Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum Officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku)

MODEL PERENCANAAN
PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TEBU
(Saccharum officinarum) BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR,
PROVINSI MALUKU)

PRIMA JIWA OSLY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Perencanaan
Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum officinarum) Berkelanjutan (Studi
Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku) adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Prima Jiwa Osly
NIM P062100141

RINGKASAN
PRIMA JIWA OSLY. Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu
(Saccharum officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian
Timur, Provinsi Maluku). Dibimbing oleh WIDIATMAKA, BAMBANG
PRAMUDYA dan KUKUH MURTILAKSONO
Pembangunan perekonomian Indonesia berkaitan erat dengan pembangunan
pertanian, mengingat Indonesia sampai sekarang masih merupakan negara agraris
yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Pembangunan pertanian
dengan pendekatan agroindustri merupakan alternatif pilihan yang perlu
dikembangkan, sejalan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan di era
globalisasi yang menuntut adanya efisiensi dan efektivitas usaha. Upaya untuk
mendukung pembangunan pertanian tersebut adalah melalui pengembangan

agroindustri komoditas. Tebu merupakan salah satu komponen penting dalam
ekonomi beberapa negara tropis dan subtropis di dunia termasuk Indonesia.
Sebagian besar negara yang bergantung kepada tebu merupakan negara
berkembang karena gula merupakan salah satu komoditas yang memberikan
kontribusi besar bagi ekonomi selain komoditas lainnya. Tanaman ini
menyediakan lapangan pekerjaan tidak hanya pada industri hulu (pertanian
lapangan) namun juga sampai pada industri hilir (pabrik gula). Komoditas tebu
menempati kurang lebih 460 ribu ha lahan di Indonesia dan terdapat 284 500 ha
yang merupakan lahan potensial. Pemerintah mencanangkan program
pengembangan tanaman tebu untuk swasembada gula. Secara umum, kondisi
industri gula nasional paling tidak memiliki tiga masalah utama. Pertama,
rendahnya harga gula karena sering terjadi impor gula. Kedua, rendahnya
produktivitas akibat teknis agronomi tidak dilakukan dengan sempurna dan ketiga,
banyaknya pabrik gula yang tidak efisien.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi
Maluku pada bulan Agustus 2010 sampai dengan Desember 2013. Penelitian ini
bertujuan : (1) mengetahui kesesuaian lahan tebu di Kabupaten SBT, (2)
mengetahui klahan prioritas tnruk kawasan perkebunan tebu di wilayah
Kabupaten SBT, dan (3) merumuskan model yang dapat digunakan untuk
mendukung pengambilan keputusan dalam pengembangan perkebunan tebu di

wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.
Analisis kesesuaian lahan tebu di Kabupaten SBT dilakukan dengan
menggunakan metode matching yang diawali dengan pengambilan sampel tanah
pada lokasi penelitian. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis
laboratorium untuk melihat karteristik, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Hasil
kesesuaian lahan pada lokasi penelitian adalah lahan yang memiliki kelas
kesesuaian S1 (14,9%), S2 (19,2%), S3 (10,6%), potensial S3 (45,1%) dan N
(10,3%).
Identifikasi faktor penentu prioritas dan prioritas lahan dilakukan dengan
menggunakan metode Multi Criteria Decision Making (MCDM) berbasis
Analytical Hierarcy Process (AHP) yang diintegrasikan dengan Sistem Informasi
Geografis (SIG). Faktor penentu prioritas pemilihan kawasan perkebunan tebu
terdiri dari lima faktor yaitu : (1) Kelas kesesuaian lahan, (2) Sumber air, (3)
Eksisting infrastruktur, (4) Ketersediaan tenaga kerja dan (5) Status kepemilikan

lahan. Pemrioritasan pada bagian penelitian ini menghasilkan tiga kelas yaitu
prioritas I, II, dan III. Luasan lahan pada masing-masing kelas prioritas adalah
Prioritas I sebesar 2 129,1 ha (3,4 %), Prioritas II sebesar 21 268 ha (34 %), dan
kelas Prioritas III sebesar 39 093,4 ha (62,6%).
Model perencanaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan dibangun

dengan pendekatan sistem. Model ini terdiri atas tiga sub model yaitu sub model
biofisik, sub model ekonomi, dan sub model sosial. Pemodelan dibangun
menggunakan bantuan perangkat lunak STELLA versi 9.0. Model disimulasikan
ke dalam tiga skenario yaitu kondisi business as usual, skenario aspirasi investasi
(AI), dan skenario aspirasi masyarakat (AM). Masing-masing skenario mewakili
kepentingan stakeholder yang terlibat dalam pembangunan model. Simulasi yang
dihasilkan dari skenario menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan dalam
pengelolaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa pada kondisi business as usual rerata produksi mencapai 96,2 ton/ha, pada
skenario AI rerata produksi mencapai 96,4 ton/ha, dan pada skenario AM rerata
produksi mencapai 89,7 ton/ha. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa pada
kondisi business as usual BCR bernilai 1,63; pada skenario AI BCR bernilai 5,18,
dan pada skenario AM BCR bernilai 1,01. Selain itu, hasil simulasi menunjukkan
bahwa pada kondisi business as usual rerata peningkatan pendapatan penduduk
adalah 7,9 kali dibandingkan dengan pendapatan saat ini, pada skenario AI rerata
peningkatan pendapatan penduduk adalah 2,2 kali dibandingkan dengan
pendapatan saat ini, dan pada skenario AM rerata peningkatan pendapatan
penduduk adalah 4,8 kali dibandingkan dengan pendapatan saat ini.
Kata kunci: Keberlanjutan, Perkebunan, Model, Prioritas, Tebu


