Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

(1)

(2)

Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian

Tali Plastik Alat Tulis

Meteran Tanah Meteran Diameter

Buku Identifikasi Mangrove Plastik


(3)

Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian. Lanjutan

pH Meter Refraktometer

Tissue Pipet Tetes

Aquadest Karet


(4)

Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian. Lanjutan

Sendok Substrat Termometer

Tally Sheet Cutter


(5)

Lampiran 2. Pengamatan Kondisi Ekosistem Mangrove

Penarikan Tali Transek Mangrove Pengamatan Jenis Identifikasi Mangrove

Pengukuran Diameter Pohon Mangrove Pengambilan Sampel pH Tanah


(6)

Lampiran 3. Pengukuran Parameter Kualitas Air (In Situ)

Pengukuran Salinitas Menggunakan Pengukuran Suhu Air Menggunakan Refraktometer Termometer

Pengukuran pH Air Menggunakan Pengukuran Arus Air Menggunakan pH Meter Bola Duga


(7)

Lampiran 4. Prosedur Penghitungan Nilai pH Tanah (Ex Situ)

Ambil Sampel Tanah Sesuai Urutan Plot Timbang Sampel Tanah Menggunakan Pengamatan Sebanyak 10 gram Timbangan Analitik

Masukkan tanah sebanyak 10 gram kedalam Ukur pH menggunakan alat pH meter Erlenmeyer 100 cc, letakkan pada

alat penggoncang (shaker) selama 15 menit


(8)

Lampiran 5. Prosedur Penghitungan Tekstur Tanah (Ex Situ)

Timbang tanah halus kering 50 gram Tambahkan 250 ml H2O,

Tambahkan 10 ml larutan Natrium Kocok 2 menit, Masukkan ke dalam pirosofat, aduk tunggu 1 malam gelas ukur 1000 ml + H2O 1000 ml

Kocok dengan batang pengaduk Masukkan hydrometer ke dalam gelas 30 x naik turun ukur dan hidupkan stopwach


(9)

Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun

Acanthus ebracteus Acanthus ilicifolius

Acrostichum aureum Aegiceras cornilatum

Aegiceras floridum Avicennia alba


(10)

Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun. Lanjutan

Avicennia officinalis Bruguiera cylindrica

Bruguiera gymnorhyza Ceriops decandra

Ceriops tagal Excoecaria agallocha


(11)

Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun. Lanjutan

Nypa fruticans Rhizophora apiculata

Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa

Scyphiphora hydrophyllaceae Sesuvium portulacastrum


(12)

Lampiran 6. Keanekaragaman Jenis Mangrove pada Setiap Stasiun. Lanjutan

Sonneratia ovata Xylocarpus granatum


(13)

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D. G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Bengen, D. G. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL-IPB. Bogor.

Chaerani, N. 2011. Kerapatan, Frekuensi, dan Tingkat Penutupan Jenis Mangrove di Desa Coppo Kecamatan Barru Kabupten Barru. [Jurnal]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Darmadi, M. W., Lemuru dan A. M. A. Khan. 2012. Struktur Komunitas Vegetasi Mangrove Berdasarkan Karakteristik Substrat di Muara Harmin Desa Cangkring Kecamatan Cantigi Kabupaten Indramayu. Universitas Padjajaran, Bandung.

Departemen Kehutanan. 1992. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi (RTR) Daerah Pantai. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan, Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Eriza, A. O. 2010. Keanekaragaman Jenis Vegetasi di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan..

Gultom, S. 2010. Studi Keanekaragaman Mangrove Berdasarkan Tingkat Salinitas Air Laut di Desa Selotontong Kecamatan Sicanggang Kabupaten Langkat. Universitas Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan.

Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber hayati Perikanan Pantai. Litbang Pertanian 23(1). 15-21.

Harahap, A. A. 2010. Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera. Universitas Sumatera Utara. [Skripsi]. Medan.

Hutabarat, D., Yunasfi dan A. M. Rangkuti. 2015. Kondisi Ekologi Mangrove di Pantai Putra Deli Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. [Jurnal]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Sumatera Utara, Medan. Jamili., D. Setiadi., I. Qayyim., dan E. Guhardja. 2009. Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau

Kaledupa Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. [Jurnal]. Vol 14 (4):197-206. ISSN 0853-7291.


(14)

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004. Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove. Jakarta.

Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology. Universitas Of British Colombia. Harper Collins Publisher. New York.

Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kusmana, C. 2005. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Prosiding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta.

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008. Ekosistem Mangrove di Indonesia. Jakarta.

Lisnawati, L. A., B. Rochaddi., D. H. Ismunarti. 2013. Studi Tipe Pasang Surut di Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa Jepara, Jawa Tengah. [Jurnal]. Vol. 261-67.

Noor, Y. K., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor.

Nurrahman, Y. A., S. D. Otong dan R, Rita. 2012. Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Pesisir Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat. [Jurnal]. ISSN 2088-3137. Volume 3 Nomor 1 Maret 2012:99-107. Universitas Padajajaran, Bandung. Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Oleh : M. Eidman,

Koessoebiono dan D. G. Bengen, M. Hutomo dan Sukristijono). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Indonesia.

Purnamasari, D. 2010. Keanekaragaman Ikan di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Sitompul, O.S., Yunasfi., A. M. Rangkuti. 2014. Kondisi Ekologi Mangrove di Pantai Bali Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara. [Jurnal]. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Siregar, E. dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut. Kerjasama Pemkab Deli Serdang dan dengan LPPM [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Thalib, M. F. 2008. Struktur dan Pola Zonasi (Sebaran) Mangrove Serta Makrozoobentos yang Berkoeksistensi di Desa Tanah Merah dan Oebelo Kecil Kabupaten Kupang. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(15)

(16)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2016 di Dusun II Desa Pulau Sembilan, Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Identifikasi jenis mangrove dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengukuran substrat dilakukan di Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Pengukuran pH tanah dilakukan di Laboratorium Dasar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain adalah tali rafia, kantong plastik, parang, kompas, gunting, Global Positioning System (GPS), alat tulis, kamera, kertas milimeter, pH meter, termometer, hand refraktometer, pipa paralon berukuran 5 inchi, bola duga, meteran, papan tide, kayu berukuran ± 3 meter dan buku identifikasi mangrove. Bahan yang digunakan adalah bagian tumbuhan mangrove sebagai sampel, tissue, karet, kertas label, tally sheet dan spidol. Adapun alat dan bahan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Deskripsi Area

Lokasi pengambilan sampel berada di pesisir Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas ±15,65 km2. Lokasi penelitian di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu


(17)

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di pesisir Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat

a. Stasiun I

Stasiun I merupakan daerah pengamatan yang paling dekat ke arah laut yang masih sangat dipengaruhi oleh keadaan pasang surut air laut. Stasiun I berada pada titik koordinat 4°8’35”LU dan 98°14’38”BT. Lokasi stasiun I dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Lokasi Stasiun I

b. Stasiun II

Stasiun II merupakan daerah hutan mangroveyang berjarak sekitar 70 meter dari stasiun I dan merupakan daerah mangrove yang telah mengalami rehabilitasi. Stasiun II


(18)

berada pada titik koordinat 4°8’42”LU dan 98°14’42”BT. . Lokasi stasiun II dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Lokasi Stasiun II

c. Stasiun III

Stasiun III merupakan daerah yang berjarak sekitar 70 meter dari stasiun II. Stasiun III berada pada titik koordinat 4°8’45”LU dan 98°14’39”BT. Stasiun III merupakan daerah yang dekat dengan pertambakan masyarakat setempat. Lokasi stasiun III dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Lokasi Stasiun III

d. Stasiun IV

Stasiun IV merupakan daerah hutan mangrove yang berjarak sekitar 50 meter dari stasiun III. Stasiun IV berada pada titik koordinat 4°8’44”LU dan 98°14’39”BT. Stasiun


(19)

ini merupakan stasiun dengan kondisi yang masih alami. Lokasi stasiun III dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Lokasi Stasiun IV

e. Stasiun V

Stasiun V merupakan daerah yang paling dekat ke arah daratan dan merupakan stasiun yang memiliki kerapatan yang rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Stasiun V berada pada titik koordinat 4°8’43”LU dan 98°14’40”BT. Lokasi stasiun V dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Lokasi Stasiun V

Metode Pengambilan Sampel

Metode pengambilan sampel dilakukan secara Puposive Sampling pada 5 stasiun. Stasiun pengamatan terdiri atas 5 stasiun dengan area sepanjang garis transek yang


(20)

dibentangkan mulai dari batas laut tumbuhnya mangrove sampai batas daratan dimana mangrove masih tumbuh. Pada setiap stasiun ditentukan 5 transek/plot. Transek pertama dimulai dari arah laut menuju ke daratan dan tegak lurus garis pantai. Skematik transek pengukuran mangrove di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9. Adapun prosedur penelitian pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2.

Transek/plot

Stasiun I

Stasiun II Laut

Stasiun III

Stasiun IV

Stasiun V

Stasiun

Gambar 9. Skematik transek pengukuran mangrove di lokasi pengamatan

Pengambilan Contoh Vegetasi Mangrove

Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan transek garis (line transect). Transek garis ditarik dari titik acuan (pohon mangrove terluar) dengan arah tegak lurus garis pantai sampai ke daratan. Identifikasi jenis mangrove dapat


(21)

langsung ditentukan di lapangan dan jenis mangrove yang belum diketahui jenisnya diidentifikasi di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan dengan mengacu pada buku identifikasi Noor dkk (2006). Pada transek pengamatan dibuat petak-petak contoh untuk pengamatan dan identifikasi mangrove dengan mengacu pada Kusmana (1997) :

1. Pohon, adalah vegetasi mangrove yang memiliki diameter batang ≥ 10 cm pada petak contoh 10 x 10 meter.

2. Pancang, adalah anakan mangrove yang memiliki diameter batang kurang dari 10 cm

dengan tinggi lebih dari 1,5 meter pada petak contoh 5 x 5 meter.

