20
Hawa adalah pelengkap kehidupan Adam seperti pemahaman Paulus, Augustine dan Calvin. Berdasarkan interpretasi seperti itu, maka terjadilah diskriminasi-diskriminasi tugas Hawa.
Diskriminasi itu terbukti dengan adanya ayat-ayat Alkitab yang mengesampingkan kedudukan perempuan.
‘Ezer keneggedo atau yang diterjemahkan penolong yang sepadan menggambarkan adanya masalah 2 masalah. Masalah bertama berkaitan dengan dengan masalah reproduksi,
sedangkan masalah kedua berkaitan dengan masalah produksi. Hawa sebagai penolong yang sepadan digambarkan hidup pada masa pra monarki yang
tidak jauh berbeda dengan masa monarki. Masa pra monarki dan monarki merupakan keadaan dimana seluruh masyarakat hidup sebagai masyarakat agraris. Sebagai masyarakat agraris
terdapat tigas tugas kerja yang dilakukan, yaitu prokreasi, produksi dan proteksi. Penolong yang sepadan ini menggambarkan bahwa pada kisah penciptaan seluruh ciptaan Allah diciptakan
berpasang-pasangan. Adam yang merupakan manusia pertama yang diciptakan ternyata hanya seorang diri dan tidak memiliki pasangan yang sepadan dengan dia. Dengan demikian, Hawa
sebagai penolong yang sepadan adalah untuk menjadi rekan yang setara. Rekan yang setara inilah yang akan membantu Adam untuk memperbanyak keturunan. Memperbanyak keturunan
dapat dilakukan oleh Hawa sebagai perempuan. Jumlah keturunan yang semakin banyak berguna untuk membawa nama keluarga dan menjadi ahli waris, dan memperbanyak masyarakat Israel.
Penggambaran Hawa sebagai penolong yang sepadan berkaitan dengan kehidupan rumah tangga antara Hawa dan Adam untuk memperbanyak jumlah keturunan mereka. Dengan demikian, telah
terjawab masalah pertama dalam teks Kejadian 2: 18 yang berkaitan dengan masalah reproduksi. Berkaitan dengan masalah reproduksi, maka Kejadian 2: 18 menggambarkan bahwa Hawa
merupakan penolong yang sepadan untuk melakukan tugas kerja prokreasi. Hawa sebagai penolong yang sepadan yang hidup pada masa agraris dan nomaden,
membantu laki-laki untuk melakukan tugas kerja produksi. Hal itu terjadi pada saat mereka harus berpindah tempat tinggal dan laki-laki bertugas untuk berperang demi memperluas daerah Israel.
Pada saat laki-laki Israel harus berperang, laki-laki akan meninggalkan keluarga. Setelah ditinggalkan laki-laki untuk berperang, maka untuk mempertahankan kebutuhan hidup
perempuan harus mengambil alih tugas kerja produksi. Perempuan yang melakukan tugas kerja produksi mewajibkan perempuan untuk mengeluarkan tenaga ekstra. Tugas produksi yang
dilakukan adalah membuka lahan dan bercocok tanam sebagai bagian dari pekerjaan petani. Tugas kerja produksi ini dilakukan untuk membantu laki-laki demi mencukupi kebutuhan dalam
21
keluarga. Tugas kerja produksi ini merupakan solusi terhadap masalah kedua yaitu Hawa sebagai penolong yang sepadan, memiliki sumber daya manusia dan materi yang berlebih yang
digunakan untuk meringankan beban orang lain. Berdasarkan pernyataan di atas, terlihat bahwa Hawa melakukan tugas kerja ganda dan
memberikan tenaga yang berlebih. Tugas kerja ganda yang dilakukannya adalah prokreasi yaitu untuk menolong, melengkapi Adam dalam ranah rumah tangga demi memperbanyak keturunan
sebagai bentuk pekerjaan domestik. Selain itu, tugas kerja Hawa adalah melakukan tugas kerja produksi yaitu menolong Adam untuk membuka lahan dan bercocok tanam sebagai bentuk
pekerjaan publik. Pertolongan yang ditugaskan pada Hawa adalah untuk menjadi rekan yang setara dan memiliki kekuatan yang berlebih untuk meringankan beban pihak lain yaitu Adam.
