Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio.

PENGARUH FREKUENSI PENDINGINAN YANG
BERBEDA TERHADAP DAYA TETAS TELUR
ITIK PERSILANGAN CIHATEUP ALABIO

FITRIA DARAJAH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Frekuensi
Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Cihateup Alabio adalah
benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari Penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Fitria Darajah
NIM D14090009

ABSTRAK
FITRIA DARAJAH. Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap
Daya Tetas Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio. Dibimbing oleh RUKMIASIH
dan RUDI AFNAN
Pemanfaatan ternak itik sebagai penghasil daging yang semakin meningkat
membutuhkan adanya peningkatan populasi ternak itik untuk memenuhi
permintaan. Penelitian ini bertujuan mendapatkan frekuensi pendinginan yang
paling tepat untuk meningkatkan daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio.
Perlakuan pendinginan dilakukan dengan frekuensi 1 kali, 2 kali dan 3 kali.
Pendinginan 1 kali dilakukan pada waktu siang hari (pukul 12.00-13.00 WIB).
Pendinginan 2 kali dilakukan pada waktu pagi hari (pukul 06.00-07.00 WIB) dan
sore hari (pukul 17.00-18.00 WIB), pendinginan 3 kali dilakukan pada waktu pagi

hari, siang hari dan sore hari. Alat dan bahan yang digunakan adalah termometer
digital, telur sejumlah 491 butir yang berasal dari Balitnak Ciawi, KMnO 4,
Na2CO3, formalin 40% dan klorin. Daya tetas dari data penelitian yang diperoleh
menunjukkan frekuensi pendinginan 1 kali, 2 kali dan 3 kali tidak berpengaruh
nyata terhadap daya tetas telur itik persilangan cihateup alabio. Frekuensi
pendinginan telur 2 kali paling baik dilakukan karena rata-rata persentase daya
tetas diperoleh paling tinggi sebesar 37.94%.
Kata kunci: daya tetas, frekuensi pendinginan, persilangan ciheteup alabio, telur
itik

ABSTRAK
FITRIA DARAJAH. Effect Different Cooling Frequencies on Duck Egg
Hatchability of Cihateup Alabio Cross Breeds. Supervised by RUKMIASIH and
RUDI AFNAN
Increasing of duck rearing as a meat producer requires an increase in duck
population to fulfill the demand. The objective of this research was to analyze the
proper chilling frequency to increase duck egg hatchability from cihateup alabio
cross breeds. Chilling frequencies used in this study were once, twice, and three
times. One time chilling was done in the afternoon (12.00-13.00). Two times
chilling was done in the morning (06.00-07.00) and in the evening (17.00-18.00).

Three times chilling was done in the morning (06.00-07.00), in the afternoon
(12.00-13.00), and in the evening (17.00-18.00). Materials used in the research
were digital thermometer, 491 eggs from Balitnak Ciawi, KMnO4, Na2CO3, 40%
formalin, and chlorin. The result showed a high fertility on duck egg from
Cihateup Alabio cross breeds (>75% on average) with 4 : 16 (male : female) sex
ratio. All of the chilling frequencies had no significant effect on egg hatchability
from Cihateup Alabio cross breeds.
Key words: cihateup alabio cross breeds, cooling frequencies, duck egg,
hatchability

PENGARUH FREKUENSI PENDINGINAN YANG
BERBEDA TERHADAP DAYA TETAS TELUR
ITIK PERSILANGAN CIHATEUP ALABIO

FITRIA DARAJAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pengaruh Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas
Telur Itik Persilangan Cihateup Alabio.
Nama
: Fitria Darajah
NIM
: D14090009

Disetujui oleh

Dr Ir Rukmiasih, MS
Pembimbing I


Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga Penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh
Frekuensi Pendinginan yang Berbeda terhadap Daya Tetas Telur Itik Persilangan
Cihateup Alabio yang dilakukan sejak bulan Juni 2012 sampai bulan Agustus
2012. Shalawat dan salam Penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad
SAW dan para sahabatnya yang menjadi panutan umat manusia.
Terimakasih Penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rukmiasih, MS dan Bapak
Dr Rudi Afnan, SPt MScAgr sebagai pembimbing, Bapak Dr Ir Ibnu Katsir
Amrullah, MS dan Bapak Ahmad Yani, S TP MSi sebagai dosen penguji dalam

ujian sidang saya, Ibu Prof Em Peni S Hardjosworo, MSc yang telah banyak
memberikan masukan dalam pembuatan skripsi, Bapak Eka Koswara, SPt yang
telah banyak memberikan pembelajaran terkait teknis lapang, para staf Balai
Penelitian Ternak Ciawi yaitu Bapak Hamdan dan Bapak Slamet yang telah
banyak membantu khususnya saat collecting telur, Diniati, Darifta, M. Khalid,
Cira Marlinah, Aditya Ananda Putra dan Syaifudin yang telah banyak membantu
dalam pelaksanaan penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada bapak, ibu, kakak dan adik-adik serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013

