Analisis Respon Hidrologi terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Sub DAS Lengkong menggunakan Model SWAT

ANALISIS RESPON HIDROLOGI TERHADAP PENERAPAN
TEKNIK KONSERVASI TANAH DI SUB DAS LENGKONG
MENGGUNAKAN MODEL SWAT

GUNADI FIRDAUS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Respon
Hidrologi terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Sub DAS Lengkong
menggunakan Model SWAT adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Gunadi Firdaus
NIM A155110021

RINGKASAN
GUNADI FIRDAUS. Analisis Respon Hidrologi terhadap Penerapan Teknik
Konservasi Tanah di Sub DAS Lengkong menggunakan Model SWAT.
Dibimbing oleh OTENG HARIDJAJA dan SURIA DARMA TARIGAN.
Salah satu penyebab banjir dan erosi adalah kondisi biofisik di bagian hulu
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sudah tidak dapat mendukung fungsi
hidrologis DAS dengan baik, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya penerapan
teknik konservasi tanah yang tepat untuk membantu memperbaiki fungsi
hidrologis DAS tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis respon
hidrologi berdasarkan kondisi biofisik DAS pada tingkat analisis skala meso, dan
(2) menganalisis respon hidrologi berdasarkan penerapan skenario teknik
konservasi tanah. Wilayah kajian untuk penelitian adalah di sub DAS Lengkong
yang terletak di bagian hulu DAS Cisadane seluas 1788 ha.Waktu penelitian
adalah selama 6 bulan dimulai sejak bulan Juli sampai Desember 2013.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pemodelan hidrologi Soil

and Water Assessment Tool (SWAT). Data yang dihimpun untuk input penelitian
ini adalah data iklim global, Digital Elevation Model (DEM), tanah, tutupan
lahan, suhu dan curah hujan. Selain itu dihimpun juga data debit dan sedimen
hasil observasi untuk proses kalibrasi dan validasi model. Tahapan kegiatan yang
dilakukan adalah: (1) mendeliniasi batas sub DAS Lengkong, (2) pembentukan
Hidrology Respon Unit (HRU) dengan cara tumpang susun peta tanah, peta
tutupan lahan serta peta kelas kelerengan, (3) penggabungan HRU dengan data
iklim global, data curah hujan rata-rata harian serta data suhu udara maksimum
minimum harian, (4) menjalankan SWAT, (5) kalibrasi dan validasi data, dan (6)
menganalisis respon hidrologi hasil simulasi skenario penerapan teknik
konservasi tanah yang diterapkan.
Model SWAT membagi Sub DAS Lengkong menjadi 11 subbasin dengan
luasan berkisar antara 33 ha sampai 317 ha, dengan jumlah HRU sebanyak 148
unit. Klasifikasi tanah terdiri dari Typic Hapludands seluas 1675 ha yang berada
di bagian hulu dan tengah Sub DAS dan Andic Humitropepts seluas 113 ha yang
berada di bagian hilir Sub DAS. Tanah-tanah tersebut memiliki sifat fisik yang
hampir sama, mempunyai tekstur lempung berpasir, kandungan bahan organiknya
tinggi, permeabilitas cepat dan solumnya dalam. Kondisi tutupan lahan di Sub
DAS Lengkong terdiri dari 7 katagori yaitu hutan, semak belukar, pertanian
campuran, ladang, sawah, pemukiman dan padang rumput dengan luas masingmasing 1050 ha, 469 ha, 107 ha, 61 ha, 11 ha dan 3 ha. Kelas kelerengan dibuat

secara otomatis oleh SWAT dari DEM sesuai dengan kelas interval yang
ditetapkan sebanyak 5 kelas yaitu 0-8%, 8-15%, 15-25%, 25-40% dan >40%
dengan luasan untuk masing-masing kelas berturut-turut adalah 17 ha, 55 ha, 185
ha, 422 ha dan 1110 ha.
Hasil pengujian debit dan sedimen model pada tahap awal sebelum kalibrasi
selama 3 tahun (2009 – 2011) menunjukan nilai R2 sebesar 0.46 dan 0.42 serta
nilai NS sebesar 0.41 dan 0.39. Untuk meningkatkan nilai R2 dan NS dilakukan
kalibrasi model menggunakan algoritma optimasi Sequential Uncertainty Fitting
Ver.2 (SUFI2) pada SWAT_CUP terhadap 1095 data debit selama 3 tahun (20092011) dengan iterasi sebanyak 1000 untuk 28 parameter. Hasil kalibrasi

menunjukan nilai-nilai terbaik untuk 28 parameter yang digunakan untuk validasi
model. Hasil validasi model yang menggunakan data debit dan sedimen tahun
2011 diperoleh nilai R2 sebesar 0.86 dan 0.85 serta nilai NS 0.85 dan 0.76.
Hasil analisis pada model SWAT menunjukan bahwa pemukiman memiliki
tebal aliran permukaan sebesar 2314.32 mm pada tahun 2011, diikuti dengan
sawah sebesar 1530.01 mm, ladang sebesar 1034.10 mm, pertanian campuran
sebesar 686.40 mm, semak belukar sebesar 597.92 mm, padang rumput sebesar
344.23 mm, dan hutan sebesar 176.35 mm. Angka ini menunjukan bahwa
infiltrasi yang terjadi pada pemukiman dan sawah nilainya kecil karena
pemukiman didominasi oleh areal yang kedap air dan sawah memiliki mulsa air

yang juga kedap air, sehingga pada kedua tipe tutupan lahan ini aliran permukaan
menjadi tinggi. Berdasarkan nilai tebal curah hujan tahun 2011 sebesar 3447 mm,
nilai koefisien aliran untuk masing-masing penutupan lahan berturut-turut dari
mulai yang tertinggi yaitu pemukiman sebesar 0.67; sawah sebesar 0.44; ladang
sebesar 0.30; pertanian campuran sebesar 0.20; semak belukar sebesar 0.17;
padang rumput sebesar 0.10; dan hutan sebesar 0.05.
Nilai erosi yang ditimbulkan untuk masing-masing tutupan lahan
berdasarkan hasil analisis model SWAT menunjukan bahwa ladang menghasilkan
erosi sebesar 108.03 ton ha-1 pada tahun 2011, diikuti dengan pertanian campuran
sebesar 104.11 ton ha-1, pemukiman sebesar 88.75 ton ha-1, sawah sebesar 24.76
ton ha-1, semak belukar sebesar 12.77 ton ha-1, hutan sebesar 7.17 ton ha-1 dan
padang rumput sebesar 1.23 ton ha-1. Ladang dan pertanian campuran mempunyai
nilai erosi yang tinggi karena adanya pengolahan tanah pada musim tanam yang
dilakukan pada musim hujan.
Hasil analisis respon hidrologi terhadap penerapan skenario konservasi
tanah menunjukan nilai KRS sebesar 149.71 untuk skenario 1 (penanaman
tanaman strip) dan 2 (penanaman searah kontur), sebesar 149.80 untuk skenario 3
(pembuatan teras), sebesar 150.25 untuk skenario 4 (gabungan skenario 1 dan 2),
dan sebesar 149.31 untuk skenario 5 (gabungan skenario 1, 2 dan 3). Berdasarkan
nisbah erosi potensial dengan erosi yang dapat ditoleransi (TSL), diperoleh nilai