Oleh karena itu, tepat jika untuk menggambarkan Hawa termasuk seluruh perempuan lainnya untuk bertanggungjawab menjadi seorang penolong dan bukan pembantu. Makna kata
penolong lebih dari sekedar membantu seseorang. Pertolongan yang dilakukan seorang penolong berdampak untuk memberikan keringanan pada pihak yang mengalami kesulitan dan tekanan
yang akan memberikan kebebasan, kelegaan dan kemudahan. Membantu cenderung untuk menerangkan sesuatu yang tidak alami, sementara menolong merupakan sesuatu yang alami,
yang berasal dari dalam diri manusia dan dilakukan kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja. Dengan demikian makna lain dari kata penolong atau „
ezer
adalah seseorang yang memiliki sumber saya manusia dan materi yang berlebih yang digunakan untuk meringankan beban orang
lain. Namun, pada kenyataannya saat teks ini dipahami berdasarkan interpretasi tradisional,
perempuan yang bertugas sebagai penolong atau orang yang memiliki sumber daya manusia yang berlebih dan akan memberi kebebasan, kelegaan, kepuasan dan memberi kemudahan yang
setara dianggap tidak lebih dari seorang pembantu dan pelengkap. Dianggap sebagai pembantu merupakan salah satu ketidakadilan yang terjadi pada diri perempuan. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa terdapat interpretasi tradisional di dalamnya. Interpretasi tradisional yang terjadi diakibatkan karena adanya budaya patriakal yang terus menerus berkembang dalam
kehidupan masyarakat sampai dengan saat ini. Budaya patriakal ini mengakibatkan dan membenarkan bahwa perempuan merupakan seorang pembantu dan hanya sekedar pelengkap
kehidupan laki-laki.
22
Budaya ini berkembang dalam masyarakat dengan ideologi bahwa laki-laki adalah seorang penguasa dan pemimpin. Budaya ini mengakibatkan bahwa laki-laki yang pantas untuk
mendominasi struktur dalam masyarakat. Perkembangan budaya patriakal membuat kedudukan perempuan menjadi kelas nomor dua. Perempuan diwajibkan untuk melakukan pekerjaan
domestik yaitu hanya berfungsi untuk melakukan prokreasi dan sulit untuk bekerja pada ranah publik, yaitu untuk melakukan produksi dan akibatnya cenderung menerima perlakuan-
perlakukan tidak menyenangkan. Ketidakadilan yang terjadi pada diri perempuan berkaitan dengan teks terkait, membuat perempuan mengalami tindakan tidak menyenangkan secara psikis
dan juga fisik. Secara psikis perempuan hanya akan diperintah untuk melakukan pekerjaan domestik, tidak mendapat penghargaan terhadap hasil pekerjaannya, diri perempuan tidak
dihargai, dianggap sebagai properti, tidak memiliki hak waris, atau bahkan dianggap hanya sebagai pemuas kebutuhan seks laki-laki. Bahkan budaya patriakal menganggap bahwa
penindasan atau kekerasan yang terjadi pada perempuan yang bekerja pada ranah domestik merupakan hal yang wajar.
Ketika teks ini diartikan dengan interpretasi tradisonal maka seperti itulah keadaan yang dialami oleh kaum perempuan. Gambaran perempuan sebagai penolong hanyalah teks sebab
dalam pelaksanaannya tidak terjadi seperti yang dituliskan. Maraknya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan membuat para pejuang feminis
mengambil tindakan untuk memperbaiki keadaan perempuan dalam masyarakat. Mereka berjuang untuk menyetarakan kembali derajat perempuan dan meyakini bahwa perempuan
memiliki kesempatan yang sama untuk mengekpresikan dirinya untuk menjadi setara dengan laki-laki.
3.2 Makna Hawa sebagai ‘
ezer
ditinjau dari psiko feminis
Ketidakadilan yang terjadi akibat penafsiran pada teks dalam Kejadian 2:18 belum memberikan perhatian utuh pada peran perempuan pada saat teks ini ditulis, menimbulkan
stigma negatif yang dikenakan pada perempuan. Stigma-stigma negatif membuat perempuan tidak berperan aktif dalam masyarakat. Stigma negatif tanpa sadar membuat perempuan
mengalami gangguan kesehatan mental. Hal tersebut dikarenakan perempuan mendapatkan dan mengalami tekanan-tekanan dari pihak luar dalam bentuk fisik atau bahkan psikis. Tekanan-
tekanan yang dialami oleh perempuan membuatnya mengalami gangguan kesehatan mental.