SUMMARY
PRIMA JIWA OSLY. Planning Model for Sustainable Agriculture Plantation
(Case Study : East Seram Regency, Maluku Province). Supervised by
WIDIATMAKA, BAMBANG PRAMUDYA and KUKUH MURTILAKSONO
Indonesia's economic development is closely related to the development of
agriculture, considering that Indonesia is still a largely agricultural country whose
people are farmers. Agricultural development in agro-industry approach is an
alternative option that needs to be developed, in line with the economic and trade
development in the era of globalization demands for efficiency and effectiveness
of business. Efforts to support the agricultural development is through the
development of agroindustrial commodities. Sugarcane is one of the important
components in the economy of several tropical and subtropical countries in the
world including Indonesia. Most countries are dependent on sugarcane is a
developing country where the sugar is one of the commodities that make a major
contribution to the economy in addition to other commodities. These plants
provide jobs not only in the upstream industry (agriculture field) but also to the
downstream industry (sugar mills). Commodities cane occupies approximately
460 thousand hectares of land in Indonesia and there are 284 500 ha which is a
potential field. The government launched a program for the development of selfsufficiency in sugar cane crop. In general, the condition of the national sugar
industry had at least three major problems. First, the low price of sugar as often

happens import sugar. Second, the low productivity due to technical agronomy
not done perfectly and the third, the number of sugar mills inefficient.
The experiment was conducted in East Seram Regency (SBT), Maluku
province in August 2010 to December 2013. This study aims: (1) analyze the
suitability land for sugarcane in the SBT Regency, (2) identify the determinants
factors and priority land for sugar cane plantation area in SBT Regency, and (3)
Produce a model that can be used to decision support making in spatial planning
sugarcane-based commodities SBT Regency.
Sugarcane land suitability analysis in SBT Regency is done by using the
matching method that begins with the soil sampling at the study site. The next
step is to conduct laboratory analysis to see karteristik, physical properties and
chemical properties of the soil. The results of the land suitability study is land that
has the suitability class S1 (14.9%), S2 (19.2%), S3 (10.6%), the potential S3
(45.1%), and N (10.3 %).
Identification of determinants of priority and priority land is done by using
Multi Criteria Decision Making (MCDM) based Analytical Hierarcy Process
(AHP) which is integrated with a Geographic Information System (GIS). Factors
determining the selection of priority sugarcane plantation area consists of five
factors: (1) Class of land suitability, (2) Source of water, (3) Existing
infrastructure, (4) Availability of labor and (5) land ownership status. Results

prioritization on the part of this study resulted in three classes, namely priority I,
II and II. Land area in each priority class is the first priority of 2 129,1 ha (3,4 %),
Priority II of 21 268 ha (34 %) and class III Priority of 39 093,4 ha (62,6%).

Regional planning model for sustainable sugarcane plantation built with
systems approach. This model is built on three sub-models are production pattern
sub models, economic sub-model and social sub-models. Modeling software using
STELLA version 9.0. The model was simulated in three scenarios ie business as
usual, an investment aspiration (AI) scenario and a people aspiration (AM)
scenario. Each scenario represents the interests of the stakeholders involved in the
development of the model. Simulation scenarios resulting from a reference in
policy making in the management for sustainable sugarcane plantation area. The
simulation results show that the condition of the business as usual average
production reached 96,2 tons/ha, in the AI scenario the average production
reached 96,4 tons/ha and the AM scenario the average production reached 89,7
tons/ha. The simulation results also show that the condition of the business as
usual BCR-value of 1,63; the AI scenario BCR-value 5,18 and the AM scenario
BCR-value of 1,01. In addition, the simulation results show that the condition of
the business as usual average increase in incomes of the population was 7,9 times
compared with current income, the AI scenario the average increase in revenue

population is 2,2 times compared with current income and the AM scenario BCR
average increase in income population was 4,8 times compared with current
income.
Keywords: Model, Plantation, Priority, Sugarcane, Sustainable

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL PERENCANAAN
PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TEBU
(Saccharum officinarum) BERKELANJUTAN
(STUDI KASUS KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR,
PROVINSI MALUKU)


PRIMA JIWA OSLY

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr Ir Eriyatno, MSAE
Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr Ir Eriyatno, MSAE
Dr Ir Nurwadjedi, MSc


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 ini ialah
model pengembangan wilayah berbasis perkebunan tebu, dengan judul Model
Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum officinarum)
Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Widiatmaka, DAA,
Bapak Prof. Dr Ir Bambang Pramudya, MEng, Bapak Prof. Dr Ir Kukuh
Murtilaksono, MSc selaku pembimbing, serta (alm) Bapak Dr Ir Komarsa
Gandasasmita, MSc yang telah banyak memberikan bimbingan dan sarannya. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak M. Dedi Rahadian
selaku Direktur PT. Agro Manise Group, Ibu Mahartika Setianingsih, SP dan Ibu
Ajeng Trimaharini, SP beserta staf PT. Agro Wahana Bumi, yang telah membantu
selama pengumpulan dan analisis data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Arben Virgota yang telah membantu dalam pembuatan model. Ungkapan terima
kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayah Prof (RIS). Dr Ir Osly
Rachman, MS, Ibu Nursahati Osly, SH, Istriku Puspita Sari, ST dan kedua anakku
Azumi Sultanica dan Atlas Al-Idrisi serta seluruh keluarga, atas segala doa dan

kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015
Prima Jiwa Osly

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
10
Manfaat Penelitian
10
Kerangka Pemikiran
10
Kebaruan
12
2 TINJAUAN PUSTAKA
13
3 KONDISI WILAYAH PENELITIAN
16
Kondisi Fisik Wilayah
16
Kondisi Sosial dan Ekonomi
18
Ketersediaan Lahan di Kabupaten Seram Bagian Timur
20
4 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK TEBU PADA SKALA SEMI
DETIL DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR
22
Pendahuluan
22
Bahan dan Metode
23
Hasil dan Pembahasan
28
Simpulan
32
5 PRIORITAS PENGEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TEBU DI
KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR
33
Pendahuluan
33
Bahan dan Metode
35
Hasil dan Pembahasan
37
Simpulan
43
6 MODEL PERENCANAAN KAWASAN PERKEBUNAN TEBU DI
KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR
43
Pendahuluan
43
Bahan dan Metode
47
Hasil dan Pembahasan
64
Implikasi Kebijakan
82
Simpulan
83
7 PEMBAHASAN UMUM
84
8 SIMPULAN DAN SARAN
91
Simpulan
91
Saran
91
DAFTAR PUSTAKA
92
LAMPIRAN
103
RIWAYAT HIDUP
123

