Kebijakan Resolusi Konflik Usaha Tambang Di Kawasan Hutan Studi Kasus Di Kalimantan Timur

KEBIJAKAN RESOLUSI KONFLIK USAHA TAMBANG
DI KAWASAN HUTAN: STUDI KASUS
DI KALIMANTAN TIMUR

SUBARUDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kebijakan Resolusi
Konflik Usaha Tambang di Kawasan Hutan: Studi Kasus di Kalimantan Timur
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Subarudi
E161110051

RINGKASAN
SUBARUDI. Kebijakan Resolusi Konflik Usaha Tambang di Kawasan Hutan:
Studi Kasus di Kalimantan Timur. Dibimbing Oleh HARIADI
KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO dan HADIYANTO SAPARDI.
Sistem pengelolaan SDA di Indonesia terdistribusikan dalam sektor-sektor
(situation) sehingga mempengaruhi penyusunan aturan main dalam pengelolan
SDA yang ada, baik yang tertulis maupun tidak tertulis (structure). Aturan main
tersebut mempengaruhi perilaku pengusaha dan penguasa (pemerintah) dalam
pelaksanaan pengurusan SDA (behaviour) sehingga memunculkan persoalan
konflik pemanfaatan SDA yang masih terus terjadi dan bermuara pada kerusakan
SDA itu sendiri (performance). Tujuan umum penelitian ini adalah untuk
memformulasikan kebijakan yang tepat dalam mengungkap dan menyelesaikan
kebijakan usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan. Untuk mencapai umum
tujuan itu, maka dijabarkan tujuan-tujuan khusus sebagai berikut: (1)
Menganalisis kinerja dan perilaku aktor dalam kebijakan pengurusan tambang di

kawasan hutan; (2) Menganalisis kelembagaan kesejarahan dan situasi dalam
kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan; (3) Memformulasikan penataan
kelembagaan untuk meningkatkan kinerja kebijakan pengurusan tambang di
kawasan hutan.
Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Timur dengan fokus lokasi di
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui
wawancara mendalam terhadap informan, pengamatan terlibat dan review
dokumen. Informan terdiri dari 10 orang di tingkat pusat, 15 orang di tingkat
provinsi, 20 orang di tingkat kabupaten terdiri dari Kementerian Kehutanan dan
unit pelaksana teknisnya di daerah, Tim Pinjam Pakai Kawasan Hutan, perguruan
tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), konsultan, masyarakat dan
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP). Informan kunci ini ditentukan secara
snowball. Pada penelitian ini digunakan pendekatan kelembagaan dan SSBP
(situation, structure, behavior, performance) yang didukung dengan analisis isi
(content analysis), analisis pemangku kepentingan (stakeholder analysis) dan
analisis deskriptif kualitatif.
Situasi kebijakan ditandai oleh karakteristik SDH yang secara dejure
dikuasai pemerintah, tetapi defacto open access, sifat keberadaan tambang di atas
permukaan lahan, biaya transaksi yang tinggi untuk memperoleh informasi

potensi dan sebaran batubara, dan pola interaksi, komunikasi dan koordinasi antar
pemerintahan yang kurang lancar sehingga menambah biaya pelaksanaan
kebijakan (policing cost). Situasi tersebut mempengaruhi penyusunan struktur
kebijakan usaha tambang di kawasan hutan. Kelembagaan kesejarahan
menunjukan bahwa kebijakan usaha pertambangan sejak era kolonial hingga era
reformasi (path dependency) belum mengalami perubahan, dimana sektor
pertambangan dan kehutanan masih ditempatkan sebagai tumpuan dan penopang
pertumbuhan ekonomi melalui rezim ekstraksi SDA tanpa memperhitungkan daya
dukung lingkungannya. Persoalan konflik kebijakan tidak muncul di era Kolonial
dan mulai muncul pada era Orde Lama dalam bentuk konflik laten. Pada era Orde
Baru muncul konflik permukaan karena penetapan areal yang sama untuk wilayah

tambang dan kawasan hutan, namun konflik tersebut dapat diredam dengan
keberadaan Inpres No.1/1976 sebagai salah satu solusi atas konflik pemanfaatan
lahan.
Struktur kebijakan mempengaruhi perilaku aktor pemerintah yang masih
melakukan ‘negosiasi’ dan melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam
proses perizinan dan pelaksanaan kebijakan dengan pelaku usaha. Pelaku usaha
(agent) dengan kekuatan modal berupa rente ekonomi yang tinggi (US$ 20 per
ton), SDM yang berkualitas, jejaring kekuasaan yang luas, dan teknologi

informasi yang canggih telah mempengaruhi pemerintah (principal) dalam
menyusun kebijakan publik yang diarahkan untuk keamanan dan keuntungan bagi
kepentingan bisnisnya. Hal ini menunjukkan ada ketidakseimbangan kekuasaan
dan ketimpangan informasi antara pelaku usaha dengan aparatur negara yang
memunculkan kasus penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan di lapangan.
Contohnya pelaku usaha yang berorientasi hit and run dan rent seekers, tidak
memiliki NPWP dan menunggak pembayaran royalti dan dana jaminan reklamasi
masih tetap dapat beroperasi dengan aman.
Pada akhirnya perilaku aktor menghasilkan pelaksanaan usaha tambang di
kawasan hutan yang ditandai dengan biaya transaksi yang tinggi dalam proses
perizinan, kegiatan reklamasi yang tidak dilaksanakan, ketimpangan alokasi
produk batubara untuk kebutuhan domestik dan ekspor batubara, manipulasi
produksi dan ekspor batubara, dan ketidak konsistenan kebijakan pengurusan
tambang di kawasan hutan. Dengan demikian, beberapa poin penting perbaikan
kelembagaan sebagai opsi kebijakan usaha tambang di kawasan hutan adalah
pengaturan atau pengendalian perilaku pelaku usaha tambang; penguatan nilai
kebijakan dan birokrasi pemerintah; penyempurnaan aturan yang digunakan;
pemenuhan keseimbangan informasi untuk menghindari asymmetric power and
information; pengaturan kembali persoalan rente ekonomi; dan peningkatan
koordinasi dan komunikasi.

