Struktur dan Komposisi Vegetasi Mangrove di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara

96

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian
No.60/Kpts/DJ/I/1978 hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang pantai
atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu
pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Dari sudut ekologi, hutan mangrove
merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur
biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa (Departemen
Kehutanan, 1992).
Menurut Nybakken (1992) menyatakan hutan mangrove sebagai formasi tumbuhan
litoral yang tumbuh di daerah pantai yang terlindung dari ombak besar dan umumnya
tersebar di daerah tropis dan subtropis, vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang
surut yang diatasnya ditimbuni selapis pasir (lumpur) atau pada pantai berlumpur. Hutan
mangrove merupakan suatu komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh
beberapa spesies pohon-pohonan yang khas yang memiliki kemampuan untuk tumbuh di
lingkungan laut.
Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah sekitar pantai, delta, muara
sungai yang arus sungainya banyak mengandung pasir dan lumpur serta umumnya pada

pantai yang landai yang terhindar dari ombak besar. selain tempat hidupnya berbagai jenis
satwa tersebut, hutan mangrobe juga berperan dalam keberlanjuran ekosistem pantai dan
terumbu karang dan tempat berkembang biaknya ikan-ikan tertentu (Eriza, 2010).

Universitas Sumatera Utara

97

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang
unik, adalah memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, memiliki akar tidak beraturan
(pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau
Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada Sonneratia spp., dan
pada api-api Avicennia spp., memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di
pohonnya. Khususnya pada Rhizophora spp., memiliki banyak lentisel pada bagian kulit
pohon. Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus diantaranya adalah tanahnya tergenang air laut secara berkala,
baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama, menerima pasokan air
tawar yang cukup dari darat, airnya berkadar garam (bersalinitas) payau hingga asin
(Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008).


Vegetasi Hutan Mangrove
Berdasarkan Bengen (2001) jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,
umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat
dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut; (1). Zona api-api-prepat (Avicennia spp.,
- Sonneratia spp.,) terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah
berlumpur agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik
dan kadar garam agak tinggi, (2). Zona bakau (Rhizophora spp.,) biasanya terletak
dibelakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek (dalam). Pada umumnya
didominasi bakau (Rhizophora spp.,) dan dibeberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan
jenis lain seperti tanjang (Bruguiera spp.), (3). Zona tanjang (Bruguiera spp.), terletak
dibelakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Pada umumnya

Universitas Sumatera Utara

98

ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp.), dan dibeberapa tempat berasosiasi dengan jenis
lain, (4). Zona nipah (Nypa fruticans) terletak paling jauh dari laur atau paling dekat ke
arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona

lainnya, tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berasal ditepitepi disungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan
beberapa spesies palem lainnya.

Karakteristik Vegetasi Hutan Mangrove
Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah
diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih
kurang 80 spesies. Sedangkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di hutan mangrove
Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis
perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit (Soerianegara, 1987 diacu oleh Eriza,
2010)
Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok yaitu; (1). Flora
mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan
terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara dominan
mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus
(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme
fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia spp., Rhizophora spp.,
Bruguiera spp., Ceriops spp., Kandelia spp., Sonneratia spp., Lumnitzera spp.,
Laguncularia spp., dan Nypa fruticans, (2). Flora mangrove minor, yakni flora mangrove
yang tidak mampu membentuk tegakan murni sehingga secara morfologis tidak berperan
dominan dalam struktur komunitas, contoh: Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera, Aegiceras,


Universitas Sumatera Utara

99

Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora, Pemphis dan Pelliciera, (3).
Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus dan
lain-lain.

Struktur dan Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Kusmana (1995) menyatakan bahwa hutan mangrove dapat dibagi
menjadi lima bagian berdasarkan frekuensi air pasang yaitu, zonasi yang terdekat dengan
laut akan didominasi oleh Avicennia spp., dan Sonneratia spp., tumbuh pada lumpur lunak
dengan kandungan organik yang tinggi. Avicennia spp., Tumbuh pada substrat yang agak
keras, sedangkan Avicennia alba tumbuh pada substrat yang agak lunak, zonasi yang
tumbuh pada tanah kuat dan cukup keras, zonasi yang tumbuh pada tanah kuat dan cukup
keras serta dicapai oleh beberapa air pasang. Zonasi ini sedikit lebih tinggi dan biasanya
didominasi oleh Bruguiera cylindrica, kearah daratan lagi, zonasi yang didominasi oleh
Rhyzophora mucronata dan Rhyzophora apiculata. Jenis Rhyzophora mucronata lebih
banyak dijumpai pada kondisi yang agak basah dan lumpur yang agak dalam. Pohon lain

yang juga mencakup Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum. Hutan yang
didominasi oleh Bruguiera parviflora sering dijumpai tanpa jenis pohon lainnya, hutan
mangrove dibelakang didominasi oleh Bruguiera gymnorhiza. Pola zonasi mangrove dapat
dilihat pada gambar 2.