DAFTAR TABEL
1 Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman tebu
2 SPL dan kesesuaian lahan aktual tebu di Kab. SBT
3 Kelas kesesuaian aktual lahan tebu berdasarkan faktor pembatas di
Kab. SBT
4 Kesesuaian lahan aktual tebu di Kab. SBT
5 Hasil pembobotan dan perangkingan parameter untuk penentuan
prioritas lahan
6 Hasil pembobotan, skor, dan perangkingan parameter dan sub
parameter untuk penentuan prioritas lahan
7
Kelas prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu
8 Analisis perbandingan kawasan budidaya dengan prioritas
lahan kawasan perkebunan
9
Beberapa indikator kinerja industri gula nasional
10 Analisis kebutuhan stakeholders perencanaan kawasan perkebunan
tebu berkelanjutan Kabupaten SBT
11 Asumsi dan nilai yang dipergunakan pada sub model biofisik
12 Asumsi dan nilai yang dipergunakan pada sub model ekonomi
13 Asumsi dan nilai yang dipergunakan pada sub model sosial tenaga
kerja
14 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi di Kabupaten
Seram Bagian Timur 1971-2014
15 Nilai peubah pada parameter dalam simulasi
16 Perbandingan hasil simulasi pada masing-masing skenario

27
30
31
32
39
39
40
41
50
52
60
63
64
67
74
86

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kerangka pikir penelitian
Lokasi penelitian Kabupaten Seram Bagian Timur
Pembagian kawasan budidaya dan non budidaya di Kabupaten SBT
Peta lokasi pengambilan sampel tanah
Peta satuan lahan pada Kabupaten Seram Bagian Timur
Kesesuaian lahan aktual pada Kabupaten Seram Bagian Timur
Parameter
penentuan
prioritas
pengembangan
kawasan
perkebunan tebu di Kabupaten SBT
Prioritas
pengembangan kawasan perkebunan tebu di
Kabupaten SBT
Peta tutupan lahan di Kabupaten Seram Bagian Timur tahun 2014
Peta prioritas lahan pengembangan perkebunan tebu di Kab. SBT
Diagram lingkar sebab akibat model perencanaan pengembangan
perkebunan tebu di Kabupaten SBT
Diagram lingkar sebab skibat untuk sub model biofisik
Diagram lingkar sebab akibat untuk sub model ekonomi
Diagram lingkar sebab akibat untuk sub model sosial
Diagram input output model dinamis perencanaan kawasan
perkebunan tebu berkelanjutan Kabupaten SBT

12
17
21
25
29
32
38
41
42
43
53
54
56
57
58

16 Diagram alir sub model biofisik perkebunan tebu
17 Diagram alir sub model ekonomi perkebunan tebu
18 Diagram alir sub model sosial tenaga kerja perkebunan tebu
19 Pola produksi tahunan tanaman tebu
20 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi pada Kabupaten
Seram Bagian Timur 1971-2014
21 Pola produksi tahunan tanaman tebu untuk kebun inti dan plasma
Kab. SBT
22 Pola ekonomi perkebunan tebu Kab. SBT
23 Pola sosial tenaga kerja perkebunan tebu Kab. SBT
24 Pola produksi pada skenario Aspirasi Investasi (AI) Kab. SBT
25 Pola ekonomi pada skenario Aspirasi Investasi (AI) Kab. SBT
26 Pola sosial pada skenario Aspirasi Investasi (AI) Kab. SBT
27 Pola produksi pada skenario Aspirasi Masyarakat (AM) Kab. SBT
28 Pola ekonomi pada skenario Aspirasi Masyarakat (AM) Kab. SBT
29 Pola sosial pada skenario Aspirasi Masyarakat (AM) Kab. SBT

60
62
64
66
67
69
70
72
75
76
77
79
80
81

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kesesuaian lahan masing-masing SPL di Kabupaten Seram Bagian
Hasil analisis contoh tanah pada areal penelitian
Matriks pairwise comparison
Pola produksi pada model
Validasi model
Perilaku sub model biofisik pada kondisi business as usual
Perilaku sub model ekonomi pada kondisi business as usual
Perilaku sub model sosial pada kondisi business as usual
Perilaku model pada skenario aspirasi investasi (AI)
Perilaku model pada skenario aspirasi masyarakat (AM)

103
104
109
116
117
118
119
120
121
122

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan perekonomian Indonesia berkaitan erat dengan pembangunan
pertanian, mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar
masyarakatnya adalah petani. Pembangunan pertanian dengan pendekatan
agroindustri merupakan alternatif pilihan yang dapat dikembangkan, sejalan
dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan di era globalisasi yang menuntut
adanya efisiensi dan efektivitas usaha. Salah satu upaya untuk mendukung
pembangunan pertanian tersebut adalah melalui pengembangan agroindustri
komoditas. Produk pertanian dan agroindustri semakin diharapkan perannya
dalam pembangunan nasional. Terdapat lima peran yang diharapkan dalam
pengembangan pertanian dan agroindustri di Indonesia, yaitu sebagai penghasil
devisa, penyerap tenaga kerja, pendorong pemerataan pembangunan, pemacu
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dan pendorong pengembangan
wilayah. Untuk dapat mengoptimalkan peran tersebut, diperlukan transformasi
pembangunan pertanian ke arah agribisnis dan agroindustri sehingga sektor
pertanian menjadi sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi nasional.
Pengembangan produk unggulan agroindustri memerlukan upaya
peningkatan nilai tambah dan daya saing. Untuk itu diperlukan manajemen
pengelolaan yang profesional pada seluruh komponen sistem pertanian mulai dari
penentuan lokasi berdasarkan kesesuaian lahan yang tepat, pembibitan, budidaya,
monitoring, pasca panen, pengolahan, transportasi/distribusi hingga pemasaran.
Karena keterbatasan sumberdaya, diperlukan pemrioritasan dalam pengembangan
agroindustri sehingga diperoleh hasil yang optimum dari setiap penggunaan
sumberdaya. Kriteria yang dapat digunakan dalam penentuan prioritas
pengembangan suatu agroindustri antara lain adalah prospek pasar, adanya
keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan
kompetitif, serta perannya bagi perekonomian Indonesia sebagai negara agraris.
Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan momentum saat ini untuk mulai
menggalakkan lagi sektor industri pertaniannya mengingat tingkat kesuburan
tanah dan ketersediaan lahannya masih cukup serta didukung pula oleh tenaga
kerja yang melimpah.
Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian
Indonesia. Dengan luas areal sekitar 460 ribu ha pada periode 2013-2014, industri
gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu
petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang
(Kementan, 2014). Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat
dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka
dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi.
Dengan posisinya yang penting dan sejalan dengan revitalisasi sektor pertanian,
maka industri gula berbasis tebu perlu dikembangkan melalui berbagai upaya
sehingga sejalan dengan revitalisasi sektor pertanian. Industri gula berbasis tebu
dituntut melakukan berbagai perubahan dan penyesuaian guna meningkatkan
produktivitas dan efisiensi sehingga menjadi industri yang kompetitif, mempunyai

