Simulasi Teknik Konservasi Tanah Dan Air Metode Vegetatif Dan Sipil Teknis Menggunakan Model Swat

SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR
METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS
MENGGUNAKAN MODEL SWAT

DEDE SULAEMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Simulasi Teknik
Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan
Model SWAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2016
Dede Sulaeman
NIM A151120051

ii

RINGKASAN
DEDE SULAEMAN. Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode
Vegetatif dan Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT. Dibimbing oleh YAYAT
HIDAYAT, LATIEF MAHIR RACHMAN, dan SURIA DARMA TARIGAN.
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terintegrasi dari hulu ke hilir
sangat penting dilakukan dalam menjaga kondisi DAS. Kesalahan dalam
pengelolaan suatu DAS dapat menimbulkan efek negatif terhadap kondisi
hidrologis DAS. Diantara kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS adalah
perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan.
Efek yang ditimbulkan diantaranya meningkatnya debit aliran serta hasil sedimen
yang dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir yang terjadi hampir setiap
tahun di DAS Ciujung membuat DAS ini menjadi sorotan berbagai pihak dan
telah ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas di wilayah kerja Balai

Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung. Model merupakan alat yang dapat
membantu memahami kejadian hidrologis yang terjadi sebagai dampak
pengelolaan lahan yang dilakukan. Salah satu model yang dapat digunakan dan
telah banyak digunakan di Indonesia adalah Soil and Water Assessment Tool
(SWAT).
SWAT merupakan sebuah model untuk skala DAS atau Sub DAS yang
dibuat oleh Dr. Jeff Arnold dari Departemen Pertanian Amerika Serikat atau
United States Department of Agriculture-Agricultural Research Service (USDAARS). Model SWAT dapat digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS
berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan
air, serta terjadinya perubahan iklim global.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji perubahan penggunaan
lahan DAS Ciujung dan pengaruhnya terhadap debit aliran, (2) mengkaji kinerja
model SWAT untuk memprediksi debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung,
dan (3) menentukan pengelolaan lahan optimum untuk menurunkan debit aliran
dan hasil sedimen DAS Ciujung mengguakan model SWAT. Metode penelitian
yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder, analisis
perubahan penggunaan lahan, analisis kondisi hidrologis DAS, dan menjalankan
model SWAT.
Analisis perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap debit
aliran dilakukan dalam periode waktu 5 tahun (2006-2011). Analisis curah hujan

wilayah, debit aliran, debit puncak aliran, volume aliran, aliran permukaan, dan
analisis kondisi DAS dilakukan pada dua periode yaitu 2001-2006 dan 20062011. Terdapat beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan dalam menjalankan
model SWAT, diantaranya adalah: (1) mendeliniasi batas DAS, (2)
pembentukan Hidrology Respon Unit (HRU) dengan cara menumpang
susunkan (overlay) peta tanah, peta penggunaan lahan serta peta kelas
kemiringan lereng, (3) pendefinisian HRU, (4) Input data iklim, (5) membangun
input data, (6) menjalankan model SWAT, (7) kalibrasi dan validasi model, dan
(8) menganalisis respon hidrologi terhadap skenario yang diterapkan untuk
menentukan pengelolaan lahan optimum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa curah hujan wilayah rata-rata
tahunan pada periode 2001-2006 sebesar 2,366 mm dan pada periode 2006-

2011 sebesar 2,159 mm. Berdasarkan klasifikasi Oldemen curah hujan wilayah
DAS Ciujung termasuk tipe C1 dengan bulan basah 5-6 bulan berturut-turut dan
bulan kering hanya 1 bulan. Hasil analisis kondisi DAS menunjukkan bahwa
terjadi penurunan kualitas DAS dengan meningkatnya koefisien aliran
permukaan dengan nilai 0.47 (periode 2001-2006) dan 0.55 (periode 20062011).
Berkurangnya lahan hutan di DAS Ciujung selama periode 2006-2011, baik
hutan tanaman, hutan lahan kering primer, dan hutan lahan kering sekunder
serta meningkatnya luasan lahan semak, pertanian lahan kering, pertanian lahan

kering campur semak, perkebunan, dan sawah turut berpengaruh terhadap
meningkatnya debit aliran sungai. Penggunaan lahan hutan tanaman keras, hutan
lahan kering sekunder, dan hutan lahan kering primer berkurang selama periode
tersebut masing-masing sebesar 2,948.3; 202.9; dan 13.4 hektar atau 13.9; 2.3;
dan 0.7 %. Penggunaan lahan pertanian lahan kering campur semak, sawah,
semak belukar, pertanian lahan kering, perkebunan, dan tanah terbuka masingmasing bertambah sebesar 1,970.4; 697.5; 225.3; 163.5; 99.2 dan 8.7 hektar atau
3.2; 1.5; 2.6; 0.7; 0.8; dan 1.3 %. Penggunaan lahan pemukiman dan tubuh air
tidak terlihat adanya perubahan.
Model SWAT dapat digunakan untuk mensimulasikan debit aliran DAS
Ciujung. Hasil kalibrasi model SWAT yang menunjukkan nilai R2 dan NSE
masing-masing sebesar 0.78 dan 0.67 (baik) serta hasil validasi model masingmasing 0.75 dan 0.67 (baik). Hal sebaliknya dihasilkan dalam memprediksi hasil
sedimen DAS Ciujung dengan nilai R2 dan NSE yang dihasilkan sebesar 0.76 dan
-193.62 (tidak memuaskan).
Penerapan seluruh teknik KTA berupa reboisasi, agroforestri, strip cropping,
contouring, bendungan, dan lubang resapan biopori merupakan pengelolaan lahan
yang harus dilakukan untuk mempertahankan kondisi DAS Ciujung. Hal ini
berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan nisbah debit maksimum dan
minimum terkecil (65) dengan kriteria sedang, menurunkan aliran permukaan dan
hasil sedimen terbaik (46 dan 95 %) serta meningkatkan aliran lateral dan aliran
dasar terbaik (32 dan 80 %).

