Tingkat Kompetensi Agribisnis Petani Sayuran Berlahan Sempit Di Kota Banda Aceh Dan Kabupaten Aceh Besar.

TINGKAT KOMPETENSI AGRIBISNIS PETANI SAYURAN
BERLAHAN SEMPIT DI KOTA BANDA ACEH DAN
KABUPATEN ACEH BESAR

MUHIBUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Tingkat Kompetensi
Agribisnis Petani Sayuran Berlahan Sempit di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Muhibuddin
NIM I351124031

RINGKASAN
MUHIBUDDIN. Tingkat Kompetensi Agribisnis Petani Sayuran Berlahan Sempit
di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Dibimbing oleh SITI AMANAH
dan DWI SADONO.
Petani merupakan manajer dalam usahataninya. Petani dituntut memiliki
kompetensi untuk mengambil keputusan dalam perencanaan usaha dan
manajemen usaha secara keseluruhan. Kompetensi agribisnis petani merupakan
kemampuan petani dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam berusahatani
sayuran pada lahan sempit. Kemampuan tersebut meliputi: perencanaan usahatani,
pendayagunaan faktor produksi, penerapan budidaya sayuran, pemasaran hasil
usahatani, dan kemitraan usahatani.
Kompetensi petani sayuran berlahan sempit berbeda antara satu dengan
lainnya, tergantung kepada faktor-faktor internal dan eksternal yang dimilikinya.
Faktor-faktor internal dan eksternal petani yang diteliti dalam penelitian ini
adalah: 1) ciri-ciri sosio-demografi petani meliputi: umur, tingkat pendidikan

formal, lama pendidikan non formal, lama berusahatani , dan luas lahan usahatani,
2) motivasi berusahatani sayuran meliputi: motif intrinsik dan motif ekstrinsik,
dan 3) interaksi dan komunikasi petani meliputi: interaksi dan komunikasi dengan
penyuluh, interaksi dan komunikasi antar petani, keterlibatan dalam
kelompoktani, interaksi dan komunikasi dengan pedagang, mahasiswa dan LSM.
Mempertimbangkan adanya persoalan dalam kemampuan petani mengelola
agribisnis usahatani sayuran lahan sempit di Aceh, maka penelitian ini bertujuan:
1) untuk menganalisis tingkat kompetensi agribisnis petani sayuran berlahan
sempit, dan 2) menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi
agribisnis petani sayuran berlahan sempit. Penelitian ini dilakukan terhadap petani
sayuran di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam
Kabupaten Aceh Besar. Pengumpulan data dilakukan terhadap 77 responden
dengan menggunakan teknik survei, pada bulan April 2015. Pengambilan sampel
dilakukan secara purposive sampling.. Analisis deskriptif dan uji korelasi Pearson
(Pearson correlation) digunakan untuk menganalis data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (51.9 persen) petani
sayuran berlahan sempit memiliki kompetensi agribisnis tergolong sedang, 41.6
persen tergolong tinggi, dan sisanya 6.5 persen petani tergolong rendah. Tingkat
kompetensi agribisnis petani sayuran lahan sempit termasuk kategori sedang
cenderung ke tinggi. Petani sayuran memiliki tingkat kompetensi cenderung ke

tinggi dalam bidang: merencanakan usahatani, pendayagunaan faktor produksi,
dan penerapan budidaya sayuran, sedangkan bidang pemasaran dan kemitraan
usahatani masih kurang dikuasai petani. Kompetensi agribisnis petani sayuran
berhubungan positif dan sangat nyata dengan umur, tingkat pendidikan formal,
lama pendidikan non formal, lama berusahatani sayuran, motif intrinsik dan motif
ekstrinsik, interaksi dan komunikasi penyuluh, interaksi dan komunikasi antar
petani, keterlibatan dalam kelompok tani, interaksi dan komunikasi dengan
pedagang, mahasiswa dan LSM.
Kata kunci: kompetensi agribisnis,petani berlahan sempit, usahatani sayuran.

SUMMARY
MUHIBUDDIN. Competencies of Smallholder of Vegetable Crops Agribusiness
in Banda Aceh and Aceh Besar. Supervised by SITI AMANAH and DWI
SADONO.
Farmer is an agribusiness manager. Famer should have competencies to take
decisions in their vegetable farming. Farmer competency is the ability to think
(knowledge), attitude (mental attitude), and act (skill) in to small-land scale
farming. The capabilities consist of planning patterns of farming, the utilization of
factors production, the cultivation of vegetables, marketing of farming, and
farming partnerships.

The objectives of research are to analyze: 1) the level of agribusiness
competencies of smallholders with vegetable planting, and 2) the correlated
factors with agribusiness competencies of smallholders with vegetable planting.
The respondents are vegetable farmers who live in the Syiah Kuala Sub-district of
Banda Aceh and Darussalam Sub-district of Aceh Besar. Data collection was
conducted on the 77 respondents using survey and interviews technique, starting
in April 2015. Sampling was done by purposive sampling. The descriptive
analysis and Pearson correlation test were used to analyze the data.
The research results show that 51.9 percent smallholders have a moderate
level of agribusiness competence, 41.6 percent have a high level, and only 6.5
percent of them have a low level of agribusiness competence. The level of
agribusiness competencies of smallholders with vegetable planting including
medium category. Smallholders have a tended to a high level of competence in the
field of farm planning, utilization of factors production, and application of
cultivation vegetables, while the ability of the marketing of farm and farm
partnerships still less controlled by farmers. There is a positive and significant
correlation between agribusiness competencies of smallholders with: 1) the
characteristics of the socio-demographic (age, level of formal education, nonformal education, and experience), 2) motivation to farm, 3) interaction and
communication of farmers.
Keywords: agribusiness competency, smallholders, vegetable planting.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

TINGKAT KOMPETENSI AGRIBISNIS PETANI SAYURAN
BERLAHAN SEMPIT DI KOTA BANDA ACEH DAN
KABUPATEN ACEH BESAR

MUHIBUDDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Pudji Muljono, MSi

Judul Tesis : Tingkat Kompetensi Agribisnis Petani Sayuran Berlahan Sempit di
Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
Nama
: Muhibuddin
NIM
: I351124031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua

Dr Ir Dwi Sadono, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sumardjo, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
28 Agustus 2015


