Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik

FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN KEBERADAAN
INANGNYA DAPAT MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN
KEDELAI ORGANIK

KHOERUR ROZIQIN

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fungi Mikoriza
Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai
Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Khoerur Roziqin
NIM A24090186 
 

ABSTRAK
KHOERUR ROZIQIN. Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya
Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik. Dibimbing oleh MAYA
MELATI dan ARUM SEKAR WULANDARI.
Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan
sumber protein nabati. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dosis
fungi mikoriza arbuskula (FMA) serta keberadaan tanaman sorghum sebagai
inangnya terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai organik. FMA diaplikasikan
pada setiap lubang tanam kedelai berdasarkan empat dosis yaitu 0, 1, 2, 2.5 g
FMA lubang-1. Keberadaan sorghum diaplikasikan di dalam petak pertanaman
kedelai yang terdiri atas ada dan tidak adanya sorghum di dalam petakan. Kedua
perlakuan dikombinasikan dalam Rancangan Tersarang (nested design). Dosis

FMA secara umum mempengaruhi pertumbuhan dan beberapa komponen
produksi kedelai. Pertumbuhan optimum dicapai pada dosis 2.08 g FMA lubang-1.
Produksi kedelai diduga meningkat pada dosis FMA lebih dari 2.5 g lubang-1.
Produktivitas berdasarkan dosis FMA tidak berbeda nyata, yaitu 1.35, 1.08, 1.04,
dan 1.15 ton ha-1. Produktivitas kedelai tanpa sorghum lebih tinggi daripada
dengan ada sorghum, yaitu 1.25 dan 1.05 ton ha-1. Penempatan sorghum yang
tidak tepat mungkin telah mengakibatkan persaingan antara sorghum dan kedelai.
Kata kunci: Acaulospora, Gigaspora, Glomus, infeksi akar, Sorghum bicolor

ABSTRACT
KHOERUR ROZIQIN. Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Its Host Presence
Could Improve Organic Soybean Growth. Supervised by MAYA MELATI and
ARUM SEKAR WULANDARI.
Soybean (Glycine max (L) Merrill) is one of the food crops as a source of
vegetable protein. The purpose of this research was to determine the effect of rates
of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) and the existence of sorghum, as an AMF
host, on the growth and production of organic soybean. AMF was applied to each
planting hole of soybean based on four different rates of 0, 1, 2, 2.5 g AMF hole-1.
The existence of sorghum plant on the soybean plots, consisted of the presence
and absence of sorghum in the plot. Both treatments were combined in nested

design. Rates of AMF, in general, affected the growth and some yield components
of soybean. Maximum growth was achieved at the rate of 2.08 g AMF hole-1.
Soybean production was expected to increase in rate of more than 2.5 g AMF
hole-1. Soybean productivity based on AMF rates were not significantly different,
they were 1.35, 1.08, 1.04, and 1.15 ton ha-1 for 0, 1, 2, 2.5 g AMF ha-1,
respectively. Without sorghum, soybean productivity was higher than that with
the presence of sorghum, they were 1.25 and 1.05 ton ha-1, respectively. Improper
placement of sorghum in the plot might have resulted in competition with
soybean.
Key words: Acaulospora, Gigaspora, Glomus, root infection, Sorghum bicolor

FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DAN KEBERADAAN
INANGNYA DAPAT MEMPERBAIKI PERTUMBUHAN
KEDELAI ORGANIK

KHOERUR ROZIQIN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian

pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Fungi Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya
Dapat Memperbaiki Pertumbuhan Kedelai Organik
Nama
: Khoerur Roziqin
NIM
: A24090186

Disetujui oleh

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Pembimbing I


Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat-Nya, sehingga skripsi ini dapat disusun. Penelitian Fungi
Mikoriza Arbuskula dan Keberadaan Inangnya Dapat Memperbaiki Pertumbuhan
Kedelai Organik yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 didasari atas
keinginan untuk menguji pengaruh pemberian pupuk hayati mikoriza agar
produksi kedelai organik meningkat.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Maya Melati MS, MSc
serta Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS yang telah memberikan bimbingan selama

pelaksanaan penelitian hingga skripsi ini dapat disusun. Ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada pimpinan Laboratorium Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM IPB yang telah memberikan ijin
untuk menggunakan fasilitas laboratorium tersebut, Ibnu Sofwan ST (staf PT
Miyuki Indonesia) dan Imron Rosyadi (direktur CV Cipta Niaga) selaku donator
dalam pembiayaan penelitian ini, serta terimakasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, dan seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmu pertanian, serta
masyarakat luas.

Bogor, Januari 2014
Khoerur Roziqin

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis


2

TINJAUAN PUSTAKA

3

Pertanian Organik

3

Budidaya Kedelai Organik

3

Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

4

METODE


6

Tempat dan Waktu

6

Bahan dan Alat

6

Metode Rancangan

7

Pelaksanaan Penelitian

7

Pengamatan Kedelai


9

Pengamatan Fungi Mikoriza Arbuskula

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

11

Hasil

11

Pembahasan

26

SIMPULAN DAN SARAN


29

Simpulan

29

Saran

30

DAFTAR PUSTAKA

31

LAMPIRAN

34

RIWAYAT HIDUP

37

DAFTAR TABEL
1
2

3
4
5
6
7
8
9

Peubah vegetatif dan generatif tanaman kedelai yang diamati
Rekapitulasi hasil analisis ragam seluruh data pertumbuhan dan
produktivitas kedelai dengan perlakuan dosis FMA dan keberadaan
tanaman sorghum
Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan dosis FMA
Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan keberadaan tanaman sorghum
Produksi kedelai 14 MST dengan perlakuan dosis FMA
Produksi kedelai 14 MST dengan perlakuan keberadaan sorghum
Pengaruh interaksi dosis FMA dan keberadaan tanaman sorghum
terhadap karakter agronomi kedelai
Rata-rata produksi sorghum dan tagetes setiap petak dengan perlakuan
dosis FMA
Rekapitulasi hasil analisis ragam data kelimpahan spora dan tingkat
infeksi akar dengan perlakuan dosis FMA serta keberadaan tanaman
sorghum

9

13
15
17
18
20
20
22

22

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kurva pertumbuhan vegetatif berdasarkan dosis FMA
Kurva produksi kedelai berdasarkan dosis FMA
Kadar N daun berdasarkan interaksi dosis FMA dan keberadaan
sorghum
Kadar dan serapan P daun berdasarkan interaksi dosis FMA dan
keberadaan sorghum
Kepadatan spora sebelum dan sesudah tanam berdasarkan dosis FMA
dan keberadaan tanaman sorghum
Hubungan antara kepadatan spora dengan jumlah polong dan bobot
kering biji per tanaman
Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai dan akar sorghum
berdasarkan dosis FMA
Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan
keberadaan tanaman sorghum
Derajat infeksi hifa mikoriza terhadap akar kedelai berdasarkan dosis
FMA dan keberadaan sorghum
Sebaran genus FMA berdasarkan dosis FMA

16
19
21
21
23
23
24
24
25
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Lay out petak percobaan
Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah menurut penelitian tanah
(1983)
Interpretasi nilai unsur hara mikro
Hasil analisis tanah setiap blok berdasarkan dosis FMA
Kondisi iklim wilayah Dramaga, Bogor