2

nilai tambah yang tinggi, dan memberi tingkat kesejahteraan yang memadai
kepada para pelakunya, khususnya petani.
Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an.
Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula (PG) dengan
rendemen mencapai 11-13,8%. Ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton
dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton (Sudana et al., 2000 dalam
Susila dan Sinaga, 2005). Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai
menghadapi berbagai masalah signifikan. Salah satu indikator masalah industri
gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan
laju 16,6% per tahun pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena konsumsi terus
meningkat dengan laju 2,96% per tahun sedangkan produksi gula dalam negeri
menurun dengan laju 3,03% per tahun. Pada lima tahun antara 1997 sampai
dengan 2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju 6,1% per
tahun (Susila dan Sinaga, 2005). Degradasi industri pergulaan nasional antara lain
disebabkan produktivitas lahan tebu yang terus menyusut, penurunan efisiensi
pabrik gula karena berusia tua, serta harga gula yang tidak stabil sehingga
melemahkan semangat petani untuk menanam tebu.
Namun sejak tahun 2003 industri dan perdagangan gula Indonesia kembali
menggeliat dan mendapatkan angin segar dengan adanya Program Akselerasi
Peningkatan Produksi Gula Nasional serta Program Rehabilitasi Pabrik Gula.
Implementasi dari strategi tersebut adalah dengan dilakukannya (a) penguatan
kemitraan dengan petani besar (pemasok) yang mempunyai jaringan yang kuat
dengan petani kecil (pemilik lahan), (b) pengembangan areal utama tebu di lahan
historis dan sentra bahan baku dengan optimalisasi masa tanam dan pengelolaan
sesuai baku teknis, (c) penyediaan kredit dan sarana produksi tepat sasaran dan (d)
upaya penggalian nilai tambah (diversifikasi). Hasil dari program ini adalah
produksi gula nasional meningkat dari 1,6 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2,25
juta ton pada tahun 2005 dan meningkat lagi menjadi 2,27 juta ton pada tahun
2006. Pada tahun 2008 lalu, produksi gula nasional dari 58 pabrik gula yang ada
mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun sebelumnya menjadi 2,78 juta
ton. Apabila digabung dengan produksi gula rafinasi yang berbahan baku impor,
total produksi gula nasional di tahun 2008 adalah 4,2 juta ton. Jumlah tersebut
terdiri atas gula konsumsi sebanyak 2,7 juta ton dan gula rafinasi untuk industri
makanan, minuman dan farmasi sebanyak 1,5 juta ton (Susila dan Sinaga, 2005).
Seiring dengan peningkatan populasi penduduk pada tahun-tahun
mendatang, permintaan gula dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat.
Menurut Mulyadi et al. (2009), dengan jumlah penduduk kurang lebih 225 juta
jiwa dan rata-rata 12 kg gula konsumsi per kapita/tahun, kebutuhan gula untuk
konsumsi langsung mencapai 2,7 juta ton dan konsumsi tidak langsung 1,1 juta
ton. Tingkat konsumsi gula masih jauh di bawah tingkat kejenuhan yang
umumnya telah dicapai negara-negara maju (30-55 kg/kapita/tahun). Dalam
analisis pada waktu itu, mulai tahun 2010 diperkirakan kenaikan konsumsi gula
rata-rata adalah 3,87% per tahun. Untuk mewujudkan swasembada gula secara
penuh, baik untuk rumah tangga maupun untuk industri, pemerintah telah
menyusun Road Map Swasembada Gula Nasional Tahun 2010-2014. Salah satu
program untuk mencapai swasembada gula tersebut adalah Program Revitalisasi
Industri Gula BUMN dan BUMS Tahun 2010-2014. Revitalisasi tersebut meliputi
revitalisasi sektor on-farm yaitu perluasan areal dan peningkatan produktivitas

3

gula dan revitalisasi sektor off-farm: rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling
amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula.
Disamping itu, juga akan dibangun PG baru, pemberdayaan penelitian dan
pengembangan gula dan peningkatan kualitas SDM di bidang industri gula.
Namun, sampai dengan penutupan tahun 2014, program ini belum dapat mencapai
target yang dicanangkan sehingga berbagai upaya masih perlu dilakukan.
Berbagai usaha untuk meningkatkan produksi gula dan program
swasembada gula yang diharapkan tersebut dipicu oleh tekad pemerintah
Indonesia dan para pemangku kepentingan di bidang agribisnis dan agroindustri
gula untuk membangkitkan industri gula nasional sehingga mampu bersaing di
tingkat internasional. Saat ini, Pemerintah telah melakukan program revitalisasi
perkebunan tebu, revitalisasi pabrik gula, serta menarik para investor untuk
membangun pabrik gula baru terutama di luar Pulau Jawa. Pulau-pulau lain
seperti Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua memiliki potensi lahan untuk
perkebunan tebu seluas 576 000 ha. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian
dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI) (Balitbangtan, 2005), dari seluruh luas
potensi-potensi lahan tersebut terdapat 284 500 ha telah dinilai sesuai untuk
pengembangan tanaman tebu dengan potensi produksi di atas 65 – 70 ton tebu per
ha.
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dikenal sebagai kawasan yang kaya akan
sumberdaya alam namun menghadapi tantangan pembangunan yang berat dalam
hal perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas pelayanan dan penguatan
pemerintahan. Keterisolasian secara geografis dan terbatasnya akses pengetahuan
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan individu yang berpikiran maju
untuk saling belajar dan bekerjasama akibatnya sulit tercipta kerjasama efektif
antar para individu dan antar wilayah dalam mencapai tujuan-tujuan
pembangunan.
Salah satu daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang memiliki potensi
sumberdaya lahan yang sesuai untuk pengembangan perkebunan tebu adalah
Provinsi Maluku. Provinsi Maluku merupakan suatu wilayah yang dideklarasikan
sebagai Provinsi kepulauan sejak tahun 2005. Secara fisiografi Provinsi Maluku
merupakan jazirah kepulauan yang terletak pada Sabuk Busur Kepulauan sebagai
bagian dari lingkar sirkum Pasifik, yang bergerak dari Provinsi Nusa Tenggara
Timur bagian utara sampai ke Provinsi Maluku Utara. Provinsi Maluku memiliki
dua buah pulau besar yaitu pulau Seram dan Pulau Buru. Iklim di Maluku
dipengaruhi oleh iklim tropis dan iklim musim yang disebabkan oleh kondisi
Kepulauan Maluku yang terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi lautan. Pola hujan
di Maluku berbeda dengan pola hujan yang terdapat di Indonesia bagian barat,
namun secara umum hampir sama dengan di Papua. Hal ini mengindikasikan
bahwa kepulauan Maluku memiliki ekosistem yang cocok untuk tanaman tebu.
Indikasi kesesuaian lahan untuk tanaman tebu di KTI ini diperkuat dengan asal
tanaman tebu (centre of origin) yang telah ada sejak 6 000 tahun sebelum masehi
di Kepulauan Papua dan sekitarnya (James, 2004)
Atas dasar pemikiran–pemikiran tersebut, salah satu cara meningkatkan
produksi gula Indonesia untuk mendukung Program Swasembada Gula Indonesia
adalah penyediaan lahan perkebunan tebu agar dapat mendukung bahan baku gula
untuk pabrik pada daerah-daerah yang memiliki potensi lahan untuk tanaman
tebu. Adapun masalah utama yang dijumpai adalah menciptakan perkebunan tebu