Kata kunci: debit aliran, hasil sedimen, model swat, penggunaan lahan

iv

SUMMARY
DEDE SULAEMAN. Simulation of Soil and Water Conservation Technique with
Vegetative and Civil Engineering Method Using SWAT Model. Supervised by
YAYAT HIDAYAT, LATIEF MAHIR RAHMAN, and SURIA DARMA
TARIGAN
Integrated watershed management that involves stakeholders from upstream
to downstream area is very important regarding to the maintenance of watershed
condition. Inappropriate land use management including land use change without
soil and water conservation approach affected watershed hydrological condition.
Increasing flow discharge and sediment yield are some effects that caused by this
kind of land use management and these are the most common causes of flooding.
Ciujung Watershed is the biggest and considered as one of major watershed in
Banten Province due to the floods that take place almost every year in the area.
Hydrological modelling has become an integral part of the decision making
process for watershed management. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) is
one of hydrological model that commonly used and it has proven to be an

effective tool for assessing water resource problems for a wide range of scales and
environmental conditions across the globe.
SWAT model was developed by Dr. Jeff Arnold from the Agricultural
Research Service of United States Department of Agriculture (USDA-ARS) to
simulate water quantity and quality of surface water and groundwater. SWAT is a
river basin scale model developed to quantify the impact of land management
practices on water, sediment and agricultural chemical yields in large complex
watersheds with varying soils, land use and management conditions over long
periods of time.
The study aims to: (1) assess landuse change and its influence on flow
discharge; (2) review the SWAT Model performance on predicting flow discharge
and sediment yield; and (3) determine the best management practice to reduce
flow discharge and sediment yield in Ciujung Watershed.
Landuse changes were analyzed in 5 years period (2001-2011). Watershed
conditions such as rainfall, flow discharge, peak discharge, volume rate of flow
discharge, and runoff were analyzed in two periods: 2001-2006 and 2006-2011.
There are some steps in running SWAT model, including: (1) delineate watershed;
(2) create HRU’s; (3) HRU definition; (4) climate data input; (5) write SWAT
input files; (6) run SWAT model; (7) calibration and validation; and (8)
hydrological parameters simulation to determine the best management practice.

The study showed that average annual precipitation in the period of 20012006 and 2006-2011 were 2,366 and 2,142 mm respectively. Watershed
conditions analysis indicates that Ciujung watershed quality decreased with
increasing in surface runoff coefficient with values of 0.47 (2001-2006) and 0.55
(2006-2011). The study showed that there are several decreasing landuses during

period 2006-2011 such as natural forest, secondary dry forest, and primary dry
forest by 13.9; 2.9; and 0.7% respectively. Several increasing land uses during the
period including mixed dry land farming, dry land farming, bush, plantations, and
paddy field by 3.2; 0.7; 2.6; 0.8 and 1.5 % respectively. The deforested land
(including natural forest, secondary dry forest, and primary dry forest) and
increasing bush, dry land farming, plantations, and paddy field are the factors that
cause increasing in flow discharge in Ciujung Watershed.
SWAT model can be implemented to simulate flow discharge in Ciujung
watershed. The study showed that the model has a good performance in predicting
flow discharge with R2 and NSE values in calibration process by 0.78 and 0.67
respectively. Validation process produced R2 and NSE values by 0.75 and 0.67
respectively (good). However, the model is not good enough in predicting
sediment yield with R2 by 0.76 and NSE by -193.62 (not satisfied).
Combination between all scenarios is the best management practice that can
be implemented in Ciujung watershed regarding to maintain watershed condition.

The scenario produced the best river regime coefficient by 65 (moderate), reduce
surface runoff and sediment yield by 46 and 95% respectively, and increase lateral
and return flow by 32 and 80% respectively.
Keywords: flow discharge, land use, sediment yield, swat model

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SIMULASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR
METODE VEGETATIF DAN SIPIL TEKNIS
MENGGUNAKAN MODEL SWAT


DEDE SULAEMAN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Thesis: Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc

Judul Tesis : Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif dan
Sipil Teknis Menggunakan Model SWAT

Nama
: Dede Sulaeman
NIM
: A151120051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Yayat Hidayat, MSi
Ketua

Dr Ir Latief Mahir Rachman, MSc
Anggota

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Tanah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Atang Sutandi, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah
respon hidrologi, dengan judul Simulasi Teknik Konservasi Tanah dan Air
Metode Vegetatif dan SIpil Teknis Menggunakan Model SWAT.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Yayat Hidayat MSi,
Bapak Dr Ir Latief Mahir Rahman MSc MBA, dan Bapak Dr Ir Suria Darma
Tarigan MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro MSc
selaku penguji luar komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Edi dari Balai Besar Wilayah Sungai C3 (CidanauCiujung-Cidurian), Ibu Dian beserta staf Stasiun Klimatologi Klas I Serang, Ibu
Desy dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Cidanau-CiujungCidurian, dan Ibu Neng Waty dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Ciliwung-Cisadane yang telah membantu selama pengumpulan data. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan Beasiswa
Unggulan (BU) selama menempuh pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan
kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2016
Dede Sulaeman

ii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

DAFTAR ISTILAH

vi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Metode
Rancangan Skenario Pengelolaan Lahan
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Daerah Penelitian
Parameterisasi Model SWAT
Output Model SWAT
Respon Hidrologi terhadap Skenario yang Diterapkan
Rekomendasi Pengelolaan Lahan
4 SIMPULAN DAN SARAN

1
2
2
3
3
4
4
4
5
5
5
9
14
14
20
23
40
44
47

Simpulan
Saran

47
47

DAFTAR PUSTAKA

48

LAMPIRAN

53

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum
Tingkat performa model NSE
Skenario pengelolaan lahan dan teknik KTA yang diterapkan
Curah hujan wilayah, debit aliran sungai dan volume aliran pada
periode 2001-2006 dan 2006-2011
Persamaan regresi linier debit dan debit puncak
Koefisien aliran permukaan periode 2001-2006 dan 2006-2011
Nisbah debit maksimum dan minimum periode 2001-2011
Perubahan penggunaan lahan tahun 2006-2011
Klasifikasi jenis tanah DAS Ciujung
Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011
Kemiringan lereng DAS Ciujung
Pengaruh treshold yang digunakan terhadap output model sebelum
proses kalibrasi
Pembagian sub DAS hasil deliniasi secara otomatis oleh model SWAT
Hasil analisis sensitivitas dengan menggunakan SWAT CUP
Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi debit aliran
Data observasi debit aliran dan sedimen
Karakteristik Hidrologi DAS Ciujung Tahun 2011
Aliran permukaan (surface runoff) setiap penggunaan lahan
Hasil analisis uji F
Hasil analisis uji-t
Fluktuasi debit aliran Sungai Ciujung pada berbagai skenario penerapan
teknik KTA
Karakteristik hidrologi DAS Ciujung pada berbagai skenario yang
diterapkan pada tahun 2011
Penurunan hasil sedimen setelah diterapkan skenario pengelolaan lahan

