Komunikasi, Kohesivitas Dan Pembentukkan Identitas Di Kalangan Komuter Berkereta Api.

KOMUNIKASI, KOHESIVITAS DAN PEMBENTUKAN
IDENTITAS DI KALANGAN KOMUTER BERKERETA API
(Kasus: Kereta Api Patas Purwakarta)

SITI KHADIJAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Komunikasi Kelompok,
Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter” adalah benar karya saya
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan ini telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Nopember 2015
Siti Khadijah
NRP I352120101

RINGKASAN
Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan Komuter Berkereta
Api. Dibimbing oleh DJUARA P LUBIS dan RILUS KINSENG.
Kereta Api Patas Purwakarta merupakan moda transportasi andalan pekerja di
Jakarta yang berdomisili di Purwakarta, Cikampek, Karawang, Cikarang hingga Tambun.
Umumnya penumpang yang berada disetiap gerbong selalu sama. Kondisi gerbong yang
padat, latar belakang beragam serta wajah penumpang kereta yang selalu sama setiap
harinya menciptakan kedekatan di antara sesama penumpang melalui komunikasi.
Melalui komunikasi yang intensif setiap hari akhirnya membentuk kelompok-kelompok
sosial dalam gerbong kereta karena memiliki tujuan sama yaitu keamanan dan
kenyamanan selama dalam perjalanan. Penelitian ini menghasilkan (1) deskripsi proses
komunikasi kelompok dan kohesivitas gerbong empat KA. Patas Purwakarta, (2) analisis
hubungan proses komunikasi kelompok dengan karakteristik
individu dan akses
informasi, (3) analisis hubungan kohesivitas dengan karakteristik individu dan akses
informasi, (4) analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan proses

komunikasi kelompok dan kohesivitas (5) analisis hubungan pembentukkan identitas
kelompok dengan manfaat kelompok.
Penelitian ini dilaksanakan di gerbong empat KA. Patas Purwakarta. Jumlah
responden dalam penelitian ini adalah 86 responden. Teknik pengambilan sampel
dengan menggunakan accidental sampling, sedangkan untuk informan berjumlah 7
orang yang dipilih dengan menggunakan teknik snowball sampling.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa setiap anggota kelompok terlibat aktif
dalam proses komunikasi sebesar 82.6 %, sehingga proses komunikasi yang berjalan
bersifat dinamis dan terbuka. Setiap anggota kelompok mengerti terhadap pesan yang
disampaikan dalam kelompok sebesar 91.9 %. Pesan-pesan yang disampaikan dalam
kelompok adalah informasi seputar keluarga, pekerjaan dan gaya hidup. Setiap individu
memiliki pengetahuan dan ketaatan yang tinggi terhadap norma sebesar 86 %. Norma dan
sanksi hanya untuk mengatur partisipasi anggota dalam proses komunikasi dan berlaku
efektif walaupun tidak tertulis. Kohesivitas terbentuk di antara anggota kelompok melalui
perasaan saling sebesar 84.0%, keterbukaan sebesar 66.3%, kebersamaan dalam
kelompok sebesar 72.1% dan kebersamaan diluar kelompok sebesar 50%. Umur
memiliki hubungan nyata negatif dengan dengan tingkat pengetahuan dan ketaatan
terhadap norma kelompok. Artinya semakin bertambah usia anggota kelompok maka
semakin rendah tingkat pengetahuan dan ketaatan anggota terhadap norma kelompok.
Posisi pekerjaan memiliki hubungan negatif dengan peran dalam komunikasi, semakin

baik posisi pekerjaan anggota kelompok maka semakin rendah perannya dalam proses
komunikasi. Jenis kelamin memiliki perbedaan nyata dengan proses komunikasi
kelompok. Posisi pekerjaan yang memiliki hubungan negatif dengan dengan
kebersamaan di luar gerbong. Terdapat perbedaan nyata antara jenis kelamin dengan
kebersamaan di luar gerbong. Kebersamaan memiliki hubungan yang sangat nyata
dengan akses informasi. Pembentukan identitas berhubungan dengan proses komunikasi
dan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok yang dapat dilihat dari semakin tinggi
keterlibatan anggota kelompok dalam proses komunikasi maka semakin tinggi pula
pembentukkan identitas kelompok. Semakin tinggi perasaan saling memiliki antar sesama
anggota kelompok maka semakin tinggi pembentukkan identitas. Pembentukkan identitas
kelompok berhubungan sangat nyata dengan manfaat yang diterima oleh anggota dan
keluarga anggota kelompok.
Kata Kunci: Komunikasi, kohesivitas, pembentukkan identitas.

SUMMARY
SITI KHADIJAH. Communication, Cohesiveness and Identity Among Commuters
Buggy Fire. Supervised by DJUARA P LUBIS and RILUS KINSENG.
Railway Patas Purwakarta is the only mode of transportation of workers who live
in Purwakarta, Cikampek, Karawang, Cikarang until Tambun. Generally, passengers are
always the same in every carriage. Conditions of carriage of solid, diverse backgrounds

and train passengers face is always the same every day creates closeness among fellow
passengers through communication. Through intensive communication every day
eventually forming social groups in the train because it has the same purpose, namely
security and comfort during the trip. This study aimed to (1) description the process of
group communication and cohesiveness railway Patas Purwakarta, (2) analysis of
relationship communication process group with individual characteristics and access to
information, (3) analysis of the relationship cohesiveness with individual characteristics
and access to information, (4) analysis of the relationship formation of group
identity
with the group communication and cohesiveness (5) analysis of the relationship
formation of group identity with group benefits.
The study was conducted to 86 members of the group in KA.Patas Purwakarta
with quantitative methods using questionnaires as research instruments. Sampling
technique using accidental sampling, while the informant amounted to 7 people were
selected using snowball sampling technique. Test analysis using Spearman rank statistic
and chi Square to analyze the relationship between the characteristics of the group
members, with the communication process and individual attitudes towards cohesiveness
among commuters.
The study states that each member of the group is actively involved in the
communication process amounted to 82.6%, so the communication process runs is

