Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Substrat

AKTIVITAS LAKASE Pleurotus ostreatus PADA PELEPAH
SAWIT DAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)
SEBAGAI SUBSTRAT

RIZKY APRIYANI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Lakase
Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) sebagai Substrat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Rizky Apriyani
NIM G34100069

ABSTRAK
RIZKY APRIYANI. Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit
dan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) sebagai Substrat. Dibimbing oleh ANJA
MERYANDINI dan HAPPY WIDIASTUTI.
Limbah pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) meningkat
jumlahnya tiap tahun. Limbah tersebut belum dimanfaatkan secara optimum.
Limbah ini mengandung lignoselulosa. Pleurotus ostreatus dapat mendegradasi
lignoselulosa, karena adanya enzim ligninolitik yang dihasilkan, salah satunya
lakase. Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas lakase P.ostreatus
menghidrolisis substrat pelepah sawit dan TKKS. Isolat P.ostreatus didapatkan
dari baglog SEAMEO Biotrop dan Gadog. Aktivitas lakase pada media pelepah
sawit dan media TKKS yang diinkubasi JTG lebih baik dibandingkan dengan
aktivitas lakase di media pelepah sawit dan TKKS yang diinkubasi oleh JTB.
Aktivitas lakase di media pelepah sawit yang diinkubasi JTG sebesar 1,024 U/ml

pada hari ke-30, dan aktivitas lakase meningkat menjadi 2,002 U/ml pada hari ke35. Aktivitas lakase di media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG yaitu 1,561
U/ml, dan pada hari ke-35 tidak dijumpai aktivitas lakase baik pada media TKKS
yang diinkubasi JTB maupun JTG. Kadar protein pada media pelepah yang
diinkubasi JTG yaitu sebesar 9,009 mg/ml pada hari ke-30, dan kadar protein
meningkat menjadi 11,371 mg/ml pada hari ke 35. Kadar protein di media pelepah
sawit yang diinkubasi JTG lebih baik dibandingkan dengan kadar protein di media
pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTB. Kadar protein pada media TKKS yang
diinkubasi JTG sebesar 14,535 mg/ml di hari ke-30. Substrat pelepah sawit dan
TKKS berwarna coklat muda setelah diinkubasi selama 30 hari. Tekstur pelepah
sawit menjadi remah dan TKKS lebih mudah diuraikan.
Kata kunci: Pleurotus ostreatus, lakase, pelepah sawit, TKKS.

ABSTRACT
RIZKY APRIYANI. Laccase Activity of Pleurotus ostreatus with Midrib Of Oil
Palm and Empty Fruit Bunches Of Oil Palm (EFB) As Substrate. Supervised by
ANJA MERYANDINI and HAPPY WIDIASTUTI.
Volume of midrib of oil palm and empty fruit bunches of oil palm (EFB)
increase every year. This wastes haven’t been used optimumly. Wastes contain
lignocellulosic. Pleurotus ostreatus can degradation of lignocellulosic material,
because it has ligninolytic enzymes. One of the ligninolytic enzyme is laccase. This

research is aimed to know the laccase activity from two strains of P.ostreatus to
hydrolisis substrat of midrib and EFB. Isolate P.ostreatus were isolated from
SEAMEO Biotrop baglog and Gadok baglog. Laccase activity in midrib media and
EFB media which incubated by JTG was better than incubated by JTB. The
laccase activity in midrib media which incubated by JTG was 1,024 U/ml at 30
days, and laccase activity increased 2,002 U/ml at 35. The laccase activity in EFB
media which incubated by JTG was 1,561 U/ml at 30 days, and there weren’t

laccase activity in EFB media which incubated by JTB and JTG at 35 days after
incubation. Protein in midrib media which incubated by JTG was 9,009 mg/ml at
30 days, and increased to 11,371 mg/ml at 35 days. Protein in midrib media which
incubated by JTG better than protein in midrib media which incubated by JTB.
Protein EFB media which incubated by JTG was 14,535 mg/ml at 30 days. The
substrate midrib of oil palm and EFB of oil palm colored light brown after
incubation 30 days. The tekstur of substrate midrib of oil palm was crumby. The
empty fruit bunches of oil palm tekstur was easier to become apart.
Keywords: Pleurotus ostreatus, laccase, midrib of oil palm, Empty fruit bunches of
oil palm (EFB).

AKTIVITAS LAKASE Pleurotus ostreatus PADA PELEPAH

SAWIT DAN TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)
SEBAGAI SUBSTRAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada Pelepah Sawit dan
Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Substrat.
Nama
: Rizky Apriyani
NIM

: G34100069

Disetujui oleh

Prof Dr Anja Meryandini,MS
Pembimbing I

Dr Happy Widiastuti,MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Penelitian dilaksanakan

di Laboratorium Mikrobiologi dan Lingkungan serta Laboratorium Kimia Pangan,
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Laboratorium
PPSHB (Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi), dan Mikrobiologi
Departemen Biologi IPB. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan
sejak bulan Februari 2014 ini adalah “Aktivitas Lakase Pleurotus ostreatus pada
Pelepah Sawit dan Tandan Kosong Kelapa Sawit sebagai Substrat”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Anja Meryandini MS, Dr
Happy Widiastuti MSi atas kesabarannya dalam memberikan bimbingan, ilmu,
saran, dan telah meluangkan waktunya selama pelaksanaan kegiatan penelitian.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr Muhadiono MSc selaku penguji,
yang telah banyak memberikan saran – saran, sehingga karya ilmiah ini menjadi
lebih baik lagi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir Suharyanto MSi
dan seluruh staf teknisi BPBPI yang telah membantu selama penelitian (Ibu Irma,
Ibu Ning, Pak Jumino, Kak Muti, Kak Syarif, Kak Prita, Mba Eka, Mas Ari, Ka
Mela), dan ucapan terima kasih kepada Ibu Dewi atas saran – saran dan
bimbingannya di laboratorium PPSHB, Ika Suciati, Lia Asyariah yang telah banyak
membantu dalam pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga
disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga tercinta, serta teman rekan kerja
Anastasia Noeng atas kerjasama, kebersamaan, kehangatan dan kekompakannya.
Penulis menyadari penyusunan usulan penelitian ini tidak lepas dari kesalahan dan

kekurangan. Kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan pelaksanaan penelitian ini. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang
biologi.