indeks bahaya erosi untuk skenario 1 sebesar 2.63 (sedang), skenario 2 sebesar
2.57 (sedang), skenario 3 sebesar 0.60 (rendah), skenario 4 sebesar 2.45 (sedang),
dan skenario 5 sebesar 0.44 (rendah). Dengan demikian, penerapan teknik
konservasi tanah yang mengkombinasikan penanaman tanaman sesuai kontur dan
penanaman tanaman strip dengan pembuatan teras secara bersamaan, merupakan
teknik konservasi tanah yang paling baik untuk memperbaiki respon hidrologi
DAS yaitu kondisi fluktuasi debit yang lebih stabil dan sedimen yang lebih
menurun sehingga dapat direkomendasikan secara pendekatan biofisik untuk
dapat diterapkan di Sub DAS Lengkong pada khususnya dan di DAS Cisadane
bagian hulu pada umumnya.

Kata kunci: DAS, debit, konservasi tanah, sedimen, SWAT

SUMMARY
GUNADI FIRDAUS. Hydrological Respons Analysis towards Soil Conservation
Practices Application in Lengkong Watershed using SWAT model. Supervised
by OTENG HARIDJAJA and SURIA DARMA TARIGAN
One of the causes of the flooding and erosion is the biophysical condition in
the upper course of a river watershed that no longer support the hydrological
function of the watershed as it should, such that it is necessary to carry out soil

conservation practices application that are precise in helping to restore the
hydrological function of the watershed. This research aims to: (1) analyze the
hydrological response based on biophysical condition of the watershed on a
meso-scale level, and (2) analyze the hydrological response based on soil
conservation practices scenario application. The study region of the research is
Lengkong watershed located in the upper course of Cisadane basin covering an
area of 1788 ha. The research was carried out of a period of six months starting
July until December 2013.
This research was carried out using Soil and Water Assessment Tool
(SWAT) hydrological modeling. The collected data include global climate data,
Digital Elevation Model (DEM), soil, land cover, temperature and rainfall. Apart
from these observed flow-out and sediment-yield data for calibration and
validation of the model. The stages of activities carried out are: (1) delineation of
the borders of Lengkong watershed, (2) formation of Hydrology Response Unit
(HRU) by overlay of soil map, land cover map and slope classes map, (3)
combining HRU with global climate data, average daily rainfall data and
maximum minimum daily air temperature data, (4) running SWAT, (5)
calibration and validation of data, and (6) analysis of the hydrological response of
the result from soil conservation practices scenario simulation that has been
applied.

The SWAT model divided Lengkong watershed into 11 subbasins with
areas ranging between 33 and 317 ha, with a total HRU of 148 units. The soil
classification are Typic Hapludands measuring 1675 ha found in the upper and
mid courses of the watershed and Andic Humitropepts measuring 113 ha found in
the lower course of the watershed. These soils have similar physical properties,
has a sandy loam texture, organic matter content is high, rapid permeability, and
deep solum. There are 7 categories of land cover in the sub das Lengkong: forest,
shrubby bushes, mixed agriculture, seasonal farm field, rice field, settlement and
grassland, each measuring 1050 ha, 469 ha, 107 ha, 61 ha, 11 ha and 3 ha
respectively. slope classes were automatically produced by SWAT from DEM
appropriate with class interval for 5 classes that is 0-8%, 8-15%, 15-25%, 2540% and >40% with the area of each class being 17 ha, 55 ha, 185 ha, 422 ha and
1110 ha.
The results from flow-out and sediment-yield model tests on earlier stages
before calibration over a period of 3 years (2009-2011) shows R2 values of 0.46
and 0.42 with NS values of 0.41 and 0.39. To increase R2 and NS value,
calibration of the model was done using sequential uncertainty fitting version 2
(SUFI2) optimization algorithm on SWAT_CUP against 1095 flow-out data over
3 years (2009-2011) with an iteration of 1000 for 28 parameters. The callibration

result shows the best value for 28 parameters which used for validation of the

model. The model validation result from flow-out and sediment-yield data in
2011 had an R2 value of 0.86 and 0.85 as well as NS value of 0.85 and 0.76.
The SWAT model analysis result show that settlement area had a surface
runoff thickness of 2314.32 mm in 2011, followed by rice field of 1530.01 mm,
seasonal farm field with 1034.10 mm, mixed agriculture with 686.40 mm,
shrubby bushes with 597.92 mm, grassland with 344.23 mm and forest had
176.35 mm. This figures show that infiltration that happened in settlement and
rice field are small because settlement are dominated by impermeable areas while
rice fields have water mulch which are also water tight, such that for both of these
land covers surface runoff is high. Based on the amount of rainfall of 3447 mm in
2011, runoff coefficients for each land cover in a decreasing order are settlement
with 0.67, rice field with 0.44, seasonal farm field with 0.30, mixed agriculture
with 0.20, shrubby bushes with 0.17, grassland with 0.10 and forest with 0.05.
For the amount of erosion resulting on each land cover, SWAT model
analysis showed that seasonal farm field results in an erosion of 108.03 tons ha-1
in 2011, followed by mixed agriculture with 104.11 tons ha-1, settlement with
88.75 tons ha-1, rice field with 24.76 tons ha-1, shrubby bushes with 12.77 tons ha1
, forest with 7.17 tons ha-1 and grassland with 1.23 tons ha-1. Seasonal farm field
and mixed agricultural land has high erotion value because of land cultivation
during the rainy season which is the growing season.