34
35
35
35
36

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan
penting yang menjadi sumber protein nabati. Konsumsi kedelai masyarakat
Indonesia sangat tinggi. Kebutuhan kedelai nasional pada tahun 2010
diperhitungkan sebesar 2.4 juta ton (Ghulamahdi 2009).
Paradigma baru bahwa makanan yang sehat adalah makanan dari hasil
pertanian organik terus berkembang. Pertanian organik juga dianggap memiliki
dampak positif bagi kehidupan karena aplikasinya yang ramah lingkungan.
Sutanto (2006) menyatakan bahwa pertanian organik dapat diartikan sebagai suatu
sistem produksi tanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Daur
ulang hara dapat melalui sarana limbah tanaman ternak, serta limbah lainnya yang
mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Perhatian terhadap
produk pertanian organik memerlukan informasi tentang budidaya kedelai secara
orgaink. Pemupukan adalah salah satu kegiatan budidaya yang sangat
mempengaruhi dalam meningkatkan produksi kedelai.
Pemupukan adalah penambahan unsur hara yang diperlukan tanaman dalam
proses fisiologisnya. Pupuk yang diperlukan dalam pertanian organik berupa
pupuk organik dan pupuk hayati. Suriadikarta dan Simanungkalit (2006)
menyatakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau
seluruhnya terdiri atas tanaman dan atau hewan yang telah melalui proses
rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair yang digunakan yang berfungsi untuk
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pemberian pupuk hayati dan pupuk organik ke dalam tanah dapat
meningkatkan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi
pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan.
Sumber pupuk hayati yang berpotensi untuk dikembangkan dalam upaya
peningkatan produksi kedelai organik adalah fungi mikoriza arbuskula (FMA).
Menurut Sutanto (2006), hifa mikoriza bersimbiosis dengan perakaran tanaman
dan membantu penyerapan fosfat. Mikoriza dapat meningkatkan luas permukaan
akar sehingga meningkatkan absorpsi hara, terutama jenis hara fosfat yang
mempunyai mobilitas rendah dalam larutan tanah. Mikoriza juga membantu
penyerapan air dan melindungi akar dari serangan patogen akar. Potensi FMA
tersebut sangat menarik untuk dikembangkan khususnya pada budidaya kedelai
organik. Aplikasi FMA yang tepat menjadi peluang tersendiri untuk dimanfaatkan
sebagai upaya untuk meningkatkan produksi kedelai organik. Fosfat sangat
membantu dalam proses pengisian biji kedelai, sehingga dengan keberadaannya
diharapkan mampu meningkatkan produktivitas kedelai.
Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2012) mengenai perlakuan
perbedaan dosis pupuk dan FMA menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap
produksi kedelai organik. Hasil temuannya menunjukkan bahwa dosis terbaik
untuk meningkatkan kadar P dalam biji tertinggi pada kedelai organik adalah
dosis 5 g FMA lubang-1. Produktivitas kedelai dengan dosis 0 dan 2.5 g FMA
lubang-1 tidak berbeda nyata dengan yang diberi dosis 5 g FMA lubang-1, yakni
2.29, 2.21, 2.40 ton hektar-1. Dosis 5 g FMA lubang-1 setara dengan 1 kuintal

2
FMA ha-1, jika diasumsikan bahwa jumlah lubang tanam adalah 200.000 lubang
ha-1. Dosis itu cukup besar untuk budidaya pertanian tanaman semusim. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian kembali mengenai perlakuan dosis yang
lebih rendah sehingga diperoleh dosis FMA yang lebih efisien untuk
meningkatkan produksi kedelai organik.
Hasil penelitian dosis tinggi inokulan FMA yang berpengaruh nyata
terhadap produksi kedelai organik tidak berarti bahwa inokulan tersebut
mengandung mikoriza murni sepenuhnya, melainkan turut serta bersama medium
pembawanya yaitu zeolit. Simanungkalit (2006) menyatakan bahwa zeolit adalah
salah satu bahan padat yang dapat digunakan sebagai medium pertumbuhan inang
untuk perbanyakan FMA. Berbagai tanaman yang dapat dipakai sebagai tanaman
inang untuk perbanyakan FMA misalnya jagung, rumput bahia (Paspalum
notatum), Pueraria javanica rumput guinea (Panicum maximum), kirinyu
(Chromolaena odorata), sorghum (sorghum bicolor), siranto (Macroptilium
purpureum), dan sebagainya. Tanaman inang yang diperlukan adalah tanaman
inang yang sangat responsif terhadap FMA (tingkat ketergantungannya tinggi
terhadap simbiosis dengan FMA) dan memiliki sistem akar dengan massa besar.
Latar belakang tersebut mendasari penelitian ini yakni dengan mempelajari
perlakuan dosis FMA yang lebih rendah dari penelitian sebelumnya serta akan
diimbangi dengan perlakuan keberadaan inang FMA (sorghum) yang diharapkan
menjadi inang untuk perbanyakan inokulum FMA secara alami di dalam tanah.
Asumsi dari kombinasi perlakuan tersebut adalah adanya interaksi antara dosis
yang rendah dengan keberadaan inang sebagai sumber perbanyakan FMA secara
alami, sehingga dosis FMA 5 g lubang-1 dapat disubstiusi dengan dosis FMA yang
lebih rendah dan dapat dikombinasikan dengan tanaman inang FMA sebagai
sumber perbanyakan FMA secara alami dalam budidaya kedelai organik.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan dosis fungi
mikoriza arbuskula (FMA) serta keberadaan tanaman sorghum sebagai inangnya
terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai yang dibudidayakan secara
organik.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah
1. Peningkatan dosis FMA dapat meningkatkan produksi kedelai organik.
2. Adanya tanaman sorghum sebagai inang FMA dapat meningkatkan produksi
kedelai organik.
3. Terdapat interaksi antara dosis FMA dengan tanaman sorghum yang
memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai
organik.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Pertanian Organik
Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa
tanaman, kompos, dan pupuk kandang yang menjadi biomassa tanah yang
selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam
larutan tanah. Hal ini sangat berbeda dengan pertanian konvensional yang
memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dalam bentuk larutan sehingga
segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman.
Kegunaan budidaya organik pada dasarnya adalah meniadikan atau
membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya secara
kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai keunggulan nyata
dibandingkan dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan
keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara
makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk
hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling
mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengonversikan dan
menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya
pencemaran lingkungan (Sutanto 2006).
Budidaya Kedelai Organik
Hasil dari beberapa penelitian menujukkan bahwa secara umum produksi
kedelai organik lebih baik dibandingkan produksi kedelai konvensional.
Penelitian Kurniasih (2006) menyimpulkan bahwa secara umum hampir semua
peubah pengamatan pada budidaya organik yang diberi perlakuan pupuk hijau
memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan budidaya konvensional dan
organik tanpa pupuk hijau, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan
budidaya organik dengan pupuk kandang ayam. Produktivitas kedelai pada
budidaya konvensional, organik dengan pupuk kandang ayam, dan organik tanpa
pupuk berturut-turut adalah 1.80, 6.03, dan 2.00 ton ha-1. Rahadi (2008)
menambahkan, budidaya kedelai organik dapat menghasilkan polong lebih banyak
dibandingkan dengan budidaya kedelai konvesional. Berdasarkan analisis biaya
produksi maka kedelai lebih baik dibudidayakan dengan perlakuan 1.5 ton pupuk
kandang sapi ha-1 dan 216 kg guano ha-1.
Pupuk organik, kombinasi dan residunya dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hara tanah untuk produksi kedelai. Limbah pertanian yang dapat
digunakan sebagai pupuk organik antara lain kompos dan abu sekam. Kompos
merupakan sisa tanaman yang telah terdekomposisi. Fungsinya sebagai penyedia
hara mungkin kecil namun yang dapat dimanfaatkan dari kompos adalah bahan
organiknya. Abu sekam padi dapat menurunkan intensitas serangan hama, tetapi
sebaiknya tidak diberikan secara tunggal melainkan dikombinasikan dengan
pupuk organik yang lain (Melati et al. 2008).
Pupuk hijau dan pupuk kandang ayam yang ditambahkan ke dalam tanah
dalam budidaya kedelai organik berfungsi sebagai sumber bahan organik. Pupuk
hijau merupakan salah satu sumber bahan organik yang berasal dari bahan