4

pada daerah berpotensi antara lain di wilayah Indonesia bagian timur yang
memenuhi kesesuaian lahan untuk komoditas tebu, secara ekonomi dapat
meningkatkan taraf hidup petani, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat
setempat dan secara ekologis tidak merusak lingkungan. Dengan menggunakan
metodologi sistem yang bersifat holistik maka pengujian terhadap kemampuan
penyelesaian berbagai persoalan pembangunan perekonomian daerah termasuk
sistem agroindustri dapat dilakukan. Industrialisasi pertanian yang tidak lepas dari
upaya peningkatan partisipasi rakyat memerlukan kebijakan publik yang
sistematis dan berkeadilan. Oleh sebab itu, untuk menciptakan perkebunan tebu
yang memiliki profil seperti di atas, maka perlu dibangun sebuah model
perencanaan penataan ruang perkebunan tebu berbasis kesesuaian lahan, sosial,
ekonomi, dan keberlanjutan atas tebu sebagai komoditas agroindustri. Dengan
model ini diharapkan pembangunan perkebunan tebu dapat diintegrasikan dengan
perencanaan industri gula di wilayah setempat dan rekayasa manajemen
perkebunan sesuai dengan kondisi wilayah serta kondisi sosial ekonomi setempat.

Perumusan Masalah
Tebu merupakan salah satu komponen penting dalam ekonomi beberapa
negara tropis dan subtropis di dunia termasuk Indonesia. Sebagian besar negara
yang bergantung kepada tebu merupakan negara berkembang karena gula
merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar bagi ekonomi
selain komoditas lainnya (Graham et al., 2005). Tanaman ini menyediakan
lapangan pekerjaan tidak hanya pada industri hulu (pertanian lapangan) namun
juga sampai pada industri hilir (pabrik gula). Komoditas tebu menempati kurang
lebih 460 ribu ha lahan di Indonesia dan terdapat 284 500 ha yang merupakan
lahan potensial. Pemerintah mencanangkan program pengembangan tanaman tebu
untuk swasembada gula.
Permasalahan yang dihadapi industri gula nasional adalah menurunnya
produktivitas tebu terutama di Pulau Jawa. Karena itu, perluasan tanaman tebu di
luar Jawa juga sedang dikembangkan sebagai upaya pemenuhan dalam negeri
(Jayanto, 2002). Hakim (2010) menjelaskan fakta yang terjadi saat ini, kebutuhan
konsumsi terus meningkat sementara produksi gula dalam negeri tidak
mencukupi, sehingga impor gula tidak dapat dihindari. Secara umum, kondisi
industri gula nasional paling tidak memiliki tiga masalah utama. Pertama,
rendahnya harga gula karena sering terjadi impor gula. Kedua, rendahnya
produktivitas akibat teknis agronomi tidak dilakukan dengan sempurna dan ketiga,
banyaknya pabrik gula yang tidak efisien karena berusia tua. Orgeron (2003)
dalam Hakim (2010), menyataan bahwa tebu dapat menghasilkan gula sebanyak
125-145 ton/ha/tahun. India mencatat produktivitas tebu mencapai 180
ton/ha/tahun setelah menggunakan teknik irigasi, bahkan ada petani yang berhasil
memproduksi sampai 220 ton/ha/tahun dibandingkan dengan penanaman
konvesional yang hanya menghasilkan 135 ton/ha. Menurut Jintakanon et al.
(2002), Thailand dapat mencapai angka produktivitas sebanyak 132 ton/ha/tahun
dengan menggunakan teknik High Density Planning. Produktivitas gula Indonesia
saat ini masih berkisar sekitar 60 -70 ton/ha/tahun.