dynamic and open. Each member of the group understand the message conveyed in the
group amounted to 91.9%. The messages conveyed in the group is information about
family, work and lifestyle. Every individual has the knowledge and observance of high
against the norm of 86%. Norms and sanctions just to organize members' participation in
the communication process and is effective even if unwritten. Cohesiveness is formed
between the group members through mutual feelings of 84.0%, amounting to 66.3% of
openness, togetherness in the group amounted to 72.1% and togetherness outside the
group by 50%. Age has a real negative correlation with the level of knowledge and
adherence to group norms. It means increasing the age of members of the group, the
lower the level of knowledge and adherence to the norms of the group members. The
position of the work has a negative relationship with a role in the communication, the
better the job position of the group, the lower its role in the communication process.
Gender has a significant difference with the group communication process. Job positions
have a negative relationship with the togetherness outside the carriage. There is a real
difference between the sexes with togetherness outside the carriage. Togetherness have a
very real connection with access to information. The formation of identity associated with
the process of communication and individual attitudes toward group cohesiveness that
can be seen from the higher involvement of members of the group in the communication
process, the higher the formation of group identity. The higher the feeling of belonging
among fellow members of the group, the higher the formation of identity. The formation

of a very real group identity associated with the benefits received by members and family
members of the group.
Keywords: Communication, cohesiveness, identity formation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI, KOHESIVITAS DAN PEMBENTUKAN
IDENTITAS DI KALANGAN KOMUTER BERKERETA API
(Studi Kasus: KA. Patas Purwakarta)

SITI KHADIJAH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
Pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS

Judul Tesis : Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan
Komuter Berkereta Api
Nama
: Siti Khadijah
NRP
: I352120101

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Djuara P Lubis, MS
Ketua

Dr Ir Rilus A Kinseng, MA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 11 Nopember 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa apa yang telah
dilimpahkan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian ini dengan
judul “Komunikasi Kelompok, Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas di Kalangan
Komuter” yang mana penulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Master Komunikasi pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manumur, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kerpada Dr Ir Djuara Lubis, MS
dan Dr Ir Rilus Kinseng MA selaku komisi pembimbing atas segala arahan, saran, dan
bimbingannya. Penulis sampaikan penghargaan kepada penumpang kereta api Patas
Purwakarta, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga
penulis sampaikan kepada suami dan ananda tercinta atas segala doa dan
dukungannya, serta kepada seluruh teman-teman KMP angkatan 2012 atas segala
motivasi dan semangat yang diberikan.
Semoga karya ini bermanfaat.

Bogor, Nopember 2015
Siti Khadijah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

Halaman
xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1

2


3

4

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Commuting (Nglaju)
Kelompok Sosial
Komunikasi Kelompok
Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasi
Model Komunikasi Kelompok
Kohesivitas Kelompok
Pembentukkan Identitas Kelompok
Karakteristik Individu
Hasil Studi Komunikasi Kelompok, Kohesivitas, Pembentukkan Identitas
Kelompok dan Kebaruan Penelitian
Perumusan Kerangka Berfikir
Hipotesis

2
4
5
5
6
8
10
10
12
13
15
18
19
21
22

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Populasi dan Sampel
Sumber Data Penelitian
Instrumen Penelitian
Definisi Konseptual
Definisi Operasional
Uji Validitas dan Reliabilitas
Analisa Data

24
24
24
24
25
25
26
28
30

GAMBARAN UMUM KA. PATAS PURWAKARTA
Pola Operasi Kereta Api Ptas Purwakarta
Karakteristik Komuter
Proses Komunikasi Terbentuknya Kelompok “Gerbong Setan”
Peran dan Partisipasi Anggota Kelompok
Pengetahuan dan Ketaatan terhadap Norma
Kohesivitas Kelompok Gerbong Empat

31
33
36
39
41
41

5

6

7

8

PROSES KOMUNIKASI KELOMPOK DAN KOHESIVITAS SERTA
FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA GERBONG EMPAT
Proses Komunikasi Kelompok
Kohesivitas Kelompok
Hubungan Proses Komunikasi Kelompok dengan Karakteristik
Anggota dan Akses Informasi
Hubungan Kohesivitas Kelompok dengan Karakteristik Anggota
dan Akses Informasi
PEMBENTUKKAN
IDENTITAS
KELOMPOK
DAN
HUBUNGANNYA
DENGAN
PROSES
KOMUNIKASI
KELOMPOK DAN KOHESIVITAS
Pembentukkan Identitas Kelompok Melalui Pelembagaan
Pembentukkan Identitas Kelompok Melalui Internalisasi
Hubungan Proses Komunikasi Kelompok dengan Pembentukkan Identitas
Kelompok
Hubungan Kohesivitas dan Pembentukkan Identitas Kelompok
MANFAAT KELOMPOK
Manfaat Kelompok Bagi Diri Anggota Kelompok
Manfaat Kelompok Bagi Keluarga Anggota Kelompok
Hubungan Pembentukkan Identitas Kelompok dengan
Kelompok
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

44
47
50
52

54
56
59
60

62
66
Manfaat 68

69
70

DAFTAR PUSTAKA

71

LAMPIRAN

77

RIWAYAT HIDUP

82

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Halaman
28
29
35

Hasil uji reliabilitas instrumen penelitian
Nilai uji koefisien cronbach alpha
Jumlah dan presentase responden menurut karakteristik anggota
kelompok KA.Patas Purwakarta tahun 2014
Jumlah
dan Persentase Proses Komunikasi dalam Kelompok tahun 2014
s Purwakarta
Jumlah dan persentase kohesivitas kelompok tahun 2014
Hubungan karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan
proses komunikasi tahun 2014
.Nilai uji chi square karakteristik anggota kelompok dengan proses
komunikasi tahun 2014
Hubungan karakteristik anggota kelompok dan akses informasi dengan
sikap individu terhadap kohesivitas kelompok tahun 2014
Nilai uji chi square karakteristik anggota kelompok dan akses informasi
dengan sikap individu terhadap kohesivitas kelompok tahun 2014
Jumlah dan persentase pembentukkan identitas kelompok gerbong empat
KA.Patas Purwakarta melalui proses pelembagaan tahun 2014
Jumlah dan persentase pembentukan identitas kelompok gerbong empat
KA.Patas Purwakarta melalui proses internalisasi tahun 2014
Hasil uji korelasi antara proses komunikasi dengan pembentukkan identitas
tahun 2014
Hasil uji korelasi antara kohesivitas dengan pembentukkan identitas
kelompok gerbong empat KA.Patas Purwakarta tahun 2014
.
Jumlah
dan persentase manfaat kelompok gerbong empat KA.Patas
Purwakarta bagi diri
Jumlah dan persentase manfaat kelompok gerbong empat KA.Patas
Purwakarta bagi keluarga
Hasil
uji korelasi antara pembentukkan identitas kelompok
.

