Profil Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh

  TINJAUAN PUSTAKA Profil Provinsi Aceh

  Provinsi Aceh yang beribukota di Banda Aceh, membentang 2 ˚ – 6˚ LU dan

  95 ˚– 98˚ BT. Provinsi seluas 58.375,63 km2 ini memiliki 119 pulau besar dan kecil, 35 gunung, 73 sungai besar, dan dua buah danau (BPS, 2009; Bappeda Provinsi

  Aceh, 2007). Batas wilayah Provinsi Aceh sebelah Utara dengan Selat Malaka, Sebelah selatan berbatasan dengan Sumatera Utara, Sebelah timur dengan Selat Malaka, dan sebelah barat dengan laut Indonesia. Ketinggian rata-rata Provinsi Aceh adalah 125 meter dari permukaan laut. Secara administratif terbagi ke dalam 18 Kabupaten dan 5 Kota, 276 kecamatan, 731 mukim, dan 6.424 desa.

  Karena letaknya dilalui garis katulistiwa, iklim di Aceh adalah tropis, yang dalam setahun terdiri dari musim kemarau dan hujan. Secara umum, musim kemarau berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus dan musim hujan dari bulan September sampai Februari. Curah hujan sekitar 1000-2000 mm di daerah pantai, 1500-2000 mm di daerah tinggi dan di pantai barat daya. Suhu di dataran yang lebih rendah adalah 25° C dan dataran tinggi 27° C dengan kelembaban udara antara 60-90%.

  Profil Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi Aceh

  Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Aceh dulunya bernama BPT dan HMT, yang didirikan oleh Drh. Mohd. Roesli Yoesoef (Alm) Kadis Peternakan dan Kakanwil Deptan Provinsi DI Aceh yang merupakan lanjutan dan pilot proyek (small No. 331/Kpts/Org/5/1978 tanggal 25 Mei 1978 (tahun berdirinya BPT dan HMT) selanjutnya dengan adanya SK Mentan No. 282/Kpts/T.210/4/2002 tanggal 6 April 2002 maka BPT dan HMT berubah namanya menjadi BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Sapi Aceh Indrapuri – Aceh.

  Dalam perkembangannya BPTU Sapi Aceh terjadi pasang surut konflik dan musibah tsunami beberapa tahun yang lalu sehingga sangat berpengaruh terhadap kegiatan dan kelangsungan balai. BPTU Sapi Aceh mempunyai visi “Terwujudnya Pembibitan Sapi Aceh di UPT dan Masyarakat guna pelestarian plasma nutfah” dan misi “Meningkatkan produktifitas Sapi Aceh untuk meningkatkan persediaan bibit sapi Aceh, meningkatkan pendapatan peternak, dan melestarikan sumber daya peternakan Sapi Aceh dan plasma nutfah.

  Pada saat ini BPTU sapi Aceh Indrapuri didukung oleh sumber daya manusia sebanyak 121 orang yang terdiri dari 83 orang PNS/CPNS dan 38 orang tenaga harian lepas yang latar belakang pendidikannya tediri dari Magister, Dokter hewan, sarjana peternakan/pertanian dan sarjana lainnya, Sarjana Muda, Snakma, SLTP dan SD.

  BPTU Sapi Aceh mempunyai topografi berbukit-bukit, berlembah juga datar dibagian tengah dengan ketinggian 30-80 meter dari permukaan laut. Sedangkan

  o

  iklim di BPTU adalah beriklim panas dengan suhu rata-rata 27,5 Celcius dengan kelembaban 81,8% curah hujan rata-rata 1.147 mm dengan hari hujan 98 hari.

  Ternak Sapi Aceh yang ada pada BPTU Sapi Aceh berjumlah 513 ekor. Luas lahan milik BPTU Indrapuri yang bersertifikat adalah 430 Ha, lebih kurang 30% rumput 49 Ha untuk padang pengembalaan dan 80 Ha untuk rumput potong (BPTU,2010).

  Klasifikasi Bangsa Sapi

  Menurut Blakely dan Bade, (1992) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Subphylum Vertebrata, Class Mamalia, Sub class Theria, Infra class Eutheria, Ordo Artiodactyla, Sub ordo Ruminantia, Infra ordo Pecora, Famili Bovidae, Genus Bos (cattle), Group

  

Taurinae , Spesies Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi India/sapi zebu), Bos

sondaicus (banteng/sapi Bali).