Bogor, Agustus 2014
Rizky Apriyani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

ix


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur Analisis Data

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

SIMPULAN DAN SARAN

6
6
13
18

Simpulan

18

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN


22

RIWAYAT HIDUP

24

DAFTAR TABEL
1 Bobot basah (W0), bobot kering (W1), dan selisih bobot basah dan kering
(W) media tumbuh masing-masing P.ostreatus setelah diinkubasi
selama 30 hari
2 Nilai pH media masing-masing P.ostreatus pada hari ke-0 (H0) dan hari
ke-30 (H30) setelah diinkubasi
3 Kadar protein media tumbuh pada hari ke-30 dan 35 setelah diinkubasi
oleh P.ostreatus
4 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi
P.ostreatus dengan perlakuan kering
5 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi
P.ostreatus dengan perlakuan basah

8
10
11
11
12

DAFTAR GAMBAR
1 Baglog P.ostreatus. Berasal dari (A).Biotrop dan (B).Gadog
2 Isolat dan inokulum P.ostreatus. Penyimpanan isolat di (A).cawan,
(B).agar miring. Media jagung (C).sebelum diinokulasi dan (D).7 hari
setelah diinokulasi P.ostreatus
3 Kondisi media tumbuh P.ostreatus. Media (A).pelepah sawit, (B).TKKS
sebelum diinokulasi P.ostreatus dan media (C).pelepah sawit, (D) TKKS
setelah 30 hari diinokulasi P.ostreatus
4 Morfologi hifa P.ostreatus perbesaran 40x10. (A).Biotrop dan (B).
Gadog
5 Keberadaan enzim ligninolitik ditunjukkan adanya zona merah di media
alkali lignin setelah 5 hari diinokulasi P.ostreatus (A).JTB dan (B).JTG
6 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS yang
diinokulasi P.ostreatus Biotrop pada hari ke-30 dan 35 setelah
diinkubasi
7 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS yang
diinokulasi P.ostreatus Gadog pada hari ke-30 dan 35 setelah
diinkubasi
8 Tekstur dan warna media pelepah sawit.(A).sebelum dan setelah 30 hari
diinokulasi oleh (B). P.ostreatus Biotrop serta (C). P.ostreatus Gadog
9 Tekstur dan warna media pelepah sawit.(A).sebelum dan setelah 30 hari
diinokulasi oleh (B). P.ostreatus Biotrop serta (C). P.ostreatus Gadog

6

7

7
8
9

9

10
12
13

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Aktivitas lakase pada hari ke 30
Aktivitas lakase pada hari ke 35
Kurva standar protein dengan metode bradford
Komposisi media alkali lignin
Analisis kualitatif in vitro xilanase dan selulase

22
22
22
23
23

PENDAHULUAN

Luas areal pertanaman kelapa sawit meningkat sebesar 27,31% pada tahun
2010 dan setiap tahun areal pertanaman kelapa sawit serta produksi minyaknya juga
selalu meningkat (Sentana dan Subroto 2010), hal ini akan diikuti dengan
peningkatan jumlah pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit. Limbah tersebut
belum dimanfaatkan secara optimal. Produksi TKKS di Indonesia setiap tahunnya
sekitar 9,5 juta ton tandan kosong kelapa sawit (hasil perhitungan dari data Deptan
2002) dan jumlah ini akan terus meningkat seiring dengan pertambahan luas areal
perkebunan kelapa sawit. Salah satu pemanfaatan pelepah sawit, digunakan sebagai
pakan ternak (Elisabeth dan Ginting 2003), sedangkan TKKS dimanfaatkan sebagai
pupuk atau kompos (Sentana dan Subroto 2010).
Pelepah sawit dan TKKS mengandung lignoselulosa, sehingga
memungkinkan untuk menjadi substrat jamur tiram (P.ostreatus). Jamur tiram
termasuk dalam jamur pelapuk putih (white rot fungus) yang memiliki kemampuan
untuk mendegradasi lignin dan selulosa (Sigit 2008). Kemampuan jamur tiram
dalam mendegradasi lignoselulosa tidak terlepas dari peran enzim ligninolitik yang
dihasilkannya. Enzim ligninolitik terdiri atas lakase, mangan peroksidase, dan
lignin peroksidase (Ariningsih 2006).
Enzim lakase adalah enzim yang dapat mereduksi oksigen menjadi air melalui
reaksi kopling oksidasi dan reduksi sekaligus yang membutuhkan mediator untuk
mengembalikan fungsi enzim tersebut ke bentuk semula (Cahyana 2005).
Pemanfaatan lakase antara lain, untuk mendegradasi lignin (Eggert 1997), dan agen
biokatalis antioksidan senyawa dari guaiakol (Cahyana dan Wulandari 2006).
Lakase juga digunakan sebagai bleaching pada proses biodeglinifikasi pada pulp
industri kertas (Sigit 2008)
Penelitian mengenai aktivitas lakase dari beberapa P.ostreatus pada pelepah
sawit dan tandan kosong kelapa sawit sebagai substrat masih terbatas. Aktivitas
enzim ligninolitik selama pertumbuhan dan perkembangan tubuh buah jamur
pelapuk putih Omphalina sp. dan P.osteratus di media TKKS telah dilakukan,
dengan hasil berupa aktivitas lakase bergantung pada fase tumbuh P.osteratus,
dengan aktivitas tertinggi pada minggu ketiga setelah diinkubasi (Widiastuti et al.
2008). Aktivitas lakase dari P.ostreatus di media sludge, memiliki aktivitas
optimum pada minggu keenam setelah diinkubasi (Sigit 2008).

Perumusan Masalah
Penelitian mengenai aktivitas lakase dari beberapa P.ostreatus pada pelepah
sawit dan tandan kosong kelapa sawit sebagai substrat masih sangat terbatas. Setiap
P.ostreatus memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam mensekresikan lakase,
begitu juga perbedaan media tumbuh mempengaruhi aktivitas lakase. Aktivitas
lakase juga sangat berkolerasi dengan waktu dari inkubasi.

2
Tujuan Penelitian
Menganalisis aktivitas lakase dari isolat P.ostreatus Biotrop (JTB) dan P.
ostreatus Gadog (JTG) pada pelepah sawit dan tandan kosong kelapa sawit.

Manfaaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mempelajari aktivitas lakase pada P.ostreatus
di media tumbuh berupa pelepah sawit dan TKKS di hari ke-30 dan ke-35 setelah
diinkubasi.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2014 di Laboratorium
Mikrobiologi dan Lingkungan serta Laboratorium Kimia Pangan, Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Laboratorium PPSHB (Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi), dan Mikrobiologi Departemen
Biologi IPB.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah isolat jamur P.ostreatus (dari SEAMEO
Biotrop dan Gadog), pelepah sawit, tandan kosong kelapa sawit, dedak, gipsum,
kapur, ABTS 1 Mm, bufer fosfat 0,2 M pH 7, bufer asetat 0,5 M pH 5, PDA,
K2HPO4, MgSO4.7H2O, KCl, NaNO3, ekstrak khamir, ekstrak malt, agar – agar ,
aquades, guaiakol, alkali lignin, kloramfenikol, KOH, dan larutan Bradford.

Alat
Peralatan yang digunakan yaitu biosafety cabinet, autoklaf, pH meter,
spektrofotometer UV-Vis, neraca analitik, mortar, sentrifus, digestion apparatus,
unit destilator, dan mikroskop cahaya.

3
Prosedur Analisis Data
Isolasi Pleurotus ostreatus dari baglog
Isolat P.ostreatus diisolasi dari baglog SEAMEO Biotrop dan Gadog. Baglog
dipotong bagian atasnya dengan pisau steril di dalam biosafety cabinet. Miselium
diambil dengan pinset steril di bagian tengah baglog, kemudian diletakkan pada
cawan yang berisi media PDA di dalam biosafety cabinet. Inkubasi dilakukan
selama 72 jam (tiga hari).

Pemurnian dan pembuatan inokulum Pleurotus ostreatus
Isolat P.ostreatus diinokulasi kembali ke media PDA di cawan dan agar
miring pada tahap pemurnian. Jamur yang tumbuh di cawan, dipotong dadu dan
dipindahkan ke biji jagung pecah steril di dalam botol jam dan diinkubasi selama
satu minggu, kemudian ditutup dengan alumunium foil.