4
tanaman yang belum terdekomposisi. Penambahan bahan organik ke dalam tanah
akan menjadi sumber energi dan makanan untuk bermacam-macam
mikroorganisme di dalam tanah. Bahan organik tidak hanya berperan dalam
membantu ketersediaan unsur hara di dalam tanah tetapi juga turut membantu
dalam perbaikan sifat fisik dan biologi tanah (Melati dan Andriyani 2005). Pupuk
hijau perlu diperhatikan pada cara aplikasinya. Kurniasih (2006) menyampaikan
bahwa pupuk hijau menyediakan hara secara lambat dan bertahap sehingga perlu
pemberian dekomposer pada pupuk hijau untuk mempercepat ketersediaan hara
bagi tanaman. Selain itu, penambahan kapur pada saat penanaman pupuk hijau
diperlukan untuk membantu pertumbuhan, perkembangan, dan produktivitas
tanaman kedelai.
Beberapa jenis tanaman legum yang banyak digunakan sebagai penutup
tanah dan sebagai pupuk hijau di Indonesia antara lain Calopogonium mucunoides,
Centrosema pubescens, dan Pueraria javanica (Melati dan Andriyani 2005).
Umumnya tanaman yang digunakan sebagai pupuk hijau mempunyai kadar N
yang tinggi. Tithonia diversivolia merupakan salah satu pupuk hijau kaya akan
kadar nitogen (Kurniansyah 2010). Tiga jenis pupuk organik yakni pupuk
kandang ayam, Tithonia diversifolia, dan Centrosema pubescens dapat dijadikan
pilihan dalam pengembangan budidaya kedelai organik di lahan kering (Herwanti
2011).
Residu pupuk organik dapat memenuhi kebutuhan hara selama budidaya
kedelai organik. Pemanfaatan residu hara dari musim tanam sebelumnya efisien
dalam peningkatan produksi pada musim tanamn setelahnya (Herwanti 2011).
Hasil percobaan Jumro (2011) menunjukkan bahwa residu pupuk organik
(Tithonia diversifolia, pupuk kandang ayam, dan Centrocema pubescens)
berpengaruh nyata pada bobot basah daun, bobot kering biji dan jumlah polong isi.
Produktivitas kedelai dengan perlakuan pemupukan Tithonia diversifolia, pupuk
kandang ayam, dan Centrocema pubescens berturut-turut adalah 2.43, 2.37, dan
2.42 ton ha-1. Ramadhani (2011) menambahkan, budidaya kedelai organik pada
musim tanam II hanya memerlukan penambahan pupuk 50% dari dosis pupuk
musim tanam I. Meliala (2011) juga melaporkan bahwa pemberian pupuk organik
dengan dosis yang sama dengan musim tanam I tidak berpengaruh nyata terhadap
produksi kedelai.
Pemanfaatan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dalam sistem budidaya
kedelai organik juga sebelumnya telah dipelajari. Handayani (2012) memaparkan
bahwa FMA memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan P biji kedelai
namun tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan kedelai. Hasil
percobaannya juga menunjukkan indikasi kontaminasi antara petakan yang
diberikan dan tidak diberi perlakuan FMA. Untuk itu pembatas antara petakan
tersebut atau isolasi jarak diperlukan untuk mengurangi peluang kontaminasi.
Selain itu aplikasi FMA pada tanaman inang yang ditumpangsarikan dengan
kedelai untuk penghematan biaya produksi juga diperlukan.
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) bersifat biotrof obligat yang tidak dapat
melestarikan pertumbuhan dan reproduksinya bila terpisah dari inang. Fungi ini
dicirikan oleh adanya struktur vesikula dan arbuskula. Ada yang membentuk

5
kedua struktur ini dalam akar yang dikolonisasi. Vesikula merupakan struktur
berdinding tipis berbentuk bulat, lonjong, atau tidak teratur. Struktur ini
mengandung senyawa lipid. Arbuskula merupakan struktur dalam akar berbentuk
seperti pohon berasal dari cabang-cabang hifa intra-radikal setelah hifa cabang
menembus dinding sel korteks, dan terbentuk antara dinding sel dan membran
plasma. Arbuskula merupakan tempat pertukaran hara antara mikoriza dengan
tanaman inang (Simanungkalit 2006). Smith dan Gianinazzi-Pearson (1988)
mencatat panjang hifa FMA pada beberapa tanaman berkisar antara 0,71-14,20 m
cm-1 akar. Penelitian yang dilakukan oleh Kramadibrata et al. (1995) pada
pertanaman kedelai di beberapa lokasi di Jawa Barat dan Lampung diperoleh 19
taksa FMA. Hal ini menunjukkan tingginya keanekaragaman FMA pada
pertanaman kedelai.
FMA berperan penting dalam pertumbuhan tanaman, perlindungan tanaman,
dan kualitas tanah. Fungi ini tersebar luas dalam sistem pertanian dan sangat
relevan untuk pertanian organik karena dapat bertindak sebagai pupuk hayati
dalam meningkatkan hasil tanaman. Bukti menunjukkan bahwa sistem pertanian
organik dapat meningkatkan kadar inokulum FMA dan tingkat kolonisasi FMA
pada tanaman sehingga serapan hara dapat lebih ditingkatkan (Mahmood dan
Rizvi 2010). Mikoriza dapat menekan kebutuhan pupuk P sampai 20-30%
(Sutanto 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Ilbas dan Sahin (2005)
menunjukkan bahwa inokulasi FMA dapat meningkatkan pertumbuhan kedelai
dan hasil pada tingkat P tanah yang terbatas. Tingkat pemupukan P rendah
dikombinasikan dengan inokulasi mikoriza memberikan hasil yang optimal.
Unsur fosfor (P) berperan dalam proses pemecahan karbohidrat untuk energi.
Penyimpanan dan peredarannya ke seluruh tanaman dalam bentuk ADP dan ATP.
Unsur P berperan dalam pembelahan sel melalui peranan nucleoprotein yang ada
dalam inti sel, selanjutnya berperan dalam menentukan sifat-sifat kebakaan dari
generasi ke generasi melalui peranan DNA. Unsur ini juga menentukan
pertumbuhan akar, mempercepat kematangan dan produksi buah dan biji
(Leiwakabessy dan Sutandi 2004). Tisdale et al. (1985) memaparkan bahwa
fosfor di dalam tanah dapat dikelaskan menjadi bentuk organik dan inorganik.
Mobilitas hara P dalam tanah sangat rendah karena reaksi dengan
komponen tanah dengan ion-ion logam dalam tanah seperti Ca, Al, Fe dan lainlain membentuk senyawa yang kurang larut dengan tingkat kelarutan berbedabeda (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Umumnya ketersediaan fosfor bagi
tanaman di dalam tanah juga rendah akibat fiksasi ion-ion logam Ca, Al, dan Fe
tersebut, sehingga dapat dilakukan pemupukan fosfor di permukaan tanah.
Pemupukan tersebut dapat membuat ketersediaan fosfor bagi tanaman meningkat
sehingga dapat digunakan oleh tanaman (Tisdale et al. 1985).
Hubungan sinergis antara FMA dan rhizobium telah dipelajari secara
ekstensif karena simbiosis ini memiliki potensi besar untuk aplikasi pertanian.
FMA berfungsi membantu dalam ketersediaan fosfor (P) dalam tanaman,
sedangkan rhizobium mengikat nitrogen dari udara. Sekitar 80 % dari semua jenis
tanaman dapat terinfeksi FMA, tetapi hubungan sinergis antara rhizobium dan
FMA hanya berlaku untuk tanaman legum. FMA dan rhizobium menghasilkan
respon morfologis yang berbeda pada tanaman inang, tetapi keduanya
menggunakan gen yang sama pada tahap prekolonisasai. Sinyal transduksi yang