Universitas Sumatera Utara

100

Gambar 2. Pola Zonasi Mangrove (Bengen, 2004).
Menurut Bengen (2001) flora mangrove umunya tumbuh membentuk zonasi mulai
dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi hutan mangrove mencerminkan
tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove. Zonasi yang terbentuk berupa zonasi yang
sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi)
tergantung pada kondisi lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang penting dalam
mengontrol zonasi adalah arus pasang surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap
pertumbuhan anakan dari spesies intoleran seperti Rhizophora spp., Avicennia spp., dan
Sonneratia spp.
Secara sederhana mangrove tumbuh dalam empat zona, yaitu pada daerah
terbuka, darah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawardan

daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar. (a). Mangrove terbuka: mangrove berada
pada bagian yang berhadapan langsung dengan laut. Salah satu contoh mangrove terbuka
adalah Hutan Mangrove Karang Agung Sumatra Selatan, di zona ini didominansi oleh
Sonneratia alba yang tumbuh pada daerah yang di pengaruhi oleh air laut. S. alba dan
Avicennia alba merupakan jenis-jenis dominan pada areal pantai yang sangat tergenang
dan menyukai habitat berlumpur dengan frekuensi tergenang air tinggi. (b). Mangrove
tengah: mangrove tengah terletak di belakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya

Universitas Sumatera Utara

101

didominasi oleh jenis Bruguiera cylindrical. Jenis-jenis penting lainnya yang di temukan
B. gymnorrhiza, Excoeicaria agallocha, R. mucronata, Xylocarpus granatum dan X.
moluccensis. (c). Mangrove payau: mangrove berada di sepanjang sungai berair payau
hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau
Sonneratia. Di jalur-jalur tersebut sering sekali ditemukan tegakan N. fruticans yang
bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerveza spp., dan Xylocarpus granatum. (d).
Mangrove daratan: mangrove darat berada di zona perairan payau atau hampir tawar di
belakang jalur hijau mangrove yang sebenarnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada

zona ini termasuk Ficus microcarpus dan Xylocarpus moluccensis (Noor, dkk., 2006).
Menurut sturktur ekosistem secara garis besar dikenal tiga tipe formasi mangrove
yaitu, (1). Mangrove pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir
(Avicennia spp.), diikuti oleh komunitas campuran Sonneratia alba, Rhizophora apiculata,
selanjutnya komunitas murni Rhizophora spp., dan akhirnya komunitas campuran
(Rhizophora spp. - Bruguiera spp.). Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas
murni Nypa fruticans dibelakang komunitas campuran yang terakhir, (2). Mangrove
muara: pengaruh air laut sama dengan pengaruh air sungai yang dicirikan oleh mintakan
tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora spp. –
Bruguiera spp., dan diakhiri komunitas murni Nypa fruticans, (3). Mangrove sungai:
pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut dan berkembang pada tepian
sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan
komunitas daratan (Bengen, 2001).
Gunarto (2004) menyatakan bahwa vegetasi mangrove mempunyai morfologi dan
anatomi tertentu sebagai respons fisiogenetik terhadap habitatnya. Vegetasi mangrove yang

Universitas Sumatera Utara

102


bersifat halopitik menyukai tanah-tanah yang bergaram, misalnya Avicennia spp.,
Bruguiera spp., Lumnitzera spp., Rhizophora spp., dan Xylocarpus spp. Vegetasi tersebut
menentukan ciri lahan mangrove berdasarkan sebaran, dan sangat terikat pada habitat
mangrove. Vegetasi yang tidak terikat dengan habitat mangrove antara lain Acanthus spp.,
Baringtonia spp., Callophyllum spp., Cerbera spp., Derris spp., Hibiscus spp., Ipomoea
spp.
Vegetasi mangrove dapat dibagi menjadi tiga, yaitu vegetasi utama, vegetasi
pendukung, dan vegetasi asosiasi. 17 spesies vegetasi utama, di antaranya R. apiculata, R.
mucronata, B. gymnorrhiza, B. cylindrica, dan Xylocarpus granatum (vegetasi utama), 13
spesies vegetasi pendukung antara lain A. aureum, Aegiceras corniculatum, dan A.
floridum, serta 19 spesies vegetasi mangrove asosiasi, misalnya

Acanthus spp.,

Baringtonia spp., Callophyllum spp., Calotropis spp., Cerbera spp., dan Derris spp.
(Kitamura, dkk., 1997).