3. Semai, adalah anakan mangrove yang memiliki tinggi kurang dari 1,5 meter pada petak contoh 2 x 2 meter.

Bentuk transek dan petak contoh untuk analisis vegetasi mangrove dapat dilihat pada Gambar 10.

10 m

10 m 50 m

Arah Rintis

10 m

10 m

Gambar 10. Bentuk Transek Petak Contoh untuk Analisis Vegetasi Mangrove.

Setelah dilakukan identifikasi jenis mangrove kemudian dilakukan pengambilan data tinggi dan diameter pohon. Pengambilan data dilakukan pada setiap jenis-jenis mangrove setiap transek yang ditemukan pada setiap stasiun.


(22)

Pengambilan Contoh Substrat

Pengambilan contoh substrat diambil menggunakan pipa 5 inchi. Proses ini dilakukan pada saat perairan surut bersamaan dengan pengambilan sampel mangrove. Pengambilan contoh ini dilakukan satu kali pada plot/transek. Karakteristik substrat yang dianalisis meliputi tekstur substrat.

Pengambilan Data Parameter Fisika Kimia Lingkungan

Pengukuran parameter fisika kimia lingkungan dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu 2 minggu selama jangka waktu penelitian. Parameter fisika kimia yang diukur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Parameter Fisika Kimia yang Diukur

Parameter Satuan Alat Tempat

Fisika

Suhu °C Termometer In Situ

Jenis Substrat - Pipa Paralon 5 inchi Ex Situ Arus m/s Bola duga In Situ

Kimia

Salinitas Ppt Refraktometer In Situ

pH - pH meter In Situ

Analisis Data

Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove

Analisa data yang dilakukan mengikuti Kusmana (1997), perhitungan nilai kuantitatif parameter vegetasi dalam penentuan indeks penting mencakup nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting.

1. Kerapatan Jenis dan Kerapatan Relatif


(23)

Kerapatan (K) =∑ Individu Suatu Jenis Luas Plot Pengamatan

Kerapatan relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah kerapatan jenis i dan jumlah total kerapatan seluruh jenis :

Kerapatan Relatif (KR) = K suatu jenis

K total seluruh jenisx100%

2. Frekuensi jenis dan Frekuensi Relatif

Frekuensi (F) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam semua plot yang diamati dibandingkan dengan jumlah total plot yang dibuat :

Frekuensi =∑jumlah plot sitemukan suatu spesies

∑seluruh plot pengamatan

Frekuensi relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis :

Frekuensi relatif (FR) = F suatu spesies

∑F �100% 3. Dominansi (Penutupan Jenis) dan Dominansi relatif (Penutupan Relatif)

Dominansi (D) adalah luas penutupan jeni ke-I dalam suatu unit tertentu :

D =∑BA

A Keterangan :

D : Dominansi (Penutupan Jenis) BA : Luas bidang dasar pohon 1

4��

2 dengan nilai = 3,1416 A : Luas petak contoh

Dominansi relatif (DR) yaitu perbandingan antara penutupan jenis ke-I dengan luas total penutupan untuk seluruh jenis :

D = D suatu spesies

∑D seluruh spesies x 100%


(24)

Indeks nilai penting adalah jumlah nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatof (FR) dan dominansi relatif jenis (DR).

Untuk pohon :

INP = KR + FR + DR Untuk semai dan pancang : INP = KR + FR

Nilai penting ini memberikan gambaran peranan suatu jenis mangrove dalam ekosistem tersebut. Indeks nilai penting memiliki kisaran antrara 0 – 300.

5. Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wienner

Keanekaragaman jenis dapat diartikan sebagai heterogenitas jenis dan merupakan ciri khas struktur komunitas. Berikut ini rumus keanekaragaman Shannon-Wienner.

H’ = - ∑ Pi ln Pi Keterangan :

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner

Pi : Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah individu total yaitu Pi = ni/N dengan ni : jumlah suatu spesies i

N : total jumlah spesies

6. Indeks Keseragaman

Keseragaman juga dapat dikatakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi individu tiap jenis yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks keseragaman dinyatakan sebagai berikut (Krebs, 1989):

J′= H′


(25)

J’ : Indeks keseragaman (Evennes)

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner

H max : Log2S

S = jumlah spesies atau taksa

Nilai indeks keseragaman spesies berkisar antara 0 – 1. Bila nilai indeks keseragaman mendekati 0, maka dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadi dominasi spesies. Bila nilai keseragaman mendekati 1, maka ekosistem tersebut berada dalam kondisi yang relatif merata..

Kriteria Baku Mutu Kerusakan Mangrove

Kriteria baku kerusakan mangrove ditentukan berdasarkan persentase luas tutupan dan nilai kerapatan mangrove (tegakan/ha) yang hidup (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.201 Tahun 2004). Tabel kriteria baku kerusakan mangrove dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan

(Tegakan/ha)

Baik Sangat Padat > 70 > 1500

Rusak Sedang > 50 - >70 > 1000 - < 1500

Berat Sedikit < 50 < 1000

Analisis pH Tanah

Penentuan pH tanah menggunakan metode elektrometri. Cara elektrometri menggunakan alat pH meter yang dilengkapi dengan elektroda dan biasanya cara ini digunakan dilaboratorium. Hasil pengukuran pH dengan cara elektrometri lebih teliti dibandingkan dengan cara colorimetri. Perbandingan air dengan tanah biasanya dipakai 1 : 25. Adapun prosedur penghitungan pH tanah (Ex situ) dapat dilihat pada Lampiran 4.


(26)

Analisis Substrat

Langkah-langkah dalam penentuan tekstur substrat segitiga USDA yaitu :

1. Menentukan komposisi dari masing-masing fraksi substrat. Misalnya, fraksi pasir 45%, debu 30% dan liat 25%.

2. Menarik garis lurus pada sisi persentase pasir dititik 45% sejajar dengan persentase debu, kemudian ditarik garis lurus pada sisi persentase debu dititik 30% sejajar dengan sisi persentase liat, dan tarik garis lurus pada sisi persentase liat 25% sejajar dengan sisi persentase pasir.

3. Titik perpotongan ketiga garis tersebut akan menentukan tipe substrat yang dianalisis. Tekstur substrat dianalisis berdasarkan Segitiga USDA. Adapun prosedur. Adapun prosedur penghitungan tekstur tanah dapat dilihat pada Lampiran 5.


(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

1. Komposisi Vegetasi Mangrove

Hasil analisis data vegetasi mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan dengan menggunakan metode transek garis pada 5 stasiun sehingga diperoleh vegetasi mangrove dengan total identifikasi jenis berjumlah 27 spesies mangrove. Komposisi vegetasi mangrove yang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Komposisi dan Jenis Mangrove

No. Nama Spesies Mangrove St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5

1. Acanthus ebracteus -  -  -

2. Acanthus ilicifolius - - -  

3. Acrostichum aureum - - -  

4. Aegiceras cornilatum - - -  -

5. Aegiceras floridum  -   -

6. Avicennia alba  - - - -

7. Avicennia lanata -   - -

8. Avicennia marina  -   -

9. Avicennia officinalis  - - - -

10. Bruguiera cylindrica  -   -

11. Bruguiera gymnorhyza   -  -

12. Ceriops decandra     

13. Ceriops tagal    - 

14. Excoecaria agallocha - - -  

15. Lumnitzera littorea - -   

16. Lumnitzera racemosa - - - - 

17. Nypa fruticans  -   

18. Rhizophora apiculata     

19. Rhizophora mucronata    - 

20. Rhizophora stylosa     -

21. Scyphiphora hidrophidacae -    

22. Sesuvium portucastrum -  - - -

23. Sonneratia alba   -  

24. Sonneratia caseolaris -  -  -

25. Sonneratia ovata - -   -

26. Xylocarpus granatum    - -

27. Xylocarpus moluccensis  - - - -

Total Spesies 15 13 14 18 12

Keterangan :  = Ada - = Tidak Ada


(28)

2. Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan

Pada stasiun 1 ditemukan 15 jenis mangrove yaitu A. floridum, A.alba, A.marina, A. officinalis, B. cylindrica, B. gymnorhyza, C. decandra, C. tagal, N.

fruticans, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S. alba, X. granatum, dan X. moluccensis. Kerapatan jenis mangrove yang paling tinggi pada stasiun I yaitu S.alba.

Kerapatan jenis mangrove pada stasiun I dapat dilihat pada gambar 11.

(a). Semai (b). Pancang 10000 10833 13333 9167 19167 0 5000 10000 15000 20000 25000 K e r ap at an Je ni s ( Ind/ ha) Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Ceriops tagal 2133 1467 1733 1867 2533 1067 1600 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 K e r ap at an Je ni s ( Ind/ ha) Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum Bruguiera cylindrica Sonneratia alba


(29)

(c). Pohon

Gambar 11. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun I (a) Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

Jenis mangrove yang ditemukan distasiun II yaitu 13 jenis antara lain A.ebracteus, A. lanata, B. gymnorhyza, C. decandra, C. tagal, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S. hidrophidacae, S. portucastrum, S. alba, dan S. caseolaris. Kerapatan jenis mangrove yang paling tinggi pada stasiun II yaitu R. apiculata. Kerapatan mangrove pada stasiun II dapat dilihat pada gambar 12.