6
memulai nodulasi dan infeksi mikoriza dalam tanaman legum, sebagian
menggunakan gen yang sama, yaitu sym (Manchanda dan Garg 2007).
Taksonomi FMA terus berkembang dan saat ini dikenal 25 genus
diantaranya Glomus, Acaulospora, Kuklospora, Pacispora, Gigaspora,
Scutellospora, Ambispora, dan Archaeospora (Redecker et al. 2013). Rhizobium
dan FMA sering berinteraksi secara sinergis dalam hal pengambilan nutrisi dan
meningkatkan hasil panen yang lebih baik. Interaksi ini sangat jelas pada tanahtanah yang memiliki kadar P yang rendah, terutama dengan tambahan fosfat.
Interaksi yang menguntungkan ini telah diketahui pada legum berikut:
Stylosanthes guyanensis, Centrosema pubescens, Medicago sativa, Phaseolus sp.,
Glycine max, Arachis hypogea, Vygna unguiculata, Pueraria sp., Trifolium repens,
Trifolium subterranum (Rao 1994).

METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB, Cikarawang, Dramaga,
Bogor dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi,
IPB. Analisis hara dan tanah dilakukan di Laboratorium Kimia Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.
Pengamatan hasil panen dilakukan di Laboratorium Pasca Panen (Post Harvest)
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB.
Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai
dengan Juni 2013. Adapun rinciannya adalah bulan Desember 2012 - Maret 2013
dilakukan kegiatan budidaya kedelai, bulan Maret - Mei 2013 dilakukan
pengamatan hasil panen, April-Juni 2013 dilakukan pengamatan FMA.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih kedelai
varietas anjasmoro yang ditanam dengan populasi 400.000 tanaman ha-1 (200.000
lubang ha-1 dengan jumlah benih 2 tanaman lubang-1) serta benih sorghum
varietas numbu sebagai tanaman inang FMA. Bahan-bahan kimia yang digunakan
antara lain alkohol 70%, HCl 2%, KOH 2.5%, larutan trypan blue, dan aquades.
Media tanam yang digunakan adalah lahan kering. Pupuk yang diberikan
yaitu pupuk hayati fungi mikoriza arbuskula (FMA) dosis 0, 1, 2, dan 2.5 g
lubang-1 sebagai perlakuan, pupuk hijau Tithonia diversifolia dosis 2 ton ha-1,
pupuk kandang dosis 5 ton ha-1, abu sekam dosis 2 ton ha-1, dan dolomit dosis 2
ton ha-1. FMA yang digunakan berupa media serbuk zeolit yang mengandung
kombinasi spora Glomus manihotis, Gigaspora sp., dan Acaulospora sp.. Spora
yang terkandung dalam 15 g serbuk zeolit tersebut adalah 214 spora. Pemberian
pupuk hijau Tithonia diversifolia didasarkan pada hasil penelitian Kurniansyah
(2010) bahwa penambahan Tithonia diversifolia memberikan pengaruh terbaik
terhadap produksi kedelai organik. Pengendalian yang dilakukan untuk
mengurangi terjadinya serangan hama atau penyakit adalah penananaman
tanaman Tagetes ercta dan serai (Andropogon nardus). Penentuan jenis tanaman

7
ini didasarkan pada penelitian oleh Kusheryani dan Aziz (2005) yakni
penggunaan Tagetes erecta dan serai dapat menurunkan intensitas serangan hama
(OPT) dan penyakit pada tanaman kedelai.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat budidaya
tanaman dan alat – alat untuk pengamatan. Alat yang digunakan untuk mengamati
infeksi akar oleh mikoriza, ekstraksi spora, identifikasi dan menghitung spora di
laboratorium meliputi mikroskop, saringan spora, pinset spora, cawan petri, pipet,
kaca preparat, cover glass, gunting akar, dan timbangan analitik.
Metode Rancangan
Percobaan ini menggunakan Rancangan Tersarang (nested design) dengan
dua faktor, yaitu dosis fungi mikoriza arbuskula (FMA) yang terdiri atas empat
tingkat yakni 0, 1, 2, 2.5 g lubang-1 dan keberadaan sorghum sebagai inang FMA
yang terdiri atas dua tingkat yakni petak tidak ditanami sorghum dan ditanami
sorghum. Ulangan tersarang pada faktor dosis FMA dan faktor sorghum diacak di
dalam ulangan tersebut, sehingga terdapat empat blok percobaan berdasarkan
faktor dosis FMA. Jarak antar blok dosis adalah 2 - 7 m. Faktor keberadaan
sorghum diulang sebanyak empat ulangan pada setiap faktor dosis FMA, sehingga
terdapat 32 satuan percobaan. Faktor keberadaan sorghum merupakan hasil kajian
dari penelitian Handayani (2012) yang merekomendasikan tanaman inang sebagai
perlakuan alternatif untuk meningkatkan kepadatan spora secara alami. Seluruh
data percobaan dianalisis dengan analisis gabungan rancangan tersarang untuk
membandingkan variabel dengan perlakuan keberadaan sorghum dan antar dosis
FMA. Model aditif yang digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi adalah:
Yijk = µ + Mi +Uk|Mi + Sj + (M*S)ij + εijk, keterangan:
Yijk
= Respon terhadap perlakuan dosis FMA ke-i, keberadaan
sorghum ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= Rataan umum
Mi
= Pengaruh utama dosis FMA ke-i (i=1,2,3,4)
Sj
= Pengaruh utama keberadaan tanaman soghum ke-j (j=1,2)
Uk|Mi = Pengaruh ulangan ke-k (k=1,2,3,4) tersarang pada perlakuan
dosis FMA ke-i
(M*S)ij = Pengaruh interaksi antara dosis FMA dan keberadaan tanaman
sorghum, pada dosis FMA ke-i, dan keberadaan tanaman
sorghum ke-j
εijk
= Galat pada dosis FMA ke-i, keberadaan tanaman sorghum ke-j,
dan ulangan ke-k
Data selanjutnya dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), apabila
diperoleh hasil yang berpengaruh nyata pada interaksi antara dua faktor tersebut,
dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
kesalahan 5%.
Pelaksanaan Penelitian
Pengolahan Lahan. Pengolahan lahan dilakukan dua minggu sebelum
tanam meliputi pembersihan lahan dari gulma, pembajakan tanah, dan

