Dampak Zonasi Dan Pariwisata Atraksi Hiu Paus Terhadap Komunitas Kampung Kwatisore

DAMPAK ZONASI DAN PARIWISATA ATRAKSI HIU PAUS
TERHADAP KOMUNITAS KAMPUNG KWATISORE

REHASTIDYA RAHAYU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Zonasi Dan
Pariwisata Atraksi Hiu Paus Terhadap Komunitas Kampung Kwatisore
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Rehastidya Rahayu
NIM I353120051

RINGKASAN
REHASTIDYA RAHAYU. Dampak Zonasi Dan Pariwisata Atraksi Hiu Paus
Terhadap Komunitas Kampung Kwatisore. Dibimbing oleh SOERYO
ADIWIBOWO dan ARIF SATRIA.
Terbentuknya kawasan konservasi khususnya taman nasional bukanlah tanpa
masalah, terutama permasalahan (1) zonasi, (2) perikanan tangkap dan (3)
pariwisata yang semakin berkembang. Banyak penelitian yang telah dilakukan
membuktikan bahwa penetapan zonasi semakin membatasi akses masyarakat yang
menggantungkan hidupnya terhadap sumber daya alam taman nasional. Tingginya
potensi taman nasional juga mengundang para pengusaha pariwisata maupun
nelayan luar untuk datang dan memanfaatkan sumber daya alam taman nasional.
Kondisi tersebut menjadikan masyarakat yang telah lama bermukim di dalam
kawasan taman nasional menjadi semakin terbatas aksesnya selain karena
ditetapkannya zonasi dan pada akhirnya masyarakat menjadi termarginalkan.

Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) merupakan taman nasional
terluas di Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati. TNTC, sama halnya
seperti taman nasional lainnya, juga memungkinkan mengalami permasalahan
zonasi. Daya tarik keanekaragaman hayatinya pun banyak mengundang
pengusaha pariwisata dan nelayan luar untuk datang dan memanfaatkan sumber
daya alam. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan bertujuan untuk (1)
menganalisis dampak pemberlakukan sistem zonasi terhadap komunitas
Kwatisore dimana pada umumnya penetapan zonasi pada taman nasional
menjadikan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan taman nasional
menjadi termarjinalkan karena akses mereka dalam memanfaatkan sumber daya
alam semakin terbatas. (2) Menganalisis dampak kehadiran pengusaha pariwisata,
nelayan bagan dan Keramba Jaring Apung (KJA) sebagai pendatang di taman
nasional, dimana ketiganya sebagai pendatang memiliki kemampuan yang besar
untuk memperoleh akses dalam memanfaatkan sumber daya alam TNTC sehingga
dapat mengakibatkan marginalisasi terhadap komunitas Kwatisore seperti halnya
penetapan sistem zonasi.
Penelitian telah dilakukan di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Kampung
Kwatisore Distrik Yaur Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Melalui paradigma
konstruktivisme dan pendekatan kualitatif dengan sejumlah teknik pengumpulan
data digunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diteliti.

Teknik yang digunakan diantaranya adalah observasi dan wawancara mendalam
dengan informan. Informan dipilih secara purposive. Informan yang dipilih
merupakan informan yang dianggap paling mengetahui dan menguasai
permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, keberadaan zonasi tidak
mengganggu aktivitas warga Kwatisore dalam mengakses sumber daya alam
untuk tujuan pemanfaatan ekonomi. Namun zonasi berpengaruh terhadap
pengelolaan akses sumber daya komunitas Kwatisore karena masuknya negara
yang diwakili oleh BBTNTC sebagai unit pelaksana teknis yang ikut mengelola
TNTC serta DKP yang pengelolaannya berfokus pada sumber daya perikanan.
Kedua, keberadaan pariwisata memberikan dampak positif dan negatif bagi warga
Kwatisore. Dampak positifnya adalah warga Kwatisore mendapatkan tambahan

ii

pemasukan dari para wisatawan dan operator wisata. Tambahan pendapatan
berasal dari penjualan souvenir, penyewaan perahu, dan pengadaan upacara adat
untuk penyambutan tamu. Dampak negatifnya semakin memudarnya mitos hiu
paus sebagai hantu laut. Selama ini mitos hiu paus membuat hiu paus terlindungi
dari eksploitasi. Namun akibat semakin memudarnya mitos hiu paus warga

Kwatisore sudah mulai berani memburu hiu paus berdasarkan pesanan. Ketiga
keberadaan bagan dan Keramba Jaring Apung (KJA) sedikit banyak memberikan
pengaruh terhadap pergantian alat penangkapan ikan warga Kwatisore dan
transportasi yang digunakan untuk melaut. Dahulu warga Kwatisore pergi melaut
menggunakan perahu dayung, sedangkan saat ini nelayan lebih dominan
menggunakan perahu fiber yang diberikan oleh KJA.
Jadi adanya penetapan zonasi, perkembangan pariwisata dan kehadiran
nelayan bagan serta KJA tidak membuat warga Kwatisore menjadi
termarginalkan, namun berdampak pada akses kontrol warga Kwatisore terhadap
sumber daya Kwatisore. Warga Kwatisore dan BBTNTC berbagi wewenang
dalam pengelolaan sumber daya. Selain itu dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan warga Kwatisore juga berbagi wewenang dengan DKP. Akibat dari
dualitas kepemimpinan pengelolaan TNTC mengakibatkan wisatawan, pengusaha
wisata, nelayan bagan, dan KJA sebagai aktor pemanfaat sumberdaya Kwatisore
merasa bingung dan dirugikan, namun mereka juga telah mengambil posisi
keberpihakan. Posisi keberpihakan lebih dominan mengarah pada warga
Kwatisore. Oleh karena itu warga Kwatisore masih memiliki posisi tawar
(bargaining position) yang kuat dalam pengelolaan sumber daya alam terutama
menurut pandangan para aktor yang mengakses sumber daya Kwatisore. Hal ini
terbukti dari izin akses dalam pemanfaatan sumber daya Kwatisore utamanya

berasal dari warga Kwatisore. Setelah izin didapatkan dari warga Kwatisore
selanjutnya izin diperoleh dari BBTNTC atau DKP.