  Grup Genus Spesies liar Spesies domestikasi

  Bos Taurus Taurine breeds

  Bos primigenius Aurochs (Punah)

  Bos indicus

   Bangsa Zebu

  Bos Bos [Bibos] banteng Bos [Bibos] banteng ( banteng liar) (sapi Bali)

  Bos [Bibos] gaurus Bos [Bibos] frontalis (Gaur liar) (sapi Mithan)

  Bos [Bibos] sauveli (kouprey)

  Bovin i Poephagus Poephagus mutus Poephagus grunniens

  (yak) (yak domestik) Bison bison (Bison Amerika)

  Bison

  Bison bonasus (bison Eropa)

  Sapi Lokal Indonesia

  Menurut Wiyono dan Aryogi, (2007); Noor, (2000) Sapi potong lokal Indonesia sebagai ternak asli mempunyai keragaman genetik yang cukup besar dan terbukti mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tropis yang kering, kuantitas dan kualitas pakan yang terbatas, relatif tahan serangan penyakit tropis dan parasit, serta performans reproduksinya cukup efisien, sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai materi genetik dalam pengembangan sapi potong yang unggul, walaupun produksinya lebih rendah dari ternak impor.

  Perkembangan keragaman genetik bangsa-bangsa sapi di Indonesia mengalami pertambahan dengan adanya migrasi sapi zebu dalam pembentukan bangsa-bangsa sapi lokal Indonesia. Saparto (2004) dan Sutopo (2001) menyatakan bahwa sejak tahun 1806 sampai tahun 1812 telah didatangkan sapi zebu dari India untuk memperbaiki ukuran badan dan meningkatkan produksi daging dari sapi-sapi lokal. Dengan demikian secara konsekuen dapat diasumsikan bahwa populasi sapi Indonesia merupakan hasil hybrid individuals antara sapi asli (native stock) dengan bangsa zebu.

  Tabel 1. Populasi dan penyebaran sapi lokal Indonesia N Jenis Sapi Rataan Populasi Pertumbuhan Penyebaran populasi o (ekor) Populasi(%)

  1. Sapi Bali >90.000 2,8-5,9 Bali,NTT,NTB

  2. Peranakan 75.000 – 778.000 2,8 – 6,6 Jawa, Lampung, Ongole

  Sulsel, Sumut,

  3. Sapi Aceh 586.000 4,4 NAD

  4. Sapi Pesisir 54.000 3,7 Sumatera barat

  5. Sapi Madura 437.000 5,9 Sumenep, Bengkulu

  6. Sumba Ongole 43.000 5,2 NTT

  Sumber : Ditjennak, 2011

  Di Indonesia terdapat Bos (Bibos) banteng yang diyakini sebagai nenek moyang sapi yang menurunkan sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia. Diperkirakan pulau Jawa merupakan pusat domestikasi dari keturunan Bibos ini dan menyebar ke daerah lain (Pane, 1993) Saparto (2004) menyatakan bahwa bangsa sapi Jawa terlihat di pulau Jawa, sehingga dinamakan sapi Jawa Sugeng (1996) menyatakan bahwa para ahli berpendapat sapi Jawa merupakan sapi lokal yang berasal dari persilangan Bos

  Indicus (Zebu) dan Bos sundaicus atau Bos bibos. Bos bibos merupakan sumber asli bangsa-bangsa sapi Indonesia.

  Tabel 2. Populasi sapi lokal di Provinsi Aceh tahun 2011

  Sapi Lokal Sapi Lokal No Kabupaten/Kota No Kabupaten/Kota Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Sapi Aceh Bali PO Aceh Bali PO

  1 Aceh Besar 96,789 8,089 165

  13 Aceh Barat 4,039 343

  2 Pidie 61,738 2,715

  14 Nagan Raya 12,967 2,258

  3 Pidie Jaya 27,610 1,206

  23

  15 AcehBaratDaya 1,334 481

  4 Bireuen 69,692 3,567

  76

  16 Aceh Selatan 1,018 269

  5 Aceh Utara 97,394 7,450

  32

  17 Aceh Singkil 3,414 852

  6 Aceh Timur 100,992 5,740

  18 Simeulue 1,429 232

  7 Aceh Tamiang 33,953 2,736

  19 Banda Aceh 928 338

  8

  8 Bener Meriah 306 186

  20 Sabang 1,962 193

  9 Aceh Tengah 5,005 2,206

  11

  21 Lhokseumawe 9,317 1,234

  14

  10 Gayo Lues 2,629 978

  22 Langsa 6,431 958

  11 Aceh Tenggara 40,782 4,396

  23 Subulussalam 943 165

  

12 Aceh Jaya 9,643 2,794 Jumlah 546,533 42,063 307

Sumber : Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan, 2011 Karakteristik Sapi Aceh

  Sapi Aceh adalah sapi yang hidup dan berkembang biak di provinsi Aceh dan umumnya dimiliki oleh petani pedesaan sejak dahulu hingga sekarang. Sapi ini termasuk tipe sapi potong beruluran kecil serta mempunyai kontribusi yang cukup

  Sapi Aceh merupakan satu dari empat bangsa sapi lokal indonesia (Aceh, Pesisir, Madura dan Bali). Sapi Sumba-ongole dan Java-Ongole (PO) juga dianggap sebagai bangsa sapi lokal Indonesia (Martojo, 2003; Dahlanuddin et al., 2003).