Kondisi Tapak Hutan Mangrove
Menurut Kusmana (2005) jenis tanah pada hutan mangrove umumnya tanah ini

berupa lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi, bervariasi, tanah liat biru dengan
sedikit atau tanpa bahan organik sampai tanah lumpur coklat hitam yang mudah melepas
karena banyak mengandung pasir dan bahan organik. Tanah mangrove dapat
diklasifikasikan menjadi 3 golongan utama yaitu:
1. Golongan I, tanah tidak matang (Unripped soils) adalah tanah baru, sifat fisik tanahnya
belum sempurna, hanya horizon A dan C yang dapat diamati dari profil tanah. Umumnya
berwarna gelap dari tanah bawah yang biasanya berwarna hijau atau biru. Adapun sifat

Universitas Sumatera Utara

103

kimia tanahnya pH sangat rendah hingga 2,5 dan kadar garam tinggi, variasai bahan
organik ±2-2,5% mengandung sejumlah K dan P, variasi tekstur dari liat sampai berpasir.
2. Golongan II, tanah matang (repening soils) tanah yang sudah berkembang dan umumnya
ditemukan didaerah paling atas pada waktu air pasang, yaitu tanah bagian atasnya adalah
liat berwarna gelap yang memiliki kedalaman sebesar 10-30 cm dengan kandungan bahan
organik yang relatif tinggi, tanah bagian bawah, bahan organiknya lenih rendah dengan
kedalaman 40-49 cm yang berwarna kebih terang, pH tinggi, kadar garam tinggi dan kadar
P rendah.

3. Golongan III, tanah organik (organic soils) adalah tanah yang mengandung bahan organik
tinggi dan profil yang dalam. Lapisan tanah organik yang tidak sempurna terdegradasi.
Tanah bagian atas abu-abu sampai coklat keabuan. Sifat kimia tanahnya adalah pH rendah,
kadar garam dan K yang tinggi, tetapi kadar P yang rendah dan teksturnya liat.
Menurut Kusmana, dkk., (2005), bahwa untuk menghadapi habitatnya berupa
substrat lumpur dan selalu tergenang (reaksi anaerob), tumbuhan mangrove beradaptasi
dengan membentuk akar-akar dapat dilihat pada Gambar 3.
(a) Akar pasak (pneumatophore): akar yang muncul dari sistem akar kabel dan
memanjang ke luar arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avcennia
spp.,Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp., (b) Akar lutut (knee root): akar lutut merupakan
modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh kearah permukaan substrat.
Kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut ini terdapat pada Bruguiera
spp., (c) Akar tunjang (stilt root): akar tunjang merupakan akar (cabang−cabang akar) yang
keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp.,
(d) Akar papan (buttress root): akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini
melebar menjadi bentuk lempeng mirip struktur silet. (e) Akar gantung (aerial root): Akar

Universitas Sumatera Utara

104


gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian
bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat, terdapat pada Rizophora sp., Avicennia sp.,
dan Acanthus sp.

Faktor Lingkungan Pertumbuhan Mangrove
Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan komunitas mangrove
diantaranya yaitu salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus, kekeruhan dan substrat dasar.
Kondisi fisika dan kimia perairan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh volume air
tawar dan air laut yang bercampur. Mangrove tumbuh dengan baik dari ketinggian
permukaan air laut sampai dengan rata-rata permukaan pasang air laut (Bengen, 2004).

Karakteristik Substrat Hutan Mangrove
Menurut Kusmana (1997) dalam Eriza (2010) sifat tanah merupakan faktor
pembatas utama terhadap pertumbuhan didalam hutan mangrove. Karakteristik kimia dan
sifat tanah mangrove berbeda dengan tanah diluar daerah mangrove. Susunan jenis dan
kerapatan pada hutan mangrove dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah dan konsentrasi
ion tanah. Pada lahan mangrove yang tanahnya lebih banyak terdiri atas (clay) dan debu
(silt), terdapat tegakan yang lebih rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan
debu pada konsentrasi yang lebih rendah. Tanah dengan konsentrasi kation Na>Mg>Ca>
atau K, tegakan dikuasai oleh jenis Avivennia spp. Tanah dengan susunan konsentrasi
kation Mg>Ca>Na atau K, tegakan dikuasai oleh Nypa (Nypa fruticans).
Karakteristik Substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan
mangrove. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan
berlumpur, Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir. Tekstur
dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan, misalnya jika