(a). Semai 567 367 267 233 133 233 367 167 333 267 367 767 133 267 233 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) R. apiculata R. stylosa R. mucronata C. decandra A. officinalis X. moluccensis X. granatum A. marina N. fruticans B. gymnorhyza B. cylindrica 5833 20000 8333 6667 5833 10000 13333 0 5000 10000 15000 20000 25000 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Acanthus ebracteus Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Sonneratia alba Scyphiphora hidrophidacae Rhizophora mucronata Sesuvium portucastrum


(30)

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 12. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun II (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

Jenis mangrove yang ditemukan distasiun III yaitu 14 jenis antara lain A. floridum, A.lanata, A. marina, B. cylindrica, C. decandra, C. tagal, L.littorea, N. fruticans, R.apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S.hidrophidaca, S.ovata, dan X. granatum. Kerapatan jenis mangrove yang paling tinggi pada stasiun III yaitu R.stylosa. Kerapatan mangrove pada stasiun III dapat dilihat pada gambar 13.

2267 1600 1467 533 667 1333 933 1867 0 500 1000 1500 2000 2500 /ha) ke r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhyza Scyphiphora hidrophidacae Sonneratia caseolaris 733 567 367 433 533 433 367 567 267 267 233 0 100 200 300 400 500 600 700 800 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum Bruguiera gymnorhyza Sonneratia alba Ceriops tagal Avicennia lanata Rhizophora mucronata Sonneratia caseolaris


(31)

(a). Semai

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 13. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun III (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

9167 15000 10833 5833 7500 11667 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 K e r ap at an j e ni s (I nd/

ha) Ceriops tagal

Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata 1200 1733 533 667 2133 1467 933 667 1067 0 500 1000 1500 2000 2500 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Rhizophora apiculata Ceriops tagal Scyphiphora hidrophidacae Avicennia marina Rhizophora stylosa Avicennia lanata Rhizophora mucronata Ceriops decandra 333 400 167 400433 267 233 567 233 367 167 267 233 0 100 200 300 400 500 600 ke r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Bruguiera cylindrica Avicennia lanata Lumnitzera littorea Rhizophora apiculata Nypa fruticans Ceriops decandra Sonneratia ovata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum Ceriops tagal


(32)

Jenis mangrove yang ditemukan distasiun IV yaitu 18 jenis antara lain A. aureum, A.marina, B. cylindrica, C. decandra, E.agallocha, L. littorea, N. fruticans, R. apiculata, R. stylosa, S. hidrophidacae, dan S. alba. Kerapatan jenis

mangrove yang paling tinggi pada stasiun IV yaitu B. cylindrica. Kerapatan pada stasiun IV dapat dilihat pada gambar 14.

(a). Semai (b). Pancang 5000 6667 4167 15000 11667 7500 10000 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 K e r ap at an j e ni s (I nd/ ha) Sonneratia caseolaris Sonneratia alba Acanthus ebracteus Bruguiera cylindrica 933 1467 1067 1333 667 1600 667 2133 933 0 500 1000 1500 2000 2500 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Acanthus ilicifolius Sonneratia alba Acanthus ebracteus Lumnitzera littorea Scyphophora hidrophidacae


(33)

(c). Pohon

Gambar 14. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun IV (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

Jenis mangrove yang ditemukan di stasiun V 12 jenis antara lain A. ilicifolius, A. aureum, C. decandra, C. tagal, E. agallocha, L. littorea, L. racemosa, N. fruticans, R. apiculata, R.hizophora mucronata, S.hidrophidacae, dan S. alba. Kerapatan mangrove yang paling tinggi pada stasiun V yaitu E.agallocha. Kerapatan kategori semai stasiun V dapat dilihat pada gambar 15.

(a). Semai 133 333367 200233 167 300 433 133 500533 200233 267 767 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 S onne ra ti … Ce ri o p s … S onne ra ti … A ca nt hus … A v icen n i… A eg icer as … A cr o st ich … R hi zopho … Bru g u ie ra … R hi zopho … N yp a … S onne ra ti … A eg icer as … E x co ecar i… Bru g u ie ra … ke r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Sonneratia caseolaris Ceriops decandra Sonneratia alba Acanthus ilicifolius Avicennia marina Aegiceras cornilatum Acrostichum aureum Rhizophora stylosa 5833 4167 10833 5000 6667 0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Rhizophora apiculata Ceriops tagal Excoecaria agallocha Sonneratia alba


(34)

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 15. Kerapatan jenis mangrove di Stasiun V (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

Frekuensi

Pada stasiun I kategori semai R. stylosa, C. tagal dan C. decandra ditemukan pada dua plot dari tiga plot. R. apiculata ditemukan pada tiga plot pengamatan. Dari kategori Pancang dan pohon R. apiculata, B. cylindrica, dan N. fruticans ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun I ditampilkan pada Gambar 16.

2133 1200 667 2400 1867 1467 1333 800 933 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 K e r ap at an Je ni s (I nd/ ha) Rhizophora apiculata Ceriops decandra Acanthus ilicifolius Excoecaria agallocha Ceriops tagal Acrostichum aureum Lumnitzera racemosa Scyphiphora hydropllaceae 467 400 433 867

167 200233 333 167 133 267 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 K e r ap at an Je ni s (I nd/

ha) Rhizophora apiculata

Ceriops decandra Ceriops tagal Excoecaria agallocha Sonneratia alba


(35)

(a). Semai

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 16. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun I (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

1,00

0,67 0,67 0,67

1,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Ceriops tagal Ceriops decandra Sonneratia alba 1,00 0,67 0,67 1,00 1,00 0,67 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum 1,00 0,670,670,67 0,330,33 0,67 0,33 1,00 0,67 1,001,00 0,330,33 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 R. … R . st y lo sa R. … C. … A. … X . … X . … A . ma ri n a N. … B. … B. … S . al b a A. a lb a A. … C . t ag al F rek u en si R. apiculata R. stylosa R. mucronata C. decandra A. officinalis X. moluccensis X. granatum A. marina N. fruticans


(36)

Pada stasiun II kategori semai R. stylosa dan S. alba ditemukan pada tiga plot pengamatan. S. hidrophidacae ditemukan pada satu plot dari tiga plot pengamatan. Dari kategori Pancang dan pohon R. apiculata, R. stylosa dan B.cylindrica ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun II ditampilkan pada Gambar 17.

(a). Semai (b). Pancang 0,67 1,00 0,67 1,00 0,33 0,67 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhyza Scyphiphora hidrophidacae Sonneratia caseolaris

1,00 1,00 1,00

0,33 0,33

0,67 0,67 0,67

0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhyza Scyphiphora hidrophidacae Sonneratia caseolaris Avicennia lanata Xylocarpus granatum Rhizophora mucronata


(37)

(c). Pohon

Gambar 17. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun II (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

Pada stasiun III kategori semai R. apiculata ditemukan pada tiga plot pengamatan. C. tagal, R. stylosa dan R. mucronata ditemukan pada dua plot dari tiga plot pengamatan. C. decandra dan A. marina ditemukan pada satu plot dari tiga plot pengamatan. Dari kategori Pancang dan pohon R.apiculata, C.tagal dan N. fruticans ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun II ditampilkan pada Gambar 18.

(a). Semai 1,00 1,00 0,67 1,00 1,00 0,33 0,67 0,67 0,33 0,67 0,33 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum Bruguiera gymnorhyza Sonneratia alba Ceriops tagal Avicennia lanata Rhizophora mucronata Sonneratia caseolaris Nypa fruticans Ceriops decandra 0,67 1,00 0,67 0,33 0,33 1,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Ceriops tagal Rhizophora stylosa Rhizophora mucronata Ceriops decandra Avicennia marina Rhizophora apiculata


(38)

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 18. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun III (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

Pada stasiun IV kategori semai R. apiculata dan B. cylindrica ditemukan pada tiga plot pengamatan. S. alba, dan L. littorea ditemukan pada dua plot dari tiga plot pengamatan. S. caseolaris dan A. ebracteus ditemukan pada satu plot dari tiga plot pengamatan. Dari kategori Pancang dan pohon A.aureum, B.cykindrica dan C. decandra ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun IV ditampilkan pada Gambar 19.

0,67 1,00 0,33 0,33 1,00 0,67 0,67 0,33 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Ceriops tagal Scyphiphora hidrophidacae Avicennia marina Rhizophora stylosa Avicennia lanata Rhizophora mucronata Ceriops decandra Bruguiera cylindrica 0,670,67 0,33 1,001,00 0,330,33 1,00 0,33 1,00 0,33 0,67 0,33 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Bruguiera cylindrica Avicennia lanata Lumnitzera littorea Rhizophora apiculata Nypa fruticans Ceriops decandra Sonneratia ovata Rhizophora stylosa Xylocarpus granatum Ceriops tagal


(39)

(a). Semai

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 19. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun IV (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

0,33 0,67 0,33 1,00 1,00 0,67 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Sonneratia caseolaris Sonneratia alba Acanthus ebracteus Bruguiera cylindrica Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Lumnitzera littorea 0,33

0,67 0,67 0,67 0,33 1,00 0,33 1,00 1,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Acanthus ilicifolius Sonneratia alba Acanthus ebracteus Lumnitzera littorea Scyphophora hidrophidacae Acrostichum aureum Aegiceras floridum Bruguiera cylindrica Ceriops decandra 0,33 1,00 0,67 0,330,330,33 0,670,67 0,33 0,67 1,00 0,330,330,33 1,00 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 S o n n er at ia … C er io p s … S o n n er at ia … A ca n th u s … A v ice n n ia … A eg ic er as … A cr o st ich u … R h iz o p h o ra … B ru g u ie ra … R h iz o p h o ra … N yp a … S o n n er at ia … A eg ic er as … E x co ecar ia … B ru g u ie ra … F rek u en si Sonneratia caseolaris Ceriops decandra Sonneratia alba Acanthus ilicifolius Avicennia marina Aegiceras cornilatum Acrostichum aureum Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhyza Rhizophora apiculata


(40)

Pada stasiun V kategori semai E. agallocha dan R. apiculata ditemukan pada tiga plot pengamatan. S. hydropllaceae ditemukan pada dua plot dari tiga plot pengamatan. Dari kategori Pancang dan pohon A. aureum, R. apiculata dan E. agallocha ditemukan pada tiga plot pengamatan. Perbandingan frekuensi masing-masing jenis mangrove pada stasiun V ditampilkan pada Gambar 20.