Kata kunci: resolusi konflik, pinjam pakai kawasan hutan, struktur kebijakan,
kontestasi dan penataan kelembagaan

SUMMARY
SUBARUDI. Policy on Conflict Resolution of Mining Business in Forest Areas:
Study Case in East Kalimantan. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO,
SUDARSONO SOEDOMO and HADIYANTO SAPARDI.
Natural resource management (NRM) system in Indonesia distributed into
sectors (situation) so that they affected the formulation of regulation on the
existing NRM, either written form or unwritter form (structure). These regulations
influence the behavior of government and company actors based on their interests
and ego sectoral orientation. General objective of the research is to formulate right
policy in describing and resolution of policy on sustainable mining business in
forest area, which are translated into specific objectives, namely: (1) to analyse
performance and behavior of actors in the policy on mining business in forest
area; (2) to analyse historical institution and situation in the policy on mining
business in forest area; (3) to formulate institutional setting for improving the
performance of policy on mining business in forest area.
The research was conduted in East Kalimantan Province (EKP) with the
location focus at Kutai Kartanegara District and Samarinda City. Data collection

was conducted through an in-depth interview, involved and field observations,
and document review. Informants consisted of 10 persons at central level, 15
people at province level, and 20 people at district/city level. Resource persons
were officers from the Ministry of forestry and its technical implementation units,
persons involved in the team of leasehold forest area (TLFA), academicians,
NGO, consultants, and mining business license holders. These key informants
were determined through snowball approach. This research used institutional
analysis and SSBP (situation, structure, behavior, and performance) approaches
and supported by content analysis, stakeholders analysis, and descriptive
qualitative analysis.
Policy situation indicated by the forest resources characteristic that dejure
belongs to the government, but defacto is open acces, surface mining condition,
high transaction cost for obtaining information on potency and distribution of
coal, and pattern of interaction, communication, and coordination among
government levels. This situation influenced the formulation of policy structure.
Historical institution indicated that the policies of mining business in forest area
since colonial era to reformation era (a path dependency) has not changed, where
both forestry and mining sectors have been put as a mainstay for supporting
economic growth through natural resource extraction regime without cosidering
an environmental carrying capacity. Policy conflict problem has not rised at

colonial era and emerged at Old Order era in form of latent conflict. At New
Order era it created surface confict because the setting of same area for mining
territory and forestry zone, however, the conflict was muffled with the presence of
Presidential Instruction (Inpres) No.1/1976 as conflict solution and at the same
time positioning of mining sector as priority and superiority. Policy conflict
between the two sectors is predicted to be continued because forestry regime has
given the government to appoint the forest area, meanwhile mining regime has set

up the same territory to be completely allocated as mining zones, except the
forbidden area for mining activity.
Policy structure influenced the behavior government actors who conduct
‘negosiation’ and collusion, corruption and nepotism in the license process and
policy implementation with the business actors. Company actor (agent) with the
strong capital such as high economic rent (US$ 20 per ton), qualified human
resources, broad web of power, and sophisticated information technology has
influenced the beauraucrat (principal) to formulate public policies in order to
maintain and benefit their business interests. This indicated that there are
assymmetric power and information between agent and principal that create abuse
of power and misconduct in the field. For example, business actor with
orientation of hit and run and rent seekers, without tax payment number (NPWP)

and cancellation of royalty and reclamation guarantee fund, but they still operate
safely.
At the end the behaviour of actors in mining business determine the
performance of coal mining management that indicated by high transaction cost in
licensing process, no post mining reclamation, unbalanced coal product allocation
for domestic and export purposes, manipulation of coal production and export,
and the presence of moral hazard, and unconsistant implemnetation of policy on
mining in forest area. Therefore, several important points for institutional
improvement as policy options in mining business in forest area are arranging or
controlling of behavior of mining business actors; strengthening of government
policy and beaurocracy; improvement of rule in use; the fulfillment of information
balancing to prevent power and information asymmetry; rearrangment of mining
economic rent; and improving coordination and communication.
Key words: conflict resolution, leasehold forest area, policy structure,
contestation, and institutional arrangement

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

xi

KEBIJAKAN RESOLUSI KONFLIK USAHA TAMBANG
DI KAWASAN HUTAN: STUDI KASUS
DI KALIMANTAN TIMUR

SUBARUDI

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr.Ir. Iman Santoso, MSc
Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.F.Trop

Penguji pada Ujian Terbuka: Dr.Ir. Iman Santoso, MSc
Dr.Ir.Yulius Hero, MSc.F.Trop

Judul Disertasi: Kebijakan Resolusi Konflik Usaha Tambang di Kawasan Hutan:
Studi Kasus di Kalimantan Timur
Nama
: Subarudi
NIM
: E161110051

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
Ketua

Dr Ir Sudarsono Soedomo, MSMPPA
Anggota

Dr Ir Hadiyanto Sapardi, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pengelolaan Hutan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Hardjanto, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian Tertutup: 11 Juli 2016
Tanggal Sidang Promosi: 1 September 2016

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan ridho-Nya sehingga Disertasi dengan judul ”Kebijakan Resolusi Konflik
Usaha Tambang di Kawasan Hutan: Studi Kasus di Kalimantan Timur” ini dapat
diselesaikan. Disertasi ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan, sebagai
syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Disertasi ini disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu Bab I berisikan
pendahuluan, perumusan masalah dan tujuan penelitian serta pendekatan yang
digunakan, Bab II menganalisis persoalan kinerja usaha tambang di kawasan
hutan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, Bab III mengalisis perilaku
aktor di dalam ruang interaksi perizinan tambang di kawasan hutan, Bab IV
membahas kelembagaan dari sisi kesejarahan institusi pengurusan tambang di
kawasan hutan sejak era kolonial, orde lama, orde baru, dan orde reformasi, dan
Bab V mensintesa persoalan yang muncul dari lima bab terdahulu melalui
pendekatan penataan kelembagaan usaha tambang di kawasan hutan.
Dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo, MS selaku ketua komisi pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan pengetahuan kelembagaan
untuk memahami kerangka berpikir pendekatan kelembagaan khususnya
kelembagaan kesejarahan dan pilihan rasional, dan membantu mendapatkan
data-data penting terkait dengan kinerja tambang di kawasan hutan hingga
tersusunnya disertasi ini.
2. Dr Ir Sudarsono Soedomo, MS, MPPA anggota komisi pembimbing yang
selalu memberikan pandangan kritis atas suatu kebijakan publik dan ekonomi
usaha tambang, bagaimana memahami konteks dan fakta, menuliskan fakta
dengan baik agar penulis berpijak pada tatanan dan norma yang benar dalam
memahami fenomena di lapangan dan mengkaitkannya dengan konsep hingga
tersusunnya disertasi ini.
3. Dr Ir Hadiyanto Supardi, MSc anggota komisi pembimbing, juga sebagai
praktisi pertambangan, yang selalu bersedia mendiskusikan dan mencermati
secara seksama berkaitan dengan hal teknis dan administrasi usaha tambang
dan memberikan motivasi dalam percepatan penulisan sehingga penulis dapat
menyelesaikan disertasi ini.
4. Dr. Ir. Iman Santoso, M.Sc, Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.F.Trop dan Dr. Ir.
Muhdin, MSc.F.Trop selaku penguji luar komisi pada Ujian Tertutup dan Dr.
Ir. Iman Santoso, M.Sc dan Dr. Ir. Yulius Hero, MSc.F.Trop, dan Dr. Ir.
Muhdin, MSi pada Sidang Promosi yang memberikan pandangan lain
berkaitan dengan kejelasan alur pikir penelitian untuk masing-masing bab dan
menambah khazanah kebaruan dari penelitian ini;
5. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan
Hutan Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya yang telah membantu
kelancaran selama penulis mengikuti seluruh proses pembelajaran program S3 di Sekolah Pascasarjana IPB.

6. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajarannya atas kesempatan dan
izin yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Strata 3 di
Sekolah Pascasarjana IPB.
7. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta jajarannya yang
memberikan beasiswa dalam menempuh pendidikan dan penelitian di Sekoah
Pascasarjana IPB.
8. Teman-teman IPH angkatan 2009-2014 atas waktu untuk berdiskusi dan
bertukar pendapat, khususnya angkatan 2011 atas dukungan dan motivasi,
kebersamaan, kekompakan dan kekeluargaannya selama ini;
9. Istri dan anakku serta keluarga besar tercinta saya yang memberikan semangat
dan dukungan moral secara terus menerus dalam penyelesaian pendidikan di
Sekolah Pascasarjana IPB.
10. Sahabat karibku, Ari Wibowo, yang selalu memberikan motivasi, semangat
dan dukungan moral untuk segera menyelesaikan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB.
11. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, yang telah
membantu dalam rangka penyediaan dan kelengkapan data, wawancara,
informasi pendukung dan literatur lainnya selama penelitian dan penulisan
disertasi;
Semua dukungan yang telah diberikan kepada kami adalah bagian penting
dari penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT akan membalas jasa dan budi
baik kita semua. Aamiin YRA.

Bogor, September 2016
Subarudi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
ISTILAH DAN SINGKATAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kebaruan (Novelty)
Metode Penelitian

iii
v
vi
vii
1
1
3
4
7
8
8
8
10

2

KINERJA USAHA TAMBANG DI KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

21
21
21
23
38

3

PERILAKU AKTOR DALAM PELAKSANAAN
KEBIJAKAN PERIZINAN TAMBANG DI KAWASAN
HUTAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

40
40
41
45
71

KEBIJAKAN PENGURUSAN TAMBANG DALAM
KAWASAN HUTAN: PENDEKATAN HISTORICAL
INSTITUTION
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

73
73
74
75
89

PENATAAN KELEMBAGAAN USAHA TAMBANG
DI KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Metode Penelitian
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

91
91
92
92
110

6

PEMBAHASAN UMUM

111

7

KESIMPULAN DAN SARAN

116

4

5

Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

116
118
119

LAMPIRAN

129

RIWAYAT HIDUP

151

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Jenis usaha tambang batubara dan non batubara di Pulau Kalimantan
Waktu dan lokasi penelitian
Kerangka Pendekatan dan Analisis Data Penelitian
Penggunanan metode SSBP untuk tiga kegiatan riset kebijakan
Ukuran kuantitatif terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak
Jenis penerimaan negara dari sektor pertambangan batubara
Negara importer terbesar produk batubara Indonesia (2010-2014)
Rente ekonomi usaha batubara CV AW Tahun (2008-2010) dan 2013
Produksi dan ekspor batubara nasional 5 tahun terakhir (2006-2010)
Target dan realisasi PNBP-PKH 2009-2013
Karakterik usaha tambang batubara di Kota Samarinda
Pengaruh pajak ekspor, peningkatan royalti, PNBP kehutanan dan
PBB, biaya transaksi perizinan atas tingkat keuntungan PT CEM
Kasus konflik kebijakan usaha tambang di kawasan hutan
berdasarkan sejarah minerba di Indonesia
Jumlah IUP tahap eksplorasi dan eksploitasi di Provinsi Kalimantan
Timur Tahun 2012
IPPKH-SE, PP-PKH dan IPPKH sampai Oktober 2013
Perkembangan persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan untuk
tambang dan non tambang di Kalimantan Timur tahun 2008-2012
Kinerja di bidang usaha tambang di kawasan hutan berdasarkan
sejarah minerba di Indonesia
Jenis usaha tambang batubara dan non batubara berstatus CnC di
Pulau
Kasus pidana korupsi kehutanan di Provinsi Kalimantan Timur
Perkembangan monitoring pelaksanaan reklamasi
Daftar kejadian dan nama korban meninggal karena tenggelam di
lubang bekas tambang
Tujuan, variabel, metode pengumpulan data, analisis dan sumber
data
Produksi dan ekspor batubara Kalimantan Timur tahun 2004-2013
Perkembangan harga batubara internasional dan HBA (2009-2015)
Perhitungan PNBP untuk tambang terbuka di hutan produksi
Penentuan peringkat faktor penyebab konfik kebijakan tambang di
tingkat pusat
Tipologi konflik kebijakan usaha tambang di kawasan hutan di
Kaltim
Perubahan materi PNBP pada PP No. 2/2008 dan PP No. 33/2014
Perkembangan peraturan perundangan usaha tambang di kawasan
hutan periode 1999-sekarang
Tipe hak dan strata pemegang hak kepemilikan tambang batubara di
kawasan hutan
Alokasi kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan

10
11
13
16
18
22
23
24
25
25
26
26
28
30
31
32
33
34
35
36
37
44
47
48
49
53
57
78
81
83
84

32
33

Hasil analisis isi tiga peraturan perundangan tambang di kawasan
hutan
84
Poin penting penataan kelembagaan sebagai opsi kebijakan 109
pengurusan tambang di kawasan hutan