Pembuatan baglog Pleurotus ostreatus
Pelepah sawit dicacah menjadi potongan – potongan kecil berukuran 2 cm.
Hasil cacahan dari potongan pelepah sawit tersebut diletakkan di dalam baki,
kemudian dikeringkan pada suhu 700 C selama 48 jam. Cacahan dari potongan
pelepah sawit yang telah kering, digiling sampai ukurannya 30 mes, menggunakan
mesin penggiling. Serbuk pelepah sawit (82%) dicampur dengan dedak (15%),
gipsum (1,5%), dan kapur (1,5%). Semua bahan ditambahkan dengan air hingga
kadar airnya 70% (media dapat dikepal). Pengisian media sekitar ¾ botol jam dan
dipadatkan, kemudian ditutup dengan kapas dan alumunium foil. Media tanam
disterilisasi kemudian didinginkan 24 jam, hingga siap diinokulasi.
Tandan kosong kelapa sawit yang telah berbentuk serat (fiber), dibersihkan
menggunakan air, kemudian dikeringkan. Pembuatan media dari tandan kosong
kelapa sawit (TKKS), yaitu TKKS (63,60%), dedak (30,34%), gipsum (3,03%), dan
kapur (3,03%), kemudian ditambahkan air hingga kadar airnya mencapai 60%
(sampai semua bahan saling menyatu). Media tumbuh kemudian disterilisasi dan
didinginkan 24 jam, hingga siap diinokulasi.
Inokulasi P.ostreatus pada media pelepah sawit dan TKKS dilakukan secara
aseptik dengan cara dilubangi sedikit pada bagian tengah, dimasukkan inokulum
sebanyak 5-6 butir jagung, lalu ditutup dan dipadatkan. Kapas dimasukkan kembali
dan ditutup dengan alumunium foil. Setelah diinokulasi, bibit diinkubasi sampai
tumbuh miselium rata-rata sekitar 20-30 hari.
Pengamatan morfologi hifa Pleurotus ostreatus
Miselium P.ostreatus Biotrop dan Gadog diambil dengan menggunakan ose,
kemudian diletakkan pada gelas objek ditambahkan sedikit air, kemudian diamati
dengan mikroskop pada perbesaran 40x10.

4
Analisis bobot media tumbuh Pleurotus ostreatus
Sample media pelepah dan TKKS ditimbang 30 hari sebelum dan setelah
inokulasi. Bobot basah didapatkan dengan menimbang sample tanpa perlakuan apa
pun, sedangkan bobot kering didapatkan setelah sample dikeringkan pada suhu
1000C di dalam oven selama 24 jam, kemudian ditimbang.

Analisis kualitatif enzim ligninolitik secara in vintro
Media alkali lignin dibuat dari campuran K2HPO4 (1,0 g), MgSO4.7H2O (0,2
g), KCl (0,2 g), NaNO3 (2 g), ekstrak khamir (0,2 g),ekstrak malt (1,0 g), agar - agar
(18 g), aquades (1000 ml), kemudian disterilisasi. Media yang telah disterilisasi
ditambahkan guaiakol (0,4 ml), alkali lignin (1,0 g), KOH (1 butir dilarutkan
dengan 10 ml air dalam lemari asam). Campuran media tersebut ditambahkan
kloramfenikol 0,5 g.

Analisis aktivitas lakase
Ekstraksi enzim dilakukan dengan menimbang sebanyak 10 gram media
(pelepah sawit dan TKKS), ditambah 20 ml bufer fosfat 0,2 M pH 7. Media diaduk
di dalam mortar dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm pada suhu 40C
selama 10 menit. Apabila filtrat masih keruh dilakukan sentrifugasi kembali sampai
benar- benar jernih.
Aktivitas enzim lakase. Bufer asetat 1,5 M pH 5 dicampurkan dengan 1mM
ABTS (2,2-azino-bis-3-ethlybenzothiazoline-6-sulphonic acid) sebanyak 0,3 ml.
Filtrat enzim sebanyak 1,2 ml ditambahkan saat akan diukur, dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Pengukuran dilakukan pada 0
menit dan 30 menit. Pengukuran aktivitas lakase menurut (Buswell et al. 1996)
A −A ×V o a
× 6
Aktivitas enzim lakase =
ε a × ×V
zi
×
Keterangan
At
: Absorbansi pada waktu ke 30 menit
A0
: Absorbansi pada waktu ke 0 menit
V total : Volume total seluruh filtrat
����� : Absorptivitas molar ABTS (36000 M-1 cm-1)

: Tebal kuvet (cm)
t : Waktu inkubasi (s)
Satu unit aktivitas lakase (U/ml) didefinisikan sebagai jumlah enzim lakase
yang dioksidasi oleh 1 µmol senyawa ABTS (2,2-azino-bis-3ethlybenzothiazoline6-sulphonic acid) per menit setiap 1 ml pada suhu 370C (Buswell et al. 1996).

5
Analisis pH media tumbuh Pleurotus ostreatus
Sebanyak 10 gram media (pelepah sawit dan TKKS) ditimbang, kemudian
ditambahkan aquades sebanyak 100 ml. Media dilarutkan dan diukur menggunakan
pH meter. Pengukuran media dilakukan sebelum dan 30 hari setelah diinokulasi
oleh P.ostreatus.

Kadar protein (Bradford)
Kadar protein diukur mengikuti metode Bradford (1976). Sebanyak 0,4 ml
enzim ekstrak kasar ditambahkan 4 ml larutan Bradford, dikocok kuat lalu
didiamkan kurang lebih 15 menit. Suspensi tersebut dibaca pada panjang
gelombang 595 nm. Standar protein yang digunakan ialah bovin serum albumin
(BSA) dengan konsentrasi 0,01 – 0,10 mg/ml (Meryandini et al. 2008).
Analisis kadar nitrogen (N) media tumbuh Pleurotus ostreatus
Analisis kadar nitrogen dilakukan dengan menggunakan variasi perlakuan
awal sample yaitu perlakuan kering dan perlakuan basah. Perlakuan kering yaitu,
sample dikeringkan pada suhu 1000C dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan
substratnya dan dianalisis kadar nitrogennya, sedangkan perlakuan basah yaitu,
sample direndam dengan air selama 10 menit, dan dikeringkan pada suhu 1000C di
dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan substratnya dan dianalisis kadar
nitrogennya. Sebanyak 0,50 gram media (pelepah dan TKKS) ditimbang, kemudian
dihaluskan dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1,0 gram
selenium mixture, dan 5 ml H2SO4 pa, dikocok hingga merata dan biarkan selama
24 jam. Larutan dari substrat media didestruksi sempurna dengan suhu bertahap
dari (150-350)0C, hingga diperoleh cairan jernih selama 3-3,5 jam. Larutan tersebut
diencerkan dengan sedikit aquades setelah larutan dingin, agar tidak mengkristal.
Larutan yang telah diencerkan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu didih
destilator volume 250 ml, kemudian ditambahkan NaOH 20% sebanyak 20 ml
sedikit demi sedikit, dan ditambahkan kembali aquades sekitar 20 ml, kemudian
larutan tersebut akan didestilasi dan ditampung dalam erlenmeyer volume 100 ml
dengan 20 ml asam borat 1% yang telah ditambahkan indikator conway sebanyak
tiga tetes. Hasil dari destilasi dititrasi menggunakan H2SO4 (Eviati dan Sulaeman
2009).
ml filtrasi x NH SO4 x 4 x
%
Kadar N % =
mg contoh
Analisis kadar karbon (C) media tumbuh Pleurotus ostreatus
Analisis kadar karbon dilakukan dengan menggunakan variasi perlakuan
awal sample yaitu perlakuan kering dan perlakuan basah. Perlakuan kering yaitu,
sample dikeringkan pada suhu 1000C dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan
substratnya dan dianalisis kadar karbonnya, sedangkan perlakuan basah yaitu,