7
9
12
14
15
16
16
17
20
21
22
24
26
28
28
36
38
39
39
40
41
42
44

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Kerangka pemikiran
Peta lokasi penelitian
Diagram alir kegiatan penelitian
Curah hujan, debit aliran dan debit puncak Sungai Ciujung
Debit aliran sungai bulanan periode 2001-2006 dan 2006-2011
Peta satuan tanah DAS Ciujung
Peta penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2011
Peta kemiringan lereng DAS Ciujung
Hasil deliniasi DAS berdasarkan treshold yang digunakan
Sebaran stasiun hujan yang terbaca dengan treshold 2000 ha (a) dan
7000 ha (b)
11. Debit aliran pada berbagai treshold
12. Peta Sub DAS hasil deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha

3
4
13
15
19
20
21
22
23
24
25
27

iv

13. Hidrograf aliran hasil simulasi sebelum kalibrasi dan hidrograf aliran
observasi (Januari-Desember 2011)
14. Scatter plot debit aliran simulasi model sebelum proses kalibrasi
15. Hidrograf aliran hasil kalibrasi model (Januari-Desember 2011)
16. Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses
kalibrasi
17. Hidrograf aliran hasil validasi model (Januari-Desember 2012)
18. Scatter plot debit aliran simulasi model dan observasi pada proses
validasi
19. Neraca air DAS Ciujung tahun 2010-2011 hasil simulasi model SWAT
20. Persamaan rating curve sedimen
21. Scatter plot debit sedimen simulasi model dan observasi
22. Hidrograf debit sedimen observasi dan simulasi Januari-Desember
2011
23. Aliran Permukaan Tahun 2011
24. Fluktuasi debit aliran maksimum DAS Ciujung tahun 2011
25. Fluktuasi debit aliran minimum DAS Ciujung tahun 2011
26. Aliran permukaan pada skenario 1
27. Aliran permukaan pada skenario 2
28. Aliran permukaan pada skenario 3
29. Aliran permukaan pada skenario 4
30. Aliran permukaan pada skenario 5
31. Penurunan hasil sedimen (%) setelah dilakukan skenario pengelolaan
lahan

29
30
32
33
33
34
35
36
37
37
38
40
41
45
44
44
45
45
45
46

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Penggunaan lahan DAS Ciujung tahun 2003-2011
Sub DAS Hasil Deliniasi model SWAT dengan treshold 2000 ha
Nilai CN2 pada slope 5%
Nilai CN3 pada slope 5% (sebagai input untuk menghitung CN2
berdasarkan slope)
Nilai CN2 pada slope 0-8%
Nilai CN2 pada slope 8-15%
Nilai CN2 pada slope 15-25%
Nilai CN2 pada slope 25-40%
Nilai CN2 pada slope >40%
Nilai GW_REVAP
Nilai OV_N
Nilai CH_N(2)
Nilai CH_K(2)
Nilai parameter input data tanah (Lapisan 1)
Nilai parameter input data tanah (Lapisan 2)
Nilai parameter input data tanah (Lapisan 3)
Nilai parameter input data tanah (Lapisan 4)
Data observasi dan data simulasi model tahun 2011

54
55
56
56
56
56
57
57
57
57
58
58
58
59
60
61
62
63

19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan)
Dataobservasi dan data simulasi model tahun 2011 (Lanjutan)
Karakterisik hidrologi hasil output model tahun 2011
Hasil sedimen hasil output model pada tahun 2011
Luas penggunaan lahan pada setiap sub DAS
Luas jenis tanah pada setiap sub DAS
Luas jenis tanah pada setiap sub DAS berdasarkan kelas hidrologi
tanah
26. Luas kemiringan lereng pada setiap sub DAS
27. Nilai CN untuk contouring dan strip cropping
28. Nilai P untuk cntouring dan strip cropping

64
65
65
66
67
68
69
70
71
71

vi

DAFTAR ISTILAH
ALPHA_BF
ALPHA_BNK
AWLR
BAPLAN
BBWS
BPDAS
BPSDA
BMKG
CH_K(2)

CH_N(2)
CN2

CONT_P
CONT_CN
DAS

DEM

EPCO

ESCO

ETA

Faktor alpha baseflow. Indeks yang menggambarkan
respon air bawah tanah terhadap perubahan dalam aliran.
Faktor alpha baseflow untuk "bank storage". Indeks yang
mengkarakterisasikan kurva resesi bank storage
Automatic Water Level Recorder. Alat pencatat tinggi muka
air otomatis
Badan Planologi Kehutanan. Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
Balai Besar Wilayah Sungai. Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Balai Pengelolaan Sumberdaya Air
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
Parameter konduktifitas hidrolik efektif pada saluran
utama, terkait aliran sungai yang dikategorikan berdasarkan
hubungannya dengan sistem air bawah tanah
Koefisien kekasaran Manning untuk saluran utama
Curve Number. Parameter yang digunakan untuk
memprediksi aliran permukaan (direct runoff) yang
dihasilkan dari hujan lebih
Nilai faktor pengelolaan lahan (P USLE) untuk contouring
Nilai faktor bilangan kurva (curve number) untuk
contouring
Daerah Aliran Sungai. Suatu wilayah yang dibatasi oleh
punggung- punggung bukit yang menampung air hujan dan
mengalirkannya melalui saluran air, dan kemudian
berkumpul menuju suatu muara sungai, laut, danau atau
waduk.
Digital Elevation Model. Data digital yang menggambarkan
geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang
terdiri dari himpunan titik-titik koordinat hasil sampling
dari permukaan dengan algoritma yang mendefinisikan
permukaan tersebut menggunakan himpunan koordinat
Faktor kompensasi uptake tanaman, menggambarkan
jumlah penggunaan air oleh tanaman yang merupakan
fungsi dari jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
transpirasi dan air yang tersedia di dalam tanah
Faktor kompensasi evaporasi tanah. Menggambarkan
kebutuhan air dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk
memenuhi kebutuhan evaporasi tanah akibat efek
kapilaritas, pengkerakan, dan peretakan tanah
Eavpotranspirasi Aktual. Evapotranspirasi yang terjadi
pada kondisi ketersediaan air yang terbatas dan lebih
dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah

ETP
EVAP
FLOW_IN
FLOW_OUT
GW_Q
GWQMN
GW_DELAY

GW_REVAP

HRU

LATQ
LRB

MUSLE

NSE

OV_N
PERC

PRECIP

RCHRG_DP
RES_VOL
RES_EVOL

Evapotranspirasi Potensial. Evapotranspirasi yang mungkin
terjadi pada kondisi ketersediaan air yang berlebihan
Jumlah kehilangan air dari sungai melalui evaporasi
Jumlah aliran yang masuk ke sungai
Jumlah aliran yang keluar ke sungai
Aliran bawah tanah
Batas kedalaman air pada aquifer dangkal yang dibutuhkan
untuk kembali terjadinya aliran menuju sungai
Waktu delay air bawah tanah. Waktu yang dibutuhkan air
dari bagian bawah zona perakaran untuk mencapai akuifer
dangkal
Koefisien "revap" air bawah tanah terkait pergerakan air
dari akuifer dangkal menuju zona tidak jenuh di atasnya
sebagai hasil dari penurunan kadar air tanah dan diambil
oleh tanaman yang memiliki zona perakaran dalam yang
mampu mengambil air secara langsung dari zona tersebut
Hydrology Respond Unit. Kelompok lahan di dalam sub
basin yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah,
dan pengelolaan yang unik
Kontribusi aliran lateral untuk aliran sungai
Lubang Resapan Biopori. Lubang silindris yang dibuat
secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan
kedalaman sekitar 100 cm atau dalam kasus tanah dengan
permukaan air tanah dangkal tidak sampai melebihi
kedalaman muka air tanah
Modified Universal Soil Loss Equatio. Versi modifikasi
dari USLE (Universal Soil Loss Equation ) yang
dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1965, 1978).
USLE memprediksi erosi sebagai sebuah fungsi dari energi
kinetik hujan, sedangkan pada MUSLE energi kinetik hujan
ini digantikan oleh faktor aliran permukaan
Nash Sutcliffe Efficiency. Sebaran normal yang menentukan
jarak perbedaan antara pengukuran dan simulasi (noise)
yang dibandingkan dengan perbedaan data pengukuran
Nilai koefisien kekasaran Manning untuk aliran permukaan
Perkolasi. Proses mengalirnya air ke bawah secara gravitasi
dari suatu lapisan tanah ke lapisan di bawahnya, sehingga
mencapai permukaan air tanah pada lapisan jenuh air
Precipitation (Curah hujan). Jumlah air yang jatuh di
permukaan selama periode tertentu yang diukur dengan
satuan tinggi (mm)
Fraksi perkolasi akuifer dalam, mencerminkan fraksi
perkolasi dari zona perakaran yang mengisi akuifer dalam
Volume bendungan
Emergency spillway. Struktur yang digunakan untuk
mengatur air yang mengalir dari bendungan atau tanggul ke
daerah hilir dan digunakan keadaan darurat

viii

RES_PVOL

REVAPMN
RLPS
RTk-RHL
RTRW
SHALLST
SOL_AWC

SOL_BD
SOL_C

SOL_K
STRIP_C
STRIP_CN
STRIP_P
STRIP_N
SURLAG

SURQ
SWAT
SYLD

TLOSS

USDA-ARS
WYLD

Principal spillway. Struktur yang digunakan untuk
mengatur air yang mengalir dari bendungan atau tanggul ke
daerah hilir dan digunakan saat aliran normal
Batas kedalaman air pada aquifer dangkal untuk "revap"
atau perkolasi ke aquifer dalam
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial , Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Rencana Tata Ruang Wilayah
Shallow Aquifer. Parameter yang terkait dengan kedalaman
permukaan air pada akuifer dangkal
Kadar air tersedia. Banyaknya air yang tersedia bagi
tanaman, yaitu selisih antara kadar air pada kapasitas
lapang dikurangi dengan kadar air pada titik layu permanen
Bulk Density (Bobot isi tanah). Kerapatan tanah per satuan
volume yang menggambarkan kepadatan tanah
Bahan organik tanah. Kumpulan beragam senyawasenyawa organik kompleks yang sedang atau telah
mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil
humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil
mineralisasi
Soil permeability (permeabilitas tanah). Kemampuan tanah
dalam meloloskan air
Nilai faktor tanaman (C USLE) untuk strip cropping
Bilangan kurva aliran permukaan untuk strip cropping
Nilai faktor pengelolaan lahan (P USLE) untuk strip
cropping
Nilai koefisien kekasaran Manning untuk strip cropping
Koefisien lag aliran permukaan. Waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai puncak aliran permukaan setelah terjadinya
hujan lebih
Surface runoff (Aliran permukaan). Air yang mengalir di
atas permukaan tanah dan mengangkut bagian-bagian tanah
Soil Water Assessment Tools
Sediment yield (hasil sedimen). Tanah dan bagian-bagian
tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat yang
mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai dan masuk
ke dalam suatu badan air
Transmission Loss (Kehilangan transmisi). Air yang hilang
dari sungai utama atau anak sungai melalui kehilangan
transmisi
United States Department of Agriculture-Agricultural
Research Service
Water Yield (Hasil Air). Total aliran suatu daerah aliran
sungai yang bersumber dari aliran permukaan, aliran bawah
permukaan, dan aliran bawah tanah.