Hydrological response analysis results on soil conservation scenario
application show that the ratio of Qmax and Qmin value of 149.71 for scenario 1
(strip cropping) and 2 (contour cropping), 149.80 for scenario 3 (terracing),
150.25 for scenario 4 (combine scenario 1 and 2), and 149.31 for scenario 5
(combine scenario 1, 2 and 3). Based on the potential erosion ratio with tolerable
erosion, an erosion hazard index of 2.63 (moderate) for scenario 1; 2.57
(moderate) for scenario 2; 0.60 (low) for scenario 3; 2.45 (moderate) for scenario
4; and 0.44 (low) for scenario 5. Therefore, soil conservation practices
application combined with contour cropping and strip cropping with terracing
collectively, is the best soil conservation practice for repairing the hydrological
response of the watershed that is flow-out fluctuation condition which is more
stable and a more decreasing sediment-yield as such that recombination is
achieved trough biophysical approach to be applied especially in Lengkong
watershed and generally in the upper course of Cisadane basin.
Keywords: watershed, flow-out, soil conservation, sediment-yield, SWAT

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS RESPON HIDROLOGI TERHADAP PENERAPAN
TEKNIK KONSERVASI TANAH DI SUB DAS LENGKONG
MENGGUNAKAN MODEL SWAT

GUNADI FIRDAUS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Yayat Hidayat, MSi

Judul Tesis : Analisis Respon Hidrologi terhadap Penerapan Teknik Konservasi
Tanah di Sub DAS Lengkong menggunakan Model SWAT
Nama
: Gunadi Firdaus
NIM
: A155110021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Oteng Haridjaja, MSc
Ketua

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini adalah respon hidrologi, dengan judul Analisis
Respon Hidrologi terhadap Penerapan Teknik Konservasi Tanah di Sub DAS
Lengkong menggunakan Model SWAT. Dalam karya ilmiah ini diuraikan mulai
dari latar belakang, tujuan penelitian, metode yang digunakan, hasil dan
pembahasan, sampai dengan kesimpulan dan saran. Penelitian ini difokuskan
pada bagaimana model SWAT dapat menganalisis respon hidrologi yang
ditimbulkan dari kondisi biofisik tersebut serta bagaimana respon hidrologi
setelah diterapkannya teknik konservasi tanah.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Oteng Haridjaja MSc
dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan, saran dan masukan selama penelitian ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iwan Ridwansyah, Bapak Sawiyo,
Yanto Rochmayanto dan Ifah Latifah yang telah memberi bantuan untuk
penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Kementerian Kehutanan atas bantuan beasiswa yang diberikan, kepada Bapak Ir
Dodi Susanto MP dan Ibu Ir Nurhasnih MM beserta staf Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Citarum Ciliwung, teman-teman mahasiswa pascasarjana
Ilmu Pengelolaan DAS, teman-teman mahasiswa pascasarjana ITSL tahun 2011
serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta, orang tua, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan dukunguannya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2014
Gunadi Firdaus

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
1
2
2
2

2

TINJAUAN PUSTAKA

3

3

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data

7
7
7
9
10

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Biofisik
Kalibrasi dan Validasi Model
Analisis Respon Hidrologi terhadap Kondisi Biofisik
Analisis Respon Hidrologi terhadap Skenario Teknik Konservasi Tanah

17
17
21
26
28

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

32
32
33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

49

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Kualifikasi data spasial yang digunakan di Sub DAS Lengkong
Variable output SWAT pada subbasin
Variable output SWAT pada outlet sungai
Struktur ukuran butir tanah
Parameter input model untuk kalibrasi
Nilai faktor P untuk tindakan konservasi tanah
Klasifikasi nilai indeks bahaya erosi
Pembagian subbasin di Sub DAS Lengkong berdasarkan SWAT
Hasil identifikasi tutupan lahan Sub DAS Lengkong berdasarkan model
SWAT
Hasil identifikasi kelas kelerengan berdasarkan model SWAT
Hasil Kalibrasi Model SWAT
Hasil analisis sensitivitas model SWAT-CUP
Tebal aliran dan koefisien aliran untuk berbagai tutupan lahan
Perbedaan antar nilai tengah debit tanpa skenario dengan debit hasil
penerapan 5 skenario teknik konservasi tanah
Penurunan debit maksimum dan peningkatan debit minimum 5 skenario
teknik konservasi tanah
Nilai KRS untuk skenario teknik konservasi tanah
Perbedaan antar nilai tengah hasil sedimen tanpa skenario dengan hasil
sedimen penerapan 5 skenario konservasi tanah
Penurunan hasil sedimen untuk 5 skenario teknik konservasi tanah
Perbandingan hasil penurunan sedimen bulanan 5 skenario teknik
konservasi tanah
Indeks bahaya erosi untuk 5 skenario konservasi tanah

9
11
11
13
15
16
17
18
19
21
22
23
26
28
29
29
30
30
31
32

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Skema representasi siklus hidrologi (Neitsch et al. 2005)
Peta situasi wilayah penelitian
Diagram alir tahapan penelitian
Hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan dalam metode
bilangan kurva SCS (Neitsch et al. 2005)
Hasil pembentukan sungai (reach), basin dan subbasin Sub DAS
Lengkong berdasarkan model SWAT (sumber: DEM tahun 2013)
Peta klasifikasi tanah Sub DAS Lengkong berdasarkan model SWAT
(sumber: Puslitanak 1992)
Peta Klasifikasi tutupan lahan Sub DAS Lengkong berdasarkan model
SWAT (sumber: citra word view tahun 2011)
Peta klasifikasi lereng Sub DAS Lengkong berdasarkan model SWAT
(sumber: Citra SRTM tahun 2013)
Grafik perbandingan debit model hasil validasi dengan debit observasi
Grafik perbandingan sedimen model hasil validasi dengan sedimen
observasi

5
7
8
12
18
19
20
21
24
24

11 Hubungan koefisien deterministik antara debit model hasil validasi
dengan debit observasi
12 Hubungan koefisien deterministik antara sedimen model hasil validasi
dengan sedimen observasi
13 Grafik tebal aliran dan koefisien aliran untuk berbagai tutupan lahan
hasil model SWAT
14 Grafik nilai erosi (ton ha-1) untuk berbagai tutupan lahan
15 Peta lokasi sasaran penerapan teknik konservasi tanah
16 Grafik perbandingan hasil sedimen per bulan setelah diterapkan teknik
konservasi tanah

25
25
26
27
28
31

DAFTAR LAMPIRAN
1 Input database tanah
2 Input database tutupan lahan
3 Database pembangkit iklim
4 Data curah hujan, suhu, debit dan sedimen
5 Foto-foto tutupan lahan tahun 2011 di Sub DAS Lengkong