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala nikmat, karunia serta hidayah-Nya sehingga penelitian dengan judul:
”Tingkat Kompetensi Agribisnis Petani Sayuran Berlahan Sempit di Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Aceh Besar” berhasil diselesaikan.
Penyelesaian penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :
1. Dr Ir Siti Amanah, MSc (Ketua) dan Dr Ir Dwi Sadono, MSi (Anggota) yang
telah dengan sabar membimbing dan memberikan saran, masukan serta arahan
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.
2. Prof Dr Ir Sumardjo, MS selaku ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan
Pembangunan dan seluruh staf pengajar yang telah banyak memberikan ilmu
kepada penulis selama menjalani kuliah di Ilmu Penyuluhan Pembangunan.
3. Seluruh Responden yang telah memberikan informasi dan ikut berpartisipasi
dalam penelitian ini.
4. Ayahanda tercinta Bapak Jamian Yahya dan Ibunda tersayang Ibu Maimunah
Amin atas segala kasih sayang dan selalu mendoakan penulis semoga menjadi
orang yang berhasil duania dan akhirat.

5. Isteri tercinta Santi Noviasari, MSi atas perhatian, dukungan dan memberikan
motivasi kepada penulis, serta kepada anak-anakku tersayang Zhafira Nasywa
Almuja dan Zharifa Yumna Almuja atas kemandirian dan pengertiannya
selama ini.
6. Adik-adikku Asrawani, Saifullah, Faisal dan adik ipar yang selalu mendukung
dan memotivasi penulis demi kelancaran studi.
7. Bapak dan Ibu mertua, serta keluarga besar penulis yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah mendoakan dan mendukung penulis hingga
dapat menyelesaikan studi di PPs IPB.
8. Rekan-rekan PPN IPB Angkatan 2012 yaitu Mujiburrahmad, Delki Utama
Hasta, Firmansyah, Isni, Enik, Azwar, Aan Hermawan, Ismilaili, Rindi
Metalisa, Nurul Dwi Novikarumsari, Lina Asnamawati dan Annisa Yulia
Handayani. Terima kasih atas kebersamaan kita yang tak terlupakan.
9. Sahabat-sahabat PPN angkatan 2013 dan S3 PPN atas diskusi-diskusi dan
saran-saran bagi saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
10. Segenap pihak yang telah memberikan dukungan, semangat dan doa kepada
penulis selama perkualiahan dan penelitian yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum lah sempurna, namun
penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi

pengembangan ilmu penyuluhan di bidang Peningkatan Kompetensi Petani.
Bogor, September 2015

Muhibuddin
.

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
4

2

TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Agribisnis
Petani Sayuran Lahan Sempit
Konsep Kompetensi
Kompetensi Agribisnis
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kompetensi Agribisnis
Petani Sayuran
Kerangka Berpikir
Hipotesis Penelitian

4
4
5
6
9
13
17
19

3. METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu penelitian
Rancangan dan Pendekatan Penelitian
Populasi dan Sampel Penelitian
Data dan Instrumen Penelitian
Peubah Penelitian
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Pengolahan dan Analisis Data

20
20
20
20
21
22
22
24
26

4
5

27
29
29
32
33
38
39
45
50

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ciri-ciri Sosio-Demografi Petani
Motivasi Berusahatani Sayuran
Interaksi dan Komunikasi Petani
Kompetensi Agribisnis Petani Sayuran Lahan Sempit
Tingkat Pengetahuan Agribisnis Petani Sayuran
Tingkat Sikap Agribisnis Petani Sayuran
Tingkat Keterampilan Agribisnis Petani Sayuran
Korelasi Faktor-Faktor Individu dengan Kompetensi Agribisnis
Petani sayuran
Korelasi antara Ciri-Ciri Sosio-Demografi Petani dengan Kompetensi
Agribisnis Petani Sayuran

55
56

Korelasi antara Motivasi Berusahatani Sayuran dengan Kompetensi
Agribisnis Petani
Korelasi antara Tingkat Interaksi dan Komunikasi Petani dengan
Kompetensi Agribisnis Petani Sayuran
4

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

60
61
67
67
67

DAFTAR PUSTAKA

68

LAMPIRAN

73

RIWAYAT HIDUP

101

DAFTAR TABEL
1
2
3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Jumlah populasi dan sampel penelitian di Kecamatan Syiah Kuala
Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar
Profil wilayah penelitian di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda
Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran Berlahan Sempit menurut ciri-ciri sosiodemografi di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan
Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat motivasi
berusahatani di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan
Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat interaksi
dan komunikasi petani di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh dan
Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat
kompetensi agribisnis berusahatani sayuran di Kecamatan Syiah
Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar
tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat
pengetahuan agribisnis berusahatani sayuran di Kecamatan Syiah
Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar
tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat
pengetahuan tentang penerapan budidaya sayuran di Kecamatan
Syiah Kuala Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar
tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut sikap agribisnis
sayuran di Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh dan Kecamatan
Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat sikap
tentang penerapan budidaya sayuran di Kecamatan Syiah Kuala Kota
Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat
keterampilan agribisnis sayuran di Kecamatan Syiah Kuala Kota
Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Persentase petani sayuran berlahan sempit menurut tingkat
keterampilan tentang penerapan budidaya sayuran di Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh
Besar tahun 2015
Koefisien korelasi antara ciri-ciri sosio-demografi dengan kompetensi
agribisnis petani sayuran di Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda
Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Koefisien korelasi antara ciri-ciri sosio-demografi dengan
pengetahuan, sikap dan keterampilan agribisnis petani di Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh
Besar tahun 2015

21
27

29

33

34

39

40

44

46

49

51

53

56

57

15

16

17

18

19

Koefisien korelasi antara motivasi berusahatani dengan pengetahuan,
sikap dan keterampilan agribisnis petani di Kecamatan Syiah Kuala
Kota Banda Aceh dan Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Koefisien korelasi antara motivasi berusahatani sayuran dengan
pengetahuan, sikap dan keterampilan agribisnis petani di Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh
Besar tahun 2015
Koefisien korelasi antara tingkat interaksi dan komunilasi petani
dengan kompetensi agribisnis petani sayuran di Kecamatan Syiah
Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam Aceh Besar
tahun 2015
Koefisien korelasi antara tingkat interaksi dan komunilasi petani
dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan agribisnis petani di
Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan
Darussalam Aceh Besar tahun 2015
Kesenjangan kompetensi agribisnis petani sayuran di Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam
Kabupaten Aceh Besar tahun 2015