8
pencampuran pupuk kandang (5 ton ha-1), pupuk hijau Tithonia diversifolia (2 ton
ha-1), abu sekam (2 ton ha-1), dan dolomit (2 ton ha-1) ke dalam tanah yang
diaplikasikan secara merata pada masing-masing petak percobaan. Ukuran petak
percobaan adalah 3 m x 2 m. Lahan percobaan dikelompokkan menjadi 4
percobaan tunggal, masing-masing percobaan tersebut didasarkan pada perlakuan
dosis FMA yang berbeda.
Penanaman Kedelai. Penanaman kedelai dilakukan setelah pupuk hijau
terdekomposisi bersama input lainnya yaitu pupuk kandang, abu sekam, dan
dolomit. Jarak tanam yang digunakan adalah 25 cm x 20 cm. Benih kedelai
ditanam sebanyak empat benih tiap lubang selanjutnya dilakukan penjarangan
sehingga hanya dua tanaman tiap lubang yang dibiarkan tumbuh. Benih kedelai
yang ditanam sebelumnya diberikan perlakuan seed treatment dengan inokulum
Rhizobium spp.
Penanaman Sorghum. Penanaman sorghum pada petakan yang mendapat
perlakuan tanaman inang dilakukan di tengah petak secara alur mengikuti baris
tanaman kedelai. Waktu penanaman dilakukan bersamaan dengan benih kedelai.
Jarak tanam yang digunakan adalah 75 cm x 20 cm diantara barisan tanaman
kedelai sehingga barisan sorghum berjarak 37.5 cm dari barisan kedelai.
Penanaman sorghum sama dengan penanaman kedelai yakni benih sorghum
ditanam sebanyak empat benih per lubang selanjutnya dilakukan penjarangan
sehingga hanya dua tanaman tiap lubang yang dibiarkan tumbuh.
Penanaman Tanaman Pengendali OPT. Tanaman yang digunakan untuk
mengendalikan OPT adalah Tagetes erecta dan serai (Andropogon nardus).
Tanaman Tagetes erecta dan serai ditanam 2 minggu setelah penanaman kedelai
dan sorghum. Tanaman Tagetes erecta ditanam dengan jarak tanam 75 cm x 20
cm di tengah petak percobaan yang tidak ditanami sorghum (perlakuan
keberadaan inang). Tanaman serai ditanam di luar petakan pada setiap percobaan
tunggal. Serai dapat mengeluarkan aroma yang dapat mengendalikan serangan
hama.
Aplikasi FMA. percobaan dilakukan sesuai dengan rancangan yang telah
disusun. Aplikasi FMA ditabur pada setiap lubang tanam, baik lubang tanam
kedelai maupun sorghum. Aplikasi tersebut dilakukan bersamaan dengan
penanaman benih kedelai dan sorghum.
Pemeliharaan. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyulaman benih,
baik tanaman kedelai maupun sorghum yang tidak tumbuh atau tumbuh abnormal
pada saat umur 1 minggu setelah tanam (MST) untuk tanaman kedelai dan 1-4
MST untuk tanaman sorghum. Pemeliharaan lainnya adalah pengendalian gulma,
serta pengendalian hama dan penyakit. Pengendalian gulma dilakukan secara
manual dengan mencabut gulma. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan
dengan cara menyemprotkan pestisida nabati berupa larutan jengkol dan
serai.Kegiatan pembumbunan juga dilakukan dengan tujuan untuk mencegah
tanaman rebah.
Panen. Panen dilakukan pada saat polong telah memasuki fase R8 atau fase
polong matang penuh. Fase R8 dicirikan dengan polong matang mencapai 95%
dan berwarna kecoklatan atau kehitaman (Adie dan Krisnawati 2007). Pemanenan
dilakukan dengan mencabut tanaman. Pengamatan hasil panen dilakukan sesuai
dengan peubah pengamatan komponen hasil.

9
Pengamatan Kedelai
Pengamatan dilakukan terhadap peubah vegetatif dan generatif. Tanaman
yang dijadikan sebagai tanaman contoh adalah 10 tanaman per petak. Adapun
peubah yang diamati pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Peubah vegetatif dan generatif tanaman kedelai yang diamati
No

Peubah

Satuan

Keterangan

1

Analisis tanah awal

2
3
4
5
6
7

Tinggi tanaman
Jumlah daun trifoleat
Diameter batang
Umur berbunga kedelai
Jumlah bintil akar
Bobot basah daun, batang,
tajuk, akar, dan bintil akar

cm
helai
cm
MST
g

setiap minggu
setiap minggu
setiap minggu
3, 5, 7 MST
3, 5, 7 MST

8

Bobot kering daun, batang,
tajuk, akar, dan binitil akar

g

3, 5, 7 MST

9
10
11
12
13
14

Analisis N, P, K daun
Jumlah tanaman panen 6 m-2
Jumlah buku produktif
Jumlah polong isi
Jumlah polong hampa
Jumlah polong terserang
hama
Bobot biji kering per
tanaman
Bobot biji kering per petak
bersih
Bobot biji kering per petak
pinggir
Bobot kering 100 biji
Jumlah tanaman sorghum
Bobot berangkasan tanaman
sorghum
Intensitas serangan OPTa

%
-

7 MST
saat panen
saat panen
saat panen
saat panen
saat panen

4 sampel,
masing-masing
diambil dari 4
blok percobaan
tunggal
selama 3-8 MSTa
selama 3-8 MST
selama 5-8 MST
diambil 1
tanaman per
petakan
dikeringkan
dengan oven
pada suhu 800C
(2x24 jam)
-

g

setelah panen

-

g

setelah panen

-

g

setelah panen

-

g
-

setelah panen
saat panen
saat panen

-

%

3-12 MST

-

15
16
17
18
19
20
21
a

-

Waktu
pengamatan
1 minggu
sebelum tanam

MST: minggu setelah tanam, OPT: organisme pengganggu tanaman

Pengamatan Fungi Mikoriza Arbuskula
Pengambilan sampel. Pengamatan FMA dilakukan dengan menggunakan
sampel tanah dan akar. Sampel tanah diamati sebelum dan sesudah tanam,
sedangkan sampel akar diamati saat menjelang panen. Sampel tanah sebelum
tanam diambil sebelum dilakukan pengolahan atau dua minggu sebelum tanam.
Sampel ini diperoleh dari 4 blok percobaan berdasarkan dosis FMA yakni dengan
± 100 g dari setiap blok tersebut. Sampel tanah setelah tanam, akar kedelai, dan
akar sorghum diambil bersamaan, yaitu 3-5 hari sebelum panen (13 MST).

