Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara).

(1)

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI KALANGAN MAHASISWA

(Studi Analisis Etnografi Tentang Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa

Fakultas Teknik Stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

RIFAL ASWAR TANJUNG 070904016

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas etnis yang dibangun dalam kompetensi komunikasi antarbudaya antara mahasiswa yang beretnis Tionghoa dengan mahasiswa pribumi di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah studi analisis etnografi budaya yaitu studi yang nantinya akan melukiskan secara sistematis mengenai suatu kebudayaan kelompok yaitu perihal identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa yang di himpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan dapat diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa etnis Tionghoa yang ada di Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas etnis dapat berperan sebagai pendorong dalam melakukan kompetensi komunikasi antara mahasiswa etnis Tionghoa dengan mahasiswa pribumi. Identitas etnis yang berbeda, tidak menjadikan penghambat dalam kompetensi komunikasi yang mereka laukan. Jenis kelamin, agama, asal daerah, dan pekerjaan orang tua mampu membentuk identitas etnis pada mahasiswa etnis Tionghoa, sedangkan usia beserta departemen, stambuk, dan tingkatan semester bukanlah karakteristik yang dapat membentuk identitas etnis pada mereka. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa, informan perempuan lebih mampu dalam mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya masing-masing lebih baik daripada informan laki-laki. Informan laki-laki juga mampu mengenali identitas etnisnya, tetapi hanya secara umumnya saja yang dimiliki oleh mayoritas etnis Tionghoa. Informan laki-laki tidak mampu mengenali identitas etnisnya secara pribadi. Meskipun ada perbedaan dalam kemampuan mengenali identitas etnisnya, tetapi keduanya mampu melakukan kompetensi komunikasi yang baik dengan mahasiswa pribumi. Kompetensi komunikasi yang mereka miliki umumnya berada pada tataran mampu mengembangkan kecakapan komunikasinya dengan baik atau yang disebut dengan istilah unconscious competence, dan tataran ini dimiliki oleh 9 orang informan. Sedangkan 2 orang informan lainnya berada pada tataran conscious incompetence yaitu mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain namun ia tidak melakukan sesuatu, dan conscious competence yaitu mampu berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif. Jadi kompetensi komunikasi ke 11 informan mahasiswa Tionghoa berada pada tataran yang cukup efektif. Meskipun identitas etnis yang berbeda dengan mahasiswa pribumi, lantas tidak membuat mereka enggan untuk melakukan kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Lantas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada tidak membuat mahasiswa etnis Tionghoa menutup diri.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan, kekuatan, keberanian serta semangat dari hari ke hari sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Serta tak lupa pula shalawat beriring salam, penulis hadiahkan kepada Sang Suri Tauladan, Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi dengan judul “Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik Stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.sos) di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya merupakan hasil pelajaran yang penulis terima selama mengikuti proses perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, serta juga dari data yang di dapat melalui riset lapangan, perpustakaan, internet, dan buku-buku literatur lainnya.

Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, ayahanda (Alm) Yusuf Effendy Tanjung, dan ibunda Hj. Siti Aisyah Lubis untuk dukungan serta kasih sayang nya selama ini, juga kepada ketiga saudara peneliti, Nina Karmila Tanjung, Fitri Yanthi Tanjung, dan Khairil Anwar Tanjung, serta Abang-abang ipar peneliti, Nashruddin Setiawan dan Ulpin Yaser Lubis, dan tentunya keponakan-keponakan peneliti.


(4)

Dalam penulisan skripsi ini pula, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan, serta motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatmawardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, serta Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala bantuannya yang sangat berguna bagi penulis.

3. Bapak Alm. Siswo Suroso, M.A selaku dosen wali penulis dari semester 1-4, Ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si selaku dosen wali penulis dari semester 5-7, dan ibu Dra. Dayana, M,Si selaku dosen wali penulis pada semester 8 ini. Terima kasih atas nasehat-nasehat akademiknya selama penulis mengikuti perkuliahan.

4. Ibu Dr. Nurbani, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam penulisan skripsi selama 1 semester terakhir.

5. (Ketua Penguji) yang telah memberikan saran, kritik, serta masukan pada skripsi ini hingga menjadi lebih baik.

6. (Penguji Utama) yang juga memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini hingga akhirnya dapat bisa menjadi lebih baik lagi.

7. Seluruh dosen dan staff pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi yang telah mendidik dan membimbing penulis mulai dari semester awal hingga penulis menyelesaikan perkuliahan di kampus ini.


(5)

8. Seluruh staff non-akademik yang udah banyak membantu penulis, khususnya belakangan ini, kak Ros, kak Icut, kak Maya, Bang Mul, dan lain-lainnya.

9. Teman-teman komunikasi 2007, Sitong, Vony, Arief, Dhina, Mambo, Ririn, Wulan, Devia, Hanan, Ara, Said, Kakek, Ubur, Ali, Ayu, Venta, Amel, dan Hera. Terima kasih untuk doa, dukungan dan persahabatan kita selama ini. Mudah-mudahan persahabatan ini akan tetap berlanjut sampai kita sukses nanti. Amin 10.Terimakasih juga kepada teman-teman ilmu komunikasi 2007 FISIP USU lainnya

yang sudah bersama-sama kurang lebih selama 4 tahun ini.

11.Terimakasih kepada Bob Riandy dan Toni, yang sudah banyak membantu peneliti selama proses penelitian skripsi ini.

12.Serta terima kasih kepada seluruh informan yang dengan senang hati telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan, dukungan, dan doa yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran tentu sangat dibutuhkan demi penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin…. Yaaa Rabbalalaminnn…

Medan, Juni 2011 Penulis


(6)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 9

I.3. Pembatasan Masalah ... 9

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

I.4.1. Tujuan Penelitian ... 10

I.4.2. Manfaat Penelitian ... 11

I.5. Kerangka Teori ... 11

I.5.1. Teori Interaksi Simbolik ... 11

I.5.2. Komunikasi ... 13

I.5.3. Komunikasi Antarbudaya... 15

I.5.4. Identitas Etnis ... 16

I.5.5. Kompetensi Komunikasi ... 18

I.5.6. Etnis Tionghoa ... 19

I.6. Kerangka Konsep ... 21

I.7. Operasional Konsep ... 22

I.8. Defenisi Operasional ... 24

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Teori Interaksi Simbolik ... 28

II.1.1. Defenisi Teori Interaksi Simbolik ... 28

II.2. Komunikasi ... 32

II.2.1. Latar Belakang Sejarah ... 32

II.2.2. Defenisi Komunikasi ... 33

II.2.3. Proses Komunikasi ... 35

II.3. Komunikasi Antarbudaya ... 38

II.3.1. Sejarah Komunikasi Antarbudaya ... 38

II.3.2. Defenisi Komunikasi Antarbudaya ... 41

II.3.3. Dimensi-Dimensi Komunikasi Antarbudaya ... 44

II.4. Identitas Etnis ... 47

II.4.1. Defenisi Identitas Etnis ... 47

II.4.2. Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis ... 51

II.5. Kompetensi Komunikasi ... 54

II.6. Etnis Tionghoa ... 60


(7)

II.6.1.1 Masa-masa awal ... 60

II.6.1.2 Era Kolonial ... 61

II.6.1.3 Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI ... 62

II.6.1.4 Pasca Kemerdekaan ... 63

II.6.2 Daerah asal China ... 66

II.6.3 Daerah Konsentrasi ... 67

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Metode Penelitian ... 69

III.1.1. Metode Penelitian Kualitatif ... 69

III.1.2. Studi Analisis Etnografi ... 71

III.1.2.1 Suatu Pemahaman Awal ... 71

III.1.2.2 Pijakan Teoritis dalam Model Etnografi ... 72

III.1.2.3 Bentuk-Bentuk Penelitian Model Etnografi .. 74

III.2. Lokasi Penelitian ... 79

III.2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 79

III.2.1.1 Sejarah Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara 79 III.2.1.2 Visi dan Misi ... 80