60

61

62

63

66

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Sketsa lokasi penelitian
73
Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen
74
Hasil analisis uji beda rata-rata antara petani sayuran di Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh dan Kecamatan Darussalam
Kabupaten Aceh Besar
85
Tingkat ciri-ciri sosio-demografi petani
90
Tingkat motivasi berusatani sayuran petani
90
Tingkat interaksi dan komunikasi petani
91
Tingkat kompetensi agribisnis petani sayuran
92
Tingkat pengetahuan agribisnis petani sayuran
93
Tingkat sikap agribisnis petani sayuran
94
Tingkat keterampilan agribisnis petani sayuran
95
Hasil uji korelasi Pearson
96
Foto-foto kondisi lahan usahatani sayuran pertanian lahan sempit
99
Foto-foto penerapan budidaya sayuran
100

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan sektor pertanian lahan sempit adalah penting. Rata-rata
pertumbuhan rumahtangga petani berlahan sempit atau petani gurem di Provinsi
Aceh antara tahun 2009 sampai 2013 adalah 10.6 persen. Jumlah petani berlahan
sempit di Kota Banda Aceh adalah 2618 rumahtangga dan Kabupaten Aceh Besar
berjumlah 27 827 rumahtangga (BPS 2013). Alih fungsi lahan pertanian produktif
menjadi non pertanian produktif telah mendorong peningkatan petani berlahan
sempit, khususnya di wilayah perkotaan. Oleh sebab itu, pengelolaan yang tepat
terhadap pertanian lahan sempit perlu dilakukan untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan petani.
Pertanian lahan sempit dapat dikelola secara menguntungkan. Upaya
tersebut dapat dilakukan melalui intensifikasi lahan dengan menerapkan teknologi
modern, manejemen usahatani modern, penguatan kelompok tani, dan
pelaksanaan pendidikan melalui penyuluhan secara intensif bagi petani. Selain
intensifikasi lahan, keberlangsungan usahatani pada lahan sempit dapat dilakukan
melalui penerapan konsep agribisnis dalam berusahatani. Penerapan sistem
agribisnis merupakan suatu keharusan agar produk yang dihasilkan selalu
mendapat tempat di mata konsumen dan memberikan nilai tambah yang optimal
bagi petani. Agribisnis merupakan kegiatan pertanian yang dikelola untuk
memperoleh keuntungan, dengan cara melakukan kerjasama antar sub-sistem,
agar menjamin kesejahteraan petani dan keberlajuntan kegiatan pertanian (Harijati
2007).
Pada agribisnis, petani harus mempunyai kemampuan untuk mengelola
unsur-unsur usahataninya berupa lahan, modal, sarana prasarana dan tenaga kerja.
Petani bertugas untuk mengambil keputusan tentang apa yang akan dihasilkan dan
bagaimana cara menghasilkannya, sehingga petani dituntut untuk mempunyai
kemampuan atau kompetensi. Menurut Mulyasa (2002), kompetensi merupakan
perpaduan dari pengetahuan, keterampilan dan sikap yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak. Kompetensi seseorang merupakan indikator
yang dapat memperkirakan kinerjanya, yaitu segala sesuatu yang hendak
dilakukan dan dicapai dalam kegiatannya (Spencer and Spencer 1993).
Kompetensi agribisnis merupakan kemampuan seseorang untuk berpikir,
bersikap dan bertindak dalam merencanakan usahatani untuk memperoleh
keuntungan berusahatani, membangun kerjasama antar sub-sistem pertanian, serta
mewujudkan kegiatan pertanian yang berkelanjutan (Harijati 2007). Seiring itu,
Departemen Pertanian (2001) menjelaskan bahwa petani sebagai pelaku agribisnis
harus memiliki kompetensi agribisnis yang diukur berdasarkan empat
kemampuan, yaitu: merencanakan keuntungan, melakukan kerjasama, meraih nilai
tambah, dan melakukan pertanian berkelanjutan. Dengan kondisi lahan yang
sempit, keberlangsungan usahatani sangat tergantung pada kemampuan petani
dalam beragribisnis dan mengintensifkan lahannya.
Pada umumnya petani lahan sempit memiliki keterbatasan-keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan dalam merencanakan keuntungan, meraih nilai
tambah produk dan melakukan pertanian berkelanjutan. Kondisi ini berimplikasi

2
pada rendahnya pendapatan dan kesejahteraan mereka. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Harijati (2007) menemukan 30 persen petani lahan sempit belum
mampu mengembangkan usahatani, rendahnya motivasi, jiwa kewirausahaan dan
kompetensi; Maulana (2013) di Kabupaten Bandung Barat menemukan bahwa
kompetensi tataniaga (pemasaran) dan kompetensi penunjang (kerjasama dengan
mitra bisnis) jarang di miliki petani; Yadav et al. (2013) di India, dari 100 orang
perempuan yang menjadi responden hanya 14 persen memiliki pengetahuan yang
tinggi tentang budidaya sayuran.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kompetensi petani perlu
dikembangkan. Penyuluhan merupakan proses pembelajaran bagi petani dalam
mengembangkan kompetensi agribisnis, termasuk petani berlahan sempit. Strategi
penyuluhan pertanian bagi petani sayuran pada lahan sempit perlu dikembangkan,
agar petani mendapatkan penyuluhan secara tepat, terencana dan berkelanjutan,
sesuai dengan kondisi dan potensi yang mereka miliki.
Keberhasilan usahatani sangat tergantung kepada kompetensi petani sebagai
pengelola utama. Petani sebagai manusia memiliki kebebasan untuk berinteraksi
dengan lingkungan di sekitarnya, mempelajari berbagai hal baru, dan mengikuti
setiap perkembangan yang ada. Menurut Indrawati et al. (2011), kompetensi
petani merupakan hasil proses belajar petani yang ditentukan oleh hasil interaksi
antara faktor individu petani dan faktor lingkungan usahatani, melalui proses
belajar. Hasil penelitian Asih (2009) di Sulawesi, menemukan bahwa karakteristik
berupa umur, pendidikan, status usahatani dan jumlah tanggungan rumahtangga
berpengaruh terhadap keterampilan petani dalam mengelola usahatani bawang
merah.
Berdasarkan uraian di atas, penting dilakukan penelitian sejauh mana tingkat
kompetensi agribisnis petani sayuran berlahan sempit di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar, dan faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan
kompetensi tersebut, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam
pengembangan kompetensi petani sayuran berlahan sempit.