Fitria Darajah
NRP D14090009

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Alat
Bahan
Prosedur
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Telur
Fertilitas
Daya Tetas
Kematian embrio
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

iv
iv
1

1
1
1
2
2
2
3
3
5
5
6
7
9
12
12
12
12
14

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6

Karakteristik telur itik persilangan cihateup alabio
Produksi telur itik persilangan cihateup alabio
Pengaruh frekuensi pendinginan terhadap daya tetas
Suhu dan kelembaban dalam mesin tetas
Suhu kerabang telur selama penetasan
Karakteristik telur yang tidak menetas

5
6
7
8
9
11


DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Mesin tetas manual
Sumber panas dan termostat mesin tetas manual
Kematian embrio pada selang umur telur yang berbeda
Karakteristik anak itik yang tidak menetas pada selang umur yang
berbeda

2
3
10
11

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Itik termasuk ke dalam spesies unggas yang sudah lama dikenal masyarakat
dan telah banyak menjadi usaha peternakan. Ternak itik dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu sumber protein hewani baik dari konsumsi daging ataupun telur.
Namun, beberapa waktu terakhir konsumsi daging itik semakin meningkat,
sehingga perlu dilakukan peningkatan populasi Day Old Duck (DOD). Saat ini
tingkat produksi telur itik lokal masih sangat rendah dan bervariasi jika
dibandingkan dengan produksi telur ayam yang memiliki daya tetas mencapai
80%, sehingga perlu dilakukan perbaikan genetik bibit itik lokal untuk
meningkatkan produksi telur. Secara alami telur itik ditetaskan di tempat yang
kelembabannya lebih tinggi dibanding telur ayam disebabkan itik merupakan
unggas air. Pori-pori kerabang telur itik lebih besar dibandingkan pori-pori telur
ayam sehingga akan mempengaruhi evaporasi telur saat ditetaskan. Proses
penetasan secara alami terjadi karena adanya transfer panas dari induk yang
mengerami dan antara satu telur dan lainnya, hal tersebut diterapkan pada mesin
tetas. Penetasan telur ayam dan telur itik dalam mesin tetas memiliki perbedaan.
Telur ayam membutuhkan suhu yang konstan setiap hari sesuai dengan suhu ideal
penetasan telur ayam, sedangkan pengelolaan penetasan pada telur itik lebih baik
dilakukan pendinginan secara periodik untuk perkembangan embrio (Kortlang
1985). Selain itu, lama pengeraman telur itik mencapai 28 hari sedangkan pada
ayam hanya mencapai 21 hari sehingga kemungkinan terjadi faktor gagal tetas
lebih besar.
Itik alabio termasuk dalam jenis itik lokal yang berpotensi sebagai penghasil
telur dan daging dan itik cihateup berpotensi sebagai penghasil telur. Kedua galur
tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga diharapkan hasil
persilangannya memiliki sifat unggul tetuanya untuk menjadi bibit itik pedaging.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi pendinginan yang
tepat pada penetasan telur itik galur cihateup-alabio (CA). Tujuan lain adalah
menduga faktor- faktor yang menyebabkan kematian embrio.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah perlakuan frekuensi pendinginan
untuk meningkatkan daya tetas telur itik. Pendinginan 1 kali dilakukan pada
waktu siang hari (pukul 12.00-13.00 WIB). Pendinginan 2 kali dilakukan pada
waktu pagi hari (pukul 06.00-07.00 WIB) dan sore hari (pukul 17.00-18.00 WIB),
pendinginan 3 kali dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari dan sore hari.
Peubah yang diukur meliputi bobot telur dan indeks telur serta melihat persentase
telur yang menetas dan tidak menetas.

2

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai Agustus 2012.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penetasan Bagian Ilmu Produksi
Ternak Unggas Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Alat
Mesin Tetas
Mesin tetas yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis mesin tetas
manual berjumlah tiga unit dengan kapasitas tiga tray. Masing-masing tray
berkapasitas 60-70 butir telur. Mesin tetas ini terbuat dari bahan kayu yang cukup
tebal untuk menahan panas dari luar. Mesin tetas ini menggunakan sumber panas
yang berasal dari lampu pijar yang terletak pada langit-langit mesin tetas.
Pengaturan suhu menggunakan termostat yang terletak di pinggir mesin dan
ventilasi mesin terletak pada langit-langit mesin.

Gambar 1 Mesin tetas manual
Termostat pada mesin tetas manual berfungsi mengatur suhu dalam mesin
tetas. Pemutaran termostat ke arah kanan akan meningkatkan suhu, sedangkan
pemutaran ke arah kiri akan menurunkan suhu.

3

(a) Lampu pijar sebagai sumber panas

(b) Termostat dalam mesin tetas

Gambar 2 Sumber panas dan termostat mesin tetas manual
Peralatan lain
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat spray untuk
menyemprot, termometer elektrik yang dapat mengukur suhu dan kelembaban, 5
nampan air untuk masing- masing mesin tetas. Selain itu juga digunakan jangka
sorong, timbangan digital dan gelas ukur serta wadah dan tempat untuk fumigasi
telur. Alat spray yang telah berisi air disinfektan untuk penyemprotan
dimasukkan ke dalam mesin tetas agar suhunya tetap hangat.

