86 Sementara itu dari wawancara dengan
A. Dt. Malikan Nan Panjang Ketua LAN atau Pucuk Adat Nagari Mungo terungkap bahwa
keberadaan tanah ulayat sudah sangat terbatas. Namun luas tanah ulayat, baik dalam
bentuk hutan maupun yang masih kosong, tidak dapat dinyatakan secara pasti, tetapi dari
observasi lapangan terlihat bahwa semua lahan atau tanah di Nagari Mungo sudah dimanfaatkan
untuk berbagai kepetingan pertanian, perkebunan, peternakan, pemukiman dan
untuk prasarana dan sarana di nagari. Dengan demikian anak kemenakan dari masing-masing
suku untuk memperluas areal pertaniannya sudah sangat terbatas sekali, boleh dikatakan
tidak ada lagi peluang.
2. Eksistensi Tanah Ulayat
Tanah ulayat di Minangkabau merupakan esensi yang sangat penting untuk
dipikirkan eksistensinya karena tanah ulayat adalah salah satu pilar yang mendukung
pembentukan masyarakat hukum adat di Minangkabau
2
. Mengingat begitu pentingnya eksistensi tanah ulayat bagi masyarakat hukum
adat, bagaimanapun gencarnya intervensi, baik yang datang dari dalam internal maupun yang
datang dari luar eksternal, untuk menggusur eksistensi tanah ulayat, namun masyarakat
hukum adat di Minangkabau tidak akan rela melepaskannya begitu saja. Eksistensi tanah
ulayat dapat dipelajari dari berbagai aspek; asal-usul tanah ulayat, kelembagaan tanah
ulayat, fungsi tanah ulayat, dan intervensi terhadap eksistensi tanah ulayat.
Asal-usul eksistensi tanah ulayat di Minangkabau telah terbentuk semenjak
kedatangan nenek moyang Minangkabau. Semua wilayah Minangkabau mulai dari daerah
pegunungan sampai ke daerah lembah sudah diulayati
3
oleh raja-raja gunung dan raja-raja sungai dengan sistem, hutan jauah baulangi,
hutan dakek bakundano. Hutan jauah baulangi, artinya sekalipun hutan itu belum diolah namun
tetap dikunjungi secara berkala oleh yang empunya ulayat. Hutan dakek bakundano,
atinya hutan itu sudah diolah untuk dijadikan tempat perladangan taratak, atau untuk
pemukiman dusun atau koto. Menurut
2
Adat Minangkabau sebagai salah satu aset bangsa Indonesia mempunyai ciri yang sangat berbeda dengan
adat etnik lainnya yaitu sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan menurut garis keturunan ibu.
3
Menurut hemat peneliti mungkin dari sini pulalah lahirnya mamangan di Minangkabau yaitu: “tidak
sejengkal tanah pun di Minangkabau yang tidak berpunya”, sesuai dengan pendapat Hermayulis 2000:
56, tanah sudah terbagi habis menjadi tanah ulayat suku, yaitu tanah yang berada di bawah kewenagan
kepala suku penghulu suku,
Mahmud 1982: 92-95 limbago adat di Minangkabau yang mempunyai kewenangan
untuk menata dan mengatur penggunaan, pemanfaatan dan pencadangan tanah adalah
lembaga adat suku. Fakta ini dapat dipahami, oleh karena pembentukan nagari didahului
dengan terbentuknya suku. Di mana pembentukan nagari disyaratkan minimal harus
ada empat suku, sesuai dengan mamangan: nagari baampek suku, dan suku baampek paruik
nagari mempunyai empat suku, dan suku mempunyai empat sub-suku. Dengan demikian
jelaslah bahwa suku dalam pembentukan nagari mempunyai peranan penting. Adapun teritorial
nagari adalah meliputi ulayat dari suku-suku yang bersepakat untuk mendirikan sebuah
limbago adat nagari.
Fungsi tanah ulayat secara rinci dapat dipelajari dari tiga aspek, yaitu; dari aspek
sosial budaya, dari apek sosial ekonomi, dan dari aspek jaminan sosial. Dipandang dari aspek
sosial budaya, fungsi atau penataan tanah ulayat oleh masyarakat hukum adat terkait erat
dengan sistem kekerabatan, di mana tanah ulayat dapat dianggap sebagai unsur perekat
antarwarga masyarakat hukum adat dan antarwarga masyarakat hukum adat dengan
pimpinannya.
Fungsi tanah ulayat dalam masyarakat hukum adat di Minangkabau dipandang dari
aspek sosial ekonomi adalah untuk menjadikan warganya hidup sejahtera lahir dan batin.
Sehubungan dengan ini, seluruh warga masyarakat hukum atau secara individual didorong untuk
membangun hubungan ekonomi dengan tanah ulayat, dengan ketentuan; yang lereng dijadikan
tempat berladang, yang berair dijadikan sawah, dan yang tungang dijadikan hutan.
Fungsi tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat dipandang dari aspek jaminan
sosial adalah sebagai representasi dari sebuah model jaminan sosial tradisional. Konsep tanah
ulayat sebagai sebuah model jaminan sosial tradisional akan semakin efektif pada saat-saat
di mana pemerintah tidak memberikan jaminan sosial dan ekonomi kepada warganya. Oleh
karenanya, tanah ulayat dipandang dari aspek jaminan sosial adalah untuk dapat memenuhi
kepentingan umum generasi sekarang dengan tidak mengabaikan kepentingan dari generasi
yang akan datang. Atau dengan kata lain, lahan sebagai sumber daya ekonomi harus dijaga
kelestariannya melalui penataan penggunaan, pemanfaatan, dan pencadangan, serta menjaga
keseimbangannya. Artinya tanah ulayat harus digunakan sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya, jangan sampai lahan yang miring dijadikan tempat perladangan karena
dapat menimbulkan erosi yang dapat merusak kesuburan lahan, dan banjir. Lahan yang miring
87 hendaklah terus dipertahankan untuk selalu
ditutupi pepohonan atau dijadikan hutan. Menurut Nurullah 1999: 9 tanah
ulayat di Minangkabau erat sekali kaitannya dengan sistem matrilineal yang dianut oleh
masyarakat Minangkabau.
3. Konflik Tanah Ulayat antara Nagari Mungo dengan Balai Peternakan Ternak