III.2.1.3 Tujuan ... 81

III.2.1.4 Kebijakan ... 82

III.2.1.5 Struktur Kepengurusan ... 88

III.3. Waktu Penelitian ... 88

III.4. Subjek atau Informan Penelitian ... 89

III.5. Teknik Pengumpulan Data ... 91

III.5.1 Penelitian Lapangan (Field Research) ... 91

III.5.2 Penelitian Kepustakaan (Library Research) ... 92

III.6. Teknik Analisis Data ... 92

BAB IV PEMBAHASAN IV.1. Latar Belakang Informan Penelitian ... 99

IV.1.1 Tabel Latar Belakang Informan Penelitian ... 99

IV.1.2 Kesimpulan Latar Belakang Informan Penelitian ... 109

IV.2. Identitas Etnis ... 114

IV.2.1 Deskripsi Identitas Etnis Informan Penelitian ... 115

IV.2.2 Kesimpulan Identitas Etnis Informan Penelitian ... 152

IV.2.2.1 Mampu Mengenali ... 154

IV.2.2.2 Kurang Mampu Mengenali ... 157

IV.2.2.3 Tidak Mampu Mengenali ... 158

IV.3. Kompetensi Komunikasi ... 160

IV.3.1 Deskripsi Kompetensi Komunikasi Informan Penelitian ... 160

IV.3.2 Kesimpulan Kompetensi Komunikasi Informan Penelitian ... 199


(8)

BAB V PENUTUP

V.1. Kesimpulan ... 209 V.2. Saran... 215 DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya di Kalangan Mahasiswa (Identitas Etnis Mahasiswa Etnis Tionghoa dalam Kompetensi Komunikasi dengan Mahasiswa Pribumi di Kalangan Mahasiswa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas etnis yang dibangun dalam kompetensi komunikasi antarbudaya antara mahasiswa yang beretnis Tionghoa dengan mahasiswa pribumi di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Metode penelitian dalam penelitian ini adalah studi analisis etnografi budaya yaitu studi yang nantinya akan melukiskan secara sistematis mengenai suatu kebudayaan kelompok yaitu perihal identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa yang di himpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif yang merupakan pengukuran dengan menggunakan data nominal yang menyangkut klasifikasi atau kategorisasi sejumlah variabel ke dalam beberapa sub kelas nominal. Melalui pendekatan kualitatif, data yang diperoleh dari lapangan dapat diambil kesimpulan yang bersifat khusus kepada yang bersifat umum. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa etnis Tionghoa yang ada di Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas etnis dapat berperan sebagai pendorong dalam melakukan kompetensi komunikasi antara mahasiswa etnis Tionghoa dengan mahasiswa pribumi. Identitas etnis yang berbeda, tidak menjadikan penghambat dalam kompetensi komunikasi yang mereka laukan. Jenis kelamin, agama, asal daerah, dan pekerjaan orang tua mampu membentuk identitas etnis pada mahasiswa etnis Tionghoa, sedangkan usia beserta departemen, stambuk, dan tingkatan semester bukanlah karakteristik yang dapat membentuk identitas etnis pada mereka. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa, informan perempuan lebih mampu dalam mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya masing-masing lebih baik daripada informan laki-laki. Informan laki-laki juga mampu mengenali identitas etnisnya, tetapi hanya secara umumnya saja yang dimiliki oleh mayoritas etnis Tionghoa. Informan laki-laki tidak mampu mengenali identitas etnisnya secara pribadi. Meskipun ada perbedaan dalam kemampuan mengenali identitas etnisnya, tetapi keduanya mampu melakukan kompetensi komunikasi yang baik dengan mahasiswa pribumi. Kompetensi komunikasi yang mereka miliki umumnya berada pada tataran mampu mengembangkan kecakapan komunikasinya dengan baik atau yang disebut dengan istilah unconscious competence, dan tataran ini dimiliki oleh 9 orang informan. Sedangkan 2 orang informan lainnya berada pada tataran conscious incompetence yaitu mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain namun ia tidak melakukan sesuatu, dan conscious competence yaitu mampu berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif. Jadi kompetensi komunikasi ke 11 informan mahasiswa Tionghoa berada pada tataran yang cukup efektif. Meskipun identitas etnis yang berbeda dengan mahasiswa pribumi, lantas tidak membuat mereka enggan untuk melakukan kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Lantas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang ada tidak membuat mahasiswa etnis Tionghoa menutup diri.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, komunikasi sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku, kini melingkupi proses yang lebih luas. Jumlah simbol-simbol yang dipertukarkan tentu tak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan non verbal. Memahami komunikasi pun seolah tak ada habisnya. Mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia, salah satunya mengenai komunikasi antarbudaya.

Edward T. Hall mengatakan budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan. Konsekuensinya kebudayaan merupakan landasan berkomunikasi. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta, sedangkan Sitaram berpendapat bahwa komunikasi antarbudaya sendiri bermakna sebagai sebuah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (Liliweri, 2004: 11).

Untuk memahami interaksi antarbudaya, terlebih dahulu kita harus memahami komunikasi manusia. Memahami komunikasi manusia berarti memahami apa yang terjadi selama komunikasi berlangsung, mengapa itu terjadi, apa yang dapat terjadi, akibat-akibat dari apa yang terjadi, dan akhirnya apa yang dapat kita perbuat untuk mempengaruhi dan memaksimalkan hasil-hasil dari kejadian tersebut.


(11)

Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen komunikasi juga berkenaan dengan komunikasi antarbudaya. Apa yang terutama menandai komunikasi antarbudaya adalah bahwa sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Ciri ini saja memadai untuk mengidentifikasi suatu bentuk interaksi komunikatif yang unik yang harus memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi.

Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, kita segera dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi di mana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti telah kita lihat, budaya mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Budaya bertanggungjawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap individu. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan. Melalui studi dan pemahaman atas komunikasi antarbudaya, kita dapat mengurangi atau hampir dapat menghilangkan kesulitan-kesulitan tersebut.

Melalui budaya kita bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya siapa kita adalah realitas budaya yang kita terima dan pelajari. Untuk itu, saat komunikasi menuntun kita bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain maka kita pun dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan itu tentu menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang terjalin.


(12)

Identitas etnis secara sederhana dipahami sebagai sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Artinya identitas etnis menyangkut pengetahuan, kesadaran, komitmen, dan perilaku terkait etnisnya. Artinya, identitas etnis dibangun atas kesadaran kita akan budaya kita., budaya mempengaruhi identitas etnis kita bahkan melalui konteks budaya lah identitas etnis dipertukarkan dan dipelajari dari generasi ke generasi.

Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukan hal yang mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat ada istilah ‘’mereka’’ dan ‘’kita’’. Masalahnya, perkembangan zaman membuat budaya juga berubah, nilai-nilai budaya dahulu mungkin sekarang sedikit demi sedikit, lambat laun makin memudar.

Akibat perubahan zaman dan pengaruh budaya massa, memahami identitas etnis sendiri bisa jadi lebih susah daripada memahami identitas etnis lain, namun yang menjadi masalah tentu bukan sekadar pengaruh media massa dalam membantu membangun persepsi khalayak baik secara sengaja atau tidak dalam menggambarkan etnis tertentu dalam tayangannya, tetapi control dan pilihan tentu ada di tangan audiens, bagaimana si audiensnya dalam menanggapi realitas yang dibangun lingkungan dan pandangannya sendiri dalam persepsinya.