  Ternak-ternak asli telah terbukti dapat beradaptasi dengan lingkungan lokal termasuk makanan, ketersedian air, iklim dan penyakit. Dengan demikian, ternak-ternak inilah yang paling cocok untuk dipelihara dan dikembangkan di Indonesia, walaupun produksinya lebih rendah dari ternak impor (Noor, 2004).

  Sapi Aceh memiliki bentuk badan kecil, padat dan kompak dengan pundak pada jantan berpunuk, sedangkan pada betina tidak berpunuk namun bagian pundaknya tidak rata sedikit menonjol dibanding sapi Bali betina. Diantara satu daerah dengan kabupaten yang lain dalam provinsi Aceh terdapat sedikit perbedaan baik dalam konformasi tubuh, tanduk maupun warna bulu. Hal ini mungkin disebabkan asal usul persilangan yang berbeda dari sapi India (Hisar, Benggala) dan sebagainya. Pada daerah pesisir dan sepanjang pantai Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, demikian juga pantai Barat dan Selatan akan ditemui sapi Aceh yang bentuk badannya beragam dan umumnya bertanduk lebih panjang dengan warna bulu merah/coklat tua dibagian pinggul dan sapi di daerah Pidie memiliki bentuk fisik sedikit agak kecil mungkin disebabkan karena telah terjadi inbeeding dalam waktu yang lama (Umartha, 2005).

  Sapi Aceh dipelihara secara ektensif, tidak diberi pakan dan tidak disediakan kandang oleh pemiliknya, kalaupun ada bentuknya sangat sederhana. Sepanjang hari

  Penyebaran sapi Aceh lebih banyak pada daerah pesisir pantai dan dataran rendah, dimana menyatu dengan kehidupan masyarakat serta digunakan sebagai tenaga kerja pengolah lahan pertanian, penarik gerobak, angkutan barang hasil pertanian disamping sebagai penghasil daging dan ternak potong (Umartha, 2005).

  Sapi Aceh banyak dipelihara petani disekitar bantaran sungai (krueng) seperti Krueng Aceh, Krueng Pesangan dan Krueng Peusangan. Saat ini jumlah Sapi Aceh terutama induk sebanyak 281.398 ekor tersebar di kabupaten dan kota dalam Provinsi Aceh (Diskeswannak, 2011).

  Menurut Keputusan Menteri Pertanian (2011) Sapi Aceh Merupakan salah satu rumpun sapi lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di Provinsi Aceh, telah dibudidayakan secara turun temurun dan mempunyai keseragaman bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan lingkungan.

  Pola warna bulu anak bervariasi, umumnya berwarna coklat atau merah bata. Warna lainnya adalah putih kelabu, hitam, coklat tua dan coklat dengan garis-garis hitam. Warna bulu anak akan berubah sesuai dengan bertambah dewasanya anak sapi.

  Bila anak sapi dilahirkan dengan warna coklat merah atau merah bata, maka setelah dewasa warna bulunya menjadi hitam atau mempunyai spot warna hitam. Hal ini terutama terjadi pada bagian leher, muka dan daerah paha (Ali, 1980).

  Pola warna bulu sapi Aceh yang muda dan dewasa sangat bervariasi yaitu coklat muda, coklat merah (merah bata), coklat hitam, hitam dan putih kelabu.Warna

  Menurut Namikawa et al, (1982), sapi Sumatera (Aceh dan Pesisir) memiliki bermacam-macam warna yaitu hitam, coklat kehitaman, coklat kuning dan abu-abu putih yang didominasi oleh warna coklat kuning.

  Pada umur 3-4 bulan tanduk belum berkembang (Ali, 1980). Pada sapi betina dewasa bentuk tanduk melengkung dan ukurannya kecil, sedangkan pada jantan lengkung kecil sampai besar dengn warna tanduk hitam keabu-abuan.