Universitas Sumatera Utara

105

komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu (silt) maka tegakan menjadi lebih
rapat (Harahap, 2010).
Tanah hutan mangrove dibagi dalam dua kategori umum yaitu; (1). Halic
hydaquent, lebih dekat ke laut yaitu tanah liat tidak tua (unripe clay soils) mempunyai nilai
entisol (n) > 0,7. Nilai n adalah hubungan antara persentase tanah liat inorganik dan
humus. Semakin kecil nilai n berarti tingkat kematangan tanah semakin besar, (2). Halic
sulvaquent, lebih dekat ke rawa-rawa yaitu tanah liat muda yang mengandung air secara
permanen, mempunyai bahan-bahan sulfidik dalam 50 cm lapisan permukaan tanah (Eriza,
2010).

Fungsi dan Peranan Mangrove
Menurut Bengen (2004) menyatakan ekosistem mangrove memiliki fungsi sebagai
daerah penyangga antara daratan dan lautan. Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
antara lain; sebagai peredam gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur dan
perangkap sedimen, daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding
grounds) dan daerah pemijahan (feeding grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut
lainnya, penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, pemasok
larva ikan, udang dan biota laut lainnya dan sebagai tempat pariwisata.

Fisika Kimia Perairan
Suhu
Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi). Produksi
daun baru Avicennia marina terjadi pada suhu 18-20°C dan jika suhu lebih tinggi maka
produksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria dan Lumnitzera

Universitas Sumatera Utara

106

tumbuh optimal pada suhu 26-28°C. Bruguiera tumbuh pada suhu 27°C dan Xylocarpus
tumbuh pada suhu 21-26°C (Eriza, 2010).

Pasang Surut
Pasang surut air laut dimana pada waktu air pasang masuklah air laut dan
menyebabkan meningkatnya salinitas air hutan mangrove. Pada waktu air surut, air dalam
hutan mangrove mengalir keluar, mengalirnya air tawar melalui air permukaan
menurunkan salinitas air dalam hutan mangrove. Pasang surutnya dari hutan mangrove
mengakibatkan berfluktuasinya salinitas air di dalam hutan mangrove. Pada keadaan
demikian, dimana fluktuasi alami ini jelas dapat ditoleransi oleh pohon-pohon mangrove
asalkan salinitasnya tidak melebihi ambang batas (Pariyono, 2006).

Salinitas
Menurut Eriza (2010) menyatakan bahwa salinitas optimum yang dibutuhkan
mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt. Salinitas secara langsung dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi
penggenangan. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam
keadaan pasang. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air.

Derajat Keasaman (pH)
Adalah indikator baik buruknya lingkungan air dan digunakan secara luas untuk
menggambarkan kondisi asam atau basa suatu larutan. Air yang bersifat basa dapat lebih
cepat mendorong proses pembongkaran bahan organik menjadi garam mineral seperti
ammonia, nitrat dan phospat yang akan diserap menjadi bahan makanan oleh tumbuhan
renik dalam air, sedangkan bila pH asam maka daya produksi potensialnya tidak begitu
baik (Effendi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

107

Arus
Arus

berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan pembentukan

padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan padatan-padatan pasir
ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang pertumbuhan mangrove. Arus mempengaruhi
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove kelaut. Nutrien-nutrien yang berasal dari
hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak dihutan
mangrove akan terbawa oleh arus ke laut pada saat surut (Kusmana, 1995).

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove
Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut akan
terus menerun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem
apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun antara ekosistem
dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan
fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan
mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada
potensi kawasan yang ada. Fenomena diatas secara langsung menimbulkan akibat berupa
sumberdaya alam akan terus menurun (Siregar dan Purwoko, 2002).
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (2004) menjelaskan bahwa status kondisi
mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu lokasi tertentudalam waktu
tertentu

yang

dinilai

berdasarkan

kriteria

baku

kerusakan

mangrove.Semakin

meningkatnya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampakterhadap kerusakan
mangrove, oleh karena itu perlu dilakukan upayapengendalian, dimana salah satu upaya
pengendalian untuk melindungi mangrove dari kerusakan adalah dengan mengetahui
adanya tingkat kerusakan berdasarkan kriteria baku kerusakannya. Kriteria baku kerusakan

Universitas Sumatera Utara

108

mangrove untuk menentukan status kondisi mangrove diklasifikasikan dalam tiga
tingkatan yaitu :
1. Sangat baik (sangat padat) dengan penutupan ≥ 75% dan kerapatan ≥ 1.500 pohon/ha;
2. Rusak ringan (baik) dengan penutupan antara
≥ 50%

-