Masalah Penelitian
Salah satu tantangan yang terpenting dalam pembangunan hortikultura
termasuk sayuran, yaitu masih rendahnya kompetensi sumber daya manusia
termasuk petani (pelaku utama), penyuluh dan kelompok tani. Pelatihan dan
penyuluhan dalam pengembangan kompetensi petani sangat diperlukan untuk
meningkatan kemampuan agribisnis petani dalam mengelola usahatani sayuran
pada lahan sempit. Pada lahan yang sempit, keberlangsungan usaha pertanian akan
sangat tergantung pada kemampuan petani mengintensifkan lahannya. Upaya
intensifikasi tentunya bukan semata masalah kemampuan lahan dan alih teknologi,
tetapi juga kemampuan dan kemauan petani berusahatani di lahan sempit
(Lampiran Permentan 2012).
Rata-rata penguasaan lahan oleh rumahtangga petani berlahan sempit di
Kota Banda Aceh adalah 0.19 hektar dan di Kabupaten Aceh Besar adalah 0.57
hektar (BPS 2013). Umumnya petani berlahan sempit menanam sayuran daun
(sawi, selada, kangkung, seledri), sayuran buah (tomat, cabe dan timun), dan
sayuran umbi (bawang merah). Saat ini kondisi usahatani sayuran pada lahan

3
sempit masih dilakukan dalam skala kecil, teknologi maju belum sepenuhnya
diterapkan, dan manajemen usaha belum dilaksanakan secara professional. Hasil
penelitian Khalik et al. (2013) di Aceh Besar, bahwa kendala dihadapi oleh
petani antara lain: tingkat kestabilan harga, keterbatasan modal untuk sarana
produksi, dan upah tenaga kerja, keterbatasan sumber daya usahatani, dan
sempitnya lahan garapan. Seiring itu, hasil penelitian Iskandar (2013) di Aceh
Besar, menemukan bahwa efisiensi penggunaan lahan terbatas, infrastruktur
pertanian belum memadai, rendahnya akses petani kepada input-input produksi,
kelompok tani belum kuat, dan penyuluhan pertanian masih rendah.
Secara spesifik kondisi usahatani sayuran di Kota Banda Aceh dan
Kabupaten Aceh Besar adalah: (1) produksi masih bersifat musiman belum
kontinyu sehingga pasokan dan harga fluktuatif, (2) keterbatasan kemampuan
sumber daya petani khususnya terkait dengan penanganan pasca panen,
pengolahan dan pamasaran hasil, (3) kondisi dan potensi sumber daya alam yang
semakin menurun sebagai akibat over intensifikasi, sehingga dibutuhkan biaya
korbanan yang cukup tinggi dalam peningkatan produksi, (4) keterbatasan sumber
permodalan, (5) penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) belum optimal
karena belum dikuasainya komponen teknologi dan kurangnya kesadaran, dan (6)
kelembagaan petani kurang berfungsi dengan baik sebagai wadah belajar dan
kerjasama. Akibatnya, usahatani yang dilakukan belum sepenuhnya berorientasi
keuntungan.
Kondisi di atas terjadi karena belum intensifnya penyuluhan yang dilakukan
terhadap petani sayuran dalam pemanfaatan lahan sempit. Penyebaran dan
kompetensi tenaga Penyuluh Pertanian saat ini masih bias pada sub sektor
tanaman pangan. Kondisi ini menyebabkan kurang optimalnya pelayanan
penyuluhan pertanian kepada pelaku utama dan pelaku usaha yang mengusahakan
komoditas hortikultura, perkebunan dan peternakan. Akibatnya, kemampuan
petani dalam pengembangan usahatani terbatas. Dengan kata lain, kompetensi
agribisnis petani sayuran dalam pemanfaatan lahan sempit di Kota Banda Aceh
dan Kabupaten Aceh Besar perlu ditingkatkan. Diduga, rendahnya kompetensi
petani tersebut berkaitan dengan kesulitan petani dalam mengakses program
penyuluhan. Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakah tingkat kompetensi
agribisnis petani sayuran berlahan sempit di Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh besar? Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kompetensi
agribisnis petani sayuran dalam pemanfaatan lahan sempit?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah:
( 1) Menganalisis tingkat kompetensi agribisnis petani sayuran berlahan sempit di
Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar.
( 2) Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kompetensi agribisnis
petani sayuran berlahan sempit di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar.

4
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun praktis adalah:
( 1) Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
terhadap konsep pengembangan kompetensi agribisnis petani sayuran.
( 2) Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi
pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam pengembangan sumberdaya
petani selaku manajer usahatani di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh
Besar khususnya dan Provinsi Aceh pada umumnya.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Agribisnis
Konsep agribisnis pertama kali dikenalkan oleh John H. Davis pada tahun
1955 dan dimasyarakatkan pada tahun 1957, yang dianggap sebagai tahun
kelahiran agribisnis. Agribisnis mempunyai ruang lingkup: (1) pembuatan dan
penyaluran sarana produksi untuk kegiatan budidaya pertanian, (2) kegiatan
budidaya atau produksi usahatani, (3) penyimpanan, pengolahan, dan distribusi
berbagai komoditi pertanian dan produk-produk yang memakai komoditas
pertanian sebagai bahan baku (Pambudy, 2005).
Menurut Kementrian Pertanian (2011), agribisnis adalah rangkaian kegiatan
usaha pertanian yang terdiri atas: (a) sub-sistem hulu, yaitu kegiatan ekonomi
yang menghasilkan sarana produksi; (b) sub-sistem primer, yaitu kegiatan
ekonomi yang menggunakan sarana produksi yang dihasilkan oleh sub-sistem
hulu; (c) sub-sistem agribisnis hilir, yaitu mengolah dan memasarkan komoditas
pertanian; dan (d) sub-sistem penunjang, yaitu kegiatan yang menyediakan jasa
penunjang, antara lain permodalan dan teknologi. Artinya, agribisnis merupakan
kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian, kegiatan produksi
pertanian, penanganan pasca panen sampai dengan pemasaran hasil pertanian.
Ruang lingkup agribisnis dapat disederhanakan menjadi tiga sub-sistem,
yaitu sub-sistem input, sub-sistem produksi, dan sub-sistem output yaitu
pengolahan dan pemasaran (Santosa 2008); keterkaitan antara sub-sistem dengan
sub-sistem lainnya sangat erat dan penting, serta tak bisa dipisah-pisahkan
(Hernanto 1989). Sementara Pambudy (2005) menjelaskan bahwa prinsip
pembangunan melalui pengembangan agribisnis: (1) merupakan suatu sistem dari
kegiatan pra panen, panen, pasca panen, dan pemasaran yang tidak dapat
dipisahkan, (2) berorientasi pada pasar, (3) menggunakan konsep sustainable
development, (4) keterkaitan sistem produksi dan pendukung perlu dijaga dan
diseimbangkan, (5) dukungan sistem informasi yang akurat dan mudah diakses.
Menurut Saragih (1998), beberapa faktor yang menyebabkan semakin
pentingnya agribisnis berskala kecil di masa mendatang adalah: 1) relatif tidak
memerlukan terlalu banyak modal investasi, terutama bidang jasa, 2) dapat
bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang berubah karena tidak perlu