6
sample direndam dengan air selama 10 menit, dan dikeringkan pada suhu 1000C di
dalam oven selama 24 jam, lalu dihaluskan substratnya serta dianalisis kadar
karbonnya. Sebanyak 0,05 gram substrat media (pelepah sawit dan TKKS)
ditimbang, dan dihaluskan, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar volume 100
ml. Substrat media ditambahkan berturut-turut 5 ml larutan K2Cr2O7 1N dan 7 ml
H2SO4 pa 98%. Larutan tersebut dipanaskan pada suhu 1000C dalam penangas
selama 2,5 jam, kemudian didinginkan selama 2 jam. Larutan disimpan di tempat
yang gelap selama 24 jam. Larutan diukur absorbansinya menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 561 (Eviati dan Sulaeman 2009).
Kadar C % =

ppm x
ml x
gram sample x

%

6

Tekstur dan warna media tumbuh Pleurotus ostreatus
Substrat pelepah sawit dan TKKS diamati perubahan tekstur serta warnanya,
sebelum dan setelah diinkubasi selama 30 hari. Pengamatan dilakukan dengan
mendokumentasikan perubahan warna substrat dan tekstur dari sample substrat
pelepah sawit dan TKKS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Isolasi Pleurotus ostreatus dari baglog
Isolat P.ostreatus Biotrop (JTB) diisolasi dari baglog yang berasal dari
SEAMEO Biotrop, sedangkan Isolat P.ostreatus Gadog (JTG) diisolasi dari baglog
yang berasal dari Gadog, Puncak Bogor (Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan
kedua jamur tiram).

A

B

Gambar 1 Baglog P.ostreatus. Berasal dari (A).Biotrop dan (B).Gadog

7

Pemurnian dan pembuatan inokulum jamur tiram (Pleurotus ostreatus)
Pemurnian P.ostreatus Biotrop dan Gadog dilakukan pada media PDA.
Pembuatan bibit P.ostreatus Biotrop dan Gadog menggunakan
jagung.
Pertumbuhan awal terlihat pada hari ke 2-3, dan jagung tertutupi seluruhnya oleh
miselium pada hari ke-7 setelah diinokulasi (Gambar 2).

A

C

B

D

Gambar 2 Isolat dan inokulum P.ostreatus. Penyimpanan isolat di (A).cawan,
(B).agar miring. Media jagung (C) sebelum diinokulasi dan (D).7 hari
setelah diinokulasi P.ostreatus

Pembuatan baglog Pleurotus ostreatus
Inokulum P.ostreatus Biotrop dan Gadog masing-masing ditanam pada
media yang mengandung pelepah sawit dan (TKKS), dengan penambahan dedak,
kapur, dan gipsum untuk mendukung pertumbuhan jamur tiram.
Pertumbuhan P.ostreatus yang paling cepat terjadi pada media TKKS, sekitar
tiga hari media telah ditumbuhi miselium, sedangkan media pelepah sawit
menunjukkan pertumbuhan miselium sekitar 7-10 hari. Gambar 3 menunjukkan
media pelepah sawit dan TKKS sebelum dan setelah diinkubasi.

A

B

C

D

Gambar 3 Kondisi media tumbuh P.ostreatus. Media (A).pelepah sawit,
(B).TKKS sebelum diinokulasi P.ostreatus, dan media
(C).pelepah sawit, (D) TKKS setelah 30 hari diinokulasi P.ostreatus

8
Morfologi hifa Pleurotus ostreatus
Karakter morfologi dari hifa P.ostreatus Biotrop dan P.ostreatus Gadog
(Gambar 4) memiliki hifa yang bersekat (septat) (Gambar 4).

B

A

Gambar 4 Morfologi hifa P.ostreatus perbesaran 40 x10. (A) Biotrop dan
(B) Gadog

Bobot media tumbuh Pleurotus ostreatus
Bobot basah dan bobot kering baik di media pelepah sawit maupun media
TKKS, lebih kecil dibandingkan dengan kontrol, setelah 30 hari diinkubasi baik
oleh JTB maupun JTG. Isolat JTG pada media pelepah sawit dan media TKKS
menunjukkan selisih antara bobot kering dan bobot basah (W) yang lebih besar,
dibandingkan dengan JTB. Nilai (W) pada media pelepah JTG sebesar 98,10 dan
62,20 di media TKKS JTG (Tabel 1).
Tabel 1 Bobot basah (W0), bobot kering (W1), dan selisih bobot basah dan kering
(W) media tumbuh masing-masing P.ostreatus setelah diinkubasi selama
30 hari
Isolat
Kontrol
JTB
JTG

Media pelepah
W0 (g)
181,83
158,91
165,16

W1 (g)
139,44
95,91
67,06

Media TKKS
W(g)
42,39
63,00
98,10

W0 (g)
142,10
84,00
111,12

W1 (g)
71,57
47,60
48,92

W(g)
70,53
36,40
62,20

Analisis kualitatif enzim ligninolitik secara in vintro
P.ostreatus Gadog (JTG) menunjukkan perubahan warna merah pada media
alkali lignin pada satu hari setelah diinokulasi, sedangkan P.ostreatus Biotrop
(JTB) menunjukkan perubahan warna merah selama lima hari. Hal ini menunjukkan

9
lakase yang mengkatalisis guaiakol pada JTG memiliki waktu optimum untuk
mensekresikan lakase yang lebih cepat dibandingkan dengan JTB.
Perbedaan lainnya dilihat dari warna yang terbentuk pada hari kelima setelah
diinokulasi, JTG berwarna merah pekat dengan diameter zona merah yang lebih
besar, dibandingkan dengan JTB berwarna merah muda dengan diameter zona
merah yang lebih kecil (Gambar 5). Hal tersebut diduga JTG memiliki aktivitas
yang lebih tinggi dibangdingkan dengan JTB pada hari kelima setelah diinkubasi.

A

B

Gambar 5 Keberadaan enzim ligninolitik ditunjukkan adanya zona merah di
media alkali lignin setelah 5 hari diinokulasi P.ostreatus. (A) JTB
dan (B) JTG

Analisis aktivitas lakase
Media pelepah sawit yang telah diinkubasi oleh P.ostreatus Biotrop (JTB),
tidak dijumpai aktivitas lakase pada hari ke-30, kemudian terjadi sedikit
peningkatan aktivitas lakase yaitu 0,004 U/ml pada hari ke-35. Aktivitas lakase
pada media TKKS setelah diinkubasi oleh JTB sebesar 0,01 U/ml pada hari ke-30,
sedangkan pada hari ke-35 tidak dijumpai aktivitas lakase, (Gambar 6).