45
48
51
79
53
79
55
57
60
61
63
67
69

i

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk
2 Kerangka berfikir
3 Jalur KA.Patas Purwakarta
4 Aktivitas komunikasi dalam gerbong kereta
5 Partisipasi Anggota Kelompok dengan Memberi Sumbangan Sukarela
6 Ekspresi bahagia anggota kelompok yang dapat arisan
7 Aktivitas bermain kartu gaple

7
22
33
46
47
64
65

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tabel Chi Square
2 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
3 Pola Operasi KA.Patas Purwakarta tahun 2014
4 Informan Penelitian
5 Dokumentasi Penelitian
6 Website Informasi Kereta Api

79
80
81
82
83
84

ii

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah komuter di Indonesia mencapai 6,9 juta orang. Dari total komuter
tersebut 3,6 juta orang berada di wilayah Jabodetabeka (Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi dan Karawang) (Laporan Deputi Gubernur bidang
Perindustrian, Perdagangan dan Transportasi 2014). Tingginya tingkat mobilitas
komuter menuju kota Jakarta karena aktivitas industri dan perdagangan di
perkotaan dan semakin sulit kesempatan bekerja di pedesaan. Goldthorpe (1992)
dan Almeida (2005) mengatakan bahwa komuter yang berdatangan dari desa ke
kota, disebabkan karena areal pertanian yang menjadi mata pencaharian berkurang
signifikan. Akibatnya muncul ekspansi kegiatan perkotaan (komuter).
Setiap hari, mobilitas komuter mengalir deras dari berbagai daerah
pinggiran kota menuju pusat kota (Surya 2006). Sebagian besar komuter
melakukan mobilitas untuk bekerja (Abdillah 2014). Jakarta menjadi tujuan
komuter karena percepatan pembangunan dan pertumbuhan industri terus
meningkat. Friedman mengidentifikasi kota sebagai wilayah inti yang berperan
sebagai pusat pelayanan dan sebagai pusat pembangunan dan dapat memberikan
peluang ekonomi (Adisasmita 2006).
Di Indonesia, umumnya para komuter memilih tempat tinggal di daerah
pinggiran karena kemampuan yang terbatas untuk membeli atau menyewa lahan
sebagai tempat tinggal. Komuter yang memilih tempat tinggal di daerah pinggiran
memberikan dampak positif bagi pusat kota, yaitu mengurangi kepadatan
penduduk dan semakin berkembangnya daerah pinggiran sebagai tempat tinggal
para komuter (Badan Pusat Statistik 2014). Menurut Marbun (1979) mobilitas
komuter yang tinggi harus diimbangi dengan ketersediaan dan kemudahan sarana
transportasi dan pendukungnya. Ketersediaan dan kemudahan sarana transportasi
seperti kereta api, APTB (Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway), omprengan
(mobil pribadi yang membawa penumpang orang kantoran dengan memungut
biaya kepada penumpang) menyebabkan komuter memilih tempat tinggal di
daerah pinggiran sementara wilayah bekerja berada di pusat kota. Dampak negatif
yang ditimbulkan oleh mobilitas komuter juga tidak sedikit, yaitu kemacetan
yang tidak bisa dihindari setiap harinya, polusi, dan peningkatan stres.
Transportasi massal seperti bis, omprengan dan kereta api menjadi solusi untuk
mengurangi kemacetan, polusi dan stress. Jasa transportasi omprengan menjadi
sarana transportasi alternatif yang berkembang pesat sejak kenaikan BBM.. Para
pekerja kantoran yang biasa pulang pergi membawa kendaraan pribadi beralih
dengan memilih mobil omprengan. Hal ini dilakukan untuk menghemat
pengeluaran setiap bulan.
Namun demikian jumlah komuter yang bermigrasi ke kereta api lebih
banyak daripada mobil omprengan dan bis. Hal ini dikarenakan komuter yang
menggunakan mobil akan mengalami stres yang lebih karena macet dibandingkan
dengan komuter yang menggunakan kereta api (Wener dan Evans 2011).
Kereta api sebagai salah satu moda transportasi publik menjadi alternatif
untuk mengatasi kemacetan menuju pusat kota karena dapat mengangkut
penumpang sebanyak 1500 orang setiap satu kali perjalanan (Wiloyonoyudho

2
2015). Selain itu kereta api memiliki keunggulan seperti tarif yang terjangkau bagi
kalangan menengah bawah, waktu perjalanan relatif cepat, bebas dari kemacetan
jalan raya dan stress (Wener dan Evans 2011) serta sesuai untuk daerah yang
memiliki kepadatan penduduk dengan lahan terbatas dan kegiatan ekonomi tinggi
(Munawar 2005). Jumlah komuter yang bermigrasi ke kereta setiap harinya kian
bertambah 800.000-an orang sebagai imbas dari kenaikan BBM (Julianery 2015).
Perjalanan menggunakan kereta api diminati sebagian besar komuter yang bekerja
di kota Jakarta tetapi memiliki tempat tinggal di daerah pinggiran. Sejarah
mencatat, dari masa kolonial kereta api berperan menghubungkan kota-kota besar
hingga daerah pedesaan (Ilmanda 2013).
Jumlah penumpang akan meningkat saat jam sibuk baik pagi dan sore hari.
Hal ini menyebabkan setiap gerbong kereta api selalu penuh dan padat, namun
penumpang yang memenuhi gerbong tersebut selalu sama orangnya setiap hari.
Penumpang-penumpang yang selalu bertemu setiap hari di dalam gerbong saling
berinteraksi dan berkomunikasi. Menurut McFarlane (2010) komunikasi sebagai
jalan untuk mengelola hubungan dengan orang lain dalam rangka mencapai tujuan
yang diinginkan. Perjalanan dengan menggunakan kereta api menjadi ruang bagi
individu-individu dalam gerbong kereta untuk saling mengenal dengan cara
berinteraksi dan berkomunikasi setiap harinya sebagai solusi untuk mengusir rasa
jenuh dan stress selama dalam perjalanan menuju tempat masing-masing.
Interaksi dan komunikasi setiap hari secara intensif baik pada saat berangkat
bekerja dan pulang bekerja menciptakan kedekatan antara satu penumpang dengan
penumpang lainnya dalam kereta. Komunikasi dan interaksi yang intensif setiap
harinya akhirnya membentuk kelompok dalam gerbong kereta. Kelompok
menurut Adler, terdiri dari “a small collection of people who interact each other,
usually face to face, over time in order to reach goals” (2009). Kelompok
setidaknya harus terdiri dari tiga atau lebih individu yang berinteraksi satu sama
lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Telah terjadi pergeseran nilai sangat mendasar pada masyarakat industri.
Kelompok terbentuk berdasarkan pilihan sukarela dan kesamaan profesi ataupun
hobi yang umumnya selalu berorientasi ekonomi (Hidayat 2015). Menurut
Gerhard Lenski (Macionis 2012) perubahan masyarakat terjadi salah satunya
karena dampak sosial teknologi transportasi. Teknologi transportasi bagi
masyarakat urban berpengaruh terhadap intensitas interaksi sosial, membuat orang
yang tinggal bersebelahan dalam satu wilayah tidak mengenal satu sama lain dan
interaksi intensif berpindah pada ruang perjalanan (transportasi). Kelompokkelompok sosial nonkeluarga seperti teman selama perjalanan mulai mengambil
peran lebih besar dalam sosialisasi budaya, pendidikan, dan pekerjaan individu
serta membuka peluang masyarakat untuk saling bertukar gagasan melalui
komunikasi. Komunikasi ini lalu mendorong perubahan sosial (social change)
dengan terbentuknya komunitas baru seperti komunitas nebeng (nebengers), dan
komunitas kereta api Patas Purwakarta.
Komunitas nebeng (nebengers) awalnya terbentuk berdasarkan kebutuhan
informasi komuter untuk mengetahui titik-titik berkumpul para pemberi
tumpangan sesuai dengan daerah tujuan. Kebutuhan pendataan para nebengers
membuat para anggota berinisiatif untuk melakukan pertemuan sekaligus
mengakrabkan anggota.. Pertemuan ternyata tidak hanya mengakrabkan anggota
komunitas nebengers saja melainkan juga membangun kepercayaan dan relasi