Bahan
Telur Tetas
Telur yang digunakan pada penelitian ini adalah 491 butir telur itik
persilangan cihateup alabio (CA) yang berasal dari Balai Penelitian Ternak
(Balitnak) Ciawi dengan umur 1 sampai 5 hari. Telur tersebut diperoleh dari
persilangan itik jantan cihateup berumur 1 tahun yang berasal dari peternak asal
Tasikmalaya Jawa Barat dengan itik betina alabio berumur 1.5 tahun yang berasal
dari Kalimantan Selatan. Pemeliharaan dilakukan pada kandang dengan lantai
litter berukuran 1.5 x 4.5 m berjumlah 4 unit. Setiap kandang diisi 19 ekor itik
yang terdiri atas 4 ekor itik cihateup jantan dan 15 ekor itik alabio betina. Telur
tetas diperoleh dengan cara perkawinan alami. Pakan yang diberikan berbentuk
crumble dengan kandungan protein 16%-17%, kalsium 3.5%-4% dan energi
metabolis 2 600 – 2 700 kkal/kg. Bahan lain yang digunakan yaitu KMnO3,
formalin, Na2CO3, klorin dan disinfektan rodalon.

Prosedur
Persiapan Telur
Telur yang digunakan pada penelitian ini diambil setiap minggu dari
Balitnak Ciawi. Tahap awal dari persiapan telur dilakukan dengan pencucian
telur menggunakan disinfektan rodalon (5 ml untuk setiap 5 L air bersih)
kemudian telur direndam menggunakan campuran 67.5 gram Na2CO3 dan klorin
150 ml yang dicampurkan dalam air hangat 10 liter pada suhu 40 oC selama 7

4
menit untuk 150 butir. Telur kemudian ditiriskan dan diangin-anginkan sampai
kering. Tahap berikutnya telur difumigasi menggunakan 20 g KMnO4 dan 40 ml
formalin 40% untuk setiap 2.83 m3 ruangan. Telur dibagi ke dalam 3 trays sesuai
dengan frekuensi perlakuan masing-masing dan diletakkan dalam 1 mesin tetas.
Pemutaran telur dilakukan 3 kali dalam sehari. Air yang digunakan untuk
pendinginan telur terdiri atas air aquades hangat dengan suhu yang sama dengan
mesin tetas periode setter (37.4 oC) dengan komposisi 0.2 ml disinfektan rodalon
untuk 1 L air.
Persiapan Mesin Tetas
Mesin tetas beserta dengan trays dan semua peralatan yang digunakan
dibersihkan menggunakan air yang telah dicampur dengan disinfektan rodalon.
Selanjutnya difumigasi menggunakan 40 g KMnO4 dan 80 ml formalin 40% untuk
2.83 m3 ruang mesin tetas.
Fumigasi dilakukan bersama dengan tray yang digunakan dan semua
peralatan yang masuk ke dalam mesin tetas seperti nampan air dan alat spray serta
alat ukur suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban disesuaikan untuk
penetasan yaitu 37.4 ºC dan kelembaban 60%.
Pendinginan Telur
Perlakuan pendinginan telur dengan frekuensi 1 kali, 2 kali dan 3 kali
ditempatkan pada 1 mesin tetas. Pendinginan telur dilakukan setiap hari sesuai
taraf perlakuan masing-masing dimulai dari hari ke-3 setelah telur dimasukkan ke
dalam mesin tetas. Perlakuan pendinginan dengan 1 kali pendinginan dilakukan
di siang hari pada kisaran waktu 12.00-13.00. Perlakuan 2 kali pendinginan
dilakukan pada waktu pagi (06.00-07.00) dan sore hari (17.00-18.00). Perlakuan
dengan 3 kali pendinginan dilakukan pada waktu pagi, siang dan sore hari pada
kisaran waktu yang sama.
Telur dikeluarkan dari dalam mesin tetas untuk dilakukan pendinginan
sesuai dengan perlakuan. Pintu mesin tetas segera ditutup kembali setelah telur
dikeluarkan. Sebelum didinginkan suhu kerabang telur diukur menggunakan
termometer digital kemudian telur diputar. Pendinginan dilakukan selama 15
menit dengan cara telur disemprot menggunakan air hangat yang telah
dicampurkan air disinfektan. Jarak penyemprotan tidak terlalu jauh atau dekat
dengan telur.
Pengukuran dan Penimbangan Telur
Pengukuran lebar dan panjang telur dilakukan sebelum telur dimasukkan ke
dalam mesin tetas, sedangkan pengukuran diameter kantung udara dilakukan pada
awal dan hari ke-25. Pengukuran menggunakan alat jangka sorong dengan
ketelitian 0.1 mm.
Penimbangan telur dilakukan setiap minggu menggunakan timbangan
digital dengan ketelitian 0.01 gram. Setiap telur yang mati atau busuk selama
penelitian akan dikeluarkan dari trays Telur yang mati atau busuk terlihat lebih
gelap dan menimbulkan bau. Saat dilakukan peneropongan pembuluh darah tidak
menempel di kerabang.

