PERLINDUNGAN HUKUM PADA KORBAN PEMERKOSAAN YANG MELAKUKAN ABORTUS PROVOCATUS

(1)

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM PADA KORBAN PEMERKOSAAN

YANG MELAKUKAN ABORTUS PROVOCATUS

OLEH

I GEDE AGUS SETIAWAN

Aborsi atau pengguguran kandungan merupakan suatu masalah yang sangat kontroversi pada saat sekarang ini dimana terdapat pihak yang pro dan kontra atas aborsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dari perspektif yuridis tentang bagaimana hukum pidana melalui peraturan perundang-undangan yang ada memberikan perlindungan hukum khususnya terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus. Perempuan korban perkosaan yang kemudian hamil dan memilih aborsi sebagai cara untuk mengakhiri kehamilannya selama ini diposisikan sebagai pelaku tindak pidana aborsi, yang dalam kepustakaan hukum pidana dikenal dengan tindak pidana “pengguguran kandungan” (abortus provocatus). Adapun perlindungan hukum pada korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus tersebut ditinjau berdasarkan pengaturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai Lex Generale, dan juga berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang merupakan pengganti UU Kesehatan yang lama, yaitu UU No. 23 Tahun 1992, dan berlaku sebagai Lex Speciale.

Untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang ditunjukan dengan cara mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan secara yurudis normatif dan didukung yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama menelaah eberapa hal yang ersifat teoritis berkenaan dengan sekripsi yang sedang dibahas. Pendekatan secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis dilakukan dengan mengadakan penelitian secara langsung kelapangan.


(2)

Dari hasil penelitian yang dilakukan pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299, dan Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan ke dalam kejahatan terhadap nyawa. pasal-pasal dalam KUHP tersebut, tampaklah KUHP tidak membolehkan suatu abortus provocatus di Indonesia. KUHP tidak melegalkan abortus provocatus tanpa kecuali. Bahkan abortus provocatus medicalis atau abortus provocatus the rapeuticus pun dilarang, termasuk di dalamnya adalah abortus provocatus yang dilakukan oleh perempuan korban perkosaan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan undang-undang kesehatan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, melalui Pasal 75,76, dan Pasal 77 memberikan penegasan mengenai pengaturan pengguguran kandungan (abortus provocatus).

Saran dari penulis adalah perlu dirumuskan secara eksplisit di dalam Peraturan Pemerintah. Untuk itu perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan aborsi bagi korban perkosaan, Perlu melakukan revisi terhadap UU No. 36 Tahun 2009, khususnya beberapa pasal yang terkait dengan penentuan usia maksimal janin sebagai akibat perkosaan yang boleh diaborsi. Menurut Pasal 76 huruf a UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait dalam hal memastikan, bahwa proses pelaksanaan aborsi secara sah tidak memberikan trauma kedua kalinya kepada para korban perkosaan, dan tidak membebankan sehingga mungkin mencegah sebagian besar korban, terutama mereka yang tinggal di komunitas miskin, termarginalisasi dan terpencil, untuk mengakses pelaksanaan layanan-layanan aborsi yang aman.


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….. i

DAFTAR ISI ……… ii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ... ……….. 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... ………. 9

D. Kerangka teoritis dan konseptial…….……… 10

E. Sistematika penulisan ……….. 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. 19

A. Tinjauan umum tentang aborsi ... 19

1. Pengertian aborsi... 19

2. Jenis jenis aborsi... 20

3. Faktor- faktor penyebab terjadinya abortus provorcatus………. 25

B. Tinjauan tentang tindak pidana pemerkosaan ……….. 28

1. perumusan dan pengaturan tindak pidana pemerkosaan……….…. 28

2. unsur- unsur tindak pidana pemerkosaan ……… 32

C. Pengertian Korban Kejahatan dan Beberapa Pandangan Tentang Korban.. 39

D. Perlindungan hukum terhadap Korban……… ……. 42

BAB III METODE PENELITIAN……… 51

A. Pendekatan masalah……….… 51

B. Data dan jenis data ……….. 52


(4)

1. Metode pengumpulan data…..……….. 52

2. Penolahan data……….. 53

D. Analisis data……….……… 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……… 55

A. Pengaturan tentang abortus provocatus pada korban pemerkosaan dalam hukum pidana……….. 55

1. Pengaturan Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)………..………. 56

2. Pengaturan Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan….…………. 67

B. Perlindungan hukum pidana terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus……… 82

BAB V PENUTUP A. Simpulan ………... 92

B. Saran ………. 93 DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, zainudin : metode penelitian hukum. Sinar grafika. Jakarta. 2009

Budijayanto,arif;kejahatan seks dan aspek medikolegal gangguan pesikodeksual. kalmal media pustaka. Jakarta 1982

Ekotama, Suryono; Artu Harum, ST Pudji dan Artana, Widi. Abortus Provokatus bagi Korban Perkosaan. Perspektif Viktimologi Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta, 2001.

Gosita,arif, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), (Jakarta: Akademika Presindo, 1985),

Hoediyanto: ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Departemen Ilmu kedokteran forensik dan medikolegal fakultas kedokteran universitaas airlangga. Surabaya. 2010 Kusmanyanto,SCJ.kontroversi aborsi(Jakarta PT gramedia widiasarana. Indonesia .2002),

Kamus besar bahasa Indonesia,1991

Mansur,arief; uregensi perindungan korban kejahatan. PT rajagrafindo persada. Jakarta 2006

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1990) _________, asas-asas hukum pidana (Jakarta:rineka cipta,1993)

Notoatmodjo, Soekidjo, Etika & Hukum Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta 2010 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), Prof.moeljatno,sh,asas-asas hukum pidana rineka cipta. 2009


(6)

Soerjono,Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta. Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung. Hal 113

Peraturan Perundang-undangan:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009.

Internet :

(http:// www. legalitas.org), diakses 8 Juni 2010) “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Aborsi bagi Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

http://regional.kompasiana.com, 24 September 2011

http://pusat-makalah-hukum.blogspot.com/2011/01/proposal-abortus-provocatcus criminalis.html, 24 September 2011.

http://www.masbied.com/search/latar-belakang-terjadinya-abortus-di-indonesia,24 September 2011.


(7)

Judul Skripsi : perlindungan hukum pidana pada korban pemerkosaan yang melakukan abortus provocatus .

Nama Mahasiswa : I Gede Agus Setiawan

Npm : 0912011162

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYUTUJUI

1.Komisi Pebimbing

Prof.Dr.Sunarto D.M, S.H.,M.H. Diah Gustiniati

NIP 196208171987032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H.,M.H. NIP 196208171987032003


(8)

PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA PADA KORBAN PEMERKOSAAN YANG MELAKUKAN ABORTUS PROVOCATUS

(Skripsi)

I GEDE AGUS SETIAWAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(9)

MOTTO

Tuhan itu hanya satu hanya cara dan tradisi lah yang membedakan tetapi tujuan kita sama seperti itu lah

beragama dan hidup

“gantungkan angan mu setinggi bintang dilangitdan rendahkan hatimu serendah mutiara dilaut”

Ketika kamu mulai menyerah…..

tutup matamu…….

ingatlah apa yang telah kamu perjuangkan selama ini….. buka matamu dan katakana bahwa aku bias…..


(10)

Persembahan

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Ayah dan Ibu tercinta ayah komang swastika dan ibu nyoman warniti Yang telah membesarkanku, mengajarkanku banyak hal dan senantiasa

mendoakan keberhasilanku.

Seluruh keluarga besarku Kak Ita, Kak aditiawan, Om Nengah,dan seluruh keluargaku yang telah lama menantikan keberhasilanku dan selalu menasehatiku

agar menjadi lebih baik dan membanggakan keluarga.

Niluh Ita Pasyanti, sahabat dan teman-teman angkatan 2009 yang selalu senantiasa memberikan semangat, doa dan dukungan yang khusus pada penulis.

THANK YOU TO Almamater Tercinta


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di seputih banyak kabupaten lampung tengah pada tanggal 02 oktober 1991, merupakan putra dari pasangan Bapak Komang Swastika dan ibu Nyoman Warniti.

Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1 SB 13 , Seputih Banyak diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menegah Pertama Negeri 1 Rumbia Lampung tengah diselesaikan pada tahun 2006 dan melanjutkan pada tingkat Sekolah Menengah Atas Negeri 1 seputih banyak Lampung tengah diselesaikan pada tahun 2009, pada tahun 2009 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2012 penulis mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Suka jaya Kecamatan kedondong Kabupaten pesawaran. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di Unit Kegiatan Mahasiswa hindu (UKMH) Universitas Lampung sebagai ketua umum periode 2010/2011.


(12)

SAN WACANA

Astungkare, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Perlindungan hukum pada korban pemerkosaan yang melakukan abortus provocatus, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Prof.Dr. Sunarto D.M, S.H.,M.H selaku Pembimbing I atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Pembimbing II atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

5. Ibu Firganefi, S.H.,M.H selaku Pembahas I, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.


(13)

6. Bapak A. Irzal F, S.H.,M.H selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: Yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

9. Kepala Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Kasat Reskrim, yang telah memberikan izin untuk melakukan Research di Polresta Bandar Lampung.

