Pandangan yang Anti Supranatural

2. Pandangan yang Anti Supranatural

Satu pemikiran penting yang harus dilihat dari penganut Higher Criticism adalah pemahaman terhadap hal-hal supranatural. Keraguan terhadap hal-hal supranatural terutama hal-hal mujijat ini terutama dipengaruhi oleh konsep rasionalis. Dengan satu kalimat bisa dikatakan, bahwa formula kekuatan dari Higher Criticism digerakkan oleh kekuatan rasionalisme, dan tokoh-tokoh yang bergerak didalamnya merupakan orang-orang, yang lebih menjunjung tinggi konsep filsafat yang jelas bertentangan dengan firman Tuhan. Canon Dyson Hague, seorang tokoh konservatif menjelaskan sehubungan dengan tokoh-tokoh Higher Criticism ini, bahwa:

“(1) They were men who denied the validity of miracle, and the validity of any miraculous narrative. What Christians consider consider to be miraculous they considered legendary or mythical; ‘legendary exaggeration of events that are entirely explicable from natural causes.’ (2) They were men who denied the reality of reality of prophecy and the validity of any prophetical statement. What Christians have beena accustomed to consider prophetical, they called dexterous conjectures, coincidens, fiction, or imposture. (3) They were mwn who denied the reality of revelation, in the sense in which it has been held by the universal Christian Church. They were avowed unbelievers of the supranatural. Their theories were excogitated on pure grounds of human reasoning. Their hypotheses were constructed on the assumption of the falsity of Scripture. As to inspiration of the Bible, as to the Holy Scriptures from Genesis to Revelation being the Word of God, they had no such belief. We may take them one by one. Spinoza repudiated absolutely a supranatural revelation. And Spinoza was one of their greatest. Eichorn discarded the miraculous, and considered that te so-called supernatural element was an Oriental exaggeration; and Eichorn has been called the father of Higher Criticism, and was the first man to use the term. DeWette views as to inspiration were entirely infidel. Vatke and Leopold George was Hegelian rationalist, and regarded the first four books of Old Testament as entirely mythical. Kuenen, says Professor Sanday, wrote in the interest of an almost avowed Naturalism. That is, he was a freethinker, an agnostic; a man who did not believe in the Revelation of the one true and living God (Brampton Lectures, 1893, page 117.) He wrote from an avowedly naturalistic standpoint, says Driver (page 205). According to

Wellhausen the religion of Israel was a naturalistic evolution from heathendom, an emanation from an imperfectly monotheistic kind of semi-pagan idolatry. It was simply a human religion.” 20

Para kritikus berpendapat bahwa segala sesuatu harus diselaraskan dengan hal-hal yang alamiah dan disesuaikan dengan kursus ilmu pengetahuan alam.

Dalam salah satu karyanya A. Kuenen menyatakan pendapatnya sebagai pengikut paham anti supranatural: “sejauh kita secara langsung mengaitkan unsur kehidupan agama bangsa Israel dengan Allah dan membuka diri terhadap kuasa adikodrati atau terhadap pernyataan yang langsung mempengaruhi suatu peristiwa, maka sejauh itu pandangan kita tentang segala sesuatu tetap tidak jelas atau tidak tepat, dan disini kita melihat diri kita sendiri wajib menentang isi laporan sejarah yang benar-benar sudah diyakini. Hanya asumsi dari perkembangan alamiah yang memperhatikan semua fenomena.” 21

Langdon B. Gilkey, yang juga merupakan salah satu wakil dari penganut Higher Criticism dari uni- versitas Chicago, menggambarkan kisah Alkitab tentang seluruh kejadian dari Keluaran sampai peristiwa gunung Sinai sebagai “kisah tindakan yang menurut kepercayaan orang Ibrani mungkin telah dilakukan oleh Allah, dan firman yang mungkin telah diucapkan-Nya seandainya Dia melakukan dan mengatakannya kepada mereka – tetapi kita tentu mengakui Dia tidak melakukan itu.” 22

Julius Wellhausen, dalam karyanya Israelitische und Juedische Geschichte (hal.12), mencemoohkan catatan tentang mukjizat-mukjizat yang tejadi di Sinai yaitu ketika Allah memberi Musa hukum Taurat. Ia mengatakan, “Siapa dapat sungguh-sungguh mempercayai itu semua?” 23

Mengenai orang-orang Ibrani yang menyebrangi Laut Merah, Gilkey mengatakan, “Kami menolak terjadi Mukjizat pada peristiwa itu dan berpendapat bahwa penyebabnya hanyalah angin Timur, dan selanjutnya kami menunjuk pada respon yang tidak wajar dari iman orang Yahudi.” 24

Para kritikus dengan semua teori mereka, saling kait-mengait dengan praduga pandangan naturalistik, yang menyingkirkan hal-hal supranatural dalam Alkitab. Mereka mendekati sejarah dengan praduga-praduga tertentu dan praduga ini cendrung tidak didasarkan pada sejarah, tetapi kepada prasangka filosofis. Perspektif kesejarahan mereka berakar pada pola kerja filsafat, dan biasanya keyakinan metafisika mempengaruhi isi dan kesimpulan-kesimpulan “kesejarahan.”