5
terhambat oleh persoalan birokrasi seperti perusahaan besar, 3) memiliki tenagatenaga penjual dan wirausaha yang tertempa secara alami yang tidak berminat
(vested-interest) dalam sistem produksi yang sudah ada dan sudah mantap, dan 4)
perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produk-produk tahan
lama yang dihasilkan secara massal ke produk-produk yang lebih manusiawi lebih
tepat dilayani oleh usaha-usaha kecil. Artinya, agribisnis merupakan peluang dan
solusi bagi petani untuk memperoleh nilai tambah dari produk, dengan
memperhatikan selera konsumen, misalnya produk sayur organik.
Agribisnis merupakan pertanian yang dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
komersial atau ekonomi. Dalam hal ini pertanian bukan lagi sebagai way of life,
tetapi merupakan usaha yang harus memberikan keuntungan. Inovasi dalam
agribisnis merupakan suatu keharusan agar produk yang dihasilkan selalu
mendapat tempat di mata konsumen dan memberikan nilai tambah yang optimal
bagi para pelaku yang terlibat. Hasil penelitian Hastuti (2008) di Boyolali
menemukan bahwa penerapan sub-sistem agribisnis hulu, sub-sistem usahatani,
pengolahan hasil dan model usahatani, baik secara parsial maupun serempak
berpengaruh nyata terhadap pendapatan pada tingkat petani.
Pengembangan agribisnis sayuran kedepan haruslah berkelanjutan. Hasil
penelitian Taufik (2012) di Sulawesi Selatan, menemukan bahwa strategi
pengembangan agribisnis sayuran berkelanjutan ke depan adalah melakukan
reorientasi sistem pengelolaan tanaman, sinergi dan harmonisasi inovasi budidaya,
serta mengembangkan kerjasama kemitraan. Strategi diarahkan pada upaya
mengembangkan produksi sesuai dengan kebutuhan, menciptakan pola tanam
yang merata sepanjang tahun, meningkatkan daya saing dan kemampuan SDM,
menguatkan kelembagaan petani seperti kelompok tani, permodalan dan
pemasaran, serta mengoptimalkan penggunaan lahan serta sarana dan prasarana.

Petani Sayuran Lahan Sempit
Petani adalah perorangan warga negara Indonesia beserta keluarganya atau
korporasi yang mengelola usaha di bidang pertanian (tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan) yang meliputi: usaha hulu, usahatani,
agroindustri, pemasaran dan jasa penunjang. Petani kecil adalah petani yang
mengusahakan lahan pertanian antara 0.3 sampai 2 hektar yang masih
menggunakan teknologi sederhana (Kementrian Pertanian 2011). Artinya, petani
merupakan orang yang memiliki atau mengelola lahan dan bangunan di atasnya
digunakan untuk menanam tanaman atau membesarkan hewan (Eze 2013).
Menurut Hernanto (1989), petani adalah setiap orang yang melakukan usaha
untuk memenuhi sebagian atau seluruh kehidupannya dalam bidang pertanian
peternakan, usahatani dan lain-lain
Ihsaniyati (2010) menjelaskan bahwa petani gurem (peasant) yaitu
seseorang yang untuk bertahan hidup dan meningkatkan kesejahteraan, memiliki
atau menguasai lahan yang secara kumulatif kurang dari 0.5 hektar, menjalankan
usahatani dan sekaligus juga menekuni pekerjaan lain di luar usahatani. Ihsaniyati
menduga ada dua golongan petani gurem di Desa Rowo yaitu petani gurem
Pengambil Resiko Tinggi (PRT) dan Pengambil Resiko Rendah (PRR). Petani
gurem PRT diantaranya cenderung memiliki sifat/karakter berani mengambil