3
dengan sesama para anggota. Selain pada komunitas nebengers, komunitas
berkereta api juga terbentuk dari para komuter berkereta api. Pertemuan setiap
hari para komuter di dalam gerbong kereta, membentuk kelompok pada KA. Patas
Purwakarta.
Kelompok pada KA. Patas Purwakarta terbentuk di latar belakangi oleh
kepentingan serta tujuan yang sama yaitu memperoleh rasa aman dan nyaman
selama dalam perjalanan. Menciptakan rasa aman dan nyaman bagi penumpang
harusnya menjadi tanggung jawab PT. KAI (Persero) sesuai dengan UU No .23
tahun 2007 yang menyebutkan bahwa “Perkeretaapian diselenggarakan dengan
tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal
dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien,
serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak
pembangunan nasional” (Departemen Perhubungan 2007).
Kelompok sosial komuter pada KA. Patas Purwakarta merupakan
kelompok yang anggotanya berasal dari semua golongan masyarakat dengan suku,
agama dan latar belakang yang berbeda. Komunikasi verbal dan non verbal yang
kerap dilakukan oleh anggota kelompok memunculkan julukan khusus kepada
kelompok yang terbentuk. Bentuk komunikasi non verbal yang diperlihatkan
begitu unik dan khas. Prilaku komunikasi muncul sebagai bentuk perlindungan
kepada anggota kelompok apabila ada penumpang “asing” atau di luar anggota
gerbong mengancam kenyamanan dan keamanan anggota kelompok. Prilaku
komunikasi ini merupakan proses kognitif sosial terkait dengan kelompok dalam
menghasilkan identitas sosial dan perilaku kelompok (Hogg 2006).
Di dalam kelompok sosial ini, terdapat beberapa hal menarik ditemukan,
misalnya dalam hal perilaku-perilaku komunikasi komuter secara individu
maupun secara berkelompok yang disebabkan interaksi antar anggotanya yang
memiliki latar belakang berbeda-beda. Misalnya saja ada anggota kelompok
yang masih single mendapatkan jodohnya pada kelompok sosial ini juga. Dengan
bergabungnya penumpang kereta ke dalam kelompok sosial ini, mereka
mendapatkan beberapa hal positif bagi dirinya. Kesan positif yang tertanam pada
anggota kelompok membentuk rasa saling percaya serta tolong menolong antara
satu dengan yang lainnya bahkan lingkungan disekitar mereka.
Individu-individu yang berinteraksi di dalam kereta memiliki berbagai
macam aktivitas di dalam dan di luar kereta sebagai bentuk kohesivitas kelompok.
Beal, Cohen, Burke, and McLendon (2003) berpendapat bahwa kohesivitas
kelompok terdiri dari interaksi interpersonal, komitmen tugas, dan kebanggaan
kelompok. Komitmen yang diberikan oleh individu yang bergabung dalam
kelompok diantaranya adalah mengikuti kegiatan bersama diluar gerbong seperti
berkunjung ke rumah anggota dengan momentum arisan, menghadiri undangan
perkawinan, mengunjungi anggota yang sakit dan lain-lain. Kebersamaan anggota
tidak hanya sekedar di dalam gerbong kereta atau selama dalam perjalanan saja,
melainkan juga dilakukan di luar gerbong kereta sebagai wujud kohesivitas
kelompok. Kohesivitas kelompok sejatinya mampu mempengaruhi suasana
kelompok dalam merealisasikan tujuan-tujuan kelompok. Kohesivitas yang telah
terbentuk tentunya tidak begitu saja tercipta dan mudah dipertahankan, ada
proses. Perbedaan latar belakang etnis, sosial ekonomi anggota dan komunikasi
terus menerus terkadang menjadi permasalahan yang kerap muncul diantara
sesama anggota komuter maupun di luar anggota kelompok dan ini dapat