Dalam suatu negara, seperti Indonesia banyak sekali terdapat beberapa kelompok etnis yang berbeda. Misalnya di daerah Sumatera Utara, kita mengenal ada etnis Batak, Minang, Cina, Jawa, Melayu, Aceh dan sebagainya. Keberadaan kelompok etnis ini


(13)

menjadikan Sumatera Utara memiliki keberagaman etnis. Sehingga akan menimbulkan tingkat pergaulan antarbudaya yang kompleks.

Memasuki dunia baru di mana kita dituntut untuk beradaptasi bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, kita dituntut belajar serta memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin sulit. Jika lingkungan yang baru adalah lingkungan yang berbeda jauh budayanya dengan lingkungan sebelumnya. Sebuah lingkungan baru, di mana realitas etnisnya sangat berbeda. Menghadapi budaya yang berbeda bukan perkara mudah, begitupun yang dirasakan oleh mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Mengingat selama ini mereka cenderung bersekolah di sekolahan yang memang menampung siswa dari komunitas etnisnya. Ketika mereka memasuki lingkungan yang berbeda, adaptasi pun harus dimulai perlahan demi perlahan.

Dalam konteks penelitian ini, identitas etnis mahasiswa Tionghoa dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi menjadi penting untuk diperhitungkan mengingat andil identitas etnis selama ini kurang disadari. Kita tentu perlu tahu, saat kita berkomunikasi khususnya komunikasi antarbudaya, apakah kita menyadari diri kita sebagai bagian dari satu kelompok etnis tertentu dan lawan bicara kita sebagai anggota kelompok etnis lain. Untuk itu, jawaban dari pertanyaan itu nantinya akan membantu untuk menjawab realitas yang lebih spesifik mengenai komunikasi antarbudaya yaitu etnisitas. Nantinya akan dilihat apakah komunikasi antarbudaya terjalin secara efektif ?.

Sikap etnis Tionghoa yang masih tertutup dan enggan berbaur dengan penduduk asli Kota Medan, terus menjadi polemik dikalangan masyarakat. Semenjak berabad-abad


(14)

lalu, etnis Tionghoa berada di Indonesia dengan jumlah cukup besar, tetapi karena persoalan menyangkut etnis masih dianggap peka, sebelum tahun 2000, jumlah suku bangsa/etnis di Indonesia tidak pernah dimasukkan ke dalam sensus penduduk Republik Indonesia.

Kebijakan pemerintah Indonesia menyangkut persoalan etnis Tionghoa dari masa ke masa, terutama masa orde baru dengan proyek kebijakan asimilasi dan masa pasca rezim Soeharto ditandai dengan penghapusan pilar-pilar kebudayaan Tionghoa (termasuk penutupan sekolah Tionghoa, pembubaran organisasi etnis Tionghoa dan pemberedelan mass media Tionghoa) serta simbol-simbol dan adat-istiadat etnis Tionghoa.

Dalam keadaan demikian, sejumlah orang Tionghoa telah dibaur dan tidak merasa sebagai Tionghoa lagi. Kelompok etnis Tionghoa tidak lenyap dan jumlahnya masih sangat besar di Indonesia. Kemudian dengan berubahnya kebijakan pemerintah menjadi lebih akomodatif, kebangkitan identitas diri etnis Tionghoa bukan hal yang tidak mungkin.

Kesulitan juga dirasakan oleh etnis Tionghoa yaitu tidak dapat diterima oleh kaum nasionalis Indonesia sebagai bagian dari Indonesia. Masyarakat kolonial membeda-bedakan penduduk Indonesia berdasarkan ras/suku bangsa yang mempengaruhi pemikiran nasionalis-nasionalis Indonesia, sehingga mengakibatkan terpisahnya peranakan Tionghoa dari pergerakan nasional Indonesia. Nasionalisme Tionghoa timbul lebih awal dari nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Tionghoa termasuk peranakan, tumbuh terpisah dari dan dikehendaki pemerintah Indonesia rezim orde baru dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungna untuk mempertahankan identitas


(15)

etnisnya terdapat pada sebagian warga etnis Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.

Nasionalisme Indonesia dikonstruksi berdasarkan konsep “kepribumian”, dan etnis Tionghoa dikategorikan sebagai orang asing yang dianggap bukan merupakan bagian dari Indonesia. Nasionalis Indonesia didefenisikan sebagai “milik” bangsa pribumi, yaitu kelompok yang mempunyai daerah mereka sendiri.

Selanjutnya, konsep pribumi sebagai tuan rumah telah berakar di bumi Indonesia. Etnis Tionghoa dianggap sebagai non-pribumi dan pendatang baru yang tidak bisa diterima sebagai suku bangsa sebelum mereka mengasimilasi diri. Pribumi memiliki persepsi bahwa etnis Tionghoa merupakan sebuah kelompok etnis yang menduduki tangga ekonomi lebih tinggi dan terpisah dari pribumi. Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya kesukubangsaan, akan selalu menempatkan posisi etnis Tionghoa sebagai orang asing, walaupun mereka tersebut berstatus WNI. Secara tidak langsung, etnis Tionghoa yang non-pribumi itu harus membaur menjadi pribumi kalau ingin diterima sebagai orang Indonesia.

Secara umum pelajar etnis Tionghoa belum terbaur menjadi pribumi sebagaimana yang diartikan dan dikehendaki pemerintah Indonesia “Rezim Orde Baru” dengan kebijakan asimilasinya. Di satu sisi kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada sebagian warga etnis Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.

Pada rezim Soeharto, pilar-pilar kebudayaan Tionghoa dipulihkan kembali, pembukaan sekolah Tionghoa ala pemerintahan Sukarno, meskipun masih tidak diizinkan kebebasan menggunakan bahasa Tionghoa, bahkan perayaan festival etnis Tionghoa juga


(16)

telah diizinkan oleh negara. Walaupun diskriminasi etnis belum terkikis habis, namun minoritas etnis mendapat jaminan, sekurang-kurangnya dari sudut hukum, dan seiring dengan menguatnya persoalan identitas ke-etnis-an, nasionalisme bisa terancam menjadi nasionalisme suku bangsa yang sempit.

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa etnis Tionghoa yang ada di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian yaitu di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dilakukan karena mahasiswa etnis Tionghoa juga banyak ditemui di Fakultas ini. Menyadari bahwa etnis mereka berbeda maka untuk itu penting memahami bagaimana para mahasiswa tersebut melakukan kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Bagaimana realitas identitas yang dibangun, baik menyangkut budayanya sendiri maupun mengenai budaya lain. Telaah mengenai komunikasi antarbudaya ini setidaknya dapat membantu dalam memperoleh pengetahuan tentang bagaimana selama ini mereka membangun komunikasi dalam interaksi khususnya komunikasi antarbudaya. Jawaban mengenai tindak kompetensi komunikasi mahasiswa etnis tionghoa tersebut, akan menunjukkan pada tataran kompetensi komunikasi seperti apa yang mereka miliki.

Ketertarikan penelitian ini didasari pada kemungkinan adanya perasaan in group maupun out group yang sedikit banyak mendorong atau bahkan menghambat komunikasi dalam interaksi, yang bisa jadi nantinya akan bisa ditarik kesimpulan apakah komunitas mahasiswa etnis Tionghoa ini tertutup atau bahkan sebaliknya.

Penelitian ini nantinya akan melihat bagaimanakah identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi?, apakah identitas etnis tersebut dapat menghambat mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Teknik USU


(17)

dalam menjalin komunikasi yang efektif atau sebaliknya mungkin membantu dalam berkomunikasi. Pada akhirnya akan ditemukan kompetensi komunikasi seperti apa yang mereka miliki.