6
resiko, berpikir lebih komersial, berani keluar dari zona aman, dan gigih dalam
menyelesaikan masalah. Petani gurem PRT menekuni usahatani atau pekerjaan
lain yang cenderung lebih komersial; beresiko tinggi; membutuhkan modal besar;
garapan/pekerjaan rumit; membutuhkan curahan pikiran, konsentrasi, dan tenaga
yang lebih besar.
Kriteria petani gurem atau petani kecil dapat dilihat dari berbagai macam
aspek, yaitu: 1) jumlah jiwa yang ditanggung rata-rata 5 orang setiap keluarga, 2)
tingkat pendidikan kepala rumahtangga umumnya sangat terbatas, bahkan masih
banyak diantaranya yang buta huruf, 3) sumber nafkah mereka berasal dari
usahatani sendiri, berburuh tani atau usaha di luar bidang pertanian, 4) imbalan
kerja yang diterima rata-rata bidang pertanian, jauh lebih kecil dari pada di luar
bidang pertanian, 5) rata-rata penguasaan lahan antara 0.1 sampai 0.4 hektar, 6)
besar pendapatan dari dalam dan luar usahatani berkisar 180 sampai 280 kilogram
setara beras/kapita per tahun, 7) konsumsi pangan mereka rata-rata 1.277 kalori
dan 31 gram protein/orang per hari, dan 8) kurang responsif terhadap usaha-usaha
inovasi menuju perbaikan teknologi produksi maupun pasca panen (Sastraatmadja
2008).
Pertanian lahan sempit adalah usaha pertanian yang dilakukan oleh petani
dengan rata-rata luas lahan pengusahaan kurang dari 0,5 ha. Pertanian lahan
sempit mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah penduduk
yang membutuhkan areal perumahan, serta perkembangan pembangunan fisik
atau infra struktur disuatu wilayah. Lahan merupakan salah satu unsur penting
dalam usahatani selain unsur modal, tenaga kerja dan pengelolaan (manajemen).
Berdasarkan luas lahan, Hernanto (1989) membagi petani ke dalam empat
golongan yaitu: (1) golongan petani luas (> 2 ha), golongan petani sedang (0.5–2
ha), golongan petani sempit (0.5 ha) dan buruh tani tidak bertanah. Perbedaan luas
lahan tersebut akan berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatan. Bagi
petani golongan sedang dan sempit faktor produksi dominan adalah modal dan
tenaga kerja.
Harijati (2007) menjelaskan bahwa lahan pertanian merupakan komponen
utama dalam berusahatani, penyempitan lahan pertanian akan mempegaruhi
kinerja pertanian. Dampak yang ditimbulkan dalam berusahatani lahan sempit
antara lain : hanya ditanami jenis komoditas terbatas, produksi rendah, pendapatan
kecil, modal kecil, akses pasar sulit, akses informasi kurang dan akses pinjaman
modal ke bank relatif susah, akhirnya usahatani di lahan sempit tidak
menguntungkan, sulit pengembangan, dan hasilnya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga petani. Dengan demikian, petani sayuran lahan sempit
adalah seseorang yang bertanggung-jawab untuk mengelola usahatani sayuran
pada lahan yang luasnya di bawah 0.5 hektar.

Konsep Kompetensi
Istilah ’competencies atau competence’ dalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan sebagai kompetensi, kecakapan dan keberdayaan yang merujuk
pada keadaan atau kualitas mampu dan sesuai. Dalam bahasa Inggris kata
’competenci’ diartikan sebagai keadaan yang sesuai, memadai, atau cocok.
Konsep kesuaian dalam pekerjaan, ada dua istilah yang dimunculkan yaitu: (1)

7
’Competency’ (kompetensi), yaitu deskripsi mengenai perilaku; (2) ’Competence’
(kecakapan) merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan. Kompetensi merujuk
kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif,
karakteristik pribadi (ciri khas), konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian
yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat
kerja. Kompetensi adalah mengenai orang seperti apa dan apa yang dapat mereka
lakukan, bukan apa yang mungkin mereka lakukan (Palan 2008).
Spencer dan Spencer (1993) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan
karakteristik yang mendasar dari seseorang dan menunjukkan cara berperilaku
atau berpikir pada situasi tertentu dan bertahan untuk jangka waktu yang cukup
lama, yang dibagi ke dalam lima tipe karakteristik kompetensi, yaitu: (1) motivasi
(motives), yaitu kompetensi yang berkaitan dengan pemikiran yang konstan
mendorong individu bertindak atau berperilaku; (2) karakter (traits), yaitu
kompetensi yang berkaitan dengan dengan karakteristik fisik dan respon yang
konsisten atas situasi tertentu; (3) konsep diri (self-konsep), yaitu kompetensi yang
berkaitan dengan sikap individu, nilai-nilai yang dianut serta citra diri; (4)
pengetahuan (knowledge), yaitu kompetensi yang berkaitan dengan ilmu yang
dimiliki individu dalam bidang pekerjaan tertentu; dan (5) keahlian (skill),
kompetensi yang berkaitan dengan unjuk kinerja fisik atau mental. Manifestasi
dari semua unsur yakni karakter, konsep diri, motivasi, pengetahuan, dan
keterampilan akan terwujud dalam rupa pola tingkah laku (behavior)
Menurut Suparno (2001), kompetensi merupakan kecakapan atau
kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat
menjalankan perannya dengan baik. Seiring itu, Boyatzis (1982) menjelaskan
bahwa kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
secara efektif dan merupakan refleksi dari kinerja yang dilakukan seseorang dalam
menyelesaikan tugas dan pekerjaannya. Kompetensi kerja adalah segala sesuatu
pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima.
Mulyasa (2002) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari
pengetahuan, keterampilan dan nilai sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan
berfikir dan bertindak, sedangkan kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam
melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Menurut Wibowo (2007), kompetensi sebagai kemampuan seseorang
untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, termasuk di
antaranya kemampuan seseorang untuk mentransfer dan mengaplikasikan
keterampilan dan pengetahuan tersebut dalam situasi yang baru dan meningkatkan
manfaat yang disepakati. Kompetensi juga menunjukkan karakteristik
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu
yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggung jawab mereka
secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan
mereka.
Beberapa pakar bidang sumber daya manusia pada konferensi di
Johannessburg pada 1995 menyepakati bahwa kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang saling terkait mempengaruhi sebagian
besar jabatan (peranan dan tanggung-jawab), berkolerasi dengan kinerja pada
jabatan tersebut, dan dapat diukur dengan standar-standar yang dapat diterima,
serta dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya pelatihan dan pengembangan
(Prihadi 2004). Artinya, kinerja setiap pekerjaan memerlukan kompetensi khusus