4
mengganggu komunikasi anggota kelompok dan kohesivitas kelompok sosial
komuter.
Mobilitas komuter merupakan aktivitas yang selalu ada pada masyarakat
industri. Teknologi transportasi kereta api bagi masyarakat urban berpengaruh
terhadap interaksi sosial yang pendorong perubahan sosial (social change)
dengan terbentuknya komunitas-komunitas nonkeluarga melalui hubungan
pertemanan selama dalam perjalanan. Aktivitas interaksi dan komunikasi komuter
selama dalam perjalanan akan berpengaruh terhadap sosialisasi budaya,
pendidikan, pekerjaan individu dan membuka peluang masyarakat untuk saling
bertukar ide dan gagasan melalui komunikasi. Hal ini tentunya tidak hanya
berpengaruh pada pembentukan kelompok sosial komuter saja, tetapi juga
berkorelasi terhadap manfaat yang diterima oleh individu anggota dan keluarga
masing-masing anggota. Sosialisasi dan pertukaran informasi dari proses
komunikasi mampu membangun budaya,
pengetahuan anggota dan
menularkannya kepada keluarga masing-masing. Melihat pentingnya proses
komunikasi dan interaksi komuter selama dalam perjalanan sebagai pendorong
perubahan sosial, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dengan judul “Komunikasi, Kohesivitas dan Pembentukan Identitas di Kalangan
Berkereta Api”.
Perumusan Masalah
Peningkatan mobilitas komuter menyebabkan kemacetan tidak bisa
dihindari setiap harinya. Kereta api sebagai moda transportasi komuter mengambil
peran sebagai moda transportasi alternatif untuk mengurangi kemacetan menuju
Jakarta. Namun segala sesuatu ada sisi positif dan negatifnya. Di samping sebagai
moda transportasi yang murah dan cepat, ternyata kereta juga memiliki kelemahan
dari sisi keamanan dan kenyamanan, khususnya KA. Patas Purwakarta.
Kondisi gerbong yang padat, dengan wajah penumpang yang selalu sama
setiap harinya akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial di gerbong
kereta. Perbedaan latar belakang dan karakter antar penumpang yang beragam
seperti suku, etnis, agama dan status sosial ekonomi tidak menjadi halangan dalam
membentuk kelompok. Kelompok sosial yang terbentuk berawal dari komunikasi.
Proses komunikasi yang terjadi mampu membentuk kelompok-kelompok sosial
dalam gerbong kereta. Melalui komunikasi secara individu maupun kelompok
terjadi pertukaran informasi, gagasan, dan pengalaman, sekaligus menjadi bagian
dari proses perubahan sosial. Kohesivitas kelompok sebagai salah satu upaya
dalam merekatkan jalinan komunikasi para anggotanya.
Namun kenyataannya dalam menyampaikan informasi dan menerima
informasi merupakan hal yang tidak mudah, dan menjadi tantangan dalam proses
komunikasinya. Belum lagi perbedaan latar belakang anggota dan komunikasi
terus menerus terkadang menjadi permasalahan yang kerap muncul diantara
sesama anggota maupun di luar anggota kelompok dan ini dapat mengganggu
komunikasi dan kohesivitas kelompok sosial komuter baik yang dilakukan di
internal kelompok maupun eksternal kelompok.
Aktivitas komuter selama dalam perjalanan tidak hanya berpengaruh pada
terbentuknya kelompok sosial sesama komuter saja, tetapi juga berkorelasi
terhadap interaksi mereka di tempat tinggal mereka. Pengetahuan dan informasi

5
yang diperoleh dari perkotaan diharapkan mampu membangun pengetahuan
anggota dan bermanfaat bagi keluarga mereka. Hal-hal ini menarik untuk
eksplorasi lebih lanjut dengan berfokus pada isu-isu dan tantangan yang ada
dalam kelompok sosial komuter. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka
permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses komunikasi dan kohesivitas dalam kelompok gerbong
empat KA. Patas Purwakarta?
2. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan
proses komunikasi?
3. Bagaimana hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan
kohesivitas kelompok?
4. Bagaimana hubungan pembentukkan identitas dengan proses komunikasi
dan kohesivitas?
5. Bagaimana hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat
kelompok?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian utama dalam penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan proses komunikasi kelompok dan kohesivitas pada gerbong
empat KA.Patas Purwakarta. Secara lebih rinci tujuan penelitian adalah
menghasilkan :
1. Deskripsi proses komunikasi dan kohesivitas gerbong empat KA. Patas
Purwakarta.
2. Analisis
hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan
proses komunikasi.
3. Analisis hubungan karakteristik individu dan akses informasi dengan
kohesivitas kelompok.
4. Analisis hubungan pembentukkan identitas dengan proses komunikasi
kelompok dan kohesivitas.
5. Analisis hubungan pembentukkan identitas kelompok dengan manfaat
kelompok.
Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kegunaan Akademis
Memperkaya khasanah penelitian komunikasi dengan bidang kajian
komunikasi pembangunan, kemudian hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi
pembangunan, khususnya komunikasi dan kohesivitas kelompok sosial
dalam bidang kajian komunikasi pembangunan.
2. Kegunaan Praktis
Bagi peneliti, hasil penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan
pemahaman lebih mengenai komunikasi kelompok commuter, khususnya
kohesivitas kelompok sosial. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai
bahan yang berguna bagi mahasiswa sebagai referensi, pemerintah dalam
kebijkan pembangunan di desa dan di kota, serta pihak-pihak lain yang
berkepentingan.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Commuting (Nglaju)
Penglaju berasal dari kata “nglaju” (Jawa) yang berarti pergi ke tempat
lain umumnya mengerjakan suatu pekerjaan dan tidak punya rencana untuk
menginap di tempat tujuan. Menurut Mantra (2000), mobilitas harian (nglaju)
atau komuter adalah jika seseorang yang bekerja dalam satu hari, yaitu pergi pada
pagi hari dan kembali sore hari atau di hari yang sama, dilakukan secara terus
menerus setiap harinya. Salah satu alasan mobilitas penduduk dari desa ke kota
adalah pekerjaan. Badan Pusat Statistik (2015) menyebutkan bahwa komuter
adalah seseorang yang melakukan suatu kegiatan bekerja/sekolah/kursus di luar
Kabupaten/Kota tempat tinggal dan secara rutin pergi dan pulang (PP) ke tempat
tinggal pada hari yang sama.
“Nglaju” tidak mempunyai batasan yang jelas. Lee (1966)
mengungkapkan bahwa tidak ada pembatasan jarak perpindahan penglaju
sehingga peneliti dapat mempergunakan batas administrasi seperti Negara,
propinsi, kabupaten, kecamatan maupun kelurahan atau dukuh. Semua itu
tergantung pada tujuan penelitian. Oleh karena itu, definisi umum komuter atau
penglaju adalah orang yang keluar dari batas wilayah tertentu dalam waktu yang
tertentu pula.
Kemudahan komuter untuk melakukan mobilitas di dukung oleh
teknologi transportasi dan pendukungnya. Menurut Suparlan teknologi adalah alat
yang efektif untuk mengubah suatu kebudayaan, termasuk kereta api yang
membawa komuter dari wilayah pinggiran ke wilayah perkotaan atau sebaliknya
(Syafri 2010)
Mantra (2000) menyebutkan bahwa mobilitas penduduk dapat dibedakan
menjadi dua, pertama mobilitas penduduk permanen yaitu gerak penduduk yang
melintas batas wilayah asal menuju ke wilayah lainnya dengan niatan menetap di
daerah tujuan, kedua mobilitas penduduk non permanen yaitu gerak penduduk
dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan tidak ada niatan menetap di daerah
tujuan. Jadi seberapapun lamanya seorang telah bertempat tinggal di suatu
daerah tujuan selama tidak ada niat untuk menetap di daerah tujuan maka orang
tersebut disebut migran non permanen.
Mobilitas penduduk non permanen dapat pula dibedakan menjadi dua,
yang pertama mobilitas penduduk ulak-alik (nglaju/commuting) yaitu gerak
penduduk dari daerah asal ke daerah tujuan dalam batas waktu tertentu dengan
kembali ke daerah asal pada hari itu juga, kedua adalah gerak penduduk dari
daerah asal ke daerah tujuan lebih dari satu hari dan kurang dari enam bulan
(migrasi sirkuler). Jadi secara keseluruhan pengklasifikasian mobilitas penduduk
dapat digambarkan sebagai berikut:

7

Mobilitas
Penduduk Vertikal
(Perubahan Status)

Mobilitas
Penduduk (MP)

Mobilitas
Penduduk
Permanen
(Migrasi)
Mobilitas
Penduduk
Horisontal
Geografis)

(MP

Mobilitas
Penduduk
Vertikal
(Perubahan
Status)

Ulang Alik
(Commuting)

Menginap

Gambar 1. Skema bentuk-bentuk mobilitas penduduk
Sumber : Mantra (2000)
Menurut Hartshorn (1980), arus perjalanan menuju tempat kerja pada kota
modern dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:
1.
Kota ke kota
Perjalanan jenis ini termasuk arus dalam sentral kota major work centre,
yang dimaksud di sini adalah Central Business District (CBD). Mobil
merupakan moda yang penting dalam perjalanan ini.
2.
Suburb ke city
Pergerakan ini dimulai dari suburb dan berakhir di pusat kota terutama di
CBD dan disekitar daerah kerja. Pergerakan ini biasanya memakai mobil
pada jalan bebas hambatan atau arteri. Pada kota yang sedang dan kota yang
besar, bus ekspres merupakan pilihan utama atau transit kereta api ulang alik
melengkapi perjalanan dengan mobil.
3.
Suburb ke suburb
Pergerakan ini tipenya adalah perjalanan dari area residen yang jauh ke
pusat suburb yang dekat. Ciri pergerakan ini memakai mobil dan melalui
jalan bebas hambatan dan arteri utama.
Faktor-faktor penyebab munculnya komuter (penglaju) dibagi menjadi dua
yaitu:
1.
Faktor internal
Faktor internal adalah factor yang mendorong seseorang untuk
ngalaju yang berasal dari dalam dirinya yaitu harapan untuk mendapatkan
penghasilan yang lebih tinggi. Timbulnya niat untuk melakukan mobilitas
didorong oleh keinginan manumur sebagai makhluk yang paling rasional
yang mampu memilih yang terbaik diantara alternatif-alternatif yang ada

8

2.

dengan membandingkan penghasilan dari pekerjaan yang ada disekitar
tempat tinggalnya dan penghasilan dari pekerjaan tempat lain yang dituju
berdasarkan pertimbangan untung rugi (Keban 1994).
Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang mendorong seseorang untuk
nglaju yang berasal dari luar dirinya yaitu transportasi. Transportasi
merupakan sarana yang penting bagi seorang penglaju seperti yang
dikemukakan oleh Hugo (1981) bahwa nglaju dibatasi oleh jarak dan
jaringan transportasi yang tersedia di suatu daerah tempat tinggal dan dapat
terjadi bila lokasi tempat kerja dapat dicapai dengan mudah serta ditunjang
dengan tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang sudah banyak
menjangkau daerah tempat tinggal sehingga meningkatkan integrasi antara
tempat asal dan tempat tujuan.
Kelompok Sosial

Menurut Adler (2009), kelompok terdiri dari “a small collection of
people who interact eachother, usually face to face, over time in order to reach
goals”. Di dalam beberapa definisi tentang kelompok menyatakan bahwa agar
dianggap sebagai sebuah kelompok, maka setidaknya harus terdiri dari tiga atau
lebih individu yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sekumpulan orang yang berada di dalam satu
waktu dan tempat yang sama belum dapat dikatakan sebuah kelompok karena di
antara sekumpulan orang tersebut belum tentu berinteraksi secara intensif dan
memiliki tujuan bersama. Ada dua hal yang membuat sekumpulan orang dapat
dikatakan sebagai kelompok sosial, yakni interaksi dan saling ketergantungan.
Sedangkan menurut Bimo (2010), kelompok dapat dianggap kelompok
apabila dikategorikan sebagai berikut:
1.
Besar kecilnya kelompok atau ukuran kelompok, ada kelompok kecil
dengan beranggotakan kurang dari 20 orang dan kelompok besar
beranggotakan lebih dari 20 orang.
2.
Tujuan, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan anggota yang
memiliki tujuan yang sama, misalnya kelompok belajar.
3.
Value (nilai), merupakan kelompok yang terbentuk atas dasar orang- orang
yang memiliki kesamaan nilai, misalnya kelompok agama.
4.
Duratioin (waktu lamanya), ada kelompok yang jangka waktunya pendek
dan juga ada kelompok dengan jangka waktunya lama.
5.
Scope
of
activities,
merupakan
kelompok
yang
terbentuk
berdasarkan jumlah aktivitasnya.
6.
Minat, merupakan kelompok yang beranggotakan orang-orang
memiliki minat yang sama, misalnya kelompok pemancing.
7.
Daerah asal, merupakan kelompok yang terbentuk berdasarkan
kesamaan daerah asal, misalnya ikatan mahasiswa berasal dari daerah
Yogyakarta.
8.
Formalitas, ada kelompok formal dan ada juga kelompok informal.
Kelompok formal misalnya kelompok profesi pembimbing, sementara
kelompok informal misalnya kelompok orang-orang yang sedang jalan pagi.