10. Seluruh Keluarga Besarku, Abah, Emak, Kak ita, Kak adi, kakak yang lain, serta niluh ita pasyanti yang telah sabar, memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat-sahabatku: I Ketut Alit Indra Satria (kenjer), S.H, I Ketut Rike Andriana S.H (bj), Dewa Made Sudiarsa.S,H (sudi), gede sastrawan, Amd.kom (seplog), komang swastika (kojong), wayan suparte (jawet), made sumadi (lek madi),gede mustika(dolet) terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan selama ini.

12. Seluruh Teman-teman Bagian Hukum Pidana : Aditya Putra, Noverdi Puja Saputra, Made Apriana, Adi Wiratama, Prayogi Arif, Verdi Hadi Wibowo, Bangkit Budi Satya, Ni Putu Yudiastuti. serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh studi studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.


(14)

13. Niluh Ita Pasyanti, terima kasih telah sabar, menemani dan memberikan dukungan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Penulis berdoa semoga kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi tuhan, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Juni 2013 Penulis


(15)

I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Abortus provocatus yang dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Abortus Provocatus merupakan salah satu dari berbagai macam jenis abortus. Dalam kamus Latin - Indonesia sendiri, abortus diartikan sebagai wiladah sebelum waktunya atau keguguran. Pengertian aborsi atau Abortus Provocatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya.1 Dengan

kata lain “pengeluaran” itu dimaksudkan bahwa keluarnya janin disengaja dengan campur tangan

manusia, baik melalui cara mekanik, obat atau cara lainnya.

Abortus provokatus atau yang lebih popular di Indonesia disebut aborsi adalah suatu kejahatan dengan fenomena gunung es. Kasus-kasus pengguguran kandungan banyak ditemukan di masyarakat, namun yang diproses di tingkat Pengadilan hanya sedikit sekali, antara lain disebabkan sulitnya para penegak hukum dalam mengumpulkan bukti-bukti yang dapat menyeret pelaku abortus provokatus ke meja hijau.Realitas seperti ini dapat dipahami, karena aborsi tidak memberikan dampak yang nyata sebagaimana tindak pidana pembunuhan yang secara riil dapat

1

Kusmaryanto, SCJ., Kontroversi Aborsi. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.


(16)

diketahui akibatnya. Aborsi baik proses dan hasilnya lebih bersifat pribadi, sehingga sulit dideteksi.

Dampak kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) khususnya korban perkosaan, pada dasarnya membawa akibat buruk, selain korban mengalami trauma yang panjang bahkan seumur hidup, dia tidak dapat melanjutkan pendidikan, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Begitu juga jika anaknya lahir, masyarakat tidak siap menerima kehadirannya bahkan mendapat stigma sebagai anak haram yang tidak boleh bergaul dengan anak-anak lain di lingkungannya serta menerima perlakuan negatif lainnya2. Sementara jika digugurkan (aborsi), selain tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum dianggap sebagai tindakan kriminal, pelanggaran norma agama, susila dan sosial.

Kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) yang berakhir dengan aborsi tidak aman, hanyalah salah satu kasus yang terjadi di Indonesia. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menemukan, pertahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi tidak aman.Sementara WHO memperkirakan 10-50% dari kasus aborsi tidak aman berakhir dengan kematian ibu.3 Angka aborsi tak aman (unsafe abortion) memang tergolong tinggi, diperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tak aman, 26% dari jumlah tersebut tergolong legal dan lebih 70.000 aborsi tak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu.4

2

(http://regional.kompasiana.com, 24 September 2011) 3

(http:// www. legalitas.org), diakses 8 Juni 2010) “Analisis Hukum Islam terhadap Praktik Aborsi bagi

Kehamilan Tidak Diharapkan (KTD) Akibat Perkosaan menurut UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan”,

4


(17)

Muhajir Darwin dari Pusat Penelitian Kependudukan UGM dalam Round Table Discussion, tentang Aborsi, Usia Kawin dan Pengaruhnya terhadap Fertilisasi yang diadakan BKKBN, mengatakan: ... ketika hukum tidak memberi tempat bagi pelayanan aborsi yang aman, maka para perempuan yang mengalami kehamilan tanpa dikehendaki terpaksa pergi ke bidan atau dukun aborsi yang tak kompeten. Akibatnya, komplikasi kesehatan atau bahkan kematian mengancamnya5. Selanjutnya menurut Muhajir Darwin, bahwa angka kematian maternal di Indoonesia adalah tertinggi di Asia yaitu sekitar 11% di antaranya karena pertolongan aborsi yang tidak aman.6

Adanya kasus kehamilan yang disebabkan oleh pemerkosaan dibandar lampung hal ini menunjukan bahwa kejahatan tersebut pernah ada diwilayah hukum poltebes Bandar Lampung. Dari hasil penelitian yang pernah saya lakukan di polresta Bandar lampung, bahwa si pelaku aborsi mengatakan bahwa janin yang dikandungnya adalah asil dari pemerkosaan, karna malu menanggung aib karena hamil diluar pernikahan si pelaku memutuskan untuk menggugurkan kandungan tersebut.

Salah satu fakta dilapangan yang peneliti peeroleh dari data kasus pemerkosaan yang melakukan aborsi dikepolisian Bandar lampung adalah tindak pidana aborsi yang dilakukan oleh siti ( nama samaran) pada tanggal 1 januari 2012 sekitar jam 02.00 dini hari sepulang siti merayakan malam tahun baru bersama teman-temannya. Dengan kekerasan dan ancaman kekerasan pelaku memperkosa siti, karena malu saudari siti tidak melaporkan kejadian tersebut hingga ia hamil 2

5

ibid

6


(18)

bulan dan ia melakukan aborsi untuk menghilangkan bayi yang berada dalam kandungannya, namun tuhan berkehendak lain, siti ditangkap pihak yang berwajib7.

Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun ilegal. Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan aborsi provokatus medikalis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai aborsi provokatus criminalis.

Selama puluhan tahun aborsi telah menjadi permasalahan bagi perempuan karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik itu moral, hukum, politik, dan agama. Kemungkinan terbesar timbulnya permasalahan tersebut berakar dari konflik keyakinan bahwa fetus memiliki hak untuk hidup dan para perempuan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dalam hal ini melakukan pengguguran kandungan. Perkembangan konflik yang tidak kunjung mendapatkan titik temu mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya mempertahankan kehidupan dan pro-choice yang mendukung supaya perempuan mempunyai pilihan untuk menentukan sikap atas tubuhnya dalam hal ini aborsi. Mencuatnya permasalahan aborsi di Indonesia, agaknya perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang memberikan alternatif solusi yang tepat. Pertentangan moral dan agama merupakan masalah terbesar yang sampai

7


(19)

sekarang masih mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan dan tetap merupakan masalah besar yang masih mengancam. Adanya pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan dengan secara agama dan hukum membuat aborsi menjadi suatu permasalahan yang mengandung kontoroversi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil perkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Disisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun.

Istilah aborsi dalam hukum pidana di Indonesia dikenal dengan tindak pidana “Pengguguran

Kandungan”. Dan secara umum pengaturan mengenai aborsi tersebut terdapat dalam Pasal 299,Pasal 346,Pasal 347,Pasal 348, dan Pasal 349 KUHP8. Pasal-pasal ini secara jelas dan tegas mengatur larangan melakukan aborsi dengan alasan apapun, termasuk aborsi karena alasan darurat (terpaksa) yaitu sebagai akibat perkosaan, baik bagi pelaku ataupun yang membantu melakukan aborsi. Bahkan dengan hukuman yang dilipatgandakan, yang membantu melakukan adalah ahli medis. Ketentuan ini terasa memberatkan terutama bagi tim medis yang melaksanakan aborsi dengan alasan medis.

Sebelum dilakukan revisi terhadap undang-undang kesehatan masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan termasuk tenaga medis yang membantu

8


(20)

melakukan aborsi tersebut. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban perkosaan. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Namum dipihak lain ada juga yang memandang bahwa aborsi terhadap korban perkosaan adalah aborsi kriminalis karena memang tidak membahayakan nyawa sang ibu, dan dalam undang-undang kesehatan yang lama, yaitu UU No. 23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas di dalam pasalnya. Keberadaan praktik aborsi kembali mendapat perhatian dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan sebagai pengganti UU No. 23 Tahun 1992. Dengan dikeluarkannya revisi undang-undang kesehatan maka mengenai legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan telah termuat dengan jelas di dalam Pasal 75 ayat 2 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Meski demikian UU ini menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat karena adanya pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, kembali menegaskan bahwa pada dasarnya undang-undang melarang adanya praktik aborsi (Pasal 75 ayat 1). Meski demikian larangan tersebut dikecualikan apabila ada:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau


(21)

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (Pasal 75 ayat 2)9.