Kata Kunci: konservasi, zonasi, pariwisata, marginalisasi, komunitas Kwatisore

SUMMARY
REHASTIDYA RAHAYU. The Impact of Zoning and Whale Shark Attraction
Tourism toward Kwatisore Community. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO
and ARIF SATRIA.
The establishment of conservation area, national park is not existed without
problems, especially about (1) zoning, (2) fishing, and (3) tourism. Many
researches had conducted with the result that the establishment of zoning activity
has been limiting the access of community over the national park resources.
Moreover, a high potential on biodiversity in national park invites either tourism
investors or fishermen outside national park to utilize its resources. Such
situations causing the community who lives around the national park had more
limited on the access to resources then became marginalized.
Cendrawasih Bay National Park (TNTC) is the largest national park in
Indonesia who has a tremendous biodiversity. TNTC, as well as other national
parks also has possibility experience problems with the zoning. Its biodiversity

also attracted the tourism investors and fishermen accessing the natural resources.
Therefore, this study is aimed to analyze: first, analyze the impact of the
implementation of zoning system to communities Kwatisore which is generally
the zoning system were causing the communities who lives in national park
become marginalized due to their access increasingly limited to resources.
Second, analyze the presence of tourism entrepreneurs, floating capture fisheries
(bagan) and floating net cage (KJA) as a newcomer in national park that also
marginalize Kwatisore communities as well as zoning system, where the third as a
newcomer has a great ability to gain access in utilizing natural resources of
TNTC.
This research was conducted in Cenderawasih Bay National Park, especially
located in the Kwatisore Village, Yaur District, and Nabire Region of Papua
Province. Through constructivism paradigm and qualitative approach with a
number of data collection techniques used to get answers from the research
problems. Techniques are used include observation and in-depth interviews with
informants. Informants were selected purposively. Informants selected are
considered the most knowing and mastering the issues which are discussed in this
research.
The research finds, first, zoning do not disturb Kwatisore community access
toward resources. However, zoning is affecting the management of access to

resources because there are BBTNTC who manage TNTC as a state representative
and DKP which focuses on the management of fisheries resources. Second,
tourism give positive and negative impacts for the Kwatisore community. In one
hand, the positive impact is Kwatisore community get additional income from the
tourists and travel agent by selling souvenir, renting boat, and ritual ceremony to
attract the tourist but on the other hand, the negative effect is the fade of myth
about whale sharks as a ghost sea. The function of whale sharks myth are to
protect the whale shark from exploitation. Nowadays, Kwatisore communities
then started to dare chasing whale sharks according to the orders. Third, floating
capture fisheries and floating net cage has changes fisheries technology of
Kwatisore communities in order to gain more income.

ii

So it can be concluded that Kwatisore communities are not marginalized by
zoning, tourism and fishermen from outside national park but effects the
management of access to control over the national park resources. Kwatisore
communities and BBTNTC are sharing authority in the management of resources.
Moreover, Kwatisore communities and Department of Marine and Fisheries also
share their authority of fisheries management. As a result, the dualism of

management leadership of TNTC, tourists, tourism business, floating capture
fisheries and floating net cage are confused and aggrieved, but they also have
taken the alignments position which had led to Kwatisore communities. Therefore
Kwatisore communities still has strong bargaining position on the management of
natural resources, particularly the actors who have access to Kwatisore resources.
The evidence is proved from the access to utilize over the resource which firstly
came from the Kwatisore communities, and secondly from BBTNTC or DKP.

Keywords: conservation, zoning, tourism, marginalization, community Kwatisore

iii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

DAMPAK ZONASI DAN PARIWISATA ATRAKSI HIU PAUS
TERHADAP KOMUNITAS KAMPUNG KWATISORE

REHASTIDYA RAHAYU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada saat Ujian Tesis: Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah konservasi, dengan judul Dampak Zonasi dan Pariwisata Atraksi
Hiu Paus terhadap Komunitas Kampung Kwatisore.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS dan
Bapak Dr. Arif Satria, SP, M.Si selaku pembimbing. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan pada WWF-Indonesia yang telah banyak membantu dalam
pelaksanaan penelitian. Diskusi, saran, masukan dan bahan-bahan yang diberikan
WWF-Indonesia sangat membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Penulis juga
sampaikan kepada teman-teman Sosiologi Pedesaan yang memberikan dukungan,
nasehat, dan diskusi yang sangat mencerahkan penulis dalam proses penulisan tesis.
Ungkapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

Rehastidya Rahayu

i


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH

i
ii
iii
iv
v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

1
1
4
5
6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konservasi di Indonesia : Taman Nasional
Zonasi Taman Nasional
Marginalisasi
Teori Hak Kepemilikan (Property Right)
Akses terhadap Pengelolaan Sumber daya
Kerangka Konseptual

6
6
8
10
11
14
17

3 METODOLOGI PENELITIAN
Paradigma dan Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

19
19
20
21

4 TAMAN NASIONAL TELUK CENDERAWASIH
Keanekaragaman Hayati Taman Nasional Teluk Cendrawasih
Hiu Paus
Riwayat Pendirian Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC)
Tahap Perencanaan dan Persiapan (1990-1998)
Tahap Penetapan (1999-sekarang)
Proses Penyusunan Zonasi
Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih

22
22
25
28
29
30
32
36

5 KOMUNITAS KWATISORE
Kondisi Kehidupan Komunitas Kwatisore
Struktur Komunitas Kwatisore

41
41
48

6 AKTOR DAN AKSES
Wisatawan
Kali Lemon Dive Resort
Nelayan Bagan
Keramba Jaring Apung
Dinas Kelautan dan Perikanan

53
54
57
60
67
68

ii

7 DAMPAK ZONASI DAN PARIWISATA ATRAKSI HIU PAUS
TERHADAP KOMUNITAS KWATISORE
Dampak Zonasi
Dampak Atraksi Hiu Paus
Dampak Nelayan Bagan dan Keramba Jaring Apung
Relasi Kuasa dan Perubahan Akses