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7

Kerangka pemikiran kebijakan usaha tambang berkelanjutan di
kawasan hutan
Diagram kepentingan dan pengaruh para pihak (Reed, et al.
2009)
Perkembangan produksi dan ekspor
Alur pikir proses perizinan tambang batubara di kawasan hutan
Grafik hubungan antara jumlah ekspor illegal dan harga batubara
Matriks kepentingan-pengaruh untuk pengurusan IPPKH
Kerangka pikir yang digunakan dalam kebijakan pengurusan
tambang di kawasan hutan

7
19
24
42
48
60
74

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Perhitungan PNBP untuk PT CEM di hutan produksi
Tingkat kepentingan TP2KH atas penyelenggaraan IPPKH
Analisis isi terhadap empat UU dalam pembangunan ekonomi
di era orde lama
Analisis isi terhadap empat UU dalam pembangunan ekonomi
di era orde baru
Perbedaan substansi UU No. 11/1967 dan UU No. 4/2009
Perkembangan peraturan perundangan usaha tambang di
kawasan hutan periode 1999-sekarang
Hasil analisis isi Undang-Undang tambang di kawasan hutan

129
131
132
135
139
142
146

ISTILAH DAN SINGKATAN
APL
BPKH
BP2HP
BPDAS
BPDAS PS
BPN
CnC
COI
DitjenPlan
Ditjen PHKA
Dishut
DPPTKH

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

DPRD
:
DR
:
ESDM
:
HGB
:
HGU
:
HK
:
HL
:
HPK
:
HPT
:
IPK
:
IPHH
:
IPPKH
:
IPPKH-SE
:
IPPKH-PP
:
Inpres
:
ISO
:
IUP
:
IUPHHK-HT :
IUPHHK-HA :
IUPHHK-RE :
Kemendag
:
Kemendagri :
KemenESDM:
Kemenhut
:
Keppres
:
KKN
:
KPH
:
KPK
:
KSDA
:
LH
:
LHK
:
LSM
:
Minerba
:

Areal Penggunaan Lain
Balai Pemantapan Kawasan Hutan
Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial
Badan Pertanahan Nasional
Clear and Clean
Conflict of Interest
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Dinas Kehutanan
Direktorat Pengukuhan Penatagunaan dan Tenurial Kawasan
Hutan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Dana Reboisasi
Energi dan Sumber Daya Mineral
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha
Hutan Konservasi
Hutan Lindung
Hutan Produksi yang dapat dikonversi
Hutan Produksi Terbatas
Izin Pemanfaatan Kayu
Izin Pemungutan Hasil Hutan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Survey dan Eksplorasi
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Persetujuan Prinsip
Instruksi Presiden
International Standard Organisation
Izin Usaha Pertambangan
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem
Kementerian Perdagangan
Kementerian Dalam Negeri
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Kementerian Kehutanan
Keputusan Presiden
Korupsi Kolusi dan Nepotisme
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Komisi Pemberantasan Korupsi
Konservasi Sumber Daya Alam
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Lembaga Swadaya Masyarakat
Mineral dan Batubara

NPWP
NT
PPKH
Perda
Perpu
PT
P3D
PKP2B
PNBP
PP
PSDH
RHL
RTRWP
RKTN
RPPH
SDA
SDH
SDM
SPHL
SK
SKPD
SOP
TGHK
TP2KH
Tahura
UPT
UU
UUD
WIUP

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Nomor Pokok Wajib Pajak
Nilai Tegakan
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Peraturan Daerah
Peraturan Pengganti Undang-Undang
Panitia Tata Batas
Personel, Sarana dan Prasarana, Pembiayaan dan Dokumen
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
Pendapatan Negara Bukan Pajak
Peraturan Pemerintah
Provisi Sumber Daya Hutan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional
Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan
Sumber Daya Alam
Sumber Daya Hutan
Sumber Daya Manusia
Sistem Pengelolaan Hutan Lestari
Surat Keputusan
Satuan Kerja Perangkat Daerah
Standar Operasional dan Prosedur
Tata Guna Hutan Kesepakatan
Tim Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Taman Hutan Raya
Unit Pelaksana Teknis
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar
Wilayah Izin Usaha Pertambangan

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber hukum pengurusan Sumber Daya Alam (SDA) terdapat dalam
Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945 dan Perubahannya yang menyebutkan: “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengaturan lebih
lanjut dari pengelolaan dan pemanfaatan SDA diatur melalui peraturan dalam
bentuk undang-undang (UU). UU tersebut meliputi: (i) UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (ii) UU No. 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (iii) UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan1, (iv) UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air2,
(v) UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (vi) UU No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, (vii) UU No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, (viii) UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi, dan (ix) UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Keberadaan UU di atas menunjukkan bahwa sistem pengelolaan SDA di
Indonesia terdistribusikan dalam sektor-sektor sehingga mempengaruhi
penyusunan aturan main dalam pengelolan SDA yang ada. Kerraf (2010)
menyatakan bahwa pemerintahan orde baru berorientasi untuk menarik investasi
untuk pembangunan ekonomi sehingga mengabaikan persoalan lingkungan dan
sosial. Pengabaian salah satu dari tiga pilar pembangunan berkelanjutan akan
berdampak kepada ketidakmerataan hasil pelaksanaan pembangunan tersebut.
Di sektor pertambangan, ada 4 (empat) faktor penyebab kebijakan usaha
pertambangan yang tidak berkelanjutan di kawasan hutan, yaitu: (1) ketimpangan
antara dampak lingkungan dan kontribusi ekonomi (Direktorat SDMP 2003), (2)
penetapan royalti yang kurang tepat, (3) kurang konsistennya kebijakan kehutanan
(Arizona 2013), dan (4) lemahnya penegakan hukum lingkungan (Jatam 2006).
Selama ini pertambangan dipersepsikan sebagai sektor tidak ramah
lingkungan. Direktorat SDMP (2003) menyatakan bahwa kegiatan pertambangan
dianggap paling merusak dibandingkan kegiatan eksploitasi SDA lainnya.
Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan
menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, menguras air tanah dan air
permukaan. Reklamasi lahan-lahan bekas pertambangan yang tidak dilaksanakan
akan membentuk lubang raksasa dan hamparan tanah gersang bersifat asam.
Namun demikian, sektor pertambangan menyumbang 11,2% dari nilai ekspor
Indonesia dan memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik
bruto (PDB) serta menyerap tenaga kerja sebanyak 37.787 orang.
1

UU No. 41/1999 telah direvisi menjadi UU No. 19/2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41/1999 tentang Kehutanan; namun demikian mengingat perubahan tersebut tidak terlalu
signifikan, maka khalayak masih merujuk UU No. 41/1999 sebagai UU Kehutanan.
2

UU No.7/2004 ini dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui
Putusan MK No. 85/PUU-XII/2013 karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan
pengelolaan sumber daya air dan untuk menjembatani kekosongan hukum UU tersebut
dikembalikan ke UU No. 11/1974.