(a). Semai

(b). Pancang

(c). Pohon

Gambar 20. Frekuensi jenis mangrove di Stasiun V (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

1,00 0,33 1,00 0,33 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Ceriops tagal 1,00 0,67 0,33 1,00 0,67 1,00 0,67 0,33 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Ceriops decandra 1,00 0,670,67 1,00 0,33 0,670,67 1,00 0,330,33 0,67 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 F rek u en si Rhizophora apiculata Ceriops decandra Ceriops tagal Excoecaria agallocha Sonneratia alba Lumnitzera littorea


(41)

Dominansi Relatif

Pada stasiun I nilai dominansi pohon paling tinggi, yaitu X. mollucensis sebesar 12,73%. Pada stasiun II nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu X. granatum sebesar 14,90. Pada stasiun III nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu B.cylindrica yaitu 11,50%. Pada stasiun IV nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu S.ovata yaitu 5,77. Pada stasiun V nilai dominansi pohon paling tinggi yaitu N. fruticans yaitu 6,74. Perbandingan nilai dominansi jenis mangrove dilihat pada Gambar 21.

(a). Dominansi Pohon pada Stasiun I

(b). Dominansi Pohon pada Stasiun II

3,44 5,865,656,14 7,18 12,73 5,27 6,957,637,097,356,817,21 5,69 4,99 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 R. … R . st y lo sa R. … C. … A. … X . … X . … A . ma ri n a N. … B. … B. … S . al b a A. a lb a A. … C . t ag al D om in ans i R elat if ( % ) R. apiculat a R. stylosa R. mucrona ta C. decandr a 7,897,97 14,90 9,139,18 6,85 8,368,369,20 11,01 7,14 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 D om in an si R e lat if ( %

) Rhizophora apiculata

Rhizophora stylosa

Xylocarpus granatum


(42)

(c). Dominansi Pohon pada Stasiun III

(c). Dominansi Pohon pada Stasiun IV

(d). Dominansi Pohon pada Stasiun V

Gambar 21. Dominansi jenis mangrove di Stasiun V (a). Semai, (b) Pancang dan (c) Pohon

11,50 8,147,59 6,66 9,25 6,33 8,59 6,926,806,586,907,287,45 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 D o m in a n si R e la tif ( %) Bruguiera cylindrica Avicennia lanata Lumnitzera littorea Rhizophora apiculata Nypa fruticans 6,31 5,27 8,09

5,876,665,596,265,305,925,60 12,01 6,93 6,116,19 7,89 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 S o n n er at ia … C er io p s … S o n n er at ia … A ca n th u s … A v ice n n ia … A eg ic er as … A cr o st ich u … R h iz o p h o ra … B ru g u ie ra … R h iz o p h o ra … N yp a … S o n n er at ia … A eg ic er as … E x co ecar ia … B ru g u ie ra … D om in an si R e lat if ( % ) Sonneratia caseolaris Ceriops decandra Sonneratia alba Acanthus ilicifolius Avicennia marina Aegiceras cornilatum Acrostichum aureum Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhyza Rhizophora apiculata Nypa fruticans 8,64 7,647,768,58 10,99 8,248,628,218,438,81 14,08 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 D om in an si R e lat if ( % ) Rhizophora apiculata Ceriops decandra Ceriops tagal Excoecaria agallocha Sonneratia alba Lumnitzera littorea Lumnitzera racemosa Acrostichum aureum Scyphiphora hydropllaceae Rhizophora mucronata Nypa fruticans


(43)

Indeks Nilai Penting (INP)

Vegetasi yang terdapat pada suatu wilayah tentu akan memiliki pengaruh atau peranan terhadap lingkungan sekitarnya, besarnya pengaruh atau peranan suatu jenis vegetasi pada suatu lokasi biasa ditentukan dengan INP (Indeks Nilai Penting), maka banyak jumlah vegetasi yang ditemukan, semakin tinggi frekuensi yang ditemukannya, semakin besar diameter batang yang dimilikinya tentu akan memperbesar nilai dari INP tersebut. Nilai INP dari jenis semai, pancang dan pohon dapat dilihat pada Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6.

Tabel 4. Indeks Nilai Penting Semai

No Spesies Stasiun

I II III IV V

1. R. apiculata 41,00 48,57 44,44 40,87 47,95

2. R. stylosa 34,00 25,24 50,00 26,79 -

3. C. tagal 38,00 - 31,94 - 22,82

4. C. decandra 31,33 - 18,06 - -

5. S. alba 58,33 29,52 - 25,40 25,38

6. A. ebracteus - 21,67 - 14,09

7. S. hidrophidaceae - 15,00 - - 40,51

8. R. mucronata - 27,62 34,72 - -

9. S. portucastrum - 32,38 - - -

10. A. marina - - 20,83 - -

11. S. caseolaris - - - 15,48 -

12. B. cylindrica - - - 46,43 -

13. L. littorea - - - 30,95 -

14. E. agallocha - - - - 57,78


(44)

Tabel 5. Indeks Nilai Penting Pancang

No Spesies Stasiun

I II III IV V

1. R. apiculata 34,85 38,90 23,30 - 32,46

2. R. stylosa 23,59 32,65 38,16 - -

3. X. granatum 25,74 20,51 - - -

4. B. cylindrica 32,70 - 22,02 36,42 -

5. S. alba 38,08 - - 24,69 -

6. C. tagal 20,37 - 34,31 - 25,11

7. R. mucronata 24,67 29,26 20,74 - -

8. B. gymnorhyza - 31,40 - - -

9. S. hidrophidacae - 10,88 11,01 11,73 11,51

10. S. caseolaris - 12,13 - - -

11. A. lanata - 24,26 25,87 - -

12. A. marina - - 12,29 - -

13. C. decandra - - 12,29 25,31 19,90

14. A. ilicifolius - - - 14,20 10,47

15. A. ebracteus - - - 20,99 -

16. L.littorea - - - 23,46 17,82

17. A. aureum - - - 31,48 27,25

18. A. floridum - - - 11,73 -

19. E. agallocha - - - - 34,54

20. L. racemosa - - - - 20,94


(45)

Tabel 6. Indeks Nilai Penting Pohon

No Spesies Stasiun

I II III IV V

1. R. apiculata 25,84 36,32 28,99 24,02 35,00

2. R. stylosa 20,56 32,90 33,36 22,33 -

3. R. mucronata 18,22 28,94 22,17 - 16,99

4. C. decandra 18,00 16,38 17,06 24,21 27,64

5. A. officinalis 13,46 - - - -

6. X. mollucensis 21,14 - - - -

7. X. granatum 19,97 31,29 16,71 - -

8. A. marina 13,95 - 17,36 15,52 -

9. N. fruticans 25,07 25,30 32,40 35,12 30,44

10. B. gymnorhyza 19,66 31,27 - 12,70 -

11. B. cylindrica 25,49 - 28,03 35,87 -

12. S. alba 33,47 33,41 - 23,73 20,08

13. A. alba 13,50 - - - -

14. A. floridum 14,81 - 15,17 14,97 -

15. C. tagal 16,85 20,29 28,10 - 28,67

16. A. lanata - 24,75 26,31 - -

17. S. caseolaris - 19,14 - 13,08 -

18. L. littorea - - 15,86 - 22,78

19. S. ovata - - 18,50 15,09 -

20. A. ilicifolius - - - 14,04 -

21. A. cornilatum - - - 13,07 -

22. A. aureum - - - 20,51 30,94

23. E. agallocha - - - 15,74 45,85

24. L. racemosa - - - - 24,08

25. S. hydropllaceae - - - - 17,52


(46)

Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (J’)

Nilai Indeks keanekaragaman (H’) paling tinggi terdapat pada stasiun I pada kategori pohon sebesar 2,59. Nilai indeks keanekaragaman (H’) paling rendah yaitu pada stasiun V kategori semai dengan nilai 1,55. Nilai Indeks keseragaman (J’) tertinggi terdapat pada stasiun I pada kategori Pohon sebesar 1,06 dan nilai indeks keseragaman (J’) paling rendah yaitu terdapat pada stasiun I pada kategori semai dengan nilai 0,72. Indeks keanekaragaman (H’) dan indeks keseragaman (J’) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Jenis Mangrove

Indeks Indeks

Stasiun Kategori Keanekaragaman

(H’)

Keseragaman (J’)

Stasiun I Semai 1,55 0,71

Pancang 1,92 0,85

Pohon 2,59 1,06

Stasiun II Semai 1,84 0,83

Pancang 1,99 0,90

Pohon 2,34 0,95

Stasiun III Semai 1,75 0,81

Pancang 2,10 0,96

Pohon 2,50 1,05

Stasiun IV Semai 1,86 0,86

Pancang 2,13 0,96

Pohon 2,36 0,96

Stasiun V Semai 1,59 0,83

Pancang 2,13 0,93

Pohon 2,24 0,96

Karakteristik Fisika Kimia Lingkungan

Pengukuran parameter fisika kimia perairan pada kawasan ekosistem mangrove Dusun II Pulau Sembilan meliputi pengukuran suhu, arus, salinitas dan pH air yang dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval waktu 2 minggu. Hasil pengukuran parameter fisika kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 8.