8
dan dapat ditingkatkan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan di tempat
kerjanya.
Suparno (2001) membagi kompetensi ke dalam tiga kemampuan yakni
kemampuan kognitif, kemampuan sensorik-motorik dan kemampuan afektif.
Menurut Wiles (Rosyada 2004), kompetensi kognitif terdiri atas: pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kemampuan afektif terdiri
atas: penerimaan, tanggapan, menerima nilai dan mengorganisasikan nilai.
Kompetensi psikomotorik terdiri atas: mengamati, meniru, mempraktekkan dan
menyesuaikan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kompetensi
merupakan kemampuan seseorang yang terdiri atas unsur pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang dibutuhkan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Menurut Bruner, pengetahuan selalu dapat diperbaharui, dikembangkan lebih
lanjut sesuai dengan perkembangan kematangan intelektual individu. Pengetahuan
bukan produk, melainkan suatu proses. Proses tersebut melibatkan tiga aspek
yaitu: 1) proses mendapatkan informasi baru dimana seringkali informasi baru ini
merupakan pengganti pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya atau
merupakan penyempurnaan informasi sebelumnya; 2) proses transformasi, yaitu
proses manipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas-tugas baru; 3) proses
mengevaluasi, yaitu mengecek apakah cara mengolah informasi telah memadai
(Suparno 2001).
Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf
dan otot-otot (neuromuscural) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah
seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya (Syah 2002). Menurut
Suparno (2001), belajar psikomotorik menekankan keterampilan motorik yaitu
bekerja dengan benda-benda atau aktivitas yang memerlukan kordinasi syaraf dan
otot. Untuk menjelaskan konsep ini digunakan contoh kegiatan berbicara, menulis,
berbagai aktivitas pendidikan jasmani,dan program-program keterampilan.
Sikap adalah perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang
lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya.
Sikap merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu obyek atau subyek yang
memiliki konsekwensi yakni cara seseorang berhadapan dengan obyek sikap (van
den Ban dan Hawkins 1999). Menurut Suparno (2001) sikap mempunyai tiga
karakteristik yaitu: 1) intensitas yakni kekuatan terhadap objek, 2) arah terhadap
objek, apakah positif-negatif ataupun netral, 3) target sesuai sasaran sikap,
terhadap apa sikap ditujukan. Sikap dipandang mempunyai komponen afektif atau
emosional, aspek konatif dan berakibat pada tingkah laku.
Kompetensi petani haruslah mengacu kepada perannya sebagai pelaku dan
manajer usahatani. Menurut Ruky dan Akhmad (2003) bahwa petani sebagai
pekerja atau penggarap (cultivator) perlu memiliki kecerdasan profesional (teknis)
dan kecerdasan pengelolaan (manajerial) berupa pengetahuan dan keterampilan
budidaya tanaman untuk menyelenggarakan kegiatan produksi usahatani.
Profesionalisme seseorang dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan
pada keadaan yang berbeda-beda, terkandung tanggung-jawab untuk membuat
suatu keputusan. Kompetensi dapat dikembangkan dari proses berpikir, praktek
dan pengalaman hidup seseorang. Orang yang memiliki kompetensi cenderung
melakukan pekerjaan dengan baik karena kepuasan bathin yang dirasakan.

9
Kompetensi yang satu berbeda dengan kompetensi yang lain dalam hal
jumlah bagian-bagiannya. Menurut Suparno (2001) makin kompleks, kreatif, atau
profesional suatu kompetensi, makin besar kemungkinan diterapkan dengan cara
berbeda (different fashion) pada setiap kali dilakukan, bahkan oleh orang yang
sama. Hal ini berbeda dengan kompetensi teknis yang relatif merupakan tindakan
mekanis yang setiap kali diterapkan dengan menggunakan cara yang sama
(usually premium for precision).
Dengan mengacu pada konsep dan pengertian kompetensi yang telah
dikemukakan para pakar tersebut, maka kompetensi petani adalah kemampuan
yang dimiliki petani berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya yaitu usahatani. Kompetensi petani
terbentuk dari proses berpikir dan pengalaman hidupnya, tetapi tidak selalu
permanen sehingga kompetensi perlu selalu ditingkatkan. Pengetahuan dan
keterampilan relatif lebih mudah dikembangkan dan diperbaiki yaitu dengan cara
pendidikan dan pelatihan, sedangkan sikap merupakan hal yang terdapat dalam
diri petani itu sendiri.

Kompetensi Agribisnis
Permentan (2012) tentang pedoman penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan, dan sertifikasi kompetensi sumber daya manusia hortikultura,
menjelaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki oleh sumber daya manusia hortikultura berupa pengetahuan,
keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatan
atau pekerjaannya. Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu
yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja sesuai dengan
standar yang ditetapkan. Kompetensi teknis adalah kemampuan sumber daya
manusia hortikultura dalam bidang teknis tertentu untuk pelaksanaan tugas dan
pekerjaannya masing-masing. Standar kompetensi kerja (SKK) adalah rumusan
kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan keahlian
serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas atau pekerjaan.
Kompetensi agribisnis petani merupakan kemampuan berpikir (tingkat
pengetahuan), bersikap (tingkat sikap mental), bertindak (tingkat keterampilan)
dalam berusahatani sesuai dengan standar agribisnis yang ditetapkan. Kompetensi
agribisnis merupakan hasil proses belajar petani yang ditentukan oleh hasil
interaksi antara faktor individu petani dan faktor lingkungan usahatani, melalui
proses belajar (Indrawati et al. 2011). Menurut Harijati (2007), kompetensi
agribisnis merupakan kemampuan petani untuk berpikir, bersikap dan bertindak
dalam merencanakan usahatani untuk memperoleh keuntungan berusahatani,
membangun kerjasama antar sub-sistem pertanian, serta mewujudkan kegiatan
pertanian yang berkelanjutan. Dalam berusaha agribisnis, petani haruslah
memiliki kompetensi agribisnis yang berhubungan dengan sub-sistem input, subsistem produksi, pengelolaan pasca panen dan pemasaran.
Beberapa penelitian tentang kompetensi petani menunjukkan bahwa
kompetensi petani masih perlu pengembangan. Hasil penelitian Harijati (2007)
terhadap petani sayuran lahan sempit di kota dan pinggiran Jakarta dan Bandung
menemukan bahwa petani memiliki keterampilan agribisnis cenderung rendah,