5
Analisis Data
Data yang diperoleh dilakukan uji asumsi terlebih dahulu yaitu uji
keaditifan, uji kenormalan, uji kehomogenan dan uji kebebasan galat. Apabila
asumsi terpenuhi dilakukan analisis ragam (ANOVA), jika berbeda nyata
dilakukan uji Duncan.
Rancangan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan model :

Keterangan
Yi
= Nilai pengamatan frekuensi pendinginan telur itik pada taraf pendinginan ke-i (1, 2, 3
kali pendinginan) dan periode penetasan ke-j (periode 1, periode 2, periode 3)
µ
= Rataan umum daya tetas telur itik
ai
= Pengaruh taraf pendinginan ke- i (1, 2, 3 kali pendinginan)
Pi
= Pangaruh periode penetasan ke-j (periode 1, periode 2, periode 3)
€ij
= Pengaruh galat percobaan pada frekuensi pendinginan ke-i periode penetasan ke-j.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Telur
Karakteristik telur tetas antara lain meliputi bobot telur dan indeks telur.
Data hasil penelitian bobot telur dan indeks telur itik persilangan cihateup alabio
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik telur itik persilangan cihateup alabio
Periode penetasan
Bobot telur (g)
Indeks telur (%)
1
69.91± 3.96
79.72± 2.65
2
68.87± 4.40
79.45± 3.03
3
68.54± 4.61
78.74± 3.20

Bobot telur
Setiap spesies unggas memiliki bobot telur yang khas. Menurut Gunawan
(2001) bobot telur dipengaruhi oleh lingkungan, genetik, makanan, komposisi
telur, periode bertelur, umur unggas dan bobot badan induk. Data pada Tabel 1
menunjukkan bobot telur itik persilangan cihateup alabio termasuk dalam kriteria
sebagai telur yang baik untuk ditetaskan (65-75 gram) dengan bentuk yang normal
(Setioko 1998). Berdasarkan analisis statistik, bobot telur itik persilangan CA
antar periode penetasan tidak berbeda atau seragam. Telur tetas yang seragam
akan meminimalkan perbedaan laju metabolisme dan evaporasi telur selama
berada dalam mesin tetas
Bobot telur itik CA lebih tinggi jika dibandingkan dengan bobot telur itik
alabio yang dilakukan pada penelitian Prasetyo et al. (2000) yaitu sebesar 56.39
gram. Hal ini disebabkan itik alabio yang digunakan pada penelitian tersebut
berumur 7 bulan, sedangkan pada penelitian ini itik alabio berumur 1.5 tahun.

6
Semakin bertambahnya umur itik maka bobot telur yang dihasilkan semakin besar
(Suprijatna et al. 2008).
Indeks telur
Indeks telur merupakan perbandingan antara lebar dan panjang telur yang
dinyatakan dalam persen. Menurut Nurcahyo dan Widyastuti (1998), bentuk telur
dipengaruhi oleh umur induk. Induk yang berumur muda menghasilkan telur
yang berbentuk lonjong dan induk yang berumur tua menghasilkan telur yang
berbentuk bulat. Selain itu, bentuk telur juga dipengaruhi oleh lebar diameter
isthmus. Semakin lebar diameter isthmus maka telur yang dihasilkan akan
semakin bulat.
Data pada Tabel 1 menunjukkan kisaran indeks telur cihateup alabio adalah
78.74%-79.72%. Nilai tersebut berada dalam kisaran indeks telur itik mojosari
pada penelitian Rusandih (2001) yaitu 71.55%-86.55%. Daya tetas pada
penelitian tersebut mencapai 26.70%, lebih rendah dibandingkan daya tetas pada
penelitian ini. Hal ini menunjukkan semakin seragam indeks telur maka semakin
meningkatkan daya tetas.

Fertilitas
Fertilitas diperoleh dari jumlah telur yang fertil dibagi dengan jumlah telur
yang dieramkan dikali 100%. Fertilitas dan produksi telur itik CA pada kelompok
umur yang berbeda disajikan pada Tabel 2.

Umur
produksi
(minggu)
1
2
3

Tabel 2 Produksi telur itik persilangan cihateup alabio
Jumlah
Jumlah
Produksi
Duck-day
betina
jantan
telur (butir)
(%)
(ekor)
(ekor)
60
16
190
45.24
60
16
154
36.67
60
16
147
35.00

Fertilitas
(%)
79.97
84.06
78.26

Produksi telur dalam penelitian ini merupakan persentase telur yang
diperoleh dalam 1 minggu. Produksi telur itik penelitian tertinggi diperoleh pada
saat mulai dikoleksi sebagai telur tetas yaitu pada kelompok penetasan pertama
sebanyak 190 butir. Produksi telur terus menurun setiap periode koleksi telur
tetas yang dilakukan setiap minggu. Penyebab semakin rendahnya produksi telur
diduga karena umur itik yang semakin tua dan sudah melewati puncak produksi.
Menurut Setioko et al. (2005), puncak produksi itik alabio yang diseleksi yaitu
pada bulan ke-8 mencapai hingga 80.69%.
Sistem pemeliharaan yang dilakukan adalah sistem pemeliharaan intensif
dengan kandungan nutrisi pakan yang sudah mencukupi kebutuhan ternak itik
yaitu kandungan protein 16%-17%, kalsium 3.5%-4% dan energi metabolis 2 600
– 2 700 kkal/kg. Menurut Sinurat (2000) kebutuhan protein itik petelur untuk
layer (umur >20 minggu) antara 17%-19%, EM 2 700 kkal/kg dan kalsium 2.9%3.25%. Hal ini menunjukkan kebutuhan protein yang diberikan berada di bawah