10
Sampel tanah setelah tanam diperoleh dari seluruh petak percobaan yang
dicampur (komposit) berdasarkan perlakuan, sehingga terdapat 8 sampel yang
masing-masing diambil sebanyak ± 100 g perlakuan-1. Tanah yang yang diambil
adalah 20 cm lapisan top soil dan akar yang diambil adalah akar sekunder dari
tanaman kedelai maupun sorghum. Metode pengambilan sampel akar juga
dilakukan sama dengan sampel tanah setelah tanam, yakni akar diambil dari
beberapa tanaman kedelai dan sorghum yang berada di seluruh petak percobaan
kemudian dilakukan pencampuran berdasarkan perlakuan dan tanamannya,
sehingga terdapat 8 sampel akar kedelai dan 4 sampel akar sorghum.
Pengamatan infeksi akar. Pengamatan infeksi akar dilakukan dengan
pewarnaan akar yang menggunakan modifikasi metode Phyllip dan Hyman (1970).
Metode pewarnaan tersebut yaitu 1) potongan akar sekunder kedelai dan sorghum
dibersihkan, yakni dicuci dengan air mengalir sehingga kotoran dan tanah yang
melekat pada akar hilang, 2) potongan akar yang telah dibersihkan direndam
dalam larutan KOH 10% hingga akar berwarna kuning bening, 3) akar kemudian
dibilas dengan air mengalir dan direndam dalam larutan HCl 2% selama ±24 jam,
4) akar dibilas kembali dengan air mengalir, kemudian direndam dalam larutan
staining trypan blue 0.05% hingga berwarna biru, 5) akar diangkat kemudian
direndam dengan larutan destaining selama ± 1 jam sehingga warna akar tidak
terlalu pekat untuk diamati.
Akar yang telah diberi pewarnaan dipotong dengan panjang ± 1 cm
sebanyak 10 potong untuk masing-masing sampel akar. Sepuluh potongan
tersebut diletakkan di atas preparat dan ditutup dengan cover glass. Preparat
tersebut digunakan untuk pengamatan infeksi akar dengan menggunakan
mikroskop. Infeksi akar diamati berdasarkan keberadaan vesikula, arbuskula, dan
hifa yang menginfeksi perakaran kedelai dan sorghum.
Adapun perhitungan infeksi akar dilakukan dengan menggunakan
persamaan Giovannety dan Mosse (1980) yaitu:





Ekstraksi dan identifikasi spora. Identifikasi dan jumlah spora dapat
diketahui dengan mengekstraksi spora sehingga terpisah dari tanah yang
mengikatnya. Ekstraksi spora yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
teknik tuang-saring dari Paciono (1992). Teknik yang dilakukan yaitu 1) sampel
tanah sebanyak ± 100 g dicampur dengan air dan diaduk terus menerus hingga
tanah larut dan hancur, 2) larutan tanah disaring secara bertingkat dengan dua
saringan yang dijadikan satu set atas dan bawah secara berurutan yakni saringan
dengan ukuran 710 µm dan 45 µm. 3) saringan terus menerus dialiri dengan air
keran, sehingga saringan paling atas bersih dan dapat dilepaskan. Saringan ke-2
menyisakan larutan tanah yang lembut, lalu saringan ke-2 juga dialiri air kembali
secara terus menerus hingga larutan yang tersisa di atas saringan bersih dari tanah,
4) cairan yang bening menandakan larutan tersebut telah terpisahkan dari tanah
dan hanya menyisakan spora serta kerikil lembut. Cairan bening tersebut
dituangkan ke dalam cawan petri kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya
untuk dilakukan pengamatan terhadap spora.

11
Perhitungan spora. Kepadatan spora dalam penelitian ini dapat diketahui
dengan melakukan perhitungan spora yaitu mengetahui banyaknya spora yang
terkandung dalam 100 g sampel tanah yang dianalisis. Kepadatan spora dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil analisis tanah awal berdasarkan kriteria penilaian sifat-sifat kimia
tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983), blok percobaan dosis FMA 1, 2,
dan 2.5 g lubang-1 menunjukkan reaksi tanah agak masam yaitu dengan nilai pH
secara berurutan sebesar 5.50, 5.60, 5.50, dan 5.50. Kadar C-organik untuk blok
percobaan dosis 0, 2, dan 2.5 g lubang-1 tergolong rendah yakni 1.51%, 1.91%,
dan 1.43%. Adapun blok percobaan dosis 1 g lubang-1 tergolong tinggi yakni
sebesar 3.03%. Unsur makro Ca pada keempat blok tergolong sedang hingga
tinggi, yakni 10.11, 7.42, 7.29, 11.09 me 100 g-1. Unsur makro Mg pada keempat
blok juga tergolong sedang hingga tinggi yaitu 1.58, 1.37, 2.03, dan 2.97 me 100
g-1. Unsur makro K pada keempat blok tergolong rendah hingga sedang yaitu 0.22,
0.18, 0.27, dan 0.44 me 100 g-1. Kadar unsur essensial makro P pada keempat
blok sangat rendah sebesar 6.20, 7.60, 6.70, dan 6.00 ppm, namun untuk unsur N
tergolong rendah hingga sedang yakni 0.15, 0.29, 0.18, dan 0.14%.
Hasil analisis tanah awal menunjukkan keempat blok bersifat agak masam.
Sifat agak masam dapat mengurangi optimasi penyerapan unsur P bagi tanaman
kedelai karena pengaruh unsur Al yang dapat memfiksasi unsur P dalam kondisi
tanah yang agak masam. Pengaruh negatif ini harus diatasi yakni dengan
dilakukan penambahan kapur. Kapur yang bersifat basa dapat menetralisir sifat
asam dalam tanah sehingga pengaruh negatif Al terhadap tanaman dapat
ditiadakan.
Kadar C-organik pada blok percobaan dosis 0, 2, dan 2.5 g FMA lubang-1
berbeda dengan blok dosis 1 g FMA lubang-1. Hal ini disebabkan oleh
dekomposisi serasah daun bambu dan tanaman pagar yang posisinya berdekatan
dengan lahan dosis 1 g lubang-1. Kondisi ini tidak berpengaruh secara signifikan
karena unsur makro esensial lain seperti keberadaan N, P, dan K memiliki status
yang sama pada seluruh blok percobaan. Upaya untuk meningkatkan kadar Corganik adalah dengan menambahkan bahan organik berupa pupuk kandang sapi
dan cacahan pupuk hijau Tithonia diversivolia. Menurut Handayani (2012), pupuk
hijau Tithonia diversivolia unggul pada unsur hara C (54.88%), N (3.06%), K
(5.75%), dan Cu (32.40%). Hal ini sekaligus dapat meningkatkan ketersediaan
unsur-unsur N, K, dan Cu.
Ketersediaan unsur P yang sangat rendah pada keempat blok dapat menjadi
faktor pembatas dalam proses perkembangan generatif. Unsur makro P memiliki
peran dalam pembentukan bunga, buah, dan biji (Hardjowigeno 2007). Perlakuan