35
36
38
39
48

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Banjir yang terjadi di bagian tengah dan hilir serta erosi yang terjadi di
bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), merupakan salah satu indikasi
bahwa fungsi hidrologis DAS dalam keadaan terganggu dan tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya sehingga DAS tersebut tidak dapat mendukung sistem tata
air yang optimal. Hal ini disebabkan oleh keadaan tutupan lahan terutama di
bagian hulu DAS yang sudah rusak seperti perambahan hutan dan konversi hutan
menjadi ladang-ladang sayuran dan palawija pada kelerengan yang curam tanpa
mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah yang memadai (Asdak 2007). Dengan
kondisi tutupan lahan yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konservasi tanah,
maka suatu DAS tidak dapat berfungsi dalam meresapkan dan menyimpan air
hujan sehingga perlu dilakukan upaya-upaya penerapan teknik konservasi tanah
di lokasi-lokasi tutupan lahan tertentu, agar DAS dapat berfungsi kembali secara
optimal.
Untuk mengetahui kondisi tutupan lahan dan kondisi biofisik lainnya pada
suatu DAS yang cukup luas, serta untuk mengetahui respon hidrologi berupa
fluktuasi debit aliran dan sedimentasi sebagai akibat kondisi biofisik tersebut
diperlukan suatu pemodelan hidrologi yang dapat bekerja dengan cepat dan hasil
yang akurat. Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) menurut Gassman
et al. (2007) merupakan salah satu model hidrologi yang dianggap paling
powerfull dalam simulasi hidrologi dan pengelolaan DAS dan dianggap sebagai
model yang paling banyak digunakan saat ini. Model ini dapat melakukan proses
secara cepat dalam mengkaji hubungan input, proses dan output dari suatu sistem
hidrologi, sehingga dapat mengetahui karakteristik dan respon hidrologi suatu
DAS yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Model ini juga dapat
digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS berdasarkan perubahan
penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah, dan terjadinya perubahan
iklim global (Neitsch et al. 2005).
Didasarkan kondisi tersebut, penelitian ini mencoba mengaplikasikan model
SWAT untuk melihat respon hidrologi dari kondisi biofisik suatu Sub DAS
terutama kondisi tutupan lahannya serta untuk menganalisis respon hidrologi dari
penerapan teknik konservasi tanah pada Sub DAS yang sama untuk dapat
direkomendasikan penerapannya di lapangan.
Perumusan Masalah
DAS Cisadane termasuk dalam DAS Prioritas Nasional (Kemenhut 2009).
Hasil review lahan kritis yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan melalui
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung pada tahun
2009 menunjukan bahwa luas lahan kritis di DAS Cisadane adalah 55 685 ha atau
mencapai 36% dari luas total DAS Cisadane 154 654 ha. Review lahan kritis
tersebut didasarkan pada faktor penutupan lahan, tingkat kemiringan lereng,
tingkat bahaya erosi dan aspek manajemen lahan. Sampai dengan akhir tahun

2
2012, penanganan lahan kritis di DAS Cisadane tidak banyak dilakukan, sehingga
luas lahan kritis di DAS Cisadane tidak berkurang, malah cenderung bertambah
seiring dengan belangsungnya gangguan dan kerusakan yang dilakukan oleh
berbagai aktivitas manusia terutama di bagian hulu DAS. Tercatat jumlah erosi di
Cisadane bagian hulu seluas 42 837 ha pada tahun 2011 adalah sebesar 6.2 juta
ton y-1 dengan laju erosi mencapai 144.78 ton ha-1 y-1 (BPDAS Citarum-Ciliwung
2012).
Dalam fokus wilayah yang lebih sempit, salah satu Sub DAS Cisadane yang
berada di bagian hulu DAS yaitu Sub DAS Lengkong dengan luasan 1778 ha atau
sekitar 4% dari luasan DAS Cisadane bagian hulu, mempunyai laju erosi sebesar
165.38 ton ha-1 y-1 atau lebih tinggi sebesar 20.6 ton ha-1 y-1 dari laju erosi DAS
Cisadane bagian hulu. Laju erosi yang cukup tinggi di DAS Cisadane bagian hulu
pada umumnya dan Sub DAS Lengkong pada khususnya, disebabkan terutama
oleh sistem budidaya pertanian lahan kering seperti ladang dan pertanian
campuran yang tidak dibarengi oleh penerapan teknik konservasi tanah yang baik
dan benar (BPDAS Citarum-Ciliwung 2012).
Berkaitan dengan kondisi tersebut, untuk kepentingan penelitian ini,
dirumuskan permasalahan-permasalahan yang perlu dipecahkan yaitu: (1)
bagaimana kondisi biofisik Sub DAS Lengkong serta respon hidrologi (erosi dan
aliran permukaan) dari kondisi biofisik tersebut terutama tutupan lahannya, dan
(2) untuk memperbaiki respon hidrologi tersebut, maka teknik konservasi tanah
yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan sehingga dapat menurunkan
sedimentasi dan fluktuasi debit aliran.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan permasalahan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis respon hidrologi berdasarkan
kondisi biofisik DAS terutama kondisi tutupan lahan sebelum dilakukan
penerapan kegiatan teknik konservasi tanah, dan (2) menganalisis respon
hidrologi berdasarkan penerapan skenario teknik konservasi tanah.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu lembaga atau instansi yang
berkepentingan untuk mengatasi permasalahan erosi, sedimentasi dan fluktuasi
debit aliran dengan merekomendasikan teknik konservasi tanah di Sub DAS
Lengkong pada khususnya dan di DAS Cisadane bagian hulu pada umumnya
dengan pendekatan kajian biofisik.
Ruang Lingkup Penelitian
Secara kewilayahan, penelitian ini dibatasi hanya dilakukan di Sub DAS
Lengkong yang merupakan bagian hulu dari DAS Cisadane. Secara teknis,
permasalahan yang diangkat dalam lingkup penelitian ini hanya dilakukan pada
aspek biofisik (tutupan lahan, kelerengan dan tanah) dari DAS tersebut dan tidak
dilakukan kajian pada aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan. Adapun respon
hidrologi yang diteliti dibatasi hanya pada debit aliran sungai dan hasil sedimen.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Debit Aliran dan Hasil Sedimen
Arsyad (2010) menyatakan bahwa aliran permukaan (surface runoff) adalah
air yang mengalir di atas pemukaan tanah dan merupakan bentuk aliran yang
penting sebagai penyebab erosi karena mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran
permukaan mempunyai sifat yang dinyatakan dalam jumlah, kecepatan, laju dan
gejolak aliran permukaan. Sifat-sifat ini mempengaruhi kemampuan dalam
menimbulkan erosi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat aliran permukaan adalah: (1) curah
hujan: jumlah, intensitas dan distribusi, (2) temperatur udara, (3) tanah: tipe, jenis
substratum, dan topografi, (4) luas DAS, (5) tanaman/tumbuhan penutup tanah,
dan (6) sistem pengelolaan tanah. Pengaruh faktor-faktor tersebut sedemikian
kompleksnya, sehingga meskipun semuanya dapat diketahui, keadaan aliran
permukaan yang terjadi hanya mungkin dapat dihitung sampai mendekati
keadaan sebenarnya (Arsyad 2010). Aliran permukaan akan mengalir ke dalam
saluran-saluran yang kecil dan masuk ke aliran sungai yang lebih besar
terakumulasi menjadi debit aliran.
Asdak (2007) menyatakan bahwa debit aliran adalah laju aliran air (dalam
bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan
waktu. Fluktuasi debit yang didefinisikan sebagai perbandingan antara debit
maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) atau yang disebut Koefisien
Regim Sungai (KRS) dapat memberikan gambaran tingkat kesehatan suatu DAS.
Semakin kecil nilai KRS suatu DAS maka DAS tersebut kondisinya semakin
sehat (Dirjen RLPS 2009). Debit aliran kecil menunjukan kecenderungan
meningkat dan tidak terjadi fluktuasi debit yang mencolok antara musim hujan
dan musim kemarau adalah kondisi DAS yang dianggap normal (Asdak 2007).
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat
yang mengalami erosi pada suatu DAS dan masuk ke dalam suatu badan air
secara umum disebut sedimen. Sedimen yang terbawa masuk ke dalam sungai
hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya. Sebagian lagi dari
tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat di lahan bagian
bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Erosi yang terbawa oleh aliran air disebut
sedimen. Hubungan debit dengan sedimen dapat dibuatkan kurva yang lazim
disebut sediment-discharge rating curve (Asdak 2007).
Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan
diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti.
Nisbah antara sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi
yang terjadi di dalam DAS disebut Sediment Delivery Ratio atau SDR (Arsyad
2010). Besarnya SDR dalam perhitungan-perhitungan erosi dan hasil sedimen
untuk daerah aliran sungai umumnya ditentukan dengan grafik hubungan SDR
dan luas DAS berdasarkan penelitian dalam jangka waktu yang panjang. SDR
biasa digunakan untuk mengkoreksi hasil perhitungan erosi lahan yang hanya
memperhatikan nilai erosi lembar secara luas tanpa memperhatikan endapanendapan erosi pada cekungan-cekungan dan lahan yang datar pada suatu DAS
(Asdak 2007).