7
batas minimum standar kebutuhan itik petelur sehingga kurang mencukupi
kebutuhan ternak itik.
Data pada Tabel 2 memperlihatkan fertilitas yang diperoleh cukup tinggi (di
atas 75%). Hal ini menunjukkan perbandingan jantan : betina induk (4:15) cukup
untuk pemeliharaan itik secara intensif. Faktor-faktor yang mempengaruhi
fertilitas adalah jumlah induk yang dikawini oleh satu pejantan, umur induk,
panjang waktu penyimpanan antara saat bertelur sampai telur tersebut ditetaskan
dan kemampuan pengelolaan telur yang dihasilkan (Ensminger 1992). Butcher
dan Miles (2011) menambahkan upaya untuk meningkatkan nilai fertilitas dan
daya tetas telur dapat dilakukan melalui kegiatan sanitasi mesin tetas, fumigasi
maupun penyemprotan cairan disinfektan untuk membunuh kumankuman/mikroorganisme yang terdapat pada peralatan penetasan maupun yang
menempel pada kulit telur. Fertilitas telur yang baik mencapai lebih dari 70%.
Namun, fertilitas telur tersebut kurang maksimal jika dibandingkan dengan
penelitian Matitaputy (2012) yang rata-rata mencapai 95%. Hal ini disebabkan
oleh daya adaptasi antar ternak yang berbeda galur dan manajemen pakan.
Nilai fertilitas tertinggi yaitu pada pada periode penetasan ke-2. Fertilitas
periode penetasan ke-1 lebih rendah karena daya adaptasi antar ternak yang
masih belum cukup sehingga terdapat telur infertil lebih banyak. Periode
penetasan ke-3 fertilitasnya lebih rendah daripada periode penetasan ke-2 karena
teknis pemberian pakan dengan kuantitas yang lebih rendah pada periode
penetasan tersebut.
Nutrisi pakan baik dari segi kualitas dan kuantitas
mempengaruhi fertilitas telur yang dihasilkan ternak itik sesuai dengan pernyataan
Brun (2012) yang menyatakan nutrisi yang diperoleh ternak baik dari segi kualitas
dan kuantitas akan sangat mempengaruhi fertilitas telur karena mempengaruhi
ejakulasi dengan kualitas buruk, ovulasi tidak normal dan regresi testis.
Telur-telur fertil dan infertil dapat dipisahkan dengan cara peneropongan di
awal hari ke-3 (48 jam setelah inkubasi). Pemikiran yang sama diungkapkan oleh
North dan Bell (1990), untuk mengetahui telur fertil atau infertil dapat dilakukan
melalui peneropongan pada hari ke-3 sampai 7 penetasan dengan memperhatikan
keberadaan pembuluh darah dalam telur.

Daya Tetas
Daya tetas adalah persentase telur yang menetas dari total telur yang fertil.
Menurut Nuryati et al. (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah
kondisi induk, kondisi telur tetas, kondisi mesin tetas dan pengelolaan penetasan.
Tabel 3 menunjukkan daya tetas telur itik CA yang mendapat perlakuan frekuensi
pendinginan.
Tabel 3 Pengaruh frekuensi pendinginan terhadap daya tetas
Perlakuan pendinginan (%)
Periode penetasan
1 kali
2 kali
3 kali
1
41.50
42.22
42.59
2
39.13
41.86
37.2
3
22.50
29.73
24.32
Rataan ± sd
34.38 ± 10.35
37.94 ± 7.10
34.70 ± 9.39

8
Penyimpanan telur sebelum ditetaskan tidak boleh lebih dari 7 hari. Suhu
penyimpanan yang ideal berkisar antara 10-20 °C, namun bila tidak memiliki
lemari pendingin, telur dapat disimpan di suhu kamar yang sejuk dengan cukup
ventilasi (Setioko 1998).
Studi yang dilakukan oleh Kortlang (1985)
menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu tinggi (30 °C) cocok untuk jangka
pendek 1-3 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu rendah (15 °C) dapat
digunakan pada penyimpanan 5-7 hari. Setioko (1998) menyatakan pendinginan
dengan cara penyemprotan telur pada penetasan telur itik sangat penting.
Penyemprotan air dilakukan untuk mengganti air yang hilang pada saat dilakukan
pendinginan telur. Kelembaban berfungsi untuk mengurangi kehilangan cairan
dari dalam telur selama proses penetasan, membantu pelunakan kulit telur pada
saat akan menetas sehingga anak unggas mudah memecahkan kulit telur.
Data menunjukkan bahwa pendinginan 2 kali sehari menghasilkan daya
tetas yang paling tinggi dengan rataan sebesar 37.94%. Hal ini menunjukkan
bahwa frekuensi pendinginan sebanyak 2 kali pada periode pengeraman lebih baik
jika dibandingkan dengan pendinginan 1 kali dan 3 kali. Hal ini disebabkan
pendinginan 2 kali yang dilakukan pada waktu pagi hari digunakan untuk
mengatasi peningkatan suhu telur akibat metabolisme pada saat malam hari dan
mencegah peningkatan suhu pada siang hari. Pendinginan sore hari digunakan
untuk mengatasi peningkatan suhu telur akibat metabolisme pada saat siang hari
dan mencegah peningkatan suhu pada malam hari. Namun, daya tetasnya masih
tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Matitaputty (2012)
yang menunjukkan daya tetas sebesar 61%.
Penyebab masih rendahnya daya tetas yang dihasilkan diduga karena suhu
dan kelembaban tidak memenuhi syarat ideal. Suhu di setter pada penelitian ini
35.52-37.78 oC dan hatcher 35.53-37.96 oC dengan kelembaban setter 53%-60%
dan hatcher 53%-61% (Tabel 4). Sementara menurut Kortlang (1985), suhu ideal
yang disarankan untuk periode setter pada itik adalah 37.3 oC dan selama periode
hatcher 36.9 oC. Bila suhu terlalu rendah itik yang dihasilkan akan berukuran
besar dan bulunya lembut serta penetasan menjadi lambat (Kortlang 1985).
Berikut data suhu dan kelembaban dalam mesin tetas selama periode setter dan
hatcher dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Suhu dan kelembaban dalam mesin tetas
Periode
penetasan
1
2
3