70

8 PENUTUP
Kesimpulan
Saran

89
89
90

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

91
97

71
80
84
86

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kumpulan Posisi Hak Penguasaan terhadap Sumber Daya Alam
Jumlah Aktor yang Diwawancara
Informasi Penelitian, Aktor dan Teknik Pengumpulan Data
Zonasi TNTC
Aturan Standar Operasional Wisata Hiu Paus TNTC
Mata Pencaharian
Pendidikan
Pengeluaran Bagan
Aturan Usaha Perikanan Di Dalam Kawasan TNTC
Tipe Hak Penguasaan Sebelum Ditetapkan Sebagai Taman
Nasional
Tipe Hak Penguasaan TNTC
Kegiatan yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Di Kawasan
Konservasi
Pelanggaran dan Kasus yang Terjadi
Aturan Adat Wisata Kampung Kwatisore

14
21
22
36
37
46
47
65
69
73
74
76
77
82

iii

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Kerangka Konseptual Penelitian
Peta Lokasi TNTC
Keanekaragaman Hayati Teluk Cenderawasih
Peta Pergerakan Enam Ekor Hiu Paus Berdasarkan PSATs
Hiu Paus Terperangkap Jaring Bagan
Hiu Paus
Perubahan Status Kawasan Konservasi Teluk Cenderawasih
Tahapan Proses Sistem Zonasi Taman Nasional Teluk Cenderawasih
Peta Zonasi TNTC
Frekuensi Operasi Pengamanan Kawasan TNTC
Peta Wilayah Kampung Kwatisore
Kampung Kwatisore
Pemandangan Kampung Kwatisore
Struktur Adat Masyarakat Kampung Kwatisore
Struktur Pemerintahan Masyarakat Kampung Kwatisore
Peningkatan Kunjungan Wisatawan Setiap Tahun
Jumlah Pengunjung Kawasan TNTC Berdasarkan Tujuan
Kunjungan Tahun 2012
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) TNTC
Kali Lemon Dive Resort
Liveaboard Wisatawan
Permasalahan di Pesisir Kawasan TNTC
Bagan Nelayan
Peta Penyebaran Nelayan Dalam dan Luar Kawasn TNTC
Cara Akses Nelayan Bagan terhadap Sumber Daya Perairan
Kwatisore
Papan Zonasi Wilayah Kwatisore
Diagram Pemahaman Masyarakat Tentang Arti TNTC
Diagram Masyarakat Kwatisore yang Pernah Mendengar Istilah
Zonasi
Daerah Tangkapan Ikan Warga Kwatisore
Perahu Nelayan Keramba
Perahu Nelayan Lokal

19
23
24
26
27
28
31
34
35
39
41
42
45
49
50
55
55
56
58
58
61
61
62
63
75
78
78
79
85
85

iv

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6

7
8
9
10
11
12
13

Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah Di Setiap
BPTN Wilayah
Peta Wilayah Kerja Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN)
dan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) di TNTC
Data Asal Wisatawan
Operator Wisata Yang Beroperasi di TNTC
Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (SIMAKSI)
Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Di TNTC
Berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif
Atas Jenis “Penerimaan Negara Bukan Pajak” Yang Berlaku Pada
Kementerian Kehutanan Dan Permenhut No: P.Menhut-II/2014
Tentang Rayonisasi (TNTC Rayon III)
Surat Keputusan Musyawarah Adat Aturan Wisata Kampung
Kwatisore
Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) DKP
Surat Layak Operasi (SLO) DKP
Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) DKP
Matriks Zonasi TNTC
Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Konservasi Teluk
Cenderawasih Tahun 2012
Zonasi dan Lokasi Zonasi di Kawasan TNTC