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terintegrasi dari hulu ke hilir
sangat penting dilakukan dalam menjaga kondisi DAS. Konsekuensi dan gejala
yang diakibatkan oleh kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS bukan hanya
terjadi di hulu, tapi juga berkontribusi terhadap efek negatif yang terjadi di hilir.
Diantara kesalahan dalam pengelolaan suatu DAS adalah perubahan penggunaan
lahan yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan sehingga dapat
menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Efek yang ditimbulkan
diantaranya adalah meningkatnya debit aliran serta jumlah sedimen yang
terangkut. Efek negatif tersebut dapat menyebabkan terjadinya banjir. Banjir yang
terjadi hampir setiap tahun di DAS Ciujung menyebabkan DAS ini menjadi
sorotan berbagai pihak dan telah ditetapkan sebagai salah satu DAS prioritas di
Wilayah Kerja Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum-Ciliwung.
Menurut Sukardi et al. (2013) dalam kajiannya yang berjudul The Study on
Ciujung-Cidurian Integrated Water Resources, DAS Ciujung hanya memiliki
tutupan lahan hutan sebesar 11%. Deforestasi yang terjadi di bagian hulu dan
sepanjang aliran sungai, erosi hebat yang terjadi selama musim penghujan,
pendangkalan sungai terkait dengan sedimentasi, serta daerah pemukiman yang
padat di bantaran sungai merupakan penyebab terjadinya banjir di DAS Ciujung.
Koefisien regim sungai Ciujung (nisbah debit maksimum dan minimum)
sebesar 189 (sangat tinggi). Hal ini menunjukkan debit aliran sungai pada musim
penghujan sangat tinggi yang dapat memicu terjadinya banjir dan debit aliran
sungai pada musim kemarau rendah yang menyebabkan terjadinya kekeringan.
Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3)
yang melakukan pemeriksaan pada awal tahun 2013 terungkap bahwa
sendimentasi di Bendung Pamarayan sebesar 10 persen dari kapasitas bendung.
Indikator-indikator tersebut mengindikasikan bahwa DAS Ciujung berada pada
kondisi kritis sehingga tidak heran jika banjir semakin sering terjadi (Sukardi et al.
2013).
Fenomena perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap hidrologi
DAS Ciujung perlu dipahami guna menentukan tindakan yang perlu dilakukan di
masa yang akan datang. Model merupakan alat yang dapat membantu memahami
fenomena tersebut. Melalui model hidrologi dapat dipelajari kejadian hidrologi
yang akan terjadi. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Soil and Water
Assessment Tool (SWAT).
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan sebuah model untuk
skala DAS atau Sub DAS yang dibuat oleh Dr. Jeff Arnold dari Departemen
Pertanian Amerika Serikat atau United States Department of AgricultureAgricultural Research Service (USDA-ARS). Model SWAT dapat digunakan
untuk memprediksi pengaruh dari manajemen lahan terhadap air, sedimen, dan
bahan kimia hasil pertanian yang terkandung dalam aliran sungai. Menurut
Neitsch et al. (2005) model ini dapat digunakan dalam memprediksi kondisi
hidrologi DAS berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik
konservasi tanah dan air, serta terjadinya perubahan iklim global.

2
Perumusan Masalah
DAS Ciujung merupakan DAS terbesar yang terdapat di Provinsi Banten
yang melewati lima Kabupaten/Kota yaitu: Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Lebak, Kabupaten Serang, Kota Serang, dan sebagian kecil Kabupaten Bogor.
Banjir di DAS Ciujung, khususnya Sub DAS Ciujung hilir kerap kali terjadi,
bahkan sudah mulai menjadi fenomena yang rutin terjadi setiap tahunnya. Banjir
yang terjadi di bagian tengah dan hilir serta erosi yang terjadi di bagian hulu suatu
Daerah Aliran Sungai (DAS), merupakan salah satu indikasi bahwa fungsi
hidrologis DAS dalam keadaan terganggu sehingga DAS tersebut tidak dapat
mendukung sistem tata air yang optimal (Asdak 2010). Banjir di Sub DAS
Ciujung hilir selain merendam pemukiman warga juga merendam jalan tol
Jakarta-Merak di sekitar KM 57 dan 58. Permasalahan banjir di DAS Ciujung
telah tercatat sejak tahun 1977. Menurut Sukardi et al. (2013) banjir di daerah ini
telah terjadi sebanyak tujuh kali sejak tahun 1996.
Berbagai upaya telah ditempuh pemerintah untuk menanggulangi bencana
banjir di DAS Ciujung. Bendung Pamarayan yang berada di sekitar batas
administrasi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang tepatnya di Kecamatan
Kragilan dibangun untuk difungsikan sebagai peringatan dini terhadap banjir dan
mengatur tata air di DAS Ciujung. Pendangkalan bendung tersebut akibat
sedimentasi telah menjadi masalah tersendiri. Pemerintah Pusat melalui Balai
Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWS C3) akan membangun
bendungan di DAS Ciujung yaitu Bendungan Karian, namun sampai saat ini
belum terealisasi. Perlu adanya berbagai upaya nyata untuk mengembalikan
fungsi DAS Ciujung sebagaimana mestinya.
Keutuhan dan kemantapan fungsi DAS Ciujung sangat berpengaruh
terhadap beberapa Kabupaten/Kota yang dilewati khususnya berkaitan dengan
sering terjadinya banjir di wilayah ini. DAS Ciujung juga berfungsi sebagai
daerah tangkapan air yang akan diarahkan untuk mensuplai air bagi Bendungan
Karian. Tidak mengherankan jika BBWS C3 dan BPDAS Citarum-Ciliwung
menjadikan DAS Ciujung sebagai prioritas utama dalam pengelolaan daerah
aliran sungai.
Kerangka Pemikiran
Perubahan penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi dapat menimbulkan peningkatan debit aliran dan hasil sedimen (Dunjo
et al. 2004; Maalim et al. 2013). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu tindakan
penanggulangannya. Sejalan dengan perkembangan teknologi, saat ini telah
banyak alat (tools) yang dapat digunakan dalam memecahkan permasalahan ini.
Model SWAT merupakan salah satu model yang telah banyak digunakan dalam
kajian pengelolaan DAS di seluruh dunia.
Model SWAT merupakan salah satu model hidrologi yang telah diakui
efektif dalam simulasi hidrologi dan pengelolaan DAS serta telah banyak
digunakan saat ini. Model ini dapat melakukan proses secara cepat dalam
mengkaji hubungan input, proses dan output dari suatu sistem hidrologi, sehingga
dapat mengetahui karakteristik dan respon hidrologi suatu DAS yang luas dalam
jangka waktu yang panjang. Untuk memenuhi tujuan ini, model ini berbasis pada

3
fisik. Model SWAT membutuhkan informasi spesifik mengenai iklim, sifat-sifat
tanah, topografi, vegetasi, dan praktek manajemen lahan yang terjadi di daerah
aliran sungai untuk menggabungkan persamaan regresi dalam rangka
menggambarkan hubungan antara variabel input dan output yang terjadi. Dengan
menggunakan model ini, diharapkan dapat diketahui konservasi tanah dan air
yang dapat menurunkan debit aliran dan hasil sedimen DAS Ciujung secara
efektif.
Perubahan
penggunaan
lahan

Debit aliran
dan sedimen
meningkat

Penanggulangan
berbasis spasial

Pengelolaan
Lahan
Efektif

DATA INPUT






Iklim
Tanah
Tutupan lahan
Topografi

Model SWAT

- Kalibrasi
- Validasi

Simulasi Teknik
Konservasi
Tanah dan Air
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Tujuan Penelitian
1. Mengkaji perubahan penggunaan lahan DAS Ciujung serta pengaruhnya
terhadap debit aliran.
2. Mengkaji kinerja model SWAT untuk memprediksi debit aliran dan hasil
sedimen DAS Ciujung
3. Menentukan pengelolaan lahan optimum untuk menurunkan debit aliran dan
hasil sedimen DAS Ciujung menggunakan model SWAT
Manfaat Penelitian
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
pemangku kepentingan, khususnya pengambil keputusan dalam
merencanakan pengelolaan DAS Ciujung.
2. Memberikan masukan dalam menentukan Pengelolaaan Lahan Terbaik (best
management practices) sehingga dapat memberikan kontribusi dalam
perbaikan kondisi DAS Ciujung.
3. Memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang terkait
dengan penelitian ini.