23
Gangguan kesehatan mental yang terjadi diakibatkan karena adanya tekanan dari pihak luar tentang keadaan sosial perempuan. Misalnya saja jika perempuan hanya bertugas sebagai
pemuas kebutuhan seks laki-laki, maka perempuan akan mengalami tekanan dan merasa diri tidak berharga. Rasa tidak berharga dalam diri perempuan inilah yang akan merusak citra
dirinya. Perempuan akan merasa tidak percaya diri untuk mengekpresikan dirinya untuk berada pada ranah publik. Rusaknya citra diri perempuan akan memberikan dampak buruk dalam
kesehariannya. Rusaknya citra diri perempuan akan membuatnya menerima begitu saja semua perlakukan pada dirinya baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan.
Menerima berbagai perlakukan yang menyenangkan ataupun tidak menyenangkan nyatanya mempengaruhi sifat asertif yang dimiliki perempuan. Secara alami, sifat asertif yang
dimiliki oleh perempuan, akan membuatnya mampu untuk menolak dan membela diri pada saat mengalami hal buruk atau hendak mengungkapkan keinginannya. Di saat sifat ini tidak lagi
berfungsi perempuan akan mengalami krisis percaya diri dan mengalami tekanan dalam dirinya. Tekanan inilah yang membuat kesehatan mental perempuan semakin memburuk. Gangguan
kesehatan mental pada diri perempuan, dapat membuatnya stress, depresi hingga ke tahap gila. Gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi berkaitan dengan teks ini, terjadi
dalam kehidupan rumah tangga dan juga bergereja. Dalam kehidupan rumah tangga, saat perempuan dianggap layaknya pembantu, dia hanya akan bertugas untuk mengurus suami, anak
dan rumah. Perempuan tidak diberikan penghargaan sebagai pihak yang setara dengan laki-laki, dan tidak dihargai sebagai sumber daya manusia yang memiliki berlebih dan material. Dalam
kehidupan bergereja, suara perempuan tidak didengarkan, perempuan tidak diperkenankan untuk menjalani pelayanan, tidak dapat memberikan pertimbangan atau tidak diperkenankan untuk
mengambil keputusan. Kondisi psikologi perempuan akan mengalami gangguan saat dia tidak mendapatkan
kesempatan dan penghargaan. Perempuan yang tadinya mampu melakukan banyak hal dalam satu waktu atau
multitasking
menjadi sosok yang seakan-akan tidak mempu dalam melakukan tugasnya. Bahkan tugas yang dilakukan perempuan dapat memberikan hasil yang tidak
maksimal. Berbeda halnya jika perempuan mendapatkan haknya untuk memiliki kesempatan dan
penghargaan. Pada saat mendapatkan kesempatan untuk melakukan keinginannya, dan mendapatkan penghargaan terhadap hasil pekerjaannya, mendapatkan penghargaan karena
24
menjadi rekan setara dengan laki-laki akan membuat perempuan memiliki dan menikmati standart tertinggi kesehatan fisik dan mental. Kenikmatan yang dialami dan dirasakan oleh
perempuan akan membuatnya merasa sejahtera dan bahagia. Ketika kesejahteraan dimiliki oleh perempuan, maka dia dapat melakukan tugasnya secara baik dan memperoleh hasil yang baik
juga. Melalui seluruh penjelasan di atas, maka makna kata penolong dalam kejadian 2: 18
berdasarkan proses hermeneutik dan psiko feminis memiliki pengertian bahwa perempuan adalah pihak yang memiliki sumber daya manusia berlebih dan material yang akan mendampingi dan
memberikan kebebasan, kemudahan, kenyamanan, kelegaan kepada laki-laki. Penolong tidaklah bertugas dan berfungsi layaknya pembantu. Penolong merupakan suatu bentuk kesetaraan peran
dalam relasi manusia. Adanya kesetaraan peran ini dikarenakan pihak yang menolong dan ditolong merasa saling membutuhkan, sebab mereka memiliki kekurangan dan keterbatasan.
Oleh karena itu, melalui seluruh penjelasan di atas maka di sinilah makna baru yang telah penulis berikan dari Kejadian 2: 18. Kiranya penulisan ini dapat memberikan sumbangsih positif
terhadap kedudukan perempuan. Hal ini terjadi karena ternyata perempuan memiliki sumber daya manusia berlimpah dalam bentuk tenaga dan material yang sangat berguna untuk memberi
kemudahan, kebebasan dan kelegaan terhadap laki-laki dan komunitas. Melalui penulisan ini, kiranya jangan ada lagi anggapan atau bahkan perlakukan yang menggambarkan perempuan
adalah pembantu. Jika dalam keluarga dan gereja perempuan hanya dianggap sebagai pembantu maka itu akan mengakibatkan gangguan kesehatan mental, dan tentu saja membuat perempuan
tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai penolong dalam Kejadian 2: 18 dengan baik dan maksimal.
