Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur

(1)

MODEL PERENCANAAN AGROINDUSTRI GULA TEBU

LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI PROVINSI

NUSA TENGGARA TIMUR

FAHRIZAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015 Fahrizal NIM F361100131


(4)

RINGKASAN

FAHRIZAL. Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh MARIMIN, MOHAMAD YANI, M. YANUAR J. PURWANTO dan SUMARYANTO.

Kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia dapat diketahui dari luas areal tebu, tingkat produktivitas tebu, rendemen serta produktivitas gula yang dihasilkan. Ditinjau dari indikator rendemen gula, kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia berada di bawah dibandingkan dengan negara penghasil gula lainnya, seperti Thailand, China, Australia, dan Brazil. Rendahnya rendemen gula di Indonesia merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produksi gula. Oleh karena itu salah satu strategi untuk peningkatan produksi gula nasional adalah penerapan good agricultural practice pada kegiatan budidaya tebu, good manufacturing practice pada proses pengolahan tebu menjadi gula, serta perluasan areal tanaman tebu disertai pembangunan pabrik gula baru pada wilayah di Indonesia, terutama di KawasanTimur Indonesia (KTI) yang secara agroklimat memungkinkan diperoleh rendemen tebu lebih tinggi.

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu bagian dari KTI memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan perkebunan tebu. Berdasarkan peta Zona Agroekologi skala 1:250 000, diketahui luas areal lahan yang sesuai untuk tanaman pangan semusim (termasuk tebu) sebesar 439 203 ha yang tersebar di Pulau Sumba, Flores dan Pulau Timor. Hasil percobaan penanaman tebu dengan berbagai varietas diperoleh rendemen rata-rata 12.73%.

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model perencanaan agroindustri tebu lahan kering berkelanjutan di NTT. Untuk mencapai tujuan ini dirumuskan beberapa sub model, yaitu sub model pemilihan lokasi agroindustri, sub model optimasi jumlah ratoon, sub model strukturisasi sistem kemitraan tebu rakyat, sub model analisis kelayakan finansial, dan sub model analisis keberlanjutan.

Penelitian ini menggunakan beberapa teknik atau metode untuk mencapai tujuan tersebut. Sub model pemilihan lokasi agroindustri dianalisis menggunakan metode Analytical Hierarchy Process, Geographycal Information System, dan Location Quotient. Selanjutnya sub model optimasi ratoon dianalisis menggunakan pendekatan optimasi multiobyektif dengan metode Multiple Objective Linear Programming dan Goal Programming. Sub model strukturisasi sistem kemitraan tebu rakyat dikaji menggunakan pendekatan Interpretive Structural Modelling. Sub model analisis kelayakan finansial dianalisis menggunakan metode analisis kelayakan finansial fuzzy, sedangkan sub model keberlanjutan dianalisis menggunakan Multiple Dimensional Scaling, Analisis Leverage, dan Analisis Monte Carlo.

Hasil penelitian diperoleh bahwa urutan prioritas lokasi untuk pengembangan agroindustri gula tebu di NTT adalah Kabupaten Belu, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sumba Timur. Sementara itu, untuk penentuan lokasi agroindustri di Kabupaten Belu, prioritas pertama berada di Kecamatan Weliman. Jumlah ratoon optimal yang diperoleh dan digunakan dalam perhitungan analisis kelayakan finansial adalah 3. Elemen-elemen yang dikaji dalam strukturisasi sistem pengembangan kemitraan tebu rakyat adalah tujuan sistem kemitraan tebu rakyat,


(5)

kebutuhan sistem kemitraan tebu rakyat, kendala utama sistem kemitraan, tolok ukur keberhasilan sistem kemitraan, lembaga pelaku utama, sektor masyarakat yang terpengaruh, dan perubahan yang diinginkan, serta elemen aktivitas yang dibutuhkan. Hasil analisis kelayakan finansial fuzzy diperoleh bahwa pada kriteria rendah, sedang dan tinggi diperoleh keputusan masing-masing tidak layak, cukup layak, dan sangat layak. Pada analisis keberlanjutan diperoleh hasil bahwa pada dimensi sumberdaya dengan status cukup berkelanjutan (62.69%), dimensi ekonomi cukup berkelanjutan (70.85%), dimensi sosial cukup berkelanjutan (67.18%), dan dimensi lingkungan cukup berkelanjutan (55.89%). Indeks keberlanjutan multidimensi diperoleh sebesar 65.41, berarti pengembangan agroindustri tebu lahan kering di NTT secara umum cukup berkelanjutan. Dari 24 atribut yang dianalisis, terdapat 4 faktor atau atribut (ketersediaan tenaga kerja pertanian, rendemen tebu, dampak industri terhadap kesehatan masyarakat di sekitarnya, serta pemanfaatan limbah padat dan industri) yang paling sensitif terhadap indeks dan status keberlanjutan, sehingga perlu dilakukan upaya perbaikan atau intervensi terhadap atribut-atribut tersebut untuk meningkatkan keberlanjutan agroindustri.

Kata kunci: agroindustri gula tebu, model optimasi ratoon, lahan kering, multi- obyektif, analisis kelayakan finansial fuzzy, indeks keberlanjutan


(6)

SUMMARY

FAHRIZAL. Dry Land Sugarcane Agroindustrial Planning at East Nusa Tenggara Province. Supervised by MARIMIN, MOHAMAD YANI, M. YANUAR J. PURWANTO and SUMARYANTO.

Performance of sugarcane agroindustry in Indonesia can be seen from the area of cane, sugarcane yield levels, the yield and productivity of sugar produced. In terms of sugar productivity indicators, sugarcane agroindustry performance in Indonesia was lower compared with other sugar producing countries, such as Thailand, China, Australia, and Brazil. The low of sugar yield in Indonesia is one of the factors causing low sugar production. Therefore, one of the strategies to increase the national sugar production was the expansion of sugarcane plantations along with the construction of new sugar mills in the region in Indonesia, especially on dry land in Eastern of Indonesia.

East Nusa Tenggara (ENT) Province is one part of Eastern of Indonesia which has comparative advantage for the development of sugarcane plantations. Based on the Agroecology Zone Map 1: 250 000, known area of land suitable for sugarcane plantation of 439 203 hectares spread across the island of Sumba, Flores and Timor Island. The results of the experiment in West Sumba with different varieties of sugarcane were obtained an average yield of 12.73%.

This study used system approach which was supported by several techniques for achieving the goals. Sugarcane agroindustrial location selection was analyzed using Analytical Hierarchy Process, Geographical Information System, and Location Quotient. Then, Ratoon optimization was analyzed using multi-objective optimization approach that are Multiple Objective Linear Programming and Goal Programming. Structuring partnership model assessed using the Interpretive Structural Modelling. While, financial feasibility analysis model was analyzed using fuzzy methods. The last, sustainability analysis model was supported by Multiple Dimensional Scaling, Leverage Analysis, and Monte Carlo Analysis.

The results showed that the order of priority locations for sugarcane agro-industry development in ENT province were the Belu district, Southwest Sumba, West Sumba, Central Sumba and East Sumba. Meanwhile, for the determination of the location of agroindustry in Belu district, the first priority was in District Weliman. Optimal number of ratoon obtained and used in the calculation of the financial feasibility analysis are 3. Elements that were examined in structuring partnerships developing systems were the goal of sugarcane partnership system, the needs of sugarcane partnership system, the main obstacle partnership system, the benchmarks of success partnering system, the main perpetrators of institutions, public sector were affected, and the desired changes, as well as the activities required elements. The feasibility analysis results were represented in tree fuzzy term ie. not feasible, moderate feasible, and high feasible. Scenario analysis showed that this project feasible when the sugarcane productivity, sugarcane yield, and interest rate were at least at medium level. The sustainability analysis results showed that resources dimension was quite sustainable (62.69%), the economic dimension was quite sustainable (70.85%), social dimension was quite sustainable (67.18%), and environmental dimension was quite sustainable


(7)

(55.89%). While the composite dimensional sustainability index was 65.41 which indicates that sustainability of sugarcane agroindustrial development at ENT Province was at quite sustainable level. Of the 24 attributes analyzed, there were 4 attributes name as the availabilty of agricultural labor, sugarcane yield, healt and safety, and utilization of solid waste which were very sensitive to the index and the status of sustainability. Therefore, it is recommended to improve these attributes performance to enhance the sustainability of sugarcane agroindustry. Keywords: sugarcane agroindustry, ratoon optimization model, dry land, multiple


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

MODEL PERENCANAAN AGROINDUSTRI GULA TEBU

LAHAN KERING BERKELANJUTAN DI PROVINSI

NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

ii

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Sukardi, MM Prof Dr Ir Asep Sapei, MS

Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Muhammad Romli, MScSt Prof (R) Dr Ir Wayan Reda Susila


(11)

(12)

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini adalah perencanaan agroindustri gula tebu, dengan judul Model Perencanaan Agroindustri Gula Tebu Lahan Kering Berkelanjutan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Marimin, M.Sc, selaku Ketua Komisi Pembimbing. Dr Ir Mohamad Yani, M.Eng, Dr Ir M. Yanuar J. Purwanto, MS, dan Dr Ir Sumaryanto, MS, selaku anggota komisi pembimbing. Penghargaan juga disampaikan kepada Prof (R) Dr Ir Wayan Reda Susila, dari Asosiasi Gula Indonesia, Dr Ir Cendi Krisnanto dari Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, Ir Ignas K. Lidjang, MS dan Dr Ir Tony Basuki, dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi NTT, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT, Kepala Bappeda Provinsi NTT. Dr. Bambang Suhada, dari Unismuh Lampung. Ir Ibnu Haris Parwata MM selaku General Manager PG Rajawali II unit PG Subang, Ir Nandang Munandar MM selaku Kepala Litbang PG Subang, Ir H. Chafsul Jaskandi selaku General Manager PG Rajawali II unit PG Sindanglaut Cirebon, Muhdayin SP selaku Kepala Bina Sarana Tani PG Sindanglaut Cirebon, Alif dan Giri Rahardjo STP, Bagian Tanaman PG Sindanglaut, H. Agus Sapari, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Sindanglaut Cirebon, H. A. Masasi, Ketua Koperasi Petani Tebu Rakyat Sakarosa Sindanglaut Cirebon. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, istri dan anak-anak tercinta, bapak (alm) dan ibu mertua serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu proses penyelesaian studi doktor, khususnya kepada rekan-rekan angkatan 2010 TIP, rekan-rekan kelas bimbingan Prof Dr Ir Marimin MSc, atas segala curahan waktu dan kebersamaan. Rektor Universitas Nusa Cendana atas kesempatan yang diberikan untuk melaksanakan studi doktor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) yang diberikan. Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penghargaan juga disampaikan kepada Prof Dr Ir Sukardi, MM dan Prof Dr Ir Asep Sapei, MS selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan Prof Dr Ir Muhammad Romli, MScSt serta Prof (R) Dr Ir Wayan Reda Susila, pada ujian terbuka.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin ya rabbal alamin.

Bogor, Maret 2015 Fahrizal


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN x

DAFTAR ISTILAH xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Tebu (Saccharum officinarum L.) 6

Klassifikasi Iklim 11

Agroindustri Gula Tebu 13

Model Perencanaan Agroindustri 19

Kemitraan Tebu Rakyat 20

Interpretive Structural Modelling (ISM) 22

Analytical Hierarchy Process (AHP) 25

Location Quotient (LQ) 26

Optimasi Multiobyektif 27

Analisis Kelayakan Finansial Fuzzy 27

Metode Bayes 30

Keberlanjutan Agroindustri 31

Teknik Multiple Dimensional Scaling (MDS) 32

Penelitian Terdahulu dan Posisi Kebaruan (Novelty) Penelitian 34

3 METODE PENELITIAN 39

Kerangka Pemikiran 39

Tahapan Penelitian 40

Metode Pengumpulan dan Analisis Data 52

4 ANALISA SITUASIONAL 55

Kondisi Pergulaan Nasional 55

Potensi Pengembangan Agroindustri Gula Tebu di Nusa Tenggara Timur 58 Permasalahan Lahan Kering di Nusa Tenggara Timur untuk Budidaya Tebu 59 5 MODEL PEMILIHAN LOKASI, STRUKTURISASI SISTEM KEMITRAAN

TEBU RAKYAT DAN ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL

PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI GULA TEBU 63

6 MODEL OPTIMASI RATOON DAN ANALISIS KELAYAKAN

FINANSIAL FUZZY PADA PERENCANAAN AGROINDUSTRI GULA


(14)

vi

DAFTAR ISI (lanjutan)

7 ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI

GULA TEBU 104

8 PEMBAHASAN UMUM 120

Pemilihan Lokasi Agroindustri 120

Optimasi Jumlah Raton dan Pengembangan Agroindustri Gula Tebu 122

Kemitraan Tebu Rakyat 124

Analisis Kelayakan Finansial 139

Analisis Keberlanjutan Agroindustri 140

Implikasi Manajerial 141

9 SIMPULAN DAN SARAN 145

Simpulan 145

Saran 146

DAFTAR PUSTAKA 147

LAMPIRAN 155


(15)

DAFTAR TABEL

1 Luas areal panen, produksi gula dan produktivitas hablur gula di

Indonesia, tahun 2009-2013 1

2 Nilai Kc tebu berdasarkan fase pertumbuhan 10

3 Tipe iklim menurut Schmidt dan Fergusson 12

4 Kriteria klassifikasi iklim Oldeman 13

5 Kriteria zona agroklimat menurut Oldeman 13

6 Komponen-komponen tebu (%) 14

7 Luas lahan tebu kemitraan PG Sindanglaut 21

8 Besaran biaya kredit pinjaman ke kelompok tani 22

9 Keterkaitan antar sub elemen pada teknik ISM 23

10 Penelitian tentang analisis kelayakan fuzzy 28

11 Kelebihan dan kekurangan penelitian terdahulu 35 12 Posisi strategis penelitian terhadap penelitian sebelumnya 38 13 Posisi penelitian terhadap penelitian sebelumnya pada aspek kapasitas

produksi 38

14 Kebutuhan pelaku utama dalam sistem PAGTLKK 42

15 Format nilai interval kriteria kelayakan finansial fuzzy 50 16 Tujuan, data dan sumber, metode pengumpulan dan analisis data 53 17 Luas areal perkebunan tebu di Indonesia menurut status pengusahaan

tahun 2005-2013 56

18 Produksi gula di Indonesia menurut status pengusahaan tahun

2005-2013 57

19 Luas areal dan produksi gula di Indonesia menurut provinsi dan status

pengusahaan tahun 2013 57

20 Data curah hujan, jumlah hari hujan, bulan kering dan basah di

Kabupaten Belu 61

21 Hasil simulasi analisis neraca air PC ditanam bulan Mei 61

22 Hasil simulasi neraca air tanaman tebu PC 62

23 Data jumlah penduduk produktif dan curah hujan rata-rata pada kandidat lokasi pengembangan agroindustri gula tebu di NTT 68 24 Hasil perhitungan nilai LQ dan prioritas lokasi pengembangan

agrondustri gula tebu di Kabupaten Belu 73

25 Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan analisis kelayakan

finansial 76

26 Hasil analisis sensitivitas kelayakan finansial menggunakan skenario 77 27 Nilai interval kriteria kelayakan finansial fuzzy 91

28 Tujuan dan deviasi 94

29 Produktivitas tebu, rendemen tebu, dan suku bunga pada kriteria rendah 94 30 Produktivitas tebu, rendemen tebu, dan suku bunga pada kriteria sedang 95 31 Produktivitas tebu, rendemen tebu, dan suku bunga pada kriteria tinggi 95 32 Perbandingan preferensi DM pada setiap pasangan alternatif, kriteria

tinggi 96

33 Perbandingan preferensi DM pada setiap pasangan alternatif, kriteria


(16)

viii

DAFTAR TABEL (lanjutan)

34 Perbandingan preferensi DM pada setiap pasangan alternatif, kriteria

rendah 96

35 Transformasi hasil preferensi DM menjadi angka-angka fuzzy pada

kriteria tinggi 96

36 Transformasi hasil preferensi DM menjadi angka-angka fuzzy pada

kriteria sedang 96

37 Transformasi hasil preferensi DM menjadi angka-angka fuzzy pada

kriteria rendah 96

38 Nilai crisp (ã) pada kriteria tinggi 97

39 Nilai crisp (ã) pada kriteria sedang 97

40 Nilai crisp (ã) pada kriteria rendah 97

41 Bobot setiap alternatif 97

42 Nilai output kelayakan 98

43 Hasil keputusan analisis kelayakan finansial fuzzy agroindustri gula

tebu 98

44 Hasil analisis sensitivitas jumlah ratoon optimum menggunakan

skenario 99

45 Kategori indeks dan status keberlanjutan 108

46 Dimensi dan atribut 109

47 Penentuan indeks keberlanjutan multidimensi dari indeks yang

diperoleh dari MDS 110

48 Perbedaan indeks keberlanjutan antara MDS dengan analisis Monte

Carlo 116

49 Nilai S-stress dan koefisien determinasi keberlanjutan pengembangan

agroindustri gula tebu di NTT 117

50 Konfigurasi luas lahan dan jenis tanaman tebu pada ratoon ke-2 122 51 Hasil perhitungan total keuntungan usaha tani tebu dan biaya kapasitas

idle 123

DAFTAR GAMBAR

1 Pohon industri tebu 15

2 Diagram alir proses pengolahan tebu 16

3 Diagram urutan kerja teknik ISM 25

4 Kerangka pemikiran penelitian 40

5 Tahapan penelitian 41

6 Diagram makro causal-loop sistem perencanaan agroindustri tebu lahan

kering berkelanjutan 44

7 Diagram input-output sistem perencanaan agroindustri tebu lahan

kering berkelanjutan 45

8 Tahapan penyusunan sub model pemilihan lokasi agroindustri 46

9 Tahapan penyusunan sub model optimasi ratoon 47

10 Tahapan penyusunan sub model sistem kemitraan tebu rakyat 48 11 Tahapan penyusunan sub model analisis kelayakan finansial 50


(17)

12 Tahapan penyusunan sub model analisis keberlanjutan 51 13 Grafik curah hujan efektif di Belu, Sumba Barat Daya dan Sumba

Timur 60

14 Tahapan penelitian model penunjang keputusan pengembangan

agroindustri gula tebu 66

15 Peta AEZ Provinsi NTT skala 1:250 000 zona Pulau Sumba 67 16 Peta AEZ Provinsi NTT skala 1:250 000 zona Pulau Timor 67 17 Struktur hirarki goal, tujuan, kriteria, dan alternatif lokasi dalam AHP 71 18 Peta lokasi potensial pengembangan agroindustri tebu di Kabupaten

Belu 72

19 Strukturisasi elemen-elemen kunci sistem pengembangan kemitraan

tebu rakyat 74

20 Tahapan penelitian optimasi ratoon dan kelayakan finansial 84

21 Tringular fuzzy number, M 87

22 Linguistic labels dinyatakan menggunakan TFN 90

23 Keuntungan bersih usaha tani tebu dan biaya kapasitas idle pada

berbagai jumlah ratoon 92

24 Kerangka pemikiran penelitian keberlanjutan agroindustri gula tebu 106 25 Tahapan penelitian keberlanjutan agroindustri gula tebu 107 26 Diagram layang (kite diagram) indeks keberlanjutan pengembangan

agroindustri gula tebu di Provinsi Nusa Tenggara Timur 110 27 Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sumber

daya 111

28 Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekonomi 112 29 Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial 114 30 Atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi lingkungan 115 31 Struktur hirarki antar sub elemen tujuan pengembangan kemitraan 125 32 Matrik driver power-dependence elemen tujuan sistem kemitraan 126 33 Struktur hirarki antar sub elemen kebutuhan sistem pengembangan

kemitraan tebu rakyat 127

34 Pemetaan driver power-dependence elemen kebutuhan sistem

kemitraan tebu rakyat 128

35 Struktur hirarki antar sub elemen kendala utama sistem pengembangan

kemitraan tebu rakyat 129

36 Pemetaan driver power-dependence elemen kendala utama sistem

kemitraan tebu rakyat 130

37 Struktur hirarki antar sub elemen tolok ukur keberhasilan sistem

pengembangan kemitraan tebu rakyat 131

38 Pemetaan driver power-dependence elemen tolok ukur keberhasilan 132 39 Struktur hirarki antar sub elemen pelaku utama sistem pengembangan

kemitraan tebu rakyat 133

40 Pemetaan driver power-dependence elemen pelaku utama sistem

kemitraan tebu rakyat 134

41 Struktur hirarki antar sub elemen sektor masyarakat yang terpengaruh

sistem pengembangan kemitraan tebu rakyat 135

42 Pemetaan driver power-dependence elemen sektor masyarakat yang


(18)

x

Daftar Gambar (lanjutan)

43 Struktur hirarki antar sub elemen perubahan yang diinginkan sistem

pengembangan kemitraan tebu rakyat 136

44 Pemetaan driver power-dependence elemen perubahan yang diinginkan

pengembangan kemitraan tebu rakyat 137

45 Struktur hirarki antar sub elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam perencanaan tindakan pengembangan kemitraan tebu rakyat 138 46 Pemetaan driver power-dependence elemen aktivitas yang dibutuhkan

dalam pengembangan kemitraan tebu rakyat 139

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman tebu 156 2 Produktivitas dan rendemen pada tebu tanaman baru (plant cane) dan

tebu keprasan (ratoon cane) di PG Takalar 157

3 Produktivitas dan rendemen pada tebu tanaman pertama (plant cane) dan tebu keprasan (ratoon cane) di Australia 157 4 Komponen-komponen biaya untuk menghitung total keuntungan

usaha tani tebu 157

5 Komponen-komponen instalasi dan biaya irigasi tetes untuk luas 1

hektar 158

6 Total keuntungan usaha tani tebu dan total biaya kapasitas idle pada

berbagai jumlah ratoon 159

7 Estimasi biaya investasi pendirian agroindustri gula tebu (pabrik gula) 159 8 Data elemen dan sub elemen yang digunakan dalam ISM 160 9 Dimensi dan indikator keberlanjutan pengembangan agroindustri

gula tebu 162

10 Diagram alir limbah agroindustri gula tebu 166

11 Neraca massa agroindustri gula tebu 167

12 Analisis neraca energi agroindustri gula tebu 167

13 Neraca air agroindustri gula tebu 168


(19)

DAFTAR ISTILAH

Berikut adalah daftar istilah penting yang digunakan dalam penelitian ini:

No. Subyek Deskripsi Rujukan

1 Agroindustri Industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang

dibutuhkan konsumen.

Pengolahan dalam agroindustri meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik, kimia, atau biologi, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Kegiatan agroindustri dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu daur singkat dan daur panjang. Konsep

agroindustri mensimbiosiskan dua bidang ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan proses produksi dan manajemen.

Gumbira dan Harizt (2004); Austin (1992); (Marimin et al. (2013)

2 Analytic Hierarchy Process (AHP)

Metode pengambilan keputusan yang digunakan untuk

penyelesaian persoalan kompleks melalui penyederhanaan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga

memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif

Saaty (2001); Marimin et al. (2013)

3 Bagasse Merupakan bahan kering yang berasal dari batang tebu, yang dihasilkan dari kegiatan penggilingan

4 BC Ratio Perbandingan antara jumlah cash flow masuk dengan jumlah cash flow keluar pada nilai sekarang.

Rustiadi et al. (2011)

5 Blotong Limbah padat yang dihasilkan dari proses pemurnian nira. 6 Data crisp Data tunggal yang dihasilkan

melalui proses defuzzifikasi. 7 Data fuzzy Kebalikan dari data crisp, yaitu

data yang bersifat tidak tunggal. 8 Defuzzyfikasi Proses konversi nilai fuzzy ke

nilai crisp (tunggal).

Marimin et al. (2013)


(20)

xii Lanjutan

No. Subyek Deskripsi Rujukan

9 Interpretive Structural Modelling (ISM)

Teknik pengkajian kelompok untuk menghasilkan model struktur guna memotret perihal kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis atau kalimat.

Saxena (1992)

10 Irigasi Penggunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.

Hansen et al. (1986)

11 IRR Internal rate of return adalah tingkat suku maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan.

Rustiadi et al. (2011)

12 Kapasitas idle Perbandingan tingkat kapasitas yang digunakan dengan kapasitas aktual, dinyatakan dalam persen

(www.business dictionary) 13 Kebakaran tebu di

lahan

Kebakaran yang terjadi pada lahan tebu pada saat musim panen, yang diakibatkan oleh motif petani untuk mendapatkan gilingan tebu lebih awal

14 Keuntungan usaha tani tebu

Total penerimaan petani dari bagi hasil gula dan molasses dikurangi dengan biaya

budidaya, panen, dan transportasi tebu.

PG Sindanglaut (2013)

15 Kemitraan tebu rakyat

Hubungan kerjasama antara kelompok tani dengan pabrik gula serta pihak-pihak yang terkait untuk mencapai satu tujuan yang sama dan saling menguntungkan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

PG Sindanglaut (2013)

16 Lahan kering Lahan kering atau dry land adalah lahan kering yang berada di wilayah beriklim kering (curah hujan <2000 mm per tahun)


(21)

17 Lahan tebu kemitraan

Lahan tebu yang dikelola oleh pabrik gula dengan cara menyewa lahan lahan ke petani atau masyarakat

PG Sindanglaut (2013)

18 Location Quotient (LQ)

Teknik penentuan lokasi sebagai sektor basis, berdasarkan

indikator yang digunakan

tergantung pada tujuan penelitian

Rustiadi et al. (2011)

19 Model Representasi dari pengembangan sistem untuk tujuan mempelajari sistem tersebut

Law dan Kelton (1982)

20 Metode Bayes Merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan perolehan yang optimal dengan

mempertimbangkan berbagai kriteria.

Marimin (2008)

21 MDS Multiple dimensional scaling adalah teknik statistika untuk memvisualisasikan dissimilarity dari obyek penelitian yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif ke dalam ruang berdimensi 2

Kavanagh dan Pitcher (2004)

22 Neraca air tanaman Selisih antara curah hujan efektif dengan evapotranspirasi tanaman

Sukirno et al. (2008) 23 NPV Net present value merupakan

selisih antara present value manfaat dengan present value biaya.

Rustiadi et al. (2011)

24 Optimasi multiobyektif

Metode untuk menyelesaikan masalah dengan meliputi beberapa tujuan yang saling bertentangan (trade off)

Hung (2006); Deb (2001)

25 Peta ZAE Peta Zona Agroekologi

merupakan peta atau alat bantu untuk menentukan kesesuaian lahan pada tingkat global

(tingkat ordo). Berdasarkan peta ini, kesesuaian lahan dibagi menjadi sesuai dan tidak sesuai.

Puslittanak (2002)

26 Perencanaan Proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan

Kunarjo (2002); Firman (2008


(22)

xiv

27 Penggunaan air Jumlah satuan air (m3) yang digunakan untuk menghasilkan gula dari proses penggilingan tebu sampai menghasilkan gula kristal putih

28 Produktivitas tebu Total produksi tebu dalam satuan luas (ton per hektar)

29 Rapfish Rapid appraisal for fisheries adalah teknik multidisiplin untuk mengevaluasi status

keberlanjutan perikanan didasarkan pada skoring yang bersifat semi kuantitatif pada aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan etik

Pitcher (1999)

30 Rendemen Nilai yang menunjukkan jumlah gula potensial yang dapat diperah menjadi gula atau persentase gula yang dapat diperah dari gula yang ada dalam tebu. Rendemen terdiri dari rendemen sampel, rendemen sementara, dan rendemen efektif. Rendemen sampel (rendemen tebu) adalah hasil perhitungan rendemen dengan sampel tebu untuk analisis tingkat

kemasakan. Rendemen sementara (rendemen gula) adalah rendemen yang didapat dari hasil perahan tebu pertama atau perkalian antara faktor rendemen dengan nilai nira, digunakan untuk menentukan bagi hasil gula petani secara cepat.

Indrawanto et al. (2010)

31 Tebu rakyat Perkebunan tebu yang dikelola oleh petani/kelompok tani tebu

PG Sindanglaut (2003

32 Tebu PC Plant cane atau tebu tanaman pertama yang berasal dari bibit

Muchow et al. (1998)

33 Tebu ratoon Tanaman tebu yang tumbuh kembali (re-growth) setelah dipanen.

Muchow et al. (1998)

34 TFN (Triangular Fuzzy Number) merupakan representasi bilangan fuzzy dengan pendekatan

segitiga.

Marimin et al. (2013)


(23)

Latar Belakang

Kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia dapat diketahui dari luas areal tebu, produksi tebu, produktivitas tebu, rendemen, produksi gula serta produktivitas hablur gula yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula. Luas areal tebu berkaitan dengan upaya pabrik gula memenuhi kapasitas giling dan konsistensi petani menanam tebu. Produktivitas tebu berkaitan dengan kesesuaian lahan dan penerapan teknologi pada budidaya tebu, sedangkan rendemen, produksi dan produktivitas hablur gula sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan baku tebu serta efisiensi pabrik gula. Kinerja agroindustri gula tebu di Indonesia dapat dilihat selama kurun waktu 2009-2013 (Tabel 1).

Tabel 1 Luas areal panen, produktivitas tebu, rendemen gula, produksi gula dan produktivitas gula di Indonesia tahun 2009-2013.

Kinerja agroindustri gula tebu nasional

Tahun

2009 2010 2011 2012 2013 Luas areal panen (ha)

Produktivitas tebu (ton/ha)

Rendemen gula (%)

422 935 71.54

7.60

432 714 81.94

6.08

450 298 67.34

7.29

451 191 72.10

8.13

460 496 76.80

7.20 Produksi gula (juta ton) 2.299 2.290 2.229 2.591 2.390 Produktivitas gula

(ton per ha)

5.437 5.292 4.948 5.744 5.190 Sumber : DGI (2013)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata produktivitas tebu di Indonesia dalam 5 tahun terakhir sebesar 73.944 ton per ha, rata-rata rendemen sebesar 7.26%, sedangkan rata-rata produktivitas hablur gula sebesar 5.322 ton per ha. Jika dibandingkan dengan negara penghasil gula lainnya, seperti China, Thailand, Brazil, dan Australia kinerja agroindustri gula tebu Indonesia berada di bawah dengan negara-negara tersebut. Produktivitas hablur gula di Cina rata-rata mencapai 10.794 ton per ha, sedangkan di Thailand mencapai 8.4-9 ton per ha. Sementara itu produktivitas hablur gula di Brazil mencapai 9.52-9.80 ton per ha, dan di Australia mencapai 11.76-12.60 ton per ha. Tingginya produktivitas hablur gula di negara-negara penghasil gula tersebut, bukan disebabkan oleh tingkat produktivitas tebu yang lebih tinggi, tetapi disebabkan oleh faktor tingginya perolehan rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu di Indonesia sebesar 73.944 ton per ha, tidak jauh berbeda dengan produktivitas tebu di China 77.1 ton per ha, dan Thailand 70-75 ton per ha, bahkan Brazil 68-70 ton per ha. Rata-rata rendemen gula di Indonesia hanya mencapai 7.26%, lebih rendah dibandingkan dengan Cina 14%, Thailand 12%, Brazil 14-16%, dan Australia 14-15% (Purwono 2012).

Masih rendahnya rendemen gula di Indonesia merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produksi gula. Produksi gula nasional tahun 2012 sebesar 2.7x106 ton, sedangkan total konsumsi mencapai 5.4x106 ton (BPS Republik


(24)

2

Indonesia 2012a). Konsumsi gula nasional diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49% per tahun (BPS Republik Indonesia 2012b) dengan tingkat konsumsi gula sebesar 66.48 kg per kapita (BPS Republik Indonesia 2013).

Salah satu strategi untuk meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan perolehan rendemen gula. Untuk mendapatkan rendemen gula yang tinggi dapat ditempuh melalui penerapangood agricultural practicepada kegiatan budidaya tebu, penerapan good manufacturing practice pada proses pengolahan tebu menjadi gula, dan pengembangan agroindustri gula tebu pada wilayah di Indonesia yang secara agroklimat memungkinkan diperoleh rendemen tebu lebih tinggi.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk peningkatan produksi gula nasional. Selain upaya peningkatan produktivitas di tingkat perkebunan tebu (on farm) dan industri pengolahan (off farm), upaya lain adalah mengembangkan agroindustri gula tebu di luar Pulau Jawa, terutama pada lahan kering di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Pengembangan agroindustri gula tebu di KTI didasarkan pada dua alasan yang sangat mendukung, yaitu potensi luas lahan masih tersedia menurut skala ekonomi terutama lahan kering dan kesesuaian agroklimat. Potensi lahan kering untuk pengembangan perkebunan tebu di KTI mencapai 4.0x106 ha, tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua (Mulyadiet al. 2009).

Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan bagian dari KTI memiliki potensi untuk menjadi produsen gula nasional. Hal tersebut dimungkinkan karena dukungan agroekosistem, luas lahan, dan tenaga kerja. Luas lahan masih tersedia berupa semak belukar, lahan terbuka (bero), dan sedikit merupakan areal perkebunan (Mulyadi et al. 2009). Berdasarkan peta Zona Agroekologi (ZAE) skala 1:250 000, diketahui bahwa luas areal lahan kering yang sesuai untuk tanaman pangan semusim termasuk tebu mencapai 439 203 ha, yang tersebar di Pulau Sumba, Flores, dan Pulau Timor (BPPT Provinsi NTT 2007). Intensitas radiasi matahari dan lama penyinaran yang tinggi menjadi keunggulan komparatif wilayah NTT untuk pengembangan perkebunan tebu. Menurut Irianto (2003) pengembangan tebu lahan kering merupakan pilihan yang sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Intensitas radiasi matahari dan lama penyinaran yang tinggi di lahan kering menyebabkan hasil fotosintesa bersih (net photosynthetic yield) tanaman tebu dapat maksimal atau rendemen tebu meningkat.

Wilayah NTT beriklim kering dipengaruhi oleh angin musim. Periode musim kemarau lebih panjang, yaitu 7 bulan (Mei sampai November), sedangkan musim hujan hanya 5 bulan (Desember sampai April). Suhu udara maksimum rata-rata 29oC, dan suhu udara minimum 26.1oC. Jenis tanah umumnya mediteran, latosol, dan grumosol (Setda Provinsi NTT 2009). Curah hujan dominan pada kisaran antara 1000-2000 mm per tahun (Djaenudin et al. 2002). Rata-rata lama penyinaran matahari tahun 2008 sampai dengan 2012 sebesar 93.76% (BMKG Provinsi NTT 2012). Kriteria tersebut memungkinkan wilayah NTT cocok untuk pengembangan perkebunan tebu. Hasil percobaan penanaman tebu dengan varietas F 154, F 156, M 442-51, Q 90, Co 1148, Ps 56, BM 261, BP 138, dan BR 1381, diperoleh rendemen tebu rata-rata 12.73% (BPPPG 1985).

Pengelolaan lahan tebu di NTT dapat dilakukan mengikuti struktur pengelolaan lahan tebu di Indonesia, yaitu dalam bentuk perusahaan besar negara,


(25)

perusahaan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Perkebunan besar negara merupakan perkebunan tebu yang dikelola oleh negara melalui Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan besar negara yang mengelola perkebunan tebu diantaranya adalah PTPN II dan PTPN IX, serta PT PG Rajawali. Perkebunan besar swasta adalah perkebunan tebu yang dikelola oleh perusahaan swasta. Perusahaan besar negara maupun perusahaan besar swasta mengelola perkebunan tebu sampai menghasilkan gula dalam satu manajemen. Kemitraan juga dibangun dengan petani tebu di sekitar perusahaan sebagai pemasok, namun dalam jumlah kecil. Berbeda dengan perkebunan tebu rakyat, pengelolaan budidaya tebu dilakukan oleh petani dalam bentuk kemitraan dengan pabrik gula. Kewajiban petani adalah memproduksi tebu untuk diolah di pabrik gula, sedangkan pabrik gula berperan mengolah tebu petani menjadi gula dengan sistem bagi hasil.

Pengelolaan lahan tebu di Indonesia saat ini didominasi oleh perkebunan rakyat yang mencapai 56.14%, sedangkan perusahaan besar negara dan perusahaan besar swasta masing-masing sebesar 18.56% dan 25.30% (BPS Republik Indonesia 2012a). Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dan minat petani untuk menanam tebu cukup tinggi serta komoditas tebu masih menjadi pilihan bagi petani. Namun demikian, belum adanya kesepakatan antara petani dengan pabrik gula pada pembatasan jumlah tebu ratoon, menyebabkan petani secara individual memelihara tebu ratoon tidak sesuai dengan keinginan pabrik gula. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan (2004) melaporkan bahwa sekitar 70% dari total areal perkebunan rakyat merupakan tebu ratoon. Di Pabrik Gula (PG) Tjoekir, tanaman tebu ratoon yang dilakukan lebih dari tujuh kali dan besarnya mencapai 70% dari luas keseluruhan. Begitupula di PG Madukismo,

ratoon dilakukan berulang kali, bahkan ada yang mencapai belasan kali (Ariani 2014). Situasi ini menyebabkan pasokan tebu lebih rendah dari kapasitas giling. Marjayanti dan Arsana (1999) melaporkan bahwa produktivitas teburatoonhanya 67-85% dari tebu tanaman pertama (plant cane). Karakteristik tebu ratoon yang demikian menjadi penyebab utama penurunan produktivitas gula (Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan 2004). Produktivitas tebu ratoon yang lebih rendah merupakan salah satu faktor tidak terpenuhinya kapasitas giling maksimal pabrik gula yang berakibat munculnya biaya kapasitas idle yang harus ditanggung oleh pabrik gula. Pabrik gula di Jawa mempunyai kapasitas giling 23.8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Pada tahun 2006, bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12.8 juta ton, sehingga pabrik-pabrik gula di Jawa mempunyai kapasitas

idle sekitar 46.2%. Selanjutnya pabrik gula di luar Jawa mempunyai kapasitas giling 14.2 juta ton tebu, sementara bahan baku yang tersedia hanya 8.6 juta ton, sehingga kapasitasidlemencapai 39.4% (Kementerian Pertanian 2007) .

Produktivitas teburatoonberkaitan langsung dengan keuntungan usaha tani tebu dan jumlah pasokan tebu. Oleh karena itu untuk memaksimasi keuntungan usaha tani tebu dan menjamin pemenuhan kapasitas giling, maka jumlah ratoon

optimal harus ditentukan dalam perencanaan agroindustri gula tebu, terutama pada agroindustri berbasis tebu rakyat. Penentuan optimasi tebu ratoon ini akan menjadi dasar dalam perhitungan analisis kelayakan finansial pengembangan agroindustri gula tebu.

Agroindustri gula tebu memiliki keterkaitan antara kegiatan hulu (sektor budidaya) dan kegiatan hilir (sektor industri pengolahan). Hubungan keterkaitan


(26)

4

hulu-hilir yang baik pada komoditas tebu akan memberikan nilai tambah (value added) yang tinggi (Indraningsih dan Malian 2005). Dalam konteks sistem, produksi gula di tingkat industri pengolahan sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi tebu di tingkat kebun (Suhada 2012). Hal tersebut berarti, sub sistem usaha tani (on farm) dan sub sistem pengolahan tebu (off farm) adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keterpaduan tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan secara terintegrasi antara sub sistem on farm dengan sub sistem off farm.

Penerapan zero waste tebu merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing industri gula nasional (Indraningsih dan Malian 2005). Zero waste atau nir limbah adalah pemanfaatan limbah, baik limbah di kebun maupun limbah industri pengolahan, untuk efisiensi penggunaan input produksi. Konsep zero waste menjadi salah satu indikator dalam analisis keberlanjutan pengembangan agroindustri gula tebu.

Perencanaan pada hakekatnya merupakan suatu proses penyiapan seperangkat keputusan yang dilakukan secara terarah dan sistematis agar tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien (Kunarjo 2002; Firman 2008). Seiring dengan upaya pemerintah untuk peningkatan produksi gula nasional dan menuju swasembada gula nasional, melalui kegiatan pengembangan areal perkebunan tebu dan pembangunan industri pengolahan, maka perlu dilakukan perencanaan dalam penyiapan pengambilan keputusan pengembangan agroindustri gula tebu lahan kering khususnya di NTT.

State of the art penelitian ini adalah mengembangkan model perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering, yang dirancang dengan pendekatan sistem, melalui integrasi sub sistem usaha tani tebu (on farm) dan sub sistem pengolahan tebu (off farm) untuk memaksimalkan keuntungan usaha tani tebu dan menjamin pemenuhan kapasitas giling pabrik gula.

State of the art penelitian selanjutnya adalah menyusun strukturisasi sistem pengembangan kemitraan tebu rakyat. Kemudian dilakukan analisis kelayakan finansial menggunakan pendekatan fuzzy pengembangan agroindustri tebu serta analisis keberlanjutan berdasarkan dimensi sumber daya, ekonomi, sosial dan lingkungan. Penerapan pendekatan tersebut akan menghasilkan agroindustri tebu lahan kering yang berkelanjutan dan merupakan unsur kebaruan ataunoveltypada penelitian ini.

Sistem perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering mempunyai kompleksitas dan kerumitan yang sangat tinggi dimana komponen-komponen yang terkandung di dalamnya saling berkaitan sangat erat satu sama lain dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, sistem perencanaan agroindustri tebu perlu diselesaikan dengan pendekatan sistem (Hartrisari 2007 dan Marimin 2008). Pendekatan sistem dapat memformulasikan suatu masalah dengan baik dan benar ke dalam suatu model serta dapat melakukan analisis untuk pengambilan keputusan, sehingga model yang dirumuskan diharapkan dapat diterapkan dalam perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering di NTT.


(27)

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mendapatkan model perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering yang berkelanjutan, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan model pemilihan lokasi agroindustri gula tebu. 2. Mendapatkan model optimasi jumlah tebu keprasan (ratoon).

3. Mendapatkan model strukturisasi sistem pengembangan kemitraan tebu rakyat. 4. Mendapatkan model analisis kelayakan finansial fuzzy pengembangan

agroindustri gula tebu.

5. Mendapatkan model keberlanjutan agroindustri gula tebu.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari terbentuknya model perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering yang dihasilkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pelaku yang menjadi pengguna (user) pada kajian ini, model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan pengembangan agroindustri tebu lahan kering maupun usaha perbaikan pengelolaan agroindustri gula tebu.

2. Bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dapat menjadi model rujukan dalam pengambilan keputusan perencanaan pengembangan agroindustri gula tebu lahan kering yang akan dikembangkan.

3. Bagi para akademisi dan peneliti, model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan keilmuan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup untuk mencapai tujuan penelitian dibatasi oleh beberapa elemen sebagai berikut:

1. Model perencanaan agroindustri gula tebu lahan kering berkelanjutan mencakup beberapa aspek kajian, meliputi aspek pemilihan lokasi, aspek penentuan ratoon optimal, aspek kemitraan tebu rakyat, aspek kelayakan finansial, dan aspek keberlanjutan.

2. Kajian kelayakan finansial difokuskan pada indikatorNet Present Value(NPV)

fuzzy,Internal Rate of Return(IRR)fuzzydanBenefit Cost Ratio(BC R)fuzzy. 3. Kajian keberlanjutan agroindustri tebu lahan kering difokuskan pada dimensi

sumber daya, ekonomi, sosial, dan lingkungan.

4. Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah yang memiliki potensi lahan kering yang sesuai untuk tanaman tebu.


(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tebu (Saccharum officinarum L.) Morfologi dan Syarat Tumbuh

Tebu merupakan tanaman perkebunan semusim, yang termasuk keluarga rumput-rumputan (fili i L.). Tebu termasuk tanaman C4, yaitu

tanaman yang memiliki sifat adaptif di daerah panas dan kering. Tanaman tebu terdiri atas batang, akar, daun, bunga, dan buah (Indrawantoet al. 2010). Bagian tebu yang banyak dimanfaatkan adalah batang dan daun. Solomon dan Singh dalam Prihandana (2005) menyatakan bahwa ada 64 bagian yang dapat dimanfaatkan dari batang tebu. Di Indonesia hanya 13 bagian tebu yang bisa diolah di pabrik gula (Martini 2008). Gula merupakan produk utama tebu yang dihasilkan dari batang. Pucuk daun tebu (cane top) dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Potensi pucuk daun tebu dapat mencapai 3.8 ton per ha (Kuswandi 2007). Serasah merupakan daun tebu, tetapi tidak bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Potensi serasah mencapai 20-25 ton per ha dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk kompos (Iqbal 2012).

Tanaman tebu tumbuh di daerah tropika dan sub tropika, yaitu antara 19oLU – 35oLS. Kondisi tanah yang baik bagi tanaman tebu adalah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah. Dilihat dari jenis tanah, tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah alluvial, grumosol, latosol, dan regusol, dengan pH tanah 6-7.5. Lahan yang paling sesuai adalah kurang dari 500 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan kemiringan lahan kurang dari 8% dengan kelembapan >70%. (Indrawantoet al. 2010).

Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan tebu dan rendemen tebu sangat besar. Dalam masa pertumbuhan vegetatif tanaman membutuhkan banyak air, sedangkan saat masak (pertumbuhan generatif) tanaman tebu membutuhkan keadaan kering agar pertumbuhan vegetatif terhenti. Apabila hujan tetap tinggi maka pertumbuhan vegetatif akan terus terjadi dan tidak ada kesempatan untuk menjadi masak sehingga rendemen menjadi rendah. Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan berkisar 1 000-1 300 mm per tahun dengan sekurang-kurangnya 3 bulan kering. Distribusi curah hujan yang ideal untuk pertanaman tebu adalah: pada periode pertumbuhan vegetatif diperlukan curah hujan yang tinggi (200 mm per bulan) selama 5-6 bulan. Periode selanjutnya selama 2 bulan dengan curah hujan 125 mm dan 4-5 bulan dengan curah hujan kurang dari 75 mm per bulan yang merupakan periode kering. Periode ini merupakan periode pertumbuhan generatif dan pemasakan tebu (Indrawantoet al. 2010).

Ditinjau dari kondisi iklim yang diperlukan, wilayah yang ideal diusahakan untuk tebu lahan kering/tegalan berdasarkan Oldeman adalah tipe B2, C2, D2, dan E2. Sedangkan untuk tipe iklim B1, C1, D1, dan E1 dengan 2 bulan musim kering, dapat diusahakan dengan syarat tanahnya ringan dan berdrainase bagus. Untuk tipe iklim D3, E3, dan D4 dengan 4 bulan kering, dapat pula diusahakan dengan syarat adanya ketersediaan air irigasi (Indrawantoet al. 2010).

Pengaruh suhu pada pertumbuhan tebu dan pembentukan sukrosa cukup tinggi. Suhu ideal bagi tanaman tebu berkisar 24oC-34oC dengan perbedaan suhu


(29)

antara siang dan malam tidak lebih dari 10oC. Proses pembentukan sukrosa terjadi pada siang hari, dan proses penimbunan sukrosa di batang tebu terjadi pada malam hari. Disamping itu, tanaman tebu membutuhkan penyinaran 12-14 jam setiap harinya. Proses assimilasi akan terjadi secara optimal, apabila daun tanaman memperoleh radiasi penyinaran matahari secara penuh sehingga cuaca yang berawan pada siang hari akan mempengaruhi intensitas penyinaran dan berakibat pada menurunnya proses fotosintesa. Faktor yang penting juga diperhatikan dalam budidaya tebu adalah kecepatan angin. Faktor ini sangat berperan dalam mengatur keseimbangan kelembaban udara dan kadar CO2 disekitar tajuk yang mempengaruhi proses fotosintesa. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km per jam akan berdampak positif pada petumbuhan tebu (Indrawantot . 2010).

Kesesuaian Lahan

Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman tebu telah disusun oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (2003), dan merupakan salah satu rujukan dalam budidaya tanaman tebu. Sistem evaluasi lahan ini mengacu pada hukum minimal yaitu dengan mencocokkan (m hing ) antara kualitas lahan dengan persyaratan

penggunaan tebu. Petunjuk evaluasi lahan untuk komoditas tebu disajikan pada Lampiran 1.

Karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah faktor iklim, topografi, hidrologi, dan tanah. Menurut FAO (1976) kerangka kesesuaian lahan ditentukan oleh ordo dan kelas. Pada tingkat ordo, keadaan kesesuaian lahan dilihat secara global, yaitu kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Kesesuaian lahan pada tingkat ordo, kemudian diklassifikasi pada tingkat kelas. Lahan yang tergolong sesuai dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan lahan sesuai marginal (S3). Kelas S1 merupakan lahan yang tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan. Kelas S2 merupakan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang dapat mempengaruhi produktivitasnya dan memerlukan tambahan masukan (input ) relatif ringan yang biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3

merupakan lahan yang mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi, misalnya lereng terjal, ketinggian tempat, suhu udara, tekstur, salinitas, dan sebagainya.

Peta Zona Agroekologi (ZAE) merupakan salah satu alat bantu untuk menentukan kesesuaian lahan pada tingkat global (ordo). Peta ini menggunakan skala 1:250 000, atau 1cm2 pada peta ekivalen dengan 625 hektar. Berdasarkan peta ini, kesesuaian lahan dibagi menjadi sesuai dan tidak sesuai.

Komponen utama zona agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah. Berdasarkan karakteristik sumber daya lahan dan iklim diperoleh 7 zona agroekologi dengan spesifikasi sistem pertanian atau kehutanan (Puslittanak 2002).

Zona I Zona dengan lereng>40%, tipe pemanfaatan lahan untuk kehutanan. Zona II Zona dengan lereng 16-40%, tipe pemanfaatan lahan untuk perkebunan

(budidaya tanaman tahunan).


(30)

8

Zona IV Zona dengan lereng <8%, tipe pemanfaatan lahan untuk tanaman pangan.

Zona V Zona dengan lereng <3%, dengan jenis tanah gambut, tipe pemanfaatan lahan untuk tanaman hortikultura atau kehutanan.

Zona VI Zona dengan lereng <3%, dengan jenis tanah yang mempunyai kandungan sulfat tinggi (sulfat masam) atau kandungan garam tinggi, tipe lahan untuk perikanan.

Zona VII Zona dengan lereng <8%, dengan jenis tanah yang berkembang dari pasir kuarsa, tipe pemanfaatan lahan untuk kehutanan dan padang pengembalaaan.

Kebutuhan Air Tanaman Tebu

Pertumbuhan tanaman tebu membutuhkan waktu sekitar 9-12 bulan. Pada 7 bulan pertama terjadi fase pertumbuhan vegetatif, yaitu perkecambahan, pembentukan anakan, dan pemanjangan batang. Pada fase selanjutnya terjadi proses pemasakan tebu atau fase pertumbuhan generatif. Selama fase pertumbuhan vegetatif ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Kekurangan air dapat berakibat penurunan produktivitas tebu (Rosadit . 2004).

Irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Hansen

t . 1986). Tujuan utama pemberian air irigasi adalah untuk memenuhi

kebutuhan air pada waktu dan jumlah yang tepat untuk pertumbuhan tanaman. Ada dua macam sistem irigasi, yaitu sistem irigasi gravitasi dimana sistem tersebut tergantung sepenuhnya pada gaya berat dan sistem irigasi non gravitasi yang tidak sepenuhnya tergantung pada gaya berat karena memanfaatkan energi dari luar (pompa). Berdasarkan sistem irigasi gravitasi, maka lahan pertanian dibagi menjadi dua macam, yaitu lahan pertanian yang dapat diairi (irri

l

) dan lahan pertanian yang tidak dapat diairi (non irri l ) (Jansen

1980).

Kebutuhan air irigasi (irriion wr quirement ) adalah air irigasi yang

digunakan oleh lahan dan tanaman pada selang waktu tertentu. Kebutuhan air irigasi dapat dibedakan menjadi menjadi: (1) kebutuhan air tanaman (crop water requirement) adalah evapotranspirasi atau consumptive use bagi suatu jenis tanaman; (2) kebutuhan air lahan (farm water requirement) adalah kebutuhan air untuk suatu unit areal tanaman; dan (3) kebutuhan air untuk irigasi (irrigation project water requirement) adalah jumlah kebutuhan air keseluruhan suatu areal irigasi.

Kebutuhan air tanaman atau kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman adalah kebutuhan air untuk memenuhi evapotranspirasi atau consumptive use tanaman, yaitu air irigasi yang diperlukan untuk memenuhi evapotranspirasi dikurangi curah hujan efektif (Linsley dan Franzini 1979).

Evapotranspirasi merupakan proses gabungan evaporasi dan transpirasi. Evaporasi adalah air yang hilang dari tanah sekeliling tanaman, permukaan daun dan permukaan air. Transpirasi adalah air yang masuk ke dalam akar tanaman dan


(31)

digunakan untuk untuk pembentukan serat-serat atau air yang hilang melalui daun ke atmosfir (Israelsen dan Hansen 1986).

Besarnya evapotranspirasi tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim, jenis tanaman dan tingkat pertumbuhan tanaman. Faktor-faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu, kelembaban udara, kecepatan angin, penyinaran matahari dan garis lintang (Hansen t . 1986). Laju evapotranspirasi tanaman

ditentukan dengan menggunakan persamaan empiris:

= (1)

dimana :

Etc = evapotranspirasi tanaman (mm/hari)

Eto = evapotranspirasi acuan (mm/hari)

Kc = koefisien tanaman

Evapotranspirasi acuan (ETo) dapat dihitung menggunakan metode radiasi,

dengan persamaan (Doorenbos dan Pruitt 1977):

= (0.25 + 0.5 ⁄ ) (2)

dimana:

ETo = evapotranspirasi acuan (mm/hari)

c = faktor penyesuaian berdasarkan kelembapan relatif dan kecepatan angin pada siang hari.

W = faktor pembobot berdasarkan suhu udara danlattitude(ketinggian) n/N = perbandingan lama penyinaran matahari sebenarnya dengan lama

penyinaran potensial.

Ra = radiasi ekstraterestial dalam ekivalen evapotranspirasi (mm/hari).

Metode evaporasi panci juga umum digunakan untuk mengukur evaporasi. Ada beberapa tipe panci untuk mengukur evaporasi, tetapi yang umum digunakan di Indonesia adalah tipe klas A. Pengukuran dengan panci klas A dianggap sebagai alat lapangan yang baik dan nilai evaporasinya berubah menurut warna, bahan, dan dalamnya penempatan panci serta lingkungan dimana panci berada. Nilai evaporasi menggunakan metode evaporasi panci dapat dihitung dengan persamaan (Mananet al. 1980).

= ∗ (3)

dimana:

ETo = evaporasi referensi (mm/hari) atau (liter/hari) Kp = evaporasi panci (mm/hari)

Epanci = koefisien panci nilainya tergantung pada lokasi penempatan panci,

kelembapan, kecepatan angin dan jarak tanam searah angin terhadap panci.

NilaiETc tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi


(32)

10

ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisien tanaman memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, sehingga nilai ETc tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal

tersebut. Pada Tabel 2 disajikan nilai Kc pada tanaman tebu berdasarkan fase

pertumbuhan.

Tabel 2 NilaiKctebu berdasarkan fase pertumbuhan

Umur tanaman (bulan) Fase pertumbuhan NilaiKc

0-1 Perkecambahan-pertumbuhan tunas 0.55

1-2 Pembentukan anakan 0.80

2-3 Pembentukan anakan 0.90

2.5-4 Pertumbuhan anakan-kanopi penuh 1.00

4-10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan

batang)

1.05

10-11 Pematangan-awal senesen 0.80

11-12 Matang 0.60

Sumber : Inman-Bamber dan Smith (2005)

Ketersediaan air irigasi dapat berasal dari sumber curah hujan dan sumber air irigasi. Curah hujan dapat dimanfaatkan untuk penyiapan lahan, mengganti air yang hilang karena perkolasi, dan terutama untuk pertumbuhan tanaman. Namun demikian sebagian hujan tidak dapat dimanfaatkan karena akan mengalir sebagai aliran limpasan permukaan (run off), maka bagian hujan yang dapat dimanfaatkan hanya hujan yang dinyatakan sebagai hujan efektif (effective rainfall) yang diperhitungkan dalam pengairan. Curah hujan efektif adalah curah hujan yang jatuh selama periode pertumbuhan tanaman dan hujan itu berguna untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Menurut Oldeman (1977), bahwa curah hujan yang jatuh dan efektif untuk pertumbuhan tanaman tergantung pada intensitas curah hujan, topografi sistem penanaman dan tahap pertumbuhan. Curah hujan efektif dengan peluang 80% dapat dihitung dengan persamaan (FAO 2001).

= 0.60 − 10,untuk CH < 70 mm (4) = 0.80 − 25,untuk CH > 70 mm (5)

dimana:

Pe = curah hujan efektif (mm/bulan)

Ptotal = total curah hujan (mm/bulan)

Irigasi adalah pemberian air pada tanah untuk mempertahankan kelembaban tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman (Hansen et al. 1986). Sumber air irigasi yang digunakan dapat berupa air permukaan dan dapat pula berupa air tanah yang dipompakan. Menurut Schwab et al. (1981) metode irigasi dapat dibedakan menjadi: irigasi permukaan (surface irrigation), irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation), irigasi curah (sprinkler irrigation), dan irigasi tetes (drip/trickle irrigation).

Irigasi tetes adalah suatu metode pemberian air dengan kecepatan lambat dari suatu nozel yang diletakkan pada permukaan tanah (Davies 1974). Irigasi tetes


(33)

terdiri dari jalur pipa yang ekstensif dan biasanya dengan diameter yang kecil yang memberikan air yang tersaring langsung ke tanah dekat tanaman.

Sistem irigasi tetes di lapangan umumnya terdiri dari jalur utama, pipa pembagi, pipa lateral, alat aplikasi dan sistem pengontrol. Jalur utama terdiri dari pompa, tangki injeksi, filter (saringan) utama dan komponen pengendali (pengukur tekanan, pengukur debit dan katup). Jalur utama berikutnya adalah pipa utama umumnya terbuat dari pipa olyvinylpriloh (PVC), v st l atau

besi cor berdiameter antara 7.5–25 cm. Pipa utama dapat dipasang di atas atau di bawah permukaan tanah. Pipa pembagi (sub -main, manifold) dilengkapi dengan filter kedua yang lebih halus (80-100 μm), katup selenoid, regulator tekanan, pengukur tekanan dan katup pembuang. Pipa sub-utama terbuat dari pipa PVC atau pipa HDPE (high density polyethylene) berdiameter antara 50 – 75 mm. Pipa lateral merupakan pipa tempat dipasangnya alat aplikasi, umumnya dari pipa polyethylene (PE) berdiameter 8 – 20 mm dan dilengkapi dengan katup pembuang. Alat aplikasi terdiri dari penetes (emitter), pipa kecil (small tube, bubbler) dan penyemprot kecil (micro sprinkler) yang dipasang pada pipa lateral. Alat aplikasi terbuat dari berbagai bahan seperti PVC, PE, keramik, kuningan dan sebagainya.

Klasifikasi Iklim

Klasifikasi iklim merupakan usaha untuk mengidentifikasi dan mencirikan perbedaan iklim yang terdapat di bumi. Akibat perbedaan latitude (posisi relatif terhadap khatulistiwa, garis lintang), letak geografi, dan kondisi topografi, suatu tempat memiliki kekhasan iklim. Klasifikasi iklim biasanya terkait dengan bioma karena iklim mempengaruhi vegetasi asli yang tumbuh di suatu kawasan. Klassifikasi iklim yang banyak digunakan adalah klassifikasi iklim Köppen, klassifikasi iklim Oldeman, dan klasisifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (Kartasapoetra 2004; Lakitan 2002).

Klasifikasi iklim Köppen adalah salah satu sistem klasifikasi iklim yang paling banyak digunakan secara luas. Sistem ini dikembangkan oleh Vladimir Köppen, seorang ahli iklim Jerman, sekitar tahun 1884 (dengan beberapa perubahan oleh Köppen, tahun 1918 dan 1936). Seorang ahli iklim Jerman yang bernama Rudolf Geiger bekerjasama dengan Köppen untuk mengubah sistem klasifikasi, sehingga sistem ini kadang-kadang disebut sebagai sistem klasifikasi Köppen–Geiger. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada konsep bahwa tanaman adalah ekspresi terbaik iklim dan lingkaran zona iklim telah dipilih dengan distribusi tanaman. Sistem ini menggabungkan temperatur dan kelembaban rata-rata bulanan dan tahunan, dan kelembaban musiman.

Klassifikasi iklim Köppen membagi wilayah menjadi 5 kelompok iklim, yaitu: Kelompok A: iklim tropis (megatermal); Kelompok B: iklim kering (gersang dan semi gersang); Kelompok C: iklim sedang (mesotermal); Kelompok D: iklim benua (mikrotermal); Kelompok E: iklim kutub.

Klasifikasi iklim berikutnya adalah Schmidt Ferguson yang dikembangkan pada tahun 1950. Schmidt adalah guru besar dan pejabat Direktur Lembaga Meteorologi dan Geofisika di Jakarta, sedangkan Ferguson adalah seorang guru besar pengelolaan hutan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada waktu itu.


(34)

12

Mereka berdua membuat klasifikasi iklim ini dengan alasan sistem klasifikasi yang telah dikenal seperti Koppen, Thornwaite dan Thornwaite kurang sesuai dengan keadaan di Indonesia khususnya mengenai teknik menilai curah hujan.

Schmidt Ferguson mengklasifikasikan iklim berdasarkan ukuran bulan basah, bulan lembab dan bulan kering. Kriteria tersebut mengacu pada jumlah curah hujan yang diterima setiap daerah. Kriteria yang digunakan untuk menentukan bulan basah, bulan lembab dan kering adalah sebagai berikut : Bulan Basah (BB) dengan jumlah curah hujan lebih dari 100 mm; Bulan Lembab (BL) dengan jumlah curah hujan antara 60-100 mm; dan Bulan Kering (BK) dengan jumlah curah hujan kurang dari 60 mm.

Schmidt dan Ferguson menentukan BB, BL, dan BK tahun demi tahun selama pengamatan, yang kemudian dijumlahkan dan dihitung rata-ratanya. Penentuan tipe iklimnya mempergunakan nilai Q yaitu:

= 100% (6)

Berdasarkan besarnya nilai Q, klassifikasi iklim Schmidt dan

Ferguson digolongkan ke dalam beberapa tipe disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Tipe iklim menurut Schmidt dan Ferguson

Iklim Nilai Q Sifat

A 0 ≤ Q < 0.143 Sangat basah

B 14.3 ≤ Q < 0.333 Basah

C 0.333 ≤ Q < 0.600 Agak basah

D 0.600 ≤ Q < 1.00 Sedang

E 1.00 ≤ Q < 0.167 Agak kering

F 0.167 ≤ Q < 3.00 Kering

G 3.000 ≤ Q < 7.00 Sangat kering

H Q > 7.00 Ekstrim

Sumber : Kartasapoetra (2004); Lakitan (2002)

Klassifikasi iklim selanjutnya adalah klassifikasi iklim Oldeman. Dalam penentuan klasifikasi iklimnya, Oldeman menggunakan panjang periode bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Bulan lembab tidak digunakan dalam penentuan klasifikasi iklimnya. Kriteria bulan basah (w!t month ), bulan lembab

(humi" thnom ) dan bulan kering ("#y month ) menurut Oldeman adalah sebagai

berikut: Bulan basah (BB) dengan rata-rata curah hujan > 200 mm; Bulan Lembab (BL) dengan rata-rata curah hujan 100-200 mm; dan Bulan Kering (BK) dengan rata-rata curah hujan < 100 mm (Oldeman dan Syarifuddin 1977).

Tipe Utama klasifikasi Oldeman dikelompokkan menjadi 5 tipe yang didasarkan pada jumlah bulan basah (BB) berturut-turut, sedangkan sub divisinya dikelompokkan menjadi 4 yang didasarkan pada jumlah bulan kering (BK) berturut-turut disajikan pada Tabel 4.


(35)

Tabel 4 Kriteria klasifikasi iklim Oldeman

Tipe Utama BB Berturut-turut Sub Divisi BK Berturut-turut

A > 9 1 < 2

B 7 – 9 2 2 – 3

C 5 – 6 3 4 – 6

D 3 – 4 4 > 6

E < 3

Sumber : Kartasapoetra (2004); Lakitan (2002)

Selain tipe iklim, Oldeman juga membagi dan menentukan zona agroklimat yang didasarkan pada jumlah bulan basah berturut-turut, sedangkan sub divisinya didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut. Kriteria zona agroklimat menurut Oldeman disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kriteria zona agrolimat menurut Oldeman Zona

agroklimat

Jumlah bulan basah berturut-turut

Jumlah bulan kering berturut-turut

A1 9 2

A2 9 2-4

B1 7-9 2

B2 7-9 2-4

B3 7-9 5-6

C1 5-6 2

C2 5-6 2-4

C3 5-6 5-6

C4 5-6 6

D1 3-4 2

D2 3-4 2-4

D3 3-4 5-6

D4 3-4 6

E1 3 2

E2 3 2-4

E3 3 5-6

E4 3 6

Sumber : Kartasapoetra (2004); Lakitan (2002)

$groindustri Gula Tebu

Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri (DPR Republik Indonesia 1984). Industri yang mengolah bahan baku hasil pertanian menjadi berbagai produk yang dibutuhkan konsumen disebut agroindustri (Gumbira dan Harizt 2004). Berdasarkan definisi tersebut, agroindustri dapat dilihat dari bahan baku yang digunakan dan produk akhir yang


(36)

14

dihasilkan. Berdasarkan kedua hal tersebut, digunakan istilah agroindustri tebu dan agroindustri gula tebu.

Pengolahan dalam agroindustri meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik, kimia, atau biologi, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi. Pendistribusian bertujuan untuk memindahkan dan memasarkan produk agroindustri yang dihasilkan ke tangan konsumen. Berdasarkan pengertian tersebut, maka agroindustri tebu adalah industri yang mengolah bahan baku tebu menjadi berbagai produk dengan nilai yang lebih tinggi melalui proses fisik, kimia, pengepakan, penyimpanan, distribusi dan pemasaran.

Agroindustri gula tebu merupakan sistem yang terpadu dan kompleks, mencakup kegiatan budidaya, pemanenan, pengangkutan, penggilingan, dan pemasaran (Higgins dan Muchow 2003). Walaupun kegiatan utama agroindustri pada pengolahan produk pertanian setelah dipanen, namun agroindustri tebu memerlukan keterpaduan antara sektor usaha tani dengan industri pengolahan. Keterpaduan ini dilakukan dalam rangka mengurangi kehilangan produksi, meningkatkan keuntungan sebagai akibat karakteristik bahan baku tebu.

Bahan baku utama pembuatan gula (sakarosa, sukrosa) di Indonesia adalah tebu (%&''(& ) *m of fi'i+& ) *, L.) yang termasuk keluarga Graminacea

(Moerdokusumo 1993). Tebu, selain mengandung sukrosa dan berbagai zat gula yang mereduksi, juga mengandung serat (sabut), zat bukan gula, dan air. Dalam proses pembuatan gula dari tebu, sukrosa harus dipisahkan dari zat dan ikatan bukan gula dalam serangkaian tahapan unit operasi dan unit proses.

Hal fundamental dalam agroindustri gula tebu adalah bahwa tebu bukan hanya sebagai penghasil gula semata, melainkan melihat seluruh potensi yang dikandung oleh tebu. Selain gula, potensi tebu sangat besar dalam menghasilkan energi, fiber, dan pakan ternak (Pakpahan dan Supriono 2005). Tabel 6 menunjukkan komponen-komponen tebu.

Tabel 6 Komponen-komponen tebu (%)

Komponen Batang bersih Ujung+daun

Total gula 15.43 2.18

Sukrosa 14.10

-Lignoselulosa (fiber) 12.21 19.80

Abu 0.54 2.31

Total bahan kering 29.00 26.00

Air 71 74

Lain-lain 0.82 2.43

Sumber : Pakpahan dan Supriono (2005)

Tabel 6 menunjukkan bahwa tebu terdiri dari beberapa komponen yang dapat menghasilkan produk diversifikasi selain gula. Struktur dan kandungan tebu membuatnya sangat menarik bagi industri pengolahan yang akan menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Selama ini yang menjadi perhatian utama dari tebu adalah sebagai penghasil gula, padahal potensinya jauh lebih besar dari itu. Tebu menghasilkan produk turunan sekitar seratus lima puluh jenis produk, diantaranya asam amino, vitamin, asam organik, pelarut, polimer, protein, enzim, etanol, silase, selulosa, energi danbiodegradable plastic, disajikan pada Gambar 1.


(37)

Tebu

Pucuk Daun

Nira

Bagasse

Makanan Ternak

Gula

Molasse

Blotong

Bahan Bakar Partikel Board

Pulp Selulosa Makanan Ternak

Furfural

Bahan Makanan Gula Cair Gula Padat

L-lysin Asam Organik Asam Glutamat

Bahan Kimia Makanan Ternak

Protein Sel Tunggal

Semen Mansory Semen

Bahan Cat Pupuk

Furniture Kertas

Flavor Polimer

Pelarut Bahan Penolong

Industri Logam

Makanan dan Minuman

Etanol

Monosodium Glutamat

Asam Asetat Bahan Bakar Ester Asetat

Gambar 1 Pohon industri tebu (Suhada 2012)

Serasah merupakan bahan kering tebu yang dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik (Iqbal 2012). Selain itu bagian pucuk daun tebu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Kuswandi 2007).

Proses pengolahan tebu tidak hanya menghasilkan gula sebagai hasil akhir, akan tetapi akan dihasilkan juga beberapa produk samping (by-product), antara lain: ampas (bagasse), blotong (filter cake) dan tetes (molasses).

Ampas ataubagassemerupakan bahan kering yang berasal dari batang tebu. Ampas merupakan limbah hasil penggilingan tebu. Ampas mengandung energi, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan bakar utama pada boiler. Ampas juga


(38)

16

mengandung selulosa (fiber ), sehingga kelebihan ampas dapat dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan kertas dan partikel board. Ampas juga merupakan bahan organik, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos.

Blotong (filter cake) merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pemurnian nira. Blotong dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik melalui teknik pengomposan (Erica 2012). Pupuk blotong dapat memperbaiki sifat fisik tanah, khususnya meningkatkan kapasitas menahan air, meningkatkan laju pencucian hara, dan memperbaiki drainase tanah.

Selain blotong, limbah padat yang dihasilkan adalah abu ketel. Abu ketel merupakan hasil pembakaran bagasse sebagai bahan bakar ketel uap di pabrik gula. Melalui teknologi composting, abu ketel dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk organik (Erica 2012).

Komponen terbesar tebu adalah air, sementara industri gula membutuhkan air dalam jumlah besar pada kegiatan produksi. Kebutuhan air dalam industri pengolahan gula tebu dapat dipenuhi dengan mendaur ulang air limbah.

Setelah ditebang, tebu secepat mungkin diangkut ke pabrik untuk segera digiling dalam waktu 24 jam. Apabila lebih lama ditahan, tebu akan menurun kualitasnya karena proses respirasi berjalan terus atau terjadi penguraian sukrosa, yang selanjutnya menurunkan kandungan gulanya (Moerdokusumo 1993).

Pada proses pengolahan tebu menjadi gula dihasilkan produk utama (main product) berupa gula kristal putih dan produk samping (by product) berupa ampas (bagasse), tetes (molasse), dan blotong, disajikan pada Gambar 2 (Rosadi et al. 2004).

Gambar 2 Diagram alir proses pengolahan tebu menjadi gula (Rosadiet al. 2004) Dalam industri pengolahan tebu terdapat unit proses atau stasiun, meliputi stasiun penggilingan, pemurnian, penguapan, kristalisasi, dan stasiun putaran. Disamping itu terdapat juga sarana penunjang yang berfungsi untuk mendukung dan memperlancar jalannya proses produksi, yaitu stasiun boiler, pengolahan air, instrumen listrik, dan workshop (bengkel).


(1)

­ ®¯®°±² ³±²´

*) B

± µ ±¶

L

¶ ¯·±² ³¸ ¹º· ® °

D

±»±

L

±¼ ±²

P

®°¯±²¶±²

B

½³½ °

**) PG

¸ ¶ ²¾±²³µ±¹ ¯

C

¶°®·½²

***) D

¶±¾±¿ ¯± À¶¾±°¶

P

¹ °²½º½ÁÂë ÂÄ

****) PG

¸ ¹·±²³


(2)

ÈÉÊ ËÌÍÉ ÎÅÅÏÐ ÍÉÑ ÉÊ ÉÒ Ò ÉÉÓÍÔ ÌÎÕÖÒ ×Í ÌÓÖØÉ× ÐÙ Ö

*P

ÐÍÒ Ð Î×ÉÒ ÐËÐÍÔØ ÐÚÉ ÎÓÖØ É×ÐÍ ÓÉ Î×ÖÎ ÓËÉ ÕÉ×ÌÎÓÛ É ×ÍÐ ÎÕÐÊÐ Î

L

ÉÊ ËÌÍÉ ÎÅÜÝ ÎÉØÌÒÌÒÎÐÍ ÉÑÉÐ ÎÐÍ ÓÌËÐ Î ÓÓÖÎÉÉ ÎÞ ßàßá á âËÉ ÕÉÛÐ× ÐØ

A

ÒÖÊ Ò ÌãÉ Î ÓÕÌÓÖÎÉÛ É ÎÙÐÍ ÕÉÒÉ ÍÛÉÎÕÉ×É

PG

ä ÖÙÉ ÎÓ

(

ÜåÅæç

P

ÉÙÍÌÛÓÖØ ÉÕÌÍ É ÎÑ É Î ÓÕÐÎÓÉÎÛ É ËÉÒ Ì×ÉÒÓÌØ Ì ÎÓæå åå×Ô Î× ÐÙ ÖËÐÍÚÉÍ ÌÉ× ÉÖÅÜè×Ô Î ×ÐÙ ÖËÐÍéÉÊ ê

Å×Ô Î× ÐÙ ÖÊÐ ÎÓÚÉÒ ÌØÛÉ Îæ ÜêèëÞßàßááâÉ×É Öìíîïðñòóôõ öô÷ê

Å×Ô Î× ÐÙ ÖÊÐ ÎÓÚÉÒ ÌØÛÉ Îå êÆè× Ô ÎÖÉËÉ× É ÖÅ×Ô ÎÞ ßàßá áâÊÐ ÎÓÚÉÒ ÌØÛÉ ÎÜ× Ô ÎÖÉËê

K

Ô ÎÒÖÊ Ò Ì ÐÎÐÍÓÌ ÒËÐÒ ÌøÌ Û

(E

ä

)

ÖÎ×ÖÛ ÊÐÊ ËÍÔ ÕÖÛÒÌ ÓÖØÉ Ò ÐÙÐÒ ÉÍ å êÆ × Ô Î ÖÉ Ë ËÐÍ ×Ô Î×ÐÙ ÖêÝÍ× Ì ÎãÉÖÎ×ÖÛÊÐ ÎÓÓÌØÌÎ ÓÅ× Ô Î×ÐÙ ÖÕÌÙ Ö× ÖÚÛÉ ÎÖÉ ËÒÐÙÉ Î ãÉ ÛåêÆ×Ô Îê

K

Ð× ÐØ ÕÌÍÉ ÎÑÉ Î Ó ÕÐÎÓÉ ÎÛÉ ËÉÒÌ× ÉÒ Æå ë ÕÉÍÌÅÜè ×Ô Î×ÐÙ Ö ËÐÍé ÉÊ É× É Ö Çè× Ô Î ÖÉË ËÐÍ é ÉÊ É× É Ö Åùåå ×Ô Î ÖÉ Ë ËÐÍ ÚÉÍÌ ê

D

ÐÎÓÉÎ ÕÐÊÌÛ ÌÉ Î ÖÎ× ÖÛ Ê ÐÎÓÚÉÒ ÌØÛÉ Î Ò ÐÙÉ ÎãÉÛÅùåå×Ô ÎÖÉ ËËÐÍÚÉÍÌÕÌÙ Ö×ÖÚÛÉÎÞßàßááâÒÐÙÉ Î ãÉÛìúúïðñò óôõ öô÷ê

D

Ð Î ÓÉ ÎÕÐÊÌÛ ÌÉÎ×ÐÍéÉ ÕÌÛÐØ ÐÙ ÌÚÉ ÎÞßàßááâÒÐÙÉ ÎãÉ Ûíî ïðñò óô õ öô÷ê

K

ÐØ ÐÙ ÌÚÉ Î Þßàßá á â ÌÎÌ ÕÉ ËÉ× ÕÌ ÓÖÎÉ ÛÉÎ ÖÎ× ÖÛÙÉ ÚÉ Î ÙÉÛ Ö ËÐÊ Ù ÖÉ× É Î ËÖËÖÛ ÛÔÊËÔÒ ûÙÉ ÚÉÎ


(3)

ÿ ü

(

ü

(

)

! "

! #

#

(

)

$ #

(

)

% !

(

& '( )

)

* !

(

+

)

,- -

(

.&'&/

)

* 0

(

+& &

)

1 0 0!

(

2 3(

)

4

(

.(2 (.'25

)

1-" ! 6

(

.&& &&

)

1-"! "

6

(

).7 &

)

1 6 0

(

.& &

)

8 9

g

9

sse

(

..2 ' +(

)

: ; <=> ?> ?; @A <B <<>AC

D

y

E Eü üýFüG HEG

I

y

E E

(

J J J

)

ü üG H E ü G K L

y

E E

L

(

)

ü MME MG Mý NOGP E Q L

y

E E E E

(

E

)


(4)

VWX YZ[W \S]^ Z_ `[Zab _ZYWa[ Zcdb e Wf Zg\fh \i _ZWai[fW _W [ cW \eh cW _ Z

jWa[Z ckb eW Vh cW _Z

jklbW eWmWfb nbXW `i[Wo`W[W

jkniZmW

y

W \ d nbXW `i[Wo`W[W jkpZ\`WmW \Z_ nbXW `i[Wni eW `W \

jknqii `g\fh eWX Yb \ d VWX Yb \ d

jkkb eWjb ` ZrmW `W[WX VWX Yb \ d

jksb \ dWmW

y

W \d VWX Yb \ d jk

g\fh eWXYb \ dji[cW _W VWX Yb \ d

jkkb \b \dmWfb VWX Yb \ d

jknbaW\d nbaW \dtuWqWsW[ W `

jk

lWf ZYW `i \v lWf ZYW `i \tuWqWsW[ W `

jkuW ` Zrwbxbr mWxW ei \ dcWtuWqWsW[ W `

jkuW ` ZyW \dZ

*

M

WxW ei \ dcWtuWqW

B

W[ W `

PG G

iX Yh e

*

C

Z[iah \tuWqW

B

W [W `

PG

nZ\fW \deWb `

C

Z[iah \t

J

WqW

B

W [W`

PG K

W[W \ d_bqb \ d

C

Z[iah \tuWqW

B

W [W `

PG

wi[ _W \W

B

W[b

C

Z[iah \tuWqW

B

W [W `

PG B

W\fxW[W `XW

*

B

[ia i _tuWqWwi \ dWr

PG J

W ` ZaW[W\d

B

[ia i _tuWqWwi \ dWr

PG P

W\dcW wi dW etuWqWwi \ dWr

PG

nbXai[rW[xh wi dW etuWqWwi \ dWr

PG

n[W dZ

P

i cWeh \dW \tuWqWwi \ dWr

PG C

i[ Z YZ\d

*

K

i \fW etuWqWwi \ dWr

PG K

W eZaWdh [

*

B

W \zbXW _tuWqWwi\dWr

PG M

Wfb cZ_X h {h dzWcW[`W

PG

wW_ Z cXWfb

K

W[W\ dW \zW[tuWqWwi \ dWr

PG C

h ehX Wfbv

K

W[W\ dW \zW[tuWqWwi \ dWr

PG C

iYi[

B

W[bv

K

eW`i \tuWqWwi \ dWr

PG G

h \fW \d

B

W[b

K

eW`i \tuWqWwi \ dWr

PG M

hxh YW \ddb \ d wb eb \dWdb \ dtuWqWwZXb[

PG M

i[ Z|W \

K

if Z[ ZtuWqWwZX b[

PG N

dWf Z [ixh

K

if Z[ ZtuWqWwZX b[

PG P

i_W \`[i \sW[b

K

if Z[ ZtuWqWwZX b[

PG K

iah \}db \ d

M

W eW \dtuWqWwZXb[

PG K

[iai `

B

W[b

M

W eW \dtuWqWwZXb[

PG K

ifWqb \ d

P

W _b[bW \tuWqWwZX b[

PG G

i \f Z\d

P

[hah e Z\ddhtuWqWwZXb[

PG

yh \h eW \db \

P

[hah e Z\ddhtuWqWwZXb[

PG J

W ` Z[h `h

L

bXWxW\ dtuWqWwZXb[

PG P

WxW[W cW \

P

[hah e Z\ddhtuWqWwZXb[

PG

niX ah[h

J

iX ai[tuWqWwZXb[

PG P

[Wfxi cW \

B

h \fhqh _htuWqWwZXb[

PG D

i

M

W _ _v nZ`bah \fht

J

WqWwZX b[

PG

y[ Z\dZ \W \hX nZ`bah \fht

J

WqWwZX b[


(5)

‚ƒ „…†‚ ‡~ ˆ

(

‰‚ ‡Š‹Œ‚ ‡

)

‚Ž†…‹‰ ‚ ‘‚’…

 “ ’”ƒŽ‚•‹’ –…Œ ‹Ž‘‡—‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 œ”‡— ”‡• ‹—‹’˜™‚š‚›”‡•‚ž

 ‚…’Ÿ‚†‹  ‚Œ…˜™‚š‚› ”‡•‚ž

 ›†‚ ‡•…‰ ‚Œ…˜™‚š‚› ”‡•‚ž

 ¡‘Š‘ –†‚• ”‡˜™‚š‚›”‡•‚ž

 ‹†š‘—‚—… ¡‚• ”Œ‚ ‡˜™‚š‚›…ƒ‹†

 

œ”Š‘ ’‚† … ¡‚• ”Œ‚ ‡˜™‚š‚›…ƒ‹†

 ‚•‘Œ‚ ‡ ¡‚—…‹ ‡˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 ‚‡…•‘†‘ ¡‚—…‹ ‡˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 

œ”—Š‘‚•‹ ‡•Ÿ‚ †‹ ¡‚—…‹ ‡˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 – ‘ ”— ž‘‡‘ ¢•‚š…˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 ”’Œ‚ † … ¢•‚ ‡Š‹˜™‚š‚›…ƒ‹†

 ™ ‘ƒŽ‚‡•Ÿ‚†‹ ™‘ƒŽ‚ ‡•˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 £‹…† ™‘ƒŽ‚ ‡•˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 ”ƒ„‘‰†”„ ¡‘Š‘ ”†Œ‘˜™‚š‚›…ƒ ‹†

 †…‚ ‡  –…—‘‚† Š‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 

¤‚Œ‹Œ ‹‰ …’ –…—‘‚† Š‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 ›‹‰ ‚ ‡•‚ ‡ –…—‘‚† Š‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 †”ƒŽ‹ ‡• –…—‘‚† Š‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 

£‚ ‡—… –…—‘‚† Š‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 ¥‰”‚ ‡ –…Œ ‹Ž‘‡—‘˜™‚š‚›…ƒ‹†

 £‚ƒ ƒ … ‡•Ÿ‘‡” Ÿ‘‡”˜–‹‰‚š ”’…–”‰ ‚Œ ‚ ‡

 “†‚’‘ ”Ÿ‘‡” Ÿ‘‡”˜–‹‰‚š ”’…–”‰ ‚Œ ‚ ‡

 ›‚‚‰ ‚† ›‚‚‰ ‚†˜–‹‰ ‚š ”’…–”‰‚Œ ‚‡

 ›‘‰‘‡•‚ž‹‰‚¦‘†‘‡Œ‚ ‰‘ ‘†‘‡Œ‚‰‘

 ”‰ ‚…ž‚†…

*

PG B

‰‘†‚

PG L

‚ƒ‘‡•‚‡

K

‚‰ …ƒ‚ ‡Œ ‚‡–”‰ ‚Œ ‚ ‡

B

‰‘†‚˜™‚š‚›”‡•‚ž

L

‚ƒ‘‡•‚ ‡˜™‚š‚›…ƒ ‹†


(6)

©ª «¬­¬ ®¯ª °±²

³´µ ¶ ·¸ ´¹ º»¼½¾¿À¼Á¼Â¼ à ÄļÅÆÇÄÈÉ ÈɧÊËÊÁ ¾Ì¼Â¼ ÃÍ ÎÀÀ ÏÃÄÐѼ ÒÈÀ¼  ÏÃ

Í ÎÀÀ ÏÃÄÐÍ ÈÅ ¼Ó ÏÉ ¾Í ÏÅ ¼Â ¼ ÃºÇ Ã¼ ÔÔÏÕÖÁ¼¿ ¾ËÒÏ¿É ¼ ÈÁ¼¿¼À ¼ ɼ à ļÃ׺ØȽ¼ÙÙ ¼Á

ÚÉ ¼

(

Ç ÅÙ ºÛÁ Ïà ļ Ã×ܺ Ç ¿ ¾Ý¼ ½ºØÏÙÈż ¾ À ÏÃÁ ¾Á ¾ Ô¼ÃÁ¼É¼¿ Á ¾ ÍÞߺ Öؼ¾¿ ÎÀ ÎÅ Ï Ì¼Â¼ ÃÍ ÎÀÀ ÏÃÄÐѼ ÒÈÀ¼  ÏÃÍ ÎÀÀ ÏÃļ ½Èà §Ê¨ËÁ¼ à¼Ù¼Â§ÊÆàºØÏż ÃÜ ÈÂÔ¼ÃÁ ¾

Í Øáߺ §Ì¼Â ¼ ÃÍ ÎÀÀ ÏÃÄÁ ¼ à¼Ù ¼Â¼ ½ÈçÊÆÖºØÏÅ ¼ÃÜÈ Լ ÃÁ ¾Í ØÇߺ§Ì¼Â ¼Ã

Í ÎÀÀ ÏÃÄ Á¼ à  ¼Ù ¼Â §ÊÆƺ ØÏÅ ¼ÅȾ À¿ÎÄ¿ ¼Ù áÏÃÏÅ ÈÉ È¿¼ à ؾ ü â¼Ô¼Â Á¼Ã

Ñ ÏÙ ¼Ù À ȼ Ã

(

áØÞÑ

)

Þ ¾ÂÜÏà ޾Ô¾ Þ ÏÀÁ ¾ ÔÃ¼É Á ¾ÂÏ¿¾Ù¼ Á ¾ ãÈ¿Èɼ à á ÏÃÁ ¾Á ¾Ô¼ à äÏÔÃ¾Ô ØÏÉ ¾ à ÚÑÚá åÜ ÈÃÄ á ¼ ÃÁ¼ à Ä

(

åþæ Ï¿ É ¾Â ¼É ßÏÄÏ¿¾ ؼ Ô¼ Éɼ¿

)

 ¼½Èà §ÊÆÆ Á¼ Ã É ÏÅ ÏÉ ¼ ¾ ¼ ½Èà §ÊÊçº

ØÏÃÁ¼À¼Â Ô¼ à âÏ¼É ¾ ÉÓ¼ äÈÃÜ ¼ à ļ à ÚԼ ¼ à ޾üÉ

(

ä ÚÞ

)

Þ ¾ÂÜÏÃ Þ ¾ Ô ¾ Þ ÏÀÁ ¾Ôü É À¼Á¼ ÉÏÙÏÉ Ͽ è ɼ٠À¼¾ É ÏÙ ÏÉ Ͽ Úéº ØÏÅ ¼Å Ⱦ À ¿ÎÄ¿¼Ù

À ÏÙ¼ Ãݼ ¼Â ¼ à ÏÔÉ ÀÏÃÏ¿¾ Ù ¼ âÏ¼É ¾ ÉÓ ¼ ä ÚÞ Ð ÔÏÙ ÈÁ ¾¼ à Á ¾Â ÏÙ À¼ÂÔ¼ Ã É ÏҼļ¾  Ïü ļ

À ÏÃļܼ¿

(

Á ÎÉÏÃÛ Á ¾ á¿ÎÄ¿¼Ù Í ÈÁ ¾ áÏÃÁ ¾Á ¾ Լà äÏÔþ Ô ØÏÉ ¾Ã ê¼ ÔÈÅ ¼ É ÑÏÄÈ¿ ȼ à Á¼ ÃÚÅ Ù ÈáÏÃÁ ¾Á ¾Ô¼ Ãå þæ Ï¿ ɾ¼ ÉßÈɼë ÏÃÁ ¼ üÁ ¾ÑÈÀ¼ à ÄÐß ÈɼäÏà Äļ ¿¼ä¾Ù È¿

É ÏÜ ¼ Ô § ؼ¿Ï §ÊÊìº Ø Ïż ÃÜÈ Լ à À ÏÃÁ ¾Á ¾Ô¼ Ã Í à Á ¾ á ¿ Î Ä¿¼Ù ÍÂÈÁ ¾ ØÏ Ô¼ þ ɼ É ¾

áÏ¿Â ¼ þ¼ à åþæ Ï¿É ¾Â ¼ É í¼Áܼ ½ ؼÁ ¼ îÎ Ä ï¼ Ô¼ ¿Â¼ ¼ ½Èà §ÊʨÕàðððº

D

¾ÂÏ¿ ¾Ù¼ É ÏҼļ ¾ Ù¼ ½¼ ɾ ÉÓ ¼ À¿Î Ä¿¼Ù Í ç Á ¾

P

¿ ÎÄ¿¼Ù Í ÈÁ ¾ äÏÔÃÎÅ Îľ

I

ÃÁ ÈÉ¿ ¾

P

Ͽ¼ þ¼ÃÐ

I

ÃɾÂÈÂ

P

Ͽ¼ þ¼ Ã

B

Î ÄοР¼ ½Èà àð§ðº

M

ÏþԼ ½ Á ÏÃļ Ã

M

¾Ã¼¿Â ¾ Ã¾Ð Í ºá ÁºÐ ¼ ½Èà àðððÐ Á¼ à Á ¾Ô¼¿Èþ¼ à Î ¿¼ Ã Ä À È¿ ¾Ð ñ¾ ÝÔ¼

A

Ãþ ɼ

F

¼ ½¿ ¾

M

Ƚ¼Ù Ù¼ÁÐ Å ¼ ½¾¿ ¼ ½Èà àðð§ÐÁ¼ ÃñÏòÔï

D

Ó ¾Ì ¼½ ïÈþ

F

¼ ½¿¾

M

Ƚ¼Ù Ù¼ÁÐż ½¾¿Â ¼½ÈÃàððÖº

Í ÏÅ ¼Ù ¼ ÙÏà ľ ÔÈ ¾ À¿Î Ä¿ ¼Ù Á ÎÔ ο¼ÅÐ À ÏÃÈÅ ¾ É ÒÏ¿ ɼټ ÔÎÙ ¾ É ¾ À ÏÙÒ¾ÙÒ¾ÃÄ

 ÏÅ ¼ ½Ù ÏÃÈÅ ¾ Éü É Ô¼ ½Ü ȿüÅÒÏ¿Ü ÈÁ ÈÅ ó

M

ÎÁ ÏÅ

P

ÏÃÈ ÃÜ ¼ÃÄÑÏÀ È ÈɼÃ

P

ÏÃÄÏÙÒ¼ ÃļÃ

A

Ä¿ ξÃÁ ÈÉ ¿¾

G

Èż äÏÒÈ

(

ÍÂÈÁ ¾

K

¼ ÉÈÉ Á ¾

P

¿Îæ ¾ ÃÉ ¾

N

Èɼ ä Ïà Äļ¿¼ ä ¾ÙÈ¿

)

ô ÔÏÁ ȼ ÒÏ¿ÜÈÁ ÈÅó õö÷

o

o

n

ø ù÷ ú ûúüö÷ú ýþ öþ ÿ ü ü úþöþúö ö ú ú ú ÷ þö ú ý ÿ ý ö öþ ýú þ ÿ÷úö öþþúþ ó ö ÷ ÿ ö÷ ö þ ö ö ý úþ

þ ÿýþú öô Á¼ à ÔϾļ ÒÏ¿ÜÈÁ ÈÅ ÷öú þöú ú÷ þö ú ý ö öþ

ýúþ ÿ ÷ú ö ý ùûþ÷

(

ö ÷ ÿ ö÷ ö þ ö ö ý ú þ

þ ÿýþú ö

)

º

N

¼ É Ô¼ ½ ÜȿüŠÀ Ͽ¼٠¼ ÂÏÅ ¼ ½ Á ¾  Ͽ¾Ù¼

(

ö ù÷ ÿ

)

À¼Á ¼

J

È¿ üŠäÏÔÃÎÅ Îľ

I

ÃÁ ÈÉÂ ¿¾

P

Ͽ¼ þ¼ à è Îź àì ä¼½Èà àð§ìРü É Ô¼½ Ü È¿ üŠÔÏÁȼ  ÏÅ ¼½ Á ¾ Ô¾¿ ¾Ù

(

ûú÷

)

À¼Á¼ÜȿüŠú ÷ ö ÷ û ÐÁ¼ Ã Ã¼É Ô¼ ½ Ü È¿ üÅÔÏ ¾ ļÂÏż ½ Á ¾ Ô¾¿ ¾Ù

(

ûú÷

)

À¼Á¼ý þö ý ý ú÷ ú ö öþ ÿ ùùú ÿþ ý ûö÷ úýþ þý ý º