4
Ruang Lingkup Penelitian
Secara kewilayahan, penelitian ini dibatasi di DAS Ciujung. Secara
teknis, permasalahan yang diangkat dalam lingkup penelitian ini melingkupi
aspek biofisik (penggunaan lahan, kelerengan dan tanah) dari DAS Ciujung dan
tidak dilakukan kajian pada aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan. Respon
hidrologi yang diteliti dibatasi pada debit aliran sungai dan hasil sedimen.

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Desember 2014 di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung yang terletak di 5o57’14”LS – 6o4’20” LS
dan 106o01’00”BT – 106o29’03” BT dengan luas ± 190.635,6 hektar. Wilayah
DAS Ciujung dibatasi oleh laut Jawa di bagian utara; DAS Rawa, Cidano dan
Teluk Lada di bagian barat; DAS Cidurian di bagian timur; serta DAS CibaliungCibareno di bagian selatan (Gambar 2).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian
DAS Ciujung mengalir dari sumber mata air yang berada di Gunung Endut
dan Gunung Karang ke laut Jawa dengan melewati lima Kabupaten/Kota yaitu
Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,
dan Kota Serang. Terdapat empat Sub DAS utama yaitu Sub DAS Ciujung hulu,
Sub DAS Ciberang, Sub DAS Ciujung Tengah, dan Sub DAS Ciujung Hilir.

5
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1) Data curah hujan dan debit aliran sungai harian dari tahun 2001 sampai 2012
yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian
(BBWS C3), BMKG Kelas I Serang, dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air
(BPSDA) Ciujung-Cidanau. Kegunaan data-data ini adalah untuk analisis
kondisi DAS dan sebagai data observasi yang diperlukan untuk dibandingkan
dengan data hasil simulasi model SWAT.
2) Data debit sedimen harian pada bulan Februari-Desember 2013 diperoleh dari
BBWS C3. Kegunaan data ini adalah untuk membuat rating curve debit
sedimen harian observasi yang akan dibandingkan dengan debit sedimen hasil
simulasi model SWAT.
3) Data iklim harian berupa suhu udara maksimum dan minimum, kecepatan
angin, kelembaban udara dan radiasi matahari. Data ini diperoleh dari Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Kelas I Serang dan BPSDA
Ciujung-Cidanau. Data-data ini digunakan untuk input data iklim pada model
SWAT.
4) Peta penggunaan lahan skala 1:250,000 yang diperoleh dari Badan Planologi
Kehutanan (BAPLAN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kegunaan peta ini adalah untuk análisis perubahan penggunaan lahan dan
input peta landuse pada model SWAT.
5) Peta satuan tanah skala 1:250,000 diperoleh dari Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (Puslitanak), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementerian Pertanian. Peta ini digunakan untuk input peta tanah pada model
SWAT.
6) Peta Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi 30 meter yang
didapatkan dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Kegunaan peta ini adalah
untuk input peta DEM pada proses deliniasi DAS.
Alat
Peralatan yang digunakan adalah: (1) seperangkat komputer dengan
perangkat lunak ArcGIS 10.1 dan ArcSWAT 2012 sebagai interface, pcpSTAT,
SWAT Plot, SWAT BFlow, serta SWAT CUP; (2) global Positioning System
(GPS); (3) ring sampler ; (4) double ring infiltrometer dan alat-alat lainnya yang
diperlukan untuk pengambilan sample fisik tanah dan analisis di laboratorium.
Metode
Pengumpulan Data Sekunder
Penelusuran studi pustaka dilakukan untuk mencari referensi dan
literatur yang berhubungan dengan tema penelitian. Pengumpulan data sekunder
dilakukan di beberapa tempat, diantaranya adalah BPSDA Ciujung-Cidanau,
BBWS C3, BMKG Kelas I Serang, BPDAS Citarum-Ciliwung, dan Puslitanak.

6
Pengambilan dan Analisis Contoh Tanah
Pengambilan contoh dan analisis tanah dilakukan untuk input data tanah
pada model SWAT. Parameter yang diamati diantaranya adalah laju infiltrasi
tanah (cm/jam), kedalaman solum (mm), kedalaman efektif tanah (mm), bobot isi
(g/cm3), kadar air tersedia (mm H2O/mm tanah), C-organik (%), permeabilitas
tanah (mm/jam), albedo tanah, tekstur tanah berupa kandungan pasir, debu, dan
klei (%), serta kandungan batuan (%) pada layer pertama.
Analisis Curah Hujan Wilayah
Curah hujan rata-rata wilayah ditentukan dengan menggunakan metode
poligon Thiessen. Data yang digunakan berasal dari 20 stasiun hujan yang
tersebar di DAS Ciujung pada periode tahun 2001-2006 dan 2006-2011.
P=
dengan:
P = curah hujan rata-rata wilayah
An = luas masing-masing poligon
Pn = curah hujan masing-masing stasiun
Analisis Debit Aliran Sungai
Debit rata-rata bulanan ditentukan pada periode tahun 2001-2006 dan 20062011 pada outlet pamarayan. Selain itu ditentukan debit maksimum dan debit
minimum bulanan, debit puncak, volume aliran, dan aliran permukaan yang
berasal dari outlet pamarayan. Aliran permukaan (runoff) rata-rata bulanan
ditentukan dengan cara:
RO

x 1000

=

Analisis Kondisi DAS
Koefisien aliran permukaan (C) dan nisbah debit maksimum (Qmax) dan
debit minimum (Qmin) digunakan untuk melihat kondisi hidrologis DAS pada
periode tahun 2001-2006 dan 2006-2011. Koefisien aliran permukaan (C)
menggunakan rumus:
C=
Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum ditentukan berdasarkan
klasifikasi Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS)
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kehitanan Republik Indonesia
No : P. 61 /Menhut-II/2014 (Tabel 1).