10
motivasi rendah, sebagian besar tidak memiliki akses sumber modal dan
informasi, serta kurang memiliki akses pembelajaran melalui penyuluhan dan
kelompok tani, dan dampaknya kinerja petani menjadi rendah.
Seiring itu, penelitian Damihartini dan Jahi (2005) mengenai kompetensi
agribisnis pada usahatani sayuran di Kabupaten Kediri Jawa Timur, kompetensi
agribisnis petani cabai yang perlu dikuasai adalah: a) pengetahuan, terdiri atas
perencanaan biaya produksi, pemanfaatan lahan secara efisien dan pemilihan
jenis komoditas; b) sikap, terdiri atas pengendalian, hama dan penyakit,
pemupukan dan penggunaan tehnologi secara efisien; dan c) keterampilan, terdiri
atas pemanfaatan lahan secara efisien, pasca panen dan perlakuan benih/bibit.
Lebih lanjut, penelitian Maulana (2013) pada kelompok usahatani Kecamatan
Lembang Kabupaten Bandung Barat, menunjukkan bahwa potensi kompetensi
individu dalam komunitas petani hal yang banyak dimiliki adalah kompetensi
budidaya, sedangkan kompetensi tata niaga (pemasaran) dan penunjang
(kerjasama dengan mitra bisnis) jarang dimiliki karena ke dua potensi ini
dibebankan kepada kelompok tani.
Hasil penelitian Malta (2008) di Kabupaten Pontianak Kalimantan Barat,
menunjukkan bahwa kompetensi petani jagung yang terdiri atas: perencanaan
usaha, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemupukan,
pengendalian hama dan penyakit, panen, penanganan pasca panen dan pemasaran
termasuk kategori sedang; kegiatan usahatani umumnya masih bersifat tradisional
dan belum dilakukan secara tepat sesuai dengan teknologi anjuran. Penelitian
Rayuddin (2010) di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara, menemukan
bahwa tingkat kompetensi agribisnis petani kakao terkategori sedang pada
kemampuan menyiapkan sarana produksi dan peralatan usahatani, dan terkategori
rendah pada kemampuan perencanaan usahatani, kemitraan bisnis usahatani,
evaluasi dan pengendalian usahatani, dan pengambilan keputusan terhadap resiko
usahatani.
Hasil penelitian Yadav et al. (2013) di India tentang development of a test
for measuring the knowledge level of women farmers in vegetable cultivation,
menemukan bahwa dari 100 orang perempuan yang menjadi responden hanya 14
persen memiliki pengetahuan yang tinggi tentang budidaya sayuran, 66 persen
berpengetahuan sedang dan selebihnya berpengetahuan rendah. Penelitian Eze et
al. (2013) terhadap petani kacang okra di negara bagian Enugu, menemukan
bahwa tingkat produksi petani rendah, petani kacang okra perlu pengembangan
kapasitas kompetensi dalam perencanaan usaha, budidaya, panen dan pasca panen.
Abdullah dan Jahi (2006) menyebutkan bahwa pengetahuan ialah bagian
dari kemampuan intelektual atau kognitif petani tentang teknis produksi dan
manajemen usahatani sayuran. Pengetahuan petani itu meliputi sembilan bidang
yang harus dikuasai oleh petani agar mampu mengelola usahatani sayuran dengan
baik yaitu: 1) pemilihan komoditas sayuran dan cara penanamannya, 2) perlakuan
benih/bibit, 3) pemupukan dan pengendalian hama penyakit, 4) pengairan, 5)
permodalan, 6) tenaga kerja, 7) penggunaan teknologi, 8) kendala dan peluang
usahatani sayuran, dan 9) pemasaran hasil usahatani. Sementara Kustiari (2006)
menyebutkan bahwa pengetahuan untuk mengelola lahan marjinal yang perlu
dikuasai petani meliputi: pengetahuan tentang cara, manfaat, dan penggunaan
pupuk kompos (organik), manfaat terasering, pengapuran, pengelolaan pasca
panen, penggunaan dan seleksi bibit unggul serta pemasaran.

11
Kompetensi agribisnis petani sayuran pada lahan sempit merupakan
kemampuan petani yang terdiri atas pengetahuan, sikap dan keterampilan petani
dalam mendayagunakan lahan sempit secara optimal untuk usahatani sayuran.
Berdasarkan konsep kompetensi, review penelitian terdahulu dan sesuai dengan
kondisi daerah dan dikaitkan dengan konsep agribisnis yaitu sub-sistem input,
sub-sistem produksi, dan sub-sistem output, pengolahan, dan pemasaran, maka
bidang kompetensi yang akan diteliti dalam penelitian ini, meliputi: 1)
perencanaan usahatani, 2) pendayagunaan faktor produksi, 3) penerapan budidaya
sayuran, 4) pemasaran hasil usahatani, dan 5) kemitraan usahatani.
1) Perencanaan usahatani
Perencanaan usahatani merupakan suatu proses pengambilan keputusan
tentang segala sesuatu yang akan dilakukan sebelum melaksanakan usahatani.
Iqbal dan Simanjuntak (2004) mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan
suatu usaha, perencanaan adalah suatu rangkaian dari rencana kegiatan yang akan
dilakukan untuk menjalankan suatu usaha pada periode tertentu, mencakup:
pengelolaan usaha, produk atau jasa yang dijual, pasar dan pemasaran, serta
proyeksi keuangan.
Dalam perencanaan usahatani lahan sempit, salah satu dasar penentuan jenis
tanaman yang akan diusahakan adalah luas usahatani dan biaya produksi serta
perbandingan penerimaan dan biaya. Persoalan luas usahatani dan biaya produksi
akan menjadi penting dalam menentukan jenis tanaman yang akan diusahakan
manakala petani dihadapkan pada keterbatasan sumber daya, baik luas lahan,
modal untuk sarana produksi dan membayar upah tenaga kerja. Implikasinya,
walaupun suatu usahatani dapat memberikan pendapatan tertinggi, belum tentu
merupakan pilihan terbaik untuk dilaksanakan karena luas dan jenis usahatani
berkaitan dengan biaya produksi (Wathoni 2009).
Hasil penelitian Syafiuddin (2008) di Sulawesi Selatan menemukan bahwa
kemampuan petani dalam merencanakan usahatani rumput laut masih rendah.
Penyebabnya adalah pengetahuan dan keterampilan petani pada setiap kelompok
umur tentang perencanaan masih kurang. Rendahnya pengetahuan dan
keterampilan menyebabkan mereka belum menganggap perencanaan tersebut
penting. Seiring itu, penelitian Damihartini (2005) di Kediri Jawa Timur
menemukan bahwa pengetahuan petani tentang perencanaan biaya produksi
usahatani cabai masih rendah.
Perencanaan agribisnis dimulai dari: a) identifikasi kebutuhan pasar, b)
identifikasi kebutuhan industri hilir, c) identifikasi jaringan ketersediaan agro
input, d) identifikasi jaringan ketersediaan modal usaha, e) penyusunan pola
usahatani yang memiliki keunggulan kompetitif komoditi, f) perencanaan modal,
dan