2
Penetapan royalti oleh pemerintah dinilai kurang tepat dan terlalu rendah
sehingga menguntungkan pelaku usaha tambang. Menurut Tjandra (2013) sistem
royalti yang dipungut dari pengusaha tambang saat ini dirasakan terlalu rendah
bagi pemerintah. Sebagai contoh PT Freeport hanya memberikan royati tak lebih
dari 1% kepada pemerintah atas penjualan emasnya. Padahal sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Yang Berlaku Pada Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral seharusnya pemerintah bisa memperoleh paling sedikit
4% dari royalti tambang emas (Tjandra 2013). Hasil pengecekan terhadap PP
No.45/2003 dan PP No. 9/2012 sebagai pengganti PP No.45/2003 menyebutkan
bahwa royalti untuk emas ditetapkan 3,75% dari harga jual emas per kg. Royalti
emas PT Freeport 1% masih lebih rendah dibandingkan dengan royalti emas di
Ghana, yaitu 3%-6% sesuai dengan Ghana Mining Act 2006 (Gajigo et.al 2012).
Kebijakan kehutanan yang kurang konsisten ditunjukkan oleh banyaknya
proses yudicial review atas keberadaan Undang-Undang (UU) No. 41/1999
tentang Kehutanan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Arizona (2013) di
antara UU di bidang tanah dan SDA lainnya, UU Kehutanan paling sering diuji ke
MK, yakni sebanyak 7 (tujuh) kali dengan hasil keputusannya adalah 3 (tiga) kali
dikabulkan, 2 (dua) kali ditolak dan 2 (dua) kali tidak diterima. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak persoalan konstitusional dalam UU Kehutanan
dikarenakan pada waktu penyusunannya tahun 1999 dilakukan sebelum waktu
pelaksanaan empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002). Selain persoalan
kompatibilitas dengan upaya amandemen UUD 1945, UU No.41/1999 memiliki
kelemahan dari segi substansi, yaitu: (i) penunjukkan dan penetapan kawasan
hutan berdasarkan Putusan MK No. 45/2011; (ii) penetapan hutan adat
berdasarkan Putusan MK No.35/2012; dan (iii) pemanfaatan hasil hutan untuk
masyarakat lokal (adat) berdasarkan Putusan MK No. 95/2014.
Penegakan hukum yang lemah dalam pengurusan tambang di kawasan
hutan ditandai dengan banyaknya pemilik tambang yang membiarkan lahan bekas
tambang tanpa direklamasi dan banyaknya izin-izin usaha tambang yang masih
beroperasi di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tanpa ada tindakan
tegas dari aparat penegak hukum setempat (Jatam 2006). Maimunah (2014b)
melaporkan bahwa lubang-lubang bekas tambang yang tidak direklamasi di
Kalimantan Timur (Kaltim) tahun 2011-2014 telah merenggut 12 (dua belas)
nyawa anak-anak karena tenggelam dalam lubang tersebut. Namun proses hukum
atas kasus tersebut berjalan lambat.
Persoalan-persoalan tersebut diatas menarik untuk diteliti lebih lanjut
sebagai upaya untuk menemukan persoalan apa sesungguhnya yang
mengakibatkan pengurusan usaha tambang tidak berkelanjutan di kawasan hutan.
Ketidakseimbangan antar ketiga faktor ekonomi, sosial dan lingkungan yang
sudah dipaparkan di bagian awal dan ditengarai sebagai gejala masalah, hanya
merupakan gejala (symptoms) dari keberadaan akar masalah sesungguhnya, yaitu
kebijakan usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan. Penelitian kebijakan
usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan menjadi penting, sehingga hasil
penelitian yang dihasilkan menemukan kebenarannya. Dengan demikian,
penyataan Dunn (2003) bahwa kebijakan yang efektif adalah kebijakan yang
dirumuskan atas dasar perumusan masalah yang tepat dan terdapat kemampuan
menjalankan solusinya di lapangan akan terwujud.