7
Tabel 1 Klasifikasi nisbah debit maksimum dan minimum
Nilai Qid
≤ 20

Katagori
Sagat Rendah (SR)

20 < Qid ≤ 50

Rendah (R)

50 < Qid ≤ 80

Sedang (S)

80 < Qid ≤ 110

Tinggi (T)

> 110

Sangat Tinggi (ST)

Sumber: Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Sungai dan Hutan Lindung (2014)

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan peta penggunaan lahan
dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2006 dan 2011 dengan skala 1:250,000.
Pengolahan dilakukan dengan melakukan insert pivot table pada microsoft excel
untuk mengolah data atribut peta yang sebelumnya telah dilakukan export data
atribut ke dalam bentuk .dbf. Trend perubahan penggunaan lahan didapatkan
dengan cara membandingkan luas masing-masing penggunaan lahan.
Menjalankan Model SWAT
Persiapan Data. SWAT merupakan model yang komprehensif sehingga
membutuhkan banyak ragam data untuk menjalankannya. Data masukan yang
perlu disiapkan diantaranya adalah peta DEM, peta penggunaan lahan, peta dan
data tanah, peta kontur, curah hujan harian, temperatur udara maksimum dan
minimum, radiasi matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara. Selain itu,
dilakukan pembuatan basis data iklim untuk membuat data generator iklim
(weather generator data) yang membutuhkan 14 parameter input yang harus
dihitung terlebih dahulu berdasarkan data iklim.
Deliniasi DAS. Peta DEM digunakan sebagai input untuk deliniasi DAS.
Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan diantaranya adalah pemasukan
data DEM grid (add DEM grid), penentuan jaringan sungai (stream definition),
penentuan outlet (outlet definition), seleksi dan penentuan outlet DAS (watershed
outlet selection and definition) dan penghitungan parameter Sub DAS (calculate
sub DAS parameter).
Analisis HRU. Pada tahap pembentukan HRU dilakukan input data
penggunaan lahan, tanah, dan kemiringan lereng untuk dilakukan overlay. HRU
digunakan dalam kebanyakan run SWAT karena adanya penyederhanaan dalam
run model dengan menggabungkan semua area yang memiliki jenis tanah dan
penggunaan lahan yang sama ke dalam unit respon tunggal (single response unit).
Selanjutnya dilakukan pendefinisian HRU (HRU definition) untuk menentukan
kriteria spesifik yang akan diaplikasikan dalam HRU. Dalam pendefinisian HRU
digunakan metode threshold by percentage. Metode ini digunakan untuk
menetukan seberapa besar batas (threshold) untuk jenis tanah, tutupan lahan dan
lereng di dalam Sub DAS yang diabaikan oleh model dalam pembentukan HRU.

8
Input Data Iklim. Data generator iklim yang sudah dibuat digunakan untuk
input data dalam weather data definition. Setelah itu dilakukan pemasukan input
data curah hujan, temperatur, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin.
Membangun Input Data. Setelah data iklim selesai dimasukkan maka
dilanjutkan dengan memasukkan informasi data input ke dalam basis data. Data
input tersebut secara otomatis terbentuk berdasarkan deliniasi DAS dan
karakterisasi dari penggunaan lahan, tanah, dan lereng. Pembuatan input data
dilakukan dengan memilih opsi Write All. Default input ini dapat diedit dengan
menggunakan menu Edit SWAT Input.
Run SWAT. Run model dapat dilakukan setelah mengisi tanggal mulai dan
tanggal akhir simulasi tertentu serta memilih distribusi curah hujan yang
digunakan. Model SWAT menghasilkan output file yang terpisah untuk Sub DAS,
HRU dan sungai utama. Informasi dalam file Sub DAS (output.sub) dan HRU
(output.hru) terdiri dari jumlah curah hujan (PRECIP), evapotranspirasi potensial
(ETP), evapotranspirasi aktual (ETA), kandungan air tanah (SW), perkolasi
(PERC), aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), aliran bawah tanah
(GW_Q) dan hasil air (WYLD). Informasi pada masing-masing sungai atau
saluran utama (output.rch) dalam Sub DAS adalah jumlah aliran yang masuk ke
sungai (FLOW_IN) dan keluar (FLOW_OUT), jumlah kehilangan air dari sungai
melalui evaporasi (EVAP) dan transmisi (TLOSS), serta hasil sedimen (SYLD).
Kalibrasi. Kalibrasi bertujuan untuk menyesuaikan parameter model agar
sesuai dengan kondisi eksisting, sehingga mengurangi ketidakpastian prediksi.
Kalibrasi model dilakukan dengan cara memilih nilai-nilai untuk input parameter
model secara hati-hati (dalam masing-masing rentang ketidakpastian) dengan
membandingkan data prediksi model (output) untuk satu set kondisi yang
diasumsikan dengan data observsi untuk kondisi yang sama (Arnold et al. 2012).
Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi adalah
koefisien determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE). Koefisien
determinasi didefinisikan sebagai nilai kuadrat dari koefisien korelasi berdasarkan
Bravais-Pearson. Nilai R2 dapat dikalkulasikan menggunakan rumus:

dimana O adalah data observasi, adalah data observasi rata-rata, dan P
adalah data simulasi.
Kisaran nilai R2 diantara 0 dan 1 yang menggambarkan seberapa banyak
sebaran data observasi yang dapat dijelaskan oleh data simulasi. Pada dasarnya
nilai R2 ≥ 0.5 dianggap dapat diterima (Moriasi et al. 2007), sehingga model yang
dibuat dapat dipergunakan untuk mensimulasikan skenario yang diinginkan. Adapun
persamaan dari model efisiensi Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) adalah sebagai
berikut:
NSE = 1dimana
merupakan data observasi ke-i,
merupakan data simulasi
merupakan data observasi rata-rata, dan n merupakan jumlah observasi.
ke-i,

9
Rentang nilai NSE terletak antara −∞ sampai 1, dengan NSE = 1 merupakan
nilai optimal. Nilai antara 0.0 sampai 1.0 secara umum dilihat sebagai level
performa model yang dapat diterima, sedangkan NSE ≤ 0.0 mengindikasikan
bahwa rata-rata nilai data observasi merupakan alat prediksi yang lebih baik
daripada nilai data simulasi. (Moriasi et al. 2007).
Tabel 2 Tingkat performa model NSE
Tingkat Performa
Sangat baik
Baik
Memuaskan
Tidak memuaskan
Sumber: (Moriasi et al. 2007 dalam Chaube et al. 2011)