5

Di seluruh Indonesia ada sekitar 51,4 juta ha lahan kering, yakni sekitar
70% diantaranya dikelola dengan berbagai tipe usaha tani lahan kering. Lahan
kering yang dimanfaatkan untuk tanaman tebu sampai 2009 hanya 416 000 ha
(Hakim, 2010), padahal untuk swasembada gula diperkirakan memerlukan lahan
tebu sekitar satu juta ha. Mulyani dan Las (2008) menjelaskan bahwa Indonesia
memiliki sumber daya lahan cukup untuk pengembangan berbagai macam
komoditas pertanian. Lahan tersedia di Indonesia mencapai 188,20 juta ha, terdiri
dari 148 juta ha lahan kering dan 40,20 juta ha yang merupakan dataran rendah,
berbahan induk baik (volkan subur) dan topografi yang sesuai. Lahan ini
memungkinkan ditanami berbagai jenis tanaman industri atau pangan, termasuk
komoditas tebu. Namun potensi ini belum dioptimalkan, yang menjadi salah satu
penyebab produksi gula nasional yang masih rendah. Sesuai dengan karakteristik
sumber daya lahan dan persyaratan tumbuh tebu yang spesifik, areal pertanian
yang dapat dikelola untuk perkebunan tebu pada skala cukup luas dengan
aksesibilitas yang memadai sesungguhnya sangat terbatas. Pulau Jawa yang
selama ini dianggap sebagai habitus utama tebu, sudah sulit melakukan
pengembangan areal bagi keperluan 46 pabrik gula (PG) yang ada. Hal tersebut
diakibatkan oleh laju alih fungsi lahan yang tinggi dan semakin berkembangnya
industri di Pulau Jawa dan Sumatera serta meningkatnya pembangunan non
pertanian. Selama kurang lebih satu dekade terakhir ini telah terjadi penurunan
luas lahan tanaman tebu di Pulau Jawa yang mencapai kurang lebih 61 %. Sampai
dengan tahun 2001 ada 13 pabrik gula (PG) yang ditutup akibat kekurangan bahan
baku (Mulyono, 2006) sehingga pemerintah perlu mencari alternatif untuk
melakukan pengembangan lahan baru untuk komoditas tebu di luar Pulau Jawa.
Berkurangnya lahan di Pulau Jawa ini menggangu upaya pencapaian swasembada
produksi tebu yang umumnya ditanam di lahan sawah. Karena itu, pengembangan
lahan produksi tebu baru di luar Jawa perlu dilakukan pada lahan yang berpotensi,
baik ditinjau dari segi tanah, iklim maupun aspek lainnya (Marwoto dan Candra,
2007). Sementara di luar Jawa, pengembangan komoditas tebu terhambat
minimnya informasi potensi sumberdaya lahan, karakteristik lingkungan maupun
aksesibilitasnya. Meskipun demikian, selaras dengan upaya pemerataan
pembangunan nasional, pengembangan industri gula baru lebih disarankan untuk
ekspansi di luar Jawa, khususnya Indonesia bagian timur. Potensi sumberdaya
lahan di Indonesia bagian timur diduga masih cukup banyak, meskipun pada
kenyataannya informasi yang menggambarkan kesesuaian fisik lahan untuk tebu
belum diungkapkan secara optimal, baik dari sisi luas maupun distribusinya. Di
wilayah ini, pelacakan informasi keberadaan penggunaan dan kesesuaian lahan
pada umumnya masih menggunakan peta dasar skala kecil (skala tinjau). Memang
di beberapa tempat, seperti di Pulau Sulawesi dan Papua, pelacakan lahan
potensial sudah dilakukan melalui verifikasi sampai tingkat skala semi detil.
Berdasarkan hasil penelusuran survei eksplorasi yang dilaporkan oleh Proyek
Pengembangan Industri Gula (PPIG) pada tahun 1978, terdapat beberapa wilayah
kepulauan yang memiliki kesesuaian secara fisik lingkungan untuk
pengembangan tebu, yaitu Maluku, Sulawesi, dan Papua yang diperkirakan
luasnya mencapai lebih dari 1 juta ha. Pada tingkat survei semi detil yang
diverifikasi oleh P3GI Pasuruan dalam kurun waktu 10 tahun (1992-2006), areal
sesuai dan siap dikembangkan untuk tebu ada sekitar 120 ribu ha, tersebar di
Kabupaten Merauke-Papua, Kabupaten Tinanggea-Sulawesi Tenggara, Kabupaten

6

Wajo-Sulawesi Selatan dan Kabupaten Sambas-Kalimantan Selatan. Apabila
dibandingkan dengan potensi lahan secara keseluruhan, kawasan areal potensial
yang siap dikembangkan untuk industri gula relatif kecil. Selain itu, potensi lahan
yang tersedia pada satu hamparan luas sangat terbatas. Sumberdaya lahan ini tentu
memiliki karakteristik fisik lingkungan yang memiliki kelebihan dan kekurangan
tersendiri untuk pengembangan industri gula baru. Potensi lahan sesuai untuk tebu
yang tersedia dengan tingkat aksesibilitas rendah dan situasi pergulaan yang
kurang kondusif sering menjadi kendala utama dalam pengembangan industri gula
baru. Situasi ini sering menyebabkan para investor kurang tertarik untuk
mengembangkan industri gula baru. Oleh karena itu, informasi secara lengkap
kondisi fisik lingkungan di areal lahan potensial menjadi penting untuk
memberikan gambaran peluang pengembangan. Selain itu dalam rangka
mempercepat realisasi pembangunan industri gula di kawasan Indonesia bagian
timur, diperlukan dukungan pemerintah (pusat dan daerah) serta masukan
teknologi yang handal yang mampu menjamin efisiensi tinggi (Mulyadi et al.,
2009).
Dalam rangka menyambut usaha pemerintah dalam mencanangkan program
pengembangan tanaman tebu untuk swasembada gula, pemerintah melalui
Kementerian Pertanian RI telah mencanangkan pengembangan tanaman tebu
seluas 300 000 ha.. Upaya ekstensifikasi ini diarahkan ke lahan di luar Pulau Jawa
seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua yang luas areal pertaniannya
masih cukup luas dibandingkan Pulau Jawa yang sudah semakin padat.
Kementerian Pertanian juga telah menetapkan sepuluh provinsi sebagai basis
pengembangan perkebunan tebu dan lokasi pabrik gula baru. Hal ini dilakukan
untuk mewujudkan swasembada gula dan sudah dituangkan dalam lima poin
kebijakan pemerintah. Kesepuluh provinsi tersebut adalah Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Papua, Maluku, Lampung,
Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Setiap provinsi direncanakan memiliki beberapa kawasan yang akan dijadikan
sentra perkebunan tebu. Pemerintah memilih lahan pengembangan basis produksi
tebu dan gula di luar Jawa karena ketersedian lahannya masih luas. Perluasan
lahan tersebut akan dimulai tahun 2016 hingga 2019, serta pembangunan 10
pabrik gula. Penambahan luas area kebun tebu dan penetapan 10 provinsi basis
perkebunan tebu di luar Jawa tersebut masuk dalam program pembangunan
swasembada pangan untuk tahun 2015-2019 (Siska, 2014).
Konsepsi pembangunan Indonesia khususnya di KTI merupakan kebutuhan
mutlak saat ini. Keyakinan dalam membangun KTI yang dianggap vital bagi
pembangunan nasional menjadi spirit guna membangun kekuatan ekonomi negara
terutama dalam upaya pengembangan sumber daya ekonomi bangsa. Dengan
melihat potensi yang ada di KTI maka ekonomi kawasan ini perlu dibangun
dengan baik sehingga terjadi peningkatan kesejahteran masyarakat. Dalam kurun
waktu beberapa tahun terakhir paska munculnya otonomi di daerah, terjadi
peningkatan ekonomi di daerah, namun hal ini tidak tercapai di KTI. Fenomena
ini menambah daftar panjang angka kemiskinan di KTI. Selain itu, potensi besar
sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi yang dimiliki di kawasan KTI
belum dikelola secara maksimal (Mony, 2012). Implementasi dari praktek
otonomi daerah atau proses desentralisasi pembangunan ekonomi di KTI belum
mampu menjawab amanah kebutuhan rakyat di daerah. Ironisnya, kewenangan