98
98
99
100
100

101

105
105
106
106
107
110
111

v

DAFTAR ISTILAH
ANTRA

Asosiasi Nelayan Tradisional

BBTNTC

Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih

BKSDA

Balai Konservasi Sumber Daya Alam

BMA

Badan Musyawarah Adat

CNPPA

Commission on National Parks and Protected Areas

CI-Indonesia

Conservation International Indonesia

DAP

Dewan Adat Papua

DKP

Dinas Kelautan dan Perikanan

ICDP

Integrated Conservation and Development Project

IPAS

Integrated Protected Area System

IUCN

International Union for Conservation of Nature and
Natural Resources

KJA

Keramba Jaring Apung

KKP

Kementerian Kelautan dan Perikanan

KLDR

Kali Lemon Dive Resort

KLHK

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat

LMA

Lembaga Adat Papua

MOU

Memorandum of Understanding

Nelayan BBM

Nelayan Bugis Buton Makassar

PHKA

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

Polhut

Polisi Hutan

PNBP

Penerimaan Negara Bukan Pajak

PPNS

Penyidik Pegawai Negeri Sipil

PSATs

Pop-up Archival Satellite Tags

SIMAKSI

Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi

SIPI

Surat Izin Penangkapan Ikan

SIUP

Surat Izin Usaha Perikanan

SPORC

Satuan Polhut Reaksi Cepat

TNB

Taman Nasional Bunaken

TNBB

Taman Nasional Bali Barat

vi

TNC

The National Conservation

TNK

Taman Nasional Komodo

TNTB

Taman Nasional Taka Bonerate

TNTC

Taman Nasional Teluk Cenderawasih

TNUK

Taman Nasional Ujung Kulon

TPHL

Tenaga Pengamanan Hutan Lainnya

UNIPA

Universitas Negeri Papua

WCPA

World Commission on Protected Areas

WWF

World Wide Fund for Nature

1

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki
sekitar 17.480 pulau dengan luas wilayah perairannya 3.257.483 km2 lebih luas
dibandingkan dengan luas wilayah daratan 1.922.570 km2. Luasnya wilayah
perairan Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megadiversity country) karena
posisinya secara bio-geography yang sangat strategis (Alikodra 2012). Tinggi dan
beragamnya keunikan sumber daya alam hayati kawasan perairan Indonesia
diharapkan dapat mendukung tingkat kesejahteraan dan perekonomian
masyarakat, tidak hanya sebagai sumber pendapatan dan sumber pangan tetapi
juga sebagai daya tarik wisata alam bahari.
Namun kawasan perairan yang meliputi kawasan laut, kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang sangat rawan terhadap punahnya
sumber daya alam hayati. Hal ini disebabkan oleh banyaknya anggapan bahwa
kawasan perairan bersifat open access (akses terbuka). Anggapan ini memberikan
pengertian bahwa tidak adanya pengaturan tentang apa, kapan, dimana, siapa dan
bagaimana sumber daya alam dimanfaatkan serta bagaimana terjadinya
persaingan bebas (free for all) (Satria 2009a). Hal ini dapat memicu terjadinya
tragedy of the common. Tragedy of the common menyebabkan sumber daya alam
bisa diakses oleh siapapun sehingga berbagai pihak berlomba-lomba untuk
mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut dan pada akhirnya berdampak
pada terjadinya kerusakan lingkungan (Hardin 1968), pengambilan sumber daya
alam secara berlebihan, dan mengakibatkan konflik antar pelaku (Ostrom dan
Schalager 1996).
Solusi yang ditawarkan oleh Hardin (1968) untuk mencegah kerusakan
lingkungan yaitu dengan memberikan pengelolaan sumber daya kepada pihak
swasta (private property) atau kepada publik (public property) dengan aturanaturan tertentu. Pemberian pengelolaan sumber daya kepada pihak tertentu berarti
mereka memiliki hak untuk mengambil keputusan terhadap sumber daya tersebut
dan mengawasi jalannya hak kepemilikan (property right) yang dimilikinya dan
juga yang dimiliki oleh orang lain (Hanna, Folke, & Maler 1996).
Wilayah perairan seperti kawasan laut dan pesisir secara de facto bersifat
open access, walaupun negara telah memiliki aturan-aturan tersendiri terhadap
pengelolaan sumber daya alam (Satria & Matsuda 2004). Negara berdasarkan
UUD 45 pasal 33 memiliki hak dalam mengatur pengelolaan terhadap sumber
daya, walaupun kata mengatur sering salah diartikan oleh negara sebagai
kepemilikan. Dalam artian negara tidak hanya mengatur sumber daya alam semata
tetapi juga mengatur pihak-pihak yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Salah
satu cara negara dalam mengelola sumber daya agar tetap dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan yaitu dengan membentuk kawasan konservasi.
Kawasan konservasi dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1990
bertujuan untuk (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (b) pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa berserta ekosistemnya dan (c)
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Salah satu
kawasan konservasi di Indonesia adalah taman nasional. Taman nasional

2

diharapkan dapat memberikan jalan tengah dalam pengelolaan kawasan
konservasi antara tujuan perlindungan dan pemanfaatan sumber daya alam
(Winara & Mukhtar 2011).
Namun terbentuknya taman nasional sebagai kawasan konservasi bukanlah
tanpa masalah. Permasalahan yang paling utama dalam kawasan konservasi
terutama konservasi perairan adalah yang berkaitan dengan zonasi, perikanan
tangkap dan kegiatan pariwisata yang semakin berkembang. Hasil penelitian
banyak menunjukkan bahwa penetapan suatu kawasan menjadi taman nasional
sangat membawa pengaruh besar pada denyut kehidupan masyarakat yang
bermukim di dalam kawasan atau masyarakat yang memanfaatkan sumber daya di
dalam taman nasional (Adiwibowo 2005; Galudra 2006; Adiwibowo et al. 2009;
Santoso 2013). Tentu masih segar dalam ingatan tentang peristiwa berdarah
penembakan nelayan di Taman Nasional Pulau Komodo karena memasuki area
konservasi laut. Tahun 1998 ada lima orang nelayan yang ditembak sedangkan
tahun 2002 ada dua orang nelayan yang ditembak dan ditahun 2003 sembilan
orang nelayan ditangkap (Nahdian & Fadli 2014). Tahun 2013, Buletin Asosiasi
Nelayan Tradisional (ANTRA) Sulawesi Utara melaporkan bahwa hak nelayan
tradisional semakin terpinggirkan di Taman Nasional Bunaken (TNB). Nelayan
menyatakan bahwa adanya indikasi penyusutan ruang produksi, tingginya
frekuensi gesekan dengan otoritas setempat hingga ancaman proses hukum akibat
aktivitas di laut. Nelayan TNB dilarang melintas dan melakukan aktivitas
penangkapan ikan di perairan tertentu padahal secara teknis dan geografis garis
batas laut tidaklah berbentuk tetapi ketidaktahuan nelayan terhadap garis batas
tidak dipertimbangkan dan nelayan tetap diperkarakan secara hukum apabila
melintas atau beraktivitas di kawasan yang “dilarang”. Selanjutnya di tahun 2014
tepatnya pada bulan oktober tiga orang nelayan ditangkap oleh jagawana karena
dituduh memasuki dan merusak kawasan konservasi di Taman Nasional Ujung
Kulon (TNUK), padahal ketiganya hanya menggunakan alat penangkapan
tradisional berupa jaring dan panah bawah air yang terbuat dari kayu.
Selain permasalahan zonasi, disisi usaha penangkapan ikan nelayan
tradisional juga tidak bisa “bergerak” dengan masuknya nelayan pendatang yang
mengambil manfaat dari kawasan taman nasional. Hal ini disebabkan oleh
nelayan pendatang menggunakan teknologi penangkapan ikan yang lebih canggih
dibandingkan nelayan tradisional. Salah satu contoh kasus yaitu konflik yang
terjadi di Taman Nasional Taka Bonerate (TNTB) antara nelayan lokal dan
nelayan pendatang (andon) yang melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat tangkap modern yang tidak ramah lingkungan. Selain itu di
TNTB konflik juga terjadi antara nelayan Kampung Bajo yang menolak kehadiran
pagae (pursue seiner/pukat cincin) dari pihak luar yang bermitra dengan nelayan
Bugis dari kalangan ponggawa (pengusaha) hasil laut di Desa Rajuni (DKP Kab
Selayar 2006). Perbedaan teknologi alat penangkapan ikan sangat merugikan
nelayan tradisional yang hanya menggunakan perahu atau bahkan sampan
sederhana dan menangkap ikan hanya dengan menggunakan pancing atau alat
penangkapan tradisional lainnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila
nelayan tradisional berteriak kepada pihak yang memiliki otoritas atau bahkan
bertindak sendiri seperti yang terjadi di TNTB.
Selain permasalahan zonasi dan perikanan tangkap, hari ini banyak taman
nasional dengan potensi keanekaragaman hayatinya yang luar biasa menjelma