4

Konservasi Tanah
Konservasi tanah dapat diartikan sebagai upaya manusia dalam mencegah
dan memperbaiki kerusakan tanah dari erosi. Teknik konservasi tanah berfungsi
menjaga agar tanah dapat terlindungi dari kejadian erosi yang mengangkut
partikel-partikel tanah di atas permukaan tanah melalui aliran permukaan.
Terdapat berbagai metode teknik konservasi tanah diantaranya yang paling sering
digunakan adalah metode vegetatif dan mekanik. Metode vegetatif adalah
penggunaan tanaman dan tumbuhan atau bagian-bagian tanaman atau sisa-sisanya
untuk mengurangi daya tumbuk hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan
kecepatan aliran permukaan dan pada akhirnya mengurangi erosi tanah. metode
vegetatif meliputi agroforestry, tumpang sari, tumpang gilir, penanaman tanaman
lorong, penanaman searah kontur, dan penanaman tanaman strip termasuk juga
pergiliran tanaman dan penggunaan sisa-sisa tanaman. Metode mekanik
merupakan perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan
pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran permukaan dan
erosi. Seringkali metode ini disebut dengan teknik konservasi sipil teknis. Teknik
konservasi sipil teknis meliputi pembuatan teras gulud, teras bangku, teras kredit,
teras individu, rorak, barisan batu, dan sebagainya (Arsyad 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yustika (2011) di Sub DAS
Ciliwung Hulu kabupaten Bogor, teknik konservasi tanah berupa penanaman
tanaman searah kontur, penanaman tanaman strip, pembuatan teras dan
agroforestry dapat menurunkan laju sedimentasi dan dapat lebih menstabilkan
fluktuasi debit aliran. Latifah (2012) menyatakan bahwa tindakan konservasi
tanah berupa penanaman searah kontur dan pembuatan teras bangku dapat
menurunkan hasil sedimen yang sangat signifikan mencapai 89% di Hulu DAS
Jeneberang Sulawesi Selatan.
Hasil penelitian Alibuyog et al. (2009) di DAS Manupali Philipina,
menunjukan bahwa dampak kerusakan lahan yang ditandai dengan perubahan
hutan menjadi kawasan pertanian dan padang rumput telah menyebabkan erosi
dan sedimentasi yang lebih besar dari sebelumnya. Lebih lanjut Alibuyog et al.
(2009) juga menyatakan bahwa teknik konservasi tanah seperti penanaman strip
rumput, penanaman searah kontur dan pembuatan teras dapat diterapkan untuk
memperbaiki dampak perubahan penggunaan lahan maupun dampak kerusakan
lahan terhadap respon hidrologi yang lebih baik khususnya kestabilan fluktuasi
debit aliran dan penurunan hasil sedimen.
Model SWAT
SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model kejadian
kontinyu untuk skala DAS yang beroperasi secara harian, bulanan maupun
tahunan dan dirancang untuk memprediksi dampak pengelolaan terhadap air,
sedimen, dan kimia pertanian pada DAS yang tidak memiliki alat pengukuran.
Model SWAT berbasis fisik, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat
simulasi untuk jangka waktu yang panjang. Komponen utama model adalah
iklim, tanah, tutupan lahan termasuk pola tanam dan pengelolaan tanaman,
kelerengan, suhu dan curah hujan. Dalam SWAT, DAS dibagi menjadi beberapa

5
subbasin, yang kemudian dibagi lagi ke dalam unit respon hidrologi (Hydrologic
Response Units = HRU) yang memiliki karakteristik tutupan lahan, kelerengan,
dan tanah yang homogen. HRU didistribusikan pada subbasin secara spasial
dalam simulasi SWAT (Neitsch et al. 2005).
Untuk prediksi secara akurat terhadap debit dan sedimen, siklus hidrologi
yang disimulasikan oleh model harus dikonfirmasikan dengan proses yang terjadi
di dalam DAS. Simulasi hidrologi DAS dapat dipisahkan menjadi dua bagian
utama. Bagian pertama adalah siklus hidrologi dari fase lahan (Gambar 1), yang
mana fase lahan pada siklus hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara
dan pestisida yang bergerak menuju saluran utama pada masing-masing Sub
DAS. Bagian kedua adalah fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi yang
dapat didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen dan lainnya melalui jaringan
sungai dalam DAS menuju ke outlet (Neitsch et al. 2005).