  Menurut Abdullah., dkk 2006 bahwa pada umumnya sapi Aceh bertanduk, tetapi terdapat juga sapi Aceh yang yang tidak bertanduk sebesar 7% hanya dijumpai pada betina. Panjang dan bentuk pertumbuhan tanduk beragam dan terus memanjang seiring dengan pertumbuhan sapi. Sapi yang mempunyai tanduk seperti sapi Aceh umumnya dijumpai pada sapi Bali, Madura, PO, dan sapi Pesisir. Namun, disamping ada sapi Aceh yang memiliki tanduk hanya berupa bungkul kecil (18%) seperti yang dimiliki pada sebagian sapi PO, juga ditemukan sapi Aceh yang tidak bertanduk (kupung) sebesar 7%.

  Populasi dan Penyebaran sapi Aceh

  Sapi Aceh merupakan sapi yang tersebar di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Populasi sapi Aceh di Nanggroe Aceh Darussalam diperkirakan sekitar 590.315 ekor dengan pertumbuhan populasi sebesar 4,4% . Keberadaan sapi Aceh tersebar di 21 kabupaten/kota di Provinsi Aceh. Populasi sapi Aceh di Aceh Timur 100.992 ekor, Aceh Utara 97.394 ekor, Aceh Besar 96.789 ekor, Bireun 69.692 ekor, Pidie 61.738 ekor (populasi sapi Aceh secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 2

  5,1%, Aceh Besar 3,3% Aceh Timur 4,9%, Bireuen 4,8% dan Pidie 3,5% (Ditjennak, 2011).

  Persilangan yang semakin luas dengan bangsa sapi eksotik yang dilakukan tanpa evaluasi, kontrol dan memperhitungkan arti penting sapi asli, dikhawatirkan dapat mengakibatkan erosi sumber daya genetiknya, sehingga mengancam keberadaan sapi asli pada masa yang akan datang. Kehilangan gen-gen penting pada ternak asli yang telah beradaptasi dengan lingkungan setempat akan sulit bahkan

  b tidak akan tergantikan (Abdullah, et al., 2008 ).

  Asal usul sapi Aceh

  Sapi Aceh pada mulanya diduga dimasukkan oleh pedagang India pada masa kerajaan Islam pertama di Peureulak yang terbentuk tahun 847M (225 H). Karena pada masa itu sudah terjalin hubungan kerja sama antarnegara dan perdagangan bebas di Aceh terutama lada yang ingin dikuasai seluruhnya oleh pedagang-pedagang dari mesir, Parsi dan Gujarat (catatan sejarah Aceh, catatan Marcopolo 1256 dan Ibnu Bathutah 1345). Perdagangan yang ramai sudah lama terjalin antara Aceh dengan Malaka. Pedagang Arab, Cina, serta India yang datang yang datang ke Aceh, mereka membawa sapi-sapi dari India ke Aceh. Pada abad ke-19 telah menjadi kebiasaan mengimpor ternak melalui Selat Malaka, khususnya ke Pidie dan Aceh Timur Laut

  b (Peureulak) (Merkens, 1926; Abdullah., et al., 2008 ).

  Kehidupan masyarakat Aceh dalam beternak telah berlangsung sangat lama sekali. Masyarakat Aceh telah beternak sebelum mereka beragama Islam, berarti zebu lainnya yang dulunya banyak dijumpai sepanjang pantai Utara-Timur dari daerah Aceh kini telah banyak berkurang. Kekurangan tersebut selain penyembelihan, perdagangan sapi dari Aceh ke Medan, kematian dan tsunami. Sapi zebu yang terdapat di Aceh pada tahun 1950-an lebih sering dikenal dengan sebutan bangsa sapi Benggala, dan ada pula pada wilayah Aceh tertentu menyebut sapi India atau leumo Klieng. Hal ini dikarenakan pada masa itu banyak orang India yang memelihara dan mengusahakan sapi turunan zebu. Sekarang ini banyak sapi turunan temperate tidak dijumpai lagi di Nanggroe Aceh Darussalam.Sapi turunan temperate ini kurang sesuai dalam beradaptasi terhadap kondisi iklim tropik di Aceh dan ditambah lagi dengan kondisi pakan yang kurang memadai dan tidak menguntungkan bagi kehidupan pertumbuhan dan produksi ternak sapi ( Basri, 2006).