Terlepas dari hukum formal yang mengatur, aborsi merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya agama yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia aborsi lebih condong sebagai aib sosial daripada manifestasi kehendak bebas tiap individu. Aborsi merupakan masalah yang sarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama, dan politik. Aturan normatif legal formal menolak aborsi meski masih ada ruang untuk hal-hal khusus. Aturan normatif sosial-hudaya-agama yang "informal" pada umumnya juga menolak aborsi, meski terdapat variasi dan kelonggaran di sana-sini. Persoalan aborsi penting untuk dibahas karena fenomena ini berkaitan erat dengan persoalan kesehatan reproduksi perempuan. Untuk kasus Indonesia, seperti diketahui, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu (MMR) adalah karena praktek aborsi terutama bagi ibu pada usia belia sebagai akibat salah pergaulan ataupun belum siap memiliki anak, selain persoalan pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan faktor struktural lain yang lebih luas. Selain keterkaitan dengan nilai-nilai sosial, politik, budaya, dan agama, secara lebih spesifik fenomena aborsi tersebut terkait erat dengan isu gender. Berdasar latar belakang penelitian sebagaimana tersebut di atas, satu persoalan yang perlu mendapat jawaban dan penjelasan yaitu tentang pengaturan dan perlindungan hukum terhadap tindakan aborsi (abortus provocatus) khususnya yang dilakukan oleh korban perkosaan menurut Hukum Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

9


(22)

B. Perumusan Masalah

Permasalahan merupakan suatu pernyataan yang menunjukkan adanyajarak antara harapan dengan kenyataan, antara rencana dengan pelaksanaandan antara das sollen dengan das sein.Untuk memudahkan pembahasan, maka permasalahan dalampenelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan Hukum Pidana tentang abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum pidana terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui perumusan, dan pengaturan hukum pidana tentang abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan.

b. Untuk mengetahui bagaimana hukum pidana melalui peraturan perundang- undangan yang ada memberikan perlindungan terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus


(23)

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana materiil, khususnya yang terkait dengan abortus provocatus pada korban perkosaan.

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan tidak hanya kepada para praktisi hukum yang memiliki kewenangan dalam penegakkan hukum, tetapi juga kepada para tenaga medis yang memiliki kewenangan bertindak sesuai dengan sumpah jabatan dan etika profesi yang diembannya khususnya yang berkaitan dengan masalah abortus provocatus, dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, sehingga perempuan sebagai korban perkosaan tidak lagi menjadi korban secara terstruktur (second victimization).

D. Kerangka Teoritis dan Konseptul

1. Kerangka Teoritis:

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian.10

Secara teoritis dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana materil khususnya yang terkait dengan abortus provocatus pada korban pemerkosaan.

10


(24)

Pengaturan tentang abortus provocatus itu terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum(Lex Generale), dan juga dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentangKesehatan yang menggantikan Undang-Undang-Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, dan berlaku sebagai hukum pidana khusus (Lex Speciale). Berikut ini adalah pengaturan tentang abortus provocatus yang terdapat dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut.Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan pengguguran kandungan yang disengaja (abortus provocatus) diatur dalam Buku kedua Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan khususnya Pasal 299,dan Bab XIX Pasal 346 sampai dengan Pasal 349, dan digolongkan kedalam kejahatan terhadap nyawa.

Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas dapat diuraikan unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :

1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau iamenyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.

2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu hamil,dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukumanpenjara 12 tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15tahun penjara.

3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman 5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7tahun penjara.

4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan)ancaman hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut.


(25)

P.A.F. Lamintang memberi penjelasan terhadap pasal-pasal11 tersebut sebagai berikut:

a. Pengguguran anak dari kandungan hanyalah dapat dihukum, jika anak yang berada dalam kandungan itu selama dilakukan usaha pengguguran berada dalam keadaan hidup. Undang-undang tidak mengenal anggapan hukum yang dapat memberi kesimpulan bahwa anak yang berada di dalam kandungan itu berada dalam keadaan hidup ataupun mempunyai kemungkinan tetap hidup.

b. Untuk pengguguran yang dapat dihukum, disyaratkan bahwa anak yang berada dalam kandungan itu selama dilakukan usaha pengguguran kandungan berada dalam keadaan hidup. Tidak perlu bahwa anak itumenjadi mati karena usaha pengguguran tersebut. Kenyataan bahwa anak itu dilahirkan dalam keadaan selamat, tidaklah menghapus bahwa kejahatan itu selesai dilakukan. Undang-undang tidak membedakan antara berkurang atau lebih lancarnya pertumbuhan anak yang hidup didalam kandungan melainkan menetapkan pemisahan dari tubuh si ibu yang tidak pada waktunya sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

c. Disyaratkan bahwa anak yang berada di dalam kandungan itu hidup dansi pelaku mempunyai kesengajaan untuk menggugurkan anak yangberada di dalam keadaan hidup itu. Dianggap bahwa kesengajaan ituada, apabila selama proses kelahiran anak itu berada dalam keadaanhidup dan si pelaku diliputi oleh anggapan bahwa demikianlah halnya.(H.R. 29 Juli 1907. W. 8580).

d. Alat-alat pembuktian yang disebutkan oleh hakim didalam putusannya haruslah dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa wanita itu hamil dan mengandung anak yang hidup dan

11


(26)

bahwa tertuduh mempunyai maksud untuk dengan sengaja menyebabkan gugur atau meninggalnya anak tersebut. (H.R. 20 Desember 1943, 1994 No. 232).

Dari ketentuan Pasal 346-349 KUHP dapat diketahui, bahwa aborsi menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terdapat dalam KUHP adalah tindakan menggugurkan atau mematikan kandungan yang dilakukan oleh seorang wanita atau orangyang disuruh melakukan itu. Wanita dalam hal ini adalah wanita hamilyang atas kehendaknya ingin menggugurkan kandungannya, sedangkan tindakan yang menurut KUHP dapat disuruh lakukan untuk itu adalah dokter, bidan atau juru obat.

Perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang melakukan abortus provocatus terdapat dalam undang- undang kesehatan No 36 tahun 2009. Perlindungan hukum ini terdapat pada Pasal 75 Ayat 2 b undang-undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang isinya menjelaskan tentang legalisasi aborsi karena kehamilan disebabkan oleh pemerkosaan. Berikut ini adalah uraian lengkap mengenai perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang melakukan aborsi yang terdapat dalam pasal pasal tersebut:

Pasal 75:

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.

2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau


(27)

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76:

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 77:

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(28)

2. Konseptual

Konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun emprtis. Biasanya telah dirumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah dijalankan lebih lanjut dari konsep konsep tertentu.

Untuk memudahkan dalam pembahasan dan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pembahasan dan pokok permasalahan dalam sekripsi ini, maka akan dikemukakan beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah- istilah yang akan dijadikan pegangan dalam memahami sekripsi ini yaitu sebagai berikut:

a. Analisis yuridis adalah penelitian hukum terhadap suatu peristiwa atau keadaan yang sebenarnya.

b. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.12

c. Abortus provorcatus adalah penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya secara paksa dan disengaja oleh ibu dari bayi yang akan dilahirkan13

12

(prof.moeljalanto,sh 2009: 4)

13


(29)

E. Sistematika Penulisan

Sistimatika ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyimpangan dari judul dan lebih mudah dalam menelaah uraian yang disajikan secara keseluruhan. Penulisan laporan penelitian disusun dengan sistimatika sebagaiberikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I sebagai Pendahuluan, terdiri dari lima sub bab yangmembahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah sebagai batasan masalah dalam melakukan penelitian. Selanjutnya akan diuraikan tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan diakhiri dengan sistimatika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka menguraikan landasan teori untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Tinjauan pustaka ini berisi kerangka pemikiran atau teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Uraian pertama pada babini berupa tinjauan umum tentang aborsi. Uraian berikutnya akan menjelaskan tinjauan tentang regulasi aborsi dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Dan uraian ketiga sebagai akhir dari tinjauan pustaka akan diuraikan mengenai tinjauan tentang perkosaan sebagai tindak pidana yang menjadikan perempuan sebagai korban.

BAB III : METODE PENELITIAN

Metode penelitian menjelaskan mengenai metode yang diuraikan dalam penelitian ini yaitu metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode pengumpulan data dan analisa data.


(30)

Sebagai bagian dari penyajian data dan analisis terhadap data yang diperoleh dari hasil

penelitian, yakni data mengenai“Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Perspektif

Hukum Pidana”. Adapun dalam menganalisa data tersebut, penulis melakukan suatu kajian yang bersifat normative berdasarkan ketentuan hukum pidana positif yang berlaku diIndonesia, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (lexgenerale), dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang berlaku sebagi hukum pidana khusus (lexspeciale) terkait dengan Abortus Provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan . Adapun dalam Bab ini data-data hasil penelitian yang akan disajikan dan dianalisis menyangkut data- data mengenai :

1. Pengaturan Hukum Pidana tentang Abortus Provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan.

2. Perlindungan hukum pidana terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus. Data yang disajikan berupa data sekunder. Dengan demikian, gambaran mengenai permasalahan dalam penelitian ini diharapkan telah menjadi jelas.