4. Kesimpulan dan Saran
Teks Kejadian 2: 18 tidak memiliki pengaruh yang besar di Indonesia. Budaya Indonesia masih banyak yang menganggap perempuan sebagai harta atau benda yang bisa diperjualbelikan.
Budaya Indonesia juga masih sangat terpengaruh dengan budaya timur yang mana menganggap perempuan tidak memiliki hak untuk menyetarakan dirinya dengan laki-laki. Banyak aturan
tertulis dalam hukum dan parlemen yang membedakan kedudukan perempuan dan laki-laki. Secara khusus, selain dianggap sebagai harta atau benda, perempuan hanyalah kaum kelas nomor
dua. Kedudukan perempuan di Indonesia, juga hampir sama dengan kedudukan perempuan dan
25
laki-laki dalam masyarakat Israel monarki. Kedudukan perempuan di Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya tidak sebanyak kedudukan kaum laki-laki. Masih terdapat banyak
ketimpangan yang terjadi. Teks Kejadian 2: 18 juga tidak begitu banyak berpengaruh dalam kehidupan bergereja. Para
teolog dan bapak gereja masa kini, masih banyak yang menganggap perempuan hanyalah pelengkap dan tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berkarya dengan bebas.
Hal yang dilakukan oleh gereja adalah hal yang dianut berdasarkan pemahaman Paulus dan Calvin. Mereka hanya mempercayai teks-teks kitab suci secara harafiah dan menutup diri untuk
melaksanakan teks ini. Penulisan ini menggunakan kajian psiko feminis yang berguna untuk mengangkat kembali
derajat perempuan, untuk menyetarakan kembali kedudukan perempuan dan laki-laki. Kajian ini juga menggunakan proses hermenutik. Sehingga hasil dari penulisan ini adalah untuk
merekonstruksi kondisi perempuan Israel kuno. Setelah di rekonstruksi maka penulisan ini dapat membingkai kembali teks Kejadian 2: 18 sebagai teks yang harus dilakukan. Setelah
rekonstruksi dilakukan maka perempuan adalah seorang penolong yang sepadan, yang memiliki sumber daya manusia berlebih dan memiliki materi yang berguna untuk membantu pihak lain.
Sebagai penolong yang sepadan, tentu saja perempuan memiliki peranan yang luar biasa untuk dapat dijalankan.
Oleh karena itu, melalui penulisan ini sudah saatnya semua orang dan lembaga termasuk gereja membuka diri untuk memperlakukan perempuan sebagai seorang penolong dan
memberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam bidang sosial, budaya atau ekonomi.
26
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, David.
The Message of Genesis 1-11.
Leicester, England: De Monfort Street, 1996. Arivia, Gadis.
Filsafat Berperspektif Feminis.
Yayasan Jurnal Perempuan, 2003. __________,
Feminisme: Sebuah Kata Hati.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006. Barth, M. C.
Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu
. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006. Barnhouse, Ruth Tiffany.
Identitas Wanita Bagaimana mengenal dan Membentuk Citra Diri
. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
Blommendal, J.
Pengantar Kepada Perjanjian Lama.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012. Bradley, Carol Pratt.
Women in Ancient Israel
. Journal International Studia Antiqua, Vol 3 No 1, Winter, 2013.
Berquist, Jon. L.
Reclaiming Her Story.
St. Louis, Missouri: Chalice Press, 1992. Beurden, Leo van.
How to Enjoy Holy Bible
. Jakarta: Penerbit obor, 2004. Calvin, John.
The Institutes of Christian Religion.
USA: Baker Book House, 1987. Crawford, Mary.
Transformation Women, Gender and Psychology.
New York: McGraw-Hill, 2006.
Celia Kitzinger, 1998. “Feminist Psychology in an Interdisiplinary Context” International Journal of Gender Studies, Vol. 7, No. 2,
pp
199-207. Christine Griffin Ann Phoe
nix, 1994. “The Relationship Between Qualitative and Quantitative Research: Lesson from Feminist Psychology”, International Journal of Community
Applied Social Psychology, Vol. 4,
pp
287-298. Clifford, A. M.
Memperkenalkan Teologi Feminis
. Maumere : Ledalero, 2002. Coote, Robert. B Mary P. Coote.
Kuasa, Politik dan Pembuatan Alkitab.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.