  Sapi asli Indonesia (Aceh, pesisir, Madura, Sumba-Ongole dan Java-Ongole (PO) merupakan hibridisasi banteng termasuk sapi luar yang masuk ke Indonesia dan telah cukup lama berada di Indonesia sehingga berkembang biak sesuai dengan lingkungannya. Sapi Indonesia telah mengalami seleksi alam dengan berbagai tekanan iklim tropis basah, pengaruh interaksi genetik dan lingkungan dan telah berdaptasi terhadap wilayah seperti pakan berkualitas rendah dengan segala penyakit dan ekstoparasit lokal yang ada di wilayah tersebut, Sehingga telah memunculkan fenotip-fenotip baru yaitu yang dimilki sapi Aceh, Pesisir, Madura, Bali, SO dan PO

  b (Abdullah, dkk., 2008 ).

  Keunggulan Sapi Aceh

  Sapi Aceh mempunyai keunggulan yang sangat menonjol,terutama pada daya reproduksinya, karena sapi Aceh tergolong ternak masak dini dengan birahi postpartum sangat singkat. Disamping itu sapi Aceh mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang relatif cepat terhadap lingkungan baru pada beberapa faktor pendukung lokal yang tersedia, terutama kemampuan adaptasi atas berbagai pakan lokal, baik terhadap jenis pakan serat segar dan kering yang berasal dari dedaunan, rumput dan leguminosa. Menurut Gunawan (1998) Sapi Aceh mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang buruk seperti krisis pakan, air dan pakan berserat tinggi, penyakit parasit, temperatur panas dan sistem pemeliharaan ekstensif tradisional.

  Keunggulan yang dimiliki oleh sapi Aceh sebagai sapi potong lokal: (1) Merupakan plasma nutfah Indonesia (2) Tingkat adaptasi terhadap lingkungan tropis sangat baik (3) Kapabilitas terhadap pakan berkualitas rendah (4) Relatif tahan terhadap parasit internal dan eksternal (5) Produktivitas baik (6) Karkas berkisar 49% (7) Struktur daging memiliki jaringan lebih halus, padat dan lebih baik dari sapi Brahman dan Peranakan Ongole (Deptan, 2011).

  Sapi Aceh tergolong sapi yang dagingnya sangat gurih rasanya, sehingga daging sapi Aceh ini sangat disenangi dan diminati banyak orang yang mengonsumsi daging. Kenyataan ini terbukti bahwa pada tahun 1969-1975, pemerintah Malaysia, Singapura, Hongkong dan Thailand pernah mengimport sapi Aceh dari Aceh yang diberangkatkan melalui pelabuhan Ulhe Lheue, Aceh Besar untuk keperluan

  Menurut ILRI (1995) sapi Aceh merupakan sapi tipe kecil yang ditemukan di daerah Aceh. Sapi Aceh resisten terhadap temperatur tinggi sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan. Ketahanan ternak lokal terhadap lingkungan yang ekstrim telah diuji melalui hewan percobaan mencit (Mus musculus) oleh Abdullah et al. (2005) bahwa mencit liar yang telah teradaptasi dengan lingkungan dengan segala perubahan yang ada mempunyai gen daya produksi dan reproduksi yang lebih unggul terhadap stres lingkungan dibandingkan mencit laboratorium.

  Menurut Keputusan Menteri Pertanian, 2011 tentang penetapan rumpun sapi Aceh menyatakan bahwa sapi Aceh merupakan salah satu rumpun sapi lokal Indonesia yang mempunyai sebaran asli geografis di provinsi Aceh dan telah dibudidayakan secara turun-temurun, sapi Aceh merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Sapi Aceh merupakan salah satu rumpun sapi lokal Indonesia yang mempunyai keseragaman bentuk fisik dan komposisi genetik serta kemampuan adaptasi dengan baik pada keterbatasan lingkungan. Sifat kuantitatif (dewasa) Sapi Aceh jantan mempunya bobot badan 253 ± 65 kg dan bobot sapi betina 148 ± 37 kg, persentase karkas yang dimiliki sapi Aceh berkisar 49 – 51%. Sifat reproduksi yang dimiliki sapi Aceh adalah kesuburan induk 86 – 90%, angka kelahiran 65 – 85%, umur Pubertas 300 – 390 hari dan lama kebuntingan 275 – 282 hari. Sedangkan sifat produksi sapi Aceh yaitu mempunyai daya adaptasi yang baik, kemampuan kerja yang baik dan daya tahan terhadap penyakit yang cukup baik.