Gambar 1 Skema representasi siklus hidrologi (Neitsch et al. 2005)
Dalam beberapa tahun terakhir, SWAT telah digunakan untuk berbagai
aplikasi pengelolaan DAS Di Indonesia. Raimadoya et al. (2009) menggunakan
SWAT dalam peneilitian sistem agroforestry sayur-sayuran di DAS Cisadane
kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor. Aplikasi SWAT menurut Raimadoya et
al. (2009) dapat diterima dengan baik dan dapat digunakan secara luas di DAS
Citarum dan Cimanuk Jawa Barat untuk investigasi keamanan pangan. SWAT
juga telah digunakan untuk menganalisis respon hidrologi dari perubahan
penggunaan lahan di Sub DAS Cirasea yang merupakan Hulu DAS Citarum di
Propinsi Jawa Barat oleh Yusuf (2010) dan mendapatkan kesimpulan bahwa
perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Cirasea mengakibatkan
terjadinya perubahan respon hidrologi khususnya aliran permukaan dan aliran
dasar (base flow). Konversi lahan dari penggunaan lahan yang dapat meresapkan
air dengan baik ke dalam tanah menjadi penggunaan lahan yang menyebabkan

6
hilangnya kemampuan tanah dalam meresapkan air mengakibatkan terjadinya
peningkatan jumlah curah hujan yang menjadi aliran permukaan.
Ridwansyah (2010) menyatakan bahwa Model SWAT dapat digunakan
untuk menemukan dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi
hidrologi. Simulasi dari setiap seri data penggunaan lahan menunjukkan adanya
dampak perubahan penggunaan lahan pada karakteristik hidrologi. Hasil
penelitian Ridwansyah (2010) menunjukan bahwa kegiatan reboisasi selama
2002-2005 di DAS Cimanuk Propinsi Jawa Barat dapat menurunkan aliran
permukaan dan dapat meningkatkan aliran dasar (base flow).
Terlepas dari hasil kesimpulan beberapa penelitian di atas, Gassman et al.
(2007) mengumpulkan beberapa penelitian berbasis SWAT di seluruh dunia dan
mengkritisi beberapa kelemahan SWAT dalam pemodelan hidrologi diantaranya:
(1) sebagaimana model hidrologi lainnya, SWAT mengasumsikan kondisi tanah
adalah statis, yang pada kenyataannya di banyak lokasi tertentu kondisi tanah
adalah dinamis seperti perubahan prosentase kandungan bahan organik tanah
sehingga perlu pembaharuan database tanah untuk penelitian dengan jangka
waktu lebih dari 5 tahun, (2) input database tanaman dalam rangka rekayasa
vegetatif kurang luas, sehingga perlu manipulasi model yang diperluas untuk
beberapa jenis tanaman kaitannya dengan umur tanaman, sistem tanam, pola
percampuran tanaman, dan lain-lain, dan (3) penggunaan SWAT pada lahan
basah seperti daerah rawa gambut dan daerah berkapur juga perlu modifikasi
model secara khusus karena model SWAT tidak dapat mendefinisikan sifat-sifat
fisik tanah non mineral.
Model SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan kalibrasi dan analisis
ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. SWAT-CUP dapat membantu
mengurangi masalah dan error dalam proses kalibrasi. Dalam suatu model skala
DAS terdapat banyak ketidakpastian yang mencakup konsep yang digunakan,
data input yang digunakan, dan penghitungan parameter (Van Liew et al. 2003).
Abbaspour (2011) menyatakan bahwa ketidakpastian konsep mencakup: (1)
penyederhanaan konsep yang digunakan, (2) proses yang terjadi dalam suatu
DAS tidak terdapat dalam model misalnya erosi angin dan longsor, dan (3)
adanya suatu proses yang tidak diketahui pengguna model dan tidak terdapat
dalam model misalnya pembangunan jalan, dam dan terowongan. Ketidakpastian
input data mencakup kesalahan dalam memasukkan data input seperti data curah
hujan. Ketidakpastian parameter mencakup adanya beberapa parameter yang
berpengaruh terhadap output sehingga tidak diketahui parameter yang paling
dominan dan bersifat unik, yang mana kondisi suatu wilayah yang berbeda
dengan wilayah lainnya menyebabkan parameter yang mempunyai pengaruh
dalam suatu DAS juga berbeda (Oeurng et al. 2011).
SWAT-CUP merupakan program yang dapat digunakan dan disebarluaskan
secara bebas. Pada model SWAT-CUP terdapat empat program yaitu SUFI2,
GLUE, ParaSol dan MCMC yang berhubungan dengan database SWAT. Model
SUFI2 merupakan model yang tingkat kesulitannya agak rendah dibandingkan
dengan model GLUE, ParaSol dan MCMC. Mulyana (2012) telah menggunakan
SWAT-CUP dengan algoritma Sufi2 untuk kalibrasi model hidrologi dalam
penelitiannya di Sub DAS Cisadane Hulu dan berhasil mendapatkan nilai
koefisien determinasi (R2) dan NS sebesar 0.88.

7

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Sub DAS Lengkong yang terletak dibagian hulu
DAS Cisadane yang secara administrasi masuk dalam Desa Pasirbuncir
Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat (Gambar 2) seluas
1788 ha dengan lokasi outlet yang menjadi fokus penelitian terletak pada
koordinat menurut proyeksi UTM adalah X 702182 m dan Y 9252637 m.
Penelitian dilakukan selama 6 bulan mulai dari bulan Juli sampai Desember 2013.

Gambar 2 Peta situasi wilayah penelitian
Bahan
Tahap awal kegiatan penelitian (Gambar 3) adalah pengumpulan bahan,
yang mana bahan atau data yang digunakan dibagi menjadi 2 jenis yaitu data
spasial dan data numerik. Data spasial yang digunakan adalah: (1) peta tutupan
lahan skala 1 : 25 000 berdasarkan interpretasi citra satelit wordview, (2) peta
klasifikasi tanah skala 1 : 100 000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
(Puslitanak) Bogor, dan (3) Digital Elevation Model (DEM) dari Citra SRTM
(Tabel 1). Data spasial digunakan untuk keperluan pembentukan jaringan sungai,
pembentukan outlet, batas DAS dan HRU.

8
Mulai
Tahap I
Pengumpulan Data

Peta Tanah

Pengumpulan Data

Peta tutupan
lahan

Citra SRTM

Data-data
iklim

Survey Lapangan

Tahap II
Deleniasi DAS

Membentuk :
- DEM
- Jaringan sungai
- Outlet
- Sub DAS
- Kelas lereng

Tahap III
Pembentukan HRU dan
Running SWAT

identifikasi :
- tanah
- lereng
- tutupan lahan
- Kelas lereng
Pembentukan
HRU
- Kelas lereng
- Mengisi input
tabel