Suhu ( oC)
Setter
Hatcher
35.52±0.16
35.53±0.15
36.18±0.13
36.28± 0.17
37.80±0.29
37.96±0.30

Kelembaban (%)
Setter
Hatcher
59±2.53
59±2.68
60±2.01
61±2.08
53±1.3
53±1.53

Data yang ditunjukkan pada Tabel 4 memperlihatkan suhu setter (37.4 oC)
dan hatcher (60%) pada periode penetasan 1 dan 2 tidak sesuai dengan kebutuhan,
sedangkan selama periode hatcher suhu dan kelembaban yang dibutuhkan adalah
36.8 oC dan 80%. Hal ini dipengaruhi frekuensi buka tutup pintu mesin tetas yang
cenderung sering dilakukan karena pemutaran telur pada mesin dilakukan secara
manual dan pendinginan telur dilakukan di luar mesin tetas sehingga terjadi
penurunan suhu mesin tetas karena ada transfer panas mesin tetas ke lingkungan

9
yang memiliki suhu lebih rendah. Suhu mesin tetas menjadi lebih rendah dan
memiliki waktu yang cukup lama untuk mencapai suhu dan kelembaban optimal
karena menggunakan lampu pijar sebagai sumber panas. Suhu pada periode
penetasan ke-3 memiliki nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan suhu optimal
yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan termostat pada mesin tetas yang digunakan
untuk periode ini tidak memiliki sensitivitas yang baik terhadap tinggi rendahnya
suhu. Menurut Kortlang (1985) secara umum suhu terlalu tinggi memiliki efek
buruk pada daya tetas daripada suhu yang terlalu rendah.
Faktor lain yang mempengaruhi daya tetas adalah suhu embrio. Pengukuran
suhu embrio secara langsung akan merusak perkembangan embrio. Menurut
Lourens (2007) pengukuran embrio paling baik dilakukan secara tidak langsung
yaitu melalui kerabang telur. Berikut data temperatur kerabang telur ditampilkan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Suhu kerabang telur selama penetasan
Perlakuan pendinginan (oC)
Periode penetasan
1 kali
2 kali
3 kali
1
36.07
34.85
35.39
2
36.91
36.54
36.83
3
37.72
37.88
37.91

Tabel 5 menunjukkan suhu kerabang telur bervariasi pada perlakuan
pendinginan pada periode 1. Suhu kerabang telur yang bervariasi diakibatkan
panas tidak tersebar rata pada mesin tetas. Mesin tetas yang digunakan tidak
memiliki sistem penyebaran udara sehingga hanya mengandalkan ventilasi untuk
sirkulasi. Selain itu, perbedaan frekuensi pendinginan yang terletak pada 1 mesin
tetas mengakibatkan telur tidak memiliki suhu yang sama yang berdampak pada
perbedaan laju metabolisme.
Suhu kerabang telur yang bervariasi akan
menurunkan daya tetas dan mengakibatkan itik yang menetas memiliki
kemampuan yang lemah untuk bertahan pada suhu yang lebih rendah dari suhu
pada periode hatcher (Lourens 2005). Data suhu kerabang telur pada periode 2
menunjukkan suhu embrio tidak mencapai suhu yang diharapkan yaitu 37.4 oC
sehingga mengakibatkan telur terlambat menetas dan menurunkan daya tetas
(Kortlang 1985). Suhu kerabang telur pada periode penetasan ke-3 lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu optimal. Menurut Kortlang (1985) kelebihan suhu
sebanyak 0.5 oC selama 3 hari akan menurunkan daya tetas hingga 50%.