12
FMA dapat mengatasi kekurangan tersebut karena dapat meningkatkan
kemampuan akar dalam menyerap unsur P secara maksimal. FMA dapat
memproduksi enzim ekstraseluler asam fosfatase yang mampu mengkatalisasi
pelepasan P dari kompleks organik di dalam tanah menjadi bentuk P anorganik
yang tersedia bagi tanaman, sehingga hara diserap dengan mudah oleh hifa
eksternal FMA dan ditransfer ke inang melalui akar yang terinfeksi (Jakobsen dan
Rosendhal 1990; Marshner dan Dell 1994).
Unsur makro K memiliki peran dalam memperkuat batang tanaman,
meningkatkan pembentukan warna hijau dan karbohidrat pada buah, serta
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Rosmarkam dan Yuwono
2002). Ketersediaan K yang sangat rendah dapat menimbulkan dampak negatif
seperti tanaman mudah rebah. Abu sekam padi adalah salah satu sumber K yang
dapat meningkatkan unsur K. Menurut Melati et al. (2008), abu sekam padi
merupakan sumber K alternatif yang baik bahkan dapat menurunkan intensitas
serangan hama dan infeksi penyakit. Rukmi (2009) menambahkan bahwa
ketersediaan unsur K yang cukup secara garis besar dapat memberikan efek
keseimbangan, baik pada nitrogen maupun pada fosfor.
Hasil analisis kejenuhan basa dan KTK tanah menunjukkan kondisi yang
tinggi dan sedang pada keempat blok. Menurut Hardjowigeno (2007), kejenuhan
basa yang tinggi harus diimbangi dengan KTK tinggi sehingga dapat
meningkatkan kesuburan tanah. Nilai KTK yang tinggi dapat menjerap dan
menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Upaya
untuk meningkatkan nilai KTK adalah dengan menambahkan pupuk organik. Hal
ini didukung oleh Stevenson (1982) yang menyatakan bahwa semakin tinggi
bahan organik tanah semakin tinggi pula KTK tanah.
Pertumbuhan vegetatif kedelai (1-7 MST) terjadi pada suhu 25.1 – 25.80C,
dan perkembangan generatif yang diawali dari terbentuknya bunga (5 MST)
hingga menjadi polong yang siap panen (13-14 MST) terjadi pada suhu 25.8 –
26.20C. Kondisi tersebut sesuai dengan kriteria pertumbuhan optimal kedelai
menurut Sumarno dan Manshuri (2007) bahwa suhu optimum yang dikehendaki
tanaman kedelai adalah 23-270C.
Curah hujan merupakan faktor lingkungan yang juga berpengaruh dalam
pertumbuhan dan perkembangan kedelai. Data curah hujan dari awal penanaman
hingga panen menunjukkan curah hujan hujan ideal yakni 358.8 mm bulan-1 pada
fase perkecambahan, 509.8 – 406.2 mm/bulan pada fase vegetatif dan 289.8 mm
bulan-1 pada fase generatif, sehingga rata-rata curah hujan keselurahan adalah
391.2 mm bulan-1. Menurut Ristek (2010) kondisi ini sesuai dengan curah hujan
yang diharapkan untuk pertumbuhan optimum yaitu 100 – 400 mm/bulan.
Tanaman kedelai dan sorghum yang dibudidayakan secara organik pada fase
vegetatif menunjukkan kondisi yang baik, namun pada awal pembentukan polong
kedelai sebagian pertanaman kedelai rebah karena angin kencang yang
merobohkan sebagian tanaman. Tingginya tanaman yang mencapai 100 cm dan
daun yang lebar turut berkontribusi membuat tanaman rebah. Rebah dapat teratasi
dengan mengikat tanaman yang roboh pada ajir tambahan sehingga tanaman
kembali tegak. Petakan yang tidak rebah dicegah dengan mengikat seluruh
tanaman menjadi satu dengan ikatan pada sisi luar petakan sehingga seluruh
tanaman menjadi kokoh dengan diperkuat ajir tambahan pada seluruh penjuru
petakan. Ikatan pertanaman pada hampir sebagian petakan saat memasuki fase

13
akhir penuaan polong tidak mampu menahan tegaknya tanaman tersebut sehingga
beberapa petak rebah kembali hingga panen.
Pertanaman sorghum tidak mengalami gangguan lingkungan yang berarti
sehingga tanaman tetap tegak hingga siap panen. Keberadaanya justru menjadi
inang alternatif hama yang menyerang kedelai. Hama yang terlihat menyerang
tanaman sorghum adalah belalang (Valanga sp.) dan ulat bulu (Dasychira inclusa).
Penyakit yang menyerang tanaman ini tidak ditemukan. Sorghum tidak
menghasilkan biji bernas pada akhir masa panen. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kurangnya sumber hara P dari tanah karena terserap lebih dulu untuk
pengisian polong kedelai. Kawanan burung di lokasi penelitian juga diduga
menjadi penyebab kehampaan malai tersebut.
Hama dan penyakit yang menyerang kedelai cukup rendah. Hama pada fase
perkecambahan adalah semut dan burung. Hama pada fase vegetatif antara lain
ulat bulu (Dasychira inclusa), ulat penggulung daun (Lamprosema indicate), ulat
grayak (Spodoptera litura), belalang (Valanga sp.), ayam, angsa, kambing, dan
kerbau. Hama pada fase generatif atau pada saat pengisian polong yaitu kepik
tungkai besar (Anaplocnemis phasina) dan kepik polong (Riptortus linearis).
Pengendalian hama dilakukan pada akhir fase vegetatif (6 MST), pada saat awal
pengisian polong (8 MST) dan saat penuaan polong (10 MST). Pengendalian
tersebut dilakukan dengan penyemprotan pestisida nabati berupa pencampuran
larutan jengkol dan serai. Keberadaan tanaman serai pada lingkungan sekitar
lahan pertanian serta keberadaan tanaman tagetes yang sengaja ditanam di
lingkungan petakan juga diduga turut menekan serangan hama. Penyakit yang
menyerang beberapa tanaman kedelai adalah soybean mosaic virus (SMV). Upaya
yang dilakukan untuk mencegah penularan virus tersebut adalah dengan
melakukan eradikasi.
Analisis Ragam Seluruh Data Pertumbuhan dan Produksi Kedelai dengan
Perlakuan Dosis FMA dan Keberadaan Tanaman Sorghum sebagai Inang
FMA
Variabel yang diamati selama penelitian dianalisis menggunakan analisis
ragam sehingga pengaruh dari perlakuan yang diberikan pada percobaan dapat
diketahui. Adapun rekapitulasi hasil analisis ragam disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2

Rekapitulasi hasil analisis ragam seluruh data pertumbuhan dan
produktivitas kedelai dengan perlakuan dosis FMA dan keberadaan
tanaman sorghum
Peubah