Run SWAT
Tahap IV
Kalibrasi dan Validasi

Output Model
Kalibrasi
- Kelas lereng

tidak
Validasi ?
ya
Tahap V
Analisis Respon Hidrologi

Analisis biofisik
- Kelas lereng

Analisis konservasi tanah
Finish

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian

Data sedimen
dan debit
observasi

9
Data numerik yang digunakan yaitu: (1) data curah hujan harian dan suhu
maksimum dan minimum harian selama 3 tahun (2009-2011) didapatkan dari
BPDAS Citarum-Ciliwung dan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA)
Ciliwung-Cisadane, (2) data iklim didapatkan dari Stasiun Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dramaga yang merupakan hasil pengolahan
data cuaca bulanan (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi surya dan
kecepatan angin) selama 10 tahun yaitu tahun 2001 sampai 2010, dan (3) data
debit dan sedimen rata-rata harian selama 3 tahun (2009-2011) dari BPDAS
Citarum-Ciliwung, yang akan digunakan untuk kalibrasi dan validasi model.
Tabel 1 Kualifikasi data spasial yang digunakan di Sub DAS
Lengkong
Data Spasial
DEM
Tutupan lahan
Klasifikasi tanah

Skala
1:25 000
1:25 000
1:100 000

Sumber
Citra SRTM 30 m
Interpretasi citra wordview
Puslitanak, Bogor

Tahun
2013
2011
1992

Data spasial di atas yang merupakan peta digital dengan skala 1 : 25 000
dan 1 : 100 000 sudah memenuhi kriteria untuk analisis perencanaan tingkat
meso. Arsyad (2010) menyatakan bahwa evaluasi tingkat meso merupakan
evaluasi yang dapat meliputi areal suatu DAS, Sub DAS, Kabupaten atau
Kecamatan, dengan menggunakan peta dasar skala 1 : 20 000 sampai 1 : 500 000.
Untuk pendetilan database atau data atribut peta tanah yang masih kurang
lengkap, digunakan hasil pengujian Puslitanak terhadap 2 sample profil tanah
yang diambil dari wilayah Sub DAS Lengkong oleh BPDAS Citarum-Ciliwung
pada tahun 2013.
Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan perangkat lunak ArcGIS 9.3, ArcSWAT versi 2009.93.5 dan Microsoft
Office 2010. Untuk perhitungan nilai koefisien deterministik (R2) dan nilai
efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) digunakan perangkat lunak SWATPlot yang secara
otomatis akan menunjukan grafik dan angka nilai R2 dan NS untuk 2 seri data
yang dibandingkan yaitu data hasil model dan data observasi yang diinginkan.
Untuk perhitungan nilai R2 dengan grafik sebaran seri data secara linier
digunakan juga program ms.excel.
Untuk proses kalibrasi dan validasi model digunakan perangkat lunak
SWAT-CUP dengan algoritma Sequential Uncertainty Fitting Version2 (SUFI2)
dan tidak dilakukan kalibrasi secara manual. Kalibrasi dan validasi dengan
SWAT-CUP dapat menunjukan nilai terbaik, nilai maksimum dan nilai minimum
dan menganalisis tingkat sensitivitas beberapa parameter model SWAT secara
otomatis dengan hasil yang cepat dan akurat sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Mulyana (2012), Yustika (2013) dan Latifah (2013). Dalam
penelitian ini tidak dilakukan kalibrasi manual, karena hasil kalibrasi manual
tidak bisa menunjukan nilai terbaik dengan cepaat dan akurat. Kalibrasi manual
dilakukan terhadap satu per satu parameter dengan sistem trial dan error atau
coba-coba (Yustika 2013).

10

Prosedur Analisis Data
Deliniasi DAS
Proses deliniasi batas luar Sub DAS Lengkong berdasarkan peta DEM,
dilakukan secara otomatis oleh model SWAT setelah titik outlet yang merupakan
titik observasi pengukuran debit dan sedimen ditentukan, yang mana dalam
penelitian ini titik outletnya adalah titik Stasiun Pengamatan Arus Sungai (SPAS)
milik BPDAS Citarum-Ciliwung pada koordinat 106.82873o bujur timur dan
6.7578o lintang selatan. Hasil deleniasi ini adalah terbentuknya batas luar Sub
DAS Lengkong yang dalam model SWAT didefinisikan sebagai basin.
Bersamaan dengan terbentuknya basin, terbentuk juga jaringan sungai dan titiktitik outlet pada setiap percabangan sungai yang ada.
Untuk pembentukan subbasin dalam basin Lengkong (Sub DAS
Lengkong), SWAT memberikan pilihan berdasarkan batasan luas DEM-based.
Besar kecilnya luas DEM-Based yang digunakan akan menentukan jumlah
subbasin (Sub-Sub DAS dalam Sub DAS Lengkong) berdasarkan jaringan sungai
yang terbentuk. Semakin detil jaringan sungai yang terbentuk, semakin banyak
subbasin yang terbentuk. Dalam skala penelitian tingkat skala meso ini, DEMbase yang digunakan adalah 100 ha atau setara dengan skala peta 1 : 25 000.
Pembentukan HRU dan Menjalankan SWAT
HRU merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan
karakteristik tanah, kelas lereng dan tutupan lahan yang spesifik. HRU diperoleh
melalui overlay peta-peta pada skala meso yaitu: (1) peta tanah dengan
kelengkapan database pada Lampiran 1, (2) peta tutupan lahan dengan
kelengkapan database pada Lampiran 2, dan (3) peta lereng yang dibentuk secara
otomatis dari DEM oleh model SWAT. HRU ini tersebar dalam subbasin,
sehingga dapat menggambarkan keadaan biofisik untuk masing-masing subbasin
tersebut. Dalam pembentukan HRU digunakan threshold by percentage sebesar
5% dengan pengecualian tutupan lahan pemukiman dan padang rumput, artinya
HRU terbentuk dari jenis tanah, tutupan lahan (kecuali pemukiman dan padang
rumput) dan lereng yang luasnya lebih dari 5% dari luas basin. Adapun HRU
yang luasnya kurang dari 5% akan didistribusi ulang secara proporsional terhadap
HRU yang lebih besar. Setelah HRU terbentuk maka dilakukan pemanggilan
data-data iklim meliputi data iklim global (Lampiran 3), data curah hujan harian
rata-rata serta data suhu maksimum dan minimum harian rata-rata untuk
digabungkan dengan HRU yang telah terbentuk tersebut.
SWAT dapat dijalankan setelah proses penggabungan HRU dengan data
iklim selesai. Model SWAT yang telah dijalankan akan menghasilkan output file
yang terpisah untuk subbasin, HRU dan outlet sungai. Beberapa variable output
di lahan atau subbasin (file output.sub) dapat dilihat pada Tabel 2 dan variable
output di outlet sungai (file output.rch) dapat dilihat pada Tabel 3.

11
Tabel 2 Variable output SWAT pada subbasin
Variable
PRECIP
PET
ET
SW
PERC
SURQ
GW_Q
WYLD
SYLD

Definisi
Jumlah curah hujan (mm).
Evapotranspirasi potensial (mm).
Evapotranspirasi aktual (mm).
Kadar air tanah pada akhir periode waktu (mm).
Air yang merembes melewati zona akar (mm).
Kontribusi aliran permukaan terhadap debit sungai (mm).
Air bawah tanah (mm).
Hasil air (mm).
Hasil sedimen (ton ha-1).