3
Perumusan Masalah
Ketiga aspek ekonomi, sosial dan ekologi dari usaha tambang seharusnya
dikelola secara seimbang sehingga keberlanjutan usaha tambang tersebut dapat
terjamin. Masalah-masalah yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan
kebijakan usaha tambang meliputi masalah ekonomi berupa penetapan royalti
yang rendah, masalah sosial yang diindikasikan oleh terjadinya konflik sosial dan
masalah lingkungan berupa kegiatan reklamasi belum dilaksanakan sepenuhnya
dan perubahan bentang alam.
Masalah ekonomi usaha tambang dapat dilihat dari penerimaan negara
dalam bentuk royalti yang rendah. Tjandra (2013) menyatakan bahwa bagi hasil
royalti yang diterima pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dari sektor
pertambangan relatif rendah, sehingga praktik kemanfaatan ekonomi dari hadirnya
aktivitas pertambangan di berbagai daerah patut dipertanyakan.
Masalah sosial dapat diukur dari jumlah konflik sosial yang terjadi di areal
konsesi pertambangan. Konsorsium Pembaharuan Agraria (2013) melaporkan
bahwa jumlah kasus konflik di bidang pertambangan (38 kasus) lebih banyak dari
kasus konflik di bidang kehutanan (31 kasus).
Masalah lingkungan terkait dengan kegiatan penambangan yang
berlebihan dan tidak dilakukannya kegiatan reklamasi telah dilaporkan oleh
Kusmiadi (2008), sehingga akan mengancam kelestarian lingkungan. Pengaruh
usaha pertambangan terhadap lingkungan perlu diperhatikan secara seksama
karena dampak tersebut terus berlangsung walaupun usaha tambang tersebut
sudah ditutup (Soedomo 2013). Disamping itu, realisasi kegiatan reklamasi hanya
mencapai sekitar 39% dari areal yang telah dibuka tersebut (Tropis 2013). Aspek
fisik lingkungan telah dikaji oleh Hasiman (2012) yang menegaskan bahwa
kegiatan pertambangan menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran sungai
dan air tanah, mendangkalkan sungai sebagai penampungan air.
Data dan fakta di atas menegaskan bahwa salah satu akar masalah dari
hambatan dalam menyeimbangkan ketiga faktor ekonomi, sosial dan lingkungan
dari usaha tambang adalah kelembagaan usaha tambang berkelanjutan di kawasan
hutan. Dalam penelitian ini lokasi yang dipilih adalah Kalimantan Timur, dimana
Pemerintah Kota Samarinda begitu mudahnya mengeluarkan IUP di wilayah
perkotaannya, sementara Kota Balikpapan menolak secara tegas keberadaan usaha
tambang di wilayahnya. Pendekatan ilmu kelembagaan (institusi) digunakan
untuk menguatkan kebijakan usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan.
Dengan demikian, ada 3 (tiga) pertanyaan penting penelitian yang diharapkan
dapat mengungkap persoalan usaha tambang berkeberlanjutan tersebut yaitu:
1. Dampak apa yang ditimbulkan dari pengaruh situasi kelembagaan (situation)
terhadap keberadaan kelembagaan kesejarahan (structure) usaha tambang di
kawasan hutan yang berkelanjutan?
2. Bagaimana pengaruh kelembagaan (structure) terhadap perilaku aktor
(behavior) dan dampaknya terhadap kinerja (performance) kebijakan usaha
tambang berkelanjutan di kawasan hutan?
3. Bagaimana penataan kelembagaan untuk meningkatkan kinerja kebijakan
usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan yang efisien, efektif dan
disepakati para pihak untuk menghindari kerusakan sumber daya hutan?

4
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berawal dari data dan fakta bahwa usaha pertambangan lebih
mengutamakan aspek ekonomi daripada aspek sosial dan lingkungan, padahal
kebijakan untuk mengurusi tambang di kawasan hutan telah diterbitkan. Selain
itu, beberapa temuan yang menjelaskan bahwa kebijakan usaha tambang
berkelanjutan di kawasan hutan ditentukan oleh: (1) ketimpangan antara dampak
lingkungan dan kontribusi ekonomi (Direktorat SDMP 2003), (2) penetapan
royalti terlalu rendah, (3) kurang konsistennya kebijakan kehutanan (Arizona
2013), dan (4) lemahnya penegakan hukum lingkungan (Jatam 2006). Dengan
begitu, diperlukan penyelesaian kebijakan usaha tambang berkelanjutan di
kawasan hutan berdasarkan analisis terhadap akar masalah yang tepat. Untuk
menemukan akar masalah tersebut, penelitian ini akan menggunakan teori
kelembagaan yang dikembangkan oleh Peters (2000) terkait aliran pemikiran
mengenai kelembagaan dan Schmid (1987) berkaitan dengan pendekatan ekonomi
kelembagaan melalui metode situasi (situation), struktur (structure), perilaku
(behavior) dan dampak atau kinerja (performance) yang selanjutnya disebut
metode SSBP. Dalam penelitian ini pendekatan kelembagaan dan SSBP diadopsi
untuk memahami dan menganalisis fenomena kebijakan usaha tambang
berkelanjutan di kawasan hutan.
Pengertian kelembagaan dalam penelitian ini mengacu kepada beberapa
definisi yang umum digunakan selama ini. North (1991) mendefinisikan
kelembagaan sebagai upaya pengaturan terhadap apa yang dilarang dan
diperbolehkan untuk dikerjakan atau suatu instrumen yang mengatur hubungan
timbal balik antar individu. Sedangkan Schmid (1987) mengartikan kelembagaan
sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, dimana mereka telah
menetapkan kesempatan yang tersedia, merumuskan bentuk kegiatan yang dapat
dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, dan memberikan hak
istimewa dan tanggung jawab yang mengikuti hak tersebut. Pengertian
kelembagaan lainnya diberikan oleh Pakpahan (1990) bahwa kelembagaan adalah
suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak yang mencakup ideologi, hukum, adat
istiadat, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kartodihardjo (2006)
mendefinisikan kelembagaan sebagai perangkat lunak, aturan main, keteladanan,
rasa percaya, dan konsistensi kebijakan yang diterapkan di dalamnya. Dalam hal
ini kelembagaan melihat hukum atau peraturan perundang-undangan dari sisi
kemanfaatan dan rasa keadilan yang ditumbuhkannya dan bukan hanya dari sisi
legalitasnya semata. Secara khusus, penelitian ini menggunakan pengertian
kelembagaan yang mengacu kepada definisi kelembagaan yang dikemukakan oleh
Pakpahan dan Kartodihardjo.
Peters (2000) menawarkan 4 (empat) aliran pemikiran atau pendekatan
mengenai kelembagaan, yaitu kelembagaan normatif (normative institution),
kelembagaan pilihan rasional (rational choice institution), kelembagaan
kesejarahan (historical institution), dan kelembagaan empirik (empirical
institution). Pendekatan kelembagaan normatif menggunakan logika tentang
kesesuaian (logic of appropriateness) yang menekankan bahwa individu-individu
sebagai anggota dari suatu institusi mempunyai perilaku yang sesuai dan
berdasarkan standar normatif yang berlaku. Dalam hal ini individu tersebut tidak
akan mengambil keputusan dan tindakan yang akan menguntungkan atau

