diagram, bahwa persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang. Artinya kesadaran masyarakat akan pentingnya memilah sampah masih rendah. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat tidak terkelolanya sampah dengan baik dapat mengakibatkan masalah lingkungan yang beragam, salah satunya adalah tanah longsor.

Apabila melihat dari persentase pemanfaatan sampah, maka hampir persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah di seluruh provinsi di Indonesia lebih rendah daripada persetase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah, hanya pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki kondisi yang paling baik karena persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah. Adapun provinsi yang termasuk ke dalam cluster 1 adalah Provinsi DI Yogyakarta, provinsi yang masuk ke dalam cluster 8 adalah Provinsi Jawa Timur dan provinsi yang termasuk ke dalam cluster 6 adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur.


(61)

61

Kondisi yang sedikit berbeda juga ditemukan pada wilayah cluster 9. Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama. Adapun provinsi yang masuk ke dalam cluster 9 adalah Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dari hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan bahwa :

1) Persentase keluarga yang tidak memilah sampah pada seluruh cluster lebih banyak dari pada persentase keluarga yang memilah, baik yang memilah kemudian dimanfaatkan ataupun yang memilah kemudian dibuang.

2) Pada cluster 1 dan cluster 6, dan cluster 8 memiliki persentase keluarga yang memanfaatkan sampah setelah dipilah lebih tinggi daripada persentase keluarga yang membuang sampah setelah dipilah.

3) Pada wilayah cluster 9 persentase keluarga yang memanfaatkan sampah dan yang membuang sampah setelah dipilah hampir sama.

4) Pada wilayah cluster 2, cluster 3, cluster 4, cluster 5, dan cluster 7 memiliki karakteristik wilayah yang hampir sama bila dilihat dari faktor pemilahan sampah.

d. Bencana Gempa Bumi

Gambar 3.8 Diargam Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi

0 20 40 60 80

Cluster 1Cluster 2Cluster 3Cluster 4Cluster 5Cluster 6Cluster 7Cluster 8Cluster 9

Frekuensi Terjadinya Bencana Gempa Bumi


(1)

148

Melatih jaringan hingga maksimum epochs (1000)

net =

Neural Network

name: 'Self-Organizing Map'

efficiency: .cacheDelayedInputs, .flattenTime, .memoryReduction

userdata: (your custom info) dimensions: numInputs: 1 numLayers: 1 numOutputs: 1 numInputDelays: 0 numLayerDelays: 0 numFeedbackDelays: 0 numWeightElements: 60 sampleTime: 1 connections: biasConnect: false inputConnect: true layerConnect: false outputConnect: true subobjects:

inputs: {1x1 cell array of 1 input} layers: {1x1 cell array of 1 layer} outputs: {1x1 cell array of 1 output} biases: {1x1 cell array of 0 biases} inputWeights: {1x1 cell array of 1 weight} layerWeights: {1x1 cell array of 0 weights} functions:

adaptFcn: 'adaptwb' adaptParam: (none)


(2)

149

derivFcn: 'defaultderiv' divideFcn: (none) divideParam: (none) divideMode: 'sample' initFcn: 'initlay' performFcn: (none) performParam: (none)

plotFcns: {'plotsomtop', plotsomnc, plotsomnd, plotsomplanes, plotsomhits, plotsompos} plotParams: {1x6 cell array of 6 params} trainFcn: 'trainbu'

trainParam: .showWindow, .showCommandLine, .show, .epochs, .time

weight and bias values:

IW: {1x1 cell} containing 1 input weight matrix LW: {1x1 cell} containing 0 layer weight matrices b: {1x1 cell} containing 0 bias vectors

methods:

adapt: Learn while in continuous use configure: Configure inputs & outputs gensim: Generate Simulink model init: Initialize weights & biases perform: Calculate performance

sim: Evaluate network outputs given inputs train: Train network with examples

view: View diagram

unconfigure: Unconfigure inputs & outputs evaluate: outputs = net(inputs)


(3)

(4)

151

Memanggil bobot akhir dari dua neuron

>> net.IW{1,1}

ans =

Columns 1 through 8

0.3406 0.6802 0.1654 0.2410 0.1969 0.2676 0.3577 0.5879 0.3633 0.7026 0.7134 0.9883 0.8459 0.5005 0.3615 0.4028 Columns 9 through 16

0.2157 0.3971 0.5022 0.0515 0.1454 0.1732 0.1248 0.1751 0.5161 0.4577 0.5491 0.0571 0.0347 0.0645 0.1459 0.3940 Columns 17 through 24

0.5462 0.0353 0.0508 0.0342 0.0588 0.0664 0.0293 0.0291 0.3424 0.9431 0.8548 0.9684 0.8986 0.5882 0.8103 0.9798 Columns 25 through 30

0.0192 0.0223 0.0279 0.0456 0.0617 0.0626 0.9542 0.7469 0.6299 0.8590 0.5556 0.1651


(5)

152

Menentukan anggota dari masing masing

Cluster

>> a=sim(net,data2); >> ac=vec2ind(a); >> ac

ac =

Columns 1 through 13

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 Columns 14 through 26

1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Columns 27 through 33


(6)