Bab V : PENUTUP

Berdasarkan proses pembahasan dan penganalisaan permasalahan yang diuraikan dalam Bab IV mengenai Abortus Provocatus pada Korban Perkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana , maka BabV ini menjadi bagian akhir dari penyusunan laporan penelitian ini, sehingga pada bagian ini dapat ditegaskan beberapa simpulan dansaran sebagai penutup.


(31)

II . TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Aborsi

1. Pengertian Aborsi

Dalam pengertian awam istilah aborsi adalah pengguguran kandungan, keluarnya hasil konsepsi atau pembuahan sebelum waktunya. Abortion dalam kamus Inggris Indonesia diterjemahkan dengan pengguguran kandungan. Dengan demikian, menurut Blaks’s Law Dictionary, keguguran dengan keluarnya embrio atau fetus tidak semata-mata karena terjadi secara alamiah, akan tetapi juga disengaja atau terjadi karena adanya campur tangan (provokasi) manusia. Ensiklopedi Indonesia memberikan penjelasan bahwa abortus diartikan sebagai pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram. Untuk lebih memperjelas maka berikut ini akan penulis kemukakan defenisi para ahli tentang aborsi, yaitu:

a) Eastman: Aborsi adalah keadaan terputusnya suatu kehamilan dimanafetus belum sanggup berdiri sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400 – 1000 gr atau kehamilan kurang dari 28 minggu;

b) Jeffcoat: Aborsi yaitu pengeluaran dari hasil konsepsi sebelum 28minggu, yaitu fetus belum viable by llaous;

c) Holmer: Aborsi yaitu terputusnya kehamilan sebelum minggu ke-16 dimana plasentasi belum selesai.


(32)

Dalam pengertian medis, aborsi adalah terhentinya kehamilan dengan kematian dan pengeluaran janin pada usia kurang dari 20 minggu dengan berat janin kurang dari 500 gram, yaitu sebelum janin dapat hidupdi luar kandungan secara mandiri. 1

2. Jenis-jenis Aborsi

Proses abortus dapat berlangsung dengan cara:

1. Spontan/alamiah (terjadi secara alami, tanpa tindakan apapun); 2. Buatan/sengaja (aborsi yang dilakukan secara sengaja);

3. Terapeutik/medis (aborsi yang dilakukan atas indikasi medis karena terdapatnya suatu permasalahan/komplikasi).

Abortus secara medis dapat dibagi menjadi dua macam: 1. Abortus spontaneous

Abortus spontaneous 2, adalah aborsi yang terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis ataupun medicinalis semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah. Rustam Mochtar dalam Muhdiono menyebutkan macam-macam aborsi spontan :

a. Abortus completes, (keguguran lengkap) artinya seluruh hasil konsepsi dikeluarkan sehingga rongga rahim kosong.

b. Abortus inkopletus, (keguguran bersisa) artinya hanya ada sebagian dari hasil konsepsi yang dikeluarkan yang tertinggal adalah decidua dan plasenta

1

(h.mutahal,dr,.Spf(k) DKK,2010:296),

2


(33)

c. Abortus iminen, yaitu keguguran yang membakat dan akan terjadi dalam hal ini keluarnya fetus masih dapat dicegah dengan memberikan obat-obat hormonal dan anti pasmodica

d. Missed abortion, keadan di mana janin sudah mati tetapi tetap berada dalam rahim dan tidak dikeluarkan selama dua bulan atau lebih.

e. Abortus habitulisatau keguguran berulang adalah keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturut-turut 3 kali atau lebih.

.

Kehilangan janin tidak disengaja biasanya terjadi pada kehamilan usia muda (satu sampai dengan tiga bulan). Ini dapat terjadi karena penyakit antara lain: demam; panas tinggi; ginjal TBC, Sipilis atau karena kesalahan genetik. Pada aborsi sepontan tidak jarang janin keluar dalam keadaan utuh. Kadangkala kehamilan seorang wanita dapat gugur dengan sendirinya tanpa adanya suatu tindakan ataupun perbuatan yang disengaja. Hal ini sering disebut dengan

“keguguran” atau aborsi spontan.Ini sering terjadi pada ibu-ibu yang masih hamil muda, dikarenakan suatu akibat yang tidak disengaja dan diinginkan atupun karena suatu penyakit yang dideritanya. Dalam usia yang sangat muda keguguran dapat saja terjadi, misalnya karena aktivitas ibu yang mengandung terlalu berlebihan, stress berat, berolahraga yang membahayakan keselamatan janin seperti bersepeda dan sebagainya.

2 . Abortus provokatus

Abortus provokatus, adalah aborsi yang disengaja baik dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat. Aborsi provocatus merupakan istilah lain yang secara resmi dipakai dalam kalangan kedokteran dan hukum. Ini adalah suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh. Menurut Fact Abortion, Info Kit on Women’s Health olehInstitute


(34)

For Social, Studies anda Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan” aborsi didefenisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi rahim (uterus),sebelum janin (fetus) mencapai 20 minggu”3

Di Indonesia belum adabatasan resmi mengenai pengguguran kandungan (aborsi). ”aborsi

didefenisikan sebagai terjadinya keguguran janin; melakukan aborsi sebagai melakukan

pengguguran (dengan sengaja karena tidak mengiginkan bakal bayi yang dikandung itu)”.4

Ada beberapa istilah untuk menyebut keluarnya konsepsi atau pembuahan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang biasa disebut aborsi (abortion), di antaranya: Abortion criminalis, yaitu pengguguran kandungan secara bertentangan dengan hukum; AbortionEugenic, yaitu pengguguran kandungan untuk mendapat keturunan yang baik; Abortion induced/ provoked/ provocatus, yaitu pengguguran kandungan karena disengaja; Abortion Natural, yaitu pengguguran kandungan secara alamiah; Abortion Spontaneous, yaitu pengguguran kandungan secara tidak disengaja; dan Abortion Therapeutic, yaitu pengguguran kandungan dengan tujuan untuk menjaga kesehatan sang ibu.Aborsi yang dilakukan secara sengaja (abortus provocatus)ini terbagi menjadi dua:

a. Abortus provocatus medicinalis, adalah aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yaitu apabila tindakan aborsi tidak diambil akan membahayakan jiwa ibu. Abortus provokatus medisinalis/artificialis/therapeuticus adalah aborsi yang dilakukan dengan disertai indikasi medis. DiIndonesia yang dimaksud dengan indikasi medis adalah demi menyelamatkan nyawa ibu. Adapun syarat-syarat yang ditentukan sebagai indikasi medis adalah:

3

Ibid

4


(35)

1. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.

2. Harus meminta pertimbangan tim ahli (ahli medis lain, agama, hukum, psikologi). 3. Harus ada persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.

4. Dilakukan di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk oleh pemerintah.

5. Prosedur tidak dirahasiakan.

6. Dokumen medik harus lengkap.Dalam praktek di dunia kedokteran, abortus provocatus medicinalis juga dapat dilakukan jika anak yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan harapan hidupnya tipis, misalnya janin menderita kelainan ectopia kordis (janin akan dilahirkan tanpa dinding dada, sehingga terlihat jantungnya), rakiskisis (janin akan dilahirkan dengan tulang punggung terbuka tanpa ditutupi kulit kulit maupun anensefalus (janin akan dilahirkan tanpa otak besar) 5

b. Abortus provocatus criminalis, adalah aborsi yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis, sebagai contoh aborsi yang dilakukan dalam rangka melenyapkan janin sebagai akibat hubungan seksual di luar perkawinan. Secara umum pengertian abortus provokatus kriminalis adalah suatu kelahiran dini sebelum bayi itu pada waktunya dapat hidup sendiri di luar kandungan. Pada umumnya janin yang keluaritu sudah tidak bernyawa lagi.6, Sedangkan secara yuridis abortus provokatus kriminalis adalah setiap penghentian kehamilan sebelum hasil konsepsi dilahirkan, tanpa memperhitungkan umur bayi dalam kandungan dan janin dilahirkan dalam keadaan matiatau hidup. Bertolak pada pengertian

5

ibid

6


(36)

di atas, dapatlah diketahui bahwa pada abortus provocatus ini ada unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya. Menurut kebiasaan maka bayi dalam kandungan seorang wanita akan lahir setelah jangka waktu 9 bulan10 hari. Hanya dalam hal tertentu saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia kandungan baru mencapai 7 bulan atupun 8 bulan. Dalam hal ini perbuatan aborsi ini biasanya dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan. Menurut pengertian kedokteran yang dikemukakan oleh Lilien Eka Chandra, aborsi(baik keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti terhentinya kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya seltelur yang sudah (blastosit) dirahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28 minggu dihitung sejak haid terakhir itu diambil karena sebelum 28 minggu, janin belum dapat hidup (viable di luarrahim).7

Frekuensi terjadinya aborsi di Indonesia sangat sulit dihitung secara akurat karena banyaknya kasus aborsi buatan/sengaja yang tidak dilaporkan. Berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2 juta kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya. Pada penelitian di Amerika Serikat terdapat 1,2 – 1,6 juta aborsiyang disengaja dalam 10 tahun terakhir dan merupakan pilihan wanita Amerika untuk kehamilan yang tidak diinginkan. Secara keseluruhan, di seluruh dunia, aborsi adalah penyebab kematian yang paling utama dibandingkan kanker maupun penyakit jantung.

