Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur.

STATUS KESEHATAN HUTAN DI AREAL REKLAMASI
TAMBANG BATUBARA PT BERAU COAL KALIMANTAN TIMUR

AGIL GILANG RAMADHAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Kesehatan Hutan
di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi atau lembaga mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Agil Gilang Ramadhan
NIM. E44090018

ABSTRAK
AGIL GILANG RAMADHAN. Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang
Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur. Dibimbing oleh SUPRIYANTO.
Usaha pertambangan selalu terkait dengan kegiatan mengubah bentuk lahan
sehingga menghancurkan ekosistem hutan dan isinya, antara lain hilangnya
keanekaragaman hayati, penurunan kesuburan lahan dan toksisitas lahan. Setiap
pemegang izin pertambangan diwajibkan melakukan kegiatan reklamasi yang bertujuan
untuk memulihkan kondisi kawasan hutan dan lahan yang rusak sehingga dapat berfungsi
kembali sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Pemantauan Kesehatan Hutan/Forest
Health Monitoring (FHM) merupakan metode yang dapat digunakan untuk memantau,
menilai dan melaporkan status saat ini, perubahan dan kecenderungan jangka panjang
kondisi suatu ekosistem hutan yang didasarkan kepada penilaian terhadap indikatorindikator terukur yang dapat menggambarkan kondisi tegakan secara komprehensif untuk
pengambilan keputusan manajemen. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai status
kesehatan hutan di areal reklamasi Site Sambarata PT Berau Coal dengan metode FHM.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap indikator yang terdiri dari

produktivitas, kualitas tapak, vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk) dan
biodiversitas tumbuhan bawah. Jumlah plot yang dibuat sebanyak 20 plot (5 klaster plot),
mulai dari tahun tanam 2011, 2010, 2009, 2008 dan 2007. Hasil penelitian di lima klaster
plot diperoleh status akhir kesehatan hutan termasuk dalam kategori sedang dengan nilai
akhir masing-masing berturut-turut 20, 23, 26, 26 dan 26 dari nilai tertinggi 50.
Kata kunci: FHM, kesehatan hutan, pertambangan

ABSTRACT
AGIL GILANG RAMADHAN. Forest Health Status in Coal Mining Reclamation Areal
PT Berau Coal East Kalimantan. Supervised by SUPRIYANTO.
Mining activity always related to land conversion that lead to the destruction of
forest resources, among others biodiversity loss, land fertility degradation dan toxicity of
land. Every mining license holder is required to held a reclamation activity in order to
returning forest area and degraded land into its proper function. Forest Health Monitoring
(FHM) is a method which can be used to monitor, assess and report the current forest
status, changes and long term trends in forest ecosystem health by using measurable
ecological indicators for making management decision. The aim of this study was to
assess forest health status in reclamation areal in Sambarata Site PT Berau Coal using
FHM method. Assessment was done using indicators such as productivity, site quality,
vitality (tree damage condition and crown condition) and undergrowth biodiversity. Total

amount of established plot was 20 plots (5 cluster plots), it was located in planting year of
2011, 2010, 2009, 2008 and 2007. The result showed that the forest health status was
classified into fair with the values of 20, 23, 26, 26 and 26 of 50 respectively.
Key word: FHM, forest health, mining

STATUS KESEHATAN HUTAN DI AREAL REKLAMASI
TAMBANG BATUBARA PT BERAU COAL KALIMANTAN TIMUR

AGIL GILANG RAMADHAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Judul Skripsi : Status Kesehatan Hutan di Areal Reklamasi Tambang Batubara
PT Berau Coal Kalimantan Timur
Nama
: Agil Gilang Ramadhan
NIM
: E44090018

Disetujui oleh

Dr Ir Supriyanto
Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua Departemen

Tanggal lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah
pemantauan kesehatan hutan, dengan judul Status Kesehatan Hutan di Areal
Reklamasi Tambang Batubara PT Berau Coal Kalimantan Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Supriyanto selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam
pelaksanaan dan penyelesaian skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Masyhuri, Bapak Seprinda selaku pembimbing di
lapangan yang telah banyak memberi saran dan arahannya, Bapak Krispani,
Bapak Eddy Sudayat, Bapak Rudi, Bapak Agus KBM dan Bapak-bapak pegawai
harian yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan serta
Bapak/Ibu Pegawai PT Berau Coal Kalimantan Timur atas kerjasama, fasilitas
dan sarannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, kakak,
adik serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya, kepada Fitri,
Khalid, Dina, Lody, Ayu dan teman-teman seperjuangan Silvikultur 46 yang telah
membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini, atas segala doa dan kasih
sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk rehabilitasi areal bekas
pertambangan.

Bogor, Agustus 2015
Agil Gilang Ramadhan

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Lokasi Penelitian


2

Bahan dan Alat

2

Prosedur Penelitian

2

HASIL

10

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

10

Penetapan dan Pembuatan Plot


12

Pengukuran Indikator Kesehatan Hutan

12

Penilaian Kesehatan Hutan

18

PEMBAHASAN

19

Produktivitas Pohon

19

Kualitas Tapak


20

Kerusakan Pohon

22

Kondisi Tajuk

24

Biodiversitas Tumbuhan Bawah

25

Tingkat Kesehatan Hutan

26

SIMPULAN DAN SARAN


27

Simpulan

27

Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1 Nilai skor produktivitas pada klaster plot berdasarkan nilai luas bidang
dasar (LBDS)
2 Nilai skor kualitas tapak pada klaster plot berdasarkan nilai KTK
3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan
4 Deskripsi kode lokasi kerusakan
5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan
6 Nilai skor kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI
7 Kriteria kondisi tajuk
8 Penentuan nilai VCR
9 Nilai skor kondisi tajuk pada klaster plot berdasarkan nilai VCR
10 Nilai skor biodiversitas pada klaster plot berdasarkan nilai indeks
kemerataan jenis Pielou
11 Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di areal Site Sambarata
12 Lokasi klaster plot FHM di Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan
Timur
13 Rekapitulasi data LBDS tegakan di lima klaster plot
14 Rata-rata ketebalan serasah dan ketebalan horizon O di lima klaster plot
15 Kandungan sifat kimia tanah di lima klaster plot
16 Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) di lima klaster plot
17 Sebaran lokasi kerusakan pohon di lima klaster plot
18 Sebaran tipe kerusakan pohon di lima klaster plot
19 Sebaran tingkat keparahan di lima klaster plot
20 Nilai PLI (Plot Level Index) di lima klaster plot
21 Rekapitulasi rasio tajuk hidup (LCR), kerapataan tajuk (CDs),
transparansi tajuk (FTr), diameter tajuk (CDia), dieback (CDb) dan
nilai peringkat tajuk visual (VCR) di lima klaster plot
22 Keanekaragaman jenis, indeks keragaman jenis dan indeks kemerataan
jenis tumbuhan bawah
23 Skoring indikator dan nilai akhir kesehatan hutan

4
5
5
6
6
7
8
8
8
9
10
12
12
13
13
14
15
15
16
16

16
18
19

DAFTAR GAMBAR
1 Desain klaster plot FHM
2 Kondisi lapang (a) klaster plot 1 tahun tanam 2011 dan (b) klaster plot 2
tahun tanam 2010
3 Kondisi lapang (a) klaster plot 3 tahun tanam 2009, (b) klaster plot 4
tahun tanam 2008 dan (c) klaster plot 5 tahun tanam 2007

3
17
17

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta revegetasi PT Berau Coal Site Sambarata Blok A: (a) klaster plot 3
tahun tanam 2009, (b) klaster plot 4 tahun tanam 2008 dan (c) klaster
plot 5 tahun tanam 2007