7

pemerintah pusat yang telah dipercayakan langsung kepada pemerintah daerah
untuk mengurus rumah tangganya sendiri belum berjalan sinergis, sehingga
dampak pembangunan berjalan lamban di KTI. Kemiskinan dan melambatnya
pertumbuhan ekonomi daerah menjadi indikator belum berhasilnya pemerintah.
Selain itu, potensi sumber daya yang dikelola oleh pemerintah pusat di KTI sering
tidak sejalan dengan kebijakan yang diluncurkan ke daerah. Krisis ekonomi dan
pembangunan yang berkepanjangan berpengaruh nyata terhadap pembangunan
ekonomi nasional dan regional. Laju pertumbuhan ekonomi menjadi lambat,
pendapatan menurun, dan kesempatan kerja terbatas. Hal ini memicu konflik di
daerah yang sering terjadi. Realitas ini menunjukkan belum berhasilnya
pemerintah pusat memajukan kawasan pembangunan di KTI.
Saat ini pemerintah kembali mencanangkan kebijakan dan strategi ekonomi
nasional yang baru dalam bentuk Visi Ekonomi Indonesia 2030, yang disebut
sebagai Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI, 2011-2025). Adanya kata perluasan sebenarnya mengisyaratkan
semacam pengakuan bahwa memang selama ini terjadi konsentrasi pembangunan
ekonomi di tanah air, secara geografis atau wilayah dan mungkin juga secara
sektoral (Mony, 2012). Atas dasar permasalahan diatas maka KTI memerlukan
kebijakan strategis pemerintah pusat guna memperkuat posisi tawar pembangunan
maupun memajukan ekonomi daerah. Dengan melihat fenomena dan dinamika
pengembangan kawasan pembangunan ekonomi yang dinamis, maka diperlukan
sebuah kajian komprehensif dan desain agenda grand strategy pembangunan
untuk menakar pembangunan serta meningkatkan ekonomi di daerah KTI
sehingga pembangunan dapat tercipta berdasarkan lokus dan swakelola sumber
daya potensi daerah yang berkeadilan dan berkelanjutan (Sustainable
Development).
Kabupaten Seram Bagian Timur (Kabupaten SBT) merupakan kabupaten
hasil pemekaran dari Kabupaten Maluku Tengah berdasarkan UU nomor 40
Tahun 2003. Berdasarkan UU tersebut, Kabupaten Maluku Tengah dimekarkan
menjadi Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram Bagian Barat dan
Kabupaten Seram Bagian Timur. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten SBT telah disusun pada tahun 2006 dan mengacu pada UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992. Sejalan dengan perubahan undang-undang tata
ruang, maka RTRW Kabupaten SBT telah disempurnakan dengan berpedoman
pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Secara khusus, RTRW Kabupaten
(RTRWK) Kabupaten SBT 2008-2028 dimaksudkan agar menjadi pedoman
pelaksanaan pembangunan di Kabupaten SBT, sehingga proses pembangunan di
wilayah ini dapat lebih terarah, dengan mewujudkannya dalam aspek keruangan
wilayah kabupaten yang senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi
investasi, bersinergi, dan mempertimbangkan mitigasi bencana, agar dapat
dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya
kesejahteraan masyarakat dan mengurangi risiko dari bencana alam yang
ditimbulkan. Sebagai bagian dari Provinsi Maluku, Kabupaten SBT merupakan
daerah yang baru dibentuk (10 tahun). Secara geografis, letaknya yang berada
pada bagian timur Pulau Seram, saat masih bergabung dengan Kabupaten Maluku
Tengah membuat daerah ini kurang diperhatikan dalam pembangunan
wilayahnya. Kurangnya perhatian pemerintah provinsi dan kabupaten pada waktu
itu terlihat dari jumlah investasi pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang

8

rendah pada daerah ini, sehingga ± 80 % lahan yang berpotensi untuk tanaman
perkebunan di wilayah Kabupaten SBT tidak ditanami/terbengkalai (Osly et al.,
2012). Kurangnya minat investor pada lahan di Kabupaten SBT juga disebabkan
infrastruktur yang kurang memadai. Dengan pecahnya menjadi kabupaten sendiri
membuat Kabupaten SBT dapat mengatur sumberdaya alam dan sumberdaya
lahan yang tersedia. Keinginan untuk memajukan wilayah Kabupaten SBT terlihat
dari RTRW Kabupaten SBT 2008-2028 (Perda No. 9 Tahun 2012 tentang RTRW
Kabupaten SBT) yang menerapkan strategi untuk mempercepat pembangunan
ekonomi wilayah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara
peningkatan tersebut adalah dengan pengembangan wilayah yang berbasis sektor
unggulan yaitu perkebunan, perikanan dan pertambangan. Beberapa survei tanah
telah dilakukan antara lain oleh Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1985 yang
tertuang dalam laporan akhir Proyek No 50/1985 (Laporan Survei dan Pemetaan
Tanah Tingkat Tinjau Daerah P. Seram bagian Utara, Kabupaten Maluku Tengah,
Provinsi Maluku) dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 1996
yang tertuang dalam Laporan Akhir Proyek Nomor 06/PSLA/01.02-A/96
(Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detil Daerah Wahai, Seram Utara, Maluku
Tengah, Propinsi Maluku Untuk Pengembangan Perkebunan, Irigasi dan
Transmigrasi) memberikan gambaran mengenai kondisi ekosistem wilayah
Kabupaten SBT yang sangat cocok untuk tanaman-tanaman perkebunan. Kondisi
ekosistem yang digambarkan mirip dengan Papua dan Papua Barat ini
mengindikasikan bahwa tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di Pulau Seram
pada umumnya dan Kabupaten SBT pada khususnya.
Kesesuaian lahan adalah adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan
untuk tipe penggunaan lahan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Kesesuaian lahan ditunjukkan oleh kelas
dan sub kelas kesesuaian lahan tertentu. Untuk memperoleh tingkatan dalam
kesesuaian lahan didapat dari hasil membandingkan antara kualitas lahan dengan
persyaratan penggunaan lahan. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk
kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih
spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya,
yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk
suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif. Menurut FAO (1990),
berdasarkan kedalaman analisis antara data biofisika lahan dan sosial ekonomis
dapat dibedakan dua tipe klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu kesesuaian lahan
kualitatif dan kesesuaian lahan kuantatif. Klasifikasi lahan kualitatif adalah
kesesuaian lahan yang didasarkan atas data biofisika lahan dan dianalisis tanpa
mempertimbangkan masukan biaya dan perkiraan produksi atau keuntungan yang
akan diperoleh dari tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan.
Sedangkan kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan
atas analisis data biofisika lahan dan sosial ekonomi dengan mempertimbangkan
masukan biaya dan keuntungan yang mungkin dapat diperoleh. Menurut Arsyad
(2006), evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam
proses perencanaan penggunaan lahan (landuse planning). Hasil evaluasi lahan
memberikan alternatif penggunaan lahan dan batas-batas kemungkinan
penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan
dapat dipergunakan secara lestari sesuai dengan hambatan atau ancaman yang ada.
Kegunaannya untuk berbagai tingkat perencanaan ditentukan oleh tingkat