3

menjadi kawasan pariwisata dengan tujuan mewujudkan pembangunan
berkelanjutan. Kehadiran pariwisata diharapkan dapat menjadi jalan tengah dari
berbagai kepentingan dan menambah pendapatan masyarakat sehingga tidak
terlalu bergantung pada sumber daya alam taman nasional. Namun pada
kenyataannya, kehadiran pariwisata tidak semulus yang diharapkan bahkan terjadi
hal yang berlawanan (counterintutive). Salah satu contoh kasus yaitu dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Mahmud (2014) di Taman Nasional Bali
Barat (TNBB). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kehadiran pariwisata
merangsang kedatangan para pengusaha pariwisata yang berdampak pada
munculnya kecemburuan sosial terkait akses dan semakin sempitnya akses
terutama aktivitas nelayan di perairan laut. Walaupun sebagian masyarakat
direkrut menjadi karyawan di perusahaan tersebut, tetapi masyarakat kurang
dilibatkan secara aktif dalam pemanfaatan potensi kawasan TNBB, bahkan terjadi
penambahan larangan terhadap aktivitas nelayan. Pariwisata yang pada awalnya
diharapkan menjadi sarana peningkatan perekonomian masyarakat untuk
meningkatkan standar hidupnya tetapi malah berdampak pada semakin
terbatasnya ruang gerak masyarakat untuk dapat mengakses sumber daya alam
taman nasional.
Fenomena yang terjadi di beberapa taman nasional seperti yang telah
dipaparkan di atas menggambarkan terjadinya marginalisasi masyarakat dari
sumber penghidupannya yaitu sumber daya alam taman nasional. Budimanta
(2007) dalam Marina dan Dharmawan (2011) mengungkapkan bahwa keberadaan
sumber daya alam yang penting bagi kehidupan manusia menjadikan
kompleksitas hubungan antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam
pengelolaan sumber daya alam. Marginalisasi terjadi ketika kemampuan
masyarakat dalam mengakses sumber daya alam semakin dibatasi. Masyarakat
semakin terbatas aksesnya sedangkan pihak lain seperti pengusaha wisata
memiliki keleluasaan dalam mengambil manfaat dari sumber daya. Keleluasaan
tersebut didapat oleh pengusaha wisata karena mengantongi izin dari pihak yang
memiliki otoritas dalam pengelolaan taman nasional yaitu negara. Pemerintah
memiliki kekuasaan penuh untuk dapat menentukan siapa yang boleh dan tidak
boleh memanfaatkan sumber daya.
Ketika otonomi daerah diberlakukan berarti pemerintah pusat memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya daerahnya.
Namun pada kenyataannya pemberian kewenangan masih bersifat setengah hati.
Hal ini terlihat melalui pengelolaan kawasan konservasi oleh Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) yang tersebar diberbagai daerah sebagai
perpanjangan tangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) dengan alasan untuk urusan konservasi pemerintah daerah belum bisa
dipercaya (Satria 2009a). Selain itu dijelaskan oleh Haba (2011) bahwa
pemerintah daerah juga bersikap pasif dalam pengelolaan kawasan konservasi
taman nasional yang disebabkan oleh, pertama, selagi taman nasional (bukan
taman daerah) masih berada dibawah kewenangan pemerintah pusat, maka
“wilayah” ini tidak usah disentuh, karena hingga saat ini belum ditemukan
landasan argumentasi yang kuat untuk memulai diskursus tentang pengalihan
(devolusi) pengelolaan taman nasional dari pemerintah pusat (KLHK). Kedua,
pemikiran untuk memanfaatkan taman nasional dalam wilayah pemerintahan
daerah tampak sedikit mencuat, tetapi timbul pula kesadaran akan keterbatasan

4

dana dan sumber daya manusia untuk mengelola taman nasional. Akibatnya,
walaupun terdapat upaya desentralisasi tetapi pada kenyataannya pendekatan
sentralistik masih terus digunakan dalam pengelolaan kawasan konservasi taman
nasional dimana pengelolaan terpusat dilakukan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Klaim negara atas tanah, air, kayu dan sumber daya alam lain memperbarui
aturan akses sumber daya, yang memandang pengaksesan tanpa kewenangan
(otorisasi) sebagai tindak kriminal. Tidak diberikannya akses sumber daya vital
kepada masyarakat (nelayan) dapat menjadi tindak kejahatan paling kejam yang
dilakukan negara terhadap nelayan kecil dan kadang-kadang amarah rakyat yang
aksesnya terhadap sumber daya dirampas tidaklah bersumber dari perampasan itu
sendiri, melainkan karena akses tersebut diserahkan kepada pihak lain yang
klaimnya mereka pandang tidak valid (Thompson 1975 dalam Peluso 2006).
Namun karena pemerintah daerah otonom maupun pemerintah pusat memiliki
kontrol penuh terhadap pengelolaan sumber daya melalui kebijakan, perizinan
atau lisensi yang diterbitkannya, dapat membuka jalan dan memberikan legitimasi
pada aktor tertentu untuk mengakses sumber daya alam di kawasan konservasi
yang secara tradisional atau juridis formal berada dibawah penguasaan aktor lain
(Adiwibowo et al. 2009). Akses pemanfaatan pun terus dimanfaatkan oleh aktor
tertentu walaupun menurut masyarakat lokal yang telah bermukim lama di dalam
kawasan konservasi legitimasi yang diberikan negara dipandang tidak valid.
Perlindungan yang selama ini diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat
lokal/nelayan pun masih tertuju pada hak melintas dan hak memanfaatkan sumber
daya, padahal untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan diperlukan juga
perlindungan terhadap hak mengelola (Satria 2015). Dampak terbesarnya adalah
masyarakat diabaikan kehadirannya atau bahkan terkesan sebagai pengganggu,
perusak sumber daya alam sehingga menjadi ultimatum bahwa masyarakat
dilarang mengakses sumber daya kawasan konservasi.
Rumusan Masalah
Taman Nasional Teluk Cenderawasih (selanjutnya TNTC) merupakan taman
nasional terluas di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi
dengan wilayah perairan lebih luas dibandingkan wilayah daratannya. Luasnya
wilayah cakupan TNTC membuat TNTC kaya akan adat istiadat dan budaya dari
masyarakat yang telah lama bermukim di dalam kawasan bahkan sebelum
kawasan Teluk Cenderawasih ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Banyak
penelitian telah dilakukan di kawasan TNTC salah satunya adalah hasil penelitian
yang dilakukan oleh Winara dan Mukhtar (2011) menunjukkan bahwa di kawasan
TNTC terjadi benturan kepentingan antara kepentingan perlindungan ekosistem
dan pemanfaatan ekonomi.
Disatu sisi TNTC digunakan untuk pemanfaatan ekonomi sedangkan disisi
lain TNTC merupakan kawasan konservasi yang ditujukan untuk perlindungan
sumber daya alam. Dalam pemanfaatkan ekonomi pengelolaan TNTC terkait
dengan pemanfaatan sumber daya untuk kegiatan pariwisata dan perikanan.
Kegiatan pariwisata dilakukan oleh pengusaha pariwisata, masyarakat lokal dan
nelayan bagan. Kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dilakukan oleh
nelayan bagan dan Keramba Jaring Apung (KJA).