NSE
0.75 ≤ NSE ≤ 1.00
0.65 ≤ NSE ≤ 0.75
0.50 ≤ NSE ≤ 0.65
NSE ≤ 0.50

Validasi. Validasi model adalah proses untuk menguji konsistensi model.
Validasi dilakukan dengan menjalankan model menggunakan parameter yang
telah ditentukan selama proses kalibrasi serta membandingkan data prediksi dan
data observasi yang tidak digunakan dalam proses kalibrasi. Metode statistik yang
digunakan dalam melakukan validasi adalah model koefisien determinasi (R2) dan
model efisiensi Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) dengan kriteria yang sama seperti
yang digunakan dalam proses kalibrasi.
Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah debit aliran (FLOW_OUT)
dan hasil sedimen (SYLD). Kalibrasi dan validasi dilakukan pada Automatic
Water Level Recorder (AWLR) yang terdapat di outlet Jembatan II Rangkas.
Rancangan Skenario Pengelolaan Lahan
Skenario 1: Penerapan Fungsi Kawasan Hutan
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan
oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan. Peraturan
yang menyangkut hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan
Hutan. Teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan dalam skenario ini adalah
reboisasi atau menghutankan kawasan yang ditetapkan sebagai fungsi kawasan
hutan. Penerapan fungsi kawasan hutan tersebut menyebabkan perubahan
beberapa parameter model diantaranya adalah CN2 (curve number), SOL_K
(permeabilitas tanah), SOL_C (bahan organik tanah), dan SOL_BD (bobot isi
tanah). Nilai-nilai parameter yang diterapkan tersebut mengacu pada hasil
penelitian Prasetya et al. (2012).
Skenario 2: Rehabilitasi Lahan Kritis
Pengelolaan lahan yang diterapkan pada skenario 2 diantaranya melakukan
reboisasi pada lahan kritis di seluruh penggunaan lahan kecuali pemukiman.
Agroforestry diterapkan pada lahan agak kritis dengan penggunaan lahan eksisting
berupa pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, perkebunan,
dan semak belukar. Agroforestry (Wanatani) merupakan sistem usaha tani yang
mengintegrasikan secara spasial dan/atau temporal tanaman pohon-pohonan di
dalam sistem produksi tanaman rendah pada sebidang tanah yang sama (Arsyad

10
2010). Parameter model yang berubah seiring diterapkannya skenario rehabilitasi
lahan kritis diantaranya adalah CN2, SOL_K, SOL_C, SOL_BD, dan SOL_AWC
(kadar air tersedia). Nilai parameter yang digunakan mengacu pada hasil
penelitian Prasetya et al. (2012) dan Silva et al. (2011).
Skenario 3: Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Vegetatif
Konservasi tanah dan air (KTA) secara vegetatif merupakan suatu upaya
mengendalikan aliran melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang
menjadi aliran permukaan akan berkurang. Penerapan teknik KTA metode
vegetatif yang diterapkan diantaranya strip cropping pada areal pertanian lahan
kering dan pertanian lahan kering campur semak dengan kemiringan 0-25%,
sedangkan pada kemiringan 25-40% diterapkan agroforestry. Penanaman strip
(strip cropping) adalah sistem konservasi tanah dan air secara vegetatif dengan
menanam beberapa jenis tanaman dalam strip yang berselang-seling pada
sebidang tanah dan kurun waktu yang sama. Seluruh penggunaan lahan dengan
kemiringan >40% dilakukan reboisasi.
Parameter model yang berubah dengan diterapkannya strip cropping
diantaranya STRIP_CN (bilangan kurva aliran permukaan untuk strip cropping)
berdasarkan USDA‐NRCS (2004) dan Williams et al. (1990) dalam Wang et al.
(2011), STRIP_P (faktor P USLE untuk strip cropping) berdasarkan Wischmeier
and Smith (1978) dalam Arabi (2007), STRIP_C (faktor C USLE) berdasarkan
Kuok et al. (2013), dan STRIP_N (nilai koefisien kekasaran Manning)
berdasarkan Engman (1983) dalam Arnold et al. (2012). Seluruh penggunaan
lahan dengan kemiringan >40% dilakukan reboisasi. Nilai-nilai parameter tersebut
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 27 dan 28.
Skenario 4: Penerapan Teknik Konservasi Tanah dan Air Metode Sipil
Teknis
Kegiatan konservasi tanah dan air metode sipil teknis jika dilihat dari aspek
jenis dan tujuannya dikelompokkan menjadi 2 yaitu konservasi tanah dan air
berbasis alur dan konservasi tanah dan air berbasis lahan. Konservasi tanah dan air
metode sipil teknis berbasis alur merupakan kegiatan untuk menahan atau
menampung air di badan air atau dengan membentuk badan air baru di alur atau
aliran sungai. Selain menahan atau menampung air, kegiatan ini juga dapat
memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan debit puncak
dari suatu aliran.
Teknologi KTA sipil teknis berbasis alur yang diterapkan adalah Bendungan
Karian yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Banten dan terletak di sub DAS 15. Parameter bendungan yang perlu dilengkapi
diantaranya adalah RES_VOL (volume bendungan), dimana bendungan karian
memiliki kemampuan menampung sebesar 207.48 juta m3 air. Parameter model
yang berubah karena diterapkannya simulasi Bendungan Karian diantaranya
adalah RES_VOL (volume bendungan), RES_EVOL (emergency spillway) dan
RES_PVOL (principal spillway). Nilai tersebut ditetapkan berdasarkan data
sekuder yang didapatkan dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA)
Ciujung-Cidanau.
Kegiatan sipil teknis berbasis lahan yang digunakan diantaranya penanaman
sesuai kontur (contouring) pada penggunaan lahan pertanian lahan kering,

11
pertanian lahan kering campur semak `dan perkebunan pada kemiringan lereng 08 dan 8-15%, serta penerapan Lubang Resapan Biopori (LRB) pada lahan
pemukiman. Penerapan skenario pengelolaan lahan berupa contouring tersebut
menyebabkan perubahan beberapa parameter model diantaranya adalah CONT_P
dan CONT_CN (nilai P USLE dan bilangan kurva untuk contouring) masingmasing berdasarkan Wischmeier and Smith (1978) dalam Arabi et al. (2007) dan
USDA‐NRCS (2004) dan Williams et al. (1990) dalam Wang et al. (2011).
Parameter terkait LRB yang disimulasikan diantaranya SOL_BD dan SOL_K
berdasa