30

2 Peta revegetasi PT Berau Coal Site Sambarata Blok B-1: (a) klaster plot
1 tahun tanam 2011 dan (b) klaster plot 2 tahun tanam 2010
3 Analisis sifat kimia tanah pada klaster plot penelitian di Site Sambarata
PT Berau Coal Kalimantan Timur
4 Biodiversitas tumbuhan bawah di lima klaster plot

31
32
33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kegiatan usaha pertambangan batubara pada umumnya dilakukan dengan
penambangan terbuka (open pit mining) yang akan menimbulkan dampak pada
perubahan lanskap dan kondisi kehidupan masyarakat tempat kegiatan
pertambangan terjadi (Sukandarrumidi 2010). Kegiatan usaha pertambangan
dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positif yang ditimbulkan
diantaranya memberikan pendapatan yang besar bagi negara dalam bentuk royalti,
pajak, dan lain-lain. Namun kegiatan penambangan di kawasan hutan dan lahan
selalu terkait dengan aktivitas mengubah bentuk lahan sehingga menghancurkan
ekosistem hutan dan isinya. Dampak negatif yang ditimbulkan antara lain
hilangnya keanekaragaman hayati, penurunan kesuburan lahan, toksisitas lahan
dan peningkatan erosi, sehingga untuk mengendalikannya perlu adanya usaha
dalam pengurangan dampak negatif dari kegiatan penambangan seperti
memulihkan kembali lahan bekas penambangan dengan melakukan kegiatan
reklamasi lahan pasca tambang.
Pada dasarnya kegiatan penambangan tidak boleh merubah fungsi hutan.
Terkait dengan kerusakan lingkungan hidup, telah dijelaskan dalam UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 45 bahwa penggunaan kawasan hutan yang
mengakibatkan kerusakan hutan wajib dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi
sesuai dengan pola yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga kegiatan reklamasi
dan/atau rehabilitasi pada kawasan hutan bekas areal tambang menjadi kegiatan
wajib yang dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan
tahapan kegiatan pertambangan. Kegiatan reklamasi dilakukan bertujuan untuk
memulihkan kondisi kawasan hutan dan lahan yang rusak sebagai akibat usaha
pertambangan sehingga kawasan hutan dan lahan dapat berfungsi kembali sesuai
dengan fungsi hutan yang ditetapkan. Fungsi hutan di kawasan PT Berau Coal
Kalimantan Timur menurut Tata Guna Lahan Kesepakatan (TGHK) adalah hutan
produksi terbatas (HPT). Untuk itu kegiatan reklamasinya harus menjawab
terciptanya fungsi hutan produksi terbatas (HPT). Kegiatan evaluasi terhadap
areal reklamasi perlu dilakukan untuk mengetahui status keberhasilan pelaksanaan
reklamasi yang telah dilakukan oleh pengelola pertambangan. Salah satu metode
yang dapat digunakan adalah Forest Heatlh Monitoring (FHM).
FHM merupakan metode yang telah dikembangkan di Indonesia untuk
menilai kesehatan hutan yang diadopsi dari USDA-Forest Service. Dalam metode
FHM, kondisi kesehatan hutan didasarkan kepada penilaian terhadap indikatorindikator lingkungan yang terukur yang dapat menggambarkan kondisi tegakan
secara komprehensif. Teknik FHM akan memberikan data tentang status saat ini,
perubahan dan kecenderungan jangka panjang kondisi suatu ekosistem hutan
untuk para pengelola hutan/kawasan untuk keputusan manajemennya (Putra
2004). Penelitian ini termasuk dalam komponen “Detection Monitoring” yang
merupakan kegiatan awal dalam metode FHM yang merekam kondisi ekosistem
hutan, melakukan estimasi pada kondisi saat ini dan mendeteksi perubahan yang
terjadi. Dengan metode ini pengambilan keputusan dalam menyusun strategi atau
langkah-langkah selanjutnya menjadi lebih mudah dan terukur.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menilai status kesehatan hutan di areal
reklamasi Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur berdasarkan metode
Forest Health Monitoring (FHM).

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan data atau informasi
tentang status kesehatan hutan di lokasi penelitian. Data atau informasi tersebut
diharapkan dapat digunakan oleh PT Berau Coal sebagai bahan evaluasi terhadap
kegiatan reklamasi yang telah dilakukan serta dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan keputusan manajemen dalam menjalankan kegiatan reklamasi
dimasa mendatang yang lebih baik.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan selama 3 bulan mulai dari bulan November
2013 sampai dengan bulan Februari 2014. Lokasi penelitian dilakukan di areal
reklamasi lahan pasca tambang Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur.

Bahan dan Alat
Bahan atau objek penelitian ini adalah tegakan hasil reklamasi tahun tanam
2011, 2010, 2009, 2008 dan 2007. Alat yang digunakan dalam pengambilan data
antara lain, peta areal reklamasi, GPS (Global Positioning System), meteran
ukuran 50 m, pita tagging, pita meter, haga hypsometer, klinometer, densiometer,
magic card, parang, cangkul, kamera digital, kalkulator, mistar, plastik, tally sheet
dan alat tulis.

Prosedur Penelitian
Pembuatan plot pengamatan
Pembuatan plot didasarkan pada metode FHM yang disebut dengan klaster
plot (Gambar 1). Setiap klaster plot mempunyai kriteria, yaitu terdiri dari 4
annular plot berupa lingkaran dengan jari-jari 17.95 m, 4 subplot dengan jari-jari
7.32 m dan 4 mikroplot dengan jari-jari 2.07 m yang terletak pada arah 900 dari
titik pusat subplot dengan jarak 3.66 m. Dengan demikian luasan yang tercakup
dalam satu buah klaster plot adalah seluas 4046.86 m2, masing-masing annular
plot mempunyai luas 0.1 ha, sedangkan luasan hutan yang diwakili oleh satu buah
klaster plot adalah seluas 1 ha. Titik pusat subplot 1 merupakan titik pusat bagi

3
keseluruhan plot. Titik pusat subplot 2 terletak pada arah 3600 dari titik pusat
subplot 1 dengan jarak 36.6 m. Titik pusat subplot 3 terletak pada arah 1200 dari
titik pusat subplot 1 dengan jarak 36.6 m. Titik pusat subplot 4 terletak pada arah
2400 dari titik pusat plot 1 dengan jarak 36.6 m. Satu buah klaster plot juga terdiri
dari 3 buah titik contoh tanah berbentuk lingkaran berdiameter 16 cm yang
terletak diantara plot 1 – plot 2, plot 1 – plot 3, dan plot 1 – plot 4 (Putra 2004).

Gambar 1 Desain klaster plot FHM (USDA-FS 1997)
Jumlah klaster plot yang dibuat disesuaikan dengan tahun tanam yang
terdapat di areal reklamasi Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur.
Kriteria penempatan klaster plot FHM adalah areal reklamasi pada tahun tanam
2011, 2010, 2009, 2008 dan 2007, sudah terdapat tegakan, tegakannya cenderung
rapat, areal memiliki luasan minimal 1 ha dan topografi relatif datar.
Indikator yang diukur
Dalam pengukuran kesehatan hutan pada areal reklamasi PT. Berau Coal,
indikator yang digunakan terdiri dari produktivitas, kualitas tapak (Kapasitas
Tukar Kation), vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk) dan
biodiversitas tumbuhan bawah.
1.

Produktivitas
Diameter pohon diukur pada ketinggian 1.3 m di atas permukaan tanah atau
tergantung kepada kondisi lapangan khusus. Pohon yang memiliki diameter 20 cm
atau lebih dikategorikan sebagai pohon, sementara pohon dengan diameter 10 –
20 cm dikategorikan sebagai tiang. Produktivitas pohon dihitung sebagai
pertumbuhan luas bidang dasar (basal area). Luas bidang dasar (LBDS) per
hektar diperhitungkan sebagai hasil dari perubahan seluruh LBDS pohon-pohon

4
yang hidup dalam suatu plot. Perumusan yang digunakan untuk menghitung nilai
luas bidang dasar per hektar adalah (Cline 1995):
B = 14.872*1/4*π*d2 atau B = 2.471*1/4*π*d2
Keterangan: B
= nilai luas bidang dasar per hektar
d
= diameter pohon setinggi dada (dbh)
14.872 = faktor konversi luasan subplot ke dalam hektar
2.471 = faktor konversi luasan annular plot ke dalam hektar
Nilai skor produktivitas pada setiap klaster plot berdasarkan nilai luas
bidang dasar (LBDS) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai skor produktivitas pada klaster plot berdasarkan nilai luas bidang
dasar (LBDS)
LBDS
Skor
11.10 – 12.20
10
9.99 – 11.09
9
8.88 – 9.98
8
7.77 – 8.87
7
6.66 – 7.76
6
5.55 – 6.65
5
4.44 – 5.54
4
3.33 – 4.43
3
2.22 – 3.32
2
1.11 – 2.21
1
0 – 1.10
0
2.

Kualitas tapak
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 3 plot berbentuk lingkaran
berdiameter 16 cm yang terletak diantara plot 1 – plot 2, plot 1 – plot 3, dan plot 1
– plot 4 (Gambar 1). Sebelum pengambilan contoh tanah dilakukan, terlebih
dahulu dilakukan pengamatan dan pengukuran data seperti tumbuhan penutup dan
ketebalan serasah. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada lapisan permukaan
organik (lapisan O) dan lapisan permukaan mineral (lapisan A dan E).
Pengambilan contoh tanah dilakukan pada kedalaman 0 – 10 cm di tiap plot, lalu
dikompositkan. Contoh tanah yang telah dikomposit dianalisis sifat kimianya di
laboratotium tanah.
Parameter pengukuran indikator kualitas tapak diperoleh dari hasil analisis
sifat kimia tanah di laboratorium tanah. Penilaian kualitas tapak didasarkan dari
kondisi Kapasitas Tukar Kation (KTK). Nilai KTK dapat menggambarkan tingkat
kesuburan tanah dan dapat digunakan untuk menilai klasifikasi sifat fisik-kimia
tanah dalam kondisi bagus, sedang atau rendah. Berdasarkan kriteria Pusat
Penelitian Tanah (PPT) Bogor (Balai Penelitian Tanah 2005) klasifikasi nilai
KTK, yaitu sangat rendah (< 5 me/100 g), rendah (5 – 16 me/100 g), sedang (17 –
24 me/100 g), tinggi (25 – 40 me/100 g) dan sangat tinggi (>40 me/100 g). Nilai
skor kualitas tapak pada setiap klaster plot berdasarkan nilai KTK dapat dilihat
Tabel 2.

5
Tabel 2 Nilai skor kualitas tapak pada klaster plot berdasarkan nilai KTK
KTK
Skor
≥ 50.00
10
45.00 – 49.99
9
40.00 – 44.99
8
35.00 – 39.99
7
30.00 – 34.99
6
25.00 – 29.99
5
20.00 – 24.99
4
15.00 – 19.99
3
10.00 – 14.99
2
5.00 – 9.99
1
0 – 4.99
0
3.

Vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk)
Vitalitas tegakan dapat dicirikan oleh kondisi kerusakan pohon dan kondisi
tajuk. Kondisi tajuk dapat menggambarkan kesehatan pohon secara umum. Ini
salah satunya dibuktikan oleh Kasno et al. (2001), yaitu dengan adanya korelasi
positif antara diameter tajuk dan kerapatan tajuk dengan pertumbuhan basal area.
Pohon dapat melaksanakan fungsi fisiologisnya dengan normal dan tidak
terganggu oleh hama penyakit, maka pohon dikatakan sehat. Apabila pohon
diganggu oleh patogen atau oleh keadaan lingkungan tertentu sehingga salah satu
atau lebih fungsi fisiologisnya terganggu sehingga terjadi penyimpangan dari
keadaan normal, maka pohon tersebut sakit.
Tabel 3 Deskripsi kode jenis kerusakan dan nilai ambang keparahan
Kode
01
02

Definisi

Kanker, gol (puru)
Konk, tubuh buah (badan buah), dan
indikator lain tentang lapuk lanjut
03
Luka terbuka
04
Resinosis/gummosis
05
Batang pecah
06
Sarang rayap
11
Batang atau akar patah < 3 feet (0,91 m)
dari batang
12
Brum pada akar atau batang
13
Akar patah atau mati ˃ 3 feet (0,91 m)
dari batang
14
Kutu lilin
20
Liana
21
Hilangnya ujung dominan, mati ujung
22
Cabang patah atau mati
23
Percabangan atau brum yang berlebihan
24
Daun, kuncup atau tunas rusak
25
Daun berubah warna (tidak hijau)
31
Lain-lain
Sumber: USDA-FS 1997

Nilai ambang keparahan (pada kelas 10% 99%)
≥ 20% dari titik pengamatan
Tidak ada, kecuali ≥ 20% pada akar ˃ 3 feet
(0,91 m) dari batang
≥ 20% dari titik pengamatan
≥ 20% dari titik pengamatan
Tidak ada
≥ 20% dari titik pengamatan
Tidak ada
Tidak ada
≥ 20% pada akar
≥ 20%
≥ 20%
≥ 1% pada dahan pada tajuk
≥ 20% pada ranting atau pucuk
≥ 20% pada ranting atau pucuk
≥ 30% dedaunan penutupan tajuk
≥ 30% dedaunan penutup tajuk
-

Kondisi kerusakan pohon terdiri dari tiga sistem kode berurutan yang
menggambarkan lokasi terjadinya, yaitu pada akar, batang, cabang, tajuk, daun,

6
pucuk atau tunas, jenis kerusakan dan tingkat keparahan yang ditimbulkan pada
pohon. Dampak kerusakan terhadap kesehatan pohon akan semakin rendah seiring
dengan makin besarnya nomor kode, seperti kerusakan 01 akan memiliki dampak
lebih besar jika dibandingkan kerusakan 31 (Tabel 3). Prioritas terbesar kerusakan
diberikan pada kerusakan dengan kode lokasi terendah (Tabel 4). Pencatatan
kerusakan pada pohon dilakukan untuk maksimum tiga kerusakan, dimulai dari
lokasi dengan kode terendah (prioritas tertinggi). Jika suatu pohon memiliki lebih
dari tiga kerusakan yang memenuhi nilai ambang keparahan, tiga kerusakan
pertama ditemui dimulai dari akar yang dicatat. Kerusakan dicatat dalam kelas
10% hingga 99%, dimulai dari nilai ambang keparahan. Untuk kerusakan yang
tidak memenuhi nilai ambang, akan diberikan nilai ‘0’ dalam tingkat
keparahannya.
Tabel 4 Deskripsi kode lokasi kerusakan
Kode
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Definisi
Tidak ada kerusakan
Akar terbuka dan “stump” (12 inch (30 cm) di atas permukaan tanah)
Kerusakan pada akar dan antara akar dan batang bagian bawah
Kerusakan pada batang bagian bawah (di bawah pertengahan antara “stump” dan
dasar tajuk
Kerusakan pada batang bagian bawah yang terdapat pula pada batang bagian atas
Kerusakan pada batang bagian atas (di atas pertengahan antara “stump” dan dasar
tajuk
Kerusakan pada dahan utama yang terdapat pada bagian tajuk, di atas dasar tajuk
Kerusakan pada ranting (dahan-dahan kecil dan dahan lain selain dahan utama)
Kerusakan pada daun muda dan pucuk daun
Kerusakan pada tajuk

Sumber: USDA-FS 1997

Parameter pengukuran kondisi kerusakan pohon (lokasi kerusakan, tipe
kerusakan dan tingkat keparahan) dirumuskan dalam sebuah indeks kerusakan
(IK), sebagai berikut:
IK = [xTipe kerusakan*yLokasi*zKeparahan]
Keterangan: x, y dan z adalah nilai pembobotan yang besarnya berbeda-beda
bergantung kepada tingkat dampak relatif setiap komponen terhadap
pertumbuhan dan ketahanan pohon (Tabel 5).
Tabel 5 Nilai pembobotan untuk setiap kode kerusakan, lokasi dan keparahan
Kode kerusakan
11
01
02
12
03
04
06
20
21
14, 22, 23, 24, 25, 31

Nilai
2
1,9
1,7
1,6
1,5
1,5
1,5
1,5
1,3
1,0

Sumber: Nuhamara dan Kasno 2001

Kode lokasi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Nilai
0
2
2
1,8
1,8
1,6
1,2
1,0
1,0
1,0

Keparahan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0

Nilai
1,1
1,2
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
1,5

7
Nilai indeks kerusakan pada tingkat pohon (Tree Damage Level
Index/TDLI) dan nilai indeks kerusakan pada tingkat plot (Plot Level Index/PLI)
pada masing-masing klaster plot merupakan dasar untuk mengetahui kondisi
kerusakan suatu vegetasi. Nilai indeks kerusakan dibagi menjadi dua tingkat yang
berbeda, yaitu kerusakan pada tingkat pohon (TDLI) dan kerusakan pada tingkat
plot (PLI) yang dirumuskan sebagai berikut:
Kerusakan Tingkat Pohon (TDLI) = (Tipe 1*Lokasi 1*keparahan 1) +
(Tipe 2*Lokasi 2*keparahan 2) +
(Tipe N*Lokasi N*keparahan N)
Kerusakan Tingkat Plot (PLI) = Rata-rata kerusakan [pohon1, pohon2, , pohon N]
Nilai skor kondisi kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI
kerusakan pohon dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai skor kerusakan pohon pada klaster plot berdasarkan nilai PLI
Rata-rata PLI
Skor
0 – 0.18
10
0.19 – 0.37
9
0.38 – 0.56
8
0.57 – 0.75
7
0.76 – 0.94
6
0.95 – 1.13
5
1.14 – 1.32
4
1.33 – 1.51
3
1.52 – 1.70
2
1.71 – 1.89
1
1.90 – 2.08
0
Parameter kondisi tajuk pohon yang diukur adalah LCR (Live Crown Ratio),
CDs (Crown Density), CDb (Crown Dieback), FTr (Foliage Transparancy) dan
CDWd (Crown Diameter Width) serta CD90 (Crown Diameter at 90º). Nisbah
tajuk hidup (LCR), yaitu nisbah panjang batang pohon yang tertutup daun
terhadap tinggi total pohon. Kerapatan tajuk (CDs), yaitu persentase cahaya
matahari yang tertahan oleh tajuk yang tidak mencapai permukaan tanah. Dieback
(CDb), yaitu cabang dan ranting yang baru saja mati dimana bagian yang mati
dimulai dari bagian ujung kemudian merambat ke bagian pangkal. Transparansi
tajuk (FTr), yaitu persentase cahaya matahari yang dapat mencapai permukaan
tanah. Diameter tajuk (CDia), yaitu rata-rata dari pengukuran panjang dan lebar
tajuk yang bersangkutan.
Nisbah tajuk hidup, kerapatan tajuk, dieback dan transparansi tajuk
diperhitungkan dalam kelas 5%, sedangkan diameter tajuk diperhitungkan hingga
ketelitian 10 cm. Kelima parameter pengukuran tersebut dikumpulkan kedalam
Peringkat Tajuk Visual (VCR/Visual Crown Rating). Nilai VCR diperhitungkan
pada tingkat pohon, untuk kemudian dirata-ratakan untuk tiap pohon pada subplot
sehingga diperoleh nilai untuk tingkat plot dan tingkat klaster (Putra 2004).
Parameter dalam pengukuran indikator kondisi tajuk dikumpulkan kedalam
nilai VCR. VCR memiliki nilai 1 – 4 (Tabel 8) bergantung pada kriteria nilai pada
masing-masing pengamatan parameter kondisi tajuk (Tabel 7). Rata-rata nilai

8
VCR setiap individu pohon yang terdapat dalam klaster plot merupakan nilai
VCR klaster plot. Nilai skor kondisi tajuk pada klaster plot berdasarkan nilai VCR
dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 7 Kriteria kondisi tajuk (Anderson et al. 1992 dalam Putra 2004)
Parameter
Nilai = 3
Nilai = 2
Nilai = 1
Rasio Tajuk Hidup
≥ 40%
20–35%
5–15%
Kerapatan Tajuk

≥ 55%

25–50%

5–20%

Transparansi Tajuk

0–45%

50–70%

≥ 75%

Dieback

0–5%

10–25%

≥ 30%

≥ 10,1 m

2,5–10 m

≤ 2,4 m

Diameter Tajuk

Tabel 8 Penentuan nilai VCR (Anderson et al. 1992 dalam Putra 2004)
Nilai VCR Kriteria
4
Seluruh parameter bernilai 3, atau hanya 1 parameter
memiliki nilai 2; tidak ada parameter bernilai 1.
3

Lebih banyak kombinasi antara nilai 3 dan 2 pada parameter
tajuk, atau semua bernilai 2; tetapi tidak ada parameter
bernilai 1.

2

Setidaknya 1 parameter bernilai 1, tetapi tidak semua
parameter.

1

Semua parameter kondisi tajuk bernilai 1.

Tabel 9 Nilai skor kondisi tajuk pada klaster plot berdasarkan nilai VCR
VCR
Skor
4
10
3.60 – 3,99
9
3.30 – 3.59
8
3.00 – 3.29
7
2.60 – 2.99
6
2.30 – 2.59
5
2.00 – 2.29
4
1.60 – 1.99
3
1.30 – 1.59
2
1.01 – 1.29
1
1
0
4.

Biodiversitas tumbuhan bawah
Pengamatan biodiversitas lebih ditujukan pada tumbuhan bawah, karena
jenis tanaman pokoknya telah ditetapkan sejak awal oleh manajemen perusahaan
yang relatif homogen yaitu jenis sengon laut (Paraserianthes falcataria), sengon
buto (Enterolobium cyclocarpum), akasia (Acacia mangium) dan ketapang

9
(Terminalia catappa). Pengamatan indikator ini dilakukan pada mikroplot
berbentuk lingkaran dengan jari-jari 2.07 m yang terletak pada arah 900 dari titik
pusat subplot dengan jarak 3.66 m. Data yang diamati yaitu semua jenis tumbuhan
bawah dan jumlah dari masing-masing jenis tersebut.
Terdapat tiga tolak ukur yang digunakan pada indikator biodiversitas
tumbuhan bawah, yaitu kekayaan jenis, kelimpahan jenis dan keragaman jenis.
Penilaian biodiversitas didasarkan kondisi kemerataan jenis dengan menggunakan
indeks kemerataan (Evenness Index) Pielou (Pielou 1969), dimana indeks ini
mencakup penghitungan kekayaan jenis, distribusi relatif jenis dan
keanekaragaman jenis. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

, dengan nilai
J’ = indeks kemerataan jenis Pielou
H’ = indeks keragaman jenis Shannon-Wiener
S = jumlah jenis yang ditemukan
ni = jumlah individu spesies ke-i
N = jumlah total individu
Suatu komunitas dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks kemerataan
jenis mendekati 1 dan semakin kecil nilai indeks kemerataan jenis
mengindikasikan bahwa penyebaran jenis tidak merata. Nilai skor biodiversitas
tumbuhan bawah pada setiap klaster plot berdasarkan nilai indeks kemerataan
jenis Pielou dapat dilihat pada Tabel 10.
Keterangan:

Tabel 10

Nilai skor biodiversitas tumbuhan bawah pada klaster plot
berdasarkan nilai indeks kemerataan jenis Pielou
J’
Skor
1
10
0.90 – 0.99
9
0.80 – 0.89
8
0.70 – 0.79
7
0.60 – 0.69
6
0.50 – 0.59
5
0.40 – 0.49
4
0.30 – 0.39
3
0.20 – 0.29
2
0.10 – 0.19
1
0 – 0.09
0

Skoring indikator
Nilai skor diperoleh melalui transformasi terhadap nilai setiap parameter
yang mewakili indikator kesehatan hutan. Skoring untuk setiap indikator
diberikan pada interval 0 – 10. Nilai akhir kesehatan hutan didapat dari jumlah
skoring dari seluruh indikator dengan interval 0 – 50. Semakin tinggi nilai skor
menunjukkan tingkat kesehatan yang semakin tinggi. Kondisi kesehatan sangat
rendah ditunjukkan oleh nilai (0 – 9), rendah (10 – 19), sedang (20 – 29), sehat
(30 – 39) dan sangat sehat/ideal (40 – 50).

10

HASIL
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur berada dalam wilayah
administrasi Desa Tasuk dan Desa Birang, Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten
Berau, Kalimantan Timur. Klasifikasi iklim di sekitar PT Berau Coal bertipe iklim
Alfa menurut Koppen dan lebih dikenal dengan sebutan daerah hujan tropik,
sedangkan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk dalam tipe
iklim A (sangat basah). Rata-rata curah hujan per tahun adalah 2268.8 mm,
jumlah hari hujan per tahun 174 hari dengan suhu minimum rata-rata bulanan
26.0°C dan suhu maksimum rata-rata bulanan 26.8°C. Intensitas penyinaran
matahari berkisar antara 20 – 68.8 %, dengan lama penyinaran rata-rata tertinggi
adalah 50.71 % pada bulan Agustus dan terendah pada bulan November dengan
rata-rata 36.83 % (Amdal SMO 2000).
Jenis tanah dominan yang terdapat di Site Sambarata adalah jenis tanah
Podsolik. Daerah Sambarata dan Birang memiliki kemiringan tanah yang
bervariasi. Kelerengan 15 – 40 % (sebagian daerah timur dan barat Sambarata,
bagian barat Birang, desa Tasuk dan gunung Tabur), >40 % (sebagian tengah
Sambarata dan desa Birang). Kedalaman efektif tanah di kawasan Sambarata dan
Birang adalah berkisar antara 30 cm sampai lebih dari 90 cm. Ditinjau dari tekstur
tanahnya berkisar dari kasar sampai halus. Tekstur pasir, debu dan liat di daerah
Sambarata berkisar antara (1.8 – 62.4)% dan di daerah Birang (21.6 – 50.8)%.
Berdasarkan data hasil analisis sifat kimia tanah yang dilakukan di Laboratorium
UNILAB tahun 1998, kondisi tanah di Site Sambarata termasuk dalam kategori
masam sampai netral dengan nilai pH (H2O) = 3.0 – 7.0 dan pH (KCl) = 2.6 – 6.4.
Kandungan bahan organik tanah yang dinyatakan dengan C organik, dari hasil
analisis data memiliki kandungan sebesar 0.51 – 4.01 %, untuk kandungan N-total
sebesar 0.02 – 0.06 %, fosfor (P2O5) berkisar antara 4.9 – 6.8 mg/100 g dan nilai
tukar kation sebesar 4.7 – 13.6 me/100 g.
Kondisi awal lokasi penambangan batubara di Site Sambarata PT Berau
Coal Kalimantan Timur berada pada kawasan hutan produksi terbatas (HPT) yang
dikelola oleh PT Rejosari Bumi atau hutan produksi yang dapat dikonversikan.
Hutan produksi ini dikelola oleh PT Inhutani. Vegetasi semula merupakan
vegetasi hutan dipterocarpaceae yang berubah menjadi hutan belukar setelah
adanya penebangan oleh pemegang HPH. Dengan masuknya penduduk,
pengusaha hutan dan kegiatan lainya yang memanfaatkan hutan, maka telah
mengubah kondisi hutan yang ada sebelumnya. Berdasarkan penjelasan di atas,
maka dapat disimpulkan keadaan vegetasi yang dijumpai pada wilayah studi
sebagian besar hutan sekunder, semak belukar, persawahan, ladang berpindah dan
tanaman pekarangan. Jenis-jenis yang ditemukan di areal Site Sambarata dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di areal Site Sambarata
No.
1
2
3

Nama lokal
Alang-alang
Bintangur
Cempedak liar

Nama ilmiah
Imperata cylindrica
Calophyllum sp.
Artocarpus anisophylla

INP (%)
42.31
1.26
1.66

11
No.
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50

Nama lokal
Dadap
Durian
Embacang
Gelam
Gelagah
Hangkang
Jali
Jambu hutan
Jarang lalaki
Karamunting
Kayu kapur
Kaidan
Kecapi
Keladan
Kemiri
Kemidai punai
Kenari
Kepayang/picung
Kepuh/kapuk
Kiendong
Kondang
Lilisungan
Loa
Manggis hutan
Medang
Meranti hitam
Meranti/kalup
Meranti/kenuar
Merkukung
Merawan
Mersawa
Padi
Paku uban
Pegagan hutan
Pisang
Rambutan
Rambutan hutan
Rengas
Rengas putin
Rumput riang
Salam anjing
Sirih
Sulakeban
Terentang putih
Terulak
Ulin
Waru

Sumber: Amdal SMO 2000

Nama ilmiah
Erythirina lithosperma
Durio zibethinus
Mangifera foetida
Macaranga trilobata
Saccharum spontaneum
Palaquium leiocarpum
Coix lacryma-jobi
Eugenia operculata
Achyranthes aspera
Melastoma sp.
Dryobalanops oiocarpa
Dipeterocarpus warbugii
Sandoricum koetjape
Dryobalanops sp.
Aleurites moluccana
Antidesma cuspidatum
Canarium sp.
Pangium edule
Ceiba pentandra
Aporosa campanulata
Ficus consociata
Cyperus diffusus
Ficus glomerata
Garcinia celebica
Litsea stiomanni
Shorea sp.
Shorea eximia
Shorea lepidopita
Macaranga gigantea
Hopea mengerawan
Anisoptera borneensis
Oryza sativa
Nephrolepis biserrata
Merremia peltata
Musa paradisiaca
Nephelium lappaceum
Nephelium mutabile
Buchanania lucida
Semecarpus heterophylla
Themeda gigantea
Cleistanthus myrianthus
Piper betle
Antidesma stipulare
Campnosperma sp.
Calonyction aceatum
Eusideroxylon zwageri
Hibiscus tiliaceus

INP (%)
3.22
7.64
2.42
5.14
2.51
5.79
6.76
2.32
0.52
11.81
1.26
5.68
4.89
5.60
8.77
5.35
1.26
5.35
5.35
4.97
4.97
0.65
5.35
1.26
1.26
2.16
2.16
2.16
1.16
1.16
1.16
29.35
2.24
4.23
10.12
2.85
3.40
1.31
1.31
15.92
8.05
20.73
5.14
1.42
1.75
11.20
15.45

12
Penetapan dan Pembuatan Plot
Lokasi yang dijadikan plot yaitu di areal reklamasi blok A pada disposal C3,
disposal A3 dan disposal C10 serta di areal reklamasi blok B-1 pada disposal B2
dan disposal B4 (Lampiran 1 dan 2). Titik ikat klaster plot berupa plang areal
reklamasi di setiap lokasi plot penelitian. Umumnya tegakan yang menyusun areal
pada klaster plot penelitian yaitu jenis tanaman sengon. Komposisi jenis di klaster
plot 4 dan 5 yaitu tegakan jenis sengon, sedangkan di klaster plot 1, 2 dan 3
terdapat campuran tegakan yang ditanam. Pada klaster plot 1 terdapat campuran
jenis sengon laut dan jenis sengon buto dengan dominan jenis sengon laut . Pada
klaster plot 2 terdapat campuran jenis sengon dan jenis akasia mangium dengan
dominan jenis akasia mangium. Pada klaster plot 3 terdapat campuran jenis
sengon dan jenis ketapang dengan dominan jenis sengon (Tabel 12).
Tabel 12 Lokasi klaster plot FHM di Site Sambarata PT Berau Coal Kalimantan Timur
Klaster
plot

Tahun
tanam

Umur
tegakan

1

2011

2

3

Titik pusat klaster plot
(GPS)

Titik ikat

Tanaman pokok dalam
klaster plot

Az
(°)
40

°LS

°BT

Jenis

2 tahun

Jarak
datar (m)
62

2°11’07.5”

117°26’40.6”

2010

3 tahun

714

17

2°12’00.9”

117°26’09.1”

2009

4 tahun

79

131

2°10’59.7”

117°24’10.3”

4
2008
5 tahun
83
126 2°10’36.5”
5
2007
6 tahun
65
66
2°10’20.4”
Ket: Az: Azimuth, LS: Lintang Selatan, BT: Bujur Timur

117°23’26.5”
117°24’19.4”

1.Sengon laut
2.Sengon buto
1.Sengon laut
2.Akasia
mangium
1.Sengon laut
2.Ketapang
1.Sengon laut
1.Sengon laut

Topografi

Jumlah
1. 105
2. 27
1. 16
2. 58

Datar

1. 61
2. 48
1. 69
1. 118

Datar

Datar

Datar
Datar

Pengukuran Indikator Kesehatan Hutan
Produktivitas
Pengamatan produktivitas pada tahap awal ini dilakukan dengan mengukur
luas bidang dasar (LBDS) tegakan pada umur 2, 3, 4, 5 dan 6 tahun (Tabel 13).
Jumlah pohon yang hidup di setiap klaster plot per hektar termasuk rendah jika
dibandingkan dengan jumlah pohon yang tumbuh normal pada jarak tanam 4x4 m,
yaitu 625 individu/ha. Persentase hidup tertinggi hanya mencapai 53.6 % yang
terdapat pada klaster plot 1, sedangkan persentase hidup terendah terdapat pada
klaster plot 2 sebesar 29.6 %.
Tabel 13 Rekapitulasi data LBDS tegakan di lima klaster plot
Klaster
plot
1

Tahun
tanam
2011

Umur
tegakan
2 tahun

Jumlah pohon
(N/ha)
335

%
hidup
53.6

Rata-rata
diameter (cm)
12.6

LBDS
(m2/ha)
4.28

2

2010

3 tahun

185

29.6

13.3

2.67

3

2009

4 tahun

298

47.7

15.3

5.92

4
5

2008
2007

5 tahun
6 tahun

233
308

37.3
49.3

23.6
19.4

12.12
9.78

Jenis tanaman
Sengon laut dan
Sengon buto
Sengon laut dan
Akasia mangium
Sengon laut dan
Ketapang
Sengon laut
Sengon laut

13
Rendahnya persentase hidup di setiap klaster plot ini disebabkan sebagian
besar oleh rendahnya kualitas tapak tegakan tersebut (lihat Tabel 14, 15 dan 16).
Rendahnya jumlah pohon yang hidup akan berpengaruh terhadap rendahnya nilai
LBDS di setiap klaster plot.
Nilai LBDS paling besar terdapat di klaster plot 4 tahun tanam 2008, yaitu
sebesar 12.12 m2/ha. Jumlah pohon (kerapatan) dan diameter batang pohon
setinggi dada (Husch 1963) akan mempengaruhi nilai LBDS dan volume tegakan
per unit luas, selain itu peningkatan kualitas tempat tumbuh juga akan
menyebabkan LBDS meningkat (Baker et al. 1979).
Kualitas tapak
Bahan organik meskipun jumlahnya hanya sekitar 3 – 5 %, tetapi memiliki
pengaruh yang besar terhadap sifat-sifat tanah. Bahan organik biasanya ditemukan
diatas permukaan tanah seperti jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting,
daun, bunga dan buah. Pengamatan kualitas tapak dimulai dengan melakukan
pengukuran ketebalan serasah dan lapisan permukaan organik (Tabel 14).
Tabel 14 Rata-rata ketebalan serasah dan ketebalan horizon O di lima klaster plot
Klaster
plot
1
2
3
4
5

Tahun
tanam
2011
2010
2009
2008
2007

Umur
tegakan
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
6 tahun

Tebal serasah
(cm)
2.4
3.5
2.8
2
1.7

Tebal horizon O
(cm)
0.13
0.07
0.6
1.5
0.8

Jenis tanaman
Sengon laut dan Sengon buto
Sengon laut dan Akasia mangium
Sengon laut dan Ketapang
Sengon laut
Sengon laut

Ketebalan serasah dan horizon O di lokasi penelitian nilainya berfluktuatif.
Kondisi ini dipengaruhi oleh jenis tegakan yang menyusun dan kondisi
lingkungan pada areal tersebut. Pada klaster plot 2 tahun tanam 2010 memiliki
ketebalan serasah paling tinggi, yaitu 3.5 cm. Hal ini menandakan bahwa pada
klaster plot 2 tingkat proses dekomposisi bahan organiknya paling rendah.
Kondisi ini juga dapat dilihat dari ketebalan horizon O. Pada klaster plot 2
memiliki ketebalan horizon O paling tipis, yaitu 0.07 cm. Hal ini menunjukkan
sedikitnya bahan organik dan sisa-sisa serasah tanaman pada lapisan tersebut.
Faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam proses dekomposisi adalah nisbah
C/N, ukuran serasah, kelembaban, aerasi, suhu, pH dan mikroorganisme (Gaur
1981). Data analisis kimia tanah di lima klaster plot di Site Sambarata PT Berau
Coal Kalimantan Timur berdasarkan hasil dari analisis di Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (Lampiran 3). Karakteristik sifat
kimia tanah yang dianalisis seperti nilai beberapa kandungan sifat kimia tanah
(Tabel 15) dan nilai kapasitas tukar kation (Tabel 16) pada kedalaman 10 cm.
Tabel 15 Kandungan sifat kimia tanah di lima klaster plot
Klaster
plot

Tahun
tanam

Umur
tegakan

pH

1
2
3
4
5

2011
2010
2009
2008
2007

2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
6 tahun

4.61
3.24
4.82
4.30
3.99

C/N
rasio
12.5
16.9
11.3
11.3
12.6

Sifat kimia tanah
Mg
Ca
Al
(me/100g)
4.90 1.82 1.00
0.54 1.22 2.90
4.41 3.47 0,28
2.65 1.74 1.10
1.14 1.24 3.20

Sumber: Laboratorium tanah Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur

Fe

P
ppm
28.50 1.52
7.81 1.52
8.96 1.14
15.07 3.42
14.16 7.22

14
Hasil analisis pH tanah menunjukkan bahwa pH tanah di lokasi penelitian
tergolong masam – sangat masam (3.24 – 4.82). Ispandi dan Munip (2005)
menyatakan reaksi tanah atau pH tanah yang terlalu rendah menyebabkan tidak
tersedianya unsur hara tanaman di dalam tanah, seperti hara P, K, Ca, Mg dan
unsur mikro yang menyebabkan tanaman mengalami kahat unsur hara sehingga
hasil tanaman tidak optimal. Kandungan fosfor (P) di lokasi penelitian tegolong
rendah – sangat rendah (1.14 – 7.22 ppm). Rendahnya nilai pH tanah
menyebabkan kelarutan dari Al dan Fe cenderung naik. Kenaikan larutan Al dan
Fe akan menjadi penyebab fixing phosphate yang tinggi, sehingga ketersediaan
hara potensial P akan menurun dan menjadi masalah (Setiadi 2012).
Unsur hara lain yang juga dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup
banyak, yaitu diantaranya unsur kalsium (Ca) dan magnesium (Mg). Kandungan
Ca di lokasi penelitian termasuk dalam kategori rendah – sangat rendah dengan
nilai hingga < 2 me/100g, sedangkan kandungan Mg tergolong rendah – tinggi
(0.54 – 4.90 me/100g). Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kekahatan unsur
Ca terhadap tanaman. Pada 3 klaster plot terdapat ketidakseimbangan jumlah Ca
dan Mg, yaitu pada klaster plot 1, 3 dan 4. Kandungan Ca pada tanah yang normal
seharusnya lebih besar daripada kandungan Mg. Kondisi ini akan menyebabkan
pertumbuhan tanaman stagnan (Setiadi 2012).
Tabel 16 Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) di lima klaster plot
Klaster
plot
1

Tahun
tanam
2011

Umur
tegakan
2 tahun

KTK
(me/100g)
12.5

2

2010

3 tahun

6.5

3

2009

4 tahun

13.0

4
5

2008
2007

5 tahun
6 tahun

12.0
14.2

Jenis tanaman

Evaluasi

Sengon laut dan
Sengon buto
Sengon laut dan
Akasia mangium
Sengon laut dan
Ketapang
Sengon laut
Sengon laut

Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah

Sumber: Laboratorium tanah Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur

Nilai KTK tanah di semua lokasi penelitian tergolong dalam kategori rendah
(6.5 – 14.2 me/100g). Rendahnya nilai KTK tanah ini menunjukkan rendahnya
kemampuan tanah untuk menjerap dan mempertahankan unsur-unsur hara tanah
yang berguna untuk pertumbuhan tanaman. Pada klaster plot 2 tahun tanam 2010
memiliki nilai KTK terendah, yaitu sebesar 6.5 me/100g. Setiadi (2012)
menyatakan bahwa pertumbuhan pohon akan mengalami stagnasi bahkan
kematian apabila kadar KTK tanah kurang dari 8 me/100g. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi kesuburan pada klaster plot 2 sangat buruk dilihat secara umum
dari nilai kapasitas tukar kationnya.
Vitalitas (kondisi kerusakan pohon dan kondisi tajuk)
Parameter pengukuran dalam indikator kondisi kerusakan pohon terdiri dari
tiga sistem kode berurutan yang menggambarkan lokasi terjadinya kerusakan, tipe
kerusakan dan tingkat keparahannya. Sebaran lokasi ditemukannya kerusakan
pada seluruh klaster plot dapat dilihat pada Tabel 17. Lokasi ditemukannya
kerusakan didominasi pada lokasi 7 (ranting) yaitu sebanyak 196 pohon yang
terdapat di setiap klaster plot, diikuti pada lokasi 9 (tajuk) sebanyak 89 pohon dan

15
pada lokasi 6 (dahan/batang utama) sebanyak 75 pohon. Ketiga lokasi
ditemukannya kerusakan tersebut terdapat di setiap klaster plot. Hal ini
menunjukkan bahwa kerusakan di setiap klaster plot umumnya menyebar di lokasi
6 (dahan/batang utama), lokasi 7 (ranting) dan lokasi 9 (tajuk).
Tabel 17 Sebaran lokasi kerusakan pohon di lima klaster plot
Klaster
Umur
plot
tegakan
1
2 tahun
2
3 tahun
3
4 tahun
4
5 tahun
5
6 tahun
Total

1

0

2

3

0

2
3
5

Kode lokasi kerusakan
4
5
6
11
37
1
3
1
1
4
21
1
2
15
2
20
75

7
47
35
28
52
34
196

8

9
13
8
60
4
4
89

0

Sebaran tipe kerusakan pohon di seluruh klaster plot dapat dilihat pada
Tabel 18. Di seluruh klaster plot ditemukan delapan tipe kerusakan. Tipe
kerusakan yang banyak ditemukan yang ada di semua klaster plot yaitu tipe
kerusakan cabang patah atau mati (kode 22). Tipe kerusakan ini dominan
ditemukan di klaster plot 2, 4 dan 5 dengan jumlah masing-masing 35, 34 dan 26
pohon dari total 44, 91 dan 69 pohon terserang. Di klaster plot 1 tipe kerusakan
yang dominan ditemukan yaitu tipe kerusakan luka terbuka (kode 03) dan juga
cabang patah atau mati (kode 22) dengan jumlah 42 dan 41 pohon dari total 109
pohon terserang. Di klaster plot 3 tipe kerusakan yang dominan ditemukan yaitu
tipe kerusakan daun, kuncup atau tunas rusak (kode 24) sebanyak 59 pohon dari
total 98 pohon terserang.
Dari seluruh klaster plot, tipe kerusakan yang paling dominan ditemukan
yaitu tipe kerusakan cabang patah atau mati (kode 22) sebanyak 164 pohon dan
tipe kerusakan daun, kuncup atau tunas rusak (kode 24) sebanyak 83 pohon. Dua
tipe kerusakan ini ditemukan di setiap klaster plot. Hal ini menunjukkan bahwa
kedua tipe kerusakan ini sudah menyebar ke semua klaster plot pengamatan. Tipe
kerusakan lain yang juga banyak ditemukan di setiap klaster plot yaitu, luka
terbuka (kode 03) sebanyak 67 pohon dan tipe kerusakan konk, tubuh buah dan
indikator lain tentang lapuk lanjut (kode 02) sebanyak 48 pohon.
Tabel 18 Sebaran tipe kerusakan pohon di lima klaster plot
Klaster
Umur
plot
tegakan
1
2 tahun
2
3 tahun
3
4 tahun
4
5 tahun
5
6 tahun
Total

02
4

03
42

2
24
18
48

2
13
10
67

Kode tipe kerusakan
20
21
22
8
41
1
35
28
1
4
4
34
1
26
1
5
13
164

06

24
8
8
59
4
4
83

25
5
1

6

Tingkat keparahan pada kerusakan yang ditemukan di lima klaster plot
bervariasi berkisar antara 0 – 80 % (Tabel 19), namun didominasi pada tingkat 20
dan 30 % dengan keparahan kerusakan di seluruh klaster plot terbanyak pada
tingkat 20 % sebanyak 216 pohon yang dominan di setiap klaster plot.

16
Tabel 19 Sebaran tingkat keparahan di lima klaster plot
Klaster
Umur
plot
tegakan
1
2 tahun
2
3 tahun
3
4 tahun
4
5 tahun
5
6 tahun
Total

0
4
2
24
18
48

1
5

2
81
36
30
38
31
216

1
6

Tingkat keparahan
4
5
6
1
1

3
14
8
43
13
5
83

17
2

5
4
10

20

7
1

8
1

9

1

1

0

2
2

Nilai indeks kerusakan tingkat plot (Plot Level Index/PLI) pada klaster plot
4 tahun tanam 2008 memiliki nilai PLI paling besar daripada klaster plot lainnya
dengan nilai 1.92 (Tabel 20). Hal ini menggambarkan bahwa pada klaster plot 4
memiliki kondisi kerusakan pohon paling besar/parah. Kondisi ini bisa dilihat dari
banyaknya jumlah kerusakan pohon pada setiap tipe kerusakan yang ditemukan di
klaster plot 4.
Tabel 20 Nilai PLI (Plot Level Index) di lima klaster plot
Klaster plot
1

Tahun tanam
2011

Umur tegakan
2 tahun

Nilai PLI
1.46

2

2010

3 tahun

0.65

3

2009

4 tahun

0.99

4
5

2008
2007

5 tahun
6 tahun

1.92
0.99

Jenis tanaman
Sengon laut dan
Sengon buto
Sengon laut dan
Akasia
mangium
Sengon laut dan
Ketapang
Sengon laut
Sengon laut

Pengamatan kondisi tajuk dilakukan dengan pengukuran terhadap parameter
rasio tajuk hidup, kerapatan tajuk, transparansi tajuk, diameter tajuk dan dieback.
Kondisi tajuk dapat diketahui dengan melihat nilai peringkat tajuk visual (VCR).
Nilai peringkat tajuk visual (VCR) pada klaster plot dengan tegakan homogen
lebih kecil daripada di klaster plot dengan tegakan yang ditanami jenis campuran.
Nilai peringkat tajuk visual (VCR) paling tinggi terdapat pada klaster plot 2
dengan nilai 3.54 (Tabel 21). Kondisi tegakan di setiap klaster plot dapat dilihat
pada Gambar 2 dan 3.
Tabel 21 Rekapitulasi rasio tajuk hidup (LCR), kerapatan tajuk (CDs), transparansi tajuk
(FTr), diameter tajuk (CDia), dieback (CDb) dan nilai peringkat tajuk visual
(VCR) di lima klaster plot
Klaster
plot
1

Tahun
tanam
2011

Umur
tegakan
2 tahun

LCR
(%)
25

CDs
(%)
28

FTr
(%)
72

CDia
(m)
4.2

CDb
(%)
4.6

2

2010

3 tahun

72

50

50

4.3

2

3.54

3

2009

4 tahun

46

45

55

6.6

2

3.25

4
5

2008
2007

5 tahun
6 tahun

25
24

31
28

69
72

6
6

3
1

2.61
2.49

VCR

Jenis tanaman

2.42

Sengon laut dan
Sengon buto
Sengon laut dan
Akasia mangium
Sengon laut dan
Ketapang
Sengon laut
Sengon laut

17

a

b

Gambar 2 Kondisi lapang (a) klaster plot 1 tahun tanam 2011 dan (b) klaster plot 2
tahun tanam 2010

a

b

c
Gambar 3 Kondisi lapang (a) klaster plot 3 tahun tanam 2009, (b) klaster plot 4
tahun tanam 2008 dan (c) klaster plot 5 tahun tanam 2007
Biodiversitas tumbuhan bawah
Hasil identifikasi tumbuhan bawah di setiap klaster plot jumlahnya
bervariasi (7 – 11 jenis). Hasil identifikasi jenis yang terdapat di lima klaster plot
dapat dilihat pada lampiran 4. Penilaian indikator biodiversitas didasarkan kondisi

18
keanekaragaman dan kemerataan jenis dengan menggunakan indeks
keanekaragaman jenis Shannon-Wiener indeks kemerataan jenis Pielou. Data
hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22 Keanekaragaman jenis, indeks keragaman jenis dan indeks kemerataan jenis
tumbuhan bawah
Klaster
plot
1

Tahun
tanam
2011

Umur
tegakan
2 tahun

Jumlah
jenis
9

Indeks keragaman
jenis (H’)
1.717

Indeks kemerataan
jenis (J’)
0.78

2

2010

3 tahun

7

1.115

0.57

3

2009

4 tahun

11

1.793

0.75

4
5

2008
2007

5 tahun
6 tahun

7
8

1.727
1.367

0.89
0.66

Jenis tanaman
Sengon laut dan
Sengon buto
Sengon laut dan
Akasia
mangium
Sengon laut dan
Ketapang
Sengon laut
Sengon laut

Nilai indeks kemerataan jenis (J’) paling besar terdapat di klaster plot 4
(0.89), sedangkan nilai indeks kemerataan jenis (J’) paling kecil terdapat di klaster
plot 2 (0.57). Suatu komunitas dikatakan stabil bila mempunyai nilai indeks
kemerataan jenis mendekati 1. Hal ini menunjukkkan bahwa pada klaster plot 2
penyebaran jenis tumbuhan bawahnya tidak merata dibandingkan klaster plot
lainnya. Kondisi ini mengindikasikan rendahnya tingkat kelenturan pada klaster
plot 2 yang menyebabkan tingkat kestabilan yang rendah di ekosistem tersebut,
sehingga kemampuan ekosistem pada klaster plot 2 untuk kembali ke keadaan
semua lebih lambat dibandingkan dengan klaster plot lainnya yang mempunyai
nilai indeks kemerataan jenis lebih besar (0.66 – 0.89).
Jenis yang selalu dominan di lima klaster plot yaitu Paspalum notatum,
Centrosema pubescens, Mikania micrantha dan Brachiaria mutica. Jenis-jenis
tersebut dapat dijadikan rekomendasi sebagai tanaman cover crop untuk
penutupan lahan sebelum dilakukan penanaman jenis pokok karena jenis-jenis
tersebut dapat tumbuh dengan baik di beberapa jenis lahan dan jumlahnya
melimpah, sehingga dapat menambah kadar bahan organik tanah atau lapisan
horizon O dan mencegah erosi.

Penilaian Kesehatan Hutan
Hutan yang sehat artinya yang dapat mengemban fungsinya secara optimal
sekurang-kurangnya sesuai dengan fungsi utama hutan yang telah ditetapkan
sebelumnya (Nuhamara dan Kasno 2001). Hasil penilaian tingkat kesehatan
hutan di areal bekas tambang dengan menggunakan metode FHM menunjukkan
bahwa data atau informasi yang diperoleh manajemen pengelola memberikan
gambaran status saat ini dari kondisi hutan tersebut dan perubahan yang akan
terjadi berikutnya dapat dilakukan kembali pengukuran pada areal dan indikator
yang sama, sehingga dengan demikian data atau informasi tersebut dapat
digunakan pada tingkat kebijakan.

19
Analisis data y