5
mementingkan dirinya sendiri. Standar perilaku normatif tersebut kemudian
dijadikan pedoman oleh institusi dan diberlakukan sebagai landasan nilai-nilai
sosial bagi anggota-anggotanya. Pendekatan kelembagaan pilihan rasional ini
berseberangan dengan kelembagaan normatif karena menggunakan logika tentang
konsekuensi (logic of consequentility) dimana individu-individu sebagai anggota
dari suatu institusi mempunyai perilaku, nilai dan sikap yang didasarkan atas
rasionalitas tertentu dan telah disadari konsekuensi atas tindakan yang diambilnya.
Dalam hal ini institusi hanya mengatur dan menetapkan insentif bagi para
anggotanya dan perilaku anggotanya tersebut ditentukan atau dikendalikan oleh
struktur insentif tersebut. Pendekatan kelembagaan kesejarahan menekankan
bahwa kebijakan dan peraturan dalam suatu institusi yang telah dirancang
dianggap selalu memberi pengaruh secara tetap bagi anggota-anggotanya dalam
jangka waktu yang panjang. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat jejak
ketergantungan (path dependency) antar waktu, dimana institusi saat ini akan tetap
memberi pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang ditetapkan di masa datang.
Pendekatan kelembagaan empirik lebih difokuskan kepada analisis terhadap
bukti-bukti yang ada (empirik) dengan pelaksanaan kebijakan suatu institusi.
Dalam hal ini dapat dianalisis apakah institusi yang baru dibentuk atau pengganti
dari institusi yang lama masih menerapkan kebijakan-kebijakan yang sama (lama)
atau telah menggantinya dengan kebijakan yang baru.
Persoalan pendekatan kelembagaan mana yang dipilih dalam analisis
kelembagaan, Kartodihardjo (2006) menegaskan bahwa pendekatan kelembagaan
mana yang dipilih sangat tergantung pada asumsi-asumsi yang digunakan dan
kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi lapangan yang dihadapi. Dalam
penelitian ini pendekatan kelembagaan yang dipilih adalah kelembagaan
kesejarahan dengan alasan: (i) kelembagaan kesejarahan dapat menjelaskan jejak
ketergantungan secara runtun antara kebijakan masa lalu dan masa kini dalam
pengurusan tambang di kawasan hutan, (ii) kelembagaan kesejarahan dapat
memberikan pelajaran yang berharga yang telah diambil di masa untuk dapat
diterapkan pada masa yang akan datang, (iv) kesesuaian dengan konteks dan
ruang lingkup penelitian terhadap akar masalah kebijakan usaha tambang
berkelanjutan di kawasan hutan dengan pendekatan kelembagaan, dan (v)
kesesuaian dengan kondisi serta situasi lapangan yang banyak ditemukan kasuskasus penyimpangan dan pelanggaran terhadap aturan main pengurusan tambang
di kawasan hutan.
Untuk analisis lebih lanjut, pengaruh situasi kelembagaan terhadap
struktur, kemudian struktur mempengaruh perilaku aktor dan perilaku aktor
menghasilkan kinerja kelembagaan dilakukan dengan menggunakan metode
SSBP. Metode SSBP ini menekankan bahwa situasi dan struktur dapat saling
mempengaruhi, kemudian kedua unsur tersebut secara bersama-sama
mempengaruhi perilaku dan akhirnya perilaku mempengaruhi dan menentukan
kinerja yang ditunjukkan (Schmid 1987; 2004). Untuk melakukan sintesa terhadap
hasil temuan penelitian digunakan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif
kualitatif adalah sebuah prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian
dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga,
masyarakat, pabrik dan lain-lain) sebagaimana adanya dan berdasarkan fakta-fakta
faktual pada saat sekarang (Nawawi dan Hadari 2006). Perumusan penataan atau
perubahan kelembagaan digunakan untuk meningkatkan dan memperbaiki kinerja

6
yang buruk atau mendapatkan kinerja lebih baik yang diharapkan. Perubahan
kelembagaan dapat dilakukan dengan dua proses, yaitu proses pelembagaan atau
perubahan secara internal atau proses institusionalisasi dan perubahan norma atau
nilai atau struktur yang menjadi karakteristik kelembagaan tersebut
(Kartodihardjo 2006).
Berdasarkan penjelasan tersebut, alur pikir yang digunakan dalam
penelitian ini fokus pada pengelolaan tambang yang berkelanjutan di kawasan
hutan. Hal ini menuntut keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan dalam pengurusan tambang di kawasan hutan. Ketidakseimbangan
antar ketiga faktor tersebut adalah persoalan kebijakan dan peraturan (structure)
usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan yang dipengaruhi oleh situasi
berupa karakteristik sumber daya hutan (SDH) dan hubungan antar pemerintahan
(situation), dan kebijakan dan peraturan yang mempengaruhi perilaku (behavior)
para aktor dengan peranan, pengaruh dan kepentingannya serta dampak perilaku
terhadap kinerja (performance) pelaksanaan kebijakan usaha tambang di kawasan
hutan. Potensi konflik kebijakan tersebut dianalis dengan menggunakan kerangka
analisis SSBP (Schmid 1987; 2004) dan pendekatan kelembagaan yang
dikembangkan oleh Peters (2000) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa penulisan disertasi meliputi 5 (lima) bab yang
terdiri dari: (i) Bab I berisikan pendahuluan, perumusan masalah dan tujuan
penelitian serta pendekatan yang digunakan; (ii) Bab II menganalisis kinerja
(performance) usaha tambang di kawasan hutan dengan faktor-faktor yang
mempengaruhinya; (iii) Bab III membahas membahas perilaku aktor di dalam
ruang interaksi usaha tambang di kawasan hutan (behavior); (iii) Bab IV
membahas struktur kelembagaan dari sisi kesejarahan institusi pengurusan
tambang di kawasan hutan sejak jaman kolonial, orde lama, orde baru, dan orde
reformasi (structure); dan (vi) Bab V mensintesa persoalan yang muncul dari lima
bab terdahulu melalui pendekatan penataan kelembagaan (institutional setting)
untuk menjawab akar masalah usaha tambang di kawasan hutan dan memberikan
opsi-opsi kebijakan sebagai landasan pembaruan kebijakan usaha tambang di
kawasan hutan di masa yang akan datang.

7

3
Struktur:
Kelembagaan
Sejarah Tambang
di KH

2

Situasi:

Perilaku:
Peranan Aktor
dalam Usaha
Pertambangan

Karakteristik SDH
Informasi potensi
dan sebaran
Pola interaksi,
komunikasi dan

koordinasi

1

4

Penataan
Kelembagaan:
Peningkatan Kinerja
Usaha Tambang di KH
Keterangan:

Kinerja:
Usaha Tambang
di Kawasan Hutan

Berpengaruh langsung
Berpengaruh tidak langsung

Gambar 1 Kerangka pemikiran kebijakan usaha tambang berkelanjutan
di kawasan hutan

Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memformulasikan kebijakan
yang tepat dalam mengungkap dan menyelesaikan kebijakan usaha tambang
berkelanjutan di kawasan hutan. Untuk mencapai umum tujuan itu, maka
dijabarkan tujuan-tujuan khusus sebagai berikut:
1. Menganalisis kinerja dan perilaku aktor dalam kebijakan pengurusan tambang
di kawasan hutan;
2. Menganalisis kelembagaan kesejarahan dan situasi dalam kebijakan
pengurusan tambang di kawasan hutan;
3. Memformulasikan penataan kelembagaan untuk meningkatkan kinerja
kebijakan pengurusan tambang di kawasan hutan.

8
Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat secara:
1. Keilmuan: memahami proses perumusan kebijakan dan pengaruh kebijakan
tersebut. Lebih detail, penelitian ini diharapkan memperkaya proses
pendekatan pendalaman situasi, struktur, perilaku dan kinerja pengurusan
usaha tambang di kawasan hutan
2. Praktis: memberikan gambaran tentang kelembagaan usaha tambang di
kawasan hutan; mengidentifikasi para pihak/aktor kunci dalam pelaksanaan
usaha tambang di kawasan hutan; menganalisis kebijakan ekonomi, sosial dan
lingkungan usaha tambang di kawasan hutan.
3. Menyediakan informasi dan referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai
perumusan kebijakan yang tepat untuk usaha pertambangan di kawasan hutan
dengan pendekatan kelembagaan.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1.
2.

3.

4.

Ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah:
Ruang lingkup usaha tambang dalam penelitian ini adalah usaha tambang
batubara (coal mining).
Fokus penelitian ini adalah masalah kebijakan usaha tambang berkelanjutan
yang lebih menyeimbangkan antara faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor
lingkungan.
Skala usaha tambang batubara dalam penelitian ini adalah izin usaha
pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi (IUP lintas
kabupaten/kota) dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga skala Kontrak
Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) tidak dibahas.
Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan pendekatan studi kasus
sehingga tidak dapat digeneralisasi dengan pokok bahasan yang lebih luas atau
tingkat analisis yang lebih tinggi. Namun demikian generalisasi analisis dan
sintesis masih dapat dilaksanakan. Proses analisis yang mirip dapat diterapkan
untuk kasus-kasus lain dengan komoditas tambang yang berbeda.

Kebaruan (Novelty)
Kebaruan penelitian ini terletak pada penggunaan konsep pendekatan
kelembagaan (Peters 2000) dan SSBP (Schmid 1987) untuk mengkaji
kelembagaan usaha tambang berkelanjutan di kawasan hutan mencakup situasi,
kebijakan usaha tambang di kawasan hutan, perilaku aktor dalam pengurusan
usaha tambang, dan kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan usaha tambang di
kawasan hutan. Penelitian lain di bidang kebijakan energi dan sumber daya
mineral telah dilakukan Yunianto et al. (2004) yang melakukan penelitian
sinkronisasi kebijakan pengelolaan dampak lingkungan usaha tambang dengan
program pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan metoda pemetaan sosial
(social mapping). Kemudian, Panggabean (2004) telah meninjau peranan data dan
informasi geologi dan geofisika dalam perumusan kebijakan dan penentuan
strategi pengembangan industri energi dan sumber daya mineral, termasuk aspek

9
lain dalam pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Lalu, Lestari
(2004) menawarkan teknologi hemat energi yang bersih dan efisien
(cogeneration) untuk mendukung kebijakan konservasi energi. Selanjutnya,
Hasyim (2007) melakukan penelitian kebijakan kehidupan sosial ekonomi
masyarakat, tanpa tambang nikel dengan menggunakan multi dimensional system
(MDS) untuk menyusun indeks dan status keberlanjutan kehidupan masyarakat
secara gabungan maupun parsial. Sedangkan Wibisono (2008) menganalisis
kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan mineral yang berkelanjutan
dengan menggunakan total system intervention (TSI) dengan mengedepankan
kepedulian lingkungan, complementarism dan komitmen terhadap pemberdayaan
dan penumbuhan kemandirian masyarakat. Sementara Sinaga (2010) menyusun
desain kebijakan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara
berkelanjutan dengan menggunakan analisis faktor fisik lingkungan, MDS, dan
analisis prospektif. Silalahi dan Kristanto (2011) menganalisis perizinan dalam
kegiatan pertambangan di Indonesia pasca UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dengan
menggunakan pendekatan analisis isi dan analisis hukum. Helmi (2011)
menganalisis sistem perizinan terpadu bidang lingkungan hidup di Indonesia
dengan menggunakan analisis deskriptif atas makna, hakikat dan sistem perizinan
terpadu. Maryani (2013) mengkaji kewenangan pemerintah daerah dalam
penertiban pertambangan di kawasan Taman Nasional Nani Wartabone dengan
menggunakan pendekatan hukum perdata dan pidana. Zubayr (2014) mengkaji
implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dengan
menggunakan pendekatan hubungan principal-agent. Terakhir, Prasodjo (2014)
menyusun model kebijakan pengelolaan lingkungan pertambangan batubara
berkelanjutan di Kalimantan dengan menggunakan MDS dan interpretive
structural modeling (ISM) serta valuasi ekonomi.
Unsur-unsur kebaruan dalam penelitian ini yang merupakan kelanjutan
dari penelitian-penelitian tentang konflik kebijakan usaha tambang di kawasan
hutan dikelompokkan dalam kebaruan praktis dan kebaruan konseptual:
1. Kebaruan praktis: (i) diketahuinya gambaran tentang kinerja ekonomi bahwa
perpaduan antara rente ekonomi yang tinggi dan kontrol yang lemah (bukan
disebabkan oleh struktur) karena kondisi SDH secara defacto open access
sesungguhnya memacu berbagai persoalan pertambangan yang sulit
dikendalikan dalam perpektif kelembagaan kesejarahan; (ii) struktur dalam
bentuk regulasi dan organisasi dalam kelembagaan kesejarahan belum mampu
mengendalikan perilaku aktor dalam usaha tambang di kawasan hutan karena
perubahan struktur yang dilakukan lebih bersifat administratif saja dan tidak
menyentuh substansinya untuk menjawab persoalan; (iii) perilaku aktor tidak
hanya dipengaruhi oleh salah satu faktor saja (misalnya insentif dan
disinsentif), tetapi dipengaruhi oleh kekuasaan aktor dan politiknya yang
menyebabkan ketidak adilan.
2. Kebar