Tabel 3 Variable output SWAT pada outlet sungai
Variable
FLOW_IN
FLOW_OUT
EVAP
TLOSS
SED_IN
SED_OUT

Definisi
Debit sungai harian rata-rata yang masuk ke outlet (m3 s-1).
Debit sungai harian rata-rata yang keluar dari outlet (m3 s-1).
Jumlah kehilangan air harian rata-rata karena penguapan (m3 s-1).
Jumlah kehilangan air harian rata-rata karena kebocoran (m3 s-1).
Sedimen yang terangkut air dan masuk ke outlet (ton).
Sedimen yang terangkut air dan keluar dari outlet (ton).

Dari sekian banyak output yang dikeluarkan model SWAT, penelitian ini
hanya difokuskan pada debit harian rata-rata yang dihasilkan (FLOW_OUT) pada
outlet sungai dan hasil sedimen (SYLD) pada subbasin.
Perhitungan Prediksi Debit Aliran pada Model SWAT
Aliran permukaan pada pemodelan SWAT dihitung menggunakan metode
SCS Curve Number (Bilangan Kurva SCS) dengan persamaan:

dimana Qsurf adalah jumlah aliran permukaan pada hari i (mm), Rday adalah
jumlah curah hujan pada hari tersebut (mm), Ia adalah kehilangan awal akibat
simpanan permukaan, intersepsi dan infiltrasi (mm) dan S adalah parameter
retensi (mm). Parameter retensi dihitung berdasarkan persamaan berikut:
(

)

dimana CN adalah bilangan kurva dan nilai Ia adalah 0.2S (berdasarkan hasil
penelitian), sehingga persamaan perhitungan aliran permukaan menjadi:

Aliran permukaan hanya terjadi apabila Rday > Ia. Solusi grafis (Gambar 4)
menunjukan nilai bilangan kurva dari Persamaan 3.

12

Gambar 4 Hubungan antara curah hujan dan aliran permukaan dalam
metode bilangan kurva SCS (Neitsch et al. 2005)
Perhitungan Hasil Sedimen pada Model SWAT
Untuk memprediksi erosi oleh hujan dan aliran permukaan, Model SWAT
menggunakan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE), yang
merupakan pengembangan lebih lanjut dari Universal Soil Loss Equation (USLE)
yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978). Berbeda dengan USLE
yang menggunakan faktor energi kinetik hujan untuk dasar perhitungan erosi,
MUSLE menggunakan faktor aliran untuk prediksi hasil sedimen, sehingga
Sediment Delevery Ratio (SDR) tidak diperlukan lagi karena faktor aliran sudah
merepresentasikan penggunan energi untuk pemecahan dan pengangkutan
sedimen (Neitsch et al. 2005). Sejalan dengan Neitsch et al., Arsyad (2010)
menyatakan bahwa substitusi faktor curah hujan pada USLE dengan
menggunakan faktor aliran pada MUSLE dapat menghilangkan nisbah pelepasan
sedimen.
Hasil sedimen pada model SWAT dihitung menggunakan persamaan:
Sed = 11.8 (Q surf . q peak . area hru ) 0.56 . K USLE . C USLE . P USLE . LS USLE . CFRG ........4

dimana Sed adalah hasil sedimen harian (ton), Qsurf adalah volume aliran
permukaan (mm ha-1), Qpeak adalah debit puncak aliran permukaan (m3 s-1),
areahru adalah luas dari HRU (ha), KUSLE adalah USLE faktor erodibilitas tanah,
CUSLE adalah USLE faktor tutupan lahan, PUSLE adalah USLE faktor pengelolaan,
LSUSLE adalah USLE faktor topografi, dan CFRG adalah faktor kekasaran
fragmen.

13
Erodibilitas didefinisikan sebagai kecepatan kehilangan tanah per indeks
unit erosi pada suatu jenis tanah sebagaimana pengukuran pada suatu unit plot
standar (22.1 m dan kemiringan lereng 9%) pada kondisi bera. Bera terus
menerus didefinisikan sebagai lahan yang telah digarap dan dijaga bebas dari
vegetasi selama lebih dari 2 tahun (Wischmeier 1971 dalam Neitsch et al. 2005).
Dalam studi ini erodibilitas diturunkan dari persamaan umum untuk debu
dan pasir sangat halus kurang dari 70% dari distribusi ukuran partikel tanah,
sebagai berikut:
(

)

dimana, KUSLE adalah USLE faktor erodibilitas tanah, M adalah ukuran partikel,
OM adalah persentase bahan organik (%), CSoilstr adalah struktur tanah, dan Cperm
adalah kelas permeabilitas profile tanah.
Parameter ukuran partikel, dihitung dengan persamaan:
M = (M s i l t + M v f s ) . (100-M c ) ..........6

dimana Msilt adalah persentase pasir (0.002-0.05 mm), Mvfs adalah persentase
pasir halus (0.05-0.1 mm), dan Mc adalah persentase klei (10 mm

Bentuk stuktur tanah
Prisma dan tiang
Gumpal
< 10 mm
10 – 20 mm
20 – 50 mm
50 – 100 mm
>100 mm

< 5 mm
5 – 10 mm
10 - 20 mm
20 – 50 mm
>50 mm

Granular
< 1 mm
1 – 2 mm
2 – 5 mm
5 – 10 mm
> 10 mm

Sumber: Neitsch et al. (2005)

CUSLE adalah rasio dari kehilangan tanah pada lahan bervegetasi pada
kondisi tertentu berhubungan dengan kondisi tanpa tanaman, selanjutnya SWAT
memperbaharui CUSLE harian dengan persamaan:
C USLE = exp ([ln(0.8)-ln(C USLE,mn )] . exp[-0.0115.rsd surf ] + ln[C USLE,mn ]) ..........8

dimana CUSLEmn adalah nilai CUSLE untuk tutupan tajuk minimum, rsdsurf adalah
jumlah residu di permukaan tanah (kg ha-1). Faktor C minimum dapat
diperkirakan dari faktor C rata-rata tahunan dengan menggunakan persamaan:
C U S L E , m n = 1.463ln [C U S L E , a a ] + 0.1034 .......... 9

dimana CUSLE,aa adalah rata-rata faktor C.
PUSLE didefinisikan sebagai nisbah kehilangan tanah antara besarnya erosi
pada suatu areal tertentu yang diberi tindakan pendukung terhadap besarnya erosi

14
tanpa tanaman penutup tanah dan pengolahan tanah searah lereng. Tindakan
pendukung termasuk penenaman searah kontur, penanaman tanaman strip, dan
pembuatan teras.
Faktor topo