(47)

Tabel 8. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan

Parameter Stasiun

Ulangan (2 minggu)

Suhu Air (0C)

Kecepata n Arus (m/s)

Salinitas (ppt)

pH Air

Rata-rata

Stasiun I 29 0,35 24 7.23

Stasiun II

Rata-rata

29 0,15 26 7.03

Stasiun III

Rata-rata

30 0,18 25 7.33

Stasiun IV

Rata-rata

29 0,27 26 7.10

Stasiun V

Rata-rata

30 0,13 26 7.06

Berdasarkan perhitungan rata-rata nilai parameter fisika kimia air yang dilakukan secara in-situ dilapangan, pada kelima stasiun pada setiap stasiun pengamatan suhu air masih tergolong normal yaitu rata rata 29°C - 30°C. Kecepatan arus yang paling tinggi terdapat pada stasiun 1, dimana posisi stasiun dekat ke arah laut. Salinitas pada setiap stasiu pengamatan masih tergolong baik untuk pertumbuhan mangrove yaitu kisaran 24‰ - 26‰. Nilai derajat keasaman (pH) air pada setiap stasiun pengamatan juga tergolong normal untuk pertumbuhan mangrove yaitu kisaran 7,0 – 7,3.

Karakteristik pH Tanah

Karakteristik pH tanah pada setiap 5 stasiun dan terbagi dalam 3 plot pengamatan. Analisis pH tanah dilakukan di laboratorium secara ex-situ. Hasil pengukuran parameter kimia (pH) tanah dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Pengukuran Kimia (pH) Tanah

Stasiun Plot Nilai Derajat Keasaman

(pH) Tanah


(48)

Plot 1 7,19 Basa

Stasiun I Plot 2 6,69 Basa

Plot 3 6,55 Basa

Plot 1 6,77 Basa

Stasiun II Plot 2 7,18 Basa

Plot 3 7,01 Basa

Plot 1 7,02 Basa

Stasiun III Plot 2 6,74 Basa

Plot 3 7,21 Basa

Plot 1 6,69 Basa

Stasiun IV Plot 2 6,59 Basa

Plot 3 6,60 Basa

Plot 1 5,64 Asam

Stasiun V Plot 2 5,00 Asam

Plot 3 6,41 Basa

Berdasarkan hasil analisis nilai pH tanah secara ex-situ dilaboratorium, pada setiap stasiun pengamatan nilai pH tanah cenderung basa, dengan kisaran nilai pH 6,59 – 7,21, nilai pH tanah tersebut masih tergolong normal untuk pertumbuhan mangrove. Pada stasiun 5 diperoleh nilai pH ˂6, yaitu 5,00 - 5,64 yang termasuk dalam kategori asam. Posisi stasiun 5 terletak paling dekat dengan daratan, dan merupakan bekas lahan pertambakan masyarakat setempat. Keadaaan tanah pada stasiun 5 kering dengan substrat yang tidak begitu berlumpur, sedikit berbeda dengan stasiun pengamatan lainnya.


(49)

Karakteristik Substrat

Karakteristik substrat mangrove yang diamati pada 5 stasiun pengamatan yang terbagi dalam 3 plot meliputi tekstur substrat yang dianalisis secara ex-situ dilaboratorium. Karakteristik tekstur substrat dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Karakteristik Tekstur Substrat

Stasiun Plot Tekstur (%) Tipe Substrat Pasir Debu Liat

1 58 34 8 Lempung berpasir

Stasiun I 2 40 28 32 Lempung berliat

3 54 36 10 Lempung berpasir

1 32 48 20 Lempung

Stasiun II 2 34 28 38 Lempung berliat

3 34 30 36 Lempung berliat

1 22 30 48 Liat

Stasiun III 2 32 26 42 Liat

3 30 28 42 Liat

1 32 32 36 Lempung berliat

Stasiun IV 2 30 28 42 Liat

3 22 32 46 Liat

1 68 20 12 Lempung berpasir

Stasiun V 2 62 2 36 Liat berpasir

3 38 28 34 Lempung berliat

Berdasarkan hasil analisis tekstur substrat secara ex-situ dilaboratorium,. Pada stasiun I dan II tipe substrat cenderung lempung, lempung berpasir dan lempung berliat. Pada stasiun III tipe substrat pada setiap plot pengamatan relatif sama yaitu liat. Pada stasiun IV tipe substrat lempung berliat dan relatif liat. Pada stasiun V tipe substrat lempung berpasir, liat berpasir dan lempung berliat


(50)

Pasang Surut

Gambar 16. Grafik tinggi Pasang Surut tanggal 24 Maret s/d 07 April 2016

Pasang surut air laut sangat dipengaruhi oleh pergerakan bulan. Menurut Malik dkk (1999) menyatakan bahwa meskipun pengaruhnya tidak sebesar arus, pasang surut juga mempengaruhi dinamika air sekitar pantai. Pergerakan air akan lebih mudah diamati di daerah estuaria yang lebar. Pada pasang naik, air tawar mengalir ke laut di atas massa air asin yang bergerak di darat. Pasang tertinggi berada pada posisi dengan nilai 134.69 cm pada jam 241 di tanggal 3 April 2016. Sedangkan surut terendah berada dengan nilai -139.67 cm pada jam 269 pada tanggal 04 April 2016.


(51)

Pembahasan

Kondisi Ekosistem Mangrove Kerapatan

Berdasarkan hasil analisis vegetasi, kerapatan jenis mangrove dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu pohon, pancang dan semai. Masing-masing stasiun memiliki panjang transek 100 meter. Stasiun I merupakan stasiun yang paling dekat ke arah laut. Pada stasiun I, dari kategori semai S. alba memiliki nilai kerapatan tertinggi sebesar 19167 ind/ha, dari kategori pancang jenis S. alba memiliki nilai kerapatan tertinggi sebesar 2533 ind/ha, dari kategori pohon jenis S. alba 767 ind/ha. Hal ini berarti S. alba mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan yang berada Stasiun I.

Hal ini berarti Sonneratia spp. mampu beradaptasi dengan baik dilingkungan yang berada di stasiun I. Hal initidak berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Bengen (2004) yang menyatakan bahwa Sonneratia spp. merupakan spesies yang dapat tumbuh pada daerah paling dekat dengan laut dan dengan substrat agak berpasir. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat adat dan nilai kerapatan pohon di stasiun I termasuk dalam kategori sangat padat.

Stasiun II memiliki jenis mangrove yang lebih sedikit dari pada stasiun I. Nilai kerapatan jenis R.apiculata tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan nilai 20000 ind/ha, 11333 ind/ha dan 733 ind/ha. Hal ini diduga karena pernah dilakukan penanaman mangrove jenis ini dan mangrove jenis R. apiculata memiliki pertumbuhan yang relatif cepat. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon di stasiun II termasuk dalam kategori sangat padat.


(52)

Pada stasiun III memiliki jenis mangrove yang lebih banyak dari pada stasiun II. Nilai kerapatan R. stylosa tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan nilai 15000 ind/ha, 2133 ind/ha dan 567 ind/ha. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004 nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon termasuk dalam kriteria sangat padat.

Pada stasiun IV memiliki jenis mangrove yang lebih banyak dari pada stasiun III. Nilai kerapatan B. cylindirca tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan nilai 15000 ind/ha, 2133 ind/ha dan767 ind/ha. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004 nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon termasuk dalam kriteria sangat padat.

Berdasarkan hal ini berarti Bruguiera spp. mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan yang berada di stasiun IV. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Huatabarat (2015) di pesisir Pantai Putra Deli Kabupaten Deli Serdang bahwa Bruguiera spp. dominan berada di lokasi pengamatan karena dapat beradaptasi dengan baik di daerah stasiun pengamatan. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon di stasiun IV termasuk dalam kategori sangat padat.

Pada stasiun V merupakan stasiun yang paling dekat dengan muara sungai atau bagian estuari dan mengarah ke arah daratan.Stasiun V memiliki jenis mangrove yang lebih sedikit dari pada stasiun IV. Nilai kerapatan E. agallocha tertinggi pada tingkat pohon, pancang dan semai yaitu dengan nilai 10833 ind/ha, 2400 ind/ha dan 867 ind/ha. Berdasarkan Kepmen LH No. 201 tahun 2004, nilai kerapatan semai dan pancang termasuk dalam kategori sangat padat dan nilai kerapatan pohon di stasiun V termasuk dalam kategori sangat padat. yang menyatakan bahwa kerapatan mangrove mulai dari ≥ 1.500


(53)

pohon/ha dikategorikan dalam kriteria baik (padat). Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi mangrove pada kelima stasiun dalam kategori baik (padat).

Berdasarkan hal ini berarti Excoecaria. mampu beradaptasi dengan baik di

lingkungan yang berada di stasiun V. Hal ini tidak berbeda dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sitompul (2014) yang menyatakan bahwa di pesisir Pantai Bali Kabupaten Batubara yang menyatakan Excoecaria dominan berada di lokasi pengamatan karena dapat beradaptasi dengan baik didaerah yang paling dekat dengan muara sungai atau bagian estuari yang mengarah ke daratan.

Kerapatan jenis mangrove didominasi oleh jenis yang berbeda-beda pada tiap stasiun pengamatan tergantung daya adaptasi dan faktor yang mempengaruhi jenis mangrove tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmadi (2012) bahwa tingginya nilai kerapatan serta beragamnya jenis mangrove yang ditemukan dapat mengindikasikan bahwa tingkat regenerasi mangrove baik dan dapat bertahan pada kondisi lokal tersebut.

Dari hasil pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode analisis vegetasi, didapat hasil bahwa jenis mangrove yang dominan pada stasiun I adalah Sonneratia alba dengan kerapatan sebesar 3833 ind/ha, dimana posisi stasiun I tersebut sangat dekat kearah laut sehingga dapat dikaitkan dengan pembagian zonasi mangrove. Menurut Bengen (2001) jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi. Zonasi pertama yaitu zona api-api-prepat (Avicennia spp., - Sonneratia spp.,) terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan kadar garam agak tinggi,


(54)

Berdasarkan pengamatan langsung ke lapangan yang telah dilakukan, didapat hasil jenis pohon mangrove yang dominan pada stasiun II adalah R. apiculata dengan kerapatan sebesar 3666 ind/ha, dimana posisi stasiun tersebut ± 80 meter dari stasiun I. Menurut Bengen (2001) menyatakan bahwa Zona bakau (Rhizophora spp.,) biasanya terletak dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp.,) dan dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.,).

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dengan menggunakan metode analisis vegetasi, diperoleht hasil bahwa jenis mangrove yang dominan pada stasiun III adalah R. apiculata dan R. stylosa dengan kerapatan sebesar 2000 ind/ha, diikuti mangrove B. cylindrica dengan kerapatan sebesar 1666 ind/ha dan N. fruticans dengan kerapatan sebesar 2333 ind.ha. Menurut Bengen (2001) pengaruh air laut sama dengan pengaruh air tawar yang dicirikan oleh mintakan tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora spp. – Bruguiera spp., dan diakhiri komunitas murni N. fruticans.

Kerapatan jenis mangrove yang berbeda-beda setiap stasiun pengamatan salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan terhadap jenis mangrove yang ada pada lokasi stasiun masing-masing. Hal ini sesuai dengan Hasmawati (2001) yang menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi satu sama lain secara kompleks akan menghasilkan asosiasi jenis yang juga kompleks dimana distribusi individu jenis tumbuhan mangrove sangat dikontrol oleh variasi faktor-faktor lingkungan.

Frekuensi

Berdasarkan Gambar 17, Gambar 18, Gambar 19, Gambar 20 dan Gambar 21 di dapat hasil bahwa jenis R. apiculata dan C. decandra lebih dominan di temukan pada hampir semua stasiun pengamatan disetiap plot dalam stasiun, yang artinya jenis tersebut


(55)

ditemukan pada ke lima stasiun pengamatan. Hal ini dikarenakan jenis tersebut mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Jamili, dkk (2009) yang menyatakan bahwa Rhizophora spp dan Ceriops spp memiliki cara adaptasi perkembangbiakan alami yang sama yaitu dengan propagul (vivipar). Rhizophora spp berada di daerah yang selalu terkena pasang harian dengan penggenangan yang tinggi, memiliki akar tunjang dan ukuran propagul yang jauh lebih lebih panjang, dan Ceriops spp. yang tumbuh di daerah yang hanya terkena genangan pada saat pasang tertinggi dan mempunyai akar lutut.

Pada stasiun I jenis S.alba dan R. apiculata memiliki nilai frekuensi tertinggi pada tingkat semai. Pada tingkat pancang jenis S.alba, R. apiculata dan B. Cylindrica yang juga memiliki nilai frekuensi tertinggi. Pada tingkat pohon terdapat jenis S.alba, R. apiculata dan N. fruticans yang memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut ditemukan pada tiga plot pengamatan (Gambar 17). Jenis Sonneratia spp yang dominan ditemukan pada tingkat semai, pancang dan pohon hal ini dikarenakan Sonneratia spp memiliki kecocokan terhadap karakteristik tempat hidupnya. Menurut peryantaan Noor, dkk (2006) yang menyatakan bahwa jenis Sonneratia spp tumbuh pada tanah lumpur yang dalam dan terpengaruh oleh pasang surut.

Pada stasiun II S. alba dan R. apiculata juga memiliki nilai frekuensi tertinggi pada tingkat semai. Pada tingkat pancang R. stylosa dan B. gymnorhyza memiliki nilai frekuensi tertinggi. Pada tingkat pohon R. apiculata, R. stylosa, B. gymnorhyza dan S. alba juga memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut ditemukan pada tiga plot pengamatan (Gambar 18). Bruguiera spp. dominan ditemukan pada tingkat pancang dan pohon dikarenakan kecocokan dari karakteristik tempat hidupnya. Hal ini sesuai dengan Sitompul, dkk (2014) bahwa Bruguiera spp.


(56)

mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan serta toleran terhadap kadar garam yang tinggi.

Pada stasiun III R. apiculata dan R. stylosa memiliki nilai frekuensi tertinggi pada tingkat semai. Pada tingkat pancang C. tagal dan R. stylosa memiliki nilai frekuensi tertinggi. Pada tingkt pohon R. apiculata, N. fruticans dan C. tagal memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut ditemukan hampir pada semua plot pengamatan (Gambar 19).

Pada stasiun IV B. cylindrica dan R. apiculata memiliki nilai frekuensi tertinggi pada tingkat semai. Pada tingkat pancang A. aureum, B. cylindrica dan C. decandra memiliki nilai frekuensi tertinggi. Pada tingkat pohon jenis C. decandra, N. fruticans dan B. cylindrica memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tersebut ditemukan pada tiga plot pengamatan (Gambar 20). Jenis Ceriops spp. dominan ditemukan pada ringkat pancang dan pohon. Hal ini disebabkan Ceriops spp.tumbuh di daerah yang hanya terkena genangan pada saat pasang tertinggi dan memiliki cara adaptasi perkembangbiakan alami (propagul).

Pada stasiun V R. apiculata dan E. agallocha memiliki nilai tertinggi pada tingkat semai. Pada tingkat pancang dan pohon R. apiculata, E. agallocha dan A. aureum memiliki nilai frekuensi tertinggi dengan nilai 1,0 yang artinya jenis tesebut ditemukan pada setiap tiga plot pengamatan.

Dominansi Relatif

Dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai seberapa besar kemampuan mangrove dapat menutupi suatu lahan. Semakin banyak jumlah pohon yang ditemukan dan semakin besar diameter batang pohon maka semakin besar pula dominansi


(57)

Penutupan jenis relatif pada Gambar 22 menunjukkan mangrove X. mollucensis memiliki nilai paling tinggi pada stasiun I yaitu 12,73%. Hal ini

menunjukkan bahwa keberadaan mangrove X. mollucensis mendominasi diareal stasiun I terutama pada plot I. Kondisi tersebut berarti stasiun I memberikan kondisi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan jeni X. mollucensis terbukti dari diameter pohon mangrove jenis ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor, dkk (2006) bahwa ekologi X. mollucensis jenis mangrove sejati dihutan pasang surut, pematang sungai pasang surut, serta tampak sepanjang pantai.

Pada stasiun II mangrove X. granatum memiliki nilai paling tinggi yaitu 14,90%. Hal ini berarti jenis mangrove ini mendominasi diarel stasiun II terutama pada plot I dan plot II. Kondisi ini disebabkan karena stasiun II yang terletak tidak jauh dari stasiun I dimana kondisi lingkungannya hampir sama, yakni baik bagi pertumbuhan mangrove jenis Xylocarpus spp. yakni mangrove yang tumbuh di hutan pasang surut.

Pada stasiun III mangrove jenis B. cylindrica memiliki nilai paling tinggi pada stasiun I yaitu 11,50%. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan mangrove B. cylindrica mendominasi di areal stasiun III. Kondisi ini disebabkan karena stasiun III memiliki tipe substrat liat pada semua plot pengamatan di stasiun ini. Hal ini sesuai dengan Noor, dkk (2006) bahwa ekologi B. cylindrica biasanya pada tanah liat dibelakang zona Avicennia spp.

Pada stasiun IV dan V mangrove jenis N. fruticans memiliki nilai paling tinggi yaitu 12,01% dan 14,08%. Hal ini berarti mangrove jenis ini mendominasi di areal stasiun IV dan V. Kondisi ini disebabkan karena stasiun IV berada pada garis sungai Pulau Sembilan dan stasiun V merupakan areal yang paling dekat ke arah daratan. Hal ini sesuai dengan Huda (2008) bahwa karakteristik habitat mangrove umumnya tumbuh pada daerah


(58)

intertidal yang jenis tanah berlumpur atau berpasir, menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat dan arus pasang surut yang kuat.

Indeks Nilai Penting

INP tertinggi menunjukkan bahwa mangrove memiliki peran dan fungsi yang sangat besar dalam ekosistem. Berdasarkan tabel 4 pada tingkat semai mangrove S. alba memiliki nila INP tertinggi pada stasiun I sebesar 58,33% terlihat dari nilai kerapatan dan frekuensinya (Lampiran 7) karena jenis ini mampu tumbuh dengan baik pada lingkungan stasiun I. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaerani (2011) bahwa ketergantungan terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh Sonneratia spp. yaitu merupakan ciri umum untuk tanah berlumpur dalam. Nilai INP terendah kategori tingkat semai yaitu jenis A. ebracteus pada stasiun IV sebesar 14,09%.

Berdasarkan tabel 5 nilai INP tertinggi pada tingkat pancang yakni mangrove R. apiculata sebesar 38,90% pada stasiun II terlihat dari nilai kerapatan dan frekuensinya (Lampiran 8) karena jenis ini mampu tumbuh dengan baik pada lingkungan di beberapa plot pengamatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jamili dkk, (2009) bahwa Lingkungan

zona Rhizophora spp. merupakan area yang selalu tergenang pasang harian, dengan

penggenangan yang tinggi, memiliki akar udara, mengembangkan pola adaptasi yang cukup unik. Rhizphora spp. tidak hanya berkembang biak secara generatif melalui propagul, tetapi juga berkembang biak secara vegetatif. Nilai INP terendah kategori tingkat pancang yaitu A.ilicifolius pada stasiun V sebesar 10,47%.

Berdasarkan tabel 6 nilai INP tertinggi pada tingkat pohon yakni mangrove E. agallocha sebesar 45,85% pada stasiun V terlihat dari nilai kerapatan dan frekuensinya (Lampiran 11) karena jenis ini mampu tumbuh dengan baik pada lingkungannya stasiun V dimana stasiun ini merupakan areal yang paling dekat ke arah daratan. Hal ini sesuai


(59)

dengan pernyataan Noor, dkk (2006) bahwa E. agallocha sepanjang tahun memerlukan masukan air tawar dalam jumlah besar. umumnya ditemukan pada bagian pinggir mangrove di bagian daratan.

Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman

Perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman di lakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keanekaragaman hayati mangrove, seberapa besar ingkat kemerataan dari spesies mangrove dan seberapa besar suatu spesies mangrove mendominasi suatu wilayah kajian. Nilai indeks keanekaragaman

Tertinggi pada tingkat semai terdapat pada stasiun IV yaitu sebesar 1,86, pada tingkat pancang nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun IV dan V yaitu sebesar 2,13 dan pada tingkat pohon nilai Indeks Keanekaragaman Tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 2,59.

Berdasarkan perhitungan terhadap keanekaragaman jenis (Tabel 7) secara umum nilai keanekaragaman jenis mangrove tingkat semai dan pancang termasuk keanekaragaman rendah, dan pada tingkat pohon nilai keanekaragaman termasuk keanekaragaman sedang. Menurut Nurrahman, dkk (2009) bahwa hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan oleh faktor luar yang menyebabkan hilangnya spesies tertentu, hilangnya jenis tumbuhan tertentu dalam vegetasi diakibatkan penebangan dan rendahnya regenerasi.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Sitompul, dkk (2014) bahwa rendahnya nilai Indeks Keanekaragaman di Pantai Bali tingkat semai dan pancang. Rendanya nilai indeks keanekaragaman ini juga dipengaruhi oleh faktor anthrophogenic yang berdasarkan pengamatan langsung terjadi penebangan. Selain itu juga luasan pantai sudah mengalami abrasi. Namun demikian keberadaan hutan mangrove tersebut cukup


(60)

potensi untuk “nursery or hatching area” bagi biota yang tinggal di kawasan mangrove ini.

Indeks keseragaman pada tingkat semai tertinggi terdapat pada stasiun IV dengan nilai indeks 0.86, pada tingkat pancang nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun III dengan nilai indeks 0.96 dan pada stasiun IV dengan nilai indeks yang sama yaitu 0.96 dan pada tingkat pohon nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasin I dengan nilai indeks 1,06.

Berdasarkan nilai indeks keseragaman pada tingkat semai di stasiun IV menunjukkan nilai > 0.6, berdasarkan kriteria dalam Magurran (1998) di acu oleh Prasetyo, dkk (2014) bahwa tingkat keseragaman jenis mangrove pada tingkat semai di stasiun I tergolong tinggi, dan indeks keseragaman jenis mangrove pada stasiun II, III, IV dan V juga tergolong tinggi karena > 0.6.

Nilai indeks keseragaman pada tingkat pancang di stasiun I, II, III, IV dan V menunjukkan nilai lebih besar > 0.6, berdasarkan kriteria dalam Magurran (1998) di acu oleh Prasetyo, dkk (2014) bahwa tingkat keseragaman jenis mangrove pada tingkat pancang di stasiun I, II, III, IV dan V tergolong tinggi.

Berdasarkan nilai indeks keseragaman pada tingkat pohon di stasiun I, II, III, IV dan V menunjukkan nilai lebih besar > 0.6, berdasarkan kriteria dalam Magurran (1998) di acu oleh Prasetio, dkk (2014) bahwa tingkat keseragaman jenis mangrove pada tingkat pohon di stasiun I, II, III, IV dan V menunjukkan kemerataan jenis mangrove tergolong tinggi dan cocoknya karakteristik lokasi bagi jenis mangrove lain untuk berkembang.

Karakteristik Fisika dan Kimia Lingkungan Karakteristik Fisika Kimia Perairan


(61)

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Dalam ekosistem mangrove. Hasil pengukuran suhu dilapangan masih menunjukkan kisaran suhu yang idel yaitu antara 28°C - 31°C. Kisaran nilai ini masih dalam batas toleransi mangrove dan dapat dikatakan baik untuk pertumbuhan mangrove. Menurut Eriza (2010) yang menyatakan bahwa Rhizophora, stylosa, Bruguiera, Ceriops, Excocaria dan Lumnitzera tumbuh optimal pada suhu 26-28°C. Menurut Setyawan, dkk (2002) menyatakan bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18-30 °C, akan tetapi beberapa jenis mangrove dapat bertoleransi pada suhu tinggi. perbedaan suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air.

Fluktuasi suhu air yang terjadi antar masing-masing stasiun tidak terlalu signifikan. Adanya variasi suhu disebabkan oleh perbedaan waktu pengukuran dimana waktu pengukuran erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari yang diserap oleh air. Suhu yang ada pada masing-masing stasiun penelitian lebih banyak disebabkan oleh faktor intensitas cahaya matahari yang terpapar langsung di lingkungan mangrove sehingga lebih menyebabkan suhu di kelima stasiun berubah-ubah sesuai dengan kondisi di wilayah tersebut.

Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh kadar salinitas pada setiap stasiun berkisar antara 21 ‰ – 29 ‰. Kadar salinitas tersebut masih sesuai dengan kisaran salinitas untuk mendukung pertumbuhan mangrove. Menurut Eriza (2010) bahwa salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang.


(62)

Pengukuran pH air secara in situ menunjukkan bahwa kisaran pH air pada kelima stasiun pengamatan pada umumnya berkisar antara 6,6 – 7,8. (Tabel 8) Berdasarkan pengukuran kualitas yang dilakukan pH tersebut masih sesuai dengan kisaran pH yang mendukung pertumbuhan mangrove. Menurut Suwondo dkk, (2006) menyatakan bahwa kisaran pH 6,5 – 9 masih mendukung kehidupan perairan hutan mangrove. Disamping itu jenis dan ketebalan substrat yang lempung berlumpur dan lumpur sedikit berpasir juga mendukung kehidupan mangrove.

Karakteristik Substrat

Karakteristik substrat diketahui untuk menentukan kehidupan komunitas mangrove. Substrat di daerah hutan mangrove mempunyai ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, berbutir-butir dan kaya akan bahan organik. Menurut Setiawan (2013) di acu oleh Sitompul, dkk (2014) bahwa penelitian tentang karakteristik substrat sangat penting di lakukan untuk menunjang kegiatan rehabilitasi mangrove.

Karakteristik substrat yang diamati meliputi derajat keasaman (pH) dan fraksi substrat (Tabel 9 dan Tabel 10). Nilai pH tanah pada setiap stasiun mengalami fluktuatif. Kisaran nilai pH tanah yang didapat adalah 5,00 – 7,21. Berdasarkan nilai pH tersebut maka nilai pH substrat dalam kisaran asam – basa. Nilai pH terendah terdapat pada stasiun V plot 1 dan plot 2 (5,00 dan 5,67). Menurut Rahman (2010) mengungkapkan bahwa nilai pH pada kawasan mangrove akan mudah berkembang menjadi tanah asam. Hal ini disebabkan karena di bawah vegetasi mangrove terdapat bahan-bahan organik yang berasal dari akar, batang, maupun dedaunan mangrove. Oleh karena itu, rendahnya nilai pH


(63)

dibeberapa plot dalam stasiun pengamatan diduga dipengaruhi tingginya bahan organik berupa serasah mangrove. Stasiun V merupakan lokasi pengamatan yang paling dekat ke arah daratan dan merupakan bekas areal pertambakan masyarakat setempat. Adapun keberadaan kegiatan lain di sekitar lokasi di duga ikut berperan sebagai pemicu lain rendahnya nilai pH substrat di lokasi ini. Perombakan bahan-bahan organik oleh kegiatan mikroorganisme akan menghasilkan senyawa asam yang berpotensi menurunkan nilai pH.

Hasil analisis tekstur substrat menunjukkan bahwa setiap stasiun memiliki komposisi fraksi debu, liat dan pasir yang tidak jauh berbeda. Fraksi pasir tertinggi adalah di V plot 2 sebesar 68% dan terendah di stasiun III plot 1 dan stasiu IV plot 3 yaitu 22%. Fraksi debu tertinggi terdapat pada stasiun II plot 1 sebesar 48% dan terendah di stasiun V plot 2 yaitu 2%. Untuk fraksi liat komposisi tertinggi ditemukan pada stasiun III plot 1 mencapai 48% dan terendah pada stasiun I plot 1 yaitu hanya mencapai 8%.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tipe substrat lempung berpasir lebih dominan di temukan pada stasiun I di ketiga plot pengamatan. Pada substrat lempung berpasir didominasi oleh S. alba. Sesuai dengan pernyataan Noor, dkk (2006) bahwa S. alba menyukai tanah yang bercampur lumpur dan pasir, sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang. Akar nafas tidak terdapat pada pohon yang tumbuh pada substrat yang keras.

Tipe substrat dan lempung berliat lebih dominan ditemukan pada stasiun II plot 2 dan plot 3. Pada substrat lempung berliat di dominasi oleh R.apiculata. Hal ini karena R. apiculata dapat tumbuh pada tanah berlumpur, halus dalam, dan tergenang pada saat pasang normal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jamili dkk, (2009) bahwa salah satu ciri khas pada Rhizophora spp. yang berfungsi untuk memperkokoh tegaknya batang pada


(64)

daerah lumpur dan penyerapan unsur hara. Rhizophora spp. merupakan jenis pionir pada endapan lumpur yang terbentuk di depan formasi mangrove paling luar (arah laut).