9

pengamatan atau tingkat survei sumberdaya lahan. Salah satu metode yang dapat
digunakan untuk melakukan kajian yang lebih mendalam adalah metode Multi
Criteria Decision Making (MCDM). Metode ini mengintegrasikan parameter
biofisik, sosial dan ekonoi secara simultan. MCDM juga merupakan metode
pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah
alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria biasanya berupa ukuranukuran atau aturan-aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan
keputusan. Secara umum dapat dikatakan bahwa MCDM menyeleksi alternatif
terbaik dari sejumlah alternatif
Penggunaan pendekatan sistem (system approach) dalam sebuah
perencanaan kawasan atau penataan ruang merupakan pendekatan yang mulai
sering dilakukan di Indonesia. Lebih dari 50 tahun belakangan di negara maju,
metode pemodelan menggunakan sistem (statik maupun dinamik) telah
berkembang dengan pesat menjadi sebuah pendekatan yang sangat kuat. Simulasi
sebuah model pengambilan kebijakan yang secara eksplisit mempertimbangkan
informasi umpan balik yang berinteraksi dalam sistem menjadi sebuah alat yang
memiliki kekuatan besar. Kemampuan sistem ini sudah terbukti dalam
pengambilan keputusan di dunia industri, sosial, dan keilmuan. Salah satu
keuntungan dari model simulasi yang dibangun oleh sistem adalah bahwa model
dapat dengan mudah dikomunikasikan kepada khalayak. Model sistem dibangun
dan dianalisis menggunakan pendekatan yang mudah dipahami (menggunakan
gambar) dengan sedikit banyak mengeliminasi persamaan diferensial dan aspek
matematika dalam modelnya (Forrester, 1972; Ford, 1999; Guo et al., 2001).
Dengan menambahkan aspek spasial dalam model maka pendekatan sistem dapat
digunakan sebagai alat pengambilan keputusan yang dapat divalidasi dalam
perencanaan tata ruang kawasan sehingga pengambil kebijakan dapat
memutuskan model terbaik bagi sebuah wilayah dan dapat menjamin proses
keberlanjutan (Scheffran et al., 2007).
Berdasarkan uraian diatas, disusun rumusan masalah dalam penelitian ini,
sebagai berikut :
1. Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) sebagai bagian dari KTI
merupakan wilayah yang memiliki potensi untuk pengembangan
perkebunan tebu namun belum ada arahan pengembangan perkebunan
tebu berdasarkan kondisi edafik pada skala detil yang dapat digunakan
untuk pengembangan perkebunan tebu di Kabupaten SBT.
2. Diperlukan penentuan lahan-lahan yang dapat diprioritaskan untuk
pengembangan perkebunan tebu
3. Diperlukan sebuah model untuk perencanaan wilayah yang saat ini
merupakan suatu hal yang mutlak untuk menghasilkan sebuah
pembangunan yang berkelanjutan. Model perencanaan pengembangan
perkebunan tebu di Kabupaten SBT perlu dirancang untuk dapat
menghasilkan sebuah perencanaan yang komprehensif sehingga status
keberlanjutan pembangunan dapat dicapai.
Dari uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian (research question)
yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kesesuaian lahan untuk komoditas tebu di Kabupaten SBT?

10

2. Dimana saja lahan yang dapat diprioritaskan dalam pengembangan
perkebunan tebu dan berapa luas lahan prioritas untuk kawasan
perkebunan tebu di wilayah Kabupaten SBT
3. Bagaimana model perencanaan pengembangan perkebunan tebu
berkelanjutan di wilayah Kabupaten SBT?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan umum untuk merancang sebuah
model perencanaan pengembangan perkebunan tebu berkelanjutan di Indonesia
dengan mengambil studi kasus ada Kabupaten SBT yang dapat digunakan sebagai
alat penunjang pengambilan keputusan. Adapun tujuan khusus penulis adalah :
1. Menyusun kesesuaian lahan untuk komoditas tebu di Kabupaten Seram
Bagian Timur.
2. Menyusun lahan yang dapat diprioritaskan untuk pengembangan
perkebunan tebu di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.
3. Merumuskan model yang dapat digunakan untuk mendukung
pengambilan keputusan dalam pengembangan perkebunan tebu di
wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :
1. Memberikan informasi mengenai kondisi fisik, sosial dan ekonomi serta
kesesuaian lahan untuk tebu di Kabupaten SBT
2. Memberikan arahan dalam menetukan prioritas pengembangan kawasan
perkebunan tebu di Kabupaten SBT
3. Mendapatkan model perencanaan pengembangan perkebunan tebu
berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai alat untuk pengambilan
keputusan oleh pemerintah daerah, investor dan masyarakat

Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT).
Pendekatan utama dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi potensi yang
terdapat di lokasi penelitian. Langkah awal penelitian ini adalah melakukan
inventarisasi terhadap kondisi agroklimat dan ketersediaan lahan kemudian
dilanjutkan dengan pengkajian kesesuaian lahan terhadap komoditas tebu dan
usaha-usaha untuk mendukung optimalisasi hasil panen tebu. Pengkajian
kesesuaian lahan ini akan menghasilkan sebuah peta kes