5

Salah satu kawasan tujuan wisata di TNTC adalah Kampung Kwatisore.
Kampung Kwatisore memiliki keistimewaan karena merupakan kawasan dimana
hiu paus sebagai icon wisata dari TNTC paling banyak muncul. Hal ini tentu
menjadi kesempatan oleh pengusaha wisata untuk mendatangkan wisatawan
kekawasan TNTC. Salah satu pengusaha wisata di TNTC khususnya di Perairan
Kwatisore adalah Kali Lemon Dive Resort (KLDR). KLDR merupakan satusatunya perusahaan wisata yang terdapat di dalam kawasan TNTC. Oleh karena
itu kegiatan wisata di Perairan Kwatisore sebagian besar dimonopoli oleh KLDR.
KLDR dalam menjalankan kegiatan wisata bergantung pada kehadiran
nelayan bagan. Nelayan bagan yang dikenal juga dengan sebutan nelayan BBM
yang merupakan singkatan dari nelayan Bugis, Buton Makassar. Sebutan BBM ini
diberikan karena nelayan bagan umumnya berasal dari ketiga wilayah tersebut.
Kerjasama yang dilakukan oleh KLDR dan nelayan bagan otomatis memberikan
keuntungan untuk kedua belah pihak.
Selain itu sejak ditetapkannya TNTC sebagai wilayah konservasi penguasaan
dan pengelolaan TNTC bersifat sentralistik dilakukan oleh negara dengan
membagi wilayah TNTC menjadi enam zona daerah perlindungan laut. Melalui
zonasi telah ditentukan daerah-daerah yang boleh dan tidak boleh diakses oleh
pihak-pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam TNTC termasuk
didalamnya komunitas Kwatisore yang telah lama bermukim di dalam kawasan.
Berlakunya sistem zonasi secara otomatis membatasi ruang gerak masyarakat
dalam mencari nafkah di kawasan konservasi karena adanya daerah-daerah
terlarang (no take zone area). Oleh pemerintah selaku pengelola kawasan, Teluk
Cendwrawasih telah dikotak-kotakkan atas nama undang-undang untuk
perlindungan dan kelestarian sumber daya alam.
Fenomena yang terjadi di Teluk Cenderawasih sedikit banyak memiliki
persamaan dengan beberapa kasus yang telah digambarkan sebelumnya di
beberapa taman nasional. Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk
menganalisis dan mendalami apakah fenomena yang telah terjadi di beberapa
taman nasional mengenai persoalan zonasi, perikanan tangkap, dan pariwisata
yang menyebabkan marginalisasi terhadap masyarakat kawasan taman nasional
juga terjadi di TNTC. Terutama bagi pengguna yang berdatangan dari luar
kawasan konservasi dan mendapatkan akses yang lebih besar dalam mengambil
manfaat dari kawasan TNTC. Oleh karena itu untuk menjawab persoalan utama
tersebut, maka beberapa pertanyaan mendasar dari penelitian ini adalah:
1. Apakah dengan hadirnya sistem zonasi komunitas Kwatisore menjadi
termarginalkan seperti halnya yang terjadi di kawasan taman nasional
lainnya?
2. Apakah kehadiran pengusaha pariwisata dan nelayan bagan di Perairan
Kwatisore mengakibatkan struktur akses komunitas Kwatisore mengalami
perubahan dan bersama dengan sistem zonasi mengakibatkan marginalisasi?
Tujuan Penelitian

1.

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
Menganalisis dampak pemberlakukan sistem zonasi terhadap komunitas
Kwatisore dimana pada umumnya penetapan zonasi pada taman nasional
menjadikan masyarakat yang bermukim di dalam kawasan taman nasional

6

2.