Aktivitas lakase U/ml

0,012
0,01
0,008
0,006
0,004
0,002
0
Pelepah (30 hari)

Pelepah (35 hari)

TKKS (30 hari)

TKKS (35 hari)

Substrat

Gambar 6 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS
yang diinokulasi P.ostreatus Biotrop pada hari ke-30 dan 35
setelah diinkubasi

10

Media pelepah sawit yang telah diinkubasi oleh P.ostreatus Gadog (JTG)
menunjukkan aktivitas lakase sebesar 1,024 U/ml di hari ke-30, dan terjadi
peningkatan pada hari ke-35 yakni menjadi 2,002 U/ml. Aktivitas lakase pada
media TKKS yang telah diinkubasi oleh JTG selama 30 hari yaitu sebesar 1,561
U/ml, tetapi tidak dijumpai aktivitas lakase pada hari ke-35 setelah diinkubasi
(Gambar 7).

Aktivitas lakase U/ml

2,5
2
1,5
1
0,5
0
Pelepah (30 hari)

Pelepah (35 hari)

TKKS (30 hari)

TKKS (35 hari)

Substrat

Gambar 7 Aktivitas enzim lakase pada media pelepah sawit dan TKKS
yang diinokulasi P.ostreatus Gadog pada hari ke-30 dan 35
setelah diinkubasi.

Analisis pH media tumbuh Pleurotus ostreatus
Peningkatan pH didapatkan pada media pelepah sawit setelah 30 hari
diinkubasi oleh JTB dan JTG. Nilai pH yang paling tinggi ditunjukkan oleh isolat
JTG di media pelepah sawit sebesar 6,14. Sebaliknya, penurunan nilai pH terjadi
pada media TKKS setelah diinkubasi baik JTB maupun JTG. Nilai pH yang
tertinggi di media TKKS ditunjukkan juga pada isolat JTG sebesar 5,40 (Tabel 2).
Tabel 2 Nilai pH media masing-masing P.ostreatus pada
hari ke-0 (H0) dan hari ke-30 (H30) setelah diinkubasi
Isolat
JTB
JTG

pH Media Pelepah
H0
H30
5,44
5,75
5,44
6,14

pH Media TKKS
H0
H30
5,63
5,24
5,63
5,40

11
Kadar protein (Bradford)
Kadar protein diukur berdasarkan metode Bradford. Pembuatan kurva standar
protein menggunakan bovin serum albumin (BSA), dengan konsentrasi 0-1 mg/ml.
Nilai yang didapatkan dari kurva standar protein yaitu Y=0,0656x-0,0572
(digunakan untuk menghitung kadar protein terlarut) dan R2 =0,9938.
Tabel 3 Kadar protein media tumbuh pada hari ke-30 dan 35 setelah
diinkubasi oleh P.ostreatus
Isolat

JTB
JTG

Kadar Protein (mg/ml)
Media Pelepah
H30
H35
6,913
9,009
9,009
11,371

Kadar Protein (mg/ml)
Media TKKS
H30
H35
11,638
17,851
17,012
14,535

Kadar protein tertinggi dari media pelepah yaitu pada isolat P.ostreatus
Gadog (JTG) sebesar 9,009 mg/ml di hari ke-30 dan 11,371 pada hari ke-35. Kadar
protein tertinggi di media TKKS, pada hari ke-30 ditunjukkan oleh isolat JTG
sebesar 14,535 mg/ml, dan pada hari ke-35 ditunjukkan oleh isolat JTB sebesar
17,851 mg/ml (Tabel 3).

Analisis rasio karbon dan nitrogen (C/N)
Nilai rasio C/N tertinggi di perlakuan kering, didapatkan pada kontrol baik
di media pelepah sawit maupun di media TKKS, sedangkan di media pelepah sawit
dan TKKS setelah 30 hari diinkubasi JTB dan JTG, menunjukkan penurunan nilai
ratio C/N.
Nilai rasio C/N terendah pada perlakuan kering didapatkan di media
pelepah sawit dan media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG yaitu sebesar
93,54% dan 39,69% (Tabel 4).
Tabel 4 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi
P.ostreatus dengan perlakuan kering

Isolat
Kontrol
JTB
JTG

Media Pelepah
Kadar
Kadar
Rasio
Karbon
Nitrogen
C/N
(%)
(%)
41,20
0,33 124,85
36,57
0,35 104,48
36,48
0,39
93,54

Media TKKS
Kadar
Kadar
Karbon
Nitrogen
(%)
(%)
36,44
0,56
28,07
0,47
33,74
0,85

Rasio
C/N
65,07
59,72
39,69

Nilai rasio C/N perlakuan basah berbeda dengan perlakuan kering, yaitu
kontrol memiliki rasio C/N yang tertinggi pada media pelepah, akan tetapi kontrol

12
pada media TKKS lebih kecil dibandingkan dengan media yang telah diinkubasi
oleh JTB selama 30 hari (Tabel 5).
Nilai rasio C/N terendah didapatkan pada media pelepah sawit setelah 30
hari diinkubasi oleh JTB sebesar 59,41%, sedangkan nilai rasio C/N terendah di
media TKKS setelah 30 hari diinkubasi, ditunjukkan pada media TKKS yang
diinkubasi oleh JTG sebesar 53,40% (Tabel 5).
Tabel 5 Kadar C dan N masing-masing media tumbuh setelah diinkubasi
P.ostreatus dengan perlakuan basah

Isolat
Kontrol
JTB
JTG

Media Pelepah
Kadar
Kadar
Rasio
Karbon
Nitrogen
C/N
(%)
(%)
35,77
0,35 102,20
36,84
0,62
59,41
36,49
0,38
96,03

Media TKKS
Kadar
Kadar
Karbon
Nitrogen
(%)
(%)
40,62
0,60
40,85
0,52
34,71
0,65

Rasio
C/N
67,70
78,56
53,40

Tekstur dan warna media tumbuh Pleurotus ostreatus
Media pelepah sebelum diinkubasi berwarna coklat kehitaman dan mudah
terpencar, sedangkan tekstur media pelepah setelah diinkubasi selama 30 hari,
dengan P.ostreatus Biotrop dan Gadog menunjukkan warna coklat muda dan
remah. Warna substrat pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTG berwarna coklat
muda yang lebih cerah dibandingkan dengan warna substrat JTB (Gambar 8).
Tekstur media tandan kosong kelapa sawit (TKKS), sebelum diinkubasi
berwarna coklat kehitaman dan sulit diuraikan, sedangkan tekstur media TKKS
setelah diinkubasi selama 30 hari dengan P.ostreatus Biotrop dan Gadog
menunjukkan warna coklat muda dan lebih mudah diuraikan. Warna substrat media
TKKS yang diinkubasi oleh JTG berwarna coklat muda yang lebih cerah
dibandingkan dengan warna substrat JTB (Gambar 9).

A

B

C

Gambar 8 Tekstur dan warna media pelepah sawit.(A).sebelum dan setelah 30
hari diinokulasi oleh (B). P.ostreatus Biotrop serta (C). P.ostreatus
Gadog.

13

A

C

B

Gambar 9 Tekstur dan warna media TKKS.(A).sebelum dan setelah 30 hari
diinokulasi (B).P.ostreatus Biotrop serta (C).P.ostreatus Gadog.

Pembahasan

Isolasi Pleurotus ostreatus dari baglog
Isolasi merupakan proses memperoleh cendawan dalam bentuk biakan murni.
Kegiatan ini terbagi menjadi dua. Pertama, pemisahan mikroorganisme yang kita
inginkan dari baglog SEAMEO Biotrop maupun Gadog atau pemisahan dari
mikroorganisme yang bukan tujuan. Kedua, usaha untuk memperoleh
mikroorganisme yang diingikan dalam bentuk biakan murni pada media agar
miring.