Penelitian ini menggunakan analisis metode penelitian kualitatif, maka diharapkan berbagai pertanyaan seputar masalah identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi di kalangan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara dapat terjawab.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

“Bagaimanakah identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 USU dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi?”

I.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, tidak mencari hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Penelitian ini hanya berusaha untuk menggali suatu permasalahan secara mendalam, tentunya dengan menggunakan pedoman dari metode penelitian kualitatif.

Penelitian ini juga menggunakan studi analisis etnografi, yang nantinya akan melukiskan secara sistematis mengenai suatu kebudayaan kelompok yaitu perihal


(18)

identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa yang di himpun dari lapangan dalam kurun waktu yang sama.

Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, dan supaya tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, dimana dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah agar menjadi lebih jelas. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah :

1. Latar belakang mahasiswa etnis Tionghoa stambuk 2009 dan 2010 yang ada di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

2. Identitas etnis yang terbentuk pada mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara baik dalam memaknai serta memahami identitas etnis mereka maupun identitas etnis mahasiswa pribumi.

3. Kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa etnis Tionghoa dengan mahasiswa pribumi di Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui latar belakang mahasiswa etnis Tionghoa stambuk 2009 dan 2010 yang ada di Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui identitas etnis yang terbentuk pada mahasiswa etnis Tionghoa di Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera


(19)

Utara baik dalam memaknai serta memahami identitas etnis mereka maupun identitas etnis mahasiswa pribumi.

3. Untuk mengetahui kompetensi komunikasi antarbudaya mahasiswa etnis Tionghoa dengan mahasiswa pribumi di Fakultas Teknik stambuk 2009 dan 2010 Universitas Sumatera Utara.

I.4.2 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis mengenai komunikasi antarbudaya khususnya mengenai identitas etnis mahasiswa etnis Tionghoa dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan yang berkenan dengan penelitian ini.

I.5 Kerangka Teori

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti perlu menyusun suatu kerangka teori. Kerangka teori disusun sebagai landasan berfikir yang menunjukkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang akan diteliti (Nawawi. 1995:40).


(20)

I.5.1 Teori Interaksi Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif , reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. (Mulyana, 2001: 59-61).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan


(21)

mempertimbangkan ekspetasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial. (Mulyana, 2001: 68-70).

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I.5.2 Komunikasi

Menurut Brelson dan Steiner (dalam Arifin, 1988: 25), komunikasi adalah penyampaian informasi, ide, emosi, keterampilan dan seterusnya melalui penggunaan


(22)

simbol, kata-kata, gambar, angka, grafik dan lain-lain. Carl I. Hovland (dalam Arifin, 1988: 26) mendefenisikan komunikasi sebagai proses yang berlangsung dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang lain (komunikan).

Kita mulai dengan suatu asumsi dasar bahwa komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu akan mengemuka lewat perilaku manusia. Ketika kita melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, menganggukkan kepala, atau memberikan suatu isyarat, kita juga sedang berperilaku. Sering perilaku-perilaku ini merupakan pesan-pesan; pesan-pesan itu digunakan untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang.

Sejauh ini, defenisi kita tentang komunikasi telah bersifat umum, untuk menampung berbagai keadaan di mana komunikasi mungkin terjadi. Kita sekarang akan merumuskan suatu defenisi yang menyertakan kesengajaan untuk berkomunikasi, tetapi juga dengan tidak melupakan bahwa perilaku tak sadar dan tak sengaja mungkin merumitkan situasi-situasi komunikasi. Batasan kita tentang komunikasi juga akan merinci unsur-unsur komunikasi dan beberapa dinamika yang terdapat dalam komunikasi.


(23)

I.5.3 Komunikasi Antarbudaya

Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal.

Istilah “culture”berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata “colore”, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).

Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu: Proses komunikasi antarbudaya sama seperti proses komunikasi lainnya, yakni suatu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis (Liliweri, 2004: 24).

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Demikian pula dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan 1. komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. 2. dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi 3. gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. komunikasi berpusat pada


(24)

kebudayaan 6. efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya, antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manajemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi dan mengurangi konflik.

Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi (apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana di mana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antarabudaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan tentang komunikan, dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48).

I.5.4 Identitas Etnis

Identitas etnis secara substansial bermakna sama dengan etnisitas atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna sama oleh para ahli (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 151).

Dalam konteks identitas etnis, Mead dalam Mulyana berpendapat bahwa konsep diri seseorang bersumber dari partisipasinya dalam budaya di mana ia dilahirkan atau yang ia terima. Budaya diperoleh individu lewat simbol-simbol dan simbol-simbol ini


(25)

bermakna baginya lewat eksperimentasi dan akhirnya Familiarity dengan berbagai situasi. Identitas etnis juga merupakan suatu proses. Ia berbentuk lewat interpretasi realitas fisik dan sosial sebagai memiliki atribut-atribut etnis. Identitas etnis berkembang melalui internalisasi pengkhasan diri oleh orang lain yang dianggap penting, tentang siapa aku dan siapa orang lain berdasarkan latar belakang etnis mereka (Mulyana, 2001: 231).

Identitas etnis berhubungan pada latar belakang etnis mereka yang dianggap sebagai inti diri mereka. Diri yang berkonteks etnis inilah yang disebut identitas etnis (Mulyana & Jalaludin Rahmat, 2005: 152).

Identitas etnis merupakan sense tentang self individu sebagai anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu dan sikap maupun perilakunya juga berhubungan dengan sense tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perkembangan identitas etnis merupakan suatu proses eksplorasi dari identitas yang tidak terseleksi sampai identitas etnis yang dicapai. Dari definisi tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam diri individu terdapat sense tentang diri dalam kaitannya sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu dan proses inilah yang menyebabkan identitas etnis terbentuk.

Menurut Phinney dan Alipora identitas etnis adalah sebuah konstruksi kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnis, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnis akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Weinreich juga menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk


(26)

identitas etnik merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi (http://suryanto.blog.unair.ac.id/ di akses tanggal 09 Februari 2011).

I.5.5 Kompetensi Komunikasi

Komponen komunikasi mengacu pada kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif. Kompetensi ini mengacu pada hal-hal seperti pengetahuan tentang peran lingkungan (konteks) dalam mempengaruhi kandungan (content) dan bentuk pesan komunikasi (misalnya, pengetahuan bahwa suatu topik mungkin layak untuk dikomunikasikan kepada pendengar tertentu, tetapi mungkin tidak layak bagi pendengar dan lingkungan yang lain).

Pengetahuan tentang tatacara perilaku nonverbal (misalnya, kepatutan sentuhan, suara yang keras, serta kedekatan fisik) juga merupakan bagian dari kompetensi komunikasi. Dengan meningkatkan kompetensi, anda akan mempunyai banyak pilihan dalam berperilaku. Makin banyak anda tahu tentang komunikasi (artinya, makin tinggi kompetensi anda), makin banyak pilihan yang anda punyai untuk melakukan komunikasi dalam keseharian.

Howell, salah seorang penasihat Gundykunst, menyebutkan ada empat tataran kompetensi komunikasi, yaitu :

1) unconscious incompetence, yaitu seseorang yang salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan,

(2) conscious incompetence yaitu seseorang mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu,

(3) conscious competence yaitu, seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif, dan


(27)

(4) unconscious competence yiatu seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya. (Rahardjo, 2005:69).

I.5.6 Etnis Tionghoa

Kata Tionghoa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini. Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.

Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.

Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya di Indonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan (THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.

Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang


(28)

(Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 9 Februari 2011).

I.6 Kerangka Konsep

Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1995:40). Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak


(29)

kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 33).