menjadi termarjinalkan karena akses mereka dalam memanfaatkan sumber
daya alam semakin terbatas.
Menganalisis dampak kehadiran pengusaha pariwisata, nelayan bagan dan
Keramba Jaring Apung (KJA) sebagai pendatang di taman nasional, dimana
ketiganya sebagai pendatang memiliki kemampuan yang besar untuk
memperoleh akses dalam memanfaatkan sumber daya alam TNTC sehingga
dapat mengakibatkan marginalisasi terhadap komunitas Kwatisore seperti
halnya penetapan sistem zonasi.
Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan sumbangsih terhadap
penggambaran kondisi masyarakat Kwatisore dalam usaha mereka untuk
memperoleh dan mempertahankan akses mereka terhadap sumber daya alam di
kawasan Taman Nasional Teluk Cendrawasih. Pada sebagian besar kasus kawasan
konservasi khususnya taman nasional masyarakat yang bermukim di dalam
kawasan selalu yang menjadi korban dari tarik-menarik kepentingan berbagai
pihak yang ingin mengambil manfaat dari sumber daya alam kawasan taman
nasional. Bagi peneliti diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam
menambah wacana literatur keilmuan yang berbasiskan konservasi, dan
permasalahan marginalisasi masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Konservasi Di Indonesia : Taman Nasional
Berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam, mendefinisikan taman nasional sebagai suatu
kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem
zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi selain itu memiliki fungsi sebagai
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan, keanekaragaman
spesies tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara
lestari sumber daya hayati dan ekosistemnya. Istilah taman nasional sendiri
pertama kali digunakan untuk mengukuhkan Taman Nasional Yellowstone yang
diresmikan oleh Presiden Amerika Serikat Ulysses S. Grant pada tanggal 1 Maret
1872 dan disebut juga sebagai taman nasional pertama di dunia (PHKA 2009).
Sejarah mencatat setidaknya ada lima tonggak penting dalam perkembangan
pengelolaan kawasan konservasi (Putro 2006 dalam Dunggio & Gunawan 2009)
yaitu:
1. Era Yellowstone dimana pembangunan taman nasional hanya ditujukan untuk
perlindungan spesies tertentu sebagai prioritas utama sehingga
“menyingkirkan” kepentingan kehidupan manusia.
2. Era tahun 70-an, Kongres IUCN (International Union for Conservation of
Nature and Natural Resources) di New Delhi pada tahun 1969 menetapkan
bahwa kawasan konservasi harus dikategorisasikan ke dalam beberapa

7

kategori berdasarkan kriteria tertentu, agar pengelolaannya lebih efektif dan
efisien. Merujuk pada hasil kongres tersebut, pada tahun 1978 IUCN
mengembangkan pedoman kategorisasi kawasan konservasi.
3. Era tahun 80-an pada Kongres CNPPA (Commission on National Parks and
Protected Areas) atau Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun 1982 yang
bertema “Park for Sustainable Development”, memberikan pesan agar setiap
unit kawasan konservasi harus dibuat rencana pengelolaan (management
plan) sebagai panduan bagi pengelola untuk mencapai tujuannya.
4. Era tahun 90-an pada Kongres WCPA (World Commission on Protected
Areas) di Caracas, Venezuela tahun 1993 yang menghasilkan bahwa
pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh single
institution, melainkan harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan,
khususnya masyarakat sekitar kawasan. Implikasinya, berbagai pendekatan
pengelolaan seperti pendekatan partisipatif (participatory approach) dan
pengelolaan bersama (joint management ataupun collaborative management
approaches) menjadi acuan pengelolaan sumber daya hutan, termasuk
kawasan konservasi. Era ini juga ditandai dengan maraknya proyek jutaan
dolar seperti ICDP atau semacamnya.
5. Era tahun 2000-an dari hasil Kongres WCPA terakhir di Durban, Yordania
tahun 2003, dimandatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus
mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan,
termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan konservasi.
Seiring dengan perkembangan terkini, maka berbagai kebijakan dan regulasi
yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya
mengikutinya. Hal ini penting, karena institusi konservasi yang ada di
Indonesia saat ini masih mengikuti konsep pada era-era sebelumnya dan
bersifat terpusat.
Di Indonesia benih mulai adanya perlindungan alam dalam bentuk penyisihan
kawasan oleh Direktur Kebun Raya Bogor yang saat itu mengesahkan cagar alam
pertama di Cibodas Jawa Barat pada tahun 1889. Sedangkan untuk taman
nasional, baru benar-benar dibentuk pada tanggal 6 Maret 1980, saat Menteri
Pertanian mengumumkan lahirnya lima taman nasional yaitu Taman Nasional
Leuser, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional
Gede Pangrango dan Taman Nasional Komodo. Bertepatan dengan Konggres
Taman Nasional Internasional III di Bali pada tahun 1982, jumlah taman nasional
di Indonesia bertambah menjadi 11 kawasan dan hingga saat ini Indonesia telah
memiliki 50 unit taman nasional (PHKA 2009). Tonggak awal konservasi modern
di Indonesia dimulai sejak Konggres Taman Nasional Internasional III di Bali
dimana pengelolaan taman nasional bersumber dari pengelolaan Taman Nasional
Yellowstone yang mengedepankan pendekatan pengamanan (security approach)
dengan mengutamakan kepentingan konservasi di atas segalanya (Dunggio &
Gunawan 2009).
Dasar yuridis dari pengembangan taman nasional adalah Undang-undang No
5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati, sehingga melalui
undang-undang inilah pemerintah pusat memiliki wewenang dalam menetapkan
kawasan konservasi di seluruh Indonesia (Satria 2009a). Penetapan kawasan
konservasi berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1990 membagi kawasan
konservasi menjadi dua yaitu kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

8

Taman nasional termasuk ke dalam kawasan pelestarian alam yang diharapkan
dapat memberikan jalan tengah dalam pengelolaan kawasan konservasi antara
tujuan perlindungan dan pemanfaatan (Winara & Mukhtar 2011). Menurut
Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2011 Pasal 8 tentang Kawasan Suaka
alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjelaskan bahwa suatu kawasan ditunjuk
sebagai taman nasional apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang
masih utuh dan alami serta gejala alam yang baik;
b. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh
c. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis
secara alami; dan
d. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan,
zona rimba dan zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara telah melakukan berbagai program
dalam manajemen pengelolaan kawasan konservasi termasuk taman nasional,
mulai dari (1) ICDP (Integrated Conservation and Development Project) dan
IPAS (Integrated Protected Area System) pada tahun 1990-an. Kedua program ini
merupakan pengelolaan kawasan konservasi yang terkait dengan perlindungan
keanekaragaman hayati dan pembangunan sosial-ekonomi masyarakat sekitar
kawasan. Konsep ini terutama ICDP meyakini bahwa pembangunan dan
konservasi tidak perlu dipertentangkan dan kepentingan pembangunan dapat
dipadukan dengan kepentingan konservasi. Namun secara umum kegagalan utama
dari manajemen pengelolaan ICDP adalah yang hanya berfokus pada asumsi
bahwa konservasi pada suatu kawasan dapat tercapai secara otomatis apabila
ekonomi masyarakat sekitar meningkat. Selanjutnya terus bergulir berbagai
konsep pengelolaan kawasan konservasi seperti (2) konsep Manajemen
Bioregional merupakan konsep yang memadukan tujuan pemulihan,
penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan secara optimal potensi sumber daya
alam dan lingkungan; (3) Manajemen Partisipatif atau disebut juga sebagai
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, (4) Manajemen Kemitraan, dan (5)
Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Lama dan Kawasan Pelestarian Alam
yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan melalui Peraturan Nomor
P.19/Menhut-II/2004. Implementasi dari kelima konsep tersebut masih bersifat
trial and error dan keberlanjutannya sangat tergantung pada sikap dan kebijakan
dari pejabat yang sedang memegang tampuk kepemimpinan (Dunggio &
Gunawan 2009).
Zonasi Taman Nasional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.56 Menhut-II/2006 tentang
pedoman zonasi taman nasional memberikan definisi bahwa zonasi taman
nasional merupakan suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi
zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis
data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata
batas, dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek
ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional adalah
wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut fungsi dan
kondisi ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.

9

Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.56 Menhut-II/2006
menyebutkan bahwa zona dalam kawasan taman nasional terdiri dari:
1. Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia
yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan
keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Zona inti merupakan kawasan
yang berfungsi untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna
khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber
plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang
budidaya.
2. Zona perlindungan bahari dan zona rimba. Zona perlindungan bahari
merupakan wilayah perairan taman nasional yang karena letak, kondisi dan
potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan
zona pemanfaatan. Zona rimba berfungsi untuk kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan
penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan
menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
3. Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata
alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Zona pemanfaatan berfungsi untuk
pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan,
penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan
penunjang budidaya.
4. Zona lainnya, antara lain:
a. Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
b. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan
komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan sehingga
mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.
c. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
didalamnya terdapat status religi, peninggalan warisan budaya dan atau
sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilainilai budaya atau sejarah serta sebagai wahana untuk kegiatan penelitian,
pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.
d. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana
penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan
sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik.
Atau sekurang-kurangnya dalam kawasan taman nasional terdiri dari zona inti,
zona rimba dan zona pemanfaatan. Penentuan zona setiap kawasan taman nasional
dilakukan secara variatif sesuai dengan kondisi setempat.
Penetapan suatu kawasan dan penentuan zonasi di setiap taman nasional
sangat bervariatif dan tidak selalu berjalan mulus. Hal ini disebabkan oleh
ketakutan masyarakat ketika suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional

10

mereka akan kehilangan sumber nafkah mereka yang berasal dari kawasan taman
nasional terutama apabila sumber nafkah tersebut terdapat di zona yang telah
ditetapkan sebagai zona terlarang (no take zone area). Dampaknya masyarakat
tidak bisa lagi mengakses sumber daya dan apabila mereka tetap bersikeras untuk
memasuki zona yang dilindungi mereka harus berhadapan dengan para jagawana
yang memegang senjata.
Wilayah zonasi konservasi perairan bersifat abstrak, ketika nelayan melaut
tidak ada tanda di laut batasan-batasan zona yang terlarang mereka masuki atau
mungkin ketidaksengajaan mereka melewati kawasan karena ingin melintas.
Tidak semua zona yang telah ditetapkan terimplementasikan sesuai dengan
fungsinya. Tidak jarang zona yang seharusnya menjadi zona pemanfaatan yang
berfungsi sebagai jasa lingkungan karena ketidakawasan dari petugas sumber
dayanya diambil oleh pengunjung atau zona yang seharusnya berfungsi sebagai
zona tradisional yang dikhususkan untuk kepentingan tradisional masyarakat yang
telah lama bermukim di dalam kawasan konservasi tetapi dimanfaatkan oleh para
pendatang. Dan hanya berlabelkan pada legitimasi dari pihak otoritas sehingga
dapat mengakses sumber daya dari zona tradisional. Polemik zonasi taman
nasional bukanlah suatu isu yang baru namun hingga hari ini isu tersebut terus
berlanjut.
Marginalisasi
Marginalisasi merupakan konsep yang berasal dari berbagai disiplin ilmu
(Burton & Kagan 2003; Bernt & Colini 2013). Oleh karena itu marginalisasi
sendiri terdiri dari beberapa konsep. Dalam ranah sosiologi istilah marginalisasi
pertama kali diperkenalkan oleh Robert Park pada tahun 1928 dari tulisannya
yang berjudul “Human Migration and The Marginal Man” yang menggambarkan
pengalaman para imigran dalam melalui tumpang tindihnya perbedaan budaya
sehingga berdampak pada kurangnya integrasi dan status sebagai “orang luar
(outsider)” terhadap budaya yang dominan dipraktekan (Bernt & Colini 2013).
Imigran menjadi orang luar yang diminoritaskan. Minoritas dalam hal ukuran,
menjadi terpinggirkan, dan di luar dari mainstream utama (Mulligan 1999) yang
pada akhirnya membatasi ruang gerak mereka untuk berpartisipasi dalam ruang
sosial. Hal inilah yang menjadikan kaum minoritas menjadi termarginalkan.
Namun yang disebut kaum termarginalkan bukan hanya para imigran sebagai
kaum minoritas melainkan juga kelompok etnis pada suatu kondisi sosial tertentu
seperti pada level kelas atau kasta, marginalisasi pada gender dan marginalisasi
pada suatu komunitas tertentu yang semakin terbatas dalam ruang sosial dan
terutama ekonomi (Kumar & Bhadury 2014).
Marginalisasi sendiri didefinisikan sebagai suatu proses yang mengarah pada
meminggirkan suatu komunitas atau individu tertentu dari ruang sosial yang pada
akhirnya membatasi pilihan hidup mereka baik di bidang politik, sosial, dan
ekonomi (Jahan 2016). Anupkumar juga mengungkapkan bahwa Istilah
marjinalisasi umumnya menggambarkan suatu proses sosial untuk menjadi
terpinggirkan, baik dalam perkembangan kehidupan sosial, budaya, dan terutama
ekonomi sehingga membatasi kesempatan untuk bertahan hidup. Membatasi
pil