Pemurnian dan pembuatan inokulum jamur tiram (Pleurotus ostreatus)
Pemurnian P.ostreatus Biotrop dan Gadog dilakukan pada media PDA.
Pembuatan bibit P.ostreatus menggunakan biji-bijian, yaitu jagung, dikarenakan
tingkat keberhasilan yang tinggi, murah, dan mudah dalam pembuatannya
(Rachmat 2000). Menurut Gunawan (2008), biji-bijian menyediakan nutrisi yang
mendukung pertumbuhan miselium P.ostreatus.

Pembuatan baglog Pleurotus ostreatus
Penambahan dedak sebagai campuran media tanam berfungsi sebagai sumber
karbon dan nitrogen (Soenanto 2000). Karbon digunakan sebagai sumber energi
utama, sedangkan nitrogen berfungsi untuk pertumbuhan miselium (Soenanto
2000). Fungsi kapur yang diberikan adalah untuk menaikkan pH media, sehingga
mendekati pH netral, sedangkan gipsum memperkokoh media sehingga menyerupai
substrat alaminya (Sigit 2008). Pertumbuhan miselium jamur tiram lebih cepat pada
media TKKS dibandingkan dengan media pelepah sawit, hal ini dikarenakan
takaran dedak yang lebih tinggi sebesar 30,34% di media TKKS dibandingkan
dengan media pelepah sawit sebesar 15%. Komposisi dedak yang lebih tinggi di

14
media TKKS dimaksudkan agar substrat TKKS yang berbentuk serat (fiber) dapat
tercampur merata dengan dedak. Menurut Suriawira (1986), dedak merupakan
bahan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan miselium jamur
pelapuk putih, serta menjadi pemacu pertumbuhan tubuh buah jamur karena kaya
vitamin terutama vitamin B kompleks. Berdasarkan penelitian Supriyaningsih et al.
(2013) semakin besar takaran dedak, maka berat tubuh buah jamur tiram putih
semakin besar pula.

Morfologi hifa Pleurotus ostreatus
Karakter morfologi dari hifa P.ostreatus Biotrop dan P.ostreatus Gadog
(Gambar 4) memiliki hifa yang bersekat (septat). Menurut Alexopoulus dan Mims
(1979), jamur tiram termasuk, filum Basidiomycota, kelas Basidiomycetes, ordo
Agaricales, famili Agaricea, genus Pleurotus. Filum Basidiomycota mempunyai
ciri hifa septat (bersekat), terkadang dilengkapi sambungan apit. Menurut
Gunawan (2008), istilah soma pada jamur dikenal sebagai hifa. Hifa dapat
dipadankan dengan fase vegetatif pada tumbuhan. Hifa berbentuk benang dan
filamen. Hifa dapat tumbuh ke segala arah pada ujung-ujungnya dan pada bagianbagian tertentu tempat cabang dibentuk. Kumpulan hifa yang bercabang dinamakan
miselium.

Bobot media tumbuh Pleurotus ostreatus
Penurunan bobot basah dan bobot kering baik di media media pelepah sawit
maupun di media TKKS terjadi setelah 30 hari diinkubasi dengan P.ostreatus
Biotrop dan Gadog (mengacu pada Tabel 1). Penurunan bobot ini menunjukkan
adanya aktivitas enzim yang terjadi. Menurut Nurulita (2003), penyusutan bobot
dapat terjadi karena adanya proses dekomposisi oleh aktivitas mikroorganisme.
Menurut Isroi (2008), bahwa selama proses dekomposisi akan terjadi penyusutan
berat. Penyusutan berat disebabkan oleh adanya pembebasan unsur hara dari
senyawa organik menjadi senyawa anorganik misalnya protein menjadi amonia
(NH3). Berdasarkan penelitian Ishak et al. (2013), penyusutan bokashi terjadi
karena pengomposan yang awalnya 2 kg menjadi 1,3 kg, bokashi merupakan pupuk
organik yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik.
Selisih bobot basah dengan bobot kering (W), menunjukkan banyaknya bobot
yang hilang setelah didegradasi oleh P.ostreatus. Berdasarkan Gayang (2013),
menyatakan bahwa semakin besar bobot yang hilang maka diduga besar bobot yang
hilang merupakan lignin dan bobot yang tersisa merupakan selulosa dan
hemiselulosa. Semakin besar bobot yang hilang, diduga akan diikuti dengan
penurunan nilai rasio C/N yang besar pula. Selisih bobot basah dengan bobot kering
tertinggi, baik di media pelepah sawit maupun media TKKS didapatkan pada media
yang telah diinkubasi oleh JTG (Tabel 1). Hal ini dapat diduga, baik media pelepah
sawit maupun TKKS yang diinkubasi oleh JTG akan diikuti pula dengan penurunan
nilai rasio C/N. Nilai selisih dari bobot basah dan bobot kering (W) yang tinggi,
menunjukkan aktivitas enzim yang tinggi pula. Oleh karena itu, isolat JTG dapat
mendegradasi pelepah sawit dan TKKS yang lebih baik dibandingkan dengan JTB.

15
Analisis kualitatif enzim ligninolitik secara in vintro
Uji kualitatif secara in vitro P.ostreatus pada media alkali lignin bertujuan
mengetahui keberadaan enzim ligninolitik, khususnya lakase pada jamur pelapuk
putih. Hal ini dikarenakan jamur pelapuk putih memiliki kemampuan dalam
mendegradasi lignin. Isolat P.ostreatus Biotrop dan Gadog terbukti memiliki
kemampuan untuk mendegradasi lignin, hal ini ditunjukkan dengan terbentuknya
zona merah pada media alkali lignin. Menurut Cahyana (2005), zona merah
disebabkan terjadinya reaksi guaiakol yang dikatalisis enzim lakase. Guaiakol
sebagai substrat akan teroksidasi, karena memperoleh limpahan elektron dari
kopling reaksi oksidasi yang berfungsi mengembalikan bentuk semula enzim lakase
setelah mereduksi oksigen menjadi air. Akibat dari limpahan elektron tersebut
substrat yang mempunyai struktur fenolik akan teroksidasi dan mengalami
resonansi karena struktur aromatik yang dimilikinya, kemudian akan saling
menstabilkan diri membentuk senyawa baru yang mempunyai sifat fisik yang
berbeda dari senyawa awalnya, secara fisis senyawa yang terbentuk berwarna
merah. Isolat JTG memiliki aktivitas enzim ligninolitik yang lebih baik
dibandingkan dengan JTB. Hal ini ditunjukkan dari diameter zona merah yang lebih
besar pada JTG dibandingkan dengan JTB, dan juga zona merah yang lebih pekat
pada JTG dibandingkan dengan JTB (Gambar 5).

Analisis aktivitas lakase
Aktivitas lakase pada media pelepah sawit setelah 35 hari diinkubasi oleh
JTG, memiliki aktivitas yang paling baik dibandingkan dengan aktivitas lakase di
media pelepah sawit setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG, dan media TKKS setelah
30 dan 35 hari diinkubasi oleh JTB (Gambar 6 dan 7). Aktivitas lakase di media
pelepah sawit lebih baik dibandingkan dengan media TKKS. Hal ini diduga, karena
pelepah sawit lebih mudah diuraikan dibandingkan dengan TKKS, dilihat dari
komposisi lignin di TKKS lebih besar dibandingkan dengan pelepah sawit. Pelepah
sawit sebagian besar terdiri dari hemiselulosa (Ginting dan Elizabeth 2014).
Menurut Xie et al. (2001) perbedaan aktivitas lakase disebabkan oleh perbedaan
media tumbuh.
Aktivitas lakase yang paling baik didapatkan pada media yang diinkubasi
oleh JTG dibandingkan dengan media yang diinkubasi oleh JTB. Hal ini dapat
dilihat dari uji kualitatif enzim ligninolitik secara in vitro di media alkali lignin,
menunjukkan isolat JTG memiliki diameter zona merah yang lebih besar
dibandingkan dengan diameter zona merah pada isolat JTB. Zona merah
menunjukkan keberadaan enzim ligninolitik. Zona merah pada JTG berwarna lebih
pekat dibandingakan dengan JTB, hal ini diduga aktivitas enzim ligninolitik di
isolat JTG lebih tinggi dibandingkan dengan JTB (Gambar 5). Isolat JTG juga
memiliki waktu optimum yang lebih cepat untuk mengsekresikan lakase
dibandingkan dengan isolat JTB. Menurut Palonen (2004), lakase mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda bergantung pada mikroorganisme yang
mengsekresikannya. Menurut Widiastuti et al. (2008), aktivitas enzim ligninolitik
dipengaruhi oleh substrat yang berkolerasi dengan waktu. Schloserr and Hoefer
(2002) aktivitas lakase dipengaruhi oleh kondisi dan umur dari kultur. Aktivitas

16
lakase juga dapat dilihat dari selisih antara bobot basah dan bobot kering, yang
menunjukkan bahwa media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTG memiliki nilai
selisih yang paling besar dibandingkan dengan media pelepah sawit yang
diinkubasi JTB. Selisih tersebut menunjukkan bobot yang hilang akibat adanya
proses dekomposisi oleh P.ostreatus. Semakin banyak bobot yang hilang maka
semakin tinggi pula aktivitas enzim lakasenya. Oleh karen itu, aktivitas lakase yang
terbaik didapatkan pada media pelepah sawit setelah diinkubasi oleh JTG.

Analisis pH media tumbuh Pleurotus ostreatus
Peningkatan pH pada media pelepah sawit diduga karena adanya penguraian
protein dan pelepasan amonia. Pelepasan amonia ini menyebakan terjadinya
kenaikan pH di media pelepah sawit. Hal yang berbeda terjadi pada media TKKS,
penurunan pH media diduga tidak ada atau hanya sedikit sekali terjadi penguraian
protein (Tabel 2). Menurut Supadma dan Arthagama (2008), peningkatan pH
mendekati netral disebabkan terjadinya penguraian protein menjadi amonia (NH3).
Menurut Dalzell et al. (1991) menyatakan bahwa pola perubahan pH yang
diinokulasi, berawal dari pH agak asam karena terbentuknya asam – asam organik
sederhana, kemudian pH meningkat pada inkubasi lebih lanjut akibat terurainya
protein dan terjadinya pelepasan amonia.
Nilai pH yang tertinggi baik di media pelepah sawit maupun di media
TKKS setelah 30 hari diinkubasi didapatkan pada isolat JTG. Hal ini diduga, isolat
yang memiliki nilai pH yang tinggi, maka aktivitas lakasenya pun tinggi pula.
Menurut Richana et al. (2000), semakin tinggi pH maka aktivitas enzim lebih
tinggi. Oleh karena itu, berdasarkan nilai pH yang didapatkan (Tabel 2), isolat JTG
menunjukkan aktivitas lakase yang lebih baik dibanding JTB.

Kadar protein (Bradford)
Metode Bradford merupakan suatu metode untuk menentukan kadar protein.
Prinsip kerja dari metode ini adalah pengikatan secara langsung zat warna
coomassie brilliant blue G-250 (CBBG) oleh protein yang mengandung residu
asam amino dengan rantai samping aromatik. Reagen CBBG dalam suasana asam
akan berada dalam bentuk anion yang mengikat protein membentuk warna biru
(Bradford 1976). Kadar protein terlarut diukur berdasarkan metode Bradford
(1976), bertujuan menganalisis protein total dalam suatu larutan (filtrat enzim
ekstrak kasar, yang telah dianalisis aktivitas lakasenya pada hari ke 30 dan ke 35).
Metode ini berdasarkan pada reaksi antara larutan Bradford dengan protein dalam
filtrat ekstrak kasar enzim, yang membentuk senyawa kompleks berwarna biru dan
diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm. Hasil absorbansi akan
diukur dengan persamaan Y=0,0656x-0,0572 (Lampiran 3). Nilai Y menunjukkan
aktivitas lakase, sedangkan nilai x menunjukkan kadar protein terlarut. Persamaan
tersebut merupakan kolerasi antara aktivitas lakase dengan protein yang terlarut.
Aktivitas lakase dengan kadar protein berbanding lurus, semakin tinggi aktivitas
lakase maka kadar protein yang terlarut pun semakin tinggi pula. Kadar protein

17
dapat dilihat secara kualitatif melalui uji zona merah di media alkali lignin, yang
mengindikasi keberadaan aktivitas enzim ligninolitik (Gambar 5).
Kadar protein pada media pelepah sawit setelah 35 hari diinkubasi oleh JTG
lebih baik dibandingkan dengan kadar protein pada media pelepah sawit yang
diinkubasi oleh JTB (berdasarkan Tabel 3), begitu juga aktivitas lakase yang yang
lebih baik didapatkan pada media pelepah sawit setelah 35 hari diinkubasi oleh JTG
(Gambar 7), dibandingkan dengan aktivitas lakase pada media pelepah sawit yang
diinkubasi oleh JTB, hal ini juga dapat dilihat dari diameter zona merah yang lebih
besar pada isolat JTG (Gambar 5). Kadar protein tertinggi pada hari ke 30 di media
TKKS didapatkan pada media yang diinkubasi JTG (berdasarkan Tabel 3), begitu
juga aktivitas enzim lakasenya JTG lebih tinggi dibanding JTB pada hari ke-30
setelah diinkubasi. Berdarsarkan Tabel 3, kadar protein yang paling tinggi secara
keseluruhan yaitu pada media TKKS pada hari ke-35, akan tetapi tidak dijumpai
aktivitas lakase di semua isolat. Oleh karena itu, dapat diduga kadar protein yang
tinggi tersebut, dikarenakan adanya xilanase dan selulase. Hal ini dibuktikan
melalui uji kualitatif in vitro xilan dan selulosa, menunjukkan isolat JTB dan JTG
memiliki xilanase dan selulase (berdasarkan Lampiran 5). Berdasarkan penelitian
Yuniar (2013), beberapa kapang dari genus Aspergillus dan Pestalotiopsis memiliki
selulase yang berperan dalam mendegradasi substrat TKKS. Menurut penelitian
Gayang (2013), konsentrasi xilanase dan selulase dapat mempengaruhi rendeman
gula pereduksi dari substrat TKKS yang telah dihidrolisis oleh kedua enzim
tersebut.
Faktor lainnya diduga karena pelepah sawit memiliki kandungan protein
yang lebih besar dibandingkan dengan TKKS. Kandungan protein di TKKS sangat
kecil, dan sebagian besar penyusun TKKS adalah lignin. Menurut Gaol et al.
(2013), komponen penyusun TKKS adalah lignin (22,60%), pentosan (25,90%), αselulosa (45,80), holoselulosa (71,88%), dan pektin (12,85%). Menurut Anggraini
dan Roliad (2011), TKKS terdiri atas lignin (17 – 20%), α-selulosa (43 – 44%),
pentosan (27%), hemiselulosa (34%). Komposisi pelepah sawit menurut Ginting
dan Elizabeth (2014), terdiri atas selulosa (31,7%), hemiselulosa (33,9%), dan
lignin (17,4%), protein kasar (4 – 5 %).
Analisis rasio karbon dan nitrogen (C/N)
Penurunan nilai rasio C/N baik pada media pelepah sawit maupun media
TKKS setelah diinokulasi oleh P.ostreatus Gadog (JTG) dan P.ostreatus Biotrop
(JTB), diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme. Nilai rasio C/N terendah
menunjukkan, adanya aktivitas enzim yang lebih baik. Hal ini dikarenakan,
banyaknya kadar karbon yang digunakan mikroorganisme untuk pertumbuhannya,
dan diikuti dengan peningkatan kadar nitrogen. Peningkatan kadar nitrogen diduga
adanya proses degradasi substrat oleh enzim, misalnya enzim lakase yang
mendegradasi lignin. Berdasarkan penelitian Supadma dan Arthagama (2008)
semakin lama waktu inkubasi maka nilai rasio C/N pun semakin menurun.
Penurunan nilari rasio C/N diikuti dengan penurunan kadar karbon dan peningkatan
kadar nitrogen, hal ini menunjukkan adanya proses dekomposisi oleh
mikroorganisme.

18
Nilai rasio C/N terendah pada perlakuan kering didapatkan pada media
setelah 30 hari diinkubasi oleh JTG (mengacu pada Tabel 4). Oleh karena itu, isolat
JTG memiliki aktivitas enzim yang lebih baik dibandingkan dengan JTB, hal ini
dilihat dari nilai rasio C/N yang paling rendah baik di media pelepah sawit maupun
di media TKKS.
Rasio C/N perlakuan kering lebih baik dibandingkan dengan perlakuan basah,
dikarenakan pada perlakuan kering, kontrol memiliki rasio C/N yang lebih besar
dibandingkan dengan JTB dan JTG (mengacu pada Tabel 4), sedangkan pada
perlakuan basah di media TKKS, kontrol menunjukkan lebih kecil dibandingkan
JTB. (mengacu pada Tabel 5). Nilai rasio C/N terendah pada perkuan basah juga
berbeda dengan pelakuan kering, pada perlakuan kering nilai terendah didapatkan
pada media pelepah sawit dan TKKS yang diinkubasi oleh JTG. Akan tetapi, pada
perlakuan basah nilai terendah didapatkan pada media pelepah sawit yang
diinkubasi oleh JTB, dan media TKKS yang diinkubasi oleh JTG (mengacu pada
Tabel 5). Oleh karena itu, nilai rasio C/N metode basah tidak akurat, diduga
nitrogen pada substrat tercuci oleh air (mengalami proses leaching). Menurut
Tisdale et al. (1990), unsur N merupakan unsur yang mobil dalam tanah, sehingga
dengan pemberian air yang berlebihan menyebabkan peningkatan pencucian
nitrogen (mudah leaching).

Tekstur dan warna media tumbuh Pleurotus ostreatus
Perbedaan tekstur dan warna pada substrat pelepah sawit dan TKKS
disebabkan oleh aktivitas enzim yang terjadi. Berdasarkan Gayang (2013), warna
serbuk TKKS lebih cerah dibandingkan dengan serbuk TKKS sebelum
delignifikasi. Pemudaran warna coklat diakibatkan adanya penguraian lignin.
Menurut Ishak et al. (2013), substrat pelepah pisang setelah dilakukan
pengomposan selama 21 hari, terjadi perubahan baik tekstur dan warna, hal ini
dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme. Semakin cerah substrat yang telah
didegradasi, menunjukkan adanya aktivitas enzim yang lebih baik. Berdasarkan
Gambar 8 dan 9, didapatkan substrat pelepah sawit dan media TKKS setelah 30
hari diinkubasi oleh JTG berwarna coklat lebih muda dibandingkan dengan JTB.
Hal ini, diduga JTG memiliki aktivitas enzim yang lebih baik dibandingkan dengan
JTB.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Aktivitas lakase tertinggi didapatkan pada isolat P.ostreatus Gadog di media
pelepah sawit pada hari ke-35, hal ini juga didukung oleh kadar protein tertinggi di
media pelepah sawit dijumpai pada media yang diinkubasi oleh JTG pada hari ke-

19
35. Beberapa faktor lainnya yang mendukung yaitu, nilai pH tertinggi didapatkan
pada media pelepah sawit yang diinkubasi oleh JTG. Selain itu, isolat JTG juga
terbukti memiliki aktivitas enzim ligninolitik yang lebih tinggi di media alkali
lignin dibandingkan dengan isolat JTB. Selisih bobot basah dan bobot kering (W)
tertinggi juga didapatkan pada media pelepah sawit setelah 30 hari diinkubasi oleh
JTG. Faktor lainnya, substrat pelepah sawit dan TKKS setelah 30 hari diinkubasi
oleh JTG berwarna coklat lebih muda dibanding dengan JTB. Nilai rasio C/N
terendah pada media pelepah sawit dan media TKKS setelah 30 hari diinkubasi oleh
JTG, juga mendukung adanya aktivitas enzim yang terjadi.

Saran
Isolat Pleurotus ostreatus JTG dapat diaplikasikan untuk pembuatan
kompos dengan substrat pelepah sawit. Hal tersebut, dapat dilihat dari nilai rasio
C/N dan aktivitas lakase yang lebih tinggi di media pelepah sawit yang diinkubasi
JTG dibandingkan dengan JTB. Akan tetapi, isolat JTG diduga tidak dapat
digunakan untuk bleaching pada proses biodeglinifikasi pada pulp industri kertas,
hal ini dikarenakan mengandung enzim selulase yang cukup tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulus CJ, Mims CW.1979. Introductory Mycology 3rd Edition. New York
(US): John Wiley and Sons.
Anggraini D, Roliad H. 2011.Pembuatan pulp dari tandan kosong kelapa sawit
untuk karton pada skala usaha kecil. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 29(3):211225.
Ariningsih T. 2006. Aktivitas lingninolitik jenis Ganoderma pada berbagai substrat
karbon. Jurnal Biodiversitas 7(4):307 – 311.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for quantitation of microgram
quantities of protein utilizing the a principle of protein dye binding. Anal
Biochem 72:248-254.
Buswell JA, Cai YJ, Chang ST, Peberdy JF, Fu SY, Yu HS.1996. Lignocellulolytic
enzyme profiles of edible mushroom fungi. World Journal of Microbiology and
Biotechnology, 12(5):537-542.
Cahyana HA.2005. Studi awal pemanfaatan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus)
sebagai biokatalis pembentukan senyawa antioksidan. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Pangan, 3(2): 1 – 8.
Cahyana HA, Wulandari N.2006. Antioksidan senyawa baru dari guaiakol dengan
biokatalis enzim laktase jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jurnal Ilmu
dana Teknologi Pangan 4(1): 13 – 22.
Dalzell HW, Biddlestone AJ, Gray KR, Thurairajan K.1991. Produksi dan
Penggunaan Kompos pada Lingkungan Tropis dan Subtropis. Jakar