  Manajemen Pemeliharaan Sapi Aceh

  Sapi Aceh Umumnya ditangani oleh masyarakat pedesaan dengan sistem tradisional, yaitu peran alam masih dominan, skala usaha kecil, pengadaan bibit, pemberian pakan, pemeliharaan dan perkandangan masih mengikuti cara-cara lama secara turun-temurun. Pengobatan ternak sakit dilakukan sendiri kecuali jika sakit berlanjut, maka kadang akan diupah tenaga kesehatan hewan untuk mengobatinya. Kandang sederhana beratap rumbia dengan dinding dari bahan kayu atau daun kelapa umumnya dibangun di dalam pekarangan rumah atau kebun milik peternak. Pada saat menjelang malam tiba, peternak membuat perapian sampai mengeluarkan asap didalam kandang sapi untuk mengusir nyamuk dan memberi kehangatan bagi ternak sapinya.

  Sebelum diberlakukan Operasi Jaring Merah (DOM) di Aceh, apabila dilakukan perjalanan darat dari Banda Aceh melalui bagian timur Aceh menuju perbatasan dengan Sumatera Utara, maka akan ditemui sapi Aceh beristirahat sepanjang jalan lintas Sumatera ( karena kondisi badan jalan beraspal yang hangat dipanasi sinar mata hari pada siang hari) sehingga ada sebutan “ Aceh memiliki kandang terpanjang di dunia“.

  Pemeliharaan sapi masih merupakan usaha sampingan selain sebagai petani sawah dan ada juga peternak yang merangkap pedagang atau tukang dalam jumlah kecil. Tenaga kerja untuk memelihara sapi berasal dari keluarga. Walaupun demikian, dari pemeliharaan sapi tersebut telah dapat menambah pendapatan bagi peternak

  Pemeliharaan Sapi di Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, umumnya dilakukan secara mengikat sapi di lapangan rumput atau lahan sawah dan ditemui juga sapi-sapi digembalakan. Para peternak di Seulimum, Jantho dan sekitarnya yang bertempat tinggal dekat bukit, mengembalakan sapi-sapinya sampai ke kaki pegunungan bukit barisan. Namun sapi jantan umumnya digemukkan dalam kandang secara semi intensif (kereman) dan sapi diberikan pakan rumput lapangan, rumput gajah dan rumput raja serta batang pisang.

  Pemeliharaan sapi di Kabupaten Pidie dan Aceh Utara , hampir seluruh sapi dilepas ke lapangan- lapangan rumput atau sawah-sawah yang baru dipanen pada pagi hari dan sapi tersebut membentuk beberapa kelompok. Pemberian pakan pada sapi Aceh disaat musim tanam dan musim kemarau hanya mengandalkan jerami padi dan sangat sedikit diberikan rumput segar bahkan rumput kering.

  Penggemukan sapi Aceh jantan terintegrasi dengan kebun kelapa sawit dapat ditemukan di Cot Girek, Aceh Utara. Sapi dilepas digembalakan sepanjang hari dalam areal kebun sawit yang luas. Kandang- kandang dibangun dekat pemukiman penduduk . Pada sore hari, sapi peliharaan kembali ke kandang dan mendapatkan tambahan pakan rumput gajah yang telah disediakan pemiliknya dikandang. Penampilan sapi-sapi penggemukan tersebut cukup baik dan dalam waktu singkat sangat bernilai ekonomis untuk dijual (Abdullah., 2009).

  Sapi Aceh masih dapat merumput dengan baik walaupun keadaan padang rumput yang miskin hijauan. Pemeliharaan sapi Aceh masih menguntungkan kepada produksi optimal , bukan kepada produksi maksimal yang membutuhkan input besar ( Diskeswannak., 2011).

  Kepemilikan sapi di Aceh umumnya merupakan warisan keluarga secara turun-temurun, pembelian atau milik orang lain. Ada aturan bagi hasil ( mawaih) dalah usaha pemeliharaan sapi di Aceh. Apabila sapi yang di pelihara merupakan betina milik orang lain untuk menghasilkan anak, maka anak sapi yang lahir pertama dihargakan satu bagian (0,25%) bagi pemilik modal dan tiga bagian (0,75%) untuk pemelihara sapi, dan anak yang lahir berikutnya dibagi dua bagian deng perbandingan 1 : 1. Apabila sapi jantan milik orang lain yang dipelihara untuk digemukkan, maka perjanjian dari hasil penjualan sapi, labanya dibagi dua bagian yang sama yaitu separuh (50%) untuk pemilik modal dan separuh lagi (50%) untuk pemelihara sapi (Abdullah., 2009).