Kematian embrio
Reproduksi tidak hanya tergantung pada jumlah telur yang dihasilkan dan
fertilitasnya, tetapi juga pada jumlah kematian embrio selama diinkubasi atau
sebelumnya. Ngobe (2003) melaporkan bahwa keberhasilan perkembangan
embrio sangat dipengaruhi oleh faktor (1) suhu dan kelembaban mesin tetas, (2)
lama penyimpanan telur, (3) nutrisi, (4) kerabang dan pori-pori telur dan (5)
genetik. Harun et al. (2001) juga menambahkan karakteristik telur (bobot,

10
panjang, lebar dan penguapan air dari kerabang) dan kecepatan metabolisme
mempengaruhi perkembangan embrio dan kemampuan daya tetas.
Kematian embrio dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kematian awal yang
terjadi pada minggu pertama (3-7 hari), kematian pertengahan yang terjadi pada
selang umur 8-24 hari dan kematian akhir yang terjadi saat telur di dalam hatcher
(>25 hari). Penyebab utama kematian embrio disebabkan suhu dan kelembaban
yang tidak mencapai suhu dan kelembaban optimal untuk perkembangan embrio.

Gambar 3 Kematian embrio pada selang umur telur yang berbeda
Kematian awal disebabkan embrio tidak mendapatkan suhu dan kelembaban
yang sesuai. Pendinginan yang dilakukan pada hari ke-3 terlalu dini dilakukan
karena produksi panas belum terlalu tinggi. Selain itu, pembukaan pintu mesin
tetas menyebabkan suhu dalam mesin tetas tidak stabil sehingga mempengaruhi
perkembangan embrio. Kematian embrio pada selang umur >25 hari disebut
dengan gagal tetas, terjadi paling tinggi pada perlakuan pendinginan 1 kali.
Cherry and Morris (2008) menambahkan kebanyakan embrio yang gagal menetas
antara 22 sampai 27 hari umumnya dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama
dan paling sering terjadi pada selang umur tersebut yaitu anak itik tumbuh dan
berkembang secara normal, tetapi tidak berusaha untuk menerobos kerabang,
akibatnya anak itik mati sekitar hari ke-28. Kategori ke-2 mati pada usia yang
sama, tetapi menunjukkan karakteristik kepala yang rata dan paruh yang bengkok
bersama dengan edema dan perdarahan pada otot. Kategori ke-3 yaitu kematian
yang terjadi antara 22 sampai 28 hari karena anak itik mengalami malposition
selama perkembangan sehingga anak itik tidak dapat menerobos kerabang.

11

(a)

(c)

umur 3-7 hari

(b)

Umur 8-24 hari

Umur > 25 hari

(d)

Umur > 25 hari

Gambar 4 Karakteristik anak itik yang tidak menetas pada selang umur yang
berbeda
Karakteristik dari telur yang tidak menetas dapat dilihat pada Tabel 6
dengan parameter yang diamati yaitu bobot telur dan indeks telur. Menurut
Setioko (1998), berat telur itik yang baik untuk ditetaskan berkisar antara 65-75
gram dengan bentuk yang normal. Telur yang bentuknya pendek dan bulat tanpa
dipengaruhi oleh bobot telur akan menunjukkan angka indeks telur yang tinggi.
Romanoff (1963) mengemukakan bahwa bentuk telur yang ideal adalah telur yang
mempunyai ukuran dengan lebar 4.2 cm dan panjang 5.7 cm atau indeks telur
sebesar 73.68%
Tabel 6 Karakteristik telur yang tidak menetas
Parameter
Perlakuan pendinginan
1 kali
2 kali
Bobot telur (g)
69.44
68.83
Indeks telur (L/P)
79.13
79.61
Diameter telur hari
1.93
1.96
ke-25 (cm)

3 kali
69.22
79.40
1.95

12
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa bobot telur, indeks telur dan
diameter dari telur yang tidak menetas tidak jauh berbeda antara taraf perlakuan.
Telur yang digunakan pada penelitian ini sudah seragam, terlihat dari bobot telur
dan indeks telur yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa parameter bobot telur,
dan indeks telur tidak mempengaruhi kematian embrio. Selain itu, diameter telur
itik pada hari ke-25 tidak menunjukkan perbedaan sehingga kematian embrio
tidak disebabkan laju penguapan.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Frekuensi pendinginan telur 2 kali yaitu pada waktu pagi dan sore hari
paling baik dilakukan karena rata-rata persentase daya tetas diperoleh paling
tinggi sebesar 37.94%. Karakteristik embrio yang tidak menetas antara lain
karena bentuk paruh yang tidak sempurna, cacat pada kaki, bentuk kepala tidak
sempurna dan kuning telur belum masuk seluruhnya ke dalam tubuh. Penyebab
kematian embrio diduga adalah suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dengan
suhu dan kelembaban yang optimal untuk perkembangan embrio dan adanya
akumulasi disinfektan pada telur.

Saran
Sanitasi kandang tempat pemeliharaan induk harus selalu terjaga untuk
mendukung telur tetas yang baik. Manajemen pemeliharaan dengan jarak tempat
pakan dan minum yang tidak berjauhan disesuaikan dengan tingkah laku ternak
seperti tingkah laku makan dan minum. Penggunaan alat mesin tetas yang lebih
stabil dalam pengaturan suhu.