Maka kerangka konsep yang akan di teliti adalah : - Latar Belakang Informan

- Identitas Etnis

- Kompetensi Komunikasi

I.7 Operasional Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka dapat dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep operasional dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Operasional Konsep Indikator

Latar Belakang Informan 1. Karakteristik informan penelitian: (a) usia

(b) jenis kelamin (c) departemen (d) stambuk (e ) semester (f) asal daerah (g) agama


(30)

Identitas Etnis 1. Indikator identitas etnis yang akan di teliti:

(a) mampu mengenali

(b) kurang mampu mengenali (b) tidak mampu mengenali

2. Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya:

(a) secara jelas mengetahui nilai-nilai yang dimiliki sebagai seorang etnis dalam suatu kelompok

(b) membentuk kelompok kecil/perkumpulan

(c) komitmen

(d) evaluasi positif pada kelompok/etnis (e) berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok/etnis (f) turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok

(g) sense of belonging

(h) pemahaman akan rasa cinta pada kelompok & budaya

(i) harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya.


(31)

Kompetensi Komunikasi 1. Indikator dari kompetensi komunikasi:

(a) unconscious incompetence (b) conscious incompetence (c) conscious competence

(d) unconscious competence (Rahardjo, 2005: 69).

2. Kompetensi komunikasi yang akan dijangkau:

(a) motivasi (b) pengetahuan (c) kemampuan

(Gundykunst & Young, 2003: 275). I.8 Definisi Operasional

Menurut Singarimbun (1995:46), defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.

Defenisi Operasional dari penelitian ini adalah: I.8.1 Latar Belakang Informan

I.8.1.1 Karakteristik informan penelitian:

(a) Usia, yaitu kriteria usia informan yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian yaitu 18, 19, dan 20 tahun.


(32)

(b) Jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.

(c) Departemen, yaitu jurusan atau studi yang di pilih dari subjek penelitian yaitu teknik industri, teknik elektro, teknik kimia, teknik sipil, teknik mesin, dan teknik arsitektur.

(d) Stambuk, yaitu masuk pada angkatan di tahun berapa subjek penelitian tersebut, 2009 atau 2010.

(e) Semester, yaitu berada di tingkatan semester berapa subjek penelitian, semester II atau IV.

(f) Asal daerah, yaitu asal tempat tinggal subjek penelitian. (g) Agama, yaitu keyakinan yang di anut oleh subjek penelitian.

(h) Pekerjaan orang tua, yaitu jenis kegiatan tetap yang dilakoni oleh orang tua dari subjek penelitian.

1.8.2 Identitas Etnis

1.8.2.1 Indikator identitas etnis yang akan di teliti:

(a) Mampu mengenali, yaitu mahasiswa etnis Tionghoa mampu mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya dan in-group nya.

(b) Kurang mampu mengenali, yaitu mahasiswa etnis Tionghoa kurang mampu mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya dan in-group nya. (c) Tidak mampu mengenali, yaitu mahasiswa etnis Tionghoa tidak mampu

mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya dan in-group nya. 1.8.2.2 Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya:


(33)

(a) Secara jelas mengetahui nilai-nilai yang dimiliki sebagai seorang etnis dalam suatu kelompok, mampu mengenali makna dari identitas etnis yang ada di dalam dirinya masing-masing.

(b) Membentuk kelompok kecil/perkumpulan, yaitu tindakan membentuk suatu perkumpulan dengan anggota etnis yang sama.

(c) Komitmen, yaitu memiliki loyalitas atau perasaan terikat terhadap kelompok etnisnya.

(d) Evaluasi positif pada kelompok/etnis, yaitu tindakan pelabelan positif pada etnisnya.

(e) Berminat di dalam dan berpengetahuan tentang kelompok/etnis, yaitu selalu berminat dalam kelompok dan berminat mengeksplorasikan pengetahuan seputar etnisnya.

(f) Turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok, yaitu terlibat dalam aktivitas kelompok etnisnya.

(g) Sense of belonging, perasaan memiliki kelompok etnisnya.

(h) Pemahaman akan rasa cinta pada kelompok & budaya, yaitu memiliki kecintaan pada kelompok dan budayanya.

(i) Harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya, yaitu harapan yang dibangun terkait etnisnya.

1.8.3. Kompetensi Komunikasi


(34)

(a) Unconscious incompetence, yaitu seseorang yang salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan tidak menyadari apa yang sedang ia lakukan.

(b) Conscious incompetence, yaitu seseorang mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu.

(c) Conscious competence, yaitu seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif.

(d) Unconscious competence, yaitu seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya.

1.8.3.2 Kompetensi komunikasi yang akan dijangkau

(a) Motivasi, yaitu hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain.

(b) Pengetahuan, yaitu kesadaran kita atau pemahaman kita akan apa yang kita butuhkan untuk dilakukan supaya komunikasi berjalan secara efektif dan tepat.

(c) Kemampuan, yaitu kemampuan dalam mengolah perilaku yang perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif.


(35)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Teori Interaksi Simbolik

II.1.1 Defenisi Teori Interaksi Simbolik

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah dikemukakan oleh George Herbert Mead (guru Blumer) yang kemudian dimodifikai oleh Blumer untuk tujuan tertentu.

Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”.

Pendekatan interaksi simbolik yang dimaksud Blumer mengacu pada tiga premis utama, yaitu:

(1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka

(2) Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan oleh orang lain, dan (3) Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang

berlangsung (Kuswarno, 2008: 22).

Interaksi simbolik dalam pembahasannya telah berhasil membuktikan adanya hubungan antara bahasa dan komunikasi. Sehingga, pendekatan ini menjadi dasar pemikiran ahli-ahli ilmu sosiolinguistik dan ilmu komunikasi.


(36)

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan cirri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama pada tahun 1950an dan 1960an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I. Thomas dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68).

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretative. Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950an dan tahun 1960an mengakibatkan interaksi simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini.

Weber mendefenisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan disini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situas atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut. Menurut Weber, tindakan bermakna sosial sejauh berdasarkan makna subjektifnya yang diberikan individu atau individu-individu, tindakan itu mempertimbangkan perilaku orang lain dan karenanya diorientasikan dalam penampilannya (Mulyana, 2001: 61).

Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif, kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme yang pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus


(37)

berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika idividu-individu berfikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama. Senada dengan asumsi di atas, dalam fenomenologi Schutz, pemahaman atas tindakan, ucapan, dan interaksi merupakan prasyarat bagi eksistensi sosial siapa pun. Dalam pandangan Schutz, kategori pengetahuan pertama bersifat pribadi dan unik bagi setiap individu dalam interaksi tatap muka dengan orang lain. Kategori pengetahuan kedua adalah berbagai pengkhasan yang telah terbentuk dan dianut oleh semua anggota budaya (Mulyana, 2001: 61-62).

Interaksi simbolik Mahzab Lowa menggunakan metode saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat diuji secara empiris, sementara Mahzab Chicago menggunakan pendekatan humanistik, dan Mahzab yang popular digunakan adalah Mahzab Chicago (Mulyana, 2001: 69).

Blumer bersama anggota-anggota Mahzab Chicago mengkonseptualisasikan manusia sebagai menciptakan atau membentuk kembali lingkungannya, sebagai “merancang dunia objek-nya, dalam aliran tindakannya alih-alih sekedar merespons pengharapan kelompok” (Mulyana, 2001: 70).

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.


(38)

Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegaskan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Dalam konteks ini, maka dikonstruksikan dalam proses interaksi, dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 70).

II.2 Komunikasi

II.2.1 Latar Belakang Sejarah

Ilmu komunikasi yang kita kaji sekarang, sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Status ilmu komunikasi ini di Indonesia diperoleh melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 tahun 1982. Keppres itu telah membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu kita ini. Sebelumnya terdapat beberapa nama yang berbeda di berbagai universitas atau perguruan tinggi. Di Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta misalnya digunakan nama Publisistik, sedang di Universitas Indonesia (UI) Jakarta nama Publisistik telah lama diganti dengan Ilmu Komunikasi Massa. Selain itu di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menggunakan nama Publisistik Ilmu Komunikasi. Di Unpad berdiri sebagai suatu Fakultas, sedang di UI, UGM, USU, UNHAS dan universitas lainnya, berstatus sebagai jurusan (departemen) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Arifin, 1988: 1-2).


(39)

Sesungguhnya kajian ini di tanah air di mulai dengan nama Publisistik, dengan dibukanya jurusan publisistik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada (1950) dan pada Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia (1959). Demikian juga di Jakarta di buka pada tahun 1956 Akademi Penerangan dan Perguruan Tinggi Jurnalistik (kemudian jurnalistik berganti menjadi publisistik). Pada tahun 1960 di Universitas Padjajaran Bandung dibuka Fakultas Jurnalistik dan Publisistik (Arifin, 1988: 2).

Beberapa tokoh yang telah berjasa memasukkan ilmu kita ini ke Indonesia dan kemudian mengembangkannya di Perguruan Tinggi, antara lain Drs. Marbangun, Sundoro, Prof. Sujono Hadinoto, Adinegoro, dan Prof. Dr. Mustopo. Pada tahun 1960an, deretan tokoh itu bertambah lagi dengan datangnya dua orang pakar dalam bidang kajian ini, yaitu Dr. Phil. Astrid S. Sutanto dari Jerman Barat (1964) dan Dr. M. Alwi Dahlan dari Amerika Serikat (1967) (Arifin, 1988: 3)

Nama ilmu komunikasi massa dan ilmu komunikasi baru mulai muncul dalam berbagai diskusi dan seminar pada awal tahun 1970an. Kemudian pada tahun 1973 Jurusan Publisistik pada Fakultas Sosial Politik Universitas Hasanuddin yang di buka tahun 1961, telah memperbaharui nama menjadi Jurusan Publisistk/Ilmu Komunikasi. Demikian juga Jurusan Publisistik pada Fakultas Ilmu-ilmu sosial Universtas Indonesia (UI) dengan resmi berganti nama menjadi Departemen Ilmu Komunikasi Massa tahun 1976.

Ilmu Publisistik berkembang di Eropa, khususnya Jerman, sedang ilmu komunikasi massa lahir di Amerika Serikat. Masuknya ke dua ilmu itu ke tanah air, selain karena adanya hubungan dengan bangsa-bangsa dari dua benua tersebut, juga terutama


(40)

karena dibawa oleh mereka yang pernah belajar baik di Eropa maupun di Amerika. Akhirnya untuk melacak asal-usul Ilmu Komunikasi itu, kita harus mengkaji perkembangan ilmu kita ini baik di Eropa maupun di Amerika Serikat. Di Eropa, khususnya di Jerman, Ilmu komunikasi berkembang dari Publizistikwisenshaft, sedang di Amerika Serikat berkembang dari Ilmu komunikasi massa (Arifin, 1988: 3).

II.2.2 Defenisi Komunikasi

Istilah komunikasi hari ke hari semakin popular. Begitu populernya sampai muncul berbagai macam istilah komunikasi. Ada komunikasi timbale nalik, ada komunikasi tatap muka, ada komunikasi langsung, komunikasi vertikal, komunikasi dua arah dan lain sebagainya.

Sebenarnya istilah-istilah seperti itu tidak perlu membingungkan kita. Apapun istilahnya bila kita tetap berpijak pada objek formal ilmu komunikasi dan memahami ruang lingkupnya, maka semua istilah itu dapat diberi pengertian secara jelas dan dapat dibedakan menurut karakteristiknya masing-masing. Salah satu persoalan di dalam memberi pengertian komunikasi, yakni banyaknya defenisi yang telah dibuat oleh para pakar menurut bidang ilmunya.

Sebuah defenisi dibuat oleh Harold D. Lasswell bahwa cara yang tepat untuk menerangkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya”.


(41)

Lain halnya dengan Steven, justru ia mengajukan sebuah defenisi yang lebih luas, bahwa komunikasi terjadi kapan saja suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu objek atau stimuli. Apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya.

Sebuah defenisi yang dbuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communication) bahwa:

“Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan:

(1) membangun hubungan antar sesame manusia (2) melalui pertukaran informasi

(3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain

(4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu” (Mulyana, 2001: 33).

Everett M. Rogers seorang pakar sosiologi pedesaan Amerika yang telah banyak memberi perhatian pada riset stdi komnikasi, khususnya dalam hal penyebaran inovasi membuat defenisi bahwa:

“Komunikasi adalah proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima ata lebih, dengan maksud untuk mengbah tingkah laku mereka”.

Defenisi ini kemudian dikembangkan oleh Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (1981) sehingga melahirkan suatu defenisi baru yang menyatakan bahwa:

“Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam”.

Defenisi-defenisi yang dikemukakan di atas tentunya belum mewakili semua defenisi komunikasi yang telah dibuat oleh banyak pakar, namun sedikit banyaknya kita telah dapat memperoleh gambaran seperti apa yang diungkapkan oleh Shannon dan


(42)

Weaver (1949) bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja.

II.2.3 Proses Komunikasi

Dari pengertian komunikasi sebagaimana diutarakan diatas, tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang dicakup, yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi. Dalam “bahasa komunikasi” komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:

- Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan

- Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambing-lambang - Komunikan, yaitu orang yang menerima pesan

- Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikasi jauh tempatnya atau banyak jumlahnya

- Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh pesan.

Teknik berkomunikasi adalah cara atau seni penyampaian suatu pesan yang dilakukan seorang komunikator sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada komunikan. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai paduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran dan sebagainya. Pernyataan tersebut dibawakan oleh lambang, umumnya bahasa. Dikatakan bahwa umumnya bahasa yang dipergunakan untuk menyalurkan pernyataan itu, sebab ada juga lambang lain yang dipergunakan, antara lain kial, yakni gerakan anggota tubuh, gambar, warna, dan sebagainya.


(43)

Melambaikan tangan, mengedipkan mata, mencibirkan bibir, atau menganggukkan kepala adalah kial yang merupakan lambang untuk menunjukkan perasaan atau fikiran seseorang. Gambar, apakah itu foto, lukisan, sketsa, karikatur, diagram, grafik, atau lain-lainnya, adalah lambang yang biasa digunakan untuk menyampaikan pernyataan seseorang. Demikian pula warna, seperti pada lampu lalu lintas: merah berarti berhenti, kuning berarti hati-hati, dan hijau berarti berjalan. Kesemuanya itu lambang yang dipergunakan polisi lalu lintas untuk menyampaikan instruksi kepada para pemakai jalan.

Diantara sekian banyak lambang yang biasa digunakan dalam komunikasi adalah bahasa, sebab dapat menunjukkan pernyataan seseorang mengenai hal-hal, selain yang kongkret juga yang abstrak, baik yang terjadi sekarang, lalu dan dimasa yang akan datang. Tidak demikian kemampuan lambang-lambang lainnya.

Yang penting dalam komunikasi adalah bagaimana caranya agar suatu pesan yang disampaikan komunikator itu menimbulkan dampak atau efek tertentu pada komunikan. Dampak yang ditimbulkan dapat diklasifikasikan menurut kadarnya, yakni:

a. Dampak positif b. Dampak afektif c. Dampak behavioural

Dampak kognitif adalah yang timbul pada komunikan yang menyebabkan dia menjadi tahu atau meningkat intelektualitasnya. Di sini pesan yang disampaikan komunikator ditujukan kepada pikiran si komunikan. Dengan kata lain, tujuan komnikator hanyalah berkisar pada upaya mengubah pikiran dari komunikan.