  Sumber Daya Genetik Ternak

  Bank Data Global PBB untuk SDGT berisi informasi sejumlah 7.616 breed ternak, dimana sekitar 20% dari breed yang dilaporkan tersebut dikatagorikan dalam status beresiko. Pertimbangan terbesar disebabkan karena dalam enam tahun terakhir maka 62 breed ternak telah punah, sehingga dapat diperkirakan bahwa satu breed ternak hilang tiap bulanya. Data ini menampilkan hanya sebagian kecil gambaran tentang erosi genetik yang telah, sedang dan akan terus terjadi. Inventarisasi breed ternak dan khususnya survei besaran dan struktur populasi pada tingkat breed ternak tidaklah mencukupi di banyak bagian dunia. Data populasi tidak tersedia untuk 36%

  Sejarah sumber daya genetik ternak (SDGT) dimulai 12.000 sampai 14.000 tahun yang lalu. Ribuan tahun yang lalu setelah seleksi oleh alam dan manusia, hanyutan genetik, inbreeding dan crossbreeding berkontribusi terhadap keragaman SDGT dan memungkinkan dilakukan budidaya ternak dalam berbagai lingkungan dan sistem produksi (Pusat penelitian dan pengembangan Peternakan., 2009)

  Sumber daya genetik ternak asli akan cenderung punah akibat permintaan pasar yang baru, persilangan yang tidak terkendali, pergantian breed (pergantian bangsa sapi yang ada dengan bangsa sapi yang baru) dan kegiatan mekanisasi pertanian ( pergantian penggunaan tenaga sapi dengan tenaga mesin untuk mengolah lahan pertanian) (FAO, 2000).

  Program impor ternak telah menimbulkan dua masalah besar: (1) interaksi antara faktor genetik dengan faktor lingkungan. Masalah ini timbul pada pengimporan ternak hidup dan embrio, (2) adanya kemungkinan hilangnya ternak- ternak asli Indonesia akibat persilangan antara ternak asli dengan ternak impor yang kurang terencana.

  Persilangan antar bangsa sapi yang tidak diatur secara professional dengan hanya mengedepankan aspek ekonomi tanpa memperhatikan aspek pelestarian sumberdaya genetiknya, maka penerus generasi bangsa Indonesia berpotensi kehilangan sumberdaya genetik ternaknya yang mungkin saja memiliki banyak keunggulan.

  Dalam populasi yang besar dimana tidak terjadi seleksi, migrasi dan genotip pada frekuensi ini dikatakan berada dalam keseimbangan atau biasa disebut dengan keseimbangan Hardy-Weinberg (Warwick et al., 1990).

  Beberapa faktor yang menyebabkan perubahan keseimbangan hukum Hardy- weinberg dalam populasi yaitu adanya: (1) Hanyutan genetik (genetic drift), (2) Arus gen (gene flow), (3) Mutasi, (4) Perkawinan tidak acak, dan (5) Seleksi alam.

  Sifat Kualitatif dan Kuantitatif

  Performans atau penampilan individu ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen dan kromosom yang dimiliki oleh ternak. Selama kehidupan suatu organisme sifat turunannya akan berinteraksi dengan lingkungan dan interaksi ini akan menentukan rupa atau bentuk individu tersebut pada waktu tertentu dan perkembangannya pada waktu mendatang.

  Sifat kuantitatif adalah ciri dari makhluk yang dapat diukur, dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen (poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley, 1981), sedangkan sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya dikontrol oleh sepasang gen (Noor, 2008).

  Penggunaan ukuran tubuh selain untuk menaksir bobot badan dan karkas, dapat juga untuk memberikan gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa ternak tertentu (Diwyanto, 1982).

  

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

  Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2011 sampai dengan April 2012 di Provinsi Aceh. Lokasi penelitian Meliputi Kabupaten Aceh Besar (6 kecamatan dan 13 desa), Kota Banda Aceh (1 Kecamatan dan 1 desa), Kabupaten Bireun (1 Kecamatan dan 1 desa), Kabupaten pidie Jaya (2 kecamatan dan 2 desa), Kabupaten Aceh Barat (1 kecamatan dan 1 desa).

  Gambar 1. Peta Propinsi Nanggagroe Aceh Darussalam

  Bahan dan Alat Bahan

  Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 205 ekor sapi Aceh yang terdiri dari 31 ekor jantan dan 174 ekor betina yang telah mencapai umur dewasa tubuh (24 bulan) sehingga tidak mengalami pertumbuhan lagi dan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.

  Alat

  Peralatan yang digunakan adalah timbangan ternak, tongkat ukur, pita ukur, kamera digital Canon 14 mega pixel.

  Metode Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan dengan pengamatan dan pengukuran langsung terhadap sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, yaitu sampel ditentukan berdasarkan kriteria sudah mencapai umur dewasa tubuh (24 bulan). Data sekunder yang berhubungan dengan penelitian diperoleh dari Dinas Peternakan Nanggroe Aceh Darussalam dan instansi terkait. Penggolongan umur ditentukan berdasarkan pemunculan dan penanggalan gigi seri dan diperkirakan sudah mencapai dewasa tubuh.

  Pengumpulan Data

  (2) Lebar dada, diukur dari antara tuberositas humeri sinister dan dexter dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm, (3) Dalam dada, diukur dari bagian tertinggi pundak sampai dasar dada menggunakan tongkat ukur dalam cm, (4) Tinggi pundak , diukur dari bagian tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm, (5) Panjang badan, diukur dari tuber ischii sampai dengan tuberositas humeri dengan menggunakan tongkat ukur dalam cm.

  Terdapat kesulitan dalam melakukan penimbangan ternak di lokasi penelitian,

  2

  sehingga untuk menduga bobot badan sapi Aceh digunakan rumus Johnson W=LG /300 (W=berat badan dalam pound, L = panjang badan dalam inch, G = lingkar dada

  a

  2

  dalam inch) yang telah di jabarkan oleh Abdullah (2008 ) menjadi: BB = LG /10804 (BB = bobot badan dalam kilogram, L = panjang badan cm, G = lingkar dada dalam cm).

  Sifat-sifat fenotip kualitatif yang diamati yaitu warna, pola warna tubuh, tanduk berawal dari kepala sampai ujung tanduk. Setiap individu dicatat arah pertumbuhannya.

  Analisis Data

  Pengolahan data menggunakan program SPSS versi 18 dan ditabulasi data sheet Excel. Analisis data ditabulasi menurut lokasi sampel, dan jenis kelamin. Data ukuran tubuh ternak dilakukan dengan menggunakan analisis multivariat yaitu dengan menggunakan Principal Component Analisis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU) untuk mengetahui gambaran hubungan antar bangsa sapi dan digunakan sebagai upaya matematis untuk menyederhanakan variabel menjadi variabel baru, namun variabel baru masih tetap dapat menentukan sebagian besar informasi data asalnya. Analisis data ditabulasi menurut jenis kelamin dan umur sampel.

  Karakteristik ukuran tubuh dilakukan dengan menghitung nilai rataan, simpangan baku (S), dan koefisien keragaman (KK) dari setiap sifat yang diamati seperti petunjuk Steel dan Torrie (1995) dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU). Sedangkan untuk warna, pola warna dan bentuk pertumbuhan tanduk dilakukan dengan menghitung keragaman genetik, keragaman fenotip, frekuensi gen dan frekuensi genetik. 2 n ( x x ) i

  s ∑

  • xi ∑

  S = KK% = i 1 (100%)

  =

  • n

  1

  x x i = n

  n

  Keterangan :

  x = nilai rataan

  N = jumlah sampel yang diperoleh Xi = ukuran ke-i dari sifat x S = Simpangan baku KK = koefisien keragaman Keragaman genetik, Keragaman fenotip, Frekuensi gen, Frekuensi genetik

  Data ukuran tubuh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU). Pengolahan data dengan menggunakan AKU dilakukan berdasarkan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin dari sapi Aceh dengan model matematika sebagai berikut (Gaspersz, 1992):

  Y p = a 1p X 1 + a 2p

  X

  2 + a 3p

  X

  3 + a 4p

  X

  4 + ....+ a np

  X n Keterangan : Y p = komponen utama ke-p a 1p , a 2p , ... a np = vektor ciri/vektor Eigen ke-1,...., n pada komponen utama ke-p

  X

  1 , X 2 ,...,X n = peubah-peubah yang diamati

  Dua komponen utama yang keragaman totalnya tertinggi digunakan sebagai persamaan ukuran tubuh.

  Selanjutnya skor komponen utama yang diperoleh dari persamaan ukuran tubuh disajikan dalam bentuk diagram. Vektor ukuran pada sumbu X dan vektor bentuk pada sumbu Y.

  Untuk data kualitatif , perhitungan proporsi fenotif ukuran tubuh didasarkan pada jumlah fenotipe yang muncul dibagi jumlah ternak yang diamati total, dikali 100% :

  Parameter Penelitian

  Parameter dalam penelitian ini adalah : Karakteristik Morfologi ukuran tubuh menggunakan Ukuran tubuh (lingkar dada, lebar dada, dalam dada, tinggi pundak, panjang badan), sedangkan untuk keragaman fenotif dan genetik kualitatif menggunakan warna, pola warna, bentuk pertumbuhan tanduk sapi Aceh.