3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Abortus Provocatus

Meski demikian, secara kritis bisa ditarik generalisasai bahwa aborsi dilakukan tidak hanya dikarenakan kehamilan di luar perkawinan (kehamilan pranikah, dilakukan gadis), tetapi juga terjadi di dalam perkawinan, oleh perempuan yang berstatus istri. Baik abortus dikarenakan

7


(37)

kehamilan di luar perkawinan atau pun dalam perkawinan keduanya memiliki beberapa alasan yang berbeda, dan keduanya merupakan fenomena terselubung yang cenderung ditutupi oleh pelakunya. Abortus provocatus berkembang sangat pesat dalam masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan banyaknya factor yang memaksa pelaku dalam masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Pelaku merasa tidak mempunyai pilihan lain yang lebih baik selain melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum dan moral yaitu melakukan aborsi. Berikut ini disebutkan beberapa faktor yang mendorong pelaku dalam melakukan tindakan abortus provocatus , yaitu:

a) Kehamilan sebagai akibat hubungan kelamin di luar perkawinan. Pergaulan bebas dikalangan anak muda menyisakan satu problem yang cukup besar. Angka kehamilan di luar nikah meningakat tajam. Hal ini disebabkan karena anak muda Indonesia belum begitu mengenal arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran yang amat rendah tentang kesehatan. Minimnya pengetahuan tentang reproduksi dan kontrasepsi maupun hilangnya jati diri akibat terlalu berhaluan bebas seperti negara-negara barat tanpa dasar yang kuat (sekedar tiru-tiru saja). Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.Masyarakat tidak menghendaki kehadiran anak haram seperti itu didunia. Akibat adanya tekanan psikis yang diderita wanita hamil maupun keluarganya, membuat mereka mengambil jalan pintas untuk menghilangkan sumber/penyebab aib tadi, yakni dengan cara menggugurkan kandungan.

b) Alasan-alasan sosio ekonomis. Kondisi masyarakat yang miskin(jasmani maupun rohani) biasanya menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Karena terhimpit kemiskinan itulah mereka tidak sempat memperhatikan hal-hal lain dalam kehidupan mereka yang bersifat sekunder, kecuali kebutuhan utamanya mencari nafkah. Banyak


(38)

pasangan usia subur miskin kurang memperhatikan masalah- masalah reproduksi. Mereka tidak menyadari kalau usia subur juga menimbulkan problem lain tanpa alat-alat bukti kontrasepsi. Kehamilan yang terjadi kemudian tidak diinginkan oleh pasangan yang bersangkutan dan diusahakan untuk digugurkan dengan alasan mereka sudah tidak mampu lagi membiayai seandainya anggota mereka bertambah banyak.

c) Alasan anak sudah cukup banyak. Alasan ini sebenarnya berkaitan juga dengan sosio- ekonomi di atas. Terlalu banyak anak sering kali memusingkan orang tua. Apalagi jika kondisi ekonomi keluarga merekapas-pasan. Ada kalanya jika terlanjur hamil mereka sepakat untuk menggugurkan kandungannya dengan alasan sudah tidak mampu mengurusi anak yang sedemikian banyaknya. Dari pada si anak yang akan dilahirkan nanti terlantar dan hanya menyusahkan keluarga maupun orang lain, lebih baik digugurkan saja.

d) Alasan belum mampu punya anak. Banyak pasangan-pasangan muda yang tergesa-gesa menikah tanpa persiapan terlebih dahulu. Akibatnya,hidup mereka pas-pasan, hidip menumpang mertua, dsb. Padahal salah satu konsekuensi dari perkawinan adalah lahirnya anak. Lahirnya anak tentu saja akan memperberat tanggung jawab orang tua yang masih kerepotan mengurusinya hidupnya sendiri. Oleh karena itu, mereka biasanya mengadakan kesepakatan untuk tidak mempunyai anak terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu. Jika terlanjur hamil dan betul-betul tidak ada persiapan untuk menyambut kelahiran sang anak,mereka dapat menempuh jalan pintas dengan cara menggugurkan kandungannya. Harapannya, dengan hilangnya embrio/janin tersebut,dimasa-masa mendatang mereka tak akan terbebani oleh kehadiran anak yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk merawatnya sampai besar dan menjadi orang.


(39)

e) Kehamilan akibat perkosaan. Perkosaan adalah pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) seorang pria kepada seorang wanita. Konsekuensi logis dari adanya perkosaan adalah terjadinya kehamilan. Kehamilan pada korban ini oleh seorang wanita korban perkosaan yang bersangkutan maupun keluarganya jelas tidak diinginkan. Pada kasus seperti ini, selain trauma pada perkosaan itu sendiri, korban perkosaan juga mengalami trauma terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini lah yang menyebabkan si korban menolak keberadaan janin yang tumbuh di rahimnya. Janin dianggap sebagai objek mati, yang pantas dibuang karena membawa sial saja. Janin tidak diangap sebagai bakal manusia yang mempunyai hak-hak hidup.

B.Tinjauan tentang Tindak Pidana Perkosaan

1. Perumusan dan Pengaturan Tindak Pidana Perkosaan

Salah satu kejahatan terhadap kesusilaan yang ada pada akhir akhir ini, banyak mendapat sorotan, adalah tindak pidana perkosaan.Masalah perkosaan telah menjadi bahan pembicaraan, baik dikalangan para ahli hukum, maupun di dalam masyarakat, atau di lingkungan parawanita. Perhatian masyarakat mungkin, disebabkan karena tindak kejahatan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang keji, di luar perike- manusiaan dan tidak berdiri sendiri. Tindak pidana perkosaan tersebut, tidak hanya ditujukan pada remaja atau wanita dewasa saja, melainkan juga ditujukan terhadap anak-anak.

Tindak pidana perkosaan walaupun sudah sejak lama ada, namun hingga sekarang ini masih menimbulkan pro dan kontra atas pengertiannya, serta cara penanggulangan- nya, terutama di negara-negara maju. Sementara itu, kasus-kasus perkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan


(40)

reaksi sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan.

Dalam kata “perkosaan” tentu terbayang kengerian, dan begitu kata perkosaan didengar, seketika itu pula timbul rasa jijik dan benci disamping kasihan. Benci kepada ulah pelaku dan kasihan kepada nasib derita korban.

Ada beberapa aspek yang menyebabkan perkosaan itu memiliki arti yang mengerikan. Aspek-aspek tersebut bisa ditinjau dari segi yuridis formal, segi teologis maupun dari segi sosiologis. Ketiga aspek tersebut sangat mempengaruhi persepsi (pandangan) masyarakat terhadap

perbuatan yang dinamakan “perkosaan” itu.

Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum dan bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).Demikian bunyi butir pertama dari tuju sistem pemerintahan negara yang terdapat dalam penjelasan umum UUD 1945. Konsekuensi logis dari adanya prinsip di atas adalah segala sesuatu di muka bumi Indonesia harus diatur oleh seperangkat peraturan perundang-undangan. Tujuannya sebenarnya baik, yakni demi terwujudnya ketertiban umum untuk menuju masyarakat yang sejahtera lahir dan batin.

Peraturan perundang-undangan mengatur mengenai hak dan kewajiban individu sebagai warga negara. Kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap individu dalam kehidupan sehari- hari dan kedudukannya sebagai warga negara. Adapun kewajiban utama warga negara di sini adalah mentaati peraturan perundang-undangan yang ada, tidak melakukan pelanggaran atas larangan-larangan yang ditetapkan oleh negara. Dalam kaitannya dengan hak warga negara, peraturan perundang-undangan memberikan berbagai batasan atau pelaksanaan hak- hak pribadi warga negara agar tidak melanggar hak-hak pribadi orang lain.Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan biasanya berisi aturan- aturan yang bersifat umum.


(41)

larangan-larangan maupun aturan-aturan yang bersifat anjuran, yang harus ditaati oleh setiap penduduk Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) termasuk salah satu peraturan perundang-undangan yang bersifat imperatif, yaitu isinya berupa larangan-larangan yang bersifat umum dan siapapun yang melanggar aturan-aturan tersebut diancam dengan sanksi pidana yang tegas dan nyata. Yakni berupa pidana badan (pidana penjara) dan dalam hal ini adalah pelaku perbuatan pidana perkosaan.

Rumusan perbuatan pidana perkosaan terdapat dalam Buku ke II Bab XIV KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan, khususnya Pasal 285. Adapun rumusan selengkapnya Pasal 285

KUHP adalah sebagai berikut : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan,diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.8

Menurut Arif Gosita yang sering kali menjadi korban perkosaan adalah wanita-wanita lemah mental, fisik, dan sosial dalam arti luas. Yang dimaksud dengan lemah mental adalah kurang mampu berpikir, membuat penilaian, pemilihan secara tepat dalam menghadapi persoalan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan lemah fisik adalah kurang mampu melawan karena keadaan tubuhnya, tidak mempunyai keterampilan membela diri, tidak punya sarana melindungi diri, dan mempenyai kecenderungan tertentu yang dapat menyebabkan perkosaan. Selanjutnya masih menurut Arif Gosita, korban perkosaan dapat dibagi dalam tiga bagian9, yaitu:

1) Korban murni :

8

Dr.Andi Hamzah,2008:115

9


(42)

a. Korban pekosaan yang belum pernah berhubungan (kenal) dengan para pelaku.

b. Korban perkosaan yang pernah berhubungan dengan pelaku.