DAFTAR PUSTAKA
Butcher G, Richard M. 2011. Minimizing microbial contamination in feed mills
producing poultry feed [Internet]. [diunduh 2012 Des]. Tersedia pada:
http//http://edis.ifas.ufl.edu.
Brun J, Mialon M, Sellier N, Brillard JP, Rouvier R. 2012. Inheritance of duration
of fertility in female common ducks (Anas platyrhynchos) inseminated in
pure breeding or in inter-generic crossbreeding with Muscovy drakes
(Cairina
moschata).
Animal
Science.
6(11):17311737.doi:10.1017/S1751731112001206.
Cherry P, Morris TR. 2008. Domestic duck production: science and practice.
United Kingdom (US) : Biddles Ltd.
Ensminger ME. 1992. Poultry Science. 3rd Ed. Illionis (US): Cab International.

13
Gunawan H. 2001. Pengaruh bobot telur terhadap daya tetas serta hubungan
antara bobot telur dan bobot tetas itik mojosari [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Harun MAS, Veeneklaas RJ, Visser GHM, Kampen V. 2001. Artificial incubation
of Muscovy Duck eggs: why some eggs hatch and others do not. Poultry Sci.
80: 219-224.
Kortlang CFHF. 1985. The incubation of duck eggs. In: duck production science
and world practice. London (GB) : University of New England. p 168-177.
Lourens A, Van den Brand H, Heetkamp MJW, Meijerhof R, Kemp B. 2007.
Effects of eggshell temperature and oxygen concentration on embryo
growth and metabolism during incubation. Poultry Sci. 86: 2194-2199.
Lourens A, Van den Brand H, Meijerhof R, Kemp B. 2005. Effect of eggshell
temperature during incubation on embryo development, hatchability and
post-hatch development. Poultry Sci. 84:914-920
Matitaputty PR. 2012. Peningkatan produksi karkas dan kualitas daging itik
melalui persilangan antara itik cihateup dengan itik alabio [disertasi]. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Ngobe M. 2003. Perkembangan bobot dan penampilan embrio itik Alabio dan
hasil persilangannya dengan entok jantan sebagai pedoman untuk menduga
umur embrio [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
North M, Bell DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth
Edition. Westport, Connecticut (US):The AVI Publishing Co. Inc.
Nurcahyo EM, Widyastuti YE. 1998. Usaha Pembesaran Ayam Kampung
Pedaging. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Nuryati T, Sutarto T, Khamim M, Hardjosworo PS. 2000. Sukses menetaskan
telur. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Prasetyo LH, Susanti T. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan
Mojosari: Periode awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV. 5(4):209–213.
Setioko AR. 2005. Fertilitas dan kematian embrio pada perkawinan silang entog
jantan dan itik betina. Lokakarya Nasional Unggas Air II. Di dalam:
Merebut peluang agribisnis melalui pengembangan usaha kecil dan
menengah unggas air. Prosiding Kerjasama Balai Penelitian Ternak, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan IPB. Bogor (ID), 16-17
November 2005. Ciawi. hal: 271-280.
Setioko AR. 1998. Penetasan telur itik di Indonesia. Wartazoa. 2(7):40-46.
Sinurat AP. 2000. Penyusunan ransum ayam buras dan itik. Pelatihan Proyek
Pengembangan Agribisnis Peternakan. Jakarta, 20 Juni 2000. Dinas
Peternakan DKI Jakarta.
Suprijatna E, Umiyati A, Ruhyat K. 2008. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Volume
ke-2. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.
Romanof AL, Romanoff AJ. 1963. The Avian. 2nd Ed. New York (US) : John
Wiley and Sons, Inc.

14
Lampiran 1 Sidik ragam persentase daya tetas itik CA berdasarkan perlakuan
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Fhitung
Pr>F
keragaman
bebas
kuadrat
tengah
498.3327111 124.5831778
29.97
0.0031
Perlakuan
2
Galat
11
16.6286444
4.1571611
Total
13
514.9613556

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ruteng, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 1 Mei
tahun 1991 dari pasangan Achmad Hanifah dan Puji Astuti dan memiliki tiga
saudara laki-laki yaitu Juhdi Syahirul Alim, Zaki Fathullah, dan Ajid Qistan.
Penulis diterima di Fakultas Peternakan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) 2009. Selama
studi di Fakultas, Penulis aktif di Organisasi Intrakampus Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D).
Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian yang di kampus antara lain,
Dekan Cup 2011, Fapet Show Time 2011. Penulis berkesempatan mengikuti
lomba seni cabang solo vokal pada acara Fapet Show Time 2010 dan
mendapatkan penghargaan sebagai Juara 1, lomba vokal grup dan mendapatkan
Juara 1, mengikuti lomba seni pada acara IPB Art Contest 2012 dan mendapatkan
Juara 1 untuk cabang Cipta Lagu Populer dan Juara 3 untuk cabang seni Tari.
Penulis juga berkesempatan mengikuti progam Kreativitas Mahasiswa Penelitian
(PKM-K) 2012 dengan Judul “Milk Agar Bolatte (Milk Agar Bolu Lapis Telur)
sebagai Jajanan Alternatif yang Bergizi, Lezat dan Menyehatkan”. Penulis
berkesempatan mendapatkan Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik.