Desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara (Studi kasus kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur)

(1)

DI WILAYAH PERBATASAN NEGARA

(STUDI KASUS KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR)

B U D I Y O N O

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Desain Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Di Wilayah Perbatasan

Negara (Studi Kasus Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur) adalah karya

saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2010

Budiyono


(3)

Budiyono. 2010. Desain Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara (Studi Kasus Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur). Di bawah bimbingan Supiandi Sabiham sebagai ketua komisi pembimbing, Etty Riani dan Ruchyat Deni Djakapermana sebagai anggota komisi.

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), maka program pengembangan wilayahnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) disebutkan bahwa KSN perbatasan negara kegiatan penataan ruang wilayahnya diprioritaskan dan didorong percepatan pertumbuhan ekonominya melalui pembangunan di berbagai sektor. Salah satu sektor yang harus dikembangkan untuk terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah perbatasan nrgara yaitu sektor permukiman.

Pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman disebutkan sebagai pengembangan kawasan permukiman khusus. Kawasan permukiman khusus menjadi salah satu program pembangunan yang diprioritaskan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kawasan permukiman khusus di wilayah perbatasan negara dikembangkan dengan basis potensi sumber daya alam (SDA) wilayah. Untuk mengetahui kondisi permukiman dan potensi SDA di wilayah perbatasan digunakan data dan informasi profil wilayah perbatasan. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan dan arah kecenderungan perkembangan kondisi permukiman serta potensi sumber daya alam di wilayah perbatasan dapat diketahui. Adapun data dan informasi profil di wilayah perbatasan meliputi kondisi fisik, pola perkembangan dan persebaran permukiman, potensi sumber daya alam dan lingkungan, serta sosial-ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan.

Kabupaten Nunukan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berada di wilayah perbatasan negara dan telah ditetapkan sebagai KSN. Konsekuensi dari penetapan tersebut, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk mendorong percepatan kegiatan pembangunan di berbagai sektor. Wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan selama ini belum mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dalam peningkatan anggaran pembangunan infrastruktur wilayah, permukiman, dan fasos/fasum sebagai prasyarat untuk mewujudkan pusat pertumbuhan baru (bounder city).

Pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara masih sulit untuk dilaksanakan karena selama ini pemerintah belum menyiapkan kebijakan dan strategi yang terpadu sebagai arahan pelaksanaan pembangunan bagi instansi terkait, baik di pusat maupun di daerah. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu mendesain kebijakan pengembangan kawasan permukiman wilayah perbatasan negara yang terpadu dan berkelanjutan, maka kebijakan pengembangan yang disusun harus memiliki dimensi lebih rinci dan


(4)

operasional, khususnya di tingkat kabupaten. Pendekatan pengembangan dilakukan melalui pembentukan klaster-klaster permukiman berbasis potensi SDA wilayah. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru (bounder city) wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan dapat segera terwujud.

Penelitian disertasi ini terdiri dari empat tahapan analisis. Tahap pertama yaitu analisis kondisi permukiman perbatasan di Kabupaten Nunukan untuk mengetahui kondisi saat ini (existing condition). Kondisi wilayah yang dianalisis meliputi aspek-aspek persebaran penduduk, pola pengembangan dan persebaran permukiman, kondisi fisik permukiman termasuk tingkat kekumuhan (slum area), serta ketersediaan prasarana, sarana, fasos, dan fasum. Hasil analisis menunjukkan kondisi kawasan permukiman yang pada umumnya berkelompok, berpencar, Lingkungan permukiman yang kumuh (slum area),tidak tertata, minim prasarana, fasos, dan fasum. Hal tersebut merupakan dampak dari kawasan permukiman yang tidak dikelola dengan baik dan kurangnya kegiatan yang terkait dengan program pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara.

Kedua, analisis potensi SDA wilayah dengan menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Hasil analisis sektor unggulan yang potensial digunakan untuk mendukung pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan Kluster I (Kecamatan Krayan dan Krayan Selatan) yaitu sektor pertambangan, Kluster II (Kecamatan Lumbis, Sebuku, dan Sebatik Barat) sektor perkebunan, dan Kluster III (Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sebatik) sektor perikanan.

Ketiga, analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) yang menghasilkan faktor-faktor penting sebagai pengungkit serta analisis Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mengkaji komponen kunci yang dominan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan. Hasil analisis struktur AHP yaitu (1) komponen faktor menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah dan pendanaan pembangunan menjadi prioritas utama, (2) komponen stakeholder menunjukkan bahwa pemerintah pusat dan daerah mempunyai peran utama dalam pengembangan kawasan permukiman, (3) komponen tujuan menunjukkan bahwa pengembangan dan penataan kawasan serta peningkatan kesejahteraan mendapat prioritas utama, dan (4) komponen sasaran menunjukkan bahwa strategi pengembangan kawasan permukiman menjadi prioritas utama untuk mendorong percepatan pembangunan di wilayah perbatasan negara.

Keempat, penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan menggunakan rekomendasi hasil analisis dan kajian. Arah kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan dibangun melalui dua skenario yaitu:

1. Skenario pertama dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition) dari kebijakan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara. Untuk pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pembentukan klaster-klaster permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru, (2) pembuatan informasi terpadu, (3) promosi berkala produksi sektor unggulan wilayah, (4) penguatan kerja sama antara pemda dan swasta/investor, (5) peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat, (6) pembangunan


(5)

terminal-terminal berbasis sektor unggulan wilayah sebagai showroom yang mudah diakses, dan (7) pembangunan terpadu infrastruktur kawasan dan permukiman. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: (1) peningkatan Dana Alokasi Khusus (DAK) pembangunan wilayah perbatasan, (2) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan, dan (3) evaluasi anggaran dana khusus untuk pembangunan wilayah perbatasan baik jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan seperti hal-hal berikut: (1) pengawasan dan penegakan hukum, (2) pelatihan keterampilan dan penyuluhan masyarakat, dan (3) evaluasi dan pembuatan kebijakan terkait pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan.

2. Skenario kedua dibangun atas dasar keadaan masa depan yang mungkin terjadi. Hal ini dapat dipertimbangkan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumber daya wilayah yang dimiliki sebagai rekomendasi dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara yang seimbang antara kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk pengembangan kawasan permukiman direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pembuatan informasi terpadu untuk promosi berkala hasil-hasil sektor unggulan, (2) penguatan kerja sama antara pemda, swasta/investor, (3) peningkatan kemampuan dan keterampilan masyarakat, (4) pembangunan terminal-terminal berbasis sektor unggulan sebagai

showroom yang mudah diakses, (5) pembangunan terpadu infrastruktur dan permukiman, dan (6) pemeliharaan fasum dan fasos oleh pemda dengan melibatkan masyarakat. Untuk pengembangan pembiayaan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kemudahan pembiayaan usaha oleh lembaga-lembaga keuangan dan (2) evaluasi penganggaran dana alokasi khusus untuk pembangunan permukiman di wilayah perbatasan baik untuk jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Untuk pengembangan kelembagaan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: (1) pengawasan dan penegakan hukum serta (2) pelatihan dan penyuluhan sumber daya masyarakat oleh pemda bekerja sama dengan lembaga-lembaga diklat untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja.

Rekomendasi kebijakan pengembangan permukiman berkelanjutan berbasis potensi SDA wilayah dapat menjadi pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan negara. Kondisi tersebut mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan keamanan secara seimbang sehingga wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara (show window) semakin baik, tertata, tertib, maju, dan berkelanjutan. Dalam mempertahankan keberlanjutan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, pemerintah perlu merumuskan kebijakan strategis seperti: (1) penataan kawasan, (2) pembuatan kriteria lokasi, perencanaan kawasan, pola pengembangan pembiayaan dan kelembagaan, serta (3) pengembangan investasi permukiman dan sektor pembangunan lainnya.

Hasil penelitian disertasi ini selain dijadikan arahan dalam pelaksanaan pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara Kabupaten Nunukan, juga dapat direplikasikan ke wilayah perbatasan lain di Indonesia dengan memerhatikan karakteristik daerah masing-masing.


(6)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


(7)

(8)

Assalamualaikum wr. wb.

Puji syukur kepada Allah swt. karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Disertasi ini saya susun sejalan dengan tugas dan fungsi saya sebagai pegawai Kedeputian Bidang Pengembangan Kawasan Kementerian Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Judul dan substansi materi disertasi ini dipilih karena adanya dukunngan dari ketersediaan sebagian informasi dan data yang sudah saya miliki. Selain itu, ada pula harapan yang besar dari pemerintah dan masyarakat agar pelaksanaan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara, khususnya di Kabupaten Nunukan, dapat segera terwujud.

Wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Timur berfungsi sebagai beranda depan negara. Akan tetapi, kondisi permukiman yang ada di wilayah tersebut pada umumnya masih tertinggal, tidak tertata, dan tidak dikelola dengan baik. Perlu adanya upaya yang harus dilakukan agar pengembangan permukiman wilayah perbatasan negara dapat tertata dan terkelola dengan baik. Oleh karena itu, setiap program pembangunan yang akan dilaksanakan harus tertuang dalam kebijakan dan strategi pengembangan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah.

Dalam penelitian disertasi ini, saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam pelaksanaan kebijakan bidang permukiman sering kali mengalami kesulitan di daerah, khususnya di wilayah perbatasan negara yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah karena jauh dari pusat pemerintahan. Oleh karena itu, saya memilih topik penelitian ini. Akan tetapi, saya pun menyadari pula bahwa penelitian disertasi ini masih jauh dari sempurna.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS, dan Bapak Dr. Ir. Ruchyat Deni Dj, M. Eng., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan kontribusi besar dalam bentuk saran,


(9)

perhatian dan dorongan semangat yang telah diberikan. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M. Eng. sebagai penguji luar ujian tertutup. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Bapak Dr. Ir. Tito Murbaintoro, MM sebagai penguji luar ujian terbuka. Akhirnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatian dalam penyelesaian disertasi ini.

Wassalamualaikum wr. wb.

Bogor, September 2010

Budiyono


(10)

Penulis dengan nama lengkap Budiyono lahir di Kebumen pada tanggal 12 Oktober 1959. Penulis menyelesaiakan pendidikan SDN tahun 1970, SMP tahun 1973, dan STM Jurusan Sipil tahun 1976 di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, penulis mengikuti dinas pendidikan di Lembaga Politeknik PU-ITB Jurusan Pembangunan Kota di Bandung (1988), S1 pada jurusan Teknik Planologi di Universitas Krisnadwipayana (UN-ITB) Jakarta (1996), pendidikan S2 pada Jurusan Kebijakan Publik di Universitas Krisnadwipayana Jakarta (2001), dan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di IPB (2006--Sekarang).

Selain itu, penulis juga mengikuti pendidikan informal/diklat antara lain: Kursus Manajemen Proyek Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) Regional Sulawesi dan Irian Jaya (1988), Kursus Pelatihan Tenaga Pelaksanaan Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS) (1999), Kursus Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Manusia Badan Pengelola Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (BP-KAPET) (2002), Kursus Peningkatan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Bidang Hukum (2003), ADUM/PIM-1 (2006), Kursus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau AMDAL-A (Plus) (2007). Seminar, workshop, dan kongres yang pernah diikuti antara lain di Jakarta, Kongres Nasional Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) ( 1994), Jakarta, Konferensi Energi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (1997), Jakarta, Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi (2000), Balikpapan, Convention, Seminar

7th Construction Show of The 11th BIMP-EAGA Working Group Meeting on Construction Materials (2003). Jakarta, Pembahas pada Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Penataan Ruang pengganti Undang-Undang No.24/1992 tentang Penataan Ruang Versi Perguruan Tinggi (Round Table Meeting Perguruan Tinggi, Juni-Desember 2006) (2006); Jakarta, Seminar dan Lokakarya RUU Penataan Ruang (Penyelenggara: REI, HKTI, DMI, IAI, IAP, ASSPI, URDI) (2006).


(11)

dan sebagai Staf Profesional (1990), Dit. Bina Pelaksanaan Wilayah Barat, Ditjen Cipta Karya, Dep. PU sebagai Staf Profesional (1995), Dit. Pengembangan Kawasan Khusus, Ditjen Penataan Ruang, Dep. PU sebagai Plt. Kepala Seksi, Subdit Promosi dan Investasi Kawasan (2003), Asdep Pengembangan Kawasan Khusus Deputi Pengembangan Kawasan, Kementerian Perumahan Rakyat sebagai Kepala Sub. Bidang Kawasan Ekonomi, Bidang Penataan Kawasan (2006--sekatang).

Penulis juga sebagai pengajar/dosen luar biasa di berbagai perguruan tinggi antara lain asisten dosen bidang Perencanaan Kota pada Jurusan Planologi, Universitas Krisnadwipayana (1995), dosen di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Krisnadwipayana (1997--sekarang), dosen Pascasarjana S-2 Jurusan Kajian Pengembangan Wilayah dan Kota Universitas Krisnadwipayana (2008--sekarang), dosen di jurusan Perencanaan Kota dan Real Estate, Universitas Tarumanagara (2000--sekarang), dosen pembimbing kerja praktik mahasiswa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Trisakti (2007--2009).

Karya ilmiah berbentuk diktat telah ditulis untuk mahasiswa dan praktisi yang berjudul (1) “Prasarana Wilayah dan Kota”, edisi-3 (2003), (2) diktat “Penerapan Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kota dan Bentuk Penanganan Pembangunan Permukiman Perkotaan” (2004). Tanda jasa kehormatan yang diperoleh dari Presiden RI yaitu Satyalancana Karya Satya 10 Tahun (2001) dan Satyalancana Karya Satya 20 Tahun ( 2003 ).

Penulis menikah dengan Novi Prasinta tanggal 08 November 1991. kemudian dikaruniai satu orang putri bernama Emy Mutia Zahrina serta dua orang putra yaitu Muhammad Nugroho Ramadhan dan Muhammad Mashuri Adinugroho.

Bogor, September 2010

Budiyono  


(12)

xv

Halaman

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Kerangka Pemikiran ... 7

1.6 Kebaruan (Novelty) ... 10

1.7 Istilah dan Definsi ... 12

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

2.1 Pembangunan Berkelanjutan ... 15

2.2 Penataan Ruang Wilayah ... 18

2.3 Pengembangan Permukiman ... 20

2.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan ... 22

2.5 Konsep Kebijakan ... 29

III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

3.1 Metode Penelitian ... 38

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

3.3 Rancangan Penelitian ... 39

3.3.1 Pengumpulan dan Analisis Data Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman ... 40

3.3.2 Analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) ... 40

3.3.3 Analisis Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 42

3.3.4 Analytical Hierarchy Process (AHP)... 45

3.3.5 Skenario Kebijakan dan Strategi Pengembangan ... 47

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 48

4.1 Tinjauan Umum Kabupaten Nunukan ... 48

4.1.1 Administrasi dan Geografi ... 48

4.1.2 Ketinggian dan Kemiringan ... 51


(13)

xvi

4.1.4.3 Perkebunan ... 56

4.1.4.4 Perikanan ... 56

4.1.4.5 Pertambangan... 57

4.1.4.6 Permukiman ... 58

4.1.5 Kondisi Penduduk Kabupaten Nunukan ... 61

4.1.6 Kondisi Prasarana dan Sarana ... 63

4.1.6.1 Jalan dan Angkutan Sungai ... 63

4.1.6.2 Angkutan Udara ... 67

4.1.6.3 Air Bersih ... 67

4.1.6.4 Listrik dan Telekomunikasi ... 70

4.1.7 Kondisi Ekonomi Daerah ... 70

4.1.8 Kebijakan Pembangunan Kabupaten Nunukan ... 72

4.1.9 Potensi Sumberdaya Alam dan Wilayah ... 74

4.1.9.1 Kehutanan ... 74

4.1.9.2 Pertanian ... 75

4.1.9.3 Perkebunan ... 76

4.1.9.4 Perikanan ... 76

4.1.9.5 Pertambangan ... 77

4.1.9.6 Permukiman ... 78

4.2 Analisis Kondisi Permukiman Perbatasan ... 82

4.2.1 Kondisi dan Permasalahan Permukiman Perbatasan... 82

4.2.2 Pengembangan Lahan Permukiman ... 85

4.2.3 Kemampuan Pembiayaan Pembangunan Permukiman... 88

4.3 Analisis Komparatif Sektor Unggulan Kawasan ... 89

4.3.1 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster I ... 91

4.3.2 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster II ... 93

4.3.3 Sektor Unggulan Sub Kawasan Klaster III ... 96

4.4 Analisis Strukturisasi Permasalahan dan Komponen Dominan Kebijakan ... 101

4.4.1 Elemen Permasalahan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 102

4.4.2 Elemen Tolak Ukur dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 108

4.4.3 Komponen-komponen Dominan dalam Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan Wilayah Perbatasan Negara di Kabupaten Nunukan.. ... 112


(14)

xvii

4.4.4.1. Penyusunan Strategi Pengembangan ... 131

4.5 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 138

4.5.1 Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 139

4.5.1.1 Desain Strategi Pengembangan Kawasan Permukiman... ... 139

4.5.1.2 Desain Strategi Pengembangan Pembiayaan ... 145

4.5.1.3 Desain Strategi Pengembangan Kelembagaan ... 146

4.5.1.4 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan ... 149

4.5.2 Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara ... 153

V PEMBAHASAN UMUM ... 158

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 163

DAFTAR PUSTAKA ... 165

DAFTAR ISTILAH (GLOSSARY) ... 171


(15)

xviii

Halaman

1. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk

tahun 2008 di Kabupaten Nunukan ... 5

2. Jumlah KK, jumlah rumah dan kebutuhan rumah tahun 2008 ... 6

3. Structural self interaction matrix(SSIM) awal elemen... 43

4. Hasil reachability matrix (RM) final elemen ... 43

5. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2007 ... 62

6. Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata jiwa per rumah tangga tahun 2007 ... 63

7. Banyaknya pelanggan air minum menurut jenis pelanggan 2007 ... 69

8. Struktur perekonomian menurut lapangan usaha tahun 2003 - 2007 ... 71

9. Daftar daerah berdasarkan indeks fiskal dan kemiskinan daerah di Kalimantan Timur………. 80

10. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster I ... 90

11. Nilai sektor unggulan kluster I ... 91

12. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster II ... 94

13. Nilai sektor unggulan kluster II... 94

14. Penilaian bobot kriteria terhadap sektor pendukung klaster III ... 96

15. Nilai sektor pendukung klaster III... 97

16. Perhitungan kebutuhan lahan sawah (RTRW Kabupaten Nunukan 2004-2014) ... 100

17. Elemen permasalahan pengembangan kawasan permukiman perbatasan ... 103

18. Elemen tolok ukur pengembangan kawasan permukiman perbatasan ... 109

19. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014... ... 120

20. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kawasan pada kondisi masa yang akan datang ... 132

21. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan kawasan... 133

22. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan kelembagaan pada kondisi masa yang akan datang ... 134

23. Strategi dan kombinasi kondisi faktor pengembangan pembiayaan... 135

24. Perkiraan responden mengenai permasalahan pengembangan pembiayaan pada kondisi masa yang akan datang ... 136


(16)

xix

Halaman

1. Diagram kerangka pemikiran penelitian ... 10

2. Diagram paradigma pembangunan berkelanjutan ... 16

3. Lokasi penelitian ... 39

4. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ... 45

5. Hirarki kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 46

6. Persentase luas wilayah per kecamatan... 49

7. Administrasi Kabupaten Nunukan ... 50

8. Peta fisiografis Kabupaten Nunukan ... 50

9. Persentase penyebaran dan luas ketinggian daerah Kabupaten Nunukan ... 51

10. Peta jenis tanah Kabupaten Nunukan ... 52

11. Peta pola penggunaan lahan ... 54

12. Peta kesesuaian lahan untuk hutan lindung ... 55

13. Peta kesesuaian lahan untuk pertanian ... 56

14. Peta kesesuaian lahan untuk permukiman... 58

15. Distribusi penduduk Kabupaten Nunukan menurut kecamatan 2007 ... 62

16. Persentase panjang jalan menurut jenis permukaan 2007 (km) ... 65

17. Peta kesesuaian lahan untuk keterlintasan jalan... 66

18. Banyaknya pelanggan pada PDAM Nunukan 2002 - 2007... 68

19. Banyaknya air minum yang disalurkan 2002 - 2007 (m3) ... 69

20. Banyaknya tenaga listrik yang diproduksi 2004 – 2007 ... 70

21. Luas kawasan hutan menurut tata hutan kesepakatan 2007 (ha) ... 74

22. Persentase produksi padi menurut kecamatan 2007... 75

23. Produksi komoditi kakao dan kelapa 2006-2007 ... 76

24. Persentase produksi perikanan menurut kecamatan 2007 ... 77

25. Produksi pertambangan batubara dan minyak bumi 2006-2007 ... 77

26. Kawasan tambang batubara dan minyak bumi... 78

27. Kawasan permukiman yang berkelompok dan terpencar ... 84

28. Kawasan permukiman yang berada di atas batas wilayah perbatasan ... 84

29. Kawasan permukiman yang berada di muara sungai dan kumuh ... 85

30. Peta pengembangan permukiman di setiap kluster ... 87

31. Pembagian kluster di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan ... 90

32. Produksi minyak bumi (MMSTB) 2000 - 2007 (BBL) ... 92

33. Kesesuaian lahan untuk pertambangan ... 93

34. Peta kesesuaian lahan untuk perkebunan ... 95

35. Produksi komoditi tanaman perkebunan 2002-2007 (ton) ... 96


(17)

xx

kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 106 40. Matriks DP-D untuk subelemen masalah dalam pengembangan

kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 107 41. Peringkat elemen tolok ukur berdasarkan nilai driver power... 110 42. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan

kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbataan negara ... 111 43. Matriks DP-D untuk subelemen tolok ukur dalam pengembangan

kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 112 44. Diagram hirarki AHP pada pengembangan kawasan

permukiman perbatasan negara ... 113 45. Urutan prioritas faktor dalam pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 114 46. Urutan prioritas stakeholder dalam pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara... 117 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 119 48. Urutan prioritas sasaran dalam pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 123 49. Bentuk penanganan pembangunan permukiman ... 145


(18)

xxi

Halaman

1 Kebutuhan data MPE, kriteria dan deskripsi ... 173

2. Contoh kuisioner kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ... 174

3. Analisis ISM faktor kunci elemen masalah ... 193

4. Analisis ISM faktor kunci elemen tolok ukur ... 194

5. Contoh kuisioner AHP (analisis hirarkhi proses) ... 195

6. Daftar responden ... 228


(19)

1.1 Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan dengan garis pantai kurang lebih 81.900 km dan memiliki kawasan yang berbatasan dengan sepuluh negara, baik perbatasan darat maupun laut. Wilayah darat Republik Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Wilayah laut ZEE Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Wilayah laut teritorial Indonesia berbatasan dengan tujuh negara, yaitu Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini (Bappenas 2004).

Wilayah perbatasan darat Indonesia berada di tiga pulau, yaitu Pulau Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor. Perbatasan tersebut tersebar di empat provinsi dan lima belas kabupaten/kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan yang berbeda-beda. Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial serta ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan pada masa lalu bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak, telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan daripada kesejahteraan. Akibatnya wilayah perbatasan menjadi daerah yang tidak tersentuh oleh dinamika pembangunan dan masyarakatnya menjadi miskin sehingga secara ekonomi wilayah ini lebih berorientasi kepada negara tetangga. Sebagai contoh, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia. Malaysia telah membangun pusat-pusat pertumbuhan di koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.

Dengan pemerlakuan perdagangan bebas internasional dan kesepakatan serta kerjasama ekonomi, regional maupun bilateral, peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan kawasan tersebut. Kerjasama


(20)

subregional antara Indonesia dengan negara tetangga ASEAN pada khususnya dan negara Kawasan Asia Pasifik pada umumnya perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan subregional tersebut, Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga tidak tertinggal dengan negara-negara tetangga.

Prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan subregional perlu disiapkan. Penyediaan prasarana dan sarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, penentuan prioritas diperlukan baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.

GBHN 1999 telah mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000 - 2004 yang memuat program-program prioritas selama lima tahun. Komitmen pemerintah melalui kedua produk perundang-undangan tersebut pada kenyataannya belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena beberapa faktor yang saling terkait, mulai dari segi politik, hukum, kelembagaan, sumberdaya, koordinasi, dan faktor lainnya.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN). Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) menetapkan bahwa penataan ruang wilayah perbatasan negara akan diprioritaskan dan percepatan pertumbuhannya didorong melalui pembangunan di berbagai sektor, antara lain sektor permukiman agar dapat terwujud pusat-pusat petumbuhan baru di wilayah perbatasan.

Sektor permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang mempunyai peran strategis dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. UUD 1945 pasal 28 h ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pentingnya mendapatkan tempat tinggal bagi warga negara juga diatur


(21)

dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40. Oleh karena itu, permukiman sebagai wadah tempat tinggal perseorangan maupun dalam entitas sosial baik dalam bentuk keluarga atau lainnya merupakan hak setiap orang.

Pengembangan permukiman di wilayah perbatasan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, diamanatkan sebagai pengembangan permukiman khusus. Pengembangan permukiman khusus menjadi salah satu program prioritas pembangunan wilayah perbatasan dalam upaya pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam. Masih terbatasnya infrastruktur dan kurang berkembangnya permukiman di wilayah perbatasan baik yang berada dalam kawasan perkotaan maupun perdesaan menyebabkan aktivitas sosio-ekonomi banyak berorientasi ke negara tetangga. Selain menyebabkan ketergantungan negara tetangga, hal ini juga menyangkut keamanan, kehormatan, dan kesadaran masyarakat perbatasan akan identitas nasional.

Dalam rangka mewujudkan keterpaduan dalam pembangunan di wilayah perbatasan khususnya dalam sektor permukiman, perlu dipahami profil karakteristik dan kebutuhan pengembangan permukiman. Hal ini dimaksudkan agar diketahui arah kecenderungan pengembanganya yang meliputi aspek-aspek keselarasan antara kawasan budidaya dengan kawasan lindung, keterkaitan antara pusat-pusat pertumbuhan baru dengan pusat-pusat kegiatan (kota), penguatan pola interaksi orientasi ekonomi yang berbasis potensi sumber daya alam wilayah. Oleh karena itu, diperlukan penyiapan perangkat kebijakan pengembangan kawasan pemukiman di tingkat kabupaten, kawasan pusat pertumbuhan maupun pada kawasan yang sangat terinci di wilayah perbatasan negara.

Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (border city) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori yaitu: (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber daya alam, (2) dapat mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan efisiensi pembiayaan pembangunan infrastruktur, (4) mendorong sinergitas hubungan kota dan desa, (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Cho 2006).


(22)

Dinamika kegiatan ekonomi perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Namun, apabila tidak terkendali, hal ini akan dapat menjadi penghambat dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan di wilayahnya (Canales 1999). Berdasarkan hal tersebut kiranya perlu dibuat desain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara.

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Nunukan yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berada pada wilayah perbatasan negara dalam PP Nomor 26 Tahun 2008 Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) wilayah perbatasan negara. Konsekuensi penetapan sebagai KSN adalah bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memprioritaskan kegiatan penataan ruangnya dan semua sektor pembangunan terkait di kawasan tersebut. Sementara kondisi wilayah perbatasan di Kabupaten Nunukan belum mendapatkan perhatian serius dalam pembangunan bidang sosial, ekonomi, maupun fisik seperti prasarana kawasan permukiman untuk mendorong tumbuhnya pusat pertumbuhan baru (border city). Kondisi tersebut menimbulkan kesenjangan pembangunan dengan wilayah perbatasan negara tetangga yang kemudian menyebabkan banyaknya pelintas batas antarnegara. Hal ini akan lebih menguntungkan ekonomi negara tetangga dan mengurangi kesadaran masyarakat akan identitas nasional.

Kondisi Kabupaten Nunukan seperti halnya kota-kota kecil di wilayah perbatasan yang masih kurang berkembang. Padahal, kota-kota kecil tersebut seharusnya dapat berfungsi sebagai pusat-pusat permukiman untuk aktivitas penduduk di wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang masih jarang di Kabupaten Nunukan sebagaimana disajikan pada Tabel 1.


(23)

Tabel 1. Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk tahun 2008 di Kabupaten Nunukan

Kecamatan Luas Wilayah (km2)

Jumlah Penduduk (jiwa)

Kepadatan Penduduk (jiwa/km2)

Krayan 1837,45 8438 5

Krayan Selatan 1756,46 2271 1

Lumbis 3645,50 9380 3

Sembakung 2055,90 8503 4

Nunukan 1596,77 53951 34

Sebuku 3124,90 11731 4

Sebatik 104,42 20283 194

Sebatik Barat 142,19 11028 78

Jumlah 14263,68 125585 9

Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Permasalahan lainnya adalah permukiman di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan kondisi lingkungannya tidak tertata, terpencar, kumuh, dan tidak dikelola dengan baik. Selain itu, belum ada koordinasi pembangunan permukiman antara stakeholders terkait secara efisien dan efektif di wilayah perbatasan sehingga diperlukan adanya perangkat kebijakan untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan di daerah. Wilayah perbatasan Pulau Kalimantan seperti Kota Nunukan di Kabupaten Nunukan juga merupakan salah satu pintu gerbang dan transit dengan Malaysia. Kawasan tersebut sering menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi antara penduduk asli dengan pendatang yang bekerja di Malaysia.

Dalam lingkup Kabupaten Nunukan sebagai salah satu wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan, pembangunan yang dilaksanakan masih menyisakan persoalan yang cukup menonjol, yakni ketimpangan pembangunan antara wilayah daratan di Pulau Kalimantan dengan wilayah kepulauan, seperti Pulau Nunukan sebagai ibukota kabupaten. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan jumlah rumah dengan jumlah KK sebagaimana disajikan pada Tabel 2.


(24)

Tabel 2. Jumlah KK, jumlah rumah, dan kebutuhan rumah tahun 2008

Kecamatan Jumlah KK Jumlah Rumah Kebutuhan Rumah

Krayan 1917 1150 767

Krayan Selatan 545 382 164

Lumbis 2366 1538 828

Sembakung 2230 1561 669

Nunukan 14653 10990 3663

Sebuku 2593 1556 1037

Sebatik 5163 2840 2323

Sebatik Barat 3235 2265 971

Jumlah 32702 22280 10422

Sumber : Badan Pusat Statistik, Kabupaten Nunukan dalam Angka, 2008

Pada kawasan permukiman yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia seperti Kabupaten Nunukan diperlukan adanya pengembangan dan penataan terkait dengan rencana Pemerintah Malaysia untuk melakukan pemagaran pada wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan banyaknya perumahan yang berada persis di batas wilayah Indonesia dengan Malaysia.

Kondisi ini membutuhkan strategi kebijakan pengembangan wilayah yang menjamin tercapainya keterpaduan dan keseimbangan dalam pembangunan seluruh kawasan secara lebih sinergi. Pengembangan wilayah perbatasan darat di Pulau Kalimantan secara umum dan Kabupaten Nunukan secara khusus pada masa datang diharapkan dapat lebih diarahkan sebagai pengembangan kawasan khusus dengan pola pemanfaatan ruang yang spesifik, sesuai dengan dinamika wilayah perbatasan.

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi landasan pelaksanaan kegiatan yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimana kondisi permukiman yang ada di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan?

b. Bagaimana potensi SDA yang terkait dalam mendukung pengembangan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara ?


(25)

c. Bagaimana pengaruh-pengaruh faktor-faktor penting permasalahan perbatasan dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.?

d. Bagaimana kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan untuk mendukung fungsi wilayah perbatasan sebagai beranda depan negara ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi permukiman yang ada (existing condition) di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan.

2. Mengindentifikasi dan menganalisis potensi SDA yang terkait dan mendukung pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.

3. Menganalisis dan merumuskan faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.

4. Menyusun kebijakan dan strategi pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara di Kabupaten Nunukan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai masukan kebijakan dalam mengembangkan kawasan permukiman berkelanjutan wilayah perbatasan negara secara terpadu di Indonesia. Selain itu, dari aspek pengembangan keilmuan ke depan diharapkan bermanfaat bagi pembelajaran dalam sistem pengambilan keputusan dalam pengembangan permukiman berkelanjutan, khususnya di wilayah perbatasan negara.


(26)

1.5 Kerangka Pemikiran

Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda satu dengan lainnya. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang berbatasan, setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara tetangga memiliki kondisi sosial dan ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian kondisinya relatif sama, bahkan ada pula yang kondisi sosial ekonominya lebih terbelakang. Adanya kondisi tersebut, mengakibatkan masing-masing wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian, perlu ada suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi khusus termasuk di dalamnya berlaku untuk pengembangan permukiman.

Secara umum, pengembangan kawasan permukiman perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan pengembangan yang menyeluruh dan terpadu, meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif mulai dari pemerintah pusat hingga tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro dan disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Adapun jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional.

Kebijakan umum pengembangan kawasan permukiman perbatasan antarnegara terdiri dari kebijakan-kebijakan seperti peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang melalui kebijakan pengembangan permukiman yang berkelanjutan.

Selama ini, pengelolaan wilayah perbatasan berbeda dengan paradigma saat ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan pada aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketinggalan


(27)

pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan termasuk kawasan permukiman dan infrastruktur secara terpadu, tertata, dan berkelanjutan.

Paradigma masa lalu yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai ”halaman belakang” merupakan pandangan yang keliru sebab wilayah perbatasan di Indonesia memiliki nilai politik, ekonomi, dan keamanan yang sangat strategis, tidak saja bagi bangsa Indonesia melainkan juga bagi negara-negara lainnya, terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada di titik silang Benua Eropa-Asia, Asia-Australia, dan Australia-Eropa.

Dengan posisi strategis ini, Indonesia berpeluang sangat besar di Kawasan Asia dan Pasifik pada masa yang akan datang. Akselerasi pembangunan wilayah perbatasan melalui pengembangan kawasan permukiman sebagai pusat pertumbuhan baru dan sekaligus sebagai embrio kegiatan ekonomi merupakan upaya yang logis. Hal ini disebabkan pembangunan infrastruktur dan sektor strategis membutuhkan biaya dan investasi yang besar. Dalam rangka mendukung kegiatan tersebut diperlukan upaya penataan ruang, pembangunan infrastruktur kawasan, kebijakan investasi, SDM, serta kelembagaan yang mendukung pengembangan pusat pertumbuhan. Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan yang telah diterapkan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Percepatan pembangunan wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat dapat dimulai dengan mengembangkan terlebih dahulu mengembankan kawasan permukiman perbatasan. Hal ini menyebabkan minimnya infrastruktur wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat.

Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Dalam rangka memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan kawasan permukiman perbatasan dengan


(28)

menggunakan pendekatan kesejahteraan. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran penelitian

1.6 Kebaruan (Novelty)

Dalam mewujudkan pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, pada pelaksanaannya sering terjadi kesenjangan koordinasi

Pendekatan Lingkungan dan Hankam Aktivitas Kegiatan Perdagangan Sumber Daya Alam Potensi Permasalaha Kesenjangan Ekonomi dan Kemiskinan Kawasan Tidak Tertata dan Kumuh Ancaman Kehilangan SDA & Wilayah

Sektor Potensial Kws Untuk Diinvestasikan

Pengembangan Kawasan Perkim Perbatasan Negara

Formulasi Kebijakan dan Strategi Pengembangan Perkim Perbatasan Negara

Prioritas Kebijakan dan Strategi Pengembangan

Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah

Perbatasan Negara SDA dan Lingkungan Kesenjangan Prasarana dan Sarana Pembanding

Wilayah perbatasan Negara

Karakteristik Pembangunan di Wilaah Perbatasan Negara Malaysia Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan Analisis MPE Analisis AHP Analisis ISM


(29)

antara stakeholders terkait di pusat maupun di daerah. Hal ini mengakibatkan, tidak terwujudmya kondisi kawasan permukiman yang tertata, terarah, dan berkelanjutan. Untuk pelaksanaan ke depan, diperlukan suatu instrumen pengaturan berupa kebijakan dan strategi pengembangan. Kajian dan penelitian yang memberikan pembuktian pentingnya instrumen pengaturan tersebut adalah bentuk arahan-arahan kebijakan dan strategi untuk pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara selama ini belum ada.

Terkait dengan pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan, belum pernah ada penelitian atau upaya mendesain suatu kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan khususnya di wilayah perbatasan negara yang bersifat komprehensif dan terpadu. Kalaupun ada, masih terbatas pada kegiatan stimulan pengembangan sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang bersifat sektoral.

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Konsepsi dan pemikiran baru bahwa pengembangan kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara, berdasarkan faktor pengungkit yang menjadi permasalahan utama di wilayah perbatasan negara sebagai dasar pembuatan kebijakan dan strategi pelaksanaan sebagai instrumen petunjuk pelaksanaan kepada para pelaku pembangunan dalam pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan.

2. Memperkuat konsepsi dan pemikiran pengembangan kawasan permukiman yang terpadu berbasis SDA sektor unggulan agar kawasan permukiman yang dikembangkan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan dapat mendorong percepatan pembangunan permukiman di wilayah perbatasan negara (sebagai beranda depan negara) yang lebih baik (terarah, tertata), dan berkelanjutan. 3. Membuat desain kebijakan dalam pelaksanaan pengembangan kawasan

permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara sebagai suatu model

decision support system melalui tahapan: identifikasi faktor dominan, menetapkan SDA sektor unggulan kawasan, merumuskan kebijakan, dan menyusun strategi pelaksanaannya dengan menggunakan analisis terpadu yang melibatkan pakar dan stakeholders terkait serta sistem lunak (soft system


(30)

methodology/SSM) dengan alat analisis metode perbandingan eksponensial (MPE), interpretative structural modelling (ISM), dan analytical hierarchy process (AHP).

1.7 Istilah dan Definisi

Beberapa istilah atau definisi yang dipakai meliputi: 1. Wilayah

Adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas-batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

2. Kawasan

Adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

3. Kawasan Khusus

Adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pemerintah (pusat dan/atau daerah) untuk menyelenggarakan kegiatan dengan fungsi khusus seperti industri, perbatasan, nelayan, pertambangan, pertanian, pariwisata, pelabuhan, cagar budaya, dan rawan bencana (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

4. Wilayah Perbatasan

Adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain, baik terletak perbatasan darat maupun perbatasan laut (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah Perbatasan, Pasal 1 Bab Ketentuan).


(31)

Adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

6. Kawasan Perkotaan

Adalah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, serta kegiatan ekonomi(Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum)

7. Rumah

Adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum)

8. Perumahan

Adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum)

9. Permukiman

Adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

10.Kawasan Permukiman

Adalah kawasan budidaya yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dengan fungsi utama untuk permukiman (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan).


(32)

11.Perumahan Wilayah Perbatasan

Adalah perumahan kawasan khusus untuk menunjang kegiatan berbagai fungsi di wilayah perbatasan negara (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah perbatasan, Pasal 1 Bab Ketentuan).

12. Persyaratan Ekologis

Adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

13. Prasarana Lingkungan

Kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman, Pasal 1 Bab Ketentuan Umum).

14. Penyelenggaraan Pengembangan Kawasan Permukiman

Upaya pengembangan permukiman yang diselenggarakan melalui kegiatan penetapan lokasi dan perencanaan kawasan termasuk untuk mitigasi bencana; penyediaan tanah; penyiapan lahan; penyediaan prasarana dan sarana kawasan; dan pengendalian pelaksanaan pengembangan kawasan (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2006 tentang Pengembangan Perumahan Kawasan Khusus, Pasal 1 Bab Ketentuan).

15. Masyarakat di Perbatasan Negara

Adalah orang atau sekelompok orang yang bekerja dan bertempat tinggal di kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengembangan Perumahan Wilayah perbatasan, Pasal 1 Bab Ketentuan).


(33)

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi, dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation's Conference on The Human Environment di Stockholm tahun 1972.

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (World Commission on Environment and Development (WCED) 1987). Komisi Brundland menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi merupakan suatu proses perubahan di mana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.

Pembangunan selalu memiliki implikasi ekonomi, sosial, dan politik. Pembangunan dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan sosial suatu masyarakat. Tujuan tersebut merupakan atribut yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat. Atribut tersebut dapat mencakup kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi dan kesehatan, pendidikan, akses terhadap sumber daya, distribusi pendapatan yang lebih merata, dan sebagainya. Oleh karena itu, konsep berkelanjutan dapat diartikan sebagai persyaratan umum di mana karakter sektor pembangunan tersebut tidak berkurang sejalan dengan waktu (Pearce and Tannis 1999).

Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumber daya alam dikelola agar berkelanjutan. Hal ini digunakan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Berdasarkan kesepakatan ini, dijelaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola


(34)

konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Sehubungan dengan konsep pelaksanaan paradigma pembangunan berkelanjutan, World Bank telah menjabarkan dalam bentuk kerangka segitiga.

Gambar 2. Diagram pembangunan berkelanjutan (Munasinghe 1993 atau Djakapermana 2010)

Menurut kerangka tersebut, suatu kegiatan pembangunan (termasuk pengelolaan sumber daya alam dan berbagai dimensinya) dinyatakan berkelanjutan jika kegiatan tersebut secara ekonomi, ekologi, dan sosial bersifat berkelanjutan (Serageldin 1996).

Berkelanjutan secara ekonomi berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologi berarti kegiatan tersebut harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan mengonservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat,

EKOLOGI

Sumber Daya Alam Wilayah Perbatasan)

SOSIAL

Keadilan Pemerataan Kesejahteraan

Nilai-nilai budaya

Partisipasi


(35)

pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan. Berkaitan dengan kebijakan pemerintah, agar segenap tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi, diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Kedua, dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat, swasta, dan konsultasi.

Implementasi konsep pembangunan berkelanjutan telah diterapkan di banyak negara dan oleh berbagai lembaga dengan mengembangkan indikator keberlanjutan. Sebagai contoh, Centre for International Forestry Research

(CIFOR) mengembangkan sistem pembangunan kehutanan berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Charles (2001) mengembangkan sistem pembangunan perikanan berkelanjutan dengan memadukan keberlanjutan ekologi, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan kelembagaan. FAO mengembangkan indikator keberlanjutan untuk pembangunan wilayah pesisir berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, teknologi, dan pertahanan keamanan.

Secara operasional, pembangunan berkelanjutan sinergik dengan pengelolaan lingkungan. Pengelolaan lingkungan didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (UU No. 23 Tahun 1997). Definisi ini menegaskan bahwa pengertian pengelolaan lingkungan mempunyai cakupan yang luas karena tidak hanya meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan, tetapi juga mencegah proses terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Dengan demikian, perlu disadari bahwa upaya-upaya pengelolaan wilayah tidak akan tercapai. Bahkan, yang akan terjadi justru kerusakan lingkungan (baik "renewable" maupun yang "non renewable")

yang justru akan menjadi "cost" yang "never ending". Sebaliknya bila ada rekayasa pengaturan pemanfaatan ruang dengan baik terhadap berbagai potensi, sumber daya lahan melalui upaya perencanaan penggunaan lahan


(36)

akan dihasilkan suatu usulan optimasi ruang yang optimal.

Adanya pengalokasian ruang-ruang kegiatan produksi setelah melalui proses optimasi pemanfaatan ruang, diharapkan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut. Arahan pengaturan berbentuk rencana tata ruang melalui optimasi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung wilayah serta memprediksi pemanfaatannya untuk kebutuhan masa yang akan datang. Dengan demikian, tercapai sinergi antara berbagai jenis kegiatan pengelolaan sumber daya alami dengan fungsi lokasi, kualitas lingkungan, dan estetika wilayah.

2.2 Penataan Ruang Wilayah

Penataan ruang adalah proses mengoptimalkan sumber daya alam bagi kepentingan manusia dan mahkluk hidup lainnya yang didasarkan pada daya dukung alam dengan didukung tekonologi yang sesuai, serasi, selaras, dan seimbang dengan ekosistem lainnya serta memberikan manfaat bagi pengembangan wilayah (UU 26/2007). Untuk mencapai tujuan penataan ruang tersebut, proses penataan ruang harus melalui tahapan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Menurut Rustiadi et al. (2004), dalam proses penataan ruang wilayah, harus dipahami terlebih dahulu konsep-konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Semua unsur yang terkait konsep ruang wilayah ini harus sinergi, terpadu, dan saling memengaruhi secara sistem dengan memberikan manfaat optimal. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (delineasi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi pengamatan tertentu.

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang berupa satuan geografis, di dalamnya terdapat berbagai unsur


(37)

terkait yang yang dibatasi oleh koordinat tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu. Menurut Rustiadi (2004), pengertian ini akan selalu terkait aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan, maupun pertahanan.

Beberapa literatur pada umumnya juga memberikan batasan pengertian wilayah yang terkait dengan aspek lingkungan, ekonomi, kondisi fisik sumber daya alam, karakteristik sosial budaya, dan wilayah batas administrasi yang rigid.

Secara umum, beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokan sebagai berikut.

1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS) dengan sub-DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya.

2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat) ekonomi, seperti wilayah produksi, konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa. Biasanya hal ini juga terkait dengan satuan fungsi tingkat pertumbuhan ekonomi, wilayah pasar, pendapatan daerah, dan struktur pusat pelayanan ekonomi serta transportasi. Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya.

Dalam konteks pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor pembangunan, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan klaster ini menjadi penting. Hal ini ditujukan agar dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel dan komponen dominan yang memengaruhi proses pengembangan permukiman di wilayah perbatasan negara sebagai pusat pertumbuhan baru.

Memahami kecenderungan pertumbuhan kota (pusat pertumbuhan baru) sangat terkait dengan empat faktor, yaitu kebijakan, stakeholders, perilaku masyarakat, dan proses serta pola pertumbuhan. (1) Kebijakan merupakan faktor paling penting untuk mengontrol pertumbuhan suatu kota pada skala makro. (2) Pola merupakan tingkat paling rendah di mana pola dapat dilihat secara langsung hasilnya. (3) Proses dapat mengindikasikan dinamika pertumbuhan kota. (4) Perilaku mengindikasikan kegiatan dari pelaku yang terlibat. Hasilnya berupa


(38)

model seperti sebuah tingkatan, dari pola secara bertahap meningkat ke kebijakan. Dalam aturan teori hierarki, memahami tiap tingkat harus mempertimbangkan tingkat yang paling atas dan paling bawah sebagai perbandingan hubungan yang paling dekat. Untuk memahami proses, konsekuensinya adalah harus melihat pola dan perilaku yang terkandung di dalamnya. Pola merupakan gambaran sementara dari proses dan perilaku yang merupakan sumber dari proses pengambilan keputusan (Cheng 1999).

2.3 Pengembangan Permukiman

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Permukiman disebutkan pengertian dasar istilah permukiman. Perumahan adalah suatu kelompok rumah yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan serta penghidupan.

Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000—2020 antara lain pengembangan lokasi perumahan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, serta tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat 1999).

Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumber daya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya, hal tersebut sering terabaikan sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan suatu kawasan/kota. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengembangan perencanaan dan perancangan, serta pembangunan permukiman yang kontributif terhadap rencana tata ruang.

Berdasarkan pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek permukiman sangat terkait dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang.


(39)

Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan ruang dan prasarana serta sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) adalah terjadinya : (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat; (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan, dan perumahan; (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan; (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam; dan (v) komunitas lokal tersisih, di mana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu serta menguntungkan.

Tantangan pengembangan kawasan permukiman yang akan datang antara lain (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata; (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh; (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; serta (iv) kegagalan implementasi dan kebijakan penentuan lokasi perumahan (Kirmanto 2005).

Lokasi kawasan permukiman ditentukan berdasarkan pilihan yang optimal, selanjutnya perlu dibuat rencana tapak (site planning) agar dalam jangka panjang perumahan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif dalam arti luas. Rencana tapak ini penting karena akan menentukan bentuk suatu kawasan/kota. Selain itu, rencana tapak dapat menciptakan kemudahan atau kesukaran bagi para penghuni, serta dapat mempengaruhi tingkah laku penghuni di mana pun kawasan permukiman tersebut berada, termasuk di wilayah perbatasan negara.

Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan. Sebagai contoh, fakta adanya kawasan permukiman liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumahnya, para pekerja menyewa dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan perumahannya oleh para stakeholders terkait, pembelanjaan gaji untuk kebutuhan kesejahteraan akan lebih besar sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002).


(40)

Penanganan pengembangan kawasan permukiman disesuaikan dengan UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Pada pasal 2, dijelaskan bahwa lingkup pengaturan, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang menyangkut penataan perumahan, meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaataannya. Adapun yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.

Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Malaysia termasuk di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier (ribbon development) (Departemen PU 2002).

2.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan

Kondisi perbatasan di Indonesia, baik perbatasan darat maupun laut, berbeda satu dengan yang lain. Demikian pula dengan negara-negara tetangga yang berbatasan. Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Beberapa negara tetangga memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih baik. Namun, sebagian kondisinya relatif sama akibat dari lemahnya hubungan kegiatan sosial ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. Bahkan, adapula yang kondisinya jauh lebih terbelakang (Combes 2002). Kondisi tersebut mengakibatkan masing-masing wilayah perbatasan memerlukan pendekatan yang berbeda. Walaupun demikian, perlu ada suatu kebijakan dasar sebagai payung dari seluruh kebijakan dan strategi khusus yang berlaku secara umum bagi seluruh wilayah perbatasan, baik darat maupun laut.

Secara umum, pengembangan wilayah perbatasan memerlukan suatu pola atau kerangka penanganan wilayah perbatasan yang menyeluruh meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerjasama yang efektif dari mulai pemerintah pusat sampai ke tingkat kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro. Penyusunannya berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah. Jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional.


(41)

Kebijakan umum pengembangan wilayah perbatasan antarnegara terdiri dari beberapa kebijakan sebagai berikut. Peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai wilayah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang.

Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan paradigma saat ini. Pada masa lalu, pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang.

Pengembangan wilayah perbatasan ditujukan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pintu gerbang internasional bagi kawasan Asia Pasifik. Paradigma masa lalu yang menjadikan wilayah perbatasan sebagai ”halaman belakang” merupakan pandangan yang keliru. Hal ini disebabkan wilayah perbatasan di Indonesia memiliki nilai politik, ekonomi, dan keamanan yang sangat strategis, bukan hanya bagi bangsa Indonesia, melainkan juga bagi negara-negara lainnya, terutama negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang berada di titik silang benua Eropa-Asia, Asia-Australia, dan Australia-Eropa. Dengan adanya posisi strategis ini, Indonesia berpeluang memainkan peluang yang sangat besar di Kawasan Asia dan Pasifik pada masa yang akan datang. Akselerasi pembangunan wilayah perbatasan melalui pengembangan kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi merupakan upaya yang logis. Untuk itu, diperlukan upaya penataan ruang, pembangunan prasarana dan sarana, kebijakan investasi, SDM, serta kelembagaan yang mendukung pengembangan pusat pertumbuhan.

Sasaran dari pusat-pusat pertumbuhan (kota) di wilayah perbatasan terdapat enam kategori yaitu (1) melindungi ruang terbuka hijau/konservasi dan sumber


(42)

daya alam, (2) mengoptimalkan penggunaan lahan, (3) mengurangi dan mengefisienkan pembiayaan pembangunan infrastruktur (4) mendorong sinergisitas hubungan kota dan desa, serta (5) memastikan transisi penggunan lahan perdesaan menuju perkotaan berjalan secara alamiah dan terarah (Cho 2006).

Terdapat beberapa faktor bagi para perencana (planner) dalam melakukan delineasi batas-batas pusat pertumbuhan (kota) seperti faktor tekanan pertumbuhan (growth pressures), kekuatan defleksi (potential deflection), dan kekuatan fiskal (fiscal strength). Ketiga faktor tersebut merupakan faktor utama dalam menentukan pertumbuhan suatu kota. Faktor ini mempunyai kekuatan mendeterminasi masa depan sebuah pusat pertumbuhan (kota) apabila secara legalitas mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitarnya. Faktor berikutnya adalah kepemilikan lahan. Faktor ini relatif statis karena tidak mudah diintervensi oleh kebijakan dan regulasi karena status yang umumnya jangka panjang. Terakhir adalah estimasi kapasitas infrastruktur dan kapasitas institusi terkait untuk keberlanjutan suatu batas pusat pertumbuhan (Avin 2006).

Dinamika kegiatan perkotaan di wilayah perbatasan merupakan kondisi yang dapat meningkatkan pertumbuhan kota-kota (pusat pertumbuhan baru) perbatasan negara. Apabila tidak terkendali akan dapat menjadi hambatan dalam pengembangan potensi pertumbuhan sebagai penggerak pengembangan sosial, kependudukan, ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan secara berkesinambungan di wilayahnya (Canales 1999). Kebijakan ini sejalan dengan kebijakan yang telah diterapkan oleh beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Percepatan pembangunan wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan

Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan pada masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan. Hal ini menyebabkan minimnya sarana dan prasarana wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah


(43)

perbatasan menyebabkan orientasi aktivitas sosial ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan (Bappenas 2004).

b. Pengakuan terhadap hak adat/ulayat masyarakat

Hak-hak ulayat masyarakat perbatasan yang berada di negara lain perlu diakui dan diatur keberadaannya. Keberadaan tanah ulayat sesungguhnya memiliki permasalahan secara administratif karena keberadaannya melintasi batas negara di dua wilayah negara. Walaupun demikian, karena hak-hak ulayat ini secara tradisional menjadi aset penghidupan sehari-hari masyarakat tersebut, keberadaanya tidak dapat dihapuskan. Sebaliknya, hak-hak ini perlu diakui dan diatur secara jelas.

c. Penataan batas-batas negara dalam rangka menjaga dan mempertahankan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Beberapa wilayah perbatasan masih memiliki permasalahan garis batas dengan negara tetangga yang hingga kini masih dalam pembahasan melalui beberapa perundingan bilateral. Di beberapa lokasi bahkan telah terjadi pergeseran pilar batas yang menyebabkan kerugian-kerugian bagi negara baik secara ekonomi maupun lingkungan. Selain itu, keberadaan tanah ulayat masyarakat adat yang ada di wilayah perbatasan menjadi sebuah permasalahan tersendiri dalam penetapan batas negara. Oleh karena itu, diperlukan penataan dan pengaturan batas negara secara menyeluruh untuk menjamin keutuhan wilayah NKRI (Bappenas 2004).

d. Peningkatan kapasitas pertahanan dan keamanan beserta prasarana dan sarananya

Lokasi geografis Indonesia yang berada di posisi silang dua samudera besar yang terdiri dari beribu pulau menuntut Indonesia memiliki sistem pertahanan yang kuat. Salah satunya dengan ditunjang oleh armada udara. Hal ini diperlukan untuk melakukan pengawasan yang efektif terhadap seluruh wilayah termasuk wilayah perbatasan yang berada di wilayah terluar,


(44)

menangulangi berbagai pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah perbatasan, serta mengantisipasi berbagai ancaman dari luar. Meskipun saat ini peningkatan armada dan aparat hingga tingkat yang optimal sulit dilakukan oleh pemerintah, peningkatan kapasitas armada dan aparat perlu terus diupayakan hingga tingkat yang memadai. Di samping peningkatan kapasitas armada dan aparat hingga jumlah yang memadai, peningkatan sarana dan prasarana khusus di perbatasan untuk mengawasi arus keluar masuk baik manusia maupun barang ke wilayah NKRI.

e. Peningkatan perlindungan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan kawasan konservasi

Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Di Kalimantan dan Papua, hampir seluruh wilayah perbatasannya terdiri dari hutan tropis dan kawasan konservasi yang diakui dunia sebagai ”paru-paru dunia”. Adapun kawasan perbatasan laut memiliki potensi sumber daya laut dan perikanan yang sangat besar. Potensi sumber daya alam berupa kawasan konservasi atau tanaman nasional di hutan tropis dan kelautan ini perlu dilindungi kelestariannya selain dibudidayakan bagi kesejahteraan masyarakat lokal (Bappenas 2004).

f. Peningkatan fungsi kelembagaan dan koordinasi antarinstansi terkait dalam pengelolaan wilayah perbatasan

Peningkatan kapasitas dan fungsi kelembagaan dalam pengelolaan perbatasan dilakukan melalui optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan antarinstansi pemerintah. Selain itu, diperlukan penataan hubungan kerja, baik secara horizontal maupun vertikal, peningkatan koordinasi dan konsultasi antar lembaga, serta pengembangan database informasi wilayah perbatasan yang dapat dijadikan acuan bersama oleh seluruh stakeholder terkait. Pemahaman yang baik terhadap fungsi dan peran, tata hubungan yang jelas, koordinasi yang intensif, serta tingkat pengetahuan yang sama, diharapkan dapat menyelaraskan berbagai kewenangan, kebijakan, dan peraturan-peraturan antara pemerintah pusat dan daerah.

g. Peningkatan kerjasama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang


(45)

Mengelola perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Dalam era globalisasi saat ini, setiap negara di dunia saling tergantung satu sama lain serta saling membutuhkan. Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan. Oleh karena itu, peningkatan kerjasama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan akan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat dihindarkan terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial budaya maupun ekonomi. Selain itu, kerjasama antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan. Adanya berbagai skenario pengembangan dan berbagai konsekuensinya, kondisi lapangan, perkembangan di dalam maupun lingkungan regional serta setelah dikonsultasikan kepada berbagai kalangan, disepakati visi pengembangan wilayah perbatasan antarnegara yaitu ”Menjadikan wilayah perbatasan antarnegara sebagai kawasan yang aman, tertib, menjadi pintu gerbang negara dan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin terpeliharanya Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Visi tersebut mengandung berberapa pengertian sebagai berikut :

1. Aman, berarti terciptanya kondisi keamanan yang dapat dikendalikan dan kondusif bagi kegiatan usaha serta bebas dari kegiatan ilegal;

2. Tertib, berarti seluruh aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya di perbatasan dan daerah sekitarnya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku;

3. Pintu gerbang negara, berarti wilayah perbatasan sebagai halaman depan negara yang harus tertata, bersih, tertib, aman, dan nyaman;

4. Pusat pertumbuhan, berarti wilayah perbatasan dapat dikembangkan sebagai kawasan ekonomi dan perdagangan berkerjasama dengan pihak investor dalam maupun luar negeri secara legal;


(46)

5. Berkelanjutan, berarti bahwa seluruh proses pembangunan di wilayah perbatasan harus memperhatikan aspek pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan lindung dan laut secara seimbang dan memperhatikan daya dukung alam;

6. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berarti dengan berkembangnya wilayah perbatasan, masyarakat lokal di perbatasan dan di daerah sekitarnya dapat memperoleh kesempatan melaksanakan kegiatan usaha ekonomi sehingga pendapatan dan kesejahteraan meningkat;

7. Terpeliharanya NKRI, berarti seluruh kegiatan pengembangan wilayah perbatasan, baik darat maupun laut tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan serta menjaga terpeliharanya negara kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rangka mencapai visi yang dicita-citakan di atas, beberapa misi yang perlu dilaksanakan oleh pihak yang terkait yaitu:

1. Mempercepat penyelesaian garis batas antarnegara dengan negara tetangga sehingga tercipta garis batas yang jelas dan diakui kedua belah pihak;

2. Mempercepat pengembangan beberapa wilayah perbatasan sebagai pusat pertumbuhan yang dapat menangkap peluang kerjasama antarnegara, regional dan internasional, secara selektif dan prioritas;

3. Menata dan membuka keterisolasian serta ketertinggalan wilayah perbatasan dengan meningkatkan kegiatan pengembangan kawasan permukiman, prasarana, dan sarana perbatasan yang memadai;

4. Mengelola sumber daya alam darat dan laut secara seimbang serta berkelanjutan, bagi kesejahteraan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara;

5. Mengembangkan sistem kerjasama pembangunan antarnegara, antarpemerintahan, maupun antarpelaku usaha di wilayah perbatasan.

2.5 Konsep Kebijakan

Konsep kebijakan dan strategi dalam pengembangan kawasan permukiman atau sering disebut perencanaan (kebijakan dan strategi) dalam penataan kawasan (strategic settlement planning)lebih banyak menunjukkan sebuah alat untuk dapat


(47)

mengoperasionalkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota untuk bidang permukiman. Model dan perencanaan kebijakan dan strategi pengembangan permukiman ini telah mulai dikembangkan di beberapa negara termasuk Indonesia khususnya untuk menjawab kebutuhan mendesak permintaan pembangunan permukiman.

Healey (2004) menjelaskan tentang new strategic spatial planning in Europe, suatu bahasan pengelolaan ruang dan lokasi permukiman yang optimal dalam jurnal internasional Urban and Regional Research (Healey 2004). Ada beberapa alasan perlunya langkah operasionalisasi rencana pengembangan permukiman, tetapi kenyataannya masih sulit untuk dilaksanakan dan bahkan menjadi perdebatan para planners Eropa. Alasannya masih diperlukan adanya arahan kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan pembangunan permukiman antara lain karena masih adanya permasalahan koordinasi kebijakan khususnya dengan pemerintahan lokal dalam mencari cara bagaimana membuat wilayah kabupaten/kota lebih ekonomis dan kompetitif dalam mengembangkan kawasan permukimannya.

Pengembangan kawasan permukiman dengan memanfaatkan asset base-nya,

perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumber daya alam dan lahan yang optimal. Hal ini untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan akses distribusi penduduk lokal untuk berinteraksi dengan wilayah pusat pertumbuhan (perkotaan). Untuk itu (Healey 2004) menetapkan kriteria dalam kebijakan dan strategisnya, yaitu (1) skala pengelolaan, (2) skala posisi kota dan wilayahnya, (3) regionalisasi, (4) kelayakan material dan identitas, (5) konsep pengembangannya, dan (6) bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional. Semua kriteria ini selanjutnya dijabarkan dalam langkah kebijakan dan strategi untuk mengoperasionalkan perspektif pengembangan ruang kawasan permukiman.

Kebijakan atau policy pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang diambil oleh suatu pihak menanggapi persoalan tertentu. Tindakan tersebut dapat berupa melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu (Partowidagdo 2004). Adapun yang menjadi pendekatan dalam proses pengambilan kebijakan berdasarkan perkembangan keilmuan, kebijakan tersebut sangat bermacam-macam. Akan


(48)

tetapi, pada bagian ini hendak dikaji dua model pendekatan pengambilan kebijakan yakni pendekatan partisipatif dan pendekatan sistem.

(1) Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan

Dalam pengambilan keputusan, partisipasi merupakan wujud keterlibatan secara aktif suatu pihak terhadap suatu hal, permasalahan, atau aktivitas kegiatan dengan menyumbangkan sesuatu yang dimilikinya baik fisik maupun nonfisik dengan tujuan-tujuan tertentu. Berbagai definisi mengenai partisipasi mengacu pada suatu kompleksitas bahwa “partisipasi” dipandang secara bermacam-macam tergantung pada siapa objek pelaku dan siapa yang mendefinisikannya. Dalam hal ini, partisipasi dapat berarti partisipasi sosial, partisipasi ekonomi, partisipasi politik, partisipasi keilmuan, dan lain sebagainya.

“Partisipasi” itu sendiri berbeda dari intervensi karena partisipasi lebih cenderung diartikan sebagai sumbangan keterlibatan dari suatu pihak pada suatu hal di antara banyak pihak lainnya. “Partisipasi” dapat membatasi kualitas tujuan dari hal yang dilibatkannya tersebut pada masa depan. Di Indonesia, “partisipasi” didefinisikan sebagai prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap kegiatan (salah satunya kegiatan penyelenggaraan pemerintahan).

Proses pengambilan keputusan adalah suatu mekanisme tahap demi tahap bagaimana suatu keputusan dari berbagai alternatif yang ada akhirnya dapat terpilih. Pengambilan keputusan pada dasarnya terbagi atas pengambilan keputusan normatif dan pengambilan keputusan deskriptif. Proses pengambilan keputusan normatif dalam kasus ini merupakan suatu tahapan atau langkah-langkah bagaimana sebuah keputusan seharusnya dibuat. Adapun proses pengambilan keputusan deskriptif adalah suatu tahapan atau langkah mengenai keputusan pada saat ini dibuat dan bekerja (Hansen 1994).

Oleh karena itu, selain sebagai pihak yang dipertimbangkan kepentingannya dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan, masyarakat (publik) berhak berpartisipasi aktif dalam pembangunan itu sendiri untuk menentukan bagaimana seharusnya pembangunan yang tepat guna dan tepat sasaran sesuai dengan harapan mereka. Dengan kata lain, dalam rangkaian proses pengambilan keputusan publik pada kegiatan pembangunan, “partisipasi” dapat dikatakan


(1)

(2)

(3)

(4)

FOTO KONDISI KAWASAN PERBATASAN

Kabupaten Nunukan Pulau Sebatik

Pelaksanaan FGD Dengan Pemda Survei Lapangan


(5)

Kota Tawau, Malaysia Perumahan Terpencar

Rumah Panggung Perumahan Kumuh


(6)

Tambang Batubara Perkebunan Kakao

Perkebunan Kelapa Sawit Perikanan & Nelayan