2) Korban ganda, yaitu korban perkosaan yang mengalami penderitaan selama perkosaan, penderitaan mental, fisik, dan sosial.

3) Korban semu, yaitu korban perkosaan yang secara materil menghendaki perbuatan itu dilakukan terhadap dirinya, baikkarena keinginannya sendiri maupun karena suruhan oranglain.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan

Berdasarkan rumusan Pasal 285 KUHP tentang tindak pidana perkosaan seperti tersebut di atas, dr. Arif Budijayanto membagi secara rinci mengenai unsur-unsur obyektif dari perbuatan pidana perkosaan sebagai berikut :

1). Barang siapa ; 2). Dengan kekerasan ;

3). Dengan ancaman kekerasan ; 4). Memaksa ;

5). Seorang wanita (di luar perkawinan) ; dan 6). Bersetubuh

Berikut ini adalah uraian tentang unsur-unsur tindak pidana perkosaan: Ad. 1. Barang siapa


(43)

Menurut dr. Arif Budijayanto, “Yang dimaksud dengan barangsiapa atau subjek di sini adalah orang atau manusia”.Jadi, unsur ini merupakan unsur utama perbuatan pidana perkosaan yang

menunjuk pada subyek kejahatan atau pelaku kejahatan perkosaan.

Pelaku perkosaan umumnya adalah pria. Namun tidak setiap pria dapat dituduh melakukan perbuatan pidana perkosaan terhadap seorang wanita. Oleh karena itu pengertian barang siapa di sini adalah pria yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal 285 KUHP, yakni dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan. Hanya pria dengan kualifikasi seperti tersebut di atas, dapat dituduh sebagai pemerkosa.

Ad. 2. Dengan Kekerasan

Menurut dr. Arif Budijayanto, “Yang dimaksud dengan kekerasan adalah kekuatan fisik atau

perbuatan fisik yang menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu

melakukan perlawanan atau pembelaan”.

Undang-undang dalam hal ini KUHP tidak memberikan pengertian secara terperinci mengenai

apa yang dimaksud dengan“kekerasan”. Para hakim dalam prakteknya untuk memberikan

pengertian tentang kekerasan merujuk pada pengertian yang tercantum dalam pasal 89KUHP. Di dalam pasal 89 KUHP, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan adalah “membuat

orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”10

.

Meskipun demikian, kekerasan bisa dilakukan dengan cara menganiaya korban dengan tangan kosong, seperti membenturkan kepala korban ke lantai atau tembok, menampar pipi korban atau

10


(44)

meninju (memukul) bagian tubuh korban yang lain untuk meniadakan pemberontakan dari korban. Bisa juga dengan mengikat kaki korban sebelum diperkosa atau melukai korban dengan senjata tajam.

Ad. 3. Dengan Ancaman Kekerasan

Dr.Arif Budijayanto berpendapat bahwa, “Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang

menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau kekerasan yang belum diwujudkan, tapi yang menyebabkan orang yang terkena

tidak mempunyai pilihan selain mengikuti kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan”.

Mengenai unsur ini disyaratkan :

a) Bahwa ancaman itu harus diungkapkan dalam suatu keadaan sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya.

b) Bahwa maksud pelaku memang sengaja ditujukan untuk ancaman itu. Ancaman kekerasan biasanya ditujukan lewat kata-kata atau bahasa tubuh pelaku pemerkosaan.

Misalnya pemerkosa mengeluarkan katakata “Diam Kamu”!, atau kalau melawan akan saya bunuh !” sambil melotot dan mengeluarlan sebilah pisau untuk menakut- nakuti korban. Ancaman seperti itu biasanya gampang meruntuhkan mental korban, sekalipun mungkin pelaku perkosaan hanya main gertak saja.


(45)

Menurut dr. Arif Budijayanto, “Memaksa dalam perkosaan menunjukkan adanya pertentangan

kehendak antara pelaku dengan korban. Pelaku mau atau ingin bersetubuh sementara korban tidak mau atau tidak ingin”.

Unsur terpenting terjadinya perbuatan pidana perkosaan adalah terjadinya pemaksaan hubungan kelamin (persetubuhan) antara seorang laki-laki (pelaku) dengan seorang perempuan (korban perkosaan). Tindakan memaksa itu dapat diwujudkan dengan perbuatan maupun ucapan. Perbuatan membuat perempuan menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin. keterpaksaan seorang perempuan untuk berhubungan kelamin dengan laki-laki yang bukan suaminya (pemerkosa)ini erat hubungannya dengan perbuatan kekerasan atau ancaman daripelaku. Sebab jika tidak ada kekerasan atau ancaman kekerasan, mustahil seorang wanita mau berhungan kelamin dengan sembarang laki-laki yang tidak dikehendakinya. Tetapi karena ia menerima perlakuan kasar dari pelaku maupun ancaman yang bertubi-tubi, mau tidak mau, dengan terpaksa ia harus menuruti kehendak pemerkosa.

Unsur “memaksa” ini dapat dipakai untuk membuktikan olehjaksa dan hakim yang memeriksa

bahwa dalam suatu perbuatan pidana perkosaan, pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan

“kesengajan”, yaitu membuktikan adanya :

a) Kehendak atau maksud pelaku memakai kekerasan;

b) Kehendak atau maksud pelaku untuk mengancam dengan kekerasan;dan c) Kehendak atau maksud pelaku untuk memaksa dengan kekerasan.

Jika dalam pembuktian tersebut tidak terbukti adanya salah satu maksud pelaku seperti tersebut di atas, maka tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa terdakwa terbukti mempunyai


(46)

ditekankan di sini bahwa tiadanya unsur terpaksa bagi seorang perempuan untuk berhubungan kelamin dengan seorang laki-laki, dapat menggugurkan tuduhan telah terjadi perbuatan pidana

perkosaan.“Tiadanya unsur keterpaksaan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan suka sama

suka atau kerelaan dari perempuan yang tidak dilarang olehundang-undang”. Ad. 5. Seorang Wanita (di luar perkawinan )

Mengenai hal ini dr. Arif Budijayanto berpendapat bahwa: Unsur utama yang dipaksa bersetubuh adalah wanita di luar perkawinan dengan pelaku. Dari adanya unsur ini dapat disimpulkan bahwa:

a) Perkosaan hanya terjadi oleh laki-laki terhadap wanita;

b) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh wanita terhadap laki-laki atau wanita terhadap wanita;

c) Tidak ada perkosaan untuk bersetubuh bila dilakukan oleh laki-laki yang terikat perkawinan dengan wanita yang menjadi korban. Atau tidak ada perkosaan untuk bersetubuh oleh suami terhadap isteri.

Istilah perkosaan hanya berlaku bagi wanita. Hal ini berkaitan erat dengan pengertian persetubuhan. Persetubuhan berarti hubungan kelamin yang terjadi antara seorang laki-laki dan wanita, dimana alat kelamin laki-laki tadi dimasukkan ke dalam vagina wanita yang bersangkutan dan terjadi ejakulasi di dalam vagina wanita tersebut.

Pengertian seorang wanita menurut hemat penulis dalam hal ini adalah orang yang memiliki ciri-ciri kelamin perempuan, diantaranya memiliki vagina dan payudara. Pasal 285 KUHP tidak menyebutkan pengertian seorang wanita ataupun kategori usia tertentu. Oleh karena itu tindak pidana perkosaan bisa berlaku bagi siapapun yang berkelamin perempuan tanpa memandang


(47)

usianya. Artinya perkosaan bisa saja menimpa seorang perempuan yang berusia balita, belasan tahun,perempuan separuh baya atau bahkan manula (manusia usia lanjut).

Ad.6. Bersetubuh

“Untuk selesainya tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh, maka harus terjadi persetubuhan antara pelaku dengan korban, dalam arti tidak ada perbuatan untuk bersetubuh manakala tidak

terjadi persetubuhan”.11 Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa unsur terpenting

perkosaan selain pemaksaan adalah persetubuhan antara pelaku perkosaan dengan wanita yang menjadi korbannya. Persetubuhan atau mengadakan hubungan kelamin disini diartikan sebagai masuknya penis pelaku perkosaan ke dalam vagina wanita yang menjadi korbannya danterjadi ejakulasi di dalam vagina tersebut.

Suatu persetubuhan dikatakan sempurna jika si pemerkosa sudah mencapai ejakulasi (mengeluarkan cairan sperma) di dalam vagina seorangwanita. Masuknya penis ke dalam vagina saja belum cukup sebab pemerkosaan bukanlah persetubuhan biasa. Menurut Suryono Ekotama,mungkin pada hubungan suami isteri, ketika penis suami sudah masuk kevagina isteri sudah dapat dikatakan mereka melakukan persetubuhan.

Sebab bisa saja si isteri sudah mencapai orgasme dulu dan suami tidak melakukan aksinya lebih lanjut, atau bisa saja pasangan suami isteri tersebut melakukan coitus interuptus (senggama terputus), dimana suami mengeluarkan cairan mani di luar kemaluan si isteri.

Lain halnya dengan perkosaan. Perkosaan adalah suatu kejahatan.Kejahatan itu sendiri dilakukan atas dasar niat pelaku untuk melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang. Dan pemerkosa memiliki niatuntuk menyetubuhi seorang wanita serta mencapai kepuasan dari persetubuhan itu

11


(48)

(ejakulasi). Jika penis baru masuk dan ejakulasi belum terjadi berarti , itu berarti niat pelaku semula belum sepenuhnya tercapai. Sebab yang diharapkan adalah kepuasan dari persetubuhan itu. Sehingga perkosaan dikatakan telah terjadi jika seorang pria memasukkan penisnya secara paksa ke dalam vagina seorang wanita dan mencapai ejakulasi dalam vagina tersebut.

Selanjutnya masih menurut dr. Arif Budijayanto, adapun jika seorang pria sudah memasukkan penisnya ke dalam vagina namun belum sempat ejakulasi, perbuatan tersebut terhenti karena diketahui orang lain, maka perbuatan itu dianggap sebagai suatu percobaan perkosaan yang melanggar Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 285 KUHP. Adapun Pasal 53 ayat(1) KUHP menyatakan:

“Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata dikarenakan kehendaknya

sendiri.” 12

Jika mengacu pada rumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut diatas, maka perbuatan pria yang memasukkan penisnya secara paksa kedalam vagina seorang wanita adalah suatu permulaan pelaksanaan dari tindak pidana perkosaan. Namun karena tidak selesainya pelaksanaan perkosaan itu (pelaku belum mencapai ejakulasi) semata-mata bukan karena kehendaknya sendiri, maka perbuatan itu dianggap sebagai percobaan perkosaan. Meskipun akibat percobaan perkosaan tersebut, alat kelamin korban mengalami luka misalnya lecet-lecet atau pecahnya selaput dara.

12


(49)

C. Pengertian Korban Kejahatan dan Beberapa Pandangan Tentang Korban

Adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, melatar belakangi lahirnya ilmu baru yang disebut sebagai viktimologi. Walaupun disadari, bahwa korban-korban itu, di satu pihak dapat terjadi karena perbuatan atau tindakan seseorang (orang lain), seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan), dan di lain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang pengendaliannya berada di luar "jangkauan" manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain. Menurut Andi Matalatta, pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan, yaitu korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materiil13

. Atas dasar ini, pengkajian masalah korban pemerkosaan dalam tulisan ini difokuskan pada jenis korban jenis pertama seperti diuraikan di atas. Dalam kaitan ini, J. E. Sahetapy secara lebih rinci menguraikan paradigma viktimisasi dalam beberapa golongan yaitu.

Pertama, viktimisasi politik, dalam kategori ini dapat dimasukkan aspek penyalahgunaan kekuasaan, perkosaan hak asasi manusia, campur tangan angkatan bersenjata diluar fungsinya, terorisme, intervensi dan peperangan lokal atau dalam skala intemasional.

Kedua, viktimisasi ekonomi, terutama di mana ada kolusi antara penguasa dengan pengusaha, produksi barang-barang yang tidak bermutu atau yang merusak kesehatan, termasuk dalam aspek ini pencemaran terhadap lingkungan hidup dan rusaknya ekosistem.

13


(50)

Ketiga, viktimisasi keluarga, seperti perkosaan di dalam keluarga, penyiksaan terhadap anak atau istri dan menelantarkan kaum manula (manusia lanjut usia) atau orangtuanya sendiri.

Keempat, viktimisasi medis, dalam hal ini dapat disebut penyalahgunaan obat bius, alkoholisme, malpraktek di bidang kedokteran, eksperimen kedokteran yang melanggar (ethik) peri kemanusiaan.

Kelima, viktimisasi yuridis, dimensi ini cukup luas, baik yang menyangkut aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan) maupun menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan, termasuk menerapkan "hukum kekuasaan".

Penggolongan viktimisasi tersebut di atas menunjukkan bahwa masalah korban sesungguhnya sudah sedemikian kompleks dan mencakup wilayah yang begitu luas karena perbuatan tersebut tidak tercantum dalam KUHP ataupun tidak melanggar undang-undang, namun sangat merugikan masyarakat, namun sangat merugikan masyarakat dan perbuatan elah terjangkau oleh undang-undang, akan tetapi tidak terjangkau oleh penegakan hukum karena sifat penerapan hukumnya yang selektif dan beragam.

Kesukaran-kesukaran menetapkan kebijakan penanggulangan kejahatan dengan berpijak pada perspektif korban, menurut muladi14, tidak terlepas dari metoda yang selama ini digunakan untuk mengetahui gejala kriminalitas yang terdapat dalam masyarakat masih berdasarkan data statistik kriminal. Padahal, sudah sangat lama para ahli merasakan bahwa statistik kriminal resmi tidak dapat mencerminkan gejala kriminalitas yang terdapat dalam masyarakat. Keadaan ini biasanya disebut sebagai "angka gelap kejahatan" (darknumber of crime).

14


(51)

D. Perlindungan hukum terhadap Korban

Dalam uraian Bab I telah disinggung, bahwa perlindungan hukum pada korban kejahatan merupakan bagian yang integral dari usaha meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara, yaitu untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia" dan "untuk memajukan kesejahteraan umum", atau dengan kata lain bahwa kebijakan terhadap perlindungan korban pada hakikatnya merupakan bagian yang integral dari kebijakan perlindungan masyarakat secara keseluruhan, yaitu dalam rangka mencapai kesejahteraan sosial. Oleh sebab itu memberikan perlindungan kepada individu korban pemerkosaan sekaligus juga mengandung pengertian memberikan pula perlindungan kepada masyarakat, karena eksistensi individu dalam hal ini adalah sebagai unsur bagi pembentukan suatu masyarakat, atau dengan kata lain, bahwa masyarakat adalah terdiri dari individu-individu, oleh karena itu, antara masyarakat dan individu saling tali-menali. Konsekuensinya adalah, bahwa antara individu dan masyarakat saling mempunyai hak dan kewajiban. Walaupun disadari bahwa antara masyarakat dan individu, dalam banyak hal mempunyai kepentingan yang berbeda, akan tetapi harus terdapat "keseimbangan" pengaturan antara hak dan kewajiban di antara keduanya itu. Dilakukannya kejahatan terhadap seseorang anggota masyarakat, akan menghancurkan sistem kepercayaan yang telah melembaga dan pengaturan hukum pidana dan lain-lain berfungsi untuk mengembalikan kepercayaan tersebut karena masyarakat dipandang sebagai sistem kepercayaan yang melembaga (system ofinstitutionalized trust)15. Tanpa kepercayaan ini maka kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik. Agar peraturan-peraturan hukum ini dapat berlangsung terus dan diterimanya oleh seluruh anggota masyarakat, maka peraturan-peraturan hukum yang ada harus sesuai dan tidak lebih bertentangan dengan asas-asas keadilan dari

15


(52)

masyarakat tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa sistem hukum pidana yang selama ini diikuti berorientasi pada si pembuat kejahatan saja (criminaloriented). Hal ini tampak pada unsur-unsur hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pembuat, dan pidana. Hukum Pidana yang demikian itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi anggota masyarakat, terutama yang menjadi korban dan keluarganya. Sistem hukum pidana yang sekarang diikuti masih berat sebelah yaitu hanya memikirkan pembuat kejahatan dengan melupakan korban. Padahal, unsur pembuat dan unsur korban bagaikan satu mata uang, pasti terdapat dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Suatu tindak pidana terjadi karena antar hubungan korban-pembuat. Hubungan pembuat kejahatan dengan korban adalah sebagai dua subyek yang berhadapan, sehingga unsur-unsur hukum pidana terdiri atas perbuatan melawan hukum, pembuat, korban, dan pidana.

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, kalau korban merupakan unsur-unsur tindak pidana, maka dapatlah dikatakan korban pemerkosaan mempunyai hak, kewajiban, peranan dan tanggung jawab dalam terjadinya tindak pidanapemerkosaan. Dengan pengakuan bahwa korban adalah subyek yang berhadapan dengan subyek lain yakni pelaku. Argumen lain untuk mengedepankan perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan adalah berdasarkan argumen kontrak sosial (social contract argument) dan argumen solidaritas sosial (socialsolidarity. argument)16. Adapun yang pertama menyatakan, Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi (eigenrichting). Oleh karena itu, bilamana terjadi kejahatan dan membawa korban, maka negara juga harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Argumen yang kedua menyatakan bahwa, negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui

16


(53)

kerjasama dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh negara.

Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan pelayanan dari pengaturan hak. Berdasarkan pemikiran ini, dapat dikatakan perlindungan terhadap korban merupakan wujud salah satu kewaijban pemerintah kepada warganya, karena korban mempunyai hak untuk itu. Perlindungan korban dapat berupa perlindungan korban secara langsung dalam bentuk pemberian ganti rugi oleh si pelaku tindak pidana kepada korban, yang disebut sebagai "restitusi" ; dan ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban sebagai tersangka, terdakwa, terpidana atau pihak lain yang mendapat perlakuan/tindakan tanpa alasan yang berdasarkan peraturan. Perundang-undangan yang berlaku yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ganti kerugian seperti ini disebut sebagai "kompensasi". Restitusi dan kompensasi merupakan bagian atas kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan korban. Tujuan membuat kebijakan guna mengurangi penderitaan bagi korban, oleh Mandelson, yang dikutip oleh m.arif mansur, dikatakan sebagai tujuan yang terpenting, karena dengan demi- kian akan dapat lebih memberdayakan masyarakat serta menjamin kehidupannya. Jenis kerugian yang diderita oleh korban, bukan saja dalam bentuk fisik seperti biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk penyembuhan luka fisik serta kemungkinan hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin akan diperoleh, tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang sukar bahkan mungkin tidak dapat dinilai dengan uang. Konsep Perlindungan Korban Kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam uraian sebelumnya, suatu peristiwa kejahatan tentunya pelaku dan korbanlah yang menjadi tokoh utama yang sangat berperan. Menurut wirjono prodjodikoro17, pengertian “perlindungan korban” dapat dilihat dari dua makna yaitu:

17


(54)

1. dapat diartikan sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana" (berarti perlindungan HAM atau ntuk kepentingan hukum seseorang);

2. dapat diartikan sebagai "perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tidak pidana" (Identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain, dengan permaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya: Dari dua makna perlindungan korban tersebut, maka pada dasarnya ada dua sifat perlindungan yang dapat diberikan secara langsung oleh hukum, yaitu bersifat preventif berupa perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana dan represif berupa perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tidak pidana Terkait dua sifat perlindungan korban yang dapat diberikan oleh hukum tersebut, maka pada hakikatnya perlindungan yang bersifat preventif dan represif memegang peranan yang sama pentingnya dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat mengingat masyarakat yang telah menjadi korban tidak boleh begitusaja dibiarkan menderita tanpa ada upaya perlindungan apapun dari negara dan sebaliknya mencegah masyarakat menjadi korban juga merupakan titik tekan yang utama. Konsep perlindungan korban selama ini dipandang sebagai hak hukum pada hakikatnya adalah bagian dari masalah perlindungan hak asasi mahusia, sehingga pada dasarnya konsep hak asasi manusia dapat di pandang sebagai hak hukum. Apabila konsep hak asasi manusia di pandang sebagai hak hukum, maka mempunyai dua konsekuensi normatif18, yaitu:

18


(1)

monografi dan artikel media massa.

2. Pengolahan Data

Dari keseluruhan data yang sudah terkumpul kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali dan akan dievaluasi secara seksama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada kesalahan-kesalahan dan kekeliruan serta belum lengkap dan lain sebagainya, terhadap data yang diperoleh, setelah dipandang cukup dan lengkap maka data tersebut diklasifikasikan masing-masing serta diperiksa dan dipersiapkan untuk analisis dengan tujuan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterprestasikan.

D. Analisa Data

Analisa data dilakukan secara kualitatif, kemudian diidentifikasi serta dilakukan kategorisasi. Analisis kualitatif yaitu metode analisis yang pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi/intepretasi, komparasi dan sejenis itu. 1

Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk tabel untuk mendukung analisis kualitatif. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif, yaitu dengan berdasarkan pada dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum untuk mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari hasil analisis tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada.

1


(2)

V. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan

1.

Pengaturan hukum pidana tentang abortus provocatus yang dilakukan oleh korban perkosaan adalah:

Terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sebagai hukum pidana umum (Lex Generale) yaitu pada Pasal 299 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348 KUHP, Pasal 349 KUHP, dan juga dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menggantikan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, dan berlaku sebagai hukum pidana khusus (Lex Speciale). KUHP memberikan status hukum ilegal terhadap aborsi karena tidak membolehkan aborsi tanpa pengecualian dengan alasan apapun juga dan oleh siapapun juga. Dengan kata lain, KUHP tidak membedakan antara abortus provocatus medicinalis/therapeuticus dan abortus provocatus crimnalis Ketentuan ini sejak diundangkannya di zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang ini tidak pernah berubah, dan ketentuan ini berlaku umum bagi siapapun yang melakukan, bahkan bagi dokter yang melakukan dapat dikenakan pemberatan pidana. Sedangkan dalam


(3)

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat. Meskipun, undang-undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan, yakni membolehkan aborsi berdasarkan indikasi medis untuk menyeamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat.

2.

Perlindungan hukum pidana terhadap korban perkosaan yang melakukan abortus provocatus adalah :

Perempuan sebagai korban perkosaan yang kemudian diketahui mengandung janin sebagai akibat perkosaan yang pernah dialaminya, yang pada akhirnya memilih untuk melakukan aborsi (abortus provocatus), dalam ketentuan hukum pidana khususnya melalui Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tetap mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian lain, hukum pidana melalui ketentuan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum terhadap tindakan abortus provocatus pada korban perkosaan dengan beberapa persyaratan sebagai alasan medis seperti yang diatur dalam Pasal 75 ayat (3) dan Pasal 76 UU No. 36 Tahun 2009.

B. Saran

1. Seyogjanya “pedoman atau prinsip-prinsip pelaksanaan aborsi terhadap janin


(4)

Pemerintah. Untuk itu perlu segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan aborsi bagi korban perkosaan. Yang menjadi pertimbangan penting sehingga penulis menganggap perlu untuk segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) tersebut yaitu, bahwa Peraturan Pemerintah tentang tata cara pelaksanaan aborsi terhadap janin hasil perkosaan, tidak sembarangan bisa dilakukan sebagai jalan keluar bagi pelaku aborsi akibat perkosaan. Selain itu agar Pasal 75 ayat (2) sebagai aturan pengecualian terhadap aborsi tidak dijadikan justifikasi sebagaian orang untuk mempermudah terjadinya aborsi. Dengan demikian sebagai pelaksana lapangan dari UU No. 36 Tahun 2009 ini benar-benar mengetahui kebutuhan nyata masyarakat. Sehingga, UU No. 36 Tahun 2009 menjadi undang-undang yang lahir karena respon kebutuhan sebagai jawaban atas persoalan dan bukan menambah persoalan yang baru. Keberadaan aturan yang dimaksud harus betul memperhatikan segi positif dan negatifnya, karena berkaitan dengan pembentukan moral bangsa secara keseluruhan.

2. Perlu melakukan revisi terhadap UU No. 36 Tahun 2009, khususnya beberapa pasal yang terkait dengan penentuan usia maksimal janin sebagai akibat perkosaan yang boleh diaborsi. Menurut Pasal 76 huruf a UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, seorang perempuan korban pemerkosaan hanya boleh mengakses aborsi yang sah jika kehamilannya kurang dari enam minggu. Kerangka waktu yang pendek ini akan membuat tidak mungkin bagi sebagian besar perempuan yang memerlukan layanan aborsi untuk mengakses


(5)

layanan semacam itu secara legal. Banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka hamil dalam waktu sesingkat itu, dan korban pemerkosaan karena trauma yang mereka derita mungkin baru mengetahui atau dapat mengakui kehamilan mereka setelah periode enam minggu berakhir. Menurut penulis, pembatasan kehamilan enam minggu yang bersifat mutlak merupakan pembatasan atas akses perempuan terhadap layanan aborsi. Di samping itu, UU Kesehatan mensyaratkan para korban pemerkosaan untuk mendapat konseling sebelum dan sesudah tindakan aborsi oleh konselor guna mengakses layanan aborsi yang sah (Pasal 75 ayat (3)), tapi tidak merinci prosedur bagi seorang perempuan yang hamil karena tindakan pemerkosaan untuk bisa membahas hal ini dengan konselor dengan tujuan mendapatkan aborsi. Kegagalan memperjelas proses ini mendudukkan baik perempuan maupun konselor dalam posisi di mana hak mereka masing-masing untuk mengakses layanan medis, dan tanggung jawab untuk menyediakan akses ke layanan aborsi, tidaklah jelas. ketidakjelasan ini perempuan mungkin mengalami trauma lagi karena harus menceritakan perincian pemerkosaan, atau karena tidak memperoleh akses ke aborsi yang berhak mereka dapatkan, karena konselor tidak tahu kapan boleh secara sah memberikan aborsi dengan alasan pemerkosaan. Keadaan ini khususnya sulit bagi kelompok tertentu yang rentan seperti para perempuan dan gadis yang menjadi pekerja rumah tangga.

3. Perlu kerjasama dari berbagai pihak yang terkait dalam hal memastikan, bahwa proses pelaksanaan aborsi secara sah tidak memberikan trauma kedua


(6)

kalinya kepada para korban perkosaan, dan tidak membebankan sehingga mungkin mencegah sebagian besar korban, terutama mereka yang tinggal di komunitas miskin, termarginalisasi dan terpencil, untuk mengakses pelaksanaan layanan-layanan aborsi yang aman.