9
Interaksi merupakan syarat utama dari sebuah kelompok sosial. Di dalam
komunikasi sebuah kelompok, interaksi dapat dikategorikan menjadi dua jenis,
yakni interaksi secara verbal dan non-verbal. Interaksi secara verbal
memungkinkan anggota kelompok untuk berkomunikasi menggunakan bahasa
dan kata-kata secara lisan maupun tulisan. Sedangkan interaksi non-verbal
memungkinkan anggota kelompok sosial untuk berbagi ide dan makna dengan
menggunakan bahasa tubuh dan mimik wajah. Komunikasi verbal dan non-verbal
ini pada akhirnya dapat memperkuat ikatan dan mendukung keberlangsungan
kelompok sosial.
Faktor lain yang menjadikan sekumpulan orang sebagai sebuah
kelompok sosial adalah saling ketergantungan. Anggota kelompok memiliki
“behavioral and goal interdependence.” (Barge in Eadie 2009). Behavioral
interdependence mengacu pada bagaimana pesan anggota kelompok
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pesan dari kelompok lain. Sedangkan goal
interdependence merupakan tujuan utama bersama yang dimiliki oleh sebuah
kelompok.
Penelitian terkini yang dilakukan oleh Stohl dan Putnam (2003)
menemukan faktor lain yang mencirikan sebuah kelompok sosial, yakni bahwa
kelompok sosial terikat dalam sebuah konteks (context) yang disebut sebagai
bonafide group perspective (Barge in Eadie 2009). Setidaknya ada tiga faktor
yang membuat kelompok sosial terikat dalam konteks:
1.
Anggota kelompok dan regu membawa latar belakang perilaku, profesi dan
budaya yang berbeda-beda ke dalam pengalaman berkelompok. Hal ini
menunjukkan bahwa keputusan seorang individu untuk bergabung di dalam
kelompok sosial secara tabula rasa atau tanpa referensi apapun. Individu
mendasarkan interaksi mereka pada identitas dan pengalaman dengan
kelompok sebelumnya.
2.
Kelompok memiliki eksistensi. Kelompok ada dalam kurun waktu tertentu
yang berhubungan dengan ide dan aspirasi yang dibawa oleh setiap anggota
kelompok dan menjadikan ide serta aspirasi tersebut menjadi bagian dari
pengalaman kelompok yang mempengaruhi tingkah laku dari para anggota
kelompok tersebut. Hal ini membuat kehidupan berkelompok tidak statis,
melainkan dinamis dengan berbagai tantangan, permasalahan dan konflik
yang pernah dilalui.
3.
Kelompok dan regu terikat dan berinteraksi dengan kelompok dan regu
lain. Pada level individu, keterikatan bisa berupa keanggotaan gsaya dan
keterikatan dengan kelompok dan regu lain dengan konteks yang berbeda.
Sedangkan pada level kelompok, kelompok dan regu saling terhubung dan
berinteraksi dengan kelompok dan regu lain dengan cara yang unik dan
memiliki tujuan tertentu.
Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa dalam memenuhi kebutuhan
individu dalam sebuah kelompok seperti diungkapkan oleh Greenberg dan Baron
(1993). Greenberg dan Baron mengidentifikasi lima kebutuhan umum ketika
individu memutuskan untuk menjadi anggota kelompok sosial, yakni: kebutuhan
akan rasa aman, kebutuhan akan identitas sosial, kebutuhan akan pencapaian
tujuan tertentu, kebutuhan akan pengetahuan dan informasi, serta kebutuhan akan
perhatian dan kasih sayang (Hill 2007). Dengan adanya pemenuhan kebutuhan ini,

10
seorang individu enggan berperilaku di luar etika dan norma kelompok karena
dapat menyebabkan keluarnya individu tersebut dari keanggotaan kelompok.
Komunikasi dalam Kelompok
Emanuel (2007) menjelaskan komunikasi memainkan peran penting dalam
merubah hidup kita, kebanyakan orang dilahirkan dengan kemampuan fisik untuk
mendapatkan media komunikasi yang diperlukan, namun potensi tersebut tidak
menjamin bahwa mereka akan belajar untuk berkomunikasi secara efektif (Mc
Farlane, 2010). Mc Farlane (2010), mengatakan bahwa “Communication is the
vehicle that allows us to recall the past, think in the present, and plan for the
future. It enables us to manage our relationship with others, and to interpret and
interact with aou envirotment”. Dengan berkomunikasi kita mampu memaknai
orang lain dan berinteraksi. Dengan berinteraksi manumur mampu berpikir dan
memaknai suatu simbol serta menghasilkan makna yang dipahami secara
bersama.
Secara umum kegiatan komunikasi merupakan suatu proses yang
ditujukan untuk terjadinya perubahan sikap (attitude change), perubahan
pendapat (opinion hange), perubahan perilaku (behavior change) dan perubahan
sosial (social change). Sesuai dengan pendapat Carl Hovland (Effendy 2005).
Kelompok terdiri dari beberapa orang dalam suatu kelompok “kecil” seperti
dalam rapat, pertemuan, konperensi dan sebagainya (Arifin 2008). Menurut
Shaw (1976) mendefinisikan komunikasi kelompok adalah kumpulan individu
yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu
sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu
sama lain dan berkomunikasi tatap muka. Jika salah satu komponen ini hilang
individu yang terlibat tidaklah berkomunikai dalam kelompok..
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan
bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama,
mengenal satu sama lainnya, dan menganggap mereka sebagai bagian dari
kelompok tersebut (Mulyana
2005). Kelompok ini misalnya adalah
keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu
komite yang tengah rapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam
komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu
kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi
kelompok.
Klasifikasi Kelompok dan Karakteristik Komunikasi
Telah banyak klasifikasi kelompok yang dilahirkan oleh para ilmuwan
sosiologi, namun dalam kesempatan ini disampaikan hanya tiga klasifikasi
kelompok (Soekanto 2006).
Kelompok primer dan sekunder
1.
Charles Horton Cooley pada tahun 1909 (dalam Soekanto 2006)
mengatakan bahwa kelompok primer adalah suatu kelompok yang
anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal, dan menyentuh hati
dalam asosiasi dan kerja sama. Sedangkan kelompok sekunder adalah

11

2.

3.

kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan tidak akrab,
tidak personal, dan tidak menyentuh hati kita.
Kelompok keanggotaan dan kelompok rujukan
Newcomb (1930) melahirkan istilah kelompok keanggotaan (membership
group) dan kelompok rujukan (reference group). Kelompok keanggotaan
adalah kelompok yang anggota-anggotanya secara administratif dan
fisik menjadi anggota kelompok itu. Sedangkan kelompok rujukan
adalah kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (stsayard) untuk
menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap.
Kelompok deskriptif dan kelompok preskriptif
Cragan dan Wright (1980) membagi kelompok menjadi dua: deskriptif
dan preskriptif. Kategori deskriptif menunjukkan klasifikasi kelompok
dengan melihat proses pembentukannya secara alamiah.

Karakteristik K omunikasi dalam K elompok
Fungsi kelompok dalam individu ada dua alasan seseorang
bergabung dalam kelompok. Pertama, untuk mencapai tujuan yang bila
dilakukan sendiri tujuan itu tidak tercapai. Kedua, dalam kelompok
seseorang dapat tepuaskan kebutuhannya dan mendapatkan reward sosial
seperti rasa bangga, rasa dimiliki, cinta, pertemanan, dan sebagainya. Besarnya
anggota kelompok akan mempengaruhi interaksi dan keputusan
yang
dibuatnya. Brainstorming dalam mengambil keputusan kelompok akan
efektif bila anggota kelompoknya 5-10 orang (Griffin 2003).
Kelompok memiliki pengetahuan yang luas dan probabilitas yang
lebih besar bahwa seseorang dalam kelompok akan memiliki pengetahuan
khusus yang relevan dengan persoalan kelompok. Namun demikian, kelompok
juga tidak selalu menghasilkan keputusan yang lebih baik.
Individu dalam kelompok harus menunggu gilirannya
dalam
memberikan kontribusi kepada kelompok. Akibat giliran dalam mengungkapkan
pendapat ini, di antara anggota kelompok seringkali mengalami production
blocking, terganggu pikirannya, atau kehilangan motivasi untuk berpartisipasi
(malas). Individu kadang tidak mau berbagi (sharing) dalam memberikan
informasinya. Meskipun performance kelompok seringkali lebih baik daripada
performance rata-rata individu, seringkali performance itu dibawah stsayar
individu, terutama bila anggota kelompoknya umumnya relatif lemah
kemampuannya. Di dalam kelompok juga bisa terjadi social impact (Latane
& Nida 1981), yaitu suatu penggolongan anggota dalam suatu kelompok. Bila
kelompoknya mayoritas maka pengambilan keputusannya akan sangat efektif,
sebaliknya bila kelompoknya minoritas, maka sering kali orang mengalami
kekecewaan, karena merasa tidak diperhatikan (Griffin, 2003). Faktor-Faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan kelompok (Griffin 2003).
1. Komposisi kelompok. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun
komposisi kelompok, y a i t u a ) Penerimaan
tujuan
umum;
mempengaruhi
kerjasama
dan
tukar informasi. b) Pembagian
(divisibilitas) tugas kelompok; tidak semua tugas dapat dibagi. c)
Komunikasi dan status struktur;
biasanya yang posisinya tertinggi
dalam kelompok. d) Ukuran kelompok; semakin besar kelompok semakin

12

2.
3.

menyebar opini, konsekuensinya adalah semakin lemah partisipasi
individu dalam kelompok tersebut.
Kesamaan anggota kelompok keputusan kelompok akan cepat dan mudah
dibuat bila anggota kelompok sama satu dengan yang lain.
Pengaruh (pengkutuban) polarisasi kelompok. Seringkali keputusan yang
dibuat kelompok lebih ekstrim dibandingkan keputusan individu. Hal itu
disebabkan karena adanya perbadingan sosial. Tidak semua orang berada
di atas rata-rata. Oleh karena itu untuk mengimbanginya perlu dibuat
keputusan yang jauh dari pendapat orang tersebut.

Anggota-anggota kelompok bekerja sama untuk mencapai dua tujuan:
a. melaksanakan tugas kelompok, tujuan pertama diukur dari hasil kerja
kelompok- disebut prestasi (performance), b. memelihara moral anggotaanggotanya, tujuan kedua diketahui dari tingkat kepuasan (satisfacation). Jadi,
bila kelompok dimaksudkan untuk saling berbagi informasi (misalnya
kelompok belajar), maka keefektifannya dapat dilihat dari beberapa banyak
informasi yang diperoleh anggota kelompok dan sejauh mana anggota
dapat memuaskan kebutuhannya dalam kegiatan kelompok.
Faktor-faktor keefektifan kelompok dapat dilacak pada karakteristik
kelompok, yaitu (Rakhmat 2 0 0 1 ):
1. Ukuran kelompok.
2. Jaringan komunikasi.
3. Kohesi kelompok.
4. Kepemimpinan.
Groupthink menurut Janis (1972) (Turner 2007) adalah, “Istilah untuk
keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan yang tidak masuk akal
untuk menolak anggapan/ opini publik yang sudah nyata buktinya, dan memiliki
nilai moral”. Keputusan kelompok ini datang dari beberapa individu berpengaruh
dalam kelompok yang irrasional, tetapi berhasil mempengaruhi kelompok menjadi
keputusan kelompok.
Janis berpendapat bahwa anggota – anggota kelompok sering kali terlibat
di dalam sebuah gaya pertimbangan dimana pencarian konsensus lebih berat.
Partisipasi di dalam kelompok dimana keinginan untuk mencapai suatu tujuan
atau tugas lebih penting dari pada menghasilkan solusi pemecahan masalah yang
masuk akal. Janis yakin bahwa apabila kelompok yang kemiripan
antaranggotanya tinggi dan memiliki hubungan baik satu sama lain gagal untuk
menyadari sepenuhnya akan adanya pendapat yang berlawanan, ketika mereka
menekan konflik hanya agar mereka dapat bergaul dengan baik, atau ketika
anggota kelompok tidak secara penuh mempertimbangkan semua solusi yang ada,
mereka rentan terhadap groupthink.
Kelompok melakukan devensive avoidance, yaitu mencoba menghindari
informasi yang mungkin menyebabkan kecemasan. Janis (1982) menulis
bahwa group thinking terjadi karena pembuat keputusan itu adalah
kelompok yang kohesif.
Kohesivitas kelompok sudah sangat tinggi sehingga menganggap bahwa
kelompoknya-lah yang paling benar dan mengacuhkan pendapat kelompok lain.
Serta suara mayoritas tidak lagi menjadi pertimbangan untuk membuat keputusan

13
kelompok. Kelompok yang kohesif jauh lebih mungkin untuk terlibat dalam
groupthink . Groupthink akan terjadi apabila kohesivitas tinggi dan
kecenderungan untuk mencari konsensus dalam kelompok-kelompok yang
memiliki ikatan erat akan mengakibatkan mereka mengambil keputusankeputusan yang inferior. Kelompok-kelompok sering sekali tidak mendiskusikan
semua pilihan yang sebenarnya dapat dipertimbangkan. Serta kelompok sangat
selektif dalam menangani informasi.
Gejala Groupthink dapat digambarkan dari 3 tipe: yaitu: over-estimasi
terhadap kelompoknya, kedekatan berpikir, dan tekanan untuk menjadi sama
(seragam). Kelompok dapat menghindari Groupthink dengan dua tahap:
discouraging leader, dan menghindari isolasi kelompok. Kelompok jangan
sampai dominan, dan memberikan kepada anggota untuk mengkritik.
Untuk menghindari isolasi kelompok, rencana kebijakan kelompok dapat
dibagi ke dalam sub grup dan dan sub grup ini bertemu untuk membaha