(44)

Dampak efektif lebih tinggi kadarnya daripada dampak kognitif. Di sini tujuan komunikator bukan hanya sekedar supaya komunikan tahu, tetapi tergerak hatinya; menimbulkan perasaan tertentu, misalnya perasaan iba, terharu, sedih, gembira, marah dan sebagainya. Yang paling tinggi kadarnya adalah dampak behavioral, yakni dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk perilaku, tindakan, atau kegiatan.

Untuk contoh mengenai ketiga jenis dampak di atas dapat diambil dari berita surat kabar. Pernah sebuah surat kabar membuat berita yang dilengkapi foto mengenai seorang wanita yang menderita tumor yang menahun sehingga perutnya besar tak terperikan. Peristiwa yang diberitakan lengkap dengan fotonya itu menarik perhatian banyak pembaca. Berita tersebut dapat menimbulkan berbagai jenis efek. Jika seorang membaca hanya tertarik untuk membacanya saja dan kemudian ia menjadi tahu, maka dampaknya hanya berkadar kognitif saja.

Apabila ia merasa iba atas penderita perempuan yang hidupnya tidak berkecukupan itu, berita tersebut menimbulkan dampak afektif. Tetapi kalau si pembaca yang tersentuh hatinya itu, kemudian pergi ke redaksi surat kabar yang memeberitakannya dan menyerahkan sejumlah uang untuk disampaikan kepada si penderita, maka berita tadi menimbulkan dampak behavioral.

II.3 Komunikasi Antarbudaya

II.3.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya

Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. Bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya


(45)

mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagaimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi komunikasi antarbudaya yang mereka jalani.

Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI (Foreign Service Institute). FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberapa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa ke luar negeri. Karena bahan pelatihan antarbudaya masih jarang atau langka maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat budaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya (Martin & Thomas, 2007: 44-45). Istilah antarbudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaban konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya sistem ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu setelah itu, oleh David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada tahun 1960. Dalam tulisan itu, Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu source, messege, channel, receiver (Liliweri, 2001: 1).

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku


(46)

komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang di persepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 2).

Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001: 2).

Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitu budaya dan komunikasi. Hubungan antarbudaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal balik. Jadi, budaya mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam Intercultural Communication in Context, untuk itu kelompok budaya mempengaruhi proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: “semua komuniatas di seluruh tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas kontemporer”. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas (Martin & Thomas, 2007:92).

Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru difikirkan pada tahun 1970-1980an. “Annual” tentang komunikasi antarbudaya yang disponsori Speech Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The International and Intercultural Communication Annual. Kemudian Dan Landis


(47)

menguatkan konsep komunikasi antarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977 (Liliweri, 2001: 2).

Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. Selanjutnya tahun 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst, Steward dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi antarbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny, tahun 1988 (Liliweri, 2001: 3).

Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004: 10).

Young Yun Kim dalam Raharjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang relative tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural. Selanjutnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada


(48)

umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Raharjo, 2005: 52-53).

II.3.2 Defenisi Komunikasi Antarbudaya

Kata “budaya” berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal”. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal.

Istilah “culture”berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan mengerjakan tanah atau bertani. Kata “colore”, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).

E.B Taylor, seorang antropolog memberikan defenisi mengenai kebudayaan sebagai suatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan-kemampuan, dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilakunormatif, artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (Soekamto, 1996: 189).

Sementara itu, komunikasi dalam pengertian secara umum dapat dibagi dari dua sisi, yaitu secara etimologis dan terminologis. Secara etimologis berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti sama makna. Secara terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain (Onong, 2003: 67).


(49)

Komunikasi tidak bisa dipandang sekedar sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkanmanusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui (Liliweri, 2001: 24).

Dengan demikian, komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku, baik langsung melalui lisan maupun tidak langsung melalui media (Onong, 2003: 5).

Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi antarbudaya dapat diartikan/didefenisikan melalui bebrapa pernyataan sebagai berikut:

1. Tubbs dan Moss (1996): komunikasi antarbudaya terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda (ras, etnis, sosio-ekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan itu.

2. Samover dan Porter (1983, 1994, 2003): komunikasi antarbudaya terjadi manakala bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompoknya.

3. Sitaram (1970): komunikasi antarbudaya adalah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication : the art of understanding and being understood by the audience of mother culture).

4. Charley H. Dood (1991: 5): komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Liliweri, 2003: 11).

5. Lustig dan Koester (1993): “Intercultural Communication Competence”, yang mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi simbolik, interpretative, transaksional, konstekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu, memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Liliweri, 2003: 11). Seluruh defenisi di atas memberi penekanan pada perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam berlangsungnya proses komunikasi antarbudaya.


(50)

Komunikasi antarbudaya mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai perbedaan-perbedaan maupun persamaan-persamaan di antara peserta peserta komunikasi dengan karakteristik yang dibawanya.

Komunikasi dan kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik seperti dua sisi mata uang. Kebudayaan menjadi bagian perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang dikatakan oleh Edward T. Hall pada bahasan sebelumnya. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal (dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya), ataupun secara vertical (dari suatu generasi kepada generasi berikutnya). Pada sisi lain budaya menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

II.3.3 Dimensi-dimensi Komunikasi Antarbudaya

Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai konseptualisasi tentang komunikasi antarbudaya, ada tiga dimensi yang perlu kita perhatikan.

1. Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan-partisipan komunikasi Istilah kebudayaan telah digunakan untuk menunjukkan pada macam-macam tingkat lingkungan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan mencakupi:

- Kawasan-kawasan di dunia, seperti budaya Timur-Barat

- Sub kawasan di dunia, seperti budaya Amerika Utara, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan lain-lain


(51)

- Kelompok-kelompok etnis/ras, seperti budaya orang Melayu, Batak, Cina Indonesia, dan lain-lain.

- Macam-macam sub kelompok sosiologis berdasarkan jenis kelamin, kelas sosial, seperti budaya orang dipenjara, budaya waria, budaya orang gelandangan, budaya di pesantren, budaya hippis, dan lain-lain.

2. Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antarbudaya

Jenis KAB dapat lagi diklasifikasikan berdasarkan konteks sosial dari terjadinya. Yang biasanya termasuk dalam studi KAB:

- Business - Organizations - Pendidikan

- Akulturasi imigran - Politik

- Penyesuaian pelancong/pendatang sementara

- Perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi - Konsultasi terapis.

Komunikasi dalam semua konteks merupakan persamaan dalam hal unsur-unsur dasar dan proses komunikasi manusia (transmitting, receiving, processing). Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup dalam latar belakang pengalaman individu membentuk pola-pola persepsi pemikiran. Penggunaan pesan-pesan verbal/nonverbal serta hubungan-hubungan antaranya. Maka variasi kontekstual, merupakan dimensi tambahan yang mempengaruhi proses-prose KAB. Misalnya: Komunikasi antar orang


(52)

Indonesia dan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan komunikasi antar keduanya dalam berperan sebagai dua mahasiswa dari suatu universitas.

Jadi konteks sosial khusus tempat terjadinya KAB memberikan pada para partisipan hubungan-hubungan antar peran. Ekspektasi, norma-norma dan aturan-aturan tingkah laku yang khusus.

3. Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antarbudaya, baik yang bersifat verbal maupun non verbal.

Dimensi lain yang membedakan KAB ialah saluran melalui mana KAB terjadi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas:

- Antarpribadi/interpersonal/person-person - Media massa

SALURAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

(Orang dengan orang secara langsung) (Radio, surat kabar, TV, Film, Majalah)

Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran-saluran komunikasi juga mempengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari KAB. Misalnya: orang Indonesia


(53)

menonton melalui TV keadaan hidup di Afrika akan memilih pengalaman yang berbeda dengan keadaan apabila ia sendiri berada disana dan melihat dengan mata kepala sendiri.

Umumnya, pengalaman komunikasi antarpribadi dianggap memberikan dampak lebih mendalam. Komunikasi melalui media kurang dalam hal feedback langsung antar partisipan dan bersifat satu arah. Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan saluran-saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus melalui batas-batas kebudayaan. Tetapi dalam keduanya, proses-proses komunikasi bersifat antarbudaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya.

II.4 Identitas Etnis

II.4.1 Defenisi Identitas Etnis

Identitas adalah suatu konsep y7ang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi. Untuk itu penting memberikan apresiasi pada apa yang membawa identitas, dan untuk memberikan pemahaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragam budaya ini. Dan kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi kebaikan/kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapi kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam hidup.


(1)

membuat mereka menjadi etnosentris. Mereka menganggap itu hanyalah sebuah ciri khas identitas etnis masing-masing pihak. Untuk itu, mereka selalu menghargai setiap perbedaan yang ada dalam hal kompetensi komunikasinya, sampai pada perihal kompetensi komunikasi yang efektif.

- 1 orang informan berada pada tingkatan conscious competence, yaitu Putra Jaya. Putra mempunyai motivasi untuk berkomunikasi, dan hal tersebut menunjukkan kebutuhannya untuk mengurangi sikap etnosentrisme akan etnis. Ia juga mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara mengumpulkan informasi tentang mahasiswa pribumi, serta ia juga tahu perbedaan kelompok dan kesamaannya. Pengetahuan terhadap adaptasi antarbudaya dan pengembangan relasi menunjukkan kemampuannya dalam berkompetensi komunikasi dengan baik serta mampu mengebangkan relasi antar etnis dan mampu bertoleransi terhadap sifat ambiguitas dan menghilangkan kecemasan karena perbedaan warna kulit. Umumnya, Putra menggunakan identitas etnisnya sebagai motivasi untuk membuka jaringan komunikasi. Artinya identitas etnis dipahami sebagai alat yang berguna untuk membantunya mengenal siapa diri mereka dan mendorongnya untuk mau berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Hal inilah yang terjadi pada dirinya, meskipun ia akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya sebagai etnis Tionghoa sebagai pendorong bukan penghambat dalam komunikasi.

- 1 orang informan berada pada tingkatan conscious incompetence, yaitu Krisnawati. Mengenai kompetensi komunikasinya, pada kenyataannya frekuensi dan intensitas komunikasi Krisna masih sangat besar pada kelompoknya, dan hal


(2)

ini menjadikan Krisna terlalu memilih-milih teman mahasiswa pribumi yang dapat diajak untuk berkomunikasi. Krisna tidak memiliki kompetensi komunikasi yang lebih baik. Ia menyadari bahwa pengelompokan-pengelompokan yang ia lakukan terhadap mahasiswa pribumi akan mampu menghambat kompetensi komunikasinya, akan tetapi ia tidak mengindahkan hal tersebut. Krisna telalu membuat pertimbangan siapa saja teman dari mahasiswa pribumi yang bisa ia ajak berkomunikasi. Meskipun Krisna sering bersama kelompoknya, Krisna masih berkeinginan untuk memenuhi hasrat kebutuhan identitasnya, yaitu kebutuhan yang harus dikomunikasikan dan dipertukarkan dengan mahasiswa pribumi. Krisna mengakui bahwasanya ia cukup sering bertukar informasi akan budaya dengan teman pribuminya. Hasil dari pertukaran informasi tersebut membuatnya sedikit menemukan perbedaan. Menyadari perbedaan kadang mampu memfasilitasi kompetensi komunikasi. Namun, Krisna tidak memanfaatkan keadaan ini, ia lebih memilih untuk menjauhi daripada mendekatinya, sehingga hal-hal seperti ini dapat menghambat kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi.

V.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti perlu mengajukan beberapa saran, diantaranya:

1. Diharapkan latar belakang dalam karakteristik informan tidak menjadi penghambat dalam berkomunikasi dengan teman-teman in-group maupun out-group nya.


(3)

2. Diharapkan informan lebih mampu lagi dalam mengenali in-group maupun out-group nya. Informan yang mampu mengenali in-out-groupnya, diharapkan lebih mampu untuk membawa identitas etnisnya ke dalam area kompetensi komunikasi antarbudaya dengan mahasiswa pribumi. Informan yang tidak mampu mengenali in-group nya, diharapkan lebih mampu menggali apa yang ada di dalam in-group nya.

3. Diharapkan informan dapat meningkatkan kompetensi komunikasi nya dengan mahasiswa pribumi. 2 orang informan penelitian yang ada pada tingkatan kompetensi komunikasi conscious competence dan conscious incompetence untuk kedepannya dapat berada pada tingkatan unsconcious competence.

4. Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam melihat identitas etnis mahasiswa Tionghoa dalam kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi untuk penelitian sejenis pada kondisi yang berbeda.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. 1988. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali. Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif.

Surabaya: Usaha Nasional.

Bungin, Burhan. 2003. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif. Jakarta: Kencana. . 2008. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Gundykunst, William & Young Yun Kim. 2003. Communicating with Strangers. New York : Mc. Graw Hill International.

Kriyantono, Rachmat. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Kuswarno, Engkus. 2008. Etnografi Komunikasi: Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran.

Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2004. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Martin, Judith dan Thomas K. Nakayama. 2007. Intercultural Communication in Contexts. New York: Mc Graw Hill International.

Mulyana, Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.


(5)

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rahmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya. Panduan Praktis dengan Orang-Orang yang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nawawi, Hadari. 1995. Metodologi Penelitian Sosial. Yogyakarta : UGM Press.

Raharjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultur. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin Mc Daniel. 2007. Communication Between

Cultures. Belmont : Thomson Learning.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia.

Soekamto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Grafindo Persada.

Sumber lain :

(http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia di akses tanggal 9 Februari dan 1 Maret 2011).

(http://suryanto.blog.unair.ac.id/ di akses tanggal 9 Februari 2011). (http://ft.usu.ac.id/ di akses tanggal 3 Maret 2011)


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : RIFAL ASWAR TANJUNG

TEMPAT/TANGGAL LAHIR : PADANGSIDEMPUAN, 26 NOVEMBER 1989 JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI

AGAMA : ISLAM

ALAMAT : JALAN GARU 1 GANG BACANG NO.85B MEDAN NAMA ORANG TUA : (ALM) YUSUF EFFENDY TANJUNG

HJ. SITI AISYAH LUBIS JUMLAH SAUDARA : TIGA ORANG, YAITU:

o NINA KARMILA TANJUNG o FITRI YANTHI TANJUNG o KHAIRIL ANWAR TANJUNG ALAMAT ORANG TUA : JALAN RAJA INAL SIREGAR NO. 7

BATUNADUA KOTA PADANGSIDEMPUAN PENDIDIKAN : SDN 142426/10 KOTA P.SIDEMPUAN (1995-2001)

MTS.S YPKS KOTA P.SIDEMPUAN (2001-2004) MAN 2 KOTA P.SIDEMPUAN (2004-2007) DEPT. ILMU KOMUNIKASI FISIP USU (2007-2011) PRAKTEK KERJA LAPANGAN : MAJALAH HAI PT. GRAMEDIA (2010 )