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun trifoleat

Umur

FMA

Sorghum

(MST)
3
4
5
6
7
8
3
4
5

(M)
**
**
**
**
tn
tn
tn
**
*

(S)
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

M*S
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

KK (%)
7.45
6.22
4.47
4.19
5.34
6.44
4.93
3.54
7.58

14
Tabel 2 Lanjutan
Peubah
Jumlah daun trifoleat

Jumlah cabang

Diameter batang
Jumlah bintil akar
BB daun (g tanaman-1)
BB batang (g tanaman-1)
BB tajuk (g tanaman-1)
BB akar (g tanaman-1)
BB bintil akar (g tanaman-1)
BK daun (g tanaman-1)
BK batang (g tanaman-1)
BK tajuk (g tanaman-1)
BK akar (g tanaman-1)
BK bintil akar (g tanaman-1)

Kadar N daun (%)
Kadar P daun (%)
Kadar K daun (%)
Jumlah tanaman panen 6 m-2
Jumlah buku produktif
Jumlah polong per tanaman
Jumlah polong isi per tanaman
Jumlah polong hampa per tanaman
Jumlah polong terserang hama
BK biji per tanaman (g tanaman-1)
BK biji petak bersih (g 6 m-2)

Umur

FMA

Sorghum

(MST)
6
7
8
5
6
7
8
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
7
7
7
14
14
14
14
14
14
14
14

(M)
*
**
**
**
*
**
**
**
tn
tn
**
tn
tn
*
*
tn
*
tn
tn
*
tn
*
tn
tn
tn
*
**
tn
*
**
tn
*
**
tn
*
tn
*
*
tn
tn
*
**
**
tn
tn
**
tn
tn
*
tn
*
*

(S)
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
tn
tn
tn

M*S
tn
tn
tn
tn
tn
tn
**
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
*
*
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn

KK (%)
9.84
8.77
5.61
26.41
15.82
8.44
6.05
7.54
26.65t)
24.04t)
29.05
19.34
14.60t)
24.08
18.04
31.64
22.18
18.85
34.98
22.94
30.03
30.81
25.90
4.54t)
15.93t)
16.85t)
18.46
31.53
23.49
14.00
30.09
26.55
15.63
30.58
22.39
26.96
24.52
22.86
1.55t)
9.03t)
10.64t)
9.94
5.75
19.03
9.94
8.92
27.74
25.84
25.21t)
28.74t)
18.87
15.70

15
Tabel 2 Lanjutan
Peubah
BK 100 butir biji (g)
Produktivitas kedelai (ton ha-1)

Umur

FMA

Sorghum

(MST)
14
14

(M)
tn
tn

(S)
tn
*

M*S
tn
tn

KK (%)
8.12
25.84

(tn) Tidak berbeda nyata, (*) berbeda nyata pada taraf α = 5%, (**) berbeda sangat nyata pada
taraf α = 1%, BB = bobot basah, BK = bobot kering, KK: koefisien keragaman. (t) Hasil
transformasi √(x+0.5).

Pertumbuhan Tanaman Kedelai dengan Perlakuan Dosis FMA dan
Keberadaan Tanaman Sorghum
Dosis FMA yang diberikan pada pertanaman kedelai memberikan pengaruh
pada peubah pertumbuhan tanaman kedelai. Pengaruh yang diberikan FMA pada
dosis tertentu dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Pertumbuhan kedelai dengan perlakuan dosis FMA
Peubah
Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun trifoleat

Jumlah cabang

Diameter batang (mm)
Jumlah bintil akar
BB daun (g tanaman-1)
BB batang (g tanaman-1)
BB tajuk (g tanaman-1)
BB akar (g tanaman-1)
BB bintil akar (g tanaman-1)

Dosis FMA (g lubang-1)

Umur

Uji

(MST)

F

0

1

2

2.5

3
4
5
6
7
8
3
4
5
6
7
8
5
6
7
8
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7

**
**
**
**
tn
tn
tn
**
*
*
**
**
**
*
**
tn
**
tn
tn
**
tn
tn
*
*
tn
*
tn
tn
*
tn
*
tn
tn
tn
*

22.22b
29.48b
37.86b
48.80b
61.14a
64.48a
3.4a
5.3c
8.4b
11.7b
21.3a
21.5b
1.2a
2.4ab
3.2b
3.6a
5.02bc
10.7a
51.6a
31.1c
1.42a
9.18a
21.97b
1.23b
5.66a
11.37b
2.61a
14.91a
33.38b
0.58a
1.65a
2.59a
0.04a
0.66a
0.51b

26.73a
35.35a
43.14a
53.44a
65.48a
67.01a
3.4a
5.6b
8.6ab
12.4ab
21.0a
23.0a
1.2a
2.5ab
3.3b
3.7a
5.13b
8.8a
59.0a
56.6b
1.26a
6.85a
30.37a
1.26b
4.41a
16.69a
2.52a
11.26a
47.21a
0.46a
1.10b
3.43a
0.05a
0.61a
1.03ab

25.80a
34.37a
42.83a
53.40a
63.73a
65.33a
3.3a
5.6b
7.9b
11.3b
18.3b
21.2b
0.8b
2.1b
3.0b
3.5a
4.64c
12.3a
73.62a
80.87a
1.22a
5.51a
30.05a
1.26b
3.63a
15.43a
2.48a
9.14a
45.48a
0.59a
0.94b
2.88a
0.05a
0.55a
1.55a

24.84a
33.81a
43.27a
53.61a
65.17a
66.50a
3.5a
5.8a
9.2a
13.2a
22.7a
23.6a
1.5a
2.8a
3.7a
4.2a
5.79a
12.7a
55.00a
60.75b
1.51a
8.43a
33.95a
1.57a
5.24a
17.94a
3.10a
13.67a
51.88a
0.74a
1.20b
3.14a
0.09a
0.58a
0.98ab

Ratarata
24.89
33.25
41.77
52.31
63.88
65.83
3.4
5.6
8.5
12.1
20.8
22.3
1.2
2.4
3.3
3.7
5.14
11.1
59.81
57.34
1.35
7.49
29.08
1.33
4.73
15.36
2.67
12.24
44.49
0.59
1.22
3.01
0.05
0.60
1.01

16
Tabel 3 Lanjutan
Peubah
BK daun (g tanaman-1)
BK batang (g tanaman-1)
BK tajuk (g tanaman-1)
BK akar (g tanaman-1)
BK bintil akar (g tanaman-1)

Kadar N daun (%)
Kadar P daun (%)
Kadar K daun (%)

Umur

Uji

(MST)
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
3
5
7
7
7
7

F
**
tn
*
**
tn
*
**
tn
*
tn
*
*
tn
tn
*
**
**
tn

Dosis FMA (g lubang-1)
0
0.32b
3.02a
5.18b
0.19b
1.49a
2.39b
0.51b
4.52a
7.58b
0.10a
0.76a
0.97b
0.006a
0.275a
0.188b
3.37c
0.36c
1.55a

1
0.27b
2.52a
6.92ab
0.18b
1.30a
3.53a
0.46b
3.82a
10.47a
0.08a
0.57b
1.27ab
0.005a
0.