Tipe substrat liat lebih dominan ditemukan pada stasiun III di ketiga plot pengamatan dan stasiun IV pada plot 2 dan 3. Pada substrat liat di dominasi oleh Rhizophora spp. dan Avicennia spp. dan Bruguiera spp. Hal ini sesuai dengan pernyataan Noor dkk, (2006) yang menyatakan bahwa Avicennia spp tumbuh pada daratan lumpur, Rhizophora spp tumbuh pada habitat beragam di daerah pasang surut dan lumpur dan Bruguiera spp bisasanya tumbuh pada tanah liat di belakang zona Avicennia atau dibagian tengah vegetasi mangrove ke arah laut.

Pasang Surut

Perairan Pulau Sembilan dikategorikan pasang surut campuran condong ke harian tunggal dimana dalam satu hari terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode yang berbeda. Menurut Wyrtki dalam Lisnawati (2013) bahwa tipe pasang surut campurran condong harian tunggal ini disebabkan karena lokasi perairan tersebut berdekatan dan terdapat dalam satu jalur perairan. Pasang tertinggi terjadi pada tanggal 3 April 2016 dengan ketinggian air laut 134.69 cm dan surut terendah pada tanggal 4 April 2016berada dengan nilai -139.67 cm

Upaya Pengelolaan Mangrove

Upaya pengelolaan mangrove untuk kawasan mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan ini perlu dilakukan pada beberapa titik karena dijumpai jumlah kerapatan mangrove yang bervariasi sesuai dengan aktivitas yang ada pada lokasi tersebut. Pada lokasi penelitian di stasiun I adanya aktivitas nelayan sekitar yang memanfaatkan ranting


(65)

mengurangi kepadatan mangrove didaerah tersebut. Pada stasiun II, III dan IV merupakan lokasi yang dialiri garis sungai Pulau Sembilan dan merupakan jalur yang dilintasi oleh nelayan sekitar yang diduga juga terapat aktivitas para nelayan yang memanfaatkan mangrove yang diindikasikan dapat mempengaruhi kerapatan dan frekuensi mangrove dibeberapa lokasi tersebut. Pada stasiun V merupakan areal bekas lahan pertambakan masyarakat setempat yang diindikasikan dapat mempengaruhi keseimbangan antar komponen dikawasan mangrove tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan pengelolaan dan pengendalian pemanfaatan agar kondisi ekologi tetap terjaga. Oleh karena itu upaya pengelolaan mangrove yang lebih tepat untuk kawasan ini adalah dengan sistem rehabilitasi dibeberapa titik.

Menurut Rahman (2010) bahwa kajian utama dari ekologi mangrove adalah mangrove itu sendiri dan hubungannya dengan komunitas lain sebagai pengguna ekosistem tersebut. Tidak terlepas dari hal ini, sejumlah pengaruh parameter lingkungan pun ikut berperan dalam menentukan stastus ekologi manrove di kawasan ini baik karakteristik lingkungan perairan mapun substrat/tanah. Secara umum kawasan Dusun II Desa Pulau Sembilan memiliki sejumlah kategori tegakan mangrove yang bervariasi mulai dari pohon, pancang dan semai. Pada kawasan ini sudah pernah dilakukan rehabilitasi mangrove pada beberapa tahun terakhir ini. Oleh karena itu upaya pengelolaan mangrove untuk kawasan ini adalah sistem rehabilitasi mangrove yang harus ditingkatkan lagi oleh instansi tertentu, pemerintah setempat dan masyarakat sekitar.


(66)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan terkait struktur dan komposisi mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan dengan kerapatan stasiun I 4800 ind/ha, stasiun II 4766 ind/ha, stasiun III 4067 ind/ha, stasiun IV 4800 ind/ha dan stasiun V 3666 ind/ha.

2. Kondisi perairan pada ekosistem mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan untuk

parameter suhu, salinitas, arus, pH air dan pH tanah masih tergolong ideal (optimum) untuk pertumbuhan mangrove.

3. Status kondisi mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan berdasarkan kriteria baku

kerusakan mangrove (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004) dengan nilai kerapatan > 1500 ind/ha, dikategorikan dalam kriteria baik (padat).

Saran

Sebaiknya dilakukan tindakan manajemen pengelolaan terhadap kawasan hutan mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara, tingkat kesadaran dan peran masyarakat sekitar lebih ditingkatkan lagi agar rehabilitasi hutan mangrove tetap berkelanjutan sehingga kelestarian hutan mangrove tetap terjaga dengan baik demi keberlangsungan ekosistem pesisir di wilayah tersebut.


(67)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No.60/Kpts/DJ/I/1978 hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa (Departemen Kehutanan, 1992).

Menurut Nybakken (1992) menyatakan hutan mangrove sebagai formasi tumbuhan litoral yang tumbuh di daerah pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya tersebar di daerah tropis dan subtropis, vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut yang diatasnya ditimbuni selapis pasir (lumpur) atau pada pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohonan yang khas yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di lingkungan laut.

Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah sekitar pantai, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mengandung pasir dan lumpur serta umumnya pada pantai yang landai yang terhindar dari ombak besar. selain tempat hidupnya berbagai jenis satwa tersebut, hutan mangrobe juga berperan dalam keberlanjuran ekosistem pantai dan terumbu karang dan tempat berkembang biaknya ikan-ikan tertentu (Eriza, 2010).


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 2

Kerangka Pemikiran ... 4

Tujuan Peneletian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove ... 6

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove ... 7

Vegetasi Hutan Mangrove ... 7

Karakteristik Vegetasi Hutan Mangrove ... 8

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove ... 9

Kondisi Tapak Hutan Mangrove ... 12

Faktor Lingkungan Pertumbuhan Mangrove ... 14

Karakteristik Substrat Hutan Mangrove ... 15

Fungsi Peranan Mangrove ... 16

Fisika Kimia Perairan ... 16

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 18

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Alat dan Bahan Penelitian ... 17

Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel ... 17

Metode Pengambilan Sampel... 21

Pengumpulan Contoh Vegetasi Mangrove ... 22


(2)

Analisis Data

Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove ... 24

Sebaran Zonasi Mangrove Berdasarkan Salinitas ... 30

Analisis Kondisi Perairan ... 28

Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ... 30

Analisis Kondisi Perairan ... 28

Analisis Substrat ... 30

HASIL PEMBAHASAN Hasil Kerapatan Mangrove ... 31

Frekuensi Mangrove ... 37

Dominansi Relatif Pohon Mangrove ... 44

Indeks Nilai Penting ... 46

Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman... 49

Karakteristik Fisika dan Kimia Air ... 49

Karakteristik pH Tanah ... 50

Karakteristik Substrat ... 52

Pasang Surut ... 53

Pembahasan Kerapatan Mangrove ... 54

Frekuensi Mangrove ... 58

Dominansi Relatif Pohon Mangrove ... 60

Indeks Nilai Penting ... 61

Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman... 62

Karakteristik Fisika dan Kimia Lingkungan ... 64

Karakteristik Substrat ... 65

Pasang Surut ... 68

Upaya Pengelolaan Mangrove ... 68

KESIMPULAN SARAN Kesimpulan ... 70

Saran... 70

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(3)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4

2. Pola Zonasi Mangrove ... 10

3. Peta Lokasi Stasiun Penelitian ... 21

4. Lokasi Stasiun I ... 21

5. Lokasi Stasiun II ... 22

6. Lokasi Stasiun III ... 22

7. Lokasi Stasiun IV ... 23

8. Lokasi Stasiun V ... 23

9. Skematik Transek Pengukuran Mangrove di Lokasi Pengamatan .... 24

10. Bentuk Transek Pengukuran Mangrove di Lokasi Pengamatan ... 25

11. Kerapatan Jenis Mangrove Stasiun I ... 32

12. Kerapatan Jenis Mangrove Stasiun II ... 33

13. Kerapatan Jenis Mangrove Stasiun III ... 34

14. Kerapatan Jenis Mangrove Stasiun IV ... 35

15. Kerapatan Jenis Mangrove Stasiun V ... 36

16. Frekuensi Perbandingan Mangrove Stasiun I ... 38

17. Frekuensi Perbandingan Mangrove Stasiun II ... 39

18. Frekuensi Perbandingan Mangrove Stasiun III ... 40

19. Frekuensi Perbandingan Mangrove Stasiun IV ... 41

20. Frekuensi Perbandingan Mangrove Stasiun V ... 42


(4)

23. Dominansi Pohon Stasiun III ... 45 24. Dominansi Pohon Stasiun IV ... 46 25. Dominansi Pohon Stasiun V ... 47


(5)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Parameter Fisika Kimia Peairan Yang di Ukur ... 25

2. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ... 29

3. Komposisi Vegetas Mangrove ... 30

4. Indeks Nilai Penting Semai ... 47

5. Indeks Nilai Penting Pancang ... 48

6. Indeks Nilai Penting Pohon ... 49

7. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman Jenis ... 50

8. Hasil Pengkuran Parameter Fisika Kimia Perairan ... 51

9. Hasil Pengukuran Kimia pH Tanah ... 52


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Alat dan Bahan ... 76

2. Prosedur Penelitian ... 79

3. Pengukuran Parameter Kualitas Air ... 80

4. Prosedur Perhitungan pH Tanah ... 81

5. Prosedur Perhitungan Tekstur Tanah ... 82

6. Keanekaragaman Jenis Mangrove Setiap Stasiun ... 83

7. Perhitungan Data Analisis Vegetasi Mangrove Stasiun I ... 87

8. Perhitungan Data Analisis Vegetasi Mangrove Stasiun II ... 89

9. Perhitungan Data Analisis Vegetasi Mangrove Stasiun III ... 91

10. Perhitungan Data Analisis Vegetasi Mangrove Stasiun IV ... 93

11. Perhitungan Data Analisis Vegetasi Mangrove Stasiun V ... 95

12. Pengkuran